Dalam novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (PpKP) karya Djamil Suherman (DS), kelompok pesantren digambarkan melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda dengan memanfaatkan narasi agama Islam. Identitas kolektif digunakan kelompok pesantren untuk membedakan anggota kelompoknya dengan kelompok penjajah sekaligus sebagai upaya mereka untuk mempersatukan anggotanya. Pembacaan novel PpKP melalui studi poskolonialisme dan serangkaian metode kualitatif deskriptif menunjukkan bahwa terdapat relasi biner antara kelompok pesantren (self) dan kelompok penjajah (Other). Hubungan oposisional ini direpresentasikan dengan kelompok pesantren sebagai Timur yang tradisional/spiritual, sedangkan kelompok penjajah adalah modern/material. Dalam hubungan yang demikian, kelompok pesantren melakukan resistensi dengan menggunakan narasi self sebagai korban dan pahlawan. Sebaliknya, Other adalah penjajah yang menjadi musuh bersama. Pengetahuan, kepercayaan, atau doktrin-doktrin agama Islam digunakan kelompok pesantren untuk melawan kolonialisme, sehingga muncul istilah-istilah kafir, sabil, syahid, dll. Lahirnya novel ini tidak terlepas dari intensi pengarang sebagai bagian dari kelompok Islam yang merespons diskriminasi Orde Baru terhadap kelompoknya. DS berharap agar kelompok Islam mendapatkan kesempatan yang lebih baik, khususnya dalam bidang politik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana identitas agama yang dimanfaatkan kelompok pesantren melawan penjajah dalam novel PpKP.[In the novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (PpKP) by Djamil Suherman (DS), the pesantren group is depicted as fighting against the Dutch colonialism by using Islamic religious narratives. Collective identity is used by the pesantren group to distinguish its group members from the colonial group as well as their efforts to unite their members. The reading of the PpKP novel through the study of postcolonialism and a series of descriptive qualitative methods shows that there is a binary relationship between the pesantren group (self) and the colonial group (Other). This oppositional relationship is represented by the pesantren group as the traditional/spiritual East, while the colonial group is modern/material. In such a relationship, the pesantren group performs resistance by using the narrative of self as a victim and a hero. On the other hand, the Other is a colonialist who becomes a common enemy. Islamic religious knowledge, beliefs, or doctrines are used by pesantren groups to fight colonialism, so that the terms kafir, sabil, syahid, etc. appear. The birth of this novel is inseparable from the author's intention as part of an Islamic group that responded to the New Order's discrimination against his group. DS hopes that Islamic groups will get better opportunities, especially in the political field. The purpose of this study is to explain how the religious identity used by the pesantren group against the invaders in the PPKP novel.]
{"title":"Perlawanan Golongan Islam Terhadap Kolonialisme Belanda: Kajian Poskolonialisme Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe Karya Djamil Soeherman","authors":"Atika Nabila","doi":"10.14421/JKII.V6I1.1215","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/JKII.V6I1.1215","url":null,"abstract":"Dalam novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (PpKP) karya Djamil Suherman (DS), kelompok pesantren digambarkan melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda dengan memanfaatkan narasi agama Islam. Identitas kolektif digunakan kelompok pesantren untuk membedakan anggota kelompoknya dengan kelompok penjajah sekaligus sebagai upaya mereka untuk mempersatukan anggotanya. Pembacaan novel PpKP melalui studi poskolonialisme dan serangkaian metode kualitatif deskriptif menunjukkan bahwa terdapat relasi biner antara kelompok pesantren (self) dan kelompok penjajah (Other). Hubungan oposisional ini direpresentasikan dengan kelompok pesantren sebagai Timur yang tradisional/spiritual, sedangkan kelompok penjajah adalah modern/material. Dalam hubungan yang demikian, kelompok pesantren melakukan resistensi dengan menggunakan narasi self sebagai korban dan pahlawan. Sebaliknya, Other adalah penjajah yang menjadi musuh bersama. Pengetahuan, kepercayaan, atau doktrin-doktrin agama Islam digunakan kelompok pesantren untuk melawan kolonialisme, sehingga muncul istilah-istilah kafir, sabil, syahid, dll. Lahirnya novel ini tidak terlepas dari intensi pengarang sebagai bagian dari kelompok Islam yang merespons diskriminasi Orde Baru terhadap kelompoknya. DS berharap agar kelompok Islam mendapatkan kesempatan yang lebih baik, khususnya dalam bidang politik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana identitas agama yang dimanfaatkan kelompok pesantren melawan penjajah dalam novel PpKP.