Pub Date : 2023-02-19DOI: 10.37090/keadilan.v21i1.708
Fitria Dewi Navisa, Aldi Yudistira
Abstrak Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016 menjatuhkan putusannya No. 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Frasa “Informasi Elekronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Dengan diakuinya bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah di persidangan merupakan perluasan makna dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia, serta berdasarkan pemberian interprestasi oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kepastian dan kejelasan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, (conseptual approach), pendekatan ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya diterima sebagai alat bukti dalam hukum acara yang berlaku. Ketentuan tersebut juga memperkuat pengaturan tentang alat bukti dalam bentuk digital yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang menyatakan bahwa; “Dokumen Perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah†dan memperkuat pengaturan tentang alat bukti dalam bentuk digital. Kata Kunci : Pembuktian, alat bukti, Putusan Mahkamah Konstitusi
{"title":"IMPLIKASI HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 20/PUU-XIV/ 2016 TERHADAP PEMBUKTIAN PERDATA DI INDONESIA","authors":"Fitria Dewi Navisa, Aldi Yudistira","doi":"10.37090/keadilan.v21i1.708","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v21i1.708","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016 menjatuhkan putusannya No. 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Frasa “Informasi Elekronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Dengan diakuinya bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah di persidangan merupakan perluasan makna dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia, serta berdasarkan pemberian interprestasi oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kepastian dan kejelasan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, (conseptual approach), pendekatan ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya diterima sebagai alat bukti dalam hukum acara yang berlaku. Ketentuan tersebut juga memperkuat pengaturan tentang alat bukti dalam bentuk digital yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang menyatakan bahwa; “Dokumen Perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah†dan memperkuat pengaturan tentang alat bukti dalam bentuk digital. \u0000 \u0000 Kata Kunci : Pembuktian, alat bukti, Putusan Mahkamah Konstitusi \u0000 ","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132393899","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-02-15DOI: 10.37090/keadilan.v21i1.749
F. Dwiarti, Bainal Huri
Illegal logging kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan dan menyebabkan pencemaran hutan sehingga ekosistem dan keragaman hayati didalamnya dapat punah, perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tindak pidana di bidang kehutanan. Beberapa pranata hukum di Indonesia selama ini seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya mampu menjerat pelaku lapangan dan belum mampu menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menjadi momentum bagi penegak hukum untuk menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Diharapkan melalui UU TPPU penegak hukum dapat menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Melalui pendekatan ini pemberantasan tindak pidana illegal logging tidak hanya berfokus pada pelaku lapangan semata, namun juga potensial dalam mengembalikan kerugian negara akibat praktik illegal logging. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa saja modus operandi pencucian uang pada tindak pidana illegal logging dan bagaimanakah model pemberantasan tindak pidana illegal logging melalui pendekatan anti pencucian uang. Illegal logging kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan dan menyebabkan pencemaran hutan sehingga ekosistem dan keragaman hayati didalamnya dapat punah, perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tindak pidana di bidang kehutanan. Beberapa pranata hukum di Indonesia selama ini seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya mampu menjerat pelaku lapangan dan belum mampu menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menjadi momentum bagi penegak hukum untuk menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Diharapkan melalui UU TPPU penegak hukum dapat menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Melalui pendekatan ini pemberantasan tindak pidana ill
