Pub Date : 2019-03-05DOI: 10.14421/REJUSTA.2019.1501-01
Indo Santalia, Syamsul Arif Galib
Radicalism is a complex problem. By that, a holistic approach is needed to overcome this issue. Every element of society and the state are morally responsible to support the process of deradicalization and strengthening the spirit of togetherness as a nation. This paper tries to explain how Religious Studies can be a study program that is expected to be able to support and actively involved in preventing young people engage with radicalism. All this time, radicalism has been understood to arise because of exclusives religious attitudes. On the contrary, religious studies is a place that leads students to get out of the trap of religious exclusivity. Religious Studies is an incubator where the spirit of religious inclusiveness is built. The attempts to counter radicalism can be one of the works for religious studies majors, especially the Religious Studies of Alauddin State Islamic University, Makassar. The religious study program must be at the forefront of campaigning religious inclusivity, anti-religious radicalism and also initiating a spirit of tolerance between religions.
{"title":"PRODI STUDI AGAMA-AGAMA SEBAGAI PELOPOR INKLUSIFITAS BERAGAMA: REFLEKSI PENGALAMAN PRODI STUDI AGAMA-AGAMA UIN ALAUDDIN MAKASSAR","authors":"Indo Santalia, Syamsul Arif Galib","doi":"10.14421/REJUSTA.2019.1501-01","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2019.1501-01","url":null,"abstract":"Radicalism is a complex problem. By that, a holistic approach is needed to overcome this issue. Every element of society and the state are morally responsible to support the process of deradicalization and strengthening the spirit of togetherness as a nation. This paper tries to explain how Religious Studies can be a study program that is expected to be able to support and actively involved in preventing young people engage with radicalism. All this time, radicalism has been understood to arise because of exclusives religious attitudes. On the contrary, religious studies is a place that leads students to get out of the trap of religious exclusivity. Religious Studies is an incubator where the spirit of religious inclusiveness is built. The attempts to counter radicalism can be one of the works for religious studies majors, especially the Religious Studies of Alauddin State Islamic University, Makassar. The religious study program must be at the forefront of campaigning religious inclusivity, anti-religious radicalism and also initiating a spirit of tolerance between religions.","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46501983","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-01-21DOI: 10.14421/REJUSTA.2018.1402-07
Kurnia Sari Wiwaha dan Syamsul Hadi Untung
Wanita merupakan sebuah pembahasan yang tidak pernah jauh dari perdebatan ketika masalah ini diangkat kepada sebuah pembahasan. Hampir setiap agama memiliki pemandangan yang berbeda pada pendapatnya tentang wanita baik itu agama sama>wiy ataupu wadh’iy, masing-masing memiliki penilaian yang berbeda akan kedudukan wanita. Untuk itu, dalam makalah yang sederhana ini akan dipaparkan pandangan beberapa agama tentang kedudukan wanita khususnya agama Hindu. Dari kajiannya tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu, penulis menemukan adanya kesenjangan dari apa yang diterangkan oleh agama dengan kenyataannya di lingkungan. Dalam agama Hindu, wanita mendapatkan kedudukan yang mulia, karena diawal kejadiannya wanita tercipta dari sakti Brahma dan juga mereka lah ibu yang telah melahirkan anak-anak, mengasuhnya serta mereka lah kunci dari kehidupan di masa mendatang. Akan tetapi untuk segi sosial, kedudukan mereka tetap didominasi oleh pria karena mereka meyakini bahwasanya pria lah pewaris ajaran-ajaran agama, dan kemulian yang dimiliki wanita hanya berupa kemampuan mereka yang dapat melahirkan anak laki-laki. Adapun bagi mereka yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki, maka tidak ada kemulian yang diberikan kepada mereka. Mereka hanyalah sebagai makhluk yang tak bernilai. Pandangan ini sangat berbeda jauh dengan kenyataannya yang terdapat pada agama Islam setelah Islam datang maka wanita mendapatkan haknya. Tidak ada siapa yang lebih tinggi dan siapa yang lebih rendah mereka semua sama hanya ketakwaan yang membedakan mereka.
