{"title":"Blokade Peribulbar pada Geriatri dengan Hipertensi Tidak Terkontrol yang Mengalami Cedera Bola Mata Terbuka","authors":"Kirby Saputra, Dedi Fitri Yadi, Muhamad Adli","doi":"10.15851/jap.v9n3.2589","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n3.2589","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44482110","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian pada luka bakar berat karena dampak luka bakar yang luas pada sistem organ. Prokalsitonin dan skor sequential organ failure assessment (SOFA) memiliki kemampuan yang sama dalam menilai prognosis pada pasien sepsis untuk indikator mortalitas, terapi yang lebih awal dan mengevaluasi terapi yang diberikan, agar angka mortalitas dapat menurun. Penggunaan antibiotik yang tepat dan akurat juga dapat dianggap sebagai faktor penting dalam meningkatkan prognosis. Tujuan penelitian ini melihat gambaran prokalsitonin, skor SOFA, dan rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien luka bakar berat di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yang dilakukan pada 38 pasien yang dirawat di ULB dan ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Februari–Agustus 2021. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa nilai prokalsitonin yang didukung skor SOFA dapat dijadikan acuan untuk mempertimbangkan keberhasilan pemberian antibiotik dan penghentian antibiotik pada pasien luka bakar berat. Pemberian antibiotik pada seluruh pasien luka bakar berat di RSUP Dr. Hasan Sadikin tidak rasional dikarenakan tidak didasari pemeriksaan kultur dan prokalsitonin pada hari pertama pasien terpapar. Pemberian antibiotik profilaksis secara rasional harus didukung oleh tanda-tanda infeksi yang jelas dilihat dari nilai prokalsitonin, skor SOFA, dan kultur untuk menghindari resistensi antibiotik
脓毒症仍然是器官系统大面积烧伤导致严重烧伤死亡的主要原因。降钙素原和连续器官衰竭评估(SOFA)评分在评估败血症患者的预后、死亡率指标、早期治疗和治疗评估方面具有相同的能力,因此死亡率可以降低。正确准确地使用抗生素也可以被视为改善预后的重要因素。本研究的目的是观察RSUP Hasan Sadikin Bandung医生对严重烧伤患者使用降钙素原的图像、SOFA评分以及抗生素的合理性。这项研究是一项观察性分析研究,于2021年2月至8月在万隆ULB和ICU RSUP接受治疗的38名患者中进行。本研究得出的结论是,SOFA支持的降钙素原值可用于考虑严重烧伤患者使用抗生素和停止使用抗生素的成功。在RSUP,Hasan Sadikin医生对所有严重烧伤患者使用抗生素是不合理的,因为这不是基于患者出现第一天的文化和降钙素原检查。预防性抗生素应通过降钙素原值、SOFA评分和培养的可见感染迹象来合理支持,以避免抗生素耐药性。
{"title":"Gambaran Prokalsitonin, Skor SOFA, dan Rasionalitas Pemberian Antibiotik pada Pasien Luka Bakar Berat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Februari–Agustus 2021","authors":"Kurnia Ricky Ananta, Erwin Pradian, Nurita Dian Kestriani","doi":"10.15851/jap.v9n3.2579","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n3.2579","url":null,"abstract":"Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian pada luka bakar berat karena dampak luka bakar yang luas pada sistem organ. Prokalsitonin dan skor sequential organ failure assessment (SOFA) memiliki kemampuan yang sama dalam menilai prognosis pada pasien sepsis untuk indikator mortalitas, terapi yang lebih awal dan mengevaluasi terapi yang diberikan, agar angka mortalitas dapat menurun. Penggunaan antibiotik yang tepat dan akurat juga dapat dianggap sebagai faktor penting dalam meningkatkan prognosis. Tujuan penelitian ini melihat gambaran prokalsitonin, skor SOFA, dan rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien luka bakar berat di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yang dilakukan pada 38 pasien yang dirawat di ULB dan ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Februari–Agustus 2021. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa nilai prokalsitonin yang didukung skor SOFA dapat dijadikan acuan untuk mempertimbangkan keberhasilan pemberian antibiotik dan penghentian antibiotik pada pasien luka bakar berat. Pemberian antibiotik pada seluruh pasien luka bakar berat di RSUP Dr. Hasan Sadikin tidak rasional dikarenakan tidak didasari pemeriksaan kultur dan prokalsitonin pada hari pertama pasien terpapar. Pemberian antibiotik profilaksis secara rasional harus didukung oleh tanda-tanda infeksi yang jelas dilihat dari nilai prokalsitonin, skor SOFA, dan kultur untuk menghindari resistensi antibiotik","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46514379","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nyeri pada saat penyuntikan jarum epidural menjadi kekurangan terhadap aplikasi tindakan epidural. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan efektivitas pemberian EMLA 5% dibanding dengan etil klorida spray untuk mengurangi nyeri pada suntikan jarum epidural dengan skor visual analoge scale (VAS). Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan pendekatan uji klinis dengan teknik single blind. Terdapat 30 subjek penelitian menjalani tindakan epidural di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan status fisik ASA I dan II berusia 20–65 tahun. Sampel meliputi 10 subjek dengan pemberian EMLA 5%, 10 subjek etil klorida spray dan 10 subjek lidokain 2%. Setelah dilakukan randomisasi dilakukan pengukuran intensitas nyeri dengan skor VAS pada kedalaman jarum epidural 0,5–1 cm dan 1–4 cm. Hasil pemberian EMLA 5% memberikan hasil yang lebih baik terhadap nilai VAS saat penyuntikan jarum epidural dibanding dengan etil klorida spray, perbedaan tingkat nyeri ditunjukkan pada kedalaman jarum epidural 0,5–1 cm (p=0,006) dan 1–4 cm p=0,000 (p<0,05). Simpulan, pemberian EMLA 5% efektif mengurangi rasa nyeri pada suntikan epidural.
