Pub Date : 2023-12-29DOI: 10.24853/nalars.23.1.59-68
Alif Faricha Almadina, Dyah Titisari Widyastuti
ABSTRAK. Rasa aman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dimiliki pada setiap aktivitas. Aktivitas manusia tidak hanya terjadi pada ruang personal tetapi juga pada ruang publik. Ruang publik dalam perspektif arsitektur merupakan ruang bersama sebagai ruang netral yang dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sifat netral yag dimiliki oleh ruang publik menyebabkan terjadinya keberagaman interaksi dan aktivitas dari berbagai kalangan masyarakat pada suatu lokasi yang sama. Namun, aktivitas di dalam ruang publik tidak selalu berlangsung dengan aman. Hal ini disebabkan oleh adanya peluang terjadinya perilaku negatif oleh sebagian orang. Terlebih lagi apabila pengaturan setting fisik suatu ruang publik tidak dirancang dengan baik. Hostile architecture dan CPTED (Crime Prevention Through Environmental Design) merupakan salah dua strategi desain yang mengupayakan penekanan resiko terjadinya perilaku yang tidak diinginkan. Penerapan hostile architecture dan CPTED melibatkan pengaturan elemen setting fisik yang dapat menekan resiko tersebut. Melalui metode content analysis, perilaku negatif diklasifikasi dan dianalisis keterkaitannya dengan upaya penerapan prinsip hostile architecture dan CPTED sebagai bentuk pencegahan terjadinya perilaku negatif melalui pengaturan elemen setting fisik di dalamnya. Dalam penelitian ini dihasilkan kategori elemen setting fisik dalam ruang publik yang dapat diatur berdasarkan prinsip-prinsip hostile architecture dan CPTED sebagai bentuk penekanan resiko terjadinya perilaku negatif. Kata kunci: pengaturan fisik, ruang publik, perilaku, hostile architecture, CPTED ABSTRACT. Safety is one of the needs humans must have while doing activities. Human activities can be done everywhere, either in personal or public spaces. From an architectural perspective, public spaces were granted as a third place that provides human needs. Public space had to be neutral for all people. This principle of public space established diverse activities and interactions between them. However, only some of these activities always go well. The possibility of negative behavior by some people could be a cause. Hostile architecture and CPTED (Crime Prevention Through Environmental Design) are design strategies that reduce unwanted behavior risk. The application of hostile architecture and CPTED involved the elements' arrangement of a physical setting in a public space. Through the content analysis method, undesirable behaviors were analyzed and integrated with the principles of hostile architecture and CPTED as preventions from the circumstance through elements of the physical setting. In this study, the arrangements of physical locations in public spaces based on the principles of hostile architecture and CPTED were initiated to suppress the appearance of undesirable behavior. Keywords: physical setting, public space, behavior, hostile architecture, CPTED
{"title":"PENGATURAN FISIK PADA RUANG PUBLIK SEBAGAI PENCEGAH TERJADINYA PERILAKU NEGATIF","authors":"Alif Faricha Almadina, Dyah Titisari Widyastuti","doi":"10.24853/nalars.23.1.59-68","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.23.1.59-68","url":null,"abstract":"ABSTRAK. Rasa aman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dimiliki pada setiap aktivitas. Aktivitas manusia tidak hanya terjadi pada ruang personal tetapi juga pada ruang publik. Ruang publik dalam perspektif arsitektur merupakan ruang bersama sebagai ruang netral yang dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sifat netral yag dimiliki oleh ruang publik menyebabkan terjadinya keberagaman interaksi dan aktivitas dari berbagai kalangan masyarakat pada suatu lokasi yang sama. Namun, aktivitas di dalam ruang publik tidak selalu berlangsung dengan aman. Hal ini disebabkan oleh adanya peluang terjadinya perilaku negatif oleh sebagian orang. Terlebih lagi apabila pengaturan setting fisik suatu ruang publik tidak dirancang dengan baik. Hostile architecture dan CPTED (Crime Prevention Through Environmental Design) merupakan salah dua strategi desain yang mengupayakan penekanan resiko terjadinya perilaku yang tidak diinginkan. Penerapan hostile architecture dan CPTED melibatkan pengaturan elemen setting fisik yang dapat menekan resiko tersebut. Melalui metode content analysis, perilaku negatif diklasifikasi dan dianalisis keterkaitannya dengan upaya penerapan prinsip hostile architecture dan CPTED sebagai bentuk pencegahan terjadinya perilaku negatif melalui pengaturan elemen setting fisik di dalamnya. Dalam penelitian ini dihasilkan kategori elemen setting fisik dalam ruang publik yang dapat diatur berdasarkan prinsip-prinsip hostile architecture dan CPTED sebagai bentuk penekanan resiko terjadinya perilaku negatif. Kata kunci: pengaturan fisik, ruang publik, perilaku, hostile architecture, CPTED ABSTRACT. Safety is one of the needs humans must have while doing activities. Human activities can be done everywhere, either in personal or public spaces. From an architectural perspective, public spaces were granted as a third place that provides human needs. Public space had to be neutral for all people. This principle of public space established diverse activities and interactions between them. However, only some of these activities always go well. The possibility of negative behavior by some people could be a cause. Hostile architecture and CPTED (Crime Prevention Through Environmental Design) are design strategies that reduce unwanted behavior risk. The application of hostile architecture and CPTED involved the elements' arrangement of a physical setting in a public space. Through the content analysis method, undesirable behaviors were analyzed and integrated with the principles of hostile architecture and CPTED as preventions from the circumstance through elements of the physical setting. In this study, the arrangements of physical locations in public spaces based on the principles of hostile architecture and CPTED were initiated to suppress the appearance of undesirable behavior. Keywords: physical setting, public space, behavior, hostile architecture, CPTED","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":" 44","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139144900","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-29DOI: 10.24853/nalars.23.1.69-76