{"title":"مكانة المرأة في الديانة الهندوسية والإسلام","authors":"Kurnia Sari Wiwaha dan Syamsul Hadi Untung","doi":"10.14421/REJUSTA.2018.1402-07","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2018.1402-07","url":null,"abstract":"Wanita merupakan sebuah pembahasan yang tidak pernah jauh dari perdebatan ketika masalah ini diangkat kepada sebuah pembahasan. Hampir setiap agama memiliki pemandangan yang berbeda pada pendapatnya tentang wanita baik itu agama sama>wiy ataupu wadh’iy, masing-masing memiliki penilaian yang berbeda akan kedudukan wanita. Untuk itu, dalam makalah yang sederhana ini akan dipaparkan pandangan beberapa agama tentang kedudukan wanita khususnya agama Hindu. Dari kajiannya tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu, penulis menemukan adanya kesenjangan dari apa yang diterangkan oleh agama dengan kenyataannya di lingkungan. Dalam agama Hindu, wanita mendapatkan kedudukan yang mulia, karena diawal kejadiannya wanita tercipta dari sakti Brahma dan juga mereka lah ibu yang telah melahirkan anak-anak, mengasuhnya serta mereka lah kunci dari kehidupan di masa mendatang. Akan tetapi untuk segi sosial, kedudukan mereka tetap didominasi oleh pria karena mereka meyakini bahwasanya pria lah pewaris ajaran-ajaran agama, dan kemulian yang dimiliki wanita hanya berupa kemampuan mereka yang dapat melahirkan anak laki-laki. Adapun bagi mereka yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki, maka tidak ada kemulian yang diberikan kepada mereka. Mereka hanyalah sebagai makhluk yang tak bernilai. Pandangan ini sangat berbeda jauh dengan kenyataannya yang terdapat pada agama Islam setelah Islam datang maka wanita mendapatkan haknya. Tidak ada siapa yang lebih tinggi dan siapa yang lebih rendah mereka semua sama hanya ketakwaan yang membedakan mereka.","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49205613","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-01-16DOI: 10.14421/REJUSTA.2018.1402-05
Y. Yahya, Linda Sari Haryani
AbstractThis article will discuss Christian rights in the Middle East as a minority. With their number not more than 10% of the total population of the Middle East. The little existence of Christianity means nothing. Historically, Christianity in the Middle East emerged several centuries before Islam was born. Therefore, they have an emotional connection and bond with this region. On the other hand, Jesus and His followers first settled in the region of Nazareth, which is currently located in the Middle East. Through Albert Hourani's glasses, the author tries to photograph the lives of Christians in the Middle East. One of the portraits taken is the number of churches that are one of the real symbols of the existence and recognition of minority rights in the Middle East. In this discussion, the churches that became the object were churches in Jerusalem, Syria, Egypt, Lebanon, Iraq, Turkey, and Jordan who were members of the Middle East Council of Churches (MECC). This study found that Christians in the Middle East still have rights as a minority. The ups and downs faced by Christians in the Middle East did not dampen the enthusiasm and the number of Christians survived under the domination of Islam.Keywords: Christian, Middle East, Minority Right, Church, Social Status.AbstrakArtikel ini akan membahas tentang hak-hak Kristen di Timur Tengah selaku minoritas. Dengan jumlah mereka yang tidak sampai 10% dari keseluruhan penduduk Timur Tengah. Eksistensi Kristen yang sedikit tidak berarti tidak ada. Secara historis, Kristen di Timur Tengah muncul beberapa abad sebelum Islam lahir. Karenanya, mereka memiliki hubungan dan ikatan emosional dengan kawasan ini. Di sisi lain, Yesus dan para pengikutNya yang pertama bermukim di kawasan Nazaret, yang saat ini terletak di Timur Tengah. Melalui kacamata Albert Hourani, penulis mencoba memotret kehidupan umat Kristen di Timur Tengah. Salah satu potret yang diambil adalah jumlah Gereja yang menjadi salah satu simbol nyata keberadaan dan pengakuan hak-hak minoritas di Timur Tengah. Dalam pembahasan ini, gereja-gereja yang menjadi objek adalah gereja-gereja di Yerussalem, Syria, Mesir, Lebanon, Iraq, Turki, dan Yordania yang tergabung dalam Middle East Council of Churches (MECC). Penelitian ini menemukan bahwa Umat Kristen di Timur Tengah masih memiliki hak sebagai minoritas. Pasang surut gelombang yang dihadapi umat Kristen di Timur Tengah tidak menyurutkan semangat dan jumlah umat Kristen bertahan di bawah dominasi agama Islam.Kata Kunci: Kristen, Timur Tengah, Hak Minoritas, Gereja, Status Sosial