[In the novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (PpKP) by Djamil Suherman (DS), the pesantren group is depicted as fighting against the Dutch colonialism by using Islamic religious narratives. Collective identity is used by the pesantren group to distinguish its group members from the colonial group as well as their efforts to unite their members. The reading of the PpKP novel through the study of postcolonialism and a series of descriptive qualitative methods shows that there is a binary relationship between the pesantren group (self) and the colonial group (Other). This oppositional relationship is represented by the pesantren group as the traditional/spiritual East, while the colonial group is modern/material. In such a relationship, the pesantren group performs resistance by using the narrative of self as a victim and a hero. On the other hand, the Other is a colonialist who becomes a common enemy. Islamic religious knowledge, beliefs, or doctrines are used by pesantren groups to fight colonialism, so that the terms kafir, sabil, syahid, etc. appear. The birth of this novel is inseparable from the author's intention as part of an Islamic group that responded to the New Order's discrimination against his group. DS hopes that Islamic groups will get better opportunities, especially in the political field. The purpose of this study is to explain how the religious identity used by the pesantren group against the invaders in the PPKP novel.]","PeriodicalId":435834,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Islam Interdisipliner","volume":"79 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-08","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133598049","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The outbreak of social media provides an alternative to celebrities who appear besides on television. The term social media celebrities also appear as 'selebgram' and 'selebtwitt'. Their appearance is based on a number of fans on social media who actively follow them both on the Instagram or the Twitter. This celebrity culture gives birth to interesting public figures who have never been found on television. One interesting program is @wardahmaulina_, a Muslim woman who uses a niqab of various colors in each of her postings. Her popularity began from her love affair with Natta Reza, who is now her husband, and was widely discussed in the social media. The story of their introduction only through Instagram and later married, much liked by citizens. Since then, both Natta Reza and Wardah have become popular. This paper focuses on discussing new phenomena about Wardah’s models of dressing (1.3 million of Instagram followers) that make the niqab a fashion trend. The niqab itself was initially stigmatized by the salafi movement as it tends to be rigid but is now undergoing a transformation after the appearance of figures like Wardah who presents the niqab with a more trendy and attractive style in the Muslimah market culture. This paper shows that the niqab is no longer synonymous with a rigid salafi movement but has transformed into a trendy Muslim outfit.[Merebaknya media sosial memberikan alternatif selebriti yang tampil selain di televisi. Istilah selebriti media sosial bermunculan dengan sebutan ‘selebgram’ dan ‘selebtwitt’. Kemunculan mereka berdasarkan banyaknnya penggemar di media sosial yang aktif mengikuti baik di instagram ataupun twitter. Kultur selebriti ini melahirkan tokoh publik menarik yang sebelumnya tidak pernah ditemui ditelevisi. Salah satu selebgram yang menarik adalah @wardahmaulina_, ia seorang Muslimah yang menggunakan niqab berbagai warna dalam setiap postingannya. Kepopulerannya dimulai ketika kisah asmaranya dengan Natta Reza yang kini menjadi suaminya, ramai diperbincangkan di ruang media sosial. Kisah perkenalan mereka yang hanya melalui instagram kemudian menikah, banyak disukai oleh warganet. Semenjak itulah nama Natta Reza dan Wardah populer. Paper ini fokus membahas fenomena baru tentang model berpakaian Wardah (1,3 Juta pengikut instagram) yang menjadikan niqab sebagai tren fashion. Niqab sendiri yang pada awalnya distigmakan denga gerakan salafi yang cenderung kaku, kini mengalami transformasi setelah tampilnya sosok seperti Wardah yang menampilkan niqab dengan lebih trendi dan menarik dengan budaya pasar muslimah. Paper ini menunjukkan bahwa niqab tidak lagi identik dengan gerakan salafi yang kaku, namun sudah bertransformasi menjadi pakaian muslimah yang trendi.]