{"title":"PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING MELALUI PENDEKATAN PENCUCIAN UANG","authors":"F. Dwiarti, Bainal Huri","doi":"10.37090/keadilan.v21i1.749","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v21i1.749","url":null,"abstract":"Illegal logging kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan dan menyebabkan pencemaran hutan sehingga ekosistem dan keragaman hayati didalamnya dapat punah, perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tindak pidana di bidang kehutanan. Beberapa pranata hukum di Indonesia selama ini seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya mampu menjerat pelaku lapangan dan belum mampu menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menjadi momentum bagi penegak hukum untuk menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Diharapkan melalui UU TPPU penegak hukum dapat menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Melalui pendekatan ini pemberantasan tindak pidana illegal logging tidak hanya berfokus pada pelaku lapangan semata, namun juga potensial dalam mengembalikan kerugian negara akibat praktik illegal logging. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa saja modus operandi pencucian uang pada tindak pidana illegal logging dan bagaimanakah model pemberantasan tindak pidana illegal logging melalui pendekatan anti pencucian uang. \u0000Illegal logging kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan dan menyebabkan pencemaran hutan sehingga ekosistem dan keragaman hayati didalamnya dapat punah, perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tindak pidana di bidang kehutanan. Beberapa pranata hukum di Indonesia selama ini seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya mampu menjerat pelaku lapangan dan belum mampu menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menjadi momentum bagi penegak hukum untuk menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Diharapkan melalui UU TPPU penegak hukum dapat menjerat aktor intelektual praktik illegal logging. Melalui pendekatan ini pemberantasan tindak pidana ill","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"205 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131419379","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-02-14DOI: 10.37090/keadilan.v21i1.803
Erniyati Erniyati, Susilawati Susilawati
Keberadaan Balai Lelang yang melakukan penjualan objek lelang melalui online merupakan sesuatu yang sangat diminati masyarakat, terlebih dengan usaha lelang, maka perlu adanya kepastian hukum dalam suatu kontrak elektronik, hal tersebut menyangkut tanggung gugat Balai Lelang dikarenakan pelaksanaan objek lelang secara online tentu tidak dapat terhindarkan seperti wansprestasi yang menyebabkan kerugian bagi pemenang lelang. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat diketahui bahwa proses lelang secara online yang dilakukan oleh Balai Lelang dimulai dari pemohon lelang mengajukan permohonan penjualan, pengumuman lelang, pendafatar calon pembeli lelang, penyetoran jaminan/uang deposito, penawaran objek lelang, mengumumkan pemenang lelang, pembayaran lelang dan menginginkan barang hasil lelang. Balai Lelang bertanggung gugat atas penjualan objek lelang secara online jika Balai Lelang tidak melaksanakan prestasinya dengan baik dimana Balai Lelang tidak memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur mengenai kualitas dan spesifikasi objek lelang di website Balai Lelang sehingga apabila terdapat kecacatan terhadap barang yang dikirim ke pemenang lelang, keterlambatan pengiriman barang hasil lelang, adanya iktikad kurang baik dari Balai Lelang serta adanya ketidaksesuain barang dengan dokumen objek lelang maka pemenang lelang berhak untuk mengajukan gugatan kepada Balai Lelang untuk meminta ganti rugi ataupun pembatalan pembelian. Kata Kunci: Tanggung Gugat, Objek Lelang, Online
{"title":"TANGGUNG GUGAT BALAI LELANG TERHADAP PENJUALAN OBJEK LELANG SECARA ONLINE","authors":"Erniyati Erniyati, Susilawati Susilawati","doi":"10.37090/keadilan.v21i1.803","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v21i1.803","url":null,"abstract":"Keberadaan Balai Lelang yang melakukan penjualan objek lelang melalui online merupakan sesuatu yang sangat diminati masyarakat, terlebih dengan usaha lelang, maka perlu adanya kepastian hukum dalam suatu kontrak elektronik, hal tersebut menyangkut tanggung gugat Balai Lelang dikarenakan pelaksanaan objek lelang secara online tentu tidak dapat terhindarkan seperti wansprestasi yang menyebabkan kerugian bagi pemenang lelang.