Pub Date : 2021-02-07DOI: 10.33474/HUKENO.V5I1.9316
M. A. Munandar, Audyna Mayasari Muin, Hijrah Adhyanti Mirzana
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang menghambat penerapan status darurat kesehatan masyarakat pada saat diselenggarakan kekarantinaan kesehatan dan menganalisis sistem pemidanaan yang ideal untuk diterapkan bagi pelaku tindak pidana kekarantinaan kesehatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teoretis kebijakan hukum pidana dalam darurat kesehatan masyarakat sulit untuk diterapkan. Substansi Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan memuat 2 (dua) jenis delik, yaitu delik formil dan delik materiel. Namun, terdapat penggunaan kata yang masih abstrak di antaranya: perbuatan “menghalang-halangi” serta menempatkan “kedaruratan kesehatan” sebagai “sebab” dalam peraturan tersebut merupakan sebuah kerancuan. Seharusnya rumusan kausalitas pidana dalam sebuah produk hukum pidana dirumuskan sesuai dengan konsepsi awalnya. Oleh karena itu, rumusan delik yang abstrak atau luas akan menghasilkan ketidakpastian hukum, berpotensi tidak dapat diterapkan, dan bertentangan dengan penafsiran yang menyatakan bahwa hukum pidana harus ditafsirkan secara sempit. Merujuk pada keadaan tersebut, maka sistem pemidanaan yang ideal diterapkan ketika terjadi pelanggaran penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, yaitu sistem pemidanaan yang bersifat restoratif dan integratif.Kata kunci: Pandemi Covid-19, Kekarantinaan Kesehatan, Kebijakan Hukum Pidana AbstractThis study aims to determine the legal policy policies that apply Law Number 6 of 2018 concerning Health Quarantine and analyze the ideal punishment system to be applied to health quarantine crimes. The research method used, namely normative research through an invited approach (statute approach). The results show that legal policies in public health emergencies are difficult to implement. The substance of Article 93 of the Health Quarantine Law contains 2 types of offenses, namely formal offenses and material offenses. However, there is a use of the word which is still abstract beside: the act of "obstructing" and placing "health emergency" as "cause" in the regulation is a confusion. The formulation of criminal causality in a criminal law product should be formulated in accordance with its initial conception. Therefore, the abstract or broad formulation of offenses will provide legal uncertainty, which cannot be applied, and contradicts the interpretation which states that criminal law must be interpreted narrowly. Referring to this situation, the ideal punishment system is applied when implementing health quarantine, namely a restorative and integrative system of punishment.Keywords: Covid-19 Pandemic, Health Quarantine Act, Penal Policy
{"title":"TELAAH KETENTUAN PIDANA KEKARANTINAAN KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 BAGI KESEHATAN NOTARIS DAN MASYARAKAT ERA PANDEMI COVID-19","authors":"M. A. Munandar, Audyna Mayasari Muin, Hijrah Adhyanti Mirzana","doi":"10.33474/HUKENO.V5I1.9316","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/HUKENO.V5I1.9316","url":null,"abstract":" Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang menghambat penerapan status darurat kesehatan masyarakat pada saat diselenggarakan kekarantinaan kesehatan dan menganalisis sistem pemidanaan yang ideal untuk diterapkan bagi pelaku tindak pidana kekarantinaan kesehatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teoretis kebijakan hukum pidana dalam darurat kesehatan masyarakat sulit untuk diterapkan. Substansi Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan memuat 2 (dua) jenis delik, yaitu delik formil dan delik materiel. Namun, terdapat penggunaan kata yang masih abstrak di antaranya: perbuatan “menghalang-halangi” serta menempatkan “kedaruratan kesehatan” sebagai “sebab” dalam peraturan tersebut merupakan sebuah kerancuan. Seharusnya rumusan kausalitas pidana dalam sebuah produk hukum pidana dirumuskan sesuai dengan konsepsi awalnya. Oleh karena itu, rumusan delik yang abstrak atau luas akan menghasilkan ketidakpastian hukum, berpotensi tidak dapat diterapkan, dan bertentangan dengan penafsiran yang menyatakan bahwa hukum pidana harus ditafsirkan secara sempit. Merujuk pada keadaan tersebut, maka sistem pemidanaan yang ideal diterapkan ketika terjadi pelanggaran penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, yaitu sistem pemidanaan yang bersifat restoratif dan integratif.Kata kunci: Pandemi Covid-19, Kekarantinaan Kesehatan, Kebijakan Hukum Pidana AbstractThis study aims to determine the legal policy policies that apply Law Number 6 of 2018 concerning Health Quarantine and analyze the ideal punishment system to be applied to health quarantine crimes. The research method used, namely normative research through an invited approach (statute approach). The results show that legal policies in public health emergencies are difficult to implement. The substance of Article 93 of the Health Quarantine Law contains 2 types of offenses, namely formal offenses and material offenses. However, there is a use of the word which is still abstract beside: the act of \"obstructing\" and placing \"health emergency\" as \"cause\" in the regulation is a confusion. The formulation of criminal causality in a criminal law product should be formulated in accordance with its initial conception. Therefore, the abstract or broad formulation of offenses will provide legal uncertainty, which cannot be applied, and contradicts the interpretation which states that criminal law must be interpreted narrowly. Referring to this situation, the ideal punishment system is applied when implementing health quarantine, namely a restorative and integrative system of punishment.Keywords: Covid-19 Pandemic, Health Quarantine Act, Penal Policy","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"166 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122186478","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-03-07DOI: 10.33474/HUKENO.V4I1.6450