社交媒体的兴起为明星们提供了除了上电视之外的另一种选择。社交媒体名人这个词也出现在“selebgram”和“selebtwitt”中。他们的形象是基于社交媒体上许多在Instagram或Twitter上积极关注他们的粉丝。这种名人文化产生了从未在电视上出现过的有趣的公众人物。一个有趣的项目是@wardahmaulina_,一位穆斯林妇女在她的每一个帖子中都使用不同颜色的尼卡布。她的走红源于她与现任丈夫纳塔·礼萨(Natta Reza)的恋情,并在社交媒体上引起了广泛讨论。他们的故事只通过Instagram介绍,后来结婚,深受市民喜爱。从那以后,纳塔礼萨和瓦尔达都很受欢迎。这篇论文的重点是讨论关于Wardah的穿衣模式(130万Instagram粉丝)的新现象,使niqab成为一种时尚趋势。尼卡布本身最初被萨拉菲运动污名化,因为它倾向于僵化,但在瓦尔达等人物出现后,尼卡布在穆斯林市场文化中呈现出更时尚、更有吸引力的风格,现在正在经历一场转变。这篇文章表明,尼卡布不再是死板的萨拉菲运动的代名词,而是变成了时髦的穆斯林服饰。[梅雷巴克尼亚媒体社交会员,另类名人杨·坦比尔·塞拉尼迪电视]。Istilah selebriti media social bermunculan dengan sebutan selebgram和selebtwitt。Kemunculan mereka berdasarkan banyaknnya penggemar di media social yang aktif mengikuti baik di instagram ataupun twitter。文化selebriti ini melahirkan tokoh public public menarik yang sebelumnya tidak pernah ditemui ditelevisi。Salah satu selebgram yang menarik adalah @wardahmaulina_,在seorang muslim yang menggunakan niqab berbagai warna dalam设置张贴annya。Kepopulerannya dimulai ketika kisah asmaranya dengan Natta Reza yang kini menjadi suaminya, ramai diperbincangkan diang媒体社交。Kisah perkenalan mereka yang hanya melalui instagram kemudian menikah, banyak disukai oleh warganet。Semenjak itulah nama Natta Reza dan Wardah populer。Paper ini关注会员的现象,如baru tentang模特berpakaian Wardah (1,3 Juta pengikut instagram) yang menjadikan niqab sebagai时尚潮流。我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿。[au:] Paper ini menunjukkan bahwa niqab tidak lagi identik dengan gerakan salafi yang kaku, namun sudah bertransformasi menjadi巴基斯坦穆斯林穆斯林yang trendi。
{"title":"@Wardahmaulida_: Platform Islami Media Sosial Dari Niqab Eksklusif pada Niqab Fashion","authors":"R. Romario","doi":"10.14421/JKII.V5I2.1121","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/JKII.V5I2.1121","url":null,"abstract":"The outbreak of social media provides an alternative to celebrities who appear besides on television. The term social media celebrities also appear as 'selebgram' and 'selebtwitt'. Their appearance is based on a number of fans on social media who actively follow them both on the Instagram or the Twitter. This celebrity culture gives birth to interesting public figures who have never been found on television. One interesting program is @wardahmaulina_, a Muslim woman who uses a niqab of various colors in each of her postings. Her popularity began from her love affair with Natta Reza, who is now her husband, and was widely discussed in the social media. The story of their introduction only through Instagram and later married, much liked by citizens. Since then, both Natta Reza and Wardah have become popular. This paper focuses on discussing new phenomena about Wardah’s models of dressing (1.3 million of Instagram followers) that make the niqab a fashion trend. The niqab itself was initially stigmatized by the salafi movement as it tends to be rigid but is now undergoing a transformation after the appearance of figures like Wardah who presents the niqab with a more trendy and attractive style in the Muslimah market culture. This paper shows that the niqab is no longer synonymous with a rigid salafi movement but has transformed into a trendy Muslim outfit.[Merebaknya media sosial memberikan alternatif selebriti yang tampil selain di televisi. Istilah selebriti media sosial bermunculan dengan sebutan ‘selebgram’ dan ‘selebtwitt’. Kemunculan mereka berdasarkan banyaknnya penggemar di media sosial yang aktif mengikuti baik di instagram ataupun twitter. Kultur selebriti ini melahirkan tokoh publik menarik yang sebelumnya tidak pernah ditemui ditelevisi. Salah satu selebgram yang menarik adalah @wardahmaulina_, ia seorang Muslimah yang menggunakan niqab berbagai warna dalam setiap postingannya. Kepopulerannya dimulai ketika kisah asmaranya dengan Natta Reza yang kini menjadi suaminya, ramai diperbincangkan di ruang media sosial. Kisah perkenalan mereka yang hanya melalui instagram kemudian menikah, banyak disukai oleh warganet. Semenjak itulah nama Natta Reza dan Wardah populer. Paper ini fokus membahas