\u0000Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat diketahui bahwa proses lelang secara online yang dilakukan oleh Balai Lelang dimulai dari pemohon lelang mengajukan permohonan penjualan, pengumuman lelang, pendafatar calon pembeli lelang, penyetoran jaminan/uang deposito, penawaran objek lelang, mengumumkan pemenang lelang, pembayaran lelang dan menginginkan barang hasil lelang. Balai Lelang bertanggung gugat atas penjualan objek lelang secara online jika Balai Lelang tidak melaksanakan prestasinya dengan baik dimana Balai Lelang tidak memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur mengenai kualitas dan spesifikasi objek lelang di website Balai Lelang sehingga apabila terdapat kecacatan terhadap barang yang dikirim ke pemenang lelang, keterlambatan pengiriman barang hasil lelang, adanya iktikad kurang baik dari Balai Lelang serta adanya ketidaksesuain barang dengan dokumen objek lelang maka pemenang lelang berhak untuk mengajukan gugatan kepada Balai Lelang untuk meminta ganti rugi ataupun pembatalan pembelian.\u0000Kata Kunci: Tanggung Gugat, Objek Lelang, Online","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"9 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121859942","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-02-09DOI: 10.37090/keadilan.v21i1.889
T. Karsa, S. Suhaimi, R. Rohani
Persaingan usaha dalam era ekonomi digital seperti saat ini, telah menuntut para pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan usahanya secara daring. Dalam hal ini komunikasi bisnis diperlukan dalam suatu persaingan usaha yang sehat dan hukum persaingan usaha menjadi salah satu yang memungkina Akibat dari itu, para pembeli juga akan melakukan pembelian secara daring. Hal ini, implikasinya akan berdampak pada persaingan usaha. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat dalam hal ini belum mengakomodasi terkait dampak komunikasi bisnis dalam persaingan usaha ekonomi digital Maka dengan itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum persaingan usaha terhadap komunikasi bisnis di sektor ekonomi digital. Penelitian ini mengunakan yuridis normatif. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam dunia bisnis dan usaha, dibutuhkan yang namanya aspek penunjang komunikasi yang baik dan belum adanya regulasi yang mengatur tentang pasar digital sangat disayangkan mengingat hal ini sangat urgent untuk diperhatikan oleh pemerintah sebab struktur pasar ini sangat berbeda dalam segala aspeknya dengan pasar konvensional yang telah dikenal, dan sangat berpotensi untuk dikembangkan karena hukum persaingan usaha dalam komunikasi bisnis merupakan cara dimana bagaimana menyampaikan pesan dari komunikator ke komunikan dengan melihat keadaan situasional usaha yang semakin berkompetisi satu dan lainnya melalui upaya yang strategis.
{"title":"KONVERGENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP KOMUNIKASI BISNIS DI SEKTOR EKONOMI DIGITAL","authors":"T. Karsa, S. Suhaimi, R. Rohani","doi":"10.37090/keadilan.v21i1.889","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v21i1.889","url":null,"abstract":"Persaingan usaha dalam era ekonomi digital seperti saat ini, telah menuntut para pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan usahanya secara daring. Dalam hal ini komunikasi bisnis diperlukan dalam suatu persaingan usaha yang sehat dan hukum persaingan usaha menjadi salah satu yang memungkina Akibat dari itu, para pembeli juga akan melakukan pembelian secara daring. Hal ini, implikasinya akan berdampak pada persaingan usaha. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat dalam hal ini belum mengakomodasi terkait dampak komunikasi bisnis dalam persaingan usaha ekonomi digital Maka dengan itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum persaingan usaha terhadap komunikasi bisnis di sektor ekonomi digital. Penelitian ini mengunakan yuridis normatif. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam dunia bisnis dan usaha, dibutuhkan yang namanya aspek penunjang komunikasi yang baik dan belum adanya regulasi yang mengatur tentang pasar digital sangat disayangkan mengingat hal ini sangat urgent untuk diperhatikan oleh pemerintah sebab struktur pasar ini sangat berbeda dalam segala aspeknya dengan pasar konvensional yang telah dikenal, dan sangat berpotensi untuk dikembangkan karena hukum persaingan usaha dalam komunikasi bisnis merupakan cara dimana bagaimana menyampaikan pesan dari komunikator ke komunikan dengan melihat keadaan situasional usaha yang semakin berkompetisi satu dan lainnya melalui upaya yang strategis.","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"99 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132165636","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-08-31DOI: 10.37090/keadilan.v20i2.728
Erniyati Erniyati, D. Novrian Syahputra, Riko Herdiansah
