Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i1.65
J. Suroso
Tulisan ini bertujuan untuk membedah mengenai aturan Penegakan Hukum Terhadap Situs Internet Dengan Konten Negatif Melalui Pemblokiran Situs dan berusaha untuk memberikan pandangan dan masukan terhadap aturan tersebut, sehingga diharapkan pemerintah dapat menjalankan kewajibannya tanpa melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak dasar warga negara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan yuridis normatif. Bahan hukum sekunder dan tersier dipelajari, dianalisis dan kemudian dituliskan secara deskriptif analitis. Kewenangan pemerintah untuk melakukan pemblokiran situs internet bermuatan negatif telah diperkuat melalui UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, pengertian mengenai konten negatif dan ilegal yang ditetapkan oleh pemerintah dipandang terlalu luas dan multitafsir. Selain itu, perlu dikembangkan model pemblokiran situs internet yang transparan dan akuntabel.
{"title":"Permasalahan Penegakan Hukum Terhadap Situs Internet dengan Konten Negatif Melalui Pemblokiran Situs","authors":"J. Suroso","doi":"10.32816/paramarta.v18i1.65","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i1.65","url":null,"abstract":"Tulisan ini bertujuan untuk membedah mengenai aturan Penegakan Hukum Terhadap Situs Internet Dengan Konten Negatif Melalui Pemblokiran Situs dan berusaha untuk memberikan pandangan dan masukan terhadap aturan tersebut, sehingga diharapkan pemerintah dapat menjalankan kewajibannya tanpa melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak dasar warga negara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan yuridis normatif. Bahan hukum sekunder dan tersier dipelajari, dianalisis dan kemudian dituliskan secara deskriptif analitis. Kewenangan pemerintah untuk melakukan pemblokiran situs internet bermuatan negatif telah diperkuat melalui UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, pengertian mengenai konten negatif dan ilegal yang ditetapkan oleh pemerintah dipandang terlalu luas dan multitafsir. Selain itu, perlu dikembangkan model pemblokiran situs internet yang transparan dan akuntabel.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129657523","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i1.64
Eka Dadan Ramadhan, Eni Dasuki Suhardini
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi administrasi, dan kode etik jabatan notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris, dan sekarang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Jabatan Notaris, namun tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris. Jika notaris melakukan tindak pidana, maka tentu saja dapat diminta pertanggungjawaban di bawah hukum pidana, namun hal yang menjadi permasalahan terkait dengan tugas notaris adalah pembuatan akta notaris yang didasarkan pada keterangan palsu. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji antara lain apakah notaris dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas akta yang dibuat berdasarkan keterangan palsu dan bagaimanakah akibat hukum yang timbul terhadap akta notaris yang didasarkan pada keterangan palsu. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terkait dengan pembuatan akta pihak yang didasarkan pada keterangan palsu, dan tidak dapat memenuhi rumusan unsur tindak pidana pemalsuan atau tindak pidana penipuan. Akan tetapi notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap akta pejabat jika secara sengaja atau lalai notaris membuat akta palsu, sehingga merugikan pihak lain. Terhadap akta notaris yang dibuat berdasarkan keterangan palsu tidak dengan sendirinya mengakibatkan akta tersebut menjadi batal demi hukum. Para pihak yang dirugikan dengan keberadaan akta seperti itu harus mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan akta tersebut. Akta tersebut akan batal apabila telah diputuskan oleh pengadilan dan putusan tersebut merupakan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. Pertanggungjawaban pidana notaris perlu diatur dalam Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris secara tersendiri, hal ini didasarkan pada pertimbangan adanya fakta bahwa sering terjadi perbedaan penafsiran antara notaris dengan aparat penegak hukum. Pertanggungjawaban pidana terhadap notaris terkait dengan akta yang dibuatnya sebagai produk pelaksanaan tugas jabatan atau kewenangan notaris, harus memperhatikan aturan yang berkaitan dengan tata cara/prosedur dan syarat pembuatan akta, yaitu Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
