Pub Date : 2018-09-14DOI: 10.34010/artic.v2i0.2524
Hendri Saifulhayat
Kujang dikenal dan dianggap sebagai senjata tradisi yang merepresentasikan budaya masyarakat Sunda. Melihat ke belakang, bahwa sebilah pisau merupakan pengembangan dari temuan sisi tajam yang terbentuk atas serpihan batu sejenis kalsedon yang menjadikan manusia menduduki peringkat utama dalam mata rantai makanan di atas muka bumi. Pisau bertransformasi memanjang menjadi pedang, dilontarkan menjadi tombak, bergerigi menjadi gergaji, dihimpitkan dengan sumbu menjadi gunting dan masih banyak fungsi lain yang semakin spesifik menjadi berbagai alat bantu karena tuntutan kebutuhan hidup yang semakin berkembang. Kujang berasal dari kata Kudi Hyang. Kudi secara fungsi merupakan perkakas pertanian yang dipersiapkan untuk menghormati dan memuja Hyang, penguasa tertinggi alam semesta. Konsep perupaan Kujang jauh dari kebutuhan fungsi utilitas sebuah alat bantu ataupun sebilah senjata. Kujang merupakan artefak simbolis yang berfungsi intrinsik, dan bukan senjata, karena perencanaan sejak awal dapat dibedakan dengan membuat senjata. Kemudian Kujang secara bentuk mengikuti fungsi terbukti tidak memenuhi kebutuhan utilitas. Kujang yang diidentikan dengan istilah “nyumput buni dinu caang” atau tersembunyi di tempat yang terlihat / terang, dapat diungkap secara lengkap melalui pisau bedah ajaran budaya Sunda yaitu Panca Niti atau lima tahapan pemahaman. Ajaran ini memberi petunjuk untuk memahami sesuatu secara lebih mendalam, mulai dari arti, makna, alamiah, ketuhanan dan pemahaman secara menyeluruh. Kujang sarat dengan muatan tontonan, tuntunan, ajaran atau edukasi hingga ke-tata-negaraan, dan potensial akan dapat diungkap lebih banyak lagi hal positif dibalik perupaannya.
{"title":"KAJIAN BENTUK DAN SIMBOL KUJANG SUNDA","authors":"Hendri Saifulhayat","doi":"10.34010/artic.v2i0.2524","DOIUrl":"https://doi.org/10.34010/artic.v2i0.2524","url":null,"abstract":"Kujang dikenal dan dianggap sebagai senjata tradisi yang merepresentasikan budaya masyarakat Sunda. Melihat ke belakang, bahwa sebilah pisau merupakan pengembangan dari temuan sisi tajam yang terbentuk atas serpihan batu sejenis kalsedon yang menjadikan manusia menduduki peringkat utama dalam mata rantai makanan di atas muka bumi. Pisau bertransformasi memanjang menjadi pedang, dilontarkan menjadi tombak, bergerigi menjadi gergaji, dihimpitkan dengan sumbu menjadi gunting dan masih banyak fungsi lain yang semakin spesifik menjadi berbagai alat bantu karena tuntutan kebutuhan hidup yang semakin berkembang. Kujang berasal dari kata Kudi Hyang. Kudi secara fungsi merupakan perkakas pertanian yang dipersiapkan untuk menghormati dan memuja Hyang, penguasa tertinggi alam semesta. Konsep perupaan Kujang jauh dari kebutuhan fungsi utilitas sebuah alat bantu ataupun sebilah senjata. Kujang merupakan artefak simbolis yang berfungsi intrinsik, dan bukan senjata, karena perencanaan sejak awal dapat dibedakan dengan membuat senjata. Kemudian Kujang secara bentuk mengikuti fungsi terbukti tidak memenuhi kebutuhan utilitas. Kujang yang diidentikan dengan istilah “nyumput buni dinu caang” atau tersembunyi di tempat yang terlihat / terang, dapat diungkap secara lengkap melalui pisau bedah ajaran budaya Sunda yaitu Panca Niti atau lima tahapan pemahaman. Ajaran ini memberi petunjuk untuk memahami sesuatu secara lebih mendalam, mulai dari arti, makna, alamiah, ketuhanan dan pemahaman secara menyeluruh. Kujang sarat dengan muatan tontonan, tuntunan, ajaran atau edukasi hingga ke-tata-negaraan, dan potensial akan dapat diungkap lebih banyak lagi hal positif dibalik perupaannya.","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"4 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88748095","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-09-14DOI: 10.34010/artic.v2i0.2525
Roseilda Regita