Social phenomenon is still going on cases of criminal gratification that need to be optimized law enforcement in the field of the field. One of them is gratification crime of making land sale and purchase documents in Case Number: 18 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Tjk. The results of the study and discussion show that the factors causing the perpetrators of gratification crime on Decision Case Number 18 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Tjk include: intrinsic and extrinsic factors, lack of supervision of the use of funds, the gap to mark up all costs projects, lack of accountability and transparency of budget usage, lack of community control, nepotism-influenced governance structures. Criminal liability of perpetrators of gratification crime based on Case Decision Number 18 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Tjk implemented by punishment against Defendant. The judges shall impose a 1 (one) year imprisonment and a fine of Rp 50,000,000.00 (five million rupiahs) on the condition that the unpaid penalty may be replaced by a one-month imprisonment. Legal status of evidence against gratification crime pursuant to Decision Case Number 18 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Tjk that is in accordance with the court decision that the evidence in the form of document of evidence proof letter remain attached in file case, to the Defendant while goods butki Cash Rp. 25.000.000, - shall be returned to the eligible as stated in Court Decision. Keywords: Criminal Responsibility, Crime, Gratification
{"title":"ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA GRATIFIKASI (Studi Putusan Nomor 18/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Tjk)","authors":"Erniyati Erniyati, D. Novrian Syahputra, Riko Herdiansah","doi":"10.37090/keadilan.v20i2.728","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v20i2.728","url":null,"abstract":"Social phenomenon is still going on cases of criminal gratification that need to be optimized law enforcement in the field of the field. One of them is gratification crime of making land sale and purchase documents in Case Number: 18 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Tjk. The results of the study and discussion show that the factors causing the perpetrators of gratification crime on Decision Case Number 18 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Tjk include: intrinsic and extrinsic factors, lack of supervision of the use of funds, the gap to mark up all costs projects, lack of accountability and transparency of budget usage, lack of community control, nepotism-influenced governance structures. Criminal liability of perpetrators of gratification crime based on Case Decision Number 18 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Tjk implemented by punishment against Defendant. The judges shall impose a 1 (one) year imprisonment and a fine of Rp 50,000,000.00 (five million rupiahs) on the condition that the unpaid penalty may be replaced by a one-month imprisonment. Legal status of evidence against gratification crime pursuant to Decision Case Number 18 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Tjk that is in accordance with the court decision that the evidence in the form of document of evidence proof letter remain attached in file case, to the Defendant while goods butki Cash Rp. 25.000.000, - shall be returned to the eligible as stated in Court Decision. \u0000Keywords: Criminal Responsibility, Crime, Gratification","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131191569","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-08-31DOI: 10.37090/keadilan.v20i2.727
Winda Yunita, Riza Yudha Patria
Article 62 of the Criminal Code states that trading in illegal goods is a crime, and this is enforced in conjunction with other laws that protect consumers. How is law enforcement against trade in illegal goods products based on Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. What are the disincentives for law enforcement efforts against the crime of counterfeiting illegal products? This study uses a legal-regulatory approach. Based on the results of the study and discussion, it shows that law enforcement in relation to trade in illegal commercial products based on Law Number 8 of 1999 "Consumer Protection" is carried out through the application of criminal law (criminal law enforcement) and peer review by the National Police and the Food and Drug Supervisory Agency ( BPOM). The perpetrators of trafficking in illegal goods are handled legally at the judicial level based on legal provisions and one of its enforcement is carried out by a decision with a permanent res judicata (inkracht van gewijsde) in order to obtain criminal sanctions and guarantees of legal certainty. others: The criminal sanctions of Article 62(1) in conjunction with Article 8 and Article 9(2) of the Consumer Protection Law Number 8 of 1999 do not have a deterrent effect. Keywords: Trade, Illegal Goods Products, Consumer Protection.