摘要本文将讨论作为少数民族的基督徒在中东的权利问题。他们的人数不超过中东总人口的10%。基督教的小小存在毫无意义。从历史上看,中东的基督教比伊斯兰教早出现好几个世纪。因此,他们与这个区域有情感联系和纽带。另一方面,耶稣和他的追随者首先定居在拿撒勒地区,现在位于中东。通过Albert Hourani的眼镜,作者试图拍摄中东基督徒的生活。其中一幅肖像是教堂的数量,这是中东少数民族权利存在和认可的真正象征之一。在这次讨论中,成为对象的教会是耶路撒冷,叙利亚,埃及,黎巴嫩,伊拉克,土耳其和约旦的教会,他们是中东教会理事会(MECC)的成员。这项研究发现,中东地区的基督徒作为少数群体仍然拥有权利。基督徒在中东所面临的起起落落并没有挫伤他们的热情,在伊斯兰教统治下幸存下来的基督徒人数也没有减少。关键词:基督教,中东,少数民族权利,教会,社会地位。[摘要]阿提克尼阿坎族的成员有一群少数民族。Dengan jumlah mereka yang tidak sampai 10% dari keseluruhan penduduk Timur Tengah。Eksistensi Kristen yang sedikit tidak berarti tiak ada。历史学家,Kristen di Timur Tengah muncul beberapa abad sebelum Islam lair。我爱你,我爱你,我爱你。disisi lain, Yesus dan para pengikutya yang pertama bermukim Di kawasan Nazaret, yang saat ini terletak Di Timur Tengah。Melalui kacamata Albert Hourani, penulis mencoba memotret kehidupan umat Kristen di Timur Tengah。Salah satu potret yang diambil adalah jumlah Gereja yang menjadi Salah satu符号nyata keberadaan dan pengakuan hak-hak少数民族di Timur Tengah。Dalam pembahasan ini, gereja-gereja yang menjadi objek adalah gereja-gereja di jerusalem, Syria, Mesir, Lebanon, Iraq, Turki, dan Yordania yang tergabung Dalam中东教会理事会(MECC)。Penelitian ini menemukan bahwa Umat Kristen di Timur Tengah masih memiliki hak sebagai少数民族。我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿。Kata Kunci: Kristen, Timur Tengah, Hak Minoritas, Gereja, Status social
{"title":"HAK MINORITAS KRISTEN DI TENGAH MASYARAKAT TIMUR TENGAH: STATUS SOSIAL DAN KEBIJAKAN GEREJA","authors":"Y. Yahya, Linda Sari Haryani","doi":"10.14421/REJUSTA.2018.1402-05","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2018.1402-05","url":null,"abstract":"AbstractThis article will discuss Christian rights in the Middle East as a minority. With their number not more than 10% of the total population of the Middle East. The little existence of Christianity means nothing. Historically, Christianity in the Middle East emerged several centuries before Islam was born. Therefore, they have an emotional connection and bond with this region. On the other hand, Jesus and His followers first settled in the region of Nazareth, which is currently located in the Middle East. Through Albert Hourani's glasses, the author tries to photograph the lives of Christians in the Middle East. One of the portraits taken is the number of churches that are one of the real symbols of the existence and recognition of minority rights in the Middle East. In this discussion, the churches that became the object were churches in Jerusalem, Syria, Egypt, Lebanon, Iraq, Turkey, and Jordan who were members of the Middle East Council of Churches (MECC). This study found that Christians in the Middle East still have rights as a minority. The ups and downs faced by Christians in the Middle East did not dampen the enthusiasm and the number of Christians survived under the domination of Islam.Keywords: Christian, Middle East, Minority Right, Church, Social Status.AbstrakArtikel ini akan membahas tentang hak-hak Kristen di Timur Tengah selaku minoritas. Dengan jumlah mereka yang tidak sampai 10% dari keseluruhan penduduk Timur Tengah. Eksistensi Kristen yang sedikit tidak berarti tidak ada. Secara historis, Kristen di Timur Tengah muncul beberapa abad sebelum Islam lahir. Karenanya, mereka memiliki hubungan dan ikatan emosional dengan kawasan ini. Di sisi lain, Yesus dan para pengikutNya yang pertama bermukim di kawasan Nazaret, yang saat ini terletak di Timur Tengah. Melalui kacamata Albert Hourani, penulis mencoba memotret kehidupan umat Kristen di Timur Tengah. Salah satu potret yang diambil adalah jumlah Gereja yang menjadi salah satu simbol nyata keberadaan dan pengakuan hak-hak minoritas di Timur Tengah. Dalam pembahasan ini, gereja-gereja yang menjadi objek adalah gereja-gereja di Yerussalem, Syria, Mesir, Lebanon, Iraq, Turki, dan Yordania yang tergabung dalam Middle East Council of Churches (MECC). Penelitian ini menemukan bahwa Umat Kristen di Timur Tengah masih memiliki hak sebagai minoritas. Pasang surut gelombang yang dihadapi umat Kristen di Timur Tengah tidak menyurutkan semangat dan jumlah umat Kristen bertahan di bawah dominasi agama Islam.Kata Kunci: Kristen, Timur Tengah, Hak Minoritas, Gereja, Status Sosial ","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46834235","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-01-10DOI: 10.14421/rejusta.2018.%x
Ustadi Hamsah
Kajian mengenai hubungan antar agama merupakan kajian yang terus akan menjadi topik yang strategis. Hal ini disebabkan oleh karena fenomena agama merupakan sesuatu yang selalu lekat dengan dinamika kehidupan manusia kapan pun dan di mana pun. Kemudian, persoalan agama juga merupakan sesuatu yang menyangkut kesadaran dan penghayatan emosional manusia. Ketika manusia dengan sistem keyakinan satu harus berhadapan dengan sistem keyakinan lainnya akan terhambat oleh persoalan penghayatan yang berbeda. Persoalan-persoalan relasi antar agama akan muncul ketika perbedaan itu terus ada. Artikel ini mencoba menguraikan persoalan itu dengan menghubungkan dengan konsep positive action (müsbet hareket) dari pemikiran Said Nursi. Kait kelindan antara konsep positive action dan relasi antar agama dianalisis dengan mengaplikasikan teori hierarchy of needs Abraham Maslow. Dari analisis tersebut dapat dikemukakan hasil bahwa positive action merupakan basis utama dalam menjalin relasi sistem keyakinan yang berbeda dan beragam. Hal tersebut merupakan sebuah kesadaran dan penghayatan tertinggi dalam beragama khususnya ketika menjalin relasi dengan sistem keyakinan lain. Dalam model analisis dengan menggunakan teori hierarchy of needs hal itu merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan tertinggi, yakni self actualisation, dan merupakan peak experience.