Rumah merupakan cerminan dari sosial kultur zamannya, oleh karena itu banyak hal yang melatar belakangi terjadinya bentuk bangunan rumah adat seperti keadaan alam lingkungan, kebudayaan, sistem kekerabatan, sistem religi, adat istiadat dan pola pemerintah. Penelitian ini berjudul “Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna Ragam Hias Rumah Bolon Simalungun Berdasarkan Tatanan Sosial Budaya Masyarakat Simalungun”. Penelitian ini bertujuan secara umum untuk mengetahui nilai-nilai tradisi bangunan tradisional Simalungun dengan berusaha menggunakan konsepsi dan nilai-nilai budaya Simalungun yang ada secara khusus, seperti mengungkapkan makna yang ada dalam bangunan rumah Bolon Simalungun, mendeskripsikan komponen bangunan rumah Bolon Simalungun, yaitu bagian atap, bagian badan serta bagian bawah bangunan, dan mengidentifikasi corak ragam hias pada bangunan rumah Bolon Simalungun. Penelitian ini menggunakan pendekatan teknik deskriptif kualitatif, dengan alat pengumpulan data dilakukan secara metode dokumentasi, observasi dan wawancara. Analisis data dilakukan terhadap jenis-jenis bangunan ditinjau dari prinsip bentuk, fungsi dan makna ragam hias pada bangunan rumah Bolon Simalungun di Pematang Purba. Penelitian ini dilakukan untuk menggali kembali budaya tradisional Simalungun yang termuat dalam bangunan tradisional yang selama ini dilupakan. Tidak semua dari bagian-bagian bangunan rumah tradisional yang dapat dipahami secara makna adat sebagai gambaran ciri perilaku masyarakat Simalungun. Dalam usaha pelestarian bangunan rumah Bolon Simalungun ini memiliki dampak yang jauh ke masa yang akan datang, yaitu agar setiap orang, baik masyarakat Simalungun, generasi tua atau generasi muda sebagai penerus atau pewaris budaya daerahnya, akan memahami dan mengetahui tentang hasil budaya daerah asalnya.
{"title":"KAJIAN BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA RAGAM HIAS RUMAH BOLON SIMALUNGUN BERDASARKAN TATANAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT SIMALUNGUN","authors":"Roseilda Regita","doi":"10.34010/artic.v2i0.2525","DOIUrl":"https://doi.org/10.34010/artic.v2i0.2525","url":null,"abstract":"Rumah merupakan cerminan dari sosial kultur zamannya, oleh karena itu banyak hal yang melatar belakangi terjadinya bentuk bangunan rumah adat seperti keadaan alam lingkungan, kebudayaan, sistem kekerabatan, sistem religi, adat istiadat dan pola pemerintah. Penelitian ini berjudul “Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna Ragam Hias Rumah Bolon Simalungun Berdasarkan Tatanan Sosial Budaya Masyarakat Simalungun”. Penelitian ini bertujuan secara umum untuk mengetahui nilai-nilai tradisi bangunan tradisional Simalungun dengan berusaha menggunakan konsepsi dan nilai-nilai budaya Simalungun yang ada secara khusus, seperti mengungkapkan makna yang ada dalam bangunan rumah Bolon Simalungun, mendeskripsikan komponen bangunan rumah Bolon Simalungun, yaitu bagian atap, bagian badan serta bagian bawah bangunan, dan mengidentifikasi corak ragam hias pada bangunan rumah Bolon Simalungun. Penelitian ini menggunakan pendekatan teknik deskriptif kualitatif, dengan alat pengumpulan data dilakukan secara metode dokumentasi, observasi dan wawancara. Analisis data dilakukan terhadap jenis-jenis bangunan ditinjau dari prinsip bentuk, fungsi dan makna ragam hias pada bangunan rumah Bolon Simalungun di Pematang Purba. Penelitian ini dilakukan untuk menggali kembali budaya tradisional Simalungun yang termuat dalam bangunan tradisional yang selama ini dilupakan. Tidak semua dari bagian-bagian bangunan rumah tradisional yang dapat dipahami secara makna adat sebagai gambaran ciri perilaku masyarakat Simalungun. Dalam usaha pelestarian bangunan rumah Bolon Simalungun ini memiliki dampak yang jauh ke masa yang akan datang, yaitu agar setiap orang, baik masyarakat Simalungun, generasi tua atau generasi muda sebagai penerus atau pewaris budaya daerahnya, akan memahami dan mengetahui tentang hasil budaya daerah asalnya.","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"48 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"84364893","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-09-14DOI: 10.34010/artic.v2i0.2522
Indah Rosniawati