{"title":"PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PRODUK BARANG ILEGAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN","authors":"Winda Yunita, Riza Yudha Patria","doi":"10.37090/keadilan.v20i2.727","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v20i2.727","url":null,"abstract":"Article 62 of the Criminal Code states that trading in illegal goods is a crime, and this is enforced in conjunction with other laws that protect consumers. How is law enforcement against trade in illegal goods products based on Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. What are the disincentives for law enforcement efforts against the crime of counterfeiting illegal products? This study uses a legal-regulatory approach. Based on the results of the study and discussion, it shows that law enforcement in relation to trade in illegal commercial products based on Law Number 8 of 1999 \"Consumer Protection\" is carried out through the application of criminal law (criminal law enforcement) and peer review by the National Police and the Food and Drug Supervisory Agency ( BPOM). The perpetrators of trafficking in illegal goods are handled legally at the judicial level based on legal provisions and one of its enforcement is carried out by a decision with a permanent res judicata (inkracht van gewijsde) in order to obtain criminal sanctions and guarantees of legal certainty. others: The criminal sanctions of Article 62(1) in conjunction with Article 8 and Article 9(2) of the Consumer Protection Law Number 8 of 1999 do not have a deterrent effect. \u0000 Keywords: Trade, Illegal Goods Products, Consumer Protection.","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129889398","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-08-31DOI: 10.37090/keadilan.v20i2.724
Sultan Ali Sabana, Baharuddin Baharuddin, Anggalana Anggalana
Health quarantine is an effort to prevent the impact of infectious disease outbreaks that can attack a place, region, even a country, by closing access in and out and limiting the activities or activities of people in the area that is implementing quarantine. For the sake of implementing a proper health quarantine, it is necessary to pay attention to and consider several factors, such as the economic condition of the community, health services, educational services, and working conditions. The implementation of health quarantine is the responsibility of the Government as a manifestation of the State to be able to fulfill all the factors that can support the implementation of health quarantine in an area without causing new problems in people's lives. The government enforces health quarantine with various patterns, such as the implementation of Large-Scale Social Restrictions (PSBB) to the Enforcement of Restrictions on Community Activities (PPKM). As a state of law, Indonesia certainly underlies the implementation of health quarantine by referring to the constitution of the State of Indonesia, namely Law number 6 of 2018 concerning Health Quarantine. The purpose of this study is to analyze the implementation of Article 55 of Law Number 6 of 2018 concerning Health Quarantine in Bandar Lampung City and analyze the fulfillment of citizens' rights in the implementation of Community Activity Restrictions (PPKM) in Bandar Lampung City. The method used in this research is normative juridical and empirical juridical. The data that has been systematically arranged were analyzed qualitatively. In this data analysis process, a series of data that has been systematically arranged according to its classification, is then described and analyzed in a normative and empirical juridical manner, namely the approach taken based on the main legal material by examining theories, concepts, principles and laws and regulations related to this research as well as the results of interviewing parties related to the results of this study. Keywords : health quarantine, Covid-19, PPKM, Government, Peopel
{"title":"IMPLEMENTASI PASAL 55 UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN PADA MASA PANDEMI COVID-19 (STUDI KASUS KOTA BANDAR LAMPUNG)","authors":"Sultan Ali Sabana, Baharuddin Baharuddin, Anggalana Anggalana","doi":"10.37090/keadilan.v20i2.724","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v20i2.724","url":null,"abstract":"Health quarantine is an effort to prevent the impact of infectious disease outbreaks that can attack a place, region, even a country, by closing access in and out and limiting the activities or activities of people in the area that is implementing quarantine. For the sake of implementing a proper health quarantine, it is necessary to pay attention to and consider several factors, such as the economic condition of the community, health services, educational services, and working conditions. The implementation of health quarantine is the responsibility of the Government as a manifestation of the State to be able to fulfill all the factors that can support the implementation of health quarantine in an area without causing new problems in people's lives. The government enforces health quarantine with various patterns, such as the implementation of Large-Scale Social