{"title":"Pertanggungjawaban Pidana Notaris dalam Pembuatan Akta yang Didasarkan Pada Keterangan Palsu Dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan","authors":"Eka Dadan Ramadhan, Eni Dasuki Suhardini","doi":"10.32816/paramarta.v18i1.64","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i1.64","url":null,"abstract":"Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi administrasi, dan kode etik jabatan notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris, dan sekarang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Jabatan Notaris, namun tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris. Jika notaris melakukan tindak pidana, maka tentu saja dapat diminta pertanggungjawaban di bawah hukum pidana, namun hal yang menjadi permasalahan terkait dengan tugas notaris adalah pembuatan akta notaris yang didasarkan pada keterangan palsu. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji antara lain apakah notaris dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas akta yang dibuat berdasarkan keterangan palsu dan bagaimanakah akibat hukum yang timbul terhadap akta notaris yang didasarkan pada keterangan palsu. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terkait dengan pembuatan akta pihak yang didasarkan pada keterangan palsu, dan tidak dapat memenuhi rumusan unsur tindak pidana pemalsuan atau tindak pidana penipuan. Akan tetapi notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap akta pejabat jika secara sengaja atau lalai notaris membuat akta palsu, sehingga merugikan pihak lain. Terhadap akta notaris yang dibuat berdasarkan keterangan palsu tidak dengan sendirinya mengakibatkan akta tersebut menjadi batal demi hukum. Para pihak yang dirugikan dengan keberadaan akta seperti itu harus mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan akta tersebut. Akta tersebut akan batal apabila telah diputuskan oleh pengadilan dan putusan tersebut merupakan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. Pertanggungjawaban pidana notaris perlu diatur dalam Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris secara tersendiri, hal ini didasarkan pada pertimbangan adanya fakta bahwa sering terjadi perbedaan penafsiran antara notaris dengan aparat penegak hukum. Pertanggungjawaban pidana terhadap notaris terkait dengan akta yang dibuatnya sebagai produk pelaksanaan tugas jabatan atau kewenangan notaris, harus memperhatikan aturan yang berkaitan dengan tata cara/prosedur dan syarat pembuatan akta, yaitu Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125686230","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i1.62
Agus Puji Priyono, Antonia Intarti
Hukum pidana pajak dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai ius singulare karena memiliki norma dan sanksi tersendiri. Orientasi utama pajak adalah pada pendapatan negara untuk meingkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga fungsi sanksi pidana perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar pelaku tindak pidana perpajakan tidak melanggar norma perpajakan. Namun demikian dalam penegakkan hukumnya tidak adanya parameter yang jelas dalam perumusan sanksi pidana perpajakan serta pemahaman dan tafsir asas ultimum remedium yang tidak sama. Untuk itu penelitian ini bertujuan menguraikan rumusan sanksi pidana perpajakan berdasarkan asas legalitas (certainty) dan selanjutnya penerapan asas ultimum remedium atas pidana tersebut berdasarkan asas efficiency tanpa mengesampingkan asas rasionalitas dan proporsionalitas (equality). Hasil dari penelitian ini menyimpulkan 2 (dua) hal. Pertama, Rumusan saksi administrasi dan sanksi pidana sebagai dasar penerapan asas ultimum remedium dalam tindak pidana perpajakan sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan belum berfungsi sesuai dengan tujuannya yaitu menumbuhkan kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan karena proses penegakkan hukum pada tahap formulasi (kebijakan legislatif) belum memiliki kepastian hukum yang berkeadilan sehingga terdapat kebebasan interpretasi/penafsiran para penegak hukum dengan diskresi bebas (tidak terikat) yang berdampak pada tahap aplikasi (yudikatif) dan tahap eksekusi. Kedua, Penerapan asas ultimum remedium tidak diatur dalam satu bab atau pasal di Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sehingga harus dilakukan penafsiran sistematis dalam menafsirkan suatu ketentuan kata-kata dalam suatu peraturan dalam hubungannya dengan kalimat yang bersangkutan serta seluruh pasal dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus dianggap sebagai suatu kesatuan sistem integral terkait, terpadu, dan saling dukung agar tidak menimbulkan perbedaan persepsi dan pemahaman dalam penerapannya