{"title":"Efektivitas Pemberian EMLA 5% Dibanding dengan Spray Etil Klorida Spray untuk Mengurangi Nyeri pada Suntikan Jarum Epidural","authors":"Heri Dwi Purnomo, Fitri Hapsari Dewi, Ariffandy Dwi Citra","doi":"10.15851/jap.v9n3.2484","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n3.2484","url":null,"abstract":"Nyeri pada saat penyuntikan jarum epidural menjadi kekurangan terhadap aplikasi tindakan epidural. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan efektivitas pemberian EMLA 5% dibanding dengan etil klorida spray untuk mengurangi nyeri pada suntikan jarum epidural dengan skor visual analoge scale (VAS). Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan pendekatan uji klinis dengan teknik single blind. Terdapat 30 subjek penelitian menjalani tindakan epidural di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan status fisik ASA I dan II berusia 20–65 tahun. Sampel meliputi 10 subjek dengan pemberian EMLA 5%, 10 subjek etil klorida spray dan 10 subjek lidokain 2%. Setelah dilakukan randomisasi dilakukan pengukuran intensitas nyeri dengan skor VAS pada kedalaman jarum epidural 0,5–1 cm dan 1–4 cm. Hasil pemberian EMLA 5% memberikan hasil yang lebih baik terhadap nilai VAS saat penyuntikan jarum epidural dibanding dengan etil klorida spray, perbedaan tingkat nyeri ditunjukkan pada kedalaman jarum epidural 0,5–1 cm (p=0,006) dan 1–4 cm p=0,000 (p<0,05). Simpulan, pemberian EMLA 5% efektif mengurangi rasa nyeri pada suntikan epidural.","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45494198","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penanganan nyeri akut yang tidak adekuat merupakan faktor risiko terjadin nyeri kronik dan komplikasi lainnya. Metode yang efektif dan efisien mengontrol nyeri akut yang berat adalah infiltrasi tepi luka operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas infiltrasi ketamin dan levobupivakain dalam mengurangi kebutuhan morfin patient controlled analgesia (PCA) pascalaparatomi. Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar tunggal yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus 2018. Sampel terdiri atas 30 subjek yang dilakukan operasi laparatomi dengan anestesi umum yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok infiltrasi levobupivakain, infiltrasi ketamin, dan infiltrasi saline. Semua pasien mendapatkan morfin PCA pascaoperasi. Setelah itu dinilai jumlah penggunaan morfin dan efek mual-muntah pascaoperasi, dan efek samping tindakan infiltrasi. Penggunaan morfin PCA pada kelompok ketamin rerata 2,20+1,32 mg, pada kelompok levobupivakain penggunaan morfin rerata 5,80+1,03 mg, dan pada kelompok NaCl penggunaan morfin rerata 10,00+1,76 mg. Uji statistik Kruskal Wallis didapatkan perbedaan yang signifikan penggunaan morfin PCA antara pasien kelompok ketamin, levobupivakain dan NaCl (p<0,05). Simpulan penelitian ini bahwa infiltrasi ketamin mengurangi nyeri pascalaparatomi lebih baik dibanding dengan infiltrasi levobupivakain dan saline.
{"title":"Perbedaan Kebutuhan Morfin PCA Pascalaparatomi antara Infiltrasi Ketamin dan Infiltrasi Levobupivakain","authors":"A. Widayat","doi":"10.15851/jap.v9n3.2493","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n3.2493","url":null,"abstract":"Penanganan nyeri akut yang tidak adekuat merupakan faktor risiko terjadin nyeri kronik dan komplikasi lainnya. Metode yang efektif dan efisien mengontrol nyeri akut yang berat adalah infiltrasi tepi luka operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas infiltrasi ketamin dan levobupivakain dalam mengurangi kebutuhan morfin patient controlled analgesia (PCA) pascalaparatomi. Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar tunggal yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus 2018. Sampel terdiri atas 30 subjek yang dilakukan operasi laparatomi dengan anestesi umum yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok infiltrasi levobupivakain, infiltrasi ketamin, dan infiltrasi saline. Semua pasien mendapatkan morfin PCA pascaoperasi. Setelah itu dinilai jumlah penggunaan morfin dan efek mual-muntah pascaoperasi, dan efek samping tindakan infiltrasi. Penggunaan morfin PCA pada kelompok ketamin rerata 2,20+1,32 mg, pada kelompok levobupivakain penggunaan morfin rerata 5,80+1,03 mg, dan pada kelompok NaCl penggunaan morfin rerata 10,00+1,76 mg. Uji statistik Kruskal Wallis didapatkan perbedaan yang signifikan penggunaan morfin PCA antara pasien kelompok ketamin, levobupivakain dan NaCl (p<0,05). Simpulan penelitian ini bahwa infiltrasi ketamin mengurangi nyeri pascalaparatomi lebih baik dibanding dengan infiltrasi levobupivakain dan saline.","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44725189","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nyeri tenggorok adalah komplikasi yang sering dikeluhkan pasien setelah penggunaan pipa endotrakeal pada tindakan anestesi umum. Kejadian nyeri tenggorok dapat dikurangi dengan pemberian agen analgetik. Tujuan penelitian ini mengetahui perbedaan efektivitas antara ketamin kumur dan lidokain spray untuk mengurangi nyeri tenggorok pascaekstubasi. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat dan kamar rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dimulai pada bulan Februari–Maret 2018. Penelitian ini bersifat eksperimental dengan double blind randomized control trial pada pasien yang dilakukan anestesi umum dan dipasang pipa endotrakea. Uji Mann Whitney U digunakan untuk mengolah data. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua, yaitu kelompok ketamin kumur (I) dan lidokain spray (II). Ketamin kumur lebih efektif mengurangi nyeri tenggorokan, batuk, dan suara serak dibanding dengan lidokain spray mulai 1 jam pascaoperasi dan 6 jam pascaoperasi (p<0,05), sedangkan pada 24 jam pascaoperasi lidokain spray memiliki efektivitas yang hampir sama dengan ketamin kumur.