M. S. S. Purnama, Mukhamad Risa Diki Pratama, Nurjannah Hamdani
ABSTRAK. Masjid adalah tempat beribadah umat Islam. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, dibutuhkan kedaan yang nyaman. Studi kasus terpilh adalah Masjid Ukhuwah Islamiyah yang berada di dalam komplek Universitas Indonesia. Mempunyai luas bangunan kurang lebih 2608 m2. Masjid ini selalu ramai oleh mahasiswa dari berbagai jurusan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kenyamanan termal dan kebisingan lalu membandingkan dengan standar yang ada serta untuk membuktikan teori tentang desain pasif di bangunan tropis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengukuran langsung di lapangan. Urutan kerjanya adalah menentukan titik ukur, lalu meletakan alat ukur di titik tersebut, pembacaan akan dibandingkan dengan standar dan di analisis. Hasilnya, Pembacaan suhu di daerah area shalat utama menunjukan suhu berada di atas standar kenyamanan yaitu 300 - 320 C sedangkan standar kenyamanan berada pada 220 - 280 C. Dilihat dari hasil pengukuran di lapangan, kebisingan suara berkisar antara 51 - 54 dB. Bila dibandingkan dengan standar kenyamanan dalam bangunan beribadah, yaitu 55 dB atau masih dalam batas wajar. Kesimpulannya, Penghawaan dan kebisingan menjadi faktor ketenangan dalam melakukan ibadah. Dalam penelitian ini, penghawaan belum optimal namun, kebisingan masih di ambang batas wajar. Aplikasi teori bangunan tropis belum mampu memberikan kenyamanan secara maksimal. Kata kunci: masjid, thermal, kebisingan ABSTRACT. The mosque is a place of worship for Muslims. These activities need a comfortable situation. The selected case study is the Ukhuwah Islamiyah Mosque, located within the University of Indonesia. Has a building area of approximately 2608 m2. This mosque is always crowded with students from various majors. This study aims to measure the level of thermal comfort and noise, compare it with existing standards, and prove the theory of passive design in tropical buildings. The method used in this research is direct measurement in the field. The sequence of work is to determine the measuring point and then place the measuring instrument at that point; the reading will be compared with the standard and analyzed. As a result, the temperature reading in the main prayer area shows the temperature is above the comfort standard of 300 - 320 C while the comfort standard is at 220 - 280 C. Judging from the measurements in the field, the noise ranges from 51 - 54 dB when compared with the average of comfort in a building of worship, which is 55 dB or still within reasonable limits. In conclusion, ventilation and noise are factors of tranquility in worship. In this study, the ventilation could be more optimal. However, the noise is still within reasonable limits. The application of tropical building theory has yet to provide maximum comfort. Keywords: mosque, thermal, noise
{"title":"ANALISIS KENYAMANAN PADA BANGUNAN MASJID DITINJAU DARI SISI THERMAL DAN KEBISINGAN. Studi Kasus : Masjid Ukhuwah Islamiyah UI Depok","authors":"M. S. S. Purnama, Mukhamad Risa Diki Pratama, Nurjannah Hamdani","doi":"10.24853/nalars.23.1.69-76","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.23.1.69-76","url":null,"abstract":"ABSTRAK. Masjid adalah tempat beribadah umat Islam. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, dibutuhkan kedaan yang nyaman. Studi kasus terpilh adalah Masjid Ukhuwah Islamiyah yang berada di dalam komplek Universitas Indonesia. Mempunyai luas bangunan kurang lebih 2608 m2. Masjid ini selalu ramai oleh mahasiswa dari berbagai jurusan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kenyamanan termal dan kebisingan lalu membandingkan dengan standar yang ada serta untuk membuktikan teori tentang desain pasif di bangunan tropis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengukuran langsung di lapangan. Urutan kerjanya adalah menentukan titik ukur, lalu meletakan alat ukur di titik tersebut, pembacaan akan dibandingkan dengan standar dan di analisis. Hasilnya, Pembacaan suhu di daerah area shalat utama menunjukan suhu berada di atas standar kenyamanan yaitu 300 - 320 C sedangkan standar kenyamanan berada pada 220 - 280 C. Dilihat dari hasil pengukuran di lapangan, kebisingan suara berkisar antara 51 - 54 dB. Bila dibandingkan dengan standar kenyamanan dalam bangunan beribadah, yaitu 55 dB atau masih dalam batas wajar. Kesimpulannya, Penghawaan dan kebisingan menjadi faktor ketenangan dalam melakukan ibadah. Dalam penelitian ini, penghawaan belum optimal namun, kebisingan masih di ambang batas wajar. Aplikasi teori bangunan tropis belum mampu memberikan kenyamanan secara maksimal. Kata kunci: masjid, thermal, kebisingan ABSTRACT. The mosque is a place of worship for Muslims. These activities need a comfortable situation. The selected case study is the Ukhuwah Islamiyah Mosque, located within the University of Indonesia. Has a building area of approximately 2608 m2. This mosque is always crowded with students from various majors. This study aims to measure the level of thermal comfort and noise, compare it with existing standards, and prove the theory of passive design in tropical buildings. The method used in this research is direct measurement in the field. The sequence of work is to determine the measuring point and then place the measuring instrument at that point; the reading will be compared with the standard and analyzed. As a result, the temperature reading in the main prayer area shows the temperature is above the comfort standard of 300 - 320 C while the comfort standard is at 220 - 280 C. Judging from the measurements in the field, the noise ranges from 51 - 54 dB when compared with the average of comfort in a building of worship, which is 55 dB or still within reasonable limits. In conclusion, ventilation and noise are factors of tranquility in worship. In this study, the ventilation could be more optimal. However, the noise is still within reasonable limits. The application of tropical building theory has yet to provide maximum comfort. Keywords: mosque, thermal, noise","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":"112 s1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139145588","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-29DOI: 10.24853/nalars.23.1.39-48