{"title":"Penegakkan Hukum Sanksi Pidana Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpapajakan Dikaitkan dengan Asas Ultimum Remedium","authors":"Agus Puji Priyono, Antonia Intarti","doi":"10.32816/paramarta.v18i1.62","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i1.62","url":null,"abstract":"Hukum pidana pajak dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai ius singulare karena memiliki norma dan sanksi tersendiri. Orientasi utama pajak adalah pada pendapatan negara untuk meingkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga fungsi sanksi pidana perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar pelaku tindak pidana perpajakan tidak melanggar norma perpajakan. Namun demikian dalam penegakkan hukumnya tidak adanya parameter yang jelas dalam perumusan sanksi pidana perpajakan serta pemahaman dan tafsir asas ultimum remedium yang tidak sama. Untuk itu penelitian ini bertujuan menguraikan rumusan sanksi pidana perpajakan berdasarkan asas legalitas (certainty) dan selanjutnya penerapan asas ultimum remedium atas pidana tersebut berdasarkan asas efficiency tanpa mengesampingkan asas rasionalitas dan proporsionalitas (equality). Hasil dari penelitian ini menyimpulkan 2 (dua) hal. Pertama, Rumusan saksi administrasi dan sanksi pidana sebagai dasar penerapan asas ultimum remedium dalam tindak pidana perpajakan sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan belum berfungsi sesuai dengan tujuannya yaitu menumbuhkan kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan karena proses penegakkan hukum pada tahap formulasi (kebijakan legislatif) belum memiliki kepastian hukum yang berkeadilan sehingga terdapat kebebasan interpretasi/penafsiran para penegak hukum dengan diskresi bebas (tidak terikat) yang berdampak pada tahap aplikasi (yudikatif) dan tahap eksekusi. Kedua, Penerapan asas ultimum remedium tidak diatur dalam satu bab atau pasal di Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sehingga harus dilakukan penafsiran sistematis dalam menafsirkan suatu ketentuan kata-kata dalam suatu peraturan dalam hubungannya dengan kalimat yang bersangkutan serta seluruh pasal dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus dianggap sebagai suatu kesatuan sistem integral terkait, terpadu, dan saling dukung agar tidak menimbulkan perbedaan persepsi dan pemahaman dalam penerapannya ","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115109391","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-10-26DOI: 10.32816/paramarta.v17i2.77
Deny Haspada
Perjanjian nominee atau sering juga disebut dengan istilah perwakilan atau pinjam nama berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua belah pihak dalam bentuk akta otentik, dimana warga negara asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya, tetapi kemudian warga negara Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebenarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga negara asing tersebut. Dalam pelaksanaannya perjanjian nominee ini dijadikan suatu celah bagi warga Negara asing untuk memiliki tanah di Negara Indonesia, dimana hal ini bertentangan dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok-pokok agraria. Hal ini berakibat bahwa perjanjian nominee dijadikan suatu celah bagi WNA dalam pemilikan tanah di Indonesia, dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, maka perjanjian nominee adalah perjanjian yang batal sejak semula, karena perjanjian nominee dibuat secara tidak sah, dengan begitu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini beserta tujuannya ialah untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian nominee dan akibat hukum bagi perjanjian nominee dalam praktik jual beli. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perjanjian nominee ini merupakan produk cacat hukum, dikarenakan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia, dan perjanjian nominee ini merupakan suatu upaya penyelundupan hukum, maka dari itu perjanjian nominee ini bersifat tidak mengikat dan batal bagi kedua belah pihak.