{"title":"Perbandingan Efektivitas antara Ketamin Kumur dan Lidokain Spray untuk Mengurangi Nyeri Tenggorok, Batuk, dan Serak Pascaekstubasi","authors":"Purwoko Purwoko, M. Thamrin, Wahyu Hananto","doi":"10.15851/jap.v9n3.2464","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n3.2464","url":null,"abstract":"Nyeri tenggorok adalah komplikasi yang sering dikeluhkan pasien setelah penggunaan pipa endotrakeal pada tindakan anestesi umum. Kejadian nyeri tenggorok dapat dikurangi dengan pemberian agen analgetik. Tujuan penelitian ini mengetahui perbedaan efektivitas antara ketamin kumur dan lidokain spray untuk mengurangi nyeri tenggorok pascaekstubasi. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat dan kamar rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dimulai pada bulan Februari–Maret 2018. Penelitian ini bersifat eksperimental dengan double blind randomized control trial pada pasien yang dilakukan anestesi umum dan dipasang pipa endotrakea. Uji Mann Whitney U digunakan untuk mengolah data. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua, yaitu kelompok ketamin kumur (I) dan lidokain spray (II). Ketamin kumur lebih efektif mengurangi nyeri tenggorokan, batuk, dan suara serak dibanding dengan lidokain spray mulai 1 jam pascaoperasi dan 6 jam pascaoperasi (p<0,05), sedangkan pada 24 jam pascaoperasi lidokain spray memiliki efektivitas yang hampir sama dengan ketamin kumur.","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45652738","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Excessive daytime sleepiness (EDS) adalah ketidakmampuan untuk tetap terjaga pada siang hari yang menghasilkan rasa kantuk berlebih dan tertidur pada waktu yang tidak tepat. Prevalensi EDS yang tinggi ditemukan pada tenaga medis seperti peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif. Kondisi EDS dapat memengaruhi fungsi kognitif dan waktu reaksi. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan EDS dengan normal daytime sleepiness (NDS) terhadap fungsi kognitif serta waktu reaksi peserta PPDS Anestesiologi. Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif numerik dengan rancangan potong lintang yang dilakukan pada peserta PPDS Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di bulan November 2020. Seluruh PPDS Anestesiologi mengisi kuisioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) agar terbagi menjadi dua kelompok, kelompok EDS (n=23) dan kelompok NDS (n=23). Fungsi kognitif diukur menggunakan tes Montreal Cognitive Assessment versi Bahasa Indonesia dan waktu reaksi menggunakan perangkat lunak Personal Computer - Psychomotor Vigilance Task . Hasil penelitian menunjukkan fungsi kognitif lebih rendah pada kelompok EDS (26,74±1,096) dibanding dengan kelompok NDS (28,65±1,191) dan waktu reaksi lebih lambat pada kelompok EDS (337,38±62,021) dibanding dengan kelompok NDS (298,81±34,225). Simpulan penelitian adalah peserta PPDS Anestesiologi kelompok EDS memiliki fungsi kognitif lebih rendah dan waktu reaksi lebih lambat dibanding dengan peserta PPDS Anestesiologi kelompok NDS. Comparison between Excessive Daytime Sleepiness and Normal Daytime Sleepiness on Cognitive Function and Reaction Time of Anesthesiology and Intensive Care Residents Excessive daytime sleepiness (EDS) is the inability to stay alert during the day due to sleepiness during daytime, often associated with the tendency of falling asleep during inappropriate times. High prevalence of EDS was found among medical workers, such as anesthesiology residents. The condition is associated with increased secretion of cathecholamines, cortisol, and inflammatory mediators that may affect the prefrontal cortex, area of the brain that acts as a center for cognitive function and reaction time. The study aimed to compare EDS with normal daytime sleepiness (NDS) on cognitive function and reaction time of anesthesiology residents. The research was a numerical comparative analytic study with a cross-sectional design performed on anesthesiology residents of Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran in November 2020. All residents in the department were instructed to complete the Epworth Sleepiness Scale (ESS) questionnaire. After completion, the respondents were randomized using simple random sampling into two groups: the EDS group (n=23) and NDS group (n=23). Each group was assessed for cognitive function using the Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment and reaction time using the Personal Computer-Psychomotor Vigilance Task software. Lower cogn