Anisza Ratnasari, Adiana Surya Pranata Putra
ABSTRAK. Selama pandemi COVID-19, semua aktivitas harus dilakukan di rumah. Hal ini berarti juga membuat kita semakin jauh dari alam. Tuntutan untuk tetap produktif harus juga diimbangi dengan kesehatan dan kenyamanan berhuni. Perancangan hunian dengan pendekatan desain biofilik dapat memberikan pengalaman penghuni untuk merasakan ruang dan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Metode kualitatif yang dilakukan melalui kajian literatur tentang desain biofilik dilakukan sebagai dasar perancangan hunian. Dengan demikian, implementasi desain biofilik tersebut seharusnya tidak hanya mengakomodasi kebutuhan berhuni, namun juga harus mampu menciptakan kualitas ruang dan nilai pada sebuah pola desain. Metode perancangan dilakukan melalui analisis kebutuhan ruang, studi preseden dan elaborasi atribut desain biofilik pada rancangan. Penerapan prinsip arsitektur biofilik terwujud melalui karakteristik ruang, bentuk ruang dan elemen ruang. Melalui pendekatan desain ini, interaksi penghuni, bangunan dan alam dengan optimal dapat mempercepat kenormalan baru. Sisi lain manfaat dari model perancangan ini, penghuni tetap dapat merasakan kesehatan dan kenyamanan berhuni. Kata kunci: desain biofilik; karakteristik ruang; bentuk ruang; elemen ruang; ABSTRACT. During the COVID-19 pandemic, all activities must be carried out at home, which makes us further away from nature. Productivity, health, and well-being must be in balance. The biophilic design approach of dwelling allows occupants to experience space and nature, both directly and indirectly. The qualitative method conducted through a literature review on biophilic design is the foundation for housing design. Therefore, implementing a biophilic strategy should accommodate occupancy needs and create spatial quality and the value of the design pattern. The design method is carried out by analyzing space requirements, evaluating case studies, and elaborating on biophilic design attributes. Applying these principles is manifested through characteristics of space, forms of play, and play elements. The outcome of the interaction of residents, buildings, and nature will accelerate the new normal; permanent residents can experience health and well-being. Keywords: biophilic design; characteristics of space; forms of space; elements of space
{"title":"REKOMENDASI DESAIN BANGUNAN SEHAT UNTUK FUNGSI HUNIAN DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR BIOFILIK","authors":"Anisza Ratnasari, Adiana Surya Pranata Putra","doi":"10.24853/nalars.23.1.39-48","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.23.1.39-48","url":null,"abstract":"ABSTRAK. Selama pandemi COVID-19, semua aktivitas harus dilakukan di rumah. Hal ini berarti juga membuat kita semakin jauh dari alam. Tuntutan untuk tetap produktif harus juga diimbangi dengan kesehatan dan kenyamanan berhuni. Perancangan hunian dengan pendekatan desain biofilik dapat memberikan pengalaman penghuni untuk merasakan ruang dan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Metode kualitatif yang dilakukan melalui kajian literatur tentang desain biofilik dilakukan sebagai dasar perancangan hunian. Dengan demikian, implementasi desain biofilik tersebut seharusnya tidak hanya mengakomodasi kebutuhan berhuni, namun juga harus mampu menciptakan kualitas ruang dan nilai pada sebuah pola desain. Metode perancangan dilakukan melalui analisis kebutuhan ruang, studi preseden dan elaborasi atribut desain biofilik pada rancangan. Penerapan prinsip arsitektur biofilik terwujud melalui karakteristik ruang, bentuk ruang dan elemen ruang. Melalui pendekatan desain ini, interaksi penghuni, bangunan dan alam dengan optimal dapat mempercepat kenormalan baru. Sisi lain manfaat dari model perancangan ini, penghuni tetap dapat merasakan kesehatan dan kenyamanan berhuni. Kata kunci: desain biofilik; karakteristik ruang; bentuk ruang; elemen ruang; ABSTRACT. During the COVID-19 pandemic, all activities must be carried out at home, which makes us further away from nature. Productivity, health, and well-being must be in balance. The biophilic design approach of dwelling allows occupants to experience space and nature, both directly and indirectly. The qualitative method conducted through a literature review on biophilic design is the foundation for housing design. Therefore, implementing a biophilic strategy should accommodate occupancy needs and create spatial quality and the value of the design pattern. The design method is carried out by analyzing space requirements, evaluating case studies, and elaborating on biophilic design attributes. Applying these principles is manifested through characteristics of space, forms of play, and play elements. The outcome of the interaction of residents, buildings, and nature will accelerate the new normal; permanent residents can experience health and well-being. Keywords: biophilic design; characteristics of space; forms of space; elements of space","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":"13 7","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139145536","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-29DOI: 10.24853/nalars.23.1.17-28
Zairin Zain, Zsazsa Pradnyaparamita Candra Dewi
Sebagai etnis yang telah menetap turun-temurun di pesisir Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, telah banyak kampung-kampung Melayu yang terbentuk dan berkembang. Walaupun berada di satu kota dan suku yang sama, tentunya setiap kampung memiliki perbedaan karakteristik sebagai bentuk penyesuaian kondisi daerah yang ditinggali masing-masing kelompok masyarakat. Karakteristik juga dapat ditemukan dari bentuk formasi atau pola permukiman kampung. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik dan formasi pada kampung-kampung Melayu di Kota Pontianak, khususnya Kampung Tambelan Sampit, Kampung Bansir, dan Kampung Beting. Metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi komparasi yang digunakan menghasilkan penemuan bahwa pola permukiman pada Kampung Melayu di Kota Pontianak mengikuti pola sirkulasi jalan, arah bangunan tetap menghadap ke Sungai Kapuas dan karakteristik pada masing-masing kampung karena pengaruh lingkungan atau kebiasaan dari suku lain.