fenomena baru tentang model berpakaian Wardah (1,3 Juta pengikut instagram) yang menjadikan niqab sebagai tren fashion. Niqab sendiri yang pada awalnya distigmakan denga gerakan salafi yang cenderung kaku, kini mengalami transformasi setelah tampilnya sosok seperti Wardah yang menampilkan niqab dengan lebih trendi dan menarik dengan budaya pasar muslimah. Paper ini menunjukkan bahwa niqab tidak lagi identik dengan gerakan salafi yang kaku, namun sudah bertransformasi menjadi pakaian muslimah yang trendi.]","PeriodicalId":435834,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Islam Interdisipliner","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124935071","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini menampilkan diskripsi tentang Islam Nusantara, Manhaj Fikrah Islam Nusantara, berbagai kritikan terhadap konsep Islam Nusantara serta analisa Epistemologi-Kritis padakonsep Islam Nusantara ini di masa depan.[This paper presents the Islamic Religion in Nusantara, Manhaj Fikrah in Nusantara, the various criticisms of the concept of Islamic Religion in Nusantara, and the Critical Epistemology concept of the future on Islamic Religion in Nusantara.]
{"title":"Islam Nusantara: Harapan dan Tantangan","authors":"Yulius Erick Tanabora","doi":"10.14421/JKII.V5I2.1143","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/JKII.V5I2.1143","url":null,"abstract":"Tulisan ini menampilkan diskripsi tentang Islam Nusantara, Manhaj Fikrah Islam Nusantara, berbagai kritikan terhadap konsep Islam Nusantara serta analisa Epistemologi-Kritis padakonsep Islam Nusantara ini di masa depan.[This paper presents the Islamic Religion in Nusantara, Manhaj Fikrah in Nusantara, the various criticisms of the concept of Islamic Religion in Nusantara, and the Critical Epistemology concept of the future on Islamic Religion in Nusantara.]","PeriodicalId":435834,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Islam Interdisipliner","volume":"268 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133943598","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nusantara adalah suatu wilayah kepulauan yang berada di antara dua benua, Asia dan Australia, sebagai benua yang berada dalam dua samudera raya yang di kenal sebagai samudera India dan samudera Pasifik. Kepulauan ini memotong ekuator dari 95 derajat sampai 141 derajat bujur timur. Penduduk pulau ini menarik perhatian berbagai masyarakat dari penjuru dunia, karena tanah subur dengan limpahan rempah-rempah dan corak masyarakat yang akomodatif dengankecenderunganfriendly dengan kehadiran tamu. Hal ini memicu para pedagang untuk berniaga dan sekaligus bersyiar atau berdakwah. Orang India yang beragama Hindu dan Buddha menjadi orang pertama yang berlabuh untuk berdagang dan sekaligus memperkenalkanagama yang di anut. Hal ini menjadikan identitas sangat bagus untuk diperbincangkan. Sebagai pendatang dantamu di Nusantara, orang-orang India membawa segala identitas termasuk budaya dan agama. Paper ini menjelaskan cara agama dari India hidup dan besar di tengah masyarakat.[The Nusantara is an archipelago located between two continents, Asia and Australia, as a continent located in two major oceans known as the Indian Ocean and the Pacific Ocean. These islands intersect the equator from 95 degrees to 141 degrees east longitude. The inhabitants of the island attract the attention of various people from all over the world because the land is fertile with an abundance of spices and an accommodating community style with a friendly inclination to the presence of guests. It triggered the traders to trade and simultaneously spread or preach. Indians who were Hindus and Buddhists were the first to anchor to trade and at the same time introduce the religion adherence embraced. It makes identity important to talk about. As guests and guests in the archipelago, Indians carry all identities, including culture and religion. This paper explains the way religions from India live and grow in society.]