白天过度嗜睡(EDS)是指在白天有足够的睡眠时间来缓解症状,而白天的睡眠时间则更长。常见的高EDS出现在医学领域,如特殊疾病预防和强化计划。EDS的状况可能会导致高风险和高风险。这项研究发现,EDS与正常的日间嗜睡(NDS)具有相似的功能,并且可能会破坏PPDS Anesteologics。这是一个与2020年11月在巴基斯坦大学医学院PPDS Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran进行的一系列研究结果相结合的数字分析。PPDS Anesteologics采用Epworth睡眠量表(ESS)分为两组:一组为EDS组(n=23),另一组为NDS组(n=23)。已知的真菌会使用印度尼西亚蒙特利尔认知评估中心,并会使用个人电脑——心理运动警戒任务。这一发现表明,与NDS(28,65±1191)相比,EDS(26,74±1096)组的认知功能更低,EDS(337,38±62021)组的破损程度更高,与NDS(298,81±34225)组相比。与NDS的PPDS Anesteologics相比,改进的主要是EDS的PPDS Annesteological具有更低的识别率和更高的破坏率。麻醉科和重症监护住院医师的认知功能和反应时间白天过度嗜睡和正常嗜睡的比较白天过度嗜睡(EDS)是指由于白天嗜睡而无法在白天保持警惕,通常与在不适当的时间入睡的倾向有关。EDS在医务工作者中的患病率很高,比如麻醉师。这种情况与儿茶酚胺、皮质醇和炎症介质的分泌增加有关,这些介质可能会影响前额叶皮层,前额叶皮层是大脑中认知功能和反应时间的中心。本研究旨在比较EDS和正常日间嗜睡(NDS)对麻醉师居民认知功能和反应时间的影响。这项研究是一项数值比较分析研究,采用横断面设计,于2020年11月在帕贾贾兰大学医学院麻醉学住院医师身上进行。该部门的所有居民都被要求完成Epworth失眠量表(ESS)问卷。完成后,使用简单随机抽样将受访者随机分为两组:EDS组(n=23)和NDS组(n=23)。使用印尼版蒙特利尔认知评估对每组的认知功能进行评估,并使用个人电脑心理运动警戒任务软件对反应时间进行评估。EDS组的认知功能得分(26.74±1.096)低于NDS组(28.65±1.191);EDS组(337.38±62.021)的反应时间比NDS组(298,81±34.225)慢。两个变量在两组之间都显示出显著差异(p<0.05)。研究得出结论,患有EDS的麻醉学住院医师与患有NDS的麻醉术住院医师相比,认知得分较低,反应时间较慢。
{"title":"Perbandingan Excessive Daytime Sleepiness dengan Normal Daytime Sleepiness terhadap Fungsi Kognitif serta Waktu Reaksi Peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif","authors":"Army Zaka Anwary, Iwan Fuadi, Ardi Zulfariansyah","doi":"10.15851/jap.v9n2.2391","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n2.2391","url":null,"abstract":"Excessive daytime sleepiness (EDS) adalah ketidakmampuan untuk tetap terjaga pada siang hari yang menghasilkan rasa kantuk berlebih dan tertidur pada waktu yang tidak tepat. Prevalensi EDS yang tinggi ditemukan pada tenaga medis seperti peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif. Kondisi EDS dapat memengaruhi fungsi kognitif dan waktu reaksi. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan EDS dengan normal daytime sleepiness (NDS) terhadap fungsi kognitif serta waktu reaksi peserta PPDS Anestesiologi. Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif numerik dengan rancangan potong lintang yang dilakukan pada peserta PPDS Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di bulan November 2020. Seluruh PPDS Anestesiologi mengisi kuisioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) agar terbagi menjadi dua kelompok, kelompok EDS (n=23) dan kelompok NDS (n=23). Fungsi kognitif diukur menggunakan tes Montreal Cognitive Assessment versi Bahasa Indonesia dan waktu reaksi menggunakan perangkat lunak Personal Computer - Psychomotor Vigilance Task . Hasil penelitian menunjukkan fungsi kognitif lebih rendah pada kelompok EDS (26,74±1,096) dibanding dengan kelompok NDS (28,65±1,191) dan waktu reaksi lebih lambat pada kelompok EDS (337,38±62,021) dibanding dengan kelompok NDS (298,81±34,225). Simpulan penelitian adalah peserta PPDS Anestesiologi kelompok EDS memiliki fungsi kognitif lebih rendah dan waktu reaksi lebih lambat dibanding dengan peserta PPDS Anestesiologi kelompok NDS. Comparison between Excessive Daytime Sleepiness and Normal Daytime Sleepiness on Cognitive Function and Reaction Time of Anesthesiology and Intensive Care Residents Excessive daytime sleepiness (EDS) is the inability to stay alert during the day due to sleepiness during daytime, often associated with the tendency of falling asleep during inappropriate times. High prevalence of EDS was found among medical workers, such as anesthesiology residents. The condition is associated with increased secretion of cathecholamines, cortisol, and inflammatory mediators that may affect the prefrontal cortex, area of the brain that acts as a center for cognitive function and reaction time. The study aimed to compare EDS with normal daytime sleepiness (NDS) on cognitive function and reaction time of anesthesiology residents. The research was a numerical comparative analytic study with a cross-sectional design performed on anesthesiology residents of Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran in November 2020. All residents in the department were instructed to complete the Epworth Sleepiness Scale (ESS) questionnaire. After completion, the respondents were randomized using simple random sampling into two groups: the EDS group (n=23) and NDS group (n=23). Each group was assessed for cognitive function using the Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment and reaction time using the Personal Computer-Psychomotor Vigilance Task software. Lower cogn","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47036881","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Obesitas merupakan salah satu prediktor independen jalan napas sulit. Laringoskopi direk menggunakan laringoskop Macintosh merupakan teknik standar yang paling sering digunakan untuk intubasi endotrakeal. Penggunaan videolaringoskop (VL) telah meningkatkan angka keberhasilan intubasi pada pasien dengan jalan napas sulit dan memberikan waktu intubasi yang lebih singkat dibanding dengan laringoskopi direk. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan angka keberhasilan dan lama intubasi antara metode laringoskopi direk dan videolaringoskopi pada pasien obesitas. Penelitian ini menggunakan metode prospektif analitik komparatif eksperimental, randomized single blind study dengan jumlah sampel sebanyak 22 pasien di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode November 2020–Januari 2021. Analisis statistik menggunakan Uji Eksak Fisher dan t dua kelompok independen. Dilakukan penilaian keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakeal setiap kelompok yang diuji. Pada kelompok VL, intubasi endotrakeal berhasil dilakukan pada 11 subjek dengan tidak ada subjek gagal, sementara pada kelompok direk didapatkan 6 subjek berhasil dan 5 subjek gagal. Lama intubasi pada kelompok VL rerata 27,69±7,73 detik dan kelompok direk 26,73±4,53 detik. Penelitian ini memberikan hasil angka keberhasilan intubasi endotrakeal dengan metode videolaringoskopi lebih tinggi secara signifikan (p 0,05). Simpulan, penggunaan metode videolaringoskopi pada saat intubasi pada pasien obesitas meningkatkan keberhasilan intubasi, namun tidak mempersingkat lama waktu intubasi. Comparison of Success Rate and Intubation Time between Direct Laryngoscopy and Videolaryngoscopy Methods on Obese Patients Obesity is one of independent predictors of difficult airway. Direct laryngoscopy with Macintosh blade is the frequent standard technique for endotracheal intubation. The use of videolaryngoscope has increased the success rate of intubation in patients with difficult airway and provided a shorter intubation time compared to direct laryngoscopy. The purpose of the study was to compare the result and time discrepancy when intubating obese patients with direct laryngoscopy and videolaryngoscopy methods. This study used prospective analytical comparative experimental, randomized single blind methods, on 22 patients at the central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital, Bandung during November 2020–January 2021. The study assessed the successful result and duration in doing endotracheal intubation from each study groups. In videolaryngoscopy group, 11 subjects were intubated successfully with no subject failed, while in group with direct laryngoscopy, 6 subjects were intubated successfully and 5 subjects failed. The mean time duration rate used to intubate in videolaryngoscopy group was 27.69±7.73 seconds, meanwhile in group with direct laryngoscopy was 26.73±4.53 seconds. The study shows higher successful rate of endotracheal intubation significantly (p 0.05) in videol
{"title":"Perbandingan Angka Keberhasilan dan Lama Intubasi antara Metode Laringoskopi Direk dan Videolaringoskopi pada Pasien Obesitas","authors":"Ririen Lestari, Ezra Oktaliasah, Dhany Budipratama","doi":"10.15851/jap.v9n2.2426","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n2.2426","url":null,"abstract":"Obesitas merupakan salah satu prediktor independen jalan napas sulit. Laringoskopi direk menggunakan laringoskop Macintosh merupakan teknik standar yang paling sering digunakan untuk intubasi endotrakeal. Penggunaan videolaringoskop (VL) telah meningkatkan angka keberhasilan intubasi pada pasien dengan jalan napas sulit dan memberikan waktu intubasi yang lebih singkat dibanding dengan laringoskopi direk. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan angka keberhasilan dan lama intubasi antara metode laringoskopi direk dan videolaringoskopi pada pasien obesitas. Penelitian ini menggunakan metode prospektif analitik komparatif eksperimental, randomized single blind study dengan jumlah sampel sebanyak 22 pasien di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode November 2020–Januari 2021. Analisis statistik menggunakan Uji Eksak Fisher dan t dua kelompok independen. Dilakukan penilaian keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakeal setiap kelompok yang diuji. Pada kelompok VL, intubasi endotrakeal berhasil dilakukan pada 11 subjek dengan tidak ada subjek gagal, sementara pada kelompok direk didapatkan 6 subjek berhasil dan 5 subjek gagal. Lama intubasi pada kelompok VL rerata 27,69±7,73 detik dan kelompok direk 26,73±4,53 detik. Penelitian ini memberikan hasil angka keberhasilan intubasi endotrakeal dengan metode videolaringoskopi lebih tinggi secara signifikan (p 0,05). Simpulan, penggunaan metode videolaringoskopi pada saat intubasi pada pasien obesitas meningkatkan keberhasilan intubasi, namun tidak mempersingkat lama waktu intubasi. Comparison of Success Rate and Intubation Time between Direct Laryngoscopy and Videolaryngoscopy Methods on Obese Patients Obesity is one of independent predictors of difficult airway. Direct laryngoscopy with Macintosh blade is the frequent standard technique for endotracheal intubation. The use of videolaryngoscope has increased the success rate of intubation in patients with difficult airway and provided a shorter