{"title":"Identifikasi Karakteristik dan Formasi Kampung Melayu di Kota Pontianak","authors":"Zairin Zain, Zsazsa Pradnyaparamita Candra Dewi","doi":"10.24853/nalars.23.1.17-28","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.23.1.17-28","url":null,"abstract":"Sebagai etnis yang telah menetap turun-temurun di pesisir Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, telah banyak kampung-kampung Melayu yang terbentuk dan berkembang. Walaupun berada di satu kota dan suku yang sama, tentunya setiap kampung memiliki perbedaan karakteristik sebagai bentuk penyesuaian kondisi daerah yang ditinggali masing-masing kelompok masyarakat. Karakteristik juga dapat ditemukan dari bentuk formasi atau pola permukiman kampung. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik dan formasi pada kampung-kampung Melayu di Kota Pontianak, khususnya Kampung Tambelan Sampit, Kampung Bansir, dan Kampung Beting. Metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi komparasi yang digunakan menghasilkan penemuan bahwa pola permukiman pada Kampung Melayu di Kota Pontianak mengikuti pola sirkulasi jalan, arah bangunan tetap menghadap ke Sungai Kapuas dan karakteristik pada masing-masing kampung karena pengaruh lingkungan atau kebiasaan dari suku lain.","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":"19 3","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139145391","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-29DOI: 10.24853/nalars.23.1.49-58
Hamka Hamka, Sri Winarni
ABSTRAK. Arsitektur vernakular yang ada ditiap wilayah provinsi di Indonesia sangat beragam, tidak terkecuali yang ada di Pulau Jawa, sehingga menarik untuk melihat tipologi perbedaan maupun persamaan bentuknya. Arsitektur vernakular di Indonesia merupakan produk budaya masyarakat etnis yang mendiami suatu wilayah seperti Suku Betawi, Sunda, Jawa, Madura, dan Osing yang ada di Pulau Jawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengdeskripsikan perbedaan dan persamaan tipologi bentuk arsitektur vernakular sesuai dengan letak dan latar belakang kesukuan yang ada di Pulau Jawa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif analisis deskriptif berdasarkan studi literatur jurnal yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini mengkaji tipologi bentuk arsitektur vernakular di Pulau Jawa berdasarkan variabel bentuk dasar, panggung atau tidak panggung, dan bentuk atap. Hasil penelitian ditemukan bahwa tipologi bentuk dasar badan bangunan berupa bentuk persegi dan persegi panjang. Tipologi bentuk panggung atau tidak panggung secara umum terbagi menjadi 2 tipe utama yaitu tipe panggung rendah untuk rumah vernakular etnis sunda yang ada di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten, sedangkan diwilayah provinsi berupa rumah tidak berpanggung atau badan bangunannya langsung menempel pada tanah. Hanya terdapat satu rumah yang bertipe panggung tinggi yaitu Rumah Panggung Betawi di Provinsi DKI Jakarta. Tipologi atap terbagi dalam beberapa bentuk yaitu atap pelana biasa, pelana dengan tambahan atap sosoran pada beberapa sisi, atap limasan biasa dan atap limasan dengan tambahan sosoran serta tipe atap joglo. Kata kunci: Tipologi, bentuk, vernakular ABSTRACT. Vernacular architecture in each province in Indonesia is very diverse, including in Java, so it is interesting to see the typology of differences and similarities in form. Vernacular architecture in Indonesia is a cultural product of ethnic communities that inhabit an area, such as the Betawi, Sundanese, Javanese, Madurese, and Osing tribes on the island of Java. This research aims to identify and describe the differences and similarities in the typology of vernacular architectural forms according to the location and ethnic background in Java Island. The research method used is a qualitative research method of descriptive analysis based on studies of journal literature that have been done before. This study examines the typology of vernacular architectural forms in Java Island based on the essential form variables, whether or not on stilts and the shape of the roof. The study results found that the building body's basic shape is square and rectangular. The typology of the form of stilts or not stilts is generally divided into two main types, namely the low stilt type for vernacular houses of Sundanese ethnicity in the Provinces of West Java and Banten, while in the provinces in the form of dwellings without stilts or the body of the building directly attached to the groun
摘要印尼各省的乡土建筑(包括爪哇省的乡土建筑)种类繁多,因此对其异同类型进行研究是非常有趣的。印尼的乡土建筑是居住在某一地区的民族社区(如爪哇岛上的贝塔维族、巽他族、爪哇族、马都拉族和奥辛族)的文化产物。本研究的目的是根据爪哇岛的地理位置和部落背景,识别和描述乡土建筑形式类型的异同。本研究采用的研究方法是描述性分析定性研究法,基于对之前期刊的文献研究。本研究根据基本形式、阶段与否和屋顶形式等变量,对爪哇岛上的乡土建筑形式类型进行了研究。结果发现,建筑主体的基本形式类型为正方形和长方形。阶段或不阶段形式的类型学一般分为两大类型,即西爪哇省和万丹省的巽他族乡土民居为低阶段类型,而该省地区则为不阶段房屋或建筑体直接与地面相连。只有一座房屋属于高台式,即位于 DKI 雅加达省的 Betawi 台式房屋。屋顶类型分为几种形式,即普通坡屋顶、多面附加屋顶苏索兰的坡屋顶、普通利马山屋顶和附加苏索兰的利马山屋顶以及乔格洛屋顶类型。关键词类型、形式、乡土 ABSTRACT.印尼各省(包括爪哇岛)的乡土建筑种类繁多,因此对其形式的异同进行类型学研究非常有趣。印尼的乡土建筑是居住在某一地区的民族社区的文化产物,如爪哇岛上的贝塔维族、巽他族、爪哇族、马都拉族和奥辛族。本研究旨在根据爪哇岛的地理位置和民族背景,识别和描述乡土建筑类型的异同。采用的研究方法是描述性分析的定性研究方法,以之前的期刊文献研究为基础。本研究根据基本形式变量、是否高跷和屋顶形状来研究爪哇岛乡土建筑形式的类型学。 研究结果发现,建筑主体的基本形状是正方形和长方形。高跷与否的形式类型一般分为两大类,即西爪哇省和万丹省的巽他族乡土民居为低高跷型,而其他省份的民居形式为无高跷或建筑主体直接附着于地面。只有一座房屋属于高跷式,即位于 DKI 雅加达省的 Panggung Betawi 房屋。屋顶类型分为普通坡屋顶、多面附加苏索兰屋顶的坡屋顶以及带有其他苏索兰和乔格洛屋顶类型的规则金字塔屋顶。关键词类型、形式、乡土