{"title":"MÜSBET HAREKET DALAM RELASI ANTAR AGAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF TEORI HIRARKHI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW","authors":"Ustadi Hamsah","doi":"10.14421/rejusta.2018.%x","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/rejusta.2018.%x","url":null,"abstract":"Kajian mengenai hubungan antar agama merupakan kajian yang terus akan menjadi topik yang strategis. Hal ini disebabkan oleh karena fenomena agama merupakan sesuatu yang selalu lekat dengan dinamika kehidupan manusia kapan pun dan di mana pun. Kemudian, persoalan agama juga merupakan sesuatu yang menyangkut kesadaran dan penghayatan emosional manusia. Ketika manusia dengan sistem keyakinan satu harus berhadapan dengan sistem keyakinan lainnya akan terhambat oleh persoalan penghayatan yang berbeda. Persoalan-persoalan relasi antar agama akan muncul ketika perbedaan itu terus ada. Artikel ini mencoba menguraikan persoalan itu dengan menghubungkan dengan konsep positive action (müsbet hareket) dari pemikiran Said Nursi. Kait kelindan antara konsep positive action dan relasi antar agama dianalisis dengan mengaplikasikan teori hierarchy of needs Abraham Maslow. Dari analisis tersebut dapat dikemukakan hasil bahwa positive action merupakan basis utama dalam menjalin relasi sistem keyakinan yang berbeda dan beragam. Hal tersebut merupakan sebuah kesadaran dan penghayatan tertinggi dalam beragama khususnya ketika menjalin relasi dengan sistem keyakinan lain. Dalam model analisis dengan menggunakan teori hierarchy of needs hal itu merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan tertinggi, yakni self actualisation, dan merupakan peak experience.","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46228733","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-01-07DOI: 10.14421/REJUSTA.2018.1402-02
Muflikhatun Afrianti
This study examines the mythology of Izanami Goddess and Izanagi God in Japanese Shinto religion and representations of Izanami Goddess and Izanagi God in the film Noragami Aragoto Adachitoka’s creation directed by Kotaro Tamura. This study is important because the story of Izanami Goddess and Izanagi God has never been adopted in modern scientific literature even though it has been listed in several anime in Japan. The research data was collected through documentation on the Kojiki and Nihonsoki books as well as capturing scenes of Noragami Aragoto films. Then analyzed using Christian Metz's language cinematography theory and Rudolf Otto's sacred theory. The results showed that firstly, based on the phenomenological perspective and sacrity from Rudolf Otto, Izanami Goddess and Izanagi God in Japanese Shinto mythology were the ancestors of the Mother and Father of the Gods and divine beings and played an active role in the creation of islands in Japan along with its contents. Secondly, in the Noragami Aragoto film, the perspective of cinematographic language Christian Metz, Izanami Goddess and Izanagi God are represented as mysteries of Father and Mother of Ebisu God (Hiruko) and Yaboku God (Awashima or Aha) with backgrounds that are very different from each other.Key Words: mythology, Shinto, Izanami, Izanagi, cinematographic language, and sacred.