intubation time compared to direct laryngoscopy. The purpose of the study was to compare the result and time discrepancy when intubating obese patients with direct laryngoscopy and videolaryngoscopy methods. This study used prospective analytical comparative experimental, randomized single blind methods, on 22 patients at the central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital, Bandung during November 2020–January 2021. The study assessed the successful result and duration in doing endotracheal intubation from each study groups. In videolaryngoscopy group, 11 subjects were intubated successfully with no subject failed, while in group with direct laryngoscopy, 6 subjects were intubated successfully and 5 subjects failed. The mean time duration rate used to intubate in videolaryngoscopy group was 27.69±7.73 seconds, meanwhile in group with direct laryngoscopy was 26.73±4.53 seconds. The study shows higher successful rate of endotracheal intubation significantly (p 0.05) in videol","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49552700","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nyeri pascaoperasi harus diatasi dengan baik. Berbagai metode analgetik dilakukan untuk mengatasi nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik, namun tidak ada yang ideal dalam menangani nyeri pascaoperasi. Blokade erector spinae plane adalah teknik baru untuk penanganan nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik yang dinilai dengan NRS nyeri antara pasien yang menggunakan blokade erector spinae plane dan petidin intravena. Penelitian dilakukan pada periode Juni–Oktober 2020 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak terkontrol buta tunggal terhadap 30 pasien. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok petidine intravena (kelompok A, n=15) dan kelompok blokade erector spinae plane (kelompok B, n=15). Nyeri pascaoperasi dinilai dengan NRS pada 0–1 jam, 1–6 jam, 6–12 jam, dan 12–24 jam. Analisis data numerik dengan uji T tidak berpasangan dan Mann Whitney. Data kategorik dengan uji chi square . Skor NRS pada kelompok blokade erector spinae plane lebih rendah dibanding dengan kelompok petidin intravena pada 6–12 jam pascaoperasi (p=0,002) dan kebutuhan rescue analgetik pada 6–12 jam lebih rendah pada kelompok blokade. Metode analgetik blokade erector spinae plane pada pasien pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik lebih baik daripada petidin intravena. Comparison of Pain Numeric Rating Scale between Erector Spinae Plane Block and Intravenous Pethidine Post-Laparoscopic Cholecystectomy Postoperative pain is a complaint that must be properly managed. Various analgesic methods are implemented to alleviate laparoscopic cholecystectomy postoperative pain, but none are ideal in managing postoperative pain. Erector spinae plane block is a new technique in laparoscopic cholecystectomy postoperative pain. This study aims to discover the difference in post laparoscopic cholecystectomy pain measured using the NRS pain scale in patients with erector spinae plane block and intravenous pethidine. The study was conducted between June–October 2020 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a single blind control trial in 30 patients. Patients were divided into two groups, an intravenous pethidine group (group A, n=15) and an erector spinae plane block group (group B, n=15). Postoperative pain was measured using the NRS pain scale on hour 0–1, 1–6, 6–12, and 12–24. Numerical data was analyzed using the unpaired T test and the Mann Whitney test. Categorical data using the chi square test. NRS measurements in the erector spinae plane block group were lower compared to the intravenous pethidine group in hour 6–12 postoperation (p=0.002) and the need for a rescue analgesic in hour 6–12 lower in the blokade group. The analgesic method erector spinae plane block in patients post laparoscopic cholecystectomy is better than intravenous pethidine.
术后肾脏需要好好处理。有几种镇痛方法可以用来克服腹腔镜结肠系统手术后的疼痛,但在处理术后疼痛方面没有理想的方法。竖脊肌平面阻断术是腹腔镜结肠收缩术后疼痛管理的一种新技术。本研究旨在通过疼痛NRS评估腹腔镜结肠系统手术后使用竖脊肌平面阻滞和静脉注射哌啶的患者的疼痛差异。这项研究于2020年6月至10月在RSUP Hasan Sadikin Bandung博士处进行。这项研究在30名患者的单一盲人群中进行了随机对照临床试验。患者分为两组,静脉注射哌啶组(A组,n=15)和竖脊肌平面阻断组(B组,n=5)。术后肾脏在0-1小时、1-6小时、6-12小时和12-24小时用NRS进行评估。数值数据分析与无与伦比的T检验和Mann-Whitney。卡方检验的分类数据。术后6-12小时,竖脊肌平面阻滞组的NRS评分低于静脉注射哌啶组(p=0.002),阻滞组6-12小时的镇痛抢救需求较低。腹腔镜结肠收缩术后应用竖脊肌平面阻滞的镇痛方法优于静脉注射哌啶。腹腔镜胆囊切除术后勃起棘平面阻滞与静脉注射哌替啶疼痛数值评定量表的比较术后疼痛是一种必须妥善处理的主诉。腹腔镜胆囊切除术后镇痛方法多种多样,但均不理想。竖脊平面阻滞是腹腔镜胆囊切除术后疼痛的一种新技术。本研究旨在发现使用NRS疼痛量表测量竖脊肌平面阻滞和静脉注射哌替啶患者腹腔镜胆囊切除术后疼痛的差异。该研究于2020年6月至10月在万隆Hasan Sadikin综合医院进行。这是一项针对30名患者的单盲对照试验。患者分为两组,静脉注射哌替啶组(A组,n=15)和竖脊肌平面阻滞组(B组,n=5)。术后疼痛使用NRS疼痛量表在0–1、1–6、6–12和12–24小时测量。使用非配对T检验和Mann-Whitney检验对数值数据进行分析。使用卡方检验的分类数据。术后6-12小时,竖脊肌平面阻断组的NRS测量值低于静脉注射哌替啶组(p=0.002),阻断组6-12小时对抢救性镇痛药的需求较低。腹腔镜胆囊切除术后应用竖脊肌平面阻滞镇痛效果优于静脉滴注哌替啶。