{"title":"TIPOLOGI BENTUK ARSITEKTUR RUMAH VERNAKULAR DI PULAU JAWA","authors":"Hamka Hamka, Sri Winarni","doi":"10.24853/nalars.23.1.49-58","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.23.1.49-58","url":null,"abstract":"ABSTRAK. Arsitektur vernakular yang ada ditiap wilayah provinsi di Indonesia sangat beragam, tidak terkecuali yang ada di Pulau Jawa, sehingga menarik untuk melihat tipologi perbedaan maupun persamaan bentuknya. Arsitektur vernakular di Indonesia merupakan produk budaya masyarakat etnis yang mendiami suatu wilayah seperti Suku Betawi, Sunda, Jawa, Madura, dan Osing yang ada di Pulau Jawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengdeskripsikan perbedaan dan persamaan tipologi bentuk arsitektur vernakular sesuai dengan letak dan latar belakang kesukuan yang ada di Pulau Jawa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif analisis deskriptif berdasarkan studi literatur jurnal yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini mengkaji tipologi bentuk arsitektur vernakular di Pulau Jawa berdasarkan variabel bentuk dasar, panggung atau tidak panggung, dan bentuk atap. Hasil penelitian ditemukan bahwa tipologi bentuk dasar badan bangunan berupa bentuk persegi dan persegi panjang. Tipologi bentuk panggung atau tidak panggung secara umum terbagi menjadi 2 tipe utama yaitu tipe panggung rendah untuk rumah vernakular etnis sunda yang ada di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten, sedangkan diwilayah provinsi berupa rumah tidak berpanggung atau badan bangunannya langsung menempel pada tanah. Hanya terdapat satu rumah yang bertipe panggung tinggi yaitu Rumah Panggung Betawi di Provinsi DKI Jakarta. Tipologi atap terbagi dalam beberapa bentuk yaitu atap pelana biasa, pelana dengan tambahan atap sosoran pada beberapa sisi, atap limasan biasa dan atap limasan dengan tambahan sosoran serta tipe atap joglo. Kata kunci: Tipologi, bentuk, vernakular ABSTRACT. Vernacular architecture in each province in Indonesia is very diverse, including in Java, so it is interesting to see the typology of differences and similarities in form. Vernacular architecture in Indonesia is a cultural product of ethnic communities that inhabit an area, such as the Betawi, Sundanese, Javanese, Madurese, and Osing tribes on the island of Java. This research aims to identify and describe the differences and similarities in the typology of vernacular architectural forms according to the location and ethnic background in Java Island. The research method used is a qualitative research method of descriptive analysis based on studies of journal literature that have been done before. This study examines the typology of vernacular architectural forms in Java Island based on the essential form variables, whether or not on stilts and the shape of the roof. The study results found that the building body's basic shape is square and rectangular. The typology of the form of stilts or not stilts is generally divided into two main types, namely the low stilt type for vernacular houses of Sundanese ethnicity in the Provinces of West Java and Banten, while in the provinces in the form of dwellings without stilts or the body of the building directly attached to the groun","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":" 47","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139143975","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
ABSTRAK. Ruang terbuka publik kota memiliki aksesibilitas yang sangat tinggi sehingga memudahkan berbagai aktivitas muncul walaupun tidak sesuai dengan fungsi ruang tersebut diantaranya aktivitas berdagang. Aktivitas berdagang yang tumbuh pada ruang terbuka publik menimbulkan tumbuhnya ruang pasar informal yang sering mendapatkan tekanan dari lingkungan. Upaya pedagang pasar informal untuk bertahan dikaji melalui atribut yang terdapat di dalam ruang pasar tersebut. Untuk melakukan penelitian ini diperlukan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk menjawab “how” dan “why” terhadap fenomena yang terjadi. Hasil penelitian ini didapat bahwa Atribut Adaptasi bukan hanya menjadi bagian dari atribut saja melainkan membantu atribut lain dalam upaya kebertahanan pedagang pasar informal. Kemudian didapati bahwa Atribut Legabilitas tidak ditemui pada ruang pasar informal. Suatu temuan yang menarik dari penelitian ini bahwa selain atribut Weisman juga ditemukan faktor “keahlian” dalam kebertahanan pasar informal. Kata kunci: aktivitas, atribut, pasar, pedagang, ruang publik ABSTRACT. Urban public open spaces have very high accessibility, making it easier for various activities to emerge even though they are not by the function of the area, including trading activities. Trading activities that grow in public open spaces lead to the growth of informal market spaces that often get pressure from the environment. The efforts of informal market traders to survive are studied through the attributes contained in the market space. A qualitative research method with a case study approach is needed to answer the "how" and "why" of the occurring phenomena. This study found that the Adaptation Attribute is not only part of the attribute but helps other attributes in the survival efforts of informal market traders. Then, it was found that the Legibility Attribute was not found in the casual market space. An interesting finding from this research is that in addition to Weisman's attributes, the "expertise" factor is also found in the survival of informal markets. Keywords: activity, attribute, market, vendor, public space