{"title":"DEWI IZANAMI DAN DEWA IZANAGI DALAM AGAMA SHINTO JEPANG (STUDI SEMIOTIK DALAM FILM NORAGAMI ARAGOTO)","authors":"Muflikhatun Afrianti","doi":"10.14421/REJUSTA.2018.1402-02","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2018.1402-02","url":null,"abstract":"This study examines the mythology of Izanami Goddess and Izanagi God in Japanese Shinto religion and representations of Izanami Goddess and Izanagi God in the film Noragami Aragoto Adachitoka’s creation directed by Kotaro Tamura. This study is important because the story of Izanami Goddess and Izanagi God has never been adopted in modern scientific literature even though it has been listed in several anime in Japan. The research data was collected through documentation on the Kojiki and Nihonsoki books as well as capturing scenes of Noragami Aragoto films. Then analyzed using Christian Metz's language cinematography theory and Rudolf Otto's sacred theory. The results showed that firstly, based on the phenomenological perspective and sacrity from Rudolf Otto, Izanami Goddess and Izanagi God in Japanese Shinto mythology were the ancestors of the Mother and Father of the Gods and divine beings and played an active role in the creation of islands in Japan along with its contents. Secondly, in the Noragami Aragoto film, the perspective of cinematographic language Christian Metz, Izanami Goddess and Izanagi God are represented as mysteries of Father and Mother of Ebisu God (Hiruko) and Yaboku God (Awashima or Aha) with backgrounds that are very different from each other.Key Words: mythology, Shinto, Izanami, Izanagi, cinematographic language, and sacred.","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48766665","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-01-07DOI: 10.14421/REJUSTA.2018.1402-03
Miftakhul Hidayati
Dialog merupakan suatu tindakan yang mendasar dalam sebuah interaksi yaitu dengan cara berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain bertemu dengan sesama. Dialog juga inti dasar dalam keutuhan NKRI, dasar dari keimanan, dari cerita ke cerita bahkan dapat terbentuk dalam kitab suci. Dalam hubungan antaragama tidak lepas dari dialog, karena sangatlah penting agar kita bisa saling membuka diri bahkan dialog adalah hal yang sangat wajib, sebab tanpa dialog kita tidak akan menemukan jalan keluar. Menurut orang katolik dialog ada dua inter religion yaitu non doktrin dan kebudayaan supaya dapat mengerti inti dari budaya. Perjumpaan dialog juga adanya hambatan hambatan yang terjadi, masih adanya pemikiran yang sangat sempit dan susah untuk terbuka dan solusi menghadapi hambatan-hambatan tersebut menggunakan hati. Tulisan memrupakan hasil riset lapangan atau riset kualitatif dengan menggunakan metode wawancara sebagai cara untuk memperoleh data di lapangan, focus objek kajian adalah komisi hubungan antar agama gereja Katolik. Dalam dialog adanya tiga tipe dalam beragam ekskulisf, inklusif, dan pluralis. Adapun dalam bentuk dalam membangun hubungan dialog antaragama terbentuklah sebuah komisi dalam gereja yang terdapat dalam dokumen konsili vatikan II sebagai landasan atau dasar dalam suatu komisi dan dipimpin oleh paus yang sebagai orang paling tinggi diturunkan kepada keuskupan. Keuskupan sendiri terbagi menjadi dua uskup lokal dan uskup metropolitan. Adapun beberapa kegiatan dalam komisi antara lain hubungan antar keagamaan, kerasulan awam, dan sosial.Kata Kunci: Komisi Hubungan Antar Umat Beragama, Dialog
{"title":"PERAN KOMISI HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA GEREJA KATOLIK DALAM MEMBANGUN DIALOG","authors":"Miftakhul Hidayati","doi":"10.14421/REJUSTA.2018.1402-03","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2018.1402-03","url":null,"abstract":"Dialog merupakan suatu tindakan yang mendasar dalam sebuah interaksi yaitu dengan cara berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain bertemu dengan sesama. Dialog juga inti dasar dalam keutuhan NKRI, dasar dari keimanan, dari cerita ke cerita bahkan dapat terbentuk dalam kitab suci. Dalam hubungan antaragama tidak lepas dari dialog, karena sangatlah penting agar kita bisa saling membuka diri bahkan dialog adalah hal yang sangat wajib, sebab tanpa dialog kita tidak akan menemukan jalan keluar. Menurut orang katolik dialog ada dua inter religion yaitu non doktrin dan kebudayaan supaya dapat mengerti inti dari budaya. Perjumpaan dialog juga adanya hambatan hambatan yang terjadi, masih adanya pemikiran yang sangat sempit dan susah untuk terbuka dan solusi menghadapi hambatan-hambatan tersebut menggunakan hati. Tulisan memrupakan hasil riset lapangan atau riset kualitatif dengan menggunakan metode wawancara sebagai cara untuk memperoleh data di lapangan, focus objek kajian adalah komisi hubungan antar agama gereja Katolik. Dalam dialog adanya tiga tipe