{"title":"Perbandingan Numeric Rating Scale Nyeri Pascaoperasi Kolesistektomi Laparoskopik Antara Blokade Erector Spinae Plane dan Petidin Intravena","authors":"Arrys Prabowo, Reza Widianto Sudjud, Ricky Adytia","doi":"10.15851/jap.v9n2.2405","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n2.2405","url":null,"abstract":"Nyeri pascaoperasi harus diatasi dengan baik. Berbagai metode analgetik dilakukan untuk mengatasi nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik, namun tidak ada yang ideal dalam menangani nyeri pascaoperasi. Blokade erector spinae plane adalah teknik baru untuk penanganan nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik yang dinilai dengan NRS nyeri antara pasien yang menggunakan blokade erector spinae plane dan petidin intravena. Penelitian dilakukan pada periode Juni–Oktober 2020 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak terkontrol buta tunggal terhadap 30 pasien. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok petidine intravena (kelompok A, n=15) dan kelompok blokade erector spinae plane (kelompok B, n=15). Nyeri pascaoperasi dinilai dengan NRS pada 0–1 jam, 1–6 jam, 6–12 jam, dan 12–24 jam. Analisis data numerik dengan uji T tidak berpasangan dan Mann Whitney. Data kategorik dengan uji chi square . Skor NRS pada kelompok blokade erector spinae plane lebih rendah dibanding dengan kelompok petidin intravena pada 6–12 jam pascaoperasi (p=0,002) dan kebutuhan rescue analgetik pada 6–12 jam lebih rendah pada kelompok blokade. Metode analgetik blokade erector spinae plane pada pasien pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik lebih baik daripada petidin intravena. Comparison of Pain Numeric Rating Scale between Erector Spinae Plane Block and Intravenous Pethidine Post-Laparoscopic Cholecystectomy Postoperative pain is a complaint that must be properly managed. Various analgesic methods are implemented to alleviate laparoscopic cholecystectomy postoperative pain, but none are ideal in managing postoperative pain. Erector spinae plane block is a new technique in laparoscopic cholecystectomy postoperative pain. This study aims to discover the difference in post laparoscopic cholecystectomy pain measured using the NRS pain scale in patients with erector spinae plane block and intravenous pethidine. The study was conducted between June–October 2020 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a single blind control trial in 30 patients. Patients were divided into two groups, an intravenous pethidine group (group A, n=15) and an erector spinae plane block group (group B, n=15). Postoperative pain was measured using the NRS pain scale on hour 0–1, 1–6, 6–12, and 12–24. Numerical data was analyzed using the unpaired T test and the Mann Whitney test. Categorical data using the chi square test. NRS measurements in the erector spinae plane block group were lower compared to the intravenous pethidine group in hour 6–12 postoperation (p=0.002) and the need for a rescue analgesic in hour 6–12 lower in the blokade group. The analgesic method erector spinae plane block in patients post laparoscopic cholecystectomy is better than intravenous pethidine.","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45039515","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Hendra Salim, M. Ahmad, S. Arif, Syamsul Hilal Salam, Zulkarnain Arrasjid, Charles Wijaya Tan
Pengelolaan nyeri pascabedah bertujuan menghasilkan analgesia yang optimal serta menghambat respons stres akibat pembedahan. Pengaruh OAINS baik COX 1 dan COX 2 terhadap trombosit baik jumlah maupun aggregasinya perlu dinilai untuk menentukan obat terpilih yang aman dalam mengatasi nyeri pascabedah. Penelitian ini bertujuan membandingkan pemberian ketorolak dengan parecoxib intravena terhadap jumlah trombosit, aggregasi trombosit, dan profil koagulasi pada operasi seksio sesarea. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Penelitian dilakukan di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan Oktober 2020–Maret 2021. Pengukuran dilakukan di awal dan setelah perlakuan dengan jumlah sampel masing-masing 11 orang. Data dianalisis menggunakan uji statistik Independen T-Test. Tidak berbeda bermakna perubahan kadar trombosit pada pemberian ketorolak dengan parecoxib sebagai analgesia pascabedah seksio pasca 24 jam dan pasca 48 jam (p>0,05). Berbeda bermakna perubahan agregasi trombosit pada pemberian ketorolak dengan parecoxib sebagai analgesia pascabedah seksio pasca 48 jam (p<0,05). Parecoxib tidak menyebabkan penurunan agregasi trombosit sehingga dapat digunakan sebagai alternatif untuk analgetik pascabedah terutama untuk pasien yg mengalami gangguan hemostatis. Parecoxib tidak menyebabkan gangguan faal hemostasis dibanding dengan ketorolak. Parecoxib dan ketorolak tidak memengaruhi jumlah trombosit.