Setiap seniman belajar berkesenian dari tradisi masyarakatnya. Setiap karya yang merupakan kekayaan tradisi seni suatu masyarakat, pada mulanya merupakan karya kreatif atau karya baru pada jamanya. Kekuatan para seni rupa adalah berfikir dengan bahasa rupa. Bahasa rupa dapat dipakai untuk mengungkap karya-karya seni rupa tradisi. Fokus penelitian ini ditunjukan pada karya lukisan kaca Haryadi, karena unsur-unsur rupa yang dihasilkan cenderung menjadi sangat bebas, namun tetap mengingatkan pada unsur bahasa rupa tradisi. Haryadi menjadi seniman kontemporer sejak ikut penelitian bahasa rupa dengan Primadi Tabrani, sehingga menjadikan Haryadi kontemporer dalam ketradisiannya. Latar belakang Haryadi dalam melukis kaca yaitu salah satunya kecintaanya terhadap karya seni lukis kaca. Secara garis besar, unsur-unsur tradisi lukisan kaca Haryadi pada periode tahun 1989-2011 mengambil unsur tradisi wayang, batik, kebudayaan Cirebon, Cina-Jawa, Islam, Hindu, dan dari unsur bahasa rupanya. Haryadi hanya mengambil bentuk-bentuk visualnya saja untuk dikomposisikan dalam karya-karyanya. Haryadi tidak mengambil sepenuhnya dari unsur-unsur tradisi, melainkan bahasa rupa tradisi.
{"title":"BAHASA RUPA TRADISI DALAM LUKISAN KACA KONTEMPORER KARYA HARYADI SUADI TAHUN 1989-2011","authors":"Indah Rosniawati","doi":"10.34010/artic.v2i0.2522","DOIUrl":"https://doi.org/10.34010/artic.v2i0.2522","url":null,"abstract":"Setiap seniman belajar berkesenian dari tradisi masyarakatnya. Setiap karya yang merupakan kekayaan tradisi seni suatu masyarakat, pada mulanya merupakan karya kreatif atau karya baru pada jamanya. Kekuatan para seni rupa adalah berfikir dengan bahasa rupa. Bahasa rupa dapat dipakai untuk mengungkap karya-karya seni rupa tradisi. Fokus penelitian ini ditunjukan pada karya lukisan kaca Haryadi, karena unsur-unsur rupa yang dihasilkan cenderung menjadi sangat bebas, namun tetap mengingatkan pada unsur bahasa rupa tradisi. Haryadi menjadi seniman kontemporer sejak ikut penelitian bahasa rupa dengan Primadi Tabrani, sehingga menjadikan Haryadi kontemporer dalam ketradisiannya. Latar belakang Haryadi dalam melukis kaca yaitu salah satunya kecintaanya terhadap karya seni lukis kaca. Secara garis besar, unsur-unsur tradisi lukisan kaca Haryadi pada periode tahun 1989-2011 mengambil unsur tradisi wayang, batik, kebudayaan Cirebon, Cina-Jawa, Islam, Hindu, dan dari unsur bahasa rupanya. Haryadi hanya mengambil bentuk-bentuk visualnya saja untuk dikomposisikan dalam karya-karyanya. Haryadi tidak mengambil sepenuhnya dari unsur-unsur tradisi, melainkan bahasa rupa tradisi.","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"90 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"91041988","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-05-03DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
Ceptian Suryana
Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani merupakan sengkalan yang berbentuk naga, yang tedapat di Keraton Yogyakarta. Sengkalan merupakan sistem simbolik pada kebudayaan Jawa yang berfungsi sebagai tanda tahun suatu peristiwa penting. Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani bernilai tahun sama yaitu 1682 Saka (1756 M), yang merupakan waktu dibangunnya Keraton Yogyakarta. Penelitian ini mengkaji tentang makna simbolik dan wujud estetik naga yang terdapat pada bentuk visual sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Makna simbolik diteliti melalui pola dasar masyarakat Jawa yang mempengaruhi masyarakat Jawa dalam membangun artefak. Setelah itu, wujud estetik dianalisis melalui indikator warna, bentuk, ukuran dan proporsi. Berdasarkan analisis, bentuk naga pada ketiga sengkalan tersebut memiliki kesamaan makna satu sama lain, yaitu representasi dari cara berpikir Jawa, sebagai masyarakat ‘sawah’. Dari pola dasar yang tampak pada ornamen hias maupun bentuk dan posisi naga pada sengkalan tersebut, dapat ditemukan hubungan masyarakat Jawa dengan Tuhannya, berupa harapan akan kesuburan dalam pertanian, keselamatan, dan keberkahan dalam hidup. Jika ditinjau dari bentuknya secara keseluruhan, bentuk naga pada tiga sengkalan ini juga memiliki kesamaan pada bagian bentuk hiasan kepala, bentuk kepala dan bentuk tubuh.