{"title":"Hindu-Buddha: Cara Masyarakat Nusantara dalam Berspiritual Sebelum Datang Islam","authors":"Domidoyo Marthinus","doi":"10.14421/JKII.V5I2.1142","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/JKII.V5I2.1142","url":null,"abstract":"Nusantara adalah suatu wilayah kepulauan yang berada di antara dua benua, Asia dan Australia, sebagai benua yang berada dalam dua samudera raya yang di kenal sebagai samudera India dan samudera Pasifik. Kepulauan ini memotong ekuator dari 95 derajat sampai 141 derajat bujur timur. Penduduk pulau ini menarik perhatian berbagai masyarakat dari penjuru dunia, karena tanah subur dengan limpahan rempah-rempah dan corak masyarakat yang akomodatif dengankecenderunganfriendly dengan kehadiran tamu. Hal ini memicu para pedagang untuk berniaga dan sekaligus bersyiar atau berdakwah. Orang India yang beragama Hindu dan Buddha menjadi orang pertama yang berlabuh untuk berdagang dan sekaligus memperkenalkanagama yang di anut. Hal ini menjadikan identitas sangat bagus untuk diperbincangkan. Sebagai pendatang dantamu di Nusantara, orang-orang India membawa segala identitas termasuk budaya dan agama. Paper ini menjelaskan cara agama dari India hidup dan besar di tengah masyarakat.[The Nusantara is an archipelago located between two continents, Asia and Australia, as a continent located in two major oceans known as the Indian Ocean and the Pacific Ocean. These islands intersect the equator from 95 degrees to 141 degrees east longitude. The inhabitants of the island attract the attention of various people from all over the world because the land is fertile with an abundance of spices and an accommodating community style with a friendly inclination to the presence of guests. It triggered the traders to trade and simultaneously spread or preach. Indians who were Hindus and Buddhists were the first to anchor to trade and at the same time introduce the religion adherence embraced. It makes identity important to talk about. As guests and guests in the archipelago, Indians carry all identities, including culture and religion. This paper explains the way religions from India live and grow in society.]","PeriodicalId":435834,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Islam Interdisipliner","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130264737","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Bukti arkeologi meninggalkan jejak, termasuk jejak untuk menelusuri awal mula agama Islam masuk ke Indonesia, antara abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Arkeolog Uka Tjandrasasmita menegaskan pentingnya bukti-bukti arkeologi dalam karyanya ‘Arkeologi Islam Nusantara’. Dalam karya tersebut, Uka mengungkapkan data-data arkeologi baik berupa makam-makam batu nisan, pecahan keramik dan ragam hiasan maupun arsitektur bangunan keraton yang merupakan material penting sebagai sumber sejarah. Semua itu bisa dimanfaatkan untuk mengetahui dan merekonstruksi bagaimana kedatangan Islam ke Tanah Air. Misalnya, makam di Nusantara memiliki persamaan tulisan dengan makam Islam yang ada di Gujarat, India. Persamaan tersebut dapat ditemukan pada makam Malik Ibrahim dibuat tahun 1419 H di Gresik, Jawa Timur dan makam Samudra Pasai pada tahun 882 H. Makam-makam yang ada di Gujarat dan Tanah Air juga memiliki bahan baku yang sama yaitu batu pualam. Dengan adanya persamaan tersebut bisa disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang aktif, terutama hubungan dagang antara Gujarat, Samudra Pasai, dan Jawa Timur. Melalui perdagangan tercipta interaksi antara penduduk Tanah Air dan para pedagang Muslim dari Gujarat. Melalui interaksi ini juga para pedagang Muslim dari Gujarat tak hanya melakukan aktivitas dagang tetapi juga menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah Air. Sejak zaman sebelum Islam Pelabuhan Banten merupakan Pelabuhan terpenting di tanah Sunda. Hal itu disebabkan oleh letak geografisnya yang berada di tengah-tengah teluk Banten dengan jaringan Sungai Cibanten dan beberapa anak sungainya. Faktor alamiah ini merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi pihak yang mengelola pelabuhan para pedagang. Keadaan ini yang mengakibatkan Pelabuhan Banten menempatkan diri dalam dunia perdagangan internasional di Asia.