ABSTRAK。在城市中的公共场所都有自己的活动,但这些活动都是在公共场所进行的。在公共场所开展的教育活动可以促进在非正式场合开展的教育活动。非正规的非正规教育是为了提高学生的学习能力,而非正规教育又是为了提高学生的学习能力。在此过程中,我们采用了 "可持续发展研究 "的方法,以研究 "如何 "和 "为什么 "来应对当前的现象。在这方面的研究表明,"适应 "属性(Atribut Adaptasi)与 "属性"(atribut saja)之间存在着某种联系,可以在非正式的教育过程中建立 "属性"(atribut lain)。Kemudian didapati bahwa Atribut Legabilitas tidak ditemui pada ruang pasar informal.魏斯曼的法律属性也会在非正式教育中产生 "keahlian "的作用。Kata kunci: aktivitas, atribut, pasar, pedagang, ruang publik ABSTRACT.城市公共开放空间具有很高的可达性,这使得各种活动(包括贸易活动)更容易出现,即使这些活动不属于该区域的功能范围。在公共开放空间发展起来的贸易活动导致非正规市场空间的发展,而非正规市场空间往往会受到来自环境的压力。我们通过市场空间所包含的属性来研究非正规市场商贩的生存努力。需要采用个案研究的定性研究方法来回答 "如何 "和 "为什么 "发生这种现象。本研究发现,在非正规市场商贩的生存努力中,适应属性不仅是属性的一部分,而且有助于其他属性。然后,研究发现,在非正规市场空间中没有发现可辨认性属性。这项研究的一个有趣发现是,除了魏斯曼的属性外,"专长 "因素也出现在非正规市场的生存中。关键词:活动、属性、市场、摊贩、公共空间
{"title":"Kajian Atribut pada Aktivitas Pedagang Pasar Informal di Pasar Loak Jembatan Item Jakarta","authors":"Dedi Hantono, Wiendu Nuryanti, Diananta Pramitasari","doi":"10.24853/nalars.23.1.77-84","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.23.1.77-84","url":null,"abstract":"ABSTRAK. Ruang terbuka publik kota memiliki aksesibilitas yang sangat tinggi sehingga memudahkan berbagai aktivitas muncul walaupun tidak sesuai dengan fungsi ruang tersebut diantaranya aktivitas berdagang. Aktivitas berdagang yang tumbuh pada ruang terbuka publik menimbulkan tumbuhnya ruang pasar informal yang sering mendapatkan tekanan dari lingkungan. Upaya pedagang pasar informal untuk bertahan dikaji melalui atribut yang terdapat di dalam ruang pasar tersebut. Untuk melakukan penelitian ini diperlukan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk menjawab “how” dan “why” terhadap fenomena yang terjadi. Hasil penelitian ini didapat bahwa Atribut Adaptasi bukan hanya menjadi bagian dari atribut saja melainkan membantu atribut lain dalam upaya kebertahanan pedagang pasar informal. Kemudian didapati bahwa Atribut Legabilitas tidak ditemui pada ruang pasar informal. Suatu temuan yang menarik dari penelitian ini bahwa selain atribut Weisman juga ditemukan faktor “keahlian” dalam kebertahanan pasar informal. Kata kunci: aktivitas, atribut, pasar, pedagang, ruang publik ABSTRACT. Urban public open spaces have very high accessibility, making it easier for various activities to emerge even though they are not by the function of the area, including trading activities. Trading activities that grow in public open spaces lead to the growth of informal market spaces that often get pressure from the environment. The efforts of informal market traders to survive are studied through the attributes contained in the market space. A qualitative research method with a case study approach is needed to answer the \"how\" and \"why\" of the occurring phenomena. This study found that the Adaptation Attribute is not only part of the attribute but helps other attributes in the survival efforts of informal market traders. Then, it was found that the Legibility Attribute was not found in the casual market space. An interesting finding from this research is that in addition to Weisman's attributes, the \"expertise\" factor is also found in the survival of informal markets. Keywords: activity, attribute, market, vendor, public space","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":"96 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139145709","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-29DOI: 10.24853/nalars.23.1.1-16
Cut Nur Aini, Qaanitah Azizah, Sri Muharrani
ABSTRAK. Salah satu kawasan di Indonesia yang memiliki banyak elemen-elemen bersejarah adalah permukiman masyarakat Mandailing di Sumatera Utara. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi elemen-elemen fisik dan non fisik kawasan permukiman masyarakat Mandailing di tiga kampung yang berpotensi untuk dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya serta menentukan seberapa luas kawasan yang layak untuk di konservasi. Kajian ini menggunakan metode deskriptif-eksploratif-kualitatif yang berupaya mengidentifikasi elemen fisik permukiman (bangunan, ruang terbuka, jalan) dan elemen non-fisik (sosial-budaya, tata letak, orientasi, pola) yang potensial untuk dilestarikan.Hasil penelitian menunjukkan aspek-aspek non-fisik yang dapat dilihat pengaruhnya terhadap lingkungan permukiman ini antara lain adalah a) penerapan prinsip Banua; b) perbedaan status kampung; c) Sistem Sosial Dalihan Natolu yang me-ruang. Secara keseluruhan kawasan permukiman Mandailing ini dapat diklasifikasikan atas dua kategori zona yaitu pertama, kawasan konservasi yang direncanakan untuk direnovasi, direstorasi dan direhabilitasi melalui kontekstual desain arsitektur Mandailing dan tetap memperhatikan aturan-aturan setempat; dan kedua, kawasan preservasi yang diberi kesempatan untuk tetap mempertahankan keberadaan tiap elemen-elemen penyusunannya