{"title":"Perjanjian Nominee Antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia dalam Praktik Jual Beli Tanah Hak Milik yang Dihubungkan dengan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata","authors":"Deny Haspada","doi":"10.32816/paramarta.v17i2.77","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v17i2.77","url":null,"abstract":"Perjanjian nominee atau sering juga disebut dengan istilah perwakilan atau pinjam nama berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua belah pihak dalam bentuk akta otentik, dimana warga negara asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya, tetapi kemudian warga negara Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebenarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga negara asing tersebut. Dalam pelaksanaannya perjanjian nominee ini dijadikan suatu celah bagi warga Negara asing untuk memiliki tanah di Negara Indonesia, dimana hal ini bertentangan dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok-pokok agraria. Hal ini berakibat bahwa perjanjian nominee dijadikan suatu celah bagi WNA dalam pemilikan tanah di Indonesia, dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, maka perjanjian nominee adalah perjanjian yang batal sejak semula, karena perjanjian nominee dibuat secara tidak sah, dengan begitu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini beserta tujuannya ialah untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian nominee dan akibat hukum bagi perjanjian nominee dalam praktik jual beli. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perjanjian nominee ini merupakan produk cacat hukum, dikarenakan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia, dan perjanjian nominee ini merupakan suatu upaya penyelundupan hukum, maka dari itu perjanjian nominee ini bersifat tidak mengikat dan batal bagi kedua belah pihak.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123706982","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-10-26DOI: 10.32816/paramarta.v17i2.76
Dimas Fadel Supeno, Cecep Sutrisna
Permasalahan gelandangan dan pengemis merupakan salah satu permasalahan sosial yang sulit untuk ditangani. Banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis yang kerap kali terlihat memadati setiap perempatan dan ruas – ruas jalan utama bukan saja tidak sedap dipandang, melainkan menjadi isu serius yang perlu dicarikan jalan pemecahannya bersama. Selama ini keberadaan gelandangan dan pengemis (Gepeng) merugikan masyarakat dan negara. Negara dirugikan karena sumber daya manusia yang semula diharapkan dapat mandiri, produktif, dan mampu membangun negara menjadi gelandagan dan pengemis yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain, tidak mempunyai kehidupan yang layak, dan tidak dapat mencukupi kebutuhan secara mandiri, serta kehidupannya bebas yang tidak mematuhi norma-norma. tidak sejalan dengan cita-cita nasional karena mereka menjadi beban Negara, ada beberapa faktor penyebab pengemisan tinggi dan upaya penanggulangan nya juga upaya pemerintah dalam penegakan hukum terkait pengemisan dan gelandangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengemisan merupakan tanggung jawab pemerintah dan para penegak hukum, serta peranserta masyarakat sebagai pemberi sumbangan. dalam PP No. 31 tahun 1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis sudah di jelaskan secara rinci terkait cara memberantas gelandangan dan pengemis, tinggal bagaimana penegakan nya , yaitu dengan pengawasan dan razia yang dilakukan secara berkala serta penyuluhan dan pembinaan terhadap pengemis agar pengemis dan gelandangan jera untuk melakukan pengemisan dan pergelandangan lagi , sebab terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.
{"title":"Penegakan Pasal 504 KUHP Dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis","authors":"Dimas Fadel Supeno, Cecep Sutrisna","doi":"10.32816/paramarta.v17i2.76","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v17i2.76","url":null,"abstract":"Permasalahan gelandangan dan pengemis merupakan salah satu permasalahan sosial yang sulit untuk ditangani. Banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis yang kerap kali terlihat memadati setiap perempatan dan ruas – ruas jalan utama bukan saja tidak sedap dipandang, melainkan menjadi isu serius yang perlu dicarikan jalan pemecahannya bersama. Selama ini keberadaan gelandangan dan pengemis (Gepeng) merugikan masyarakat dan negara. Negara dirugikan karena sumber daya manusia yang semula diharapkan dapat mandiri, produktif, dan mampu membangun negara menjadi gelandagan dan pengemis yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain, tidak mempunyai kehidupan yang layak, dan tidak dapat mencukupi kebutuhan secara mandiri, serta kehidupannya bebas yang tidak mematuhi norma-norma. tidak sejalan dengan cita-cita nasional karena mereka menjadi beban Negara, ada beberapa faktor penyebab pengemisan tinggi dan upaya penanggulangan nya juga upaya pemerintah dalam penegakan hukum terkait pengemisan dan gelandangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengemisan merupakan tanggung jawab pemerintah dan para penegak hukum, serta peranserta masyarakat sebagai pemberi sumbangan. dalam PP No. 31 tahun 1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis sudah di jelaskan secara rinci terkait cara memberantas gelandangan dan pengemis, tinggal bagaimana penegakan nya , yaitu dengan pengawasan dan razia yang dilakukan secara berkala serta penyuluhan dan pembinaan terhadap pengemis agar pengemis dan gelandangan jera untuk melakukan pengemisan dan pergelandangan lagi , sebab terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114235466","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}