Ony Hamzah
Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) tidak mengatur secara eksplisit kewenangan Notaris untuk membuat Akta Konsen Roya sebagai pengganti Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang, namun berdasarkan penafsiran gramatikal pasal 15 ayat (1) UUJN notaris berwenang membuat akta apapun apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan sepanjang kewenangan itu tidak ditugaskan atau dikecualikan oleh undang-undang. Kedudukan Akta Konsen Roya sebagai pengganti sertipikat Hak Tanggungan yang hilang sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), yaitu dengan cara dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan. Namun dalam praktik, kantor pertanahan tidak menerima permohonan pencoretan Hak Tanggungan yang tidak dilampiri dengan sertipikat Hak Tanggungan, sebagai gantinya maka dibuatlah akta konsen roya.Kata Kunci: akta, sertipikat, hak, tanah, notarisLaw No. 2 of 2014 concerning the Position of Notary (UUJN) does not explicitly regulate the authority of the Notary to make the Roya Concentration Deed as a substitute for the Lost Mortgage Certificate, but based on grammatical interpretation of article 15 paragraph (1) UUJN, notary authorizes to make any deed if desired by the parties concerned as long as the authority is not assigned or excluded by law. The position of the Roya Concentration Deed as a substitute for the lost Mortgage certificate has actually been regulated in Law No. 4 of 1996 concerning Mortgage Rights (UUHT), that is being recorded in the relevant Mortgage Rights land book. However, in practice, the land office does not accept applications for deletion of Mortgage Rights which are not accompanied by a certificate of Mortgage. Instead, a roya concentration certificate is made.Keywords: deed, certificate, rights, land, notary
{"title":"ANALISIS KEDUDUKAN AKTA KONSEN ROYA SEBAGAI PENGGANTI SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN YANG HILANG","authors":"Ony Hamzah","doi":"10.33474/HUKENO.V4I1.6450","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/HUKENO.V4I1.6450","url":null,"abstract":"Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) tidak mengatur secara eksplisit kewenangan Notaris untuk membuat Akta Konsen Roya sebagai pengganti Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang, namun berdasarkan penafsiran gramatikal pasal 15 ayat (1) UUJN notaris berwenang membuat akta apapun apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan sepanjang kewenangan itu tidak ditugaskan atau dikecualikan oleh undang-undang. Kedudukan Akta Konsen Roya sebagai pengganti sertipikat Hak Tanggungan yang hilang sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), yaitu dengan cara dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan. Namun dalam praktik, kantor pertanahan tidak menerima permohonan pencoretan Hak Tanggungan yang tidak dilampiri dengan sertipikat Hak Tanggungan, sebagai gantinya maka dibuatlah akta konsen roya.Kata Kunci: akta, sertipikat, hak, tanah, notarisLaw No. 2 of 2014 concerning the Position of Notary (UUJN) does not explicitly regulate the authority of the Notary to make the Roya Concentration Deed as a substitute for the Lost Mortgage Certificate, but based on grammatical interpretation of article 15 paragraph (1) UUJN, notary authorizes to make any deed if desired by the parties concerned as long as the authority is not assigned or excluded by law. The position of the Roya Concentration Deed as a substitute for the lost Mortgage certificate has actually been regulated in Law No. 4 of 1996 concerning Mortgage Rights (UUHT), that is being recorded in the relevant Mortgage Rights land book. However, in practice, the land office does not accept applications for deletion of Mortgage Rights which are not accompanied by a certificate of Mortgage. Instead, a roya concentration certificate is made.Keywords: deed, certificate, rights, land, notary","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"85 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-03-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121130180","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-03-07DOI: 10.33474/hukeno.v4i1.6449
Atik Riswantoro