dalam beragam ekskulisf, inklusif, dan pluralis. Adapun dalam bentuk dalam membangun hubungan dialog antaragama terbentuklah sebuah komisi dalam gereja yang terdapat dalam dokumen konsili vatikan II sebagai landasan atau dasar dalam suatu komisi dan dipimpin oleh paus yang sebagai orang paling tinggi diturunkan kepada keuskupan. Keuskupan sendiri terbagi menjadi dua uskup lokal dan uskup metropolitan. Adapun beberapa kegiatan dalam komisi antara lain hubungan antar keagamaan, kerasulan awam, dan sosial.Kata Kunci: Komisi Hubungan Antar Umat Beragama, Dialog","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":"393 3","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41281286","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-11-28DOI: 10.14421/REJUSTA.2018.1401-07
Lailatis Syarifah
AbstractThis research aims to find out strategies that can be used to accelerate the pace of economic development in Gunungwungkal sub-district, by referring to physical, environmental, social and local wisdom conditions in Gunungwungkal in 2015. The result is that Gunungwungkal is a plateau with good physical conditions for agriculture and livestock but is constrained by the addition of added value in the production of goods. The number of residents of the productive age is more than the age of being unproductive, but the educational facilities are not sufficient, so other institutions such as training centers are needed. There is tourism potential such as Grojogan Sewu waterfall and monastery, but the infrastructure does not support it. Therefore, the right strategy to accelerate the development of the Gunungwungkal area is to increase the ability and knowledge of the population in order to provide added value to the production results and improve infrastructure, and this cannot be done except with good cooperation between the government and the community.
{"title":"STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI KECAMATAN GUNUNG WUNGKAL","authors":"Lailatis Syarifah","doi":"10.14421/REJUSTA.2018.1401-07","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2018.1401-07","url":null,"abstract":"AbstractThis research aims to find out strategies that can be used to accelerate the pace of economic development in Gunungwungkal sub-district, by referring to physical, environmental, social and local wisdom conditions in Gunungwungkal in 2015. The result is that Gunungwungkal is a plateau with good physical conditions for agriculture and livestock but is constrained by the addition of added value in the production of goods. The number of residents of the productive age is more than the age of being unproductive, but the educational facilities are not sufficient, so other institutions such as training centers are needed. There is tourism potential such as Grojogan Sewu waterfall and monastery, but the infrastructure does not support it. Therefore, the right strategy to accelerate the development of the Gunungwungkal area is to increase the ability and knowledge of the population in order to provide added value to the production results and improve infrastructure, and this cannot be done except with good cooperation between the government and the community.","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44431019","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-11-28DOI: 10.14421/REJUSTA.2018.1402-01
L. Sari
AbstrakAgama kristen merupakan salah satu agama samawi yang memiliki simbol keagamaan yang bermacam-macam yang digunakan dalam ritual keagamaan. Salah satu simbol yang memiliki peranan penting dalam ritual keagamaan mereka adalah simbol salib. Simbol salib sangat berarti bagi kehidupan umat kristiani dan dapat dikatakan sebgai simbol identitas bagi agama kristen. Namun pada dasarnya simbol salib ini telah muncul berabad-abad lalu sebelum munculnya agama kristen. Beranjak dari latar belakang diatas maka peneliti akan membahas tentang sejarah digunakannya simbol salib sebagai simbol keagamaan umat kristen, macam-macam simbol salib, dan pemaknaan dari simbol salib dalam agama kristen. Dan untuk mencapai tujuan dari pembahasan ini penulis menggunakan studi literasi menggunakan metode deskriptif untuk memaparkan pemahaman, pemikiran serta pendapat umat Kristiani tentang sejarah, bentuk dan makna simbol salib dalam agama kristen. Bentuk-bentuk salib yang dikenal dalam agama kristen bermacam-macam, beberapa diantaranya yakni salib Tao, Ichthyus, alpha omega. Umat Kristiani tidak memandang Salib dalam bentuk materi tetapi melihat dari segi simbolis yang terdapat dalam Salib. Sumber dari Salib tersebut adalah penyaliban Yesus, karna dari penyaliban tersebut dikenallah bentuk Salib ini. Makna yang terkandung dalam simbol salib adalah bahwa simbol salib mengingatkan akan pengorbanan yesus untuk dapat menyelamatkan mereka dari dosa-dosa.