{"title":"MAKNA SIMBOLIK DAN WUJUD ESTETIK NAGA DALAM KEBUDAYAAN JAWA","authors":"Ceptian Suryana","doi":"10.34010/artic.2018.2.2526.83-91","DOIUrl":"https://doi.org/10.34010/artic.2018.2.2526.83-91","url":null,"abstract":"Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani merupakan sengkalan yang berbentuk naga, yang tedapat di Keraton Yogyakarta. Sengkalan merupakan sistem simbolik pada kebudayaan Jawa yang berfungsi sebagai tanda tahun suatu peristiwa penting. Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani bernilai tahun sama yaitu 1682 Saka (1756 M), yang merupakan waktu dibangunnya Keraton Yogyakarta. Penelitian ini mengkaji tentang makna simbolik dan wujud estetik naga yang terdapat pada bentuk visual sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Makna simbolik diteliti melalui pola dasar masyarakat Jawa yang mempengaruhi masyarakat Jawa dalam membangun artefak. Setelah itu, wujud estetik dianalisis melalui indikator warna, bentuk, ukuran dan proporsi. Berdasarkan analisis, bentuk naga pada ketiga sengkalan tersebut memiliki kesamaan makna satu sama lain, yaitu representasi dari cara berpikir Jawa, sebagai masyarakat ‘sawah’. Dari pola dasar yang tampak pada ornamen hias maupun bentuk dan posisi naga pada sengkalan tersebut, dapat ditemukan hubungan masyarakat Jawa dengan Tuhannya, berupa harapan akan kesuburan dalam pertanian, keselamatan, dan keberkahan dalam hidup. Jika ditinjau dari bentuknya secara keseluruhan, bentuk naga pada tiga sengkalan ini juga memiliki kesamaan pada bagian bentuk hiasan kepala, bentuk kepala dan bentuk tubuh.","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-05-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"78892335","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2012-06-14DOI: 10.1007/978-1-4614-1037-9_208
Emily R. Gallagher, Chootima Ratisoontorn, Michael L. Cunningham
{"title":"Saethre-Chotzen Syndrome","authors":"Emily R. Gallagher, Chootima Ratisoontorn, Michael L. Cunningham","doi":"10.1007/978-1-4614-1037-9_208","DOIUrl":"https://doi.org/10.1007/978-1-4614-1037-9_208","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"34 24","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2012-06-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.1007/978-1-4614-1037-9_208","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"50976250","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Two different pregnancy outcomes of trisomic zygote rescue through postzygotic mitotic error.","authors":"D K Kalousek","doi":"","DOIUrl":"","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"30 1","pages":"295-9"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"1996-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"20073837","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Postmortem findings in three triploid fetuses.","authors":"T J de Ravel, C A Wright, L I Moller","doi":"","DOIUrl":"","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"30 1","pages":"341-52"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"1996-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"20073839","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
R Carmi, R Parvari, S Ehrlich, B Cwikel, Y Weinstein
{"title":"Mapping of an X-linked gene for ventral midline defects (the TAS gene).","authors":"R Carmi, R Parvari, S Ehrlich, B Cwikel, Y Weinstein","doi":"","DOIUrl":"","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"30 1","pages":"179-87"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"1996-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"20073893","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"The search for genes that cause holoprosencephaly: possible approaches.","authors":"F Gurrieri, M Muenke","doi":"","DOIUrl":"","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":72417,"journal":{"name":"Birth defects original article series","volume":"30 1","pages":"247-50"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"1996-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"20073832","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}