Pada dasarnya pewarisan adalah suatu perpindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal kepada para ahli warisnya. Adapun pengertian dari hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada hakekatnya ahli waris pengganti terjadi karena ayah atau ibu (orang tuanya) yang berhak menerima harta warisan meninggal dunia lebih dahulu dari pada pewaris. Konsep ahli waris pengganti dalam Pasal 185 Kompilasi hukum Islam berlaku bagi semua keturunan ahli waris yang seagama serta wafat terlebih dahulu dari pewaris serta bagian dari ahli waris pengganti tidak melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Selain itu kedudukan ahli waris pengganti tidak dijelaskan secara menyeluruh (secara riil), akan tetapi mempunyai tujuan rasa kemaslahatan serta rasa keadilan bagi ahli waris.Kata Kunci: waris, keturunan, keadilan, hak, kedudukanBasically inheritance is a transfer of all the rights and obligations of someone who died to his heirs. The understanding of inheritance law is the law governing the transfer of assets left by someone who died and the consequences for his heirs. In essence the successor heir occurs because the father or mother (parents) who is entitled to receive the inheritance died earlier than the heir. The concept of substitute heirs in article 185 Compilation of Islamic law applies to all descendants of heirs who are in the same religion and died earlier of the heirs and the portion of the successor heirs does not exceed that of the heirs equal to those replaced. In addition, the position of a successor is not explained thoroughly (in real terms), but has the goal of a sense of benefit and a sense of justice for the heirsKeywords: inheritance, ancestry, justice, rights, position
{"title":"PENERAPAN PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) BERKAITAN DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA WARIS","authors":"Atik Riswantoro","doi":"10.33474/hukeno.v4i1.6449","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/hukeno.v4i1.6449","url":null,"abstract":"Pada dasarnya pewarisan adalah suatu perpindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal kepada para ahli warisnya. Adapun pengertian dari hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada hakekatnya ahli waris pengganti terjadi karena ayah atau ibu (orang tuanya) yang berhak menerima harta warisan meninggal dunia lebih dahulu dari pada pewaris. Konsep ahli waris pengganti dalam Pasal 185 Kompilasi hukum Islam berlaku bagi semua keturunan ahli waris yang seagama serta wafat terlebih dahulu dari pewaris serta bagian dari ahli waris pengganti tidak melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Selain itu kedudukan ahli waris pengganti tidak dijelaskan secara menyeluruh (secara riil), akan tetapi mempunyai tujuan rasa kemaslahatan serta rasa keadilan bagi ahli waris.Kata Kunci: waris, keturunan, keadilan, hak, kedudukanBasically inheritance is a transfer of all the rights and obligations of someone who died to his heirs. The understanding of inheritance law is the law governing the transfer of assets left by someone who died and the consequences for his heirs. In essence the successor heir occurs because the father or mother (parents) who is entitled to receive the inheritance died earlier than the heir. The concept of substitute heirs in article 185 Compilation of Islamic law applies to all descendants of heirs who are in the same religion and died earlier of the heirs and the portion of the successor heirs does not exceed that of the heirs equal to those replaced. In addition, the position of a successor is not explained thoroughly (in real terms), but has the goal of a sense of benefit and a sense of justice for the heirsKeywords: inheritance, ancestry, justice, rights, position","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"16 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-03-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128150000","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.33474/HUKENO.V3I2.3374
Humphrey Sarwono Witjaksono
Dalam sistem pembagian waris baik menurut Agama Budha maupun Agama Islam masih banyak menggunakan hukum adat atau hukum yang berlaku di masyarakat. meskipun banyak pilihan atau alternatif hukum dalam pembagian waris yang dapat digunakan antara lain, dalam Islam menggunakan 1) hukum adat 2) hukum faroid/hukum Islam 3) KHI dan 4) menggunakan KUH Perdata sedangkan dalam AjaranBudha hukum yang di gunakan dalam pembagian waris adalah Hukum adat dan KUH Perdata. Sedangkan yang menerima warisan dalam Agama Islam semuanya ahli waris bisa menerima asalkan tidak terhalang (alasan tidak bisa menerima waris) sedangkan dalam Agama Budha tidak semua ahli waris karena jika dalam keluarga tersebut (ahli waris) ada yang memutuskan untuk menjadi samanera atau samaneri dan bhikku maka secara otomatis dia tidak akan bisa menerima warisan.Kata kunci: pembagian waris, agama Budha dan agama Islam In the system of inheritance distribution both according to Buddhism and Islamic Religion still use many customary laws or laws that apply in the community. although many legal choices or alternatives in the distribution of inheritance can be used, among others, in Islam using 1) customary law 2) faroid law/Islamic law 3) KHI and 4) using the Civil Code while in the Buddhist Teachings the law used in the distribution of inheritance is Customary law and the Civil Code. While those who receive inheritance in the Islamic Religion all heirs can accept as long as they are not obstructed (reason can not accept inheritance) while in Buddhism not all heirs because if in the family (heirs) someone decides to become samanera or samaneri and bhikku then automatically he will not be able to receive inheritance..Keywords: distribution of inheritance, Buddhism and Islam