{"title":"SIMBOL SALIB DALAM AGAMA KRISTEN","authors":"L. Sari","doi":"10.14421/REJUSTA.2018.1402-01","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2018.1402-01","url":null,"abstract":"AbstrakAgama kristen merupakan salah satu agama samawi yang memiliki simbol keagamaan yang bermacam-macam yang digunakan dalam ritual keagamaan. Salah satu simbol yang memiliki peranan penting dalam ritual keagamaan mereka adalah simbol salib. Simbol salib sangat berarti bagi kehidupan umat kristiani dan dapat dikatakan sebgai simbol identitas bagi agama kristen. Namun pada dasarnya simbol salib ini telah muncul berabad-abad lalu sebelum munculnya agama kristen. Beranjak dari latar belakang diatas maka peneliti akan membahas tentang sejarah digunakannya simbol salib sebagai simbol keagamaan umat kristen, macam-macam simbol salib, dan pemaknaan dari simbol salib dalam agama kristen. Dan untuk mencapai tujuan dari pembahasan ini penulis menggunakan studi literasi menggunakan metode deskriptif untuk memaparkan pemahaman, pemikiran serta pendapat umat Kristiani tentang sejarah, bentuk dan makna simbol salib dalam agama kristen. Bentuk-bentuk salib yang dikenal dalam agama kristen bermacam-macam, beberapa diantaranya yakni salib Tao, Ichthyus, alpha omega. Umat Kristiani tidak memandang Salib dalam bentuk materi tetapi melihat dari segi simbolis yang terdapat dalam Salib. Sumber dari Salib tersebut adalah penyaliban Yesus, karna dari penyaliban tersebut dikenallah bentuk Salib ini. Makna yang terkandung dalam simbol salib adalah bahwa simbol salib mengingatkan akan pengorbanan yesus untuk dapat menyelamatkan mereka dari dosa-dosa.","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47773637","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-10-24DOI: 10.14421/REJUSTA.2018.1401-05
Merliana Puji Rahayu
Artikel ini membahas tentang perubahan keberagamaan mahasiswa alumni pondok pesantren, baik perubahan konversi agama maupun apostasi agama. Diskusi artikel ini berdasarkan temuan peneliti atas perubahan keberagamaan mahasiswa alumni pondok pesantren Gontor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ini sangat menarik ketika perubahan keberagamaan yang dialami oleh para mahasiswa alumni pondok pesantren Gontor, penulis menemukan ada 2 sisi, yaitu konversi agama (peningkatan religiusitas) dan apostasi agama (penurunan religiusitas). Pada perubahan itu terjadi dengan adanya proses perubahan yang dialami oleh para mahasiswa alumni pondok pesantren. Bukan hanya itu saja, banyak faktor yang mempengaruhi adanya perubahan keberagamaan, diantaranya faktor lingkungan, pertemanan, ekonomi, dan individu. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi mahasiswa Gorduka dari segi positif maupun negatif. Hingga mahasiswa Gorduka mengalami dua jenis perubahan keberagamaan yaitu konversi agama dan apostasi agama. Perubahan yang terjadi pada dasarnya kembali pada setiap masing-masing individu, maka adanya ketegasan dalam bersikap harus dapat diterapkan, agar tidak terlampau jauh mengalami perubahan kearah yang negatif. Mengingat Allah SWT dan perasaan dalam hati seseoranglah yang harus diperhatikan. Agar kehidupan yang dijalani menjadi tenang, damai, dan tentram.
{"title":"KEBERAGAMAAN MAHASISWA ALUMNI PONDOK PESANTREN Studi atas Konversi dan Apostasi Agama Mahasiswa Alumni Gontor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Gorduka)","authors":"Merliana Puji Rahayu","doi":"10.14421/REJUSTA.2018.1401-05","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2018.1401-05","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas tentang perubahan keberagamaan mahasiswa alumni pondok pesantren, baik perubahan konversi agama maupun apostasi agama. Diskusi artikel ini berdasarkan temuan peneliti atas perubahan keberagamaan mahasiswa alumni pondok pesantren Gontor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ini sangat menarik ketika perubahan keberagamaan yang dialami oleh para mahasiswa alumni pondok pesantren Gontor, penulis menemukan ada 2 sisi, yaitu konversi agama (peningkatan religiusitas) dan apostasi agama (penurunan religiusitas). Pada perubahan itu terjadi dengan adanya proses perubahan yang dialami oleh para mahasiswa alumni pondok pesantren. Bukan hanya itu saja, banyak faktor yang mempengaruhi adanya perubahan keberagamaan, diantaranya faktor lingkungan, pertemanan, ekonomi, dan individu. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi mahasiswa Gorduka dari segi positif maupun negatif. Hingga mahasiswa Gorduka mengalami dua jenis perubahan keberagamaan yaitu konversi agama dan apostasi agama. Perubahan yang terjadi pada dasarnya kembali pada setiap masing-masing individu, maka adanya ketegasan dalam bersikap harus dapat diterapkan, agar tidak terlampau jauh mengalami perubahan kearah yang negatif. Mengingat Allah SWT dan perasaan dalam hati seseoranglah yang harus diperhatikan. Agar kehidupan yang dijalani menjadi tenang, damai, dan tentram.","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42086352","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-10-24DOI: 10.14421/REJUSTA.2018.1401-06