[Archaeological evidence always leaves a trail, and these include traces to track earlier times when Islam arrived in Indonesia between the 7th and the 8th centuries (CE). Archaeologist Uka Tjandrasasmita stressed the importance of the archaeological pieces of evidence in his work ‘Archaeology of Islam Nusantara’, which reveals some archaeological data in tombs decorated with ceramic fragments and palace architecture, which were considered essential materials as historical sources. All of these can be used to find out and reconstruct how Islam came to Indonesia. For example. The tombs have the same writings as the Islamic tombs in Gujarat, India. The similarities are found in Malik Ibrahim’s tombs, created in 1419 H in Gresik, East Java, and the tomb of Samudra Pasai of Aceh in 882 H. The tombs in Gujarat and Indonesia have the same raw material made from marble. Given these facts, there is a historical relationship between Gujarat, India, and Indonesia, and this could happen due to trade relations between Gujarat and Samudra Pasai and East Jawa. Through trades, interactions between the Muslim traders of Gujarat and Muslim Indonesians took place, and through these interact
{"title":"Metode Dakwah: Syiar Islam Ala Masyarakat Nusantara Abad 9-15 M","authors":"Dewi Fatimah Leppa","doi":"10.14421/JKII.V5I2.1145","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/JKII.V5I2.1145","url":null,"abstract":"Bukti arkeologi meninggalkan jejak, termasuk jejak untuk menelusuri awal mula agama Islam masuk ke Indonesia, antara abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Arkeolog Uka Tjandrasasmita menegaskan pentingnya bukti-bukti arkeologi dalam karyanya ‘Arkeologi Islam Nusantara’. Dalam karya tersebut, Uka mengungkapkan data-data arkeologi baik berupa makam-makam batu nisan, pecahan keramik dan ragam hiasan maupun arsitektur bangunan keraton yang merupakan material penting sebagai sumber sejarah. Semua itu bisa dimanfaatkan untuk mengetahui dan merekonstruksi bagaimana kedatangan Islam ke Tanah Air. Misalnya, makam di Nusantara memiliki persamaan tulisan dengan makam Islam yang ada di Gujarat, India. Persamaan tersebut dapat ditemukan pada makam Malik Ibrahim dibuat tahun 1419 H di Gresik, Jawa Timur dan makam Samudra Pasai pada tahun 882 H. Makam-makam yang ada di Gujarat dan Tanah Air juga memiliki bahan baku yang sama yaitu batu pualam. Dengan adanya persamaan tersebut bisa disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang aktif, terutama hubungan dagang antara Gujarat, Samudra Pasai, dan Jawa Timur. Melalui perdagangan tercipta interaksi antara penduduk Tanah Air dan para pedagang Muslim dari Gujarat. Melalui interaksi ini juga para pedagang Muslim dari Gujarat tak hanya melakukan aktivitas dagang tetapi juga menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah Air. Sejak zaman sebelum Islam Pelabuhan Banten merupakan Pelabuhan terpenting di tanah Sunda. Hal itu disebabkan oleh letak geografisnya yang berada di tengah-tengah teluk Banten dengan jaringan Sungai Cibanten dan beberapa anak sungainya. Faktor alamiah ini merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi pihak yang mengelola pelabuhan para pedagang. Keadaan ini yang mengakibatkan Pelabuhan Banten menempatkan diri dalam dunia perdagangan internasional di Asia.