根据佛教和伊斯兰教,在继承人制度中,许多人使用当地的部落法律或法律。虽然在遗产分割中有许多可使用的选择或替代法律,但在伊斯兰教中使用1)(部落法2)法文/伊斯兰法3)则继承了伊斯兰宗教中都可以接受,只要不受阻碍的继承人(佛教中不能接受)继承人的原因而不是所有的继承人,因为如果在家庭中(继承人)有些人决定成为samanera或samaneri和爸爸,那么他将无法自动继承了。关键词:继承、佛教和伊斯兰教的宗教在佛教和伊斯兰宗教的内在分布体系中都依赖于佛教和伊斯兰宗教,而在社区中使用许多海关或法律。虽然许多合法choices)或《distribution of alternatives inheritance可以成为过去,用1)customary law》情节一样,在伊斯兰教2)faroid劳-伊斯兰法律3)“KHI和第四师)用佛教境民权法典而Teachings境法律以前distribution of inheritance是customary law and民权法典。当《伊斯兰宗教所有那些我们inheritance heirs可以接受,只要他们是obstructed音符(《佛教的原因不能接受inheritance)而不是所有heirs因为如果》和《家庭(heirs)有人decides to成为samanera或samaneri和他爸爸,然后自动将音符able to我们inheritance…安装:distribution inheritance,佛教和伊斯兰教的
{"title":"SISTEM KEWARISAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN AJARAN AGAMA BUDHA","authors":"Humphrey Sarwono Witjaksono","doi":"10.33474/HUKENO.V3I2.3374","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/HUKENO.V3I2.3374","url":null,"abstract":"Dalam sistem pembagian waris baik menurut Agama Budha maupun Agama Islam masih banyak menggunakan hukum adat atau hukum yang berlaku di masyarakat. meskipun banyak pilihan atau alternatif hukum dalam pembagian waris yang dapat digunakan antara lain, dalam Islam menggunakan 1) hukum adat 2) hukum faroid/hukum Islam 3) KHI dan 4) menggunakan KUH Perdata sedangkan dalam AjaranBudha hukum yang di gunakan dalam pembagian waris adalah Hukum adat dan KUH Perdata. Sedangkan yang menerima warisan dalam Agama Islam semuanya ahli waris bisa menerima asalkan tidak terhalang (alasan tidak bisa menerima waris) sedangkan dalam Agama Budha tidak semua ahli waris karena jika dalam keluarga tersebut (ahli waris) ada yang memutuskan untuk menjadi samanera atau samaneri dan bhikku maka secara otomatis dia tidak akan bisa menerima warisan.Kata kunci: pembagian waris, agama Budha dan agama Islam In the system of inheritance distribution both according to Buddhism and Islamic Religion still use many customary laws or laws that apply in the community. although many legal choices or alternatives in the distribution of inheritance can be used, among others, in Islam using 1) customary law 2) faroid law/Islamic law 3) KHI and 4) using the Civil Code while in the Buddhist Teachings the law used in the distribution of inheritance is Customary law and the Civil Code. While those who receive inheritance in the Islamic Religion all heirs can accept as long as they are not obstructed (reason can not accept inheritance) while in Buddhism not all heirs because if in the family (heirs) someone decides to become samanera or samaneri and bhikku then automatically he will not be able to receive inheritance..Keywords: distribution of inheritance, Buddhism and Islam ","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"87 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116746384","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.33474/HUKENO.V3I2.3373
Christie D. F. Gumansing
Kebutuhan hukum bisnis dalam hal teknis pembangunan rumah susun semakin meningkat, pembangunan rumah susun yang pada dasarnya diperuntukkan bagi wilayah yang padat penduduk untuk mengakomodir berkurangnnya lahan pemukiman. Tidak adanya penjelasan secara teknis di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun sehingga mengakibatkan adanya permasalahan hukum yaitu kekosongan norma. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Adapun hasil dalam penelitian ini yaitu: politik perundang-undangan merupakan sebagian dari politik hukum. Politik perundang-undangan berkenaan dengan pembangunan materi hukum, Negara Republik Indonesia telah meletakkan dasar politk hukum agrarian nasional sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Adapun implikasi hukum akibat belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 dalah dilema yang dialami oleh para steakholder agar diterbitkan Peraturan Pemerintah sehingga tidak menghambat diterbitkannya peraturan pelaksana selanjtnya dalam pendirian rumah susun.Kata kunci: rumah susun, peraturan pemerintah, steakholder. The need for business law in terms of technical development of flats is increasing, the construction of flats is basically intended for densely populated areas to accommodate the reduction of residential land. There is no technical explanation in Law Number 20 of 2011 concerning Flats, resulting in legal problems, namely the vacuum of norms. The method used in this study is normative juridical legal research using sources of primary, secondary and tertiary legal materials. The results in this study are: the politics of legislation is part of legal politics. The politics of legislation regarding the development of legal material, the State of the Republic of Indonesia has laid the political basis of national agrarian law as contained in the provisions of Article 33 paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia. The legal implications of the issuance of Government Regulation No. 20 of 2011 are the dilemmas experienced by steakholders so that the Government Regulation is issued so that it does not hinder the issuance of the next implementing regulation in the establishment of flats. Keywords: flats, government regulations, steakholders