Restrictions (PSBB) to the Enforcement of Restrictions on Community Activities (PPKM). As a state of law, Indonesia certainly underlies the implementation of health quarantine by referring to the constitution of the State of Indonesia, namely Law number 6 of 2018 concerning Health Quarantine. The purpose of this study is to analyze the implementation of Article 55 of Law Number 6 of 2018 concerning Health Quarantine in Bandar Lampung City and analyze the fulfillment of citizens' rights in the implementation of Community Activity Restrictions (PPKM) in Bandar Lampung City. The method used in this research is normative juridical and empirical juridical. The data that has been systematically arranged were analyzed qualitatively. In this data analysis process, a series of data that has been systematically arranged according to its classification, is then described and analyzed in a normative and empirical juridical manner, namely the approach taken based on the main legal material by examining theories, concepts, principles and laws and regulations related to this research as well as the results of interviewing parties related to the results of this study. \u0000 Keywords : health quarantine, Covid-19, PPKM, Government, Peopel","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"90 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122842033","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-08-31DOI: 10.37090/keadilan.v20i2.725
Rai Mantili
Execution as a legal action taken by the court to the losing party in a case is a further rule and procedure of the case examination process. Execution or execution of a decision is an act carried out by force against the losing party in a case. Not all court decisions have executive power, not all court decisions can be executed. In a divorce case in the Religious Courts, if the judge has given a decision that one of the parties has been won as the holder of custody, then the party who must voluntarily hand over his custody rights to the winning party voluntarily. This is a lot in practice, often parties who do not want to give up custody of their children to the winning party. The results of this study indicate that the execution of child custody has two kinds of obstacles. The first obstacle is the "psychological obstacle of the child", because the child is not an object that can be executed and the second obstacle is a matter of cost, if the child is on the losing side but the losing party does not want to give up custody of the child to the winning party, who will will pay a fee if requesting the services of the police to force the child, because there is no state budget for the execution of child custody. Keywords: Divorce, religious courts, execution of children.
{"title":"KAJIAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI ANAK OLEH PENGADILAN AGAMA DALAM SUATU PUTUSAN PERCERAIAN","authors":"Rai Mantili","doi":"10.37090/keadilan.v20i2.725","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v20i2.725","url":null,"abstract":"Execution as a legal action taken by the court to the losing party in a case is a further rule and procedure of the case examination process. Execution or execution of a decision is an act carried out by force against the losing party in a case. Not all court decisions have executive power, not all court decisions can be executed. In a divorce case in the Religious Courts, if the judge has given a decision that one of the parties has been won as the holder of custody, then the party who must voluntarily hand over his custody rights to the winning party voluntarily. This is a lot in practice, often parties who do not want to give up custody of their children to the winning party. The results of this study indicate that the execution of child custody has two kinds of obstacles. The first obstacle is the \"psychological obstacle of the child\", because the child is not an object that can be executed and the second obstacle is a matter of cost, if the child is on the losing side but the losing party does not want to give up custody of the child to the winning party, who will will pay a fee if requesting the services of the police to force the child, because there is no state budget for the execution of child custody. \u0000 Keywords: Divorce, religious courts, execution of children.","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"16 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125290669","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-22DOI: 10.37090/keadilan.v20i1.598
Matthew Husada Matthew Husada
Bidang usaha ini unik dan akan terus eksis dari waktu ke waktu. Dimana dalam dunia bisnis akan selalu ada persaingan bisnis. Persaingan ini bisa dinilai baik bagi para pelaku usaha untuk terus berinovasi. Demikian juga konsumen diuntungkan dari persaingan bisnis. Karena akan semakin banyak pilihan yang bisa dipilih konsumen, mulai dari harga dan kualitas setiap produk atau jasa yang diberikan oleh kedua pelaku usaha tersebut. Padahal sudah ada peraturan perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Praktek monopoli masih ada, salah satunya yang terjadi yaitu kartel antara Yamaha dan Honda. Kedua belah pihak sepakat menaikkan harga skuter matik di atas harga pasar. Sehingga konsumen juga harus membayar lebih dari yang seharusnya. Artikel ini menggunakan metode penelitian normatif dan pengumpulan data sekunder melalui literatur dan artikel hukum. Keputusan KPPU tidak menguntungkan konsumen yang menjadi korban. Putusan No 04/KPPU-I/2016 tidak menyebutkan bahwa Honda dan Yamaha harus membayar ganti rugi. KPPU sendiri tidak berwenang menyelesaikan putusan ganti rugi korban kartel antara Yamaha dan Honda. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Persaingan Usaha, Penegakan Hukum