alvista fitri ningsih
Adapun judul tulisan ini adalah Orientasi Agama para Samanera dan Atthasilani di Vihara Dhammadipa Arama, Mojorejo, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti motif yang mendorong dan tahapan menjadi Samanera, Atthasilani melalui pendekatan psikologi agama menggunakan metode analisis Gordon W. Allport tentang orientasi intrinsik, ekstrinsik dan teori pendukung yaitu motivasi menjadi Samanera dan Atthasilani dalam pandangan agama Buddha serta Lawrence Kohlberg tentang tahapan perkembangan moral.Jenis penelitian penulis menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian lapangan. Untuk metode pengumpulan data penulis yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dari segi pengumpulan data, penulis melakukan observasi dengan mengamati gejala yang ada dalam objek penelitian serta wawancara dengan Bhikkhu Khanthidaro selaku Kepala Vihara Dhammadipa Arama, Bhikkhu Santacito, Samanera, Atthasilani, dan dokumentasi berupa buku-buku yang terkait dengan penelitian. Sedangkan pengolahan data penulis menggunakan analisis data yaitu dengan metode deskriptif.Data yang dianalisis adalah orientasi agama bagi Samanera dan Atthasilani. Hasil penelitian menunjukkan dua hal. Pertama, motif yang mendorong menjadi Samanera dan Atthasilani yaitu berasal dari kesadaran diri dan didorong dari keluarga, saudara, Guru, teman yang membuat semakin yakin menjalani kehidupan Samanera serta Atthasilani. Kedua, tahapan menjadi Samanera dan Atthasilani melalui tes yang diuji Bhikkhu dengan menghafal beberapa sila, lalu ditahbis menjadi Samanera dan Atthasilani dengan melalui prosesi cukur rambut dan pemakaian jubah. Pada saat menjalani kehidupan Samanera dan Atthasilani diberi penilaian dalam menerapkan 10 sila bagi Samanera ditambah 75 latihan tambahan dan 8 sila bagi Atthasilani untuk konsisten sampai lulus ke jenjang Bhikkhu maupun Atthasilani tetap.Kata kunci: Orientasi, agama, Samanera, Atthasilani.
{"title":"Orientasi Agama Para Samanera dan Atthasilani di Vihara Dhammadipa Arama, Mojorejo, Kota Batu, Malang, Jawa Timur","authors":"alvista fitri ningsih","doi":"10.14421/REJUSTA.2018.1401-06","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/REJUSTA.2018.1401-06","url":null,"abstract":"Adapun judul tulisan ini adalah Orientasi Agama para Samanera dan Atthasilani di Vihara Dhammadipa Arama, Mojorejo, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti motif yang mendorong dan tahapan menjadi Samanera, Atthasilani melalui pendekatan psikologi agama menggunakan metode analisis Gordon W. Allport tentang orientasi intrinsik, ekstrinsik dan teori pendukung yaitu motivasi menjadi Samanera dan Atthasilani dalam pandangan agama Buddha serta Lawrence Kohlberg tentang tahapan perkembangan moral.Jenis penelitian penulis menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian lapangan. Untuk metode pengumpulan data penulis yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dari segi pengumpulan data, penulis melakukan observasi dengan mengamati gejala yang ada dalam objek penelitian serta wawancara dengan Bhikkhu Khanthidaro selaku Kepala Vihara Dhammadipa Arama, Bhikkhu Santacito, Samanera, Atthasilani, dan dokumentasi berupa buku-buku yang terkait dengan penelitian. Sedangkan pengolahan data penulis menggunakan analisis data yaitu dengan metode deskriptif.Data yang dianalisis adalah orientasi agama bagi Samanera dan Atthasilani. Hasil penelitian menunjukkan dua hal. Pertama, motif yang mendorong menjadi Samanera dan Atthasilani yaitu berasal dari kesadaran diri dan didorong dari keluarga, saudara, Guru, teman yang membuat semakin yakin menjalani kehidupan Samanera serta Atthasilani. Kedua, tahapan menjadi Samanera dan Atthasilani melalui tes yang diuji Bhikkhu dengan menghafal beberapa sila, lalu ditahbis menjadi Samanera dan Atthasilani dengan melalui prosesi cukur rambut dan pemakaian jubah. Pada saat menjalani kehidupan Samanera dan Atthasilani diberi penilaian dalam menerapkan 10 sila bagi Samanera ditambah 75 latihan tambahan dan 8 sila bagi Atthasilani untuk konsisten sampai lulus ke jenjang Bhikkhu maupun Atthasilani tetap.Kata kunci: Orientasi, agama, Samanera, Atthasilani.","PeriodicalId":52583,"journal":{"name":"Religi Jurnal Studi AgamaAgama","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44038370","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}