商业法律对廉价住房技术技术的需求正在增加,而廉价住房基本上是为人口稠密的地区提供住房。2011年第20条关于平底鞋的法律缺乏技术上的解释,这导致了一种常见的不规范真空的法律问题。本研究采用的方法是法例法例研究,采用初级、次生和总法例材料。至于这项研究的结果:立法政治是法律政治的一部分。印度尼西亚共和国在材料发展方面的立法政治为《印度尼西亚共和国宪法》第33节(3)所载的国家农业政治法奠定了基础。至于2011年《政府条例》第20条未发表的法律影响,这是steakholder面临的两难境地,即发布《政府条例》,以免妨碍制定《公共住房条例》。关键词:公寓,政府法规,自助餐。flats技术发展的商业法则是增加的,而flats的构造基本上是建立一个更受欢迎的区域来协调剩余土地的减少。没有技术是解释在法律20号的2011 concerning平底鞋,resulting in合法problems, namely诺米的真空。这项研究使用的方法是标准的法律研究,使用的是初级、二级和间接合法材料。这项研究的结果是政治立法的一部分legislation政治》关于The development of State university》合法的材料,印度尼西亚共和国国家agrarian耶之政治基地美国法律中的有趣provisions of文章第(3)段33 of印尼共和国宪法》。2011年政府规定第20条的法律后果是由steakholders提供的,因此政府规定不包括在平地建立下一项规定的前提。平原,政府调配,企业家
{"title":"PROBLEMATIKA YURIDIS BELUM DITERBITKANNYA PERATURAN PEMERINTAH UU NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN","authors":"Christie D. F. Gumansing","doi":"10.33474/HUKENO.V3I2.3373","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/HUKENO.V3I2.3373","url":null,"abstract":"Kebutuhan hukum bisnis dalam hal teknis pembangunan rumah susun semakin meningkat, pembangunan rumah susun yang pada dasarnya diperuntukkan bagi wilayah yang padat penduduk untuk mengakomodir berkurangnnya lahan pemukiman. Tidak adanya penjelasan secara teknis di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun sehingga mengakibatkan adanya permasalahan hukum yaitu kekosongan norma. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Adapun hasil dalam penelitian ini yaitu: politik perundang-undangan merupakan sebagian dari politik hukum. Politik perundang-undangan berkenaan dengan pembangunan materi hukum, Negara Republik Indonesia telah meletakkan dasar politk hukum agrarian nasional sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Adapun implikasi hukum akibat belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 dalah dilema yang dialami oleh para steakholder agar diterbitkan Peraturan Pemerintah sehingga tidak menghambat diterbitkannya peraturan pelaksana selanjtnya dalam pendirian rumah susun.Kata kunci: rumah susun, peraturan pemerintah, steakholder. The need for business law in terms of technical development of flats is increasing, the construction of flats is basically intended for densely populated areas to accommodate the reduction of residential land. There is no technical explanation in Law Number 20 of 2011 concerning Flats, resulting in legal problems, namely the vacuum of norms. The method used in this study is normative juridical legal research using sources of primary, secondary and tertiary legal materials. The results in this study are: the politics of legislation is part of legal politics. The politics of legislation regarding the development of legal material, the State of the Republic of Indonesia has laid the political basis of national agrarian law as contained in the provisions of Article 33 paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia. The legal implications of the issuance of Government Regulation No. 20 of 2011 are the dilemmas experienced by steakholders so that the Government Regulation is issued so that it does not hinder the issuance of the next implementing regulation in the establishment of flats. Keywords: flats, government regulations, steakholders","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"18 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134386924","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.33474/HUKENO.V3I2.3364
Chandra Dewangga Marditya Putra
Untuk menjadikan masyarakat tani yang adil dan makmur maka pemerintah melalui program landreform yang meliputi perombakan mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria telah mengamanahkan terkait larangan kepemilikan atas tanah pertanian secara absentee. Dengan adanya ketentuan tersebut diharapkan para pemegang hak atas tanah pertanian dapat mengusahakan atau mengerjakan sendiri tanah yang dimilikinya sehingga tanah-tanah pertanian memang menjadi produktif dan tidak terdapat tanah pertanian yang di biarkan atau absentee. Tujuan larangan absentee agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat desa tempat letak tanah. Fenomena larangan tanah absentee/guntai secara nyata terjadi, tetapi tidak dilakukan sanksi yang tegas.Kata kunci: absentee, kepemilikan hak atas tanah, pertanian, sanksi. To make a fair and prosperous farming community, the government through a Land Reform program which includes a reshuffle of land ownership and control as well as legal relations concerned with land tenure. In accordance with Article 10 paragraph (1) the Basic Agrarian Law mandates Absentee prohibitions on ownership of agricultural land. With the existence of these provisions it is expected that holders of agricultural land can cultivate or work on their own land so that agricultural lands are indeed productive and there is no agricultural land that is left or Absentee. The purpose of the Absentee ban is that the results obtained from the cultivation of land can be enjoyed mostly by rural communities where the land is located. The phenomenon of the prohibition of Absentee / guntai land actually occurred, but no strict sanctions were made.Keywords: absentee,ownership of rights to land, agriculture, sanctions.