{"title":"Perbandingan Pemberian Ketorolak dengan Parecoxib Intravena terhadap Kadar Trombosit, Aggregasi Trombosit, dan Profil Koagulasi pada Operasi Seksio Sesarea","authors":"Hendra Salim, M. Ahmad, S. Arif, Syamsul Hilal Salam, Zulkarnain Arrasjid, Charles Wijaya Tan","doi":"10.15851/jap.v9n2.2395","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n2.2395","url":null,"abstract":"Pengelolaan nyeri pascabedah bertujuan menghasilkan analgesia yang optimal serta menghambat respons stres akibat pembedahan. Pengaruh OAINS baik COX 1 dan COX 2 terhadap trombosit baik jumlah maupun aggregasinya perlu dinilai untuk menentukan obat terpilih yang aman dalam mengatasi nyeri pascabedah. Penelitian ini bertujuan membandingkan pemberian ketorolak dengan parecoxib intravena terhadap jumlah trombosit, aggregasi trombosit, dan profil koagulasi pada operasi seksio sesarea. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Penelitian dilakukan di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan Oktober 2020–Maret 2021. Pengukuran dilakukan di awal dan setelah perlakuan dengan jumlah sampel masing-masing 11 orang. Data dianalisis menggunakan uji statistik Independen T-Test. Tidak berbeda bermakna perubahan kadar trombosit pada pemberian ketorolak dengan parecoxib sebagai analgesia pascabedah seksio pasca 24 jam dan pasca 48 jam (p>0,05). Berbeda bermakna perubahan agregasi trombosit pada pemberian ketorolak dengan parecoxib sebagai analgesia pascabedah seksio pasca 48 jam (p<0,05). Parecoxib tidak menyebabkan penurunan agregasi trombosit sehingga dapat digunakan sebagai alternatif untuk analgetik pascabedah terutama untuk pasien yg mengalami gangguan hemostatis. Parecoxib tidak menyebabkan gangguan faal hemostasis dibanding dengan ketorolak. Parecoxib dan ketorolak tidak memengaruhi jumlah trombosit.","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47912894","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kemampuan untuk visualisasi glotis saat melakukan tindakan laringoskopi direk merupakan kunci untuk melakukan tindakan intubasi endotrakea. Posisi sniffing dan ketinggian meja berpengaruh pada visualisasi glotis dan kenyamanan operator saat intubasi endotrakea. Namun, meja operasi sering ditemukan tidak berfungsi dengan baik. Ketersediaan kursi ergonomis diharapkan sebagai alternatif untuk menjawab permasalahan yang terjadi. Tujuan penelitian ini mengetahui perbandingan keberhasilan, waktu, dan kenyamanan operator pada intubasi endotrakea dengan pasien posisi sniffing menggunakan bantal kepala antara operator posisi berdiri dan duduk. Penelitian ini merupakan penelitian prospective randomized paralel trial, dilakukan pada 44 pasien yang menjalani operasi elektif dan emergensi dengan anestesi umum yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi. Penelitian dilakukan di ruang operasi elektif dan emergensi RSUP Dr. Hasan Sadikin pada bulan Oktober 2020. Analisis statistik menggunakan t independent test untuk lama intubasi dan kenyamanan pasien, sedangkan untuk data kategorik dengan uji chi-square. Keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakea pada pasien posisi sniffing menggunakan bantal dengan operator posisi berdiri dan duduk tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05). Pada variabel skor kenyamanan intubasi endotrakea pada pasien posisi sniffing menggunakan bantal dengan operator posisi berdiri dan duduk terdapat perbedaan rerata yang sangat signifikan (p 0.05) in intubation time and success rate of endotracheal intubation on patients in sniffing position using a head cushion between sitting and standing position of the operator. There was a significant mean difference (p<0.01) in operator’s comfort in performing endotracheal intubation on patients in sniffing position using a head cushion between sitting and standing position of the operator. The operator’s comfort score in performing endotracheal intubation was higher in sitting position compared to standing position.
{"title":"Perbandingan Angka Keberhasilan, Waktu dan Kenyamanan Intubasi Endotrakea antara Operator Posisi Berdiri dan Duduk pada Pasien Posisi Sniffing","authors":"Naftalena Naftalena, Ezra Oktaliansyah, Ricky Adytia","doi":"10.15851/jap.v9n2.2424","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n2.2424","url":null,"abstract":"Kemampuan untuk visualisasi glotis saat melakukan tindakan laringoskopi direk merupakan kunci untuk melakukan tindakan intubasi endotrakea. Posisi sniffing dan ketinggian meja berpengaruh pada visualisasi glotis dan kenyamanan operator saat intubasi endotrakea. Namun, meja operasi sering ditemukan tidak berfungsi dengan baik. Ketersediaan kursi ergonomis diharapkan sebagai alternatif untuk menjawab permasalahan yang terjadi. Tujuan penelitian ini mengetahui perbandingan keberhasilan, waktu, dan kenyamanan operator pada intubasi endotrakea dengan pasien posisi sniffing menggunakan bantal kepala antara operator posisi berdiri dan duduk. Penelitian ini merupakan penelitian prospective randomized paralel trial, dilakukan pada 44 pasien yang menjalani operasi elektif dan emergensi dengan anestesi umum yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi. Penelitian dilakukan di ruang operasi elektif dan emergensi RSUP Dr. Hasan Sadikin pada bulan Oktober 2020. Analisis statistik menggunakan t independent test untuk lama intubasi dan kenyamanan pasien, sedangkan untuk data kategorik dengan uji chi-square. Keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakea pada pasien posisi sniffing menggunakan bantal dengan operator posisi berdiri dan duduk tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05). Pada variabel skor kenyamanan intubasi endotrakea pada pasien posisi sniffing menggunakan bantal dengan operator posisi berdiri dan duduk terdapat perbedaan rerata yang sangat signifikan (p 0.05) in intubation time and success rate of endotracheal intubation on patients in sniffing position using a head cushion between sitting and standing position of the operator. There was a significant mean difference (p<0.01) in operator’s comfort in performing endotracheal intubation on patients in sniffing position using a head cushion between sitting and standing position of the operator. The operator’s comfort score in performing endotracheal intubation was higher in sitting position compared to standing position.","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42488265","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}