[Archaeological evidence always leaves a trail, and these include traces to track earlier times when Islam arrived in Indonesia between the 7th and the 8th centuries (CE). Archaeologist Uka Tjandrasasmita stressed the importance of the archaeological pieces of evidence in his work ‘Archaeology of Islam Nusantara’, which reveals some archaeological data in tombs decorated with ceramic fragments and palace architecture, which were considered essential materials as historical sources. All of these can be used to find out and reconstruct how Islam came to Indonesia. For example. The tombs have the same writings as the Islamic tombs in Gujarat, India. The similarities are found in Malik Ibrahim’s tombs, created in 1419 H in Gresik, East Java, and the tomb of Samudra Pasai of Aceh in 882 H. The tombs in Gujarat and Indonesia have the same raw material made from marble. Given these facts, there is a historical relationship between Gujarat, India, and Indonesia, and this could happen due to trade relations between Gujarat and Samudra Pasai and East Jawa. Through trades, interactions between the Muslim traders of Gujarat and Muslim Indonesians took place, and through these interact","PeriodicalId":435834,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Islam Interdisipliner","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114626775","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-10-28DOI: 10.32488/HARMONI.V19I1.431
Mohamad Baihaqi
Penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Gegerung-Lombok terjadi pada 2005-2006 dan 2010. Pada tahun itu kontestasi pemilihan kepala desa bakal dilaksanakan. Beberapa bulan menjelang pemilihan kepala desa, salah satu tokoh agama kerap menyampaikan ceramah yang bernada provokatif. Belakangan diketahui bahwa tokoh agama tersebut berafiliasi dengan salah satu kontestan calon kepala desa. Penelitian ini mengungkapkan bahwa konflik dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Gegerung terjadi secara instrumental yang disebabkan oleh adanya kepentingan politik tokoh agama dan salah satu kandidat dalam pemilihan kepala desa setempat. Sekaligus menunjukkan bahwa konflik dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah tidak hanya disebabkan oleh faktor perbedaan keyakinan antara Jemaat Ahmadiyah dan warga Desa Gegerung-Lombok Barat. Bukan pula terjadi semata karena adanya fatwa MUI dan peraturan diskriminatif bupati Lombok Barat. Keduanya tidak berhubungan secara langsung sebagai pemicu konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan terhadap Ahmadiyah di Desa Gegerung justru terjadi karena adanya campur tangan politisi dan tokoh agama di yang menjadikan perbedaan sebagai komoditas politik.[The attack on the Jemaah Ahmadiyah in Gegerung-Lombok occurred in 2005-2006 and 2010 in conjunction with the contestation for the headman election. A few months before the village headman election, one of the religious leaders often delivered provocative lectures. It was later discovered that this religious figure was affiliated with one of the village head candidate contestants. This research focuses on whether there is a relationship between the political situation in Gegerung Village and the presence of the Jemaah Ahmadiyah? Does this relationship have a correlation with conflict and violence? Using the descriptive analysis method, this research aims to reveal the relationship between the potential situation of Gegerung Village and the existence of the Jemaah Ahmadiyah and its correlation with conflict and violence. The results showed that the conflict and violence against the Jemaah Ahmadiyah in Gegerung occurred instrumentally due to the political interests of religious leaders and one of the candidates in the local village head election. In addition, the researcher also found that the conflict and violence against the Jemaah Ahmadiyah was not only caused by factors of differences in beliefs between the Ahmadiyah congregation and residents of Gegerung Village-West Lombok, nor was it simply due to the MUI fatwa and the discriminatory regulations of the West Lombok Regent. Both are not directly related as triggers of conflict and violence. The conflict and violence against Ahmadiyah in Gegerung Village actually occurred because of the interference of politicians and religious figures who made differences as a political commodity.]