tetapi juga tetap mempertahankan aturan-aturan setempat. Urutan penanganan terhadap kebijakan preservasi dan konservasi yang akan dilakukan pada tiap kasus memiliki urutan tertentu berdasar kriteria yang ditetapkan, yaitu penanganan segera terhadap kasus 4 dan penanganan berikutnya pada tiga kasus berikutnya dengan urutan penanganan adalah kasus 2, kasus 3 dan kasus 1. Kata Kunci : Arahan Pelestarian, Tata Ruang, Permukiman, Mandailing ABSTRACT. The Mandailing community settlement in North Sumatra has many historic elements. The purpose of this research is to identify the physical and non-physical aspects of the Mandailing community's residential areas in three villages that have the potential to be preserved and maintained, as well as to determine how large an area is appropriate for conservation. This study employs a descriptive-exploratory-qualitative approach to identify settlement physical elements (buildings, open spaces, and roads) and non-physical elements (socio-cultural, layout, orientation, and patterns) with the potential to be preserved. According to the study, physical characteristics are classified into physical buildings and non-buildings. Bagas Godang, Sopo Godang, Sopo Emme, mosques, Pancur Paridian, Sopo Saba, Sopo Ladang, and Bale Hombung are among the physical elements of the structure. Alaman Bolak Selangseutang, roads, rivers, plantation areas, fields, rice fields, and forests are non-building physical features. Non-physical aspects that impact the settlement environment include: a) using the Banua principle, b) differences in village status, and c) the spatial Dalihan Natolu Social System. Overall, the Mandailing res
{"title":"ARAHAN PELESTARIAN TATA RUANG PERMUKIMAN MASYARAKAT ETNIS MANDAILING DI SUMATERA UTARA","authors":"Cut Nur Aini, Qaanitah Azizah, Sri Muharrani","doi":"10.24853/nalars.23.1.1-16","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.23.1.1-16","url":null,"abstract":"ABSTRAK. Salah satu kawasan di Indonesia yang memiliki banyak elemen-elemen bersejarah adalah permukiman masyarakat Mandailing di Sumatera Utara. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi elemen-elemen fisik dan non fisik kawasan permukiman masyarakat Mandailing di tiga kampung yang berpotensi untuk dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya serta menentukan seberapa luas kawasan yang layak untuk di konservasi. Kajian ini menggunakan metode deskriptif-eksploratif-kualitatif yang berupaya mengidentifikasi elemen fisik permukiman (bangunan, ruang terbuka, jalan) dan elemen non-fisik (sosial-budaya, tata letak, orientasi, pola) yang potensial untuk dilestarikan.Hasil penelitian menunjukkan aspek-aspek non-fisik yang dapat dilihat pengaruhnya terhadap lingkungan permukiman ini antara lain adalah a) penerapan prinsip Banua; b) perbedaan status kampung; c) Sistem Sosial Dalihan Natolu yang me-ruang. Secara keseluruhan kawasan permukiman Mandailing ini dapat diklasifikasikan atas dua kategori zona yaitu pertama, kawasan konservasi yang direncanakan untuk direnovasi, direstorasi dan direhabilitasi melalui kontekstual desain arsitektur Mandailing dan tetap memperhatikan aturan-aturan setempat; dan kedua, kawasan preservasi yang diberi kesempatan untuk tetap mempertahankan keberadaan tiap elemen-elemen penyusunannya tetapi juga tetap mempertahankan aturan-aturan setempat. Urutan penanganan terhadap kebijakan preservasi dan konservasi yang akan dilakukan pada tiap kasus memiliki urutan tertentu berdasar kriteria yang ditetapkan, yaitu penanganan segera terhadap kasus 4 dan penanganan berikutnya pada tiga kasus berikutnya dengan urutan penanganan adalah kasus 2, kasus 3 dan kasus 1. Kata Kunci : Arahan Pelestarian, Tata Ruang, Permukiman, Mandailing ABSTRACT. The Mandailing community settlement in North Sumatra has many historic elements. The purpose of this research is to identify the physical and non-physical aspects of the Mandailing community's residential areas in three villages that have the potential to be preserved and maintained, as well as to determine how large an area is appropriate for conservation. This study employs a descriptive-exploratory-qualitative approach to identify settlement physical elements (buildings, open spaces, and roads) and non-physical elements (socio-cultural, layout, orientation, and patterns) with the potential to be preserved. According to the study, physical characteristics are classified into physical buildings and non-buildings. Bagas Godang, Sopo Godang, Sopo Emme, mosques, Pancur Paridian, Sopo Saba, Sopo Ladang, and Bale Hombung are among the physical elements of the structure. Alaman Bolak Selangseutang, roads, rivers, plantation areas, fields, rice fields, and forests are non-building physical features. Non-physical aspects that impact the settlement environment include: a) using the Banua principle, b) differences in village status, and c) the spatial Dalihan Natolu Social System. Overall, the Mandailing res","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":"139 6","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139146307","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-29DOI: 10.24853/nalars.23.1.29-38
A. Kusuma, T. Subroto