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN KORBAN MONOPOLI KARTEL (STUDI KASUS: PUTUSAN Nomor 04/KPPU-I/2016)","authors":"Matthew Husada Matthew Husada","doi":"10.37090/keadilan.v20i1.598","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v20i1.598","url":null,"abstract":"Bidang usaha ini unik dan akan terus eksis dari waktu ke waktu. Dimana dalam dunia bisnis akan selalu ada persaingan bisnis. Persaingan ini bisa dinilai baik bagi para pelaku usaha untuk terus berinovasi. Demikian juga konsumen diuntungkan dari persaingan bisnis. Karena akan semakin banyak pilihan yang bisa dipilih konsumen, mulai dari harga dan kualitas setiap produk atau jasa yang diberikan oleh kedua pelaku usaha tersebut. Padahal sudah ada peraturan perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Praktek monopoli masih ada, salah satunya yang terjadi yaitu kartel antara Yamaha dan Honda. Kedua belah pihak sepakat menaikkan harga skuter matik di atas harga pasar. Sehingga konsumen juga harus membayar lebih dari yang seharusnya. Artikel ini menggunakan metode penelitian normatif dan pengumpulan data sekunder melalui literatur dan artikel hukum. Keputusan KPPU tidak menguntungkan konsumen yang menjadi korban. Putusan No 04/KPPU-I/2016 tidak menyebutkan bahwa Honda dan Yamaha harus membayar ganti rugi. KPPU sendiri tidak berwenang menyelesaikan putusan ganti rugi korban kartel antara Yamaha dan Honda. \u0000Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Persaingan Usaha, Penegakan Hukum \u0000 ","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"386 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122779197","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-22DOI: 10.37090/keadilan.v20i1.599
Nurbaiti Syarif, Winda Yunita
Hukuman mati adalah sanksi pidana terberat yang terdapat dalam hukum positif Indonesia yang dijatuhkan kepada terpidana. Hukuman mati diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 10. Hukuman mati diberikan kepada terpidana yang sudah melakukan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Metode pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah normatif dan empiris dengan deskriptif-analitis. Hasil penelitian menunjukkan Pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut ketentuan dalam Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pelaksanaanya secara rinci dijelaskan pada Undang-Undang No. 2 (PNPS) Penetapan Presiden Tahun 1964. kesimpulan, tindak pidana Narkotika merupakan salah satu bagian dari kejahatan khusus atau kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika harus dilakukan. Agar dapat memberikan rasa aman bagi semua masyakat Indonesia, sekaligus juga melindungi masyarakat demi tercapainya kedaulatan hukum, keadilan dan kepastian hukum yang telah dirumuskan melalui peraturan Perundang-Undangan khususnya Undang-Undang Narkotika yang berlaku. Kata kunci : Pidana Mati, Pelaku Narkotika, Hak Asasi Manusia.
{"title":"ANALISIS YURIDIS PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI TINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA","authors":"Nurbaiti Syarif, Winda Yunita","doi":"10.37090/keadilan.v20i1.599","DOIUrl":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v20i1.599","url":null,"abstract":"Hukuman mati adalah sanksi pidana terberat yang terdapat dalam hukum positif Indonesia yang dijatuhkan kepada terpidana. Hukuman mati diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 10. Hukuman mati diberikan kepada terpidana yang sudah melakukan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Metode pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah normatif dan empiris dengan deskriptif-analitis. Hasil penelitian menunjukkan Pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut ketentuan dalam Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pelaksanaanya secara rinci dijelaskan pada Undang-Undang No. 2 (PNPS) Penetapan Presiden Tahun 1964. kesimpulan, tindak pidana Narkotika merupakan salah satu bagian dari kejahatan khusus atau kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika harus dilakukan. Agar dapat memberikan rasa aman bagi semua masyakat Indonesia, sekaligus juga melindungi masyarakat demi tercapainya kedaulatan hukum, keadilan dan kepastian hukum yang telah dirumuskan melalui peraturan Perundang-Undangan khususnya Undang-Undang Narkotika yang berlaku. \u0000Kata kunci : Pidana Mati, Pelaku Narkotika, Hak Asasi Manusia.","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":"32 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121898166","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}