{"title":"PENERAPAN LARANGAN PEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE","authors":"Chandra Dewangga Marditya Putra","doi":"10.33474/HUKENO.V3I2.3364","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/HUKENO.V3I2.3364","url":null,"abstract":"Untuk menjadikan masyarakat tani yang adil dan makmur maka pemerintah melalui program landreform yang meliputi perombakan mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria telah mengamanahkan terkait larangan kepemilikan atas tanah pertanian secara absentee. Dengan adanya ketentuan tersebut diharapkan para pemegang hak atas tanah pertanian dapat mengusahakan atau mengerjakan sendiri tanah yang dimilikinya sehingga tanah-tanah pertanian memang menjadi produktif dan tidak terdapat tanah pertanian yang di biarkan atau absentee. Tujuan larangan absentee agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat desa tempat letak tanah. Fenomena larangan tanah absentee/guntai secara nyata terjadi, tetapi tidak dilakukan sanksi yang tegas.Kata kunci: absentee, kepemilikan hak atas tanah, pertanian, sanksi. To make a fair and prosperous farming community, the government through a Land Reform program which includes a reshuffle of land ownership and control as well as legal relations concerned with land tenure. In accordance with Article 10 paragraph (1) the Basic Agrarian Law mandates Absentee prohibitions on ownership of agricultural land. With the existence of these provisions it is expected that holders of agricultural land can cultivate or work on their own land so that agricultural lands are indeed productive and there is no agricultural land that is left or Absentee. The purpose of the Absentee ban is that the results obtained from the cultivation of land can be enjoyed mostly by rural communities where the land is located. The phenomenon of the prohibition of Absentee / guntai land actually occurred, but no strict sanctions were made.Keywords: absentee,ownership of rights to land, agriculture, sanctions.","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131827484","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.33474/HUKENO.V4I1.6447
Susani Triwahyuningsih
Notaris merupakan salah satu pelayan masyarakat yang penting atau bahkan istimewa. Pelayanannya ini berhubungan dengan perlindungan atau penegakan hukum. Dalam ranah demikian, peran yang dilakukan oleh notaris identik dengan menegakkan hak asasi manusia (HAM), karena dari aktifitas yang dilakukannya dapat memberikan jaminan kepastian yuridis terdapa hak-hak masyarakat atau pihak yang meminta jasa layanan kepadanya. Kalau jasa layanan yang ditunjukkannya benar sesuai dengan norma yuridis, maka hal ini memosisikannya sebagai subyek yang bekomitmen terhadap HAM.Kata kunci: notaris, peran, hak asasi manusia, penegakanNotary is one of important or even special public servants. This service is related to protection or law enforcement. In this domain, the role carried out by the notary is synonymous with upholding human rights (HAM), because the activities carried out can provide a guarantee of juridical certainty on the rights of the society or the party requesting services to him. If the services shown are in accordance with juridical norms, then their positions as subjects who are committed to HAM.Keywords: notary, role, human rights, enforcement
{"title":"PERAN NOTARIS DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA","authors":"Susani Triwahyuningsih","doi":"10.33474/HUKENO.V4I1.6447","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/HUKENO.V4I1.6447","url":null,"abstract":" Notaris merupakan salah satu pelayan masyarakat yang penting atau bahkan istimewa. Pelayanannya ini berhubungan dengan perlindungan atau penegakan hukum. Dalam ranah demikian, peran yang dilakukan oleh notaris identik dengan menegakkan hak asasi manusia (HAM), karena dari aktifitas yang dilakukannya dapat memberikan jaminan kepastian yuridis terdapa hak-hak masyarakat atau pihak yang meminta jasa layanan kepadanya. Kalau jasa layanan yang ditunjukkannya benar sesuai dengan norma yuridis, maka hal ini memosisikannya sebagai subyek yang bekomitmen terhadap HAM.Kata kunci: notaris, peran, hak asasi manusia, penegakanNotary is one of important or even special public servants. This service is related to protection or law enforcement. In this domain, the role carried out by the notary is synonymous with upholding human rights (HAM), because the activities carried out can provide a guarantee of juridical certainty on the rights of the society or the party requesting services to him. If the services shown are in accordance with juridical norms, then their positions as subjects who are committed to HAM.Keywords: notary, role, human rights, enforcement","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"33 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131894971","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.33474/hukeno.v3i2.3378
Fanny Tanuwijaya