ABSTRAK. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah salah satu sarana perwujudan nilai (value) berdasarkan pengetahuan lokal yang dapat menjadi indikator perkembangan peradaban. Fakta bahwa Keraton Yogyakarta sebagai centrum kebudayaan Jawa yang masih terjaga dan eksis, dibuktikan melalui dua aspek yakni intangible serta tangible. Realitanya distribusi nilai lokal Jawa seperti filosofi kejawaan hingga pandangan hidup semakin terancam di kalangan generasi muda. Revitalisasi fisik Keraton Yogyakarta tentunya didasari kesadaran terhadap krisis pemahaman makna filosofis yang beredar di lingkungan publik. Vitalnya pemahaman mengenai makna simbolik di Keraton Yogyakarta dapat dipelajari melalui bangunan sebab memuat makna simbolik lengkap, khususnya di Bangsal Witana. Bangsal Witana memiliki kelengkapan ornamen sarat makna simbolik dengan berfokus pada lantai sebagai salah satu elemen penting pembangun Arsitektur. Seperti apa bentuk lantai di Bangsal Witana? Bagaimana proses relasi antar bentuk geometri dengan makna? Apa makna simbolik pola lantai Bangsal Witana? mengingat Bangsal Witana merupakan simbol Arsitektural guna mengajak seluruh rakyat untuk mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan urgensi penelitian untuk merumuskan bentuk lantai di Bangsal Witana, merumuskan proses relasi antar bentuk geometri dengan makna, serta merumuskan makna simbolik pola lantai di Bangsal Witana, Keraton Yogyakarta. Metode semiotika dengan model analisis milik Peirce dan Chandler, dimana mengkaji bentuk Arsitektur Bangsal Witana dalam sistem triadik yaitu ikon, indeks, dan simbol. Aplikasi metode tersebut dalam kajian unsur pola bentuk lantai Bangsal Witana guna mengungkap faktor laten sehingga menghasilkan kebenaran sesuai dengan pengetahuan lokal. Hasilnya berupa sistem yang terdiri dari tiga komponen tanda, terbangun dari objek pola lantai yang memiliki relasi dengan Vastusastra sebagai konteks. Kata kunci: Pola Lantai, Vastusastra, Bangsal Witana, Keraton Yogyakarta ABSTRACT. Ngayogyakarta Hadiningrat Palace means realizing values based on local knowledge as a civilization indicator. Fact Yogyakarta palace, as the center of Javanese culture, is maintained and exists through intangible and tangible aspects. The reality of the distribution of local Javanese values, such as Javanese philosophy and way of life, is threatened among the younger generation. The physical revitalization of the Yogyakarta Palace on public crisis awareness of understanding philosophical meaning circulating. Understanding that Yogyakarta Palace's symbolic meaning can be learned through buildings, especially in the Witana ward, is vital. Witana has complete ornaments full of symbolic meaning by focusing on the floor as one of the architectural building's elements. What does the floor look like in Witana Ward? What is the process of the relationship between geometric shapes and meaning? What is the symbolic meaning of the Witana Ward floor pattern? Consider Witana's architectural sym
{"title":"UNSUR-UNSUR POLA BENTUK LANTAI BANGSAL WITANA DALAM KONTEKS VASTUSASTRA","authors":"A. Kusuma, T. Subroto","doi":"10.24853/nalars.23.1.29-38","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.23.1.29-38","url":null,"abstract":"ABSTRAK. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah salah satu sarana perwujudan nilai (value) berdasarkan pengetahuan lokal yang dapat menjadi indikator perkembangan peradaban. Fakta bahwa Keraton Yogyakarta sebagai centrum kebudayaan Jawa yang masih terjaga dan eksis, dibuktikan melalui dua aspek yakni intangible serta tangible. Realitanya distribusi nilai lokal Jawa seperti filosofi kejawaan hingga pandangan hidup semakin terancam di kalangan generasi muda. Revitalisasi fisik Keraton Yogyakarta tentunya didasari kesadaran terhadap krisis pemahaman makna filosofis yang beredar di lingkungan publik. Vitalnya pemahaman mengenai makna simbolik di Keraton Yogyakarta dapat dipelajari melalui bangunan sebab memuat makna simbolik lengkap, khususnya di Bangsal Witana. Bangsal Witana memiliki kelengkapan ornamen sarat makna simbolik dengan berfokus pada lantai sebagai salah satu elemen penting pembangun Arsitektur. Seperti apa bentuk lantai di Bangsal Witana? Bagaimana proses relasi antar bentuk geometri dengan makna? Apa makna simbolik pola lantai Bangsal Witana? mengingat Bangsal Witana merupakan simbol Arsitektural guna mengajak seluruh rakyat untuk mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan urgensi penelitian untuk merumuskan bentuk lantai di Bangsal Witana, merumuskan proses relasi antar bentuk geometri dengan makna, serta merumuskan makna simbolik pola lantai di Bangsal Witana, Keraton Yogyakarta. Metode semiotika dengan model analisis milik Peirce dan Chandler, dimana mengkaji bentuk Arsitektur Bangsal Witana dalam sistem triadik yaitu ikon, indeks, dan simbol. Aplikasi metode tersebut dalam kajian unsur pola bentuk lantai Bangsal Witana guna mengungkap faktor laten sehingga menghasilkan kebenaran sesuai dengan pengetahuan lokal. Hasilnya berupa sistem yang terdiri dari tiga komponen tanda, terbangun dari objek pola lantai yang memiliki relasi dengan Vastusastra sebagai konteks. Kata kunci: Pola Lantai, Vastusastra, Bangsal Witana, Keraton Yogyakarta ABSTRACT