2008年至2010年,在龙目岛对阿马迪亚会众的袭击发生在2005-2006年和2010年。在那一年,村长的选举将进行。在选择村长的几个月前,一个宗教人物经常发表挑衅性的讲话。后来发现,这位宗教人物是村长的候选人之一。该研究表明,由于宗教人士和当地村长选举中候选人之一的政治利益和候选人,格吉隆对阿马迪亚会众的暴力和冲突是很有教育意义的。这表明,对阿马迪亚会众的冲突和暴力不仅仅是由于阿马迪亚会众和西格龙目岛村民之间信仰不同的因素。这不仅仅是因为梅的法令和西龙目岛摄政王的歧视性规定。它们既不直接相关,也不直接相关,因为它们引发冲突和暴力。格gerung村对Ahmadiyah的暴力和冲突是由政治家和宗教人士作为一种政治商品的介入造成的。2005-2006年和2010年在拥挤的龙目岛发生的袭击事件与headman election的对联站发生了冲突。村头选举前几个月,是宗教领袖的宗教领袖。后来发现,这个宗教人物与村头候选人之一有关。这项研究是否与Gegerung Village的政治局势和会众Ahmadiyah的表现有关系?这个关系和暴力有关系吗?利用对方法分析的描述,这项研究揭示了动荡村庄潜在局势和教区Ahmadiyah及其与冲突和暴力相关关系之间的关系。其结果表明,反对朝圣者Ahmadiyah的冲突和暴力行为受到当地村庄选举委员的政治兴趣的影响。在加法,,《researcher也找到了那间的冲突和暴力反对Ahmadiyah会众是不仅与Ahmadiyah之间的分歧都在信仰之枪舌战factors托举》和Gegerung residents是Village-West龙目岛,也消磨帐款梅教令》和《discriminatory regulations of the West龙目岛的摄政。它们并不像冲突和暴力的三叉戟那样直接相关。由于政治和宗教方面的干扰
{"title":"Pengaruh Kontestasi Politik Desa terhadap Konflik Ahmadiyah di Gegerung-Lombok Barat","authors":"Mohamad Baihaqi","doi":"10.32488/HARMONI.V19I1.431","DOIUrl":"https://doi.org/10.32488/HARMONI.V19I1.431","url":null,"abstract":"Penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Gegerung-Lombok terjadi pada 2005-2006 dan 2010. Pada tahun itu kontestasi pemilihan kepala desa bakal dilaksanakan. Beberapa bulan menjelang pemilihan kepala desa, salah satu tokoh agama kerap menyampaikan ceramah yang bernada provokatif. Belakangan diketahui bahwa tokoh agama tersebut berafiliasi dengan salah satu kontestan calon kepala desa. Penelitian ini mengungkapkan bahwa konflik dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Gegerung terjadi secara instrumental yang disebabkan oleh adanya kepentingan politik tokoh agama dan salah satu kandidat dalam pemilihan kepala desa setempat. Sekaligus menunjukkan bahwa konflik dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah tidak hanya disebabkan oleh faktor perbedaan keyakinan antara Jemaat Ahmadiyah dan warga Desa Gegerung-Lombok Barat. Bukan pula terjadi semata karena adanya fatwa MUI dan peraturan diskriminatif bupati Lombok Barat. Keduanya tidak berhubungan secara langsung sebagai pemicu konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan terhadap Ahmadiyah di Desa Gegerung justru terjadi karena adanya campur tangan politisi dan tokoh agama di yang menjadikan perbedaan sebagai komoditas politik.[The attack on the Jemaah Ahmadiyah in Gegerung-Lombok occurred in 2005-2006 and 2010 in conjunction with the contestation for the headman election. A few months before the village headman election, one of the religious leaders often delivered provocative lectures. It was later discovered that this religious figure was affiliated with one of the village head candidate contestants. This research focuses on whether there is a relationship between the political situation in Gegerung Village and the presence of the Jemaah Ahmadiyah? Does this relationship have a correlation with conflict and violence? Using the descriptive analysis method, this research aims to reveal the relationship between the potential situation of Gegerung Village and the existence of the Jemaah Ahmadiyah and its correlation with conflict and violence. The results showed that the conflict and violence against the Jemaah Ahmadiyah in Gegerung occurred instrumentally due to the political interests of religious leaders and one of the candidates in the local village head election. In addition, the researcher also found that the conflict and violence against the Jemaah Ahmadiyah was not only caused by factors of differences in beliefs between the Ahmadiyah congregation and residents of Gegerung Village-West Lombok, nor was it simply due to the MUI fatwa and the discriminatory regulations of the West Lombok Regent. Both are not directly related as triggers of conflict and violence. The conflict and violence against Ahmadiyah in Gegerung Village actually occurred because of the interference of politicians and religious figures who made differences as a political commodity.]","PeriodicalId":435834,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Islam Interdisipliner","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-10-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128921457","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}