Kekerasan bisa menimpa siapa saja, tidak terecuali seseorang yang mempunyai pekerjaan atau profesi di bidang hukum seperti Notaris. Ada saja seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kekerasan terhadap Notaris. Meskipun demikian, Notaris dalam menjalankan profesinya terikat pada perannya yang memang harus kuat dan berani menghadapi tantangan apapun, termasuk kekerasan guna memberikan layanan yang terbaik pada masyarakat atau pihak-pihak yang membutuhkan dirinya. Kekerasan hanya sebagai bagian kecil dari beragam tantangan yang dihadapinya dalam menjalankan kewenangan, kewajiban, atau tugas-tugas profesionalitasnya.Kata kunci: Notaris, kekerasan, profesionalisme, layananViolence can happen to anyone, including someone who has a job or legal profession such as a Notary. There is a person or group of people who commit violence against a Notary. Even so, the Notary in carrying out his profession is bound to his role that indeed must be strong and brave to face any challenges, including violence in order to provide the best service to the society or those who need him. Violence is only a small part of various challenges that has to be faced in carrying out his authority, obligations or professional duties.Keywords: Notary, violence, professionalism, service
暴力可以折磨任何人,不得剥夺公证人等从事法律工作或职业的人。没有人或一群人对公证人使用暴力。然而,公证人在他的职业中所扮演的角色必须是坚强和勇敢的,面对任何挑战,包括暴力,为社会或需要帮助的人提供最好的服务。暴力只是它在履行其权力、义务或职业职责方面所面临的众多挑战中的一小部分。关键词:公证、暴力、职业、服务暴力都可能发生在任何人身上,包括一个拥有工作或合法职业的人。有一个人或一群人致力于对Notary的暴力行为。事实上,他的职业的Notary根深蒂固,他的职业不可避免地注定要面对任何挑战,包括为社会提供最佳服务或为需要他的人提供最佳服务。暴力只是这场斗争的一小部分,这场斗争必须消除他的权威、职业责任或职业责任。歌曲:Notary, violence, professionalism, service
{"title":"ANATOMI KEKERASAN TERHADAP NOTARIS","authors":"Fanny Tanuwijaya","doi":"10.33474/hukeno.v3i2.3378","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/hukeno.v3i2.3378","url":null,"abstract":"Kekerasan bisa menimpa siapa saja, tidak terecuali seseorang yang mempunyai pekerjaan atau profesi di bidang hukum seperti Notaris. Ada saja seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kekerasan terhadap Notaris. Meskipun demikian, Notaris dalam menjalankan profesinya terikat pada perannya yang memang harus kuat dan berani menghadapi tantangan apapun, termasuk kekerasan guna memberikan layanan yang terbaik pada masyarakat atau pihak-pihak yang membutuhkan dirinya. Kekerasan hanya sebagai bagian kecil dari beragam tantangan yang dihadapinya dalam menjalankan kewenangan, kewajiban, atau tugas-tugas profesionalitasnya.Kata kunci: Notaris, kekerasan, profesionalisme, layananViolence can happen to anyone, including someone who has a job or legal profession such as a Notary. There is a person or group of people who commit violence against a Notary. Even so, the Notary in carrying out his profession is bound to his role that indeed must be strong and brave to face any challenges, including violence in order to provide the best service to the society or those who need him. Violence is only a small part of various challenges that has to be faced in carrying out his authority, obligations or professional duties.Keywords: Notary, violence, professionalism, service","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"38 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134629871","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.33474/HUKENO.V3I2.3389
Werdi Haswari Puspitoningrum
Status hukum HGB yang sudah berakhir masa berlakunya menurut peraturan perundang-undangan adalah kembali kepada status hukum asal hak atas tanah tersebut, yakni kembali menjadi tanah negara atau tanah dengan hak-hak tertentu yang dikuasai oleh subyek hukum pribadi atau badan hukum perdata.Tanah berstatus HGB yang habis masa berlakunya tidak dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Meskipun demikian, dalam peraturanperundang-undangan telah disediakan dua carayang memungkinkan pemegang HGB yang jangka waktunya berakhir tetapmenjadi pemegang HGB, yaitu melalui perpanjanganhak dan pembaharuan hak. Cara mengajukan permohonan peningkatan status tanah dari HGB yang sudah habis masa berlakunya menjadi hak milik adalah dengan mengajukan kembali HGB yang telah berakhir masa berlakunya melalui perpanjanganhak atau pembaharuan hak.Kata Kunci: peningkatan, hak guna bangunan, hak milik The legal status of the HGB which has expired according to legislation is returning to the legal status of origin of the land rights, namely returning to state land or land with certain rights controlled by subject to personal law or civil legal entity. Land with a status of HGB which expires cannot be increased to ownership rights. Nevertheless, in the legislation two ways have been provided which allow HGB holders whose term expires to become HGB holders, namely through extension and renewal of rights. The way to apply for an increase in the status of land from HGB that has expired into ownership is by re-submitting the HGB which has expired through extension or renewal of rights. Keywords: improvement building rights, right of ownership
根据《宪法》规定,目前已终止的HGB法律地位是回归其土地权利的合法地位,即重新成为一个国家或土地,拥有由个人法律或民法主体控制的某些权利。已过期的HGB状态不能升级为私有。然而,在《立法条例》中提出了两种方式,允许HGB永久保留HGB的持有者通过自由裁判权和不断更新的权利。申请从已过期的HGB土地状态升级为私有的方法是重新申请通过权利或续借法案终止的HGB土地状态。关键词:增加,权利,以建筑,属于 合法地位》HGB哪种信用卡过期了弥足legislation合法地位的起源》是返回到土地权利,namely返回到state university)和确定土地或土地权利controlled by到个人法律科目或文明合法实体。拥有HGB的土地无法增加权力。《永不停息》(always on two ways)一直在提出两种方案中提出的要求是:通过延长和改善权利而扩大HGB的限制。从HGB扩展到HGB的土地状态的方法是通过延长或增强的权利重新输入HGB。改善建筑权利,权利
{"title":"PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN YANG HABIS MASA BERLAKUNYA MENJADI HAK MILIK ATAS TANAH","authors":"Werdi Haswari Puspitoningrum","doi":"10.33474/HUKENO.V3I2.3389","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/HUKENO.V3I2.3389","url":null,"abstract":"Status hukum HGB yang sudah berakhir masa berlakunya menurut peraturan perundang-undangan adalah kembali kepada status hukum asal hak atas tanah tersebut, yakni kembali menjadi tanah negara atau tanah dengan hak-hak tertentu yang dikuasai oleh subyek hukum pribadi atau badan hukum perdata.Tanah berstatus HGB yang habis masa berlakunya tidak dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Meskipun demikian, dalam peraturanperundang-undangan telah disediakan dua carayang memungkinkan pemegang HGB yang jangka waktunya berakhir tetapmenjadi pemegang HGB, yaitu melalui perpanjanganhak dan pembaharuan hak. Cara mengajukan permohonan peningkatan status tanah dari HGB yang sudah habis masa berlakunya menjadi hak milik adalah dengan mengajukan kembali HGB yang telah berakhir masa berlakunya melalui perpanjanganhak atau pembaharuan hak.Kata Kunci: peningkatan, hak guna bangunan, hak milik The legal status of the HGB which has expired according to legislation is returning to the legal status of origin of the land rights, namely returning to state land or land with certain rights controlled by subject to personal law or civil legal entity. Land with a status of HGB which expires cannot be increased to ownership rights. Nevertheless, in the legislation two ways have been provided which allow HGB holders whose term expires to become HGB holders, namely through extension and renewal of rights. The way to apply for an increase in the status of land from HGB that has expired into ownership is by re-submitting the HGB which has expired through extension or renewal of rights. Keywords: improvement building rights, right of ownership ","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127304015","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.33474/HUKENO.V3I2.3371
H. Sunaryanto
Tempat penyimpanan protokol Notaris yang berumur dua puluh lima tahun jo. Pasal 70 huruf e UUJN selama ini tidak berjalan efektif dikarenakan MPD belummempunyai lokasiuntuk menyimpandengan kondisi representatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penyimpanan protokol Notaris: pertama, masalah aturan yang ada di UUJN dimana belum ditentukan secara tegas mengenai Jadwal Retensi Arsip, maka perlu dibuatkan aturan baru mengenai masa kadaluarsa di UUJN/UUJN-P atau memakai aturan kadaluarsa yang ada di pasal 1967 KUHPerdata dan Pasal 78 KUHP, kedua, masalah tempat penyimpanan, maka perlu membuat aturan baru mengenai penyimpanan yang lebih modern dan tidak banyak memerlukan tempat dengan menggunakan penyimpanan elektronik/digital.Kata Kunci: efektvitas, protokol notaris, penyimpanan, MPDThe storage area of the twenty-five year old Notary protocol jo. Article 70 letter e UUJN has not been effective so far because the MPD has no location to save it with representative conditions. Factors that influence the effectiveness of storage of the Notary protocol: first, the problem of rules in UUJN where it has not been explicitly stipulated regarding the Archive Retention Schedule, it is necessary to make new rules regarding the expiration date of UUJN / UUJN-P or use the expiration rules in article 1967 Civil Code and Article 78 of the Criminal Code, second, the problem of storage, it is necessary to make new rules regarding storage that are more modern and do not require much space using electronic/ digital storage.Keywords: effectiveness, notary protocol, storage, MPD
这是一个25岁的公证人协议仓库,乔。第70条eujn长期以来没有有效的运行,因为MPD还没有位置在代理状态下停飞。影响公证协议有效性的因素:首先,它是在UUJN尚未确定明确的规则关于保留文件的时间表,那么需要做关于保质期的新规则在UUJN - UUJN-P或使用过期的规则在1967年KUHPerdata章和第78条,其次,存放问题,那么需要制定新规则的存储更现代的人并没有那么多需要用电子/数字存储的地方。关键词:效力,公证协议,存储,MPDThe存储区域这篇文章的第70个字母UUJN还没有这么有效,因为MPD没有位置在代表协议下保存它。影响诺特协议效率的因素:第一,规则的问题》UUJN哪里它不是被explicitly stipulated关于《档案Retention附表,是有必要让新规则关于the expiration date of UUJN 1967 - UUJN-P或用expiration规则》文章民权法典》和《刑事法典》,文章78秒存储问题》,是关于有必要让新规则存储更多现代的船只和不要require多用电子/数字存储空间。效果,notary协议,存储,MPD
{"title":"EFEKTIVITAS TEMPAT PENYIMPANAN PROTOKOL NOTARIS YANG TELAH BERUMUR 25 TAHUN","authors":"H. Sunaryanto","doi":"10.33474/HUKENO.V3I2.3371","DOIUrl":"https://doi.org/10.33474/HUKENO.V3I2.3371","url":null,"abstract":"Tempat penyimpanan protokol Notaris yang berumur dua puluh lima tahun jo. Pasal 70 huruf e UUJN selama ini tidak berjalan efektif dikarenakan MPD belummempunyai lokasiuntuk menyimpandengan kondisi representatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penyimpanan protokol Notaris: pertama, masalah aturan yang ada di UUJN dimana belum ditentukan secara tegas mengenai Jadwal Retensi Arsip, maka perlu dibuatkan aturan baru mengenai masa kadaluarsa di UUJN/UUJN-P atau memakai aturan kadaluarsa yang ada di pasal 1967 KUHPerdata dan Pasal 78 KUHP, kedua, masalah tempat penyimpanan, maka perlu membuat aturan baru mengenai penyimpanan yang lebih modern dan tidak banyak memerlukan tempat dengan menggunakan penyimpanan elektronik/digital.Kata Kunci: efektvitas, protokol notaris, penyimpanan, MPDThe storage area of the twenty-five year old Notary protocol jo. Article 70 letter e UUJN has not been effective so far because the MPD has no location to save it with representative conditions. Factors that influence the effectiveness of storage of the Notary protocol: first, the problem of rules in UUJN where it has not been explicitly stipulated regarding the Archive Retention Schedule, it is necessary to make new rules regarding the expiration date of UUJN / UUJN-P or use the expiration rules in article 1967 Civil Code and Article 78 of the Criminal Code, second, the problem of storage, it is necessary to make new rules regarding storage that are more modern and do not require much space using electronic/ digital storage.Keywords: effectiveness, notary protocol, storage, MPD","PeriodicalId":287129,"journal":{"name":"Jurnal Hukum dan Kenotariatan","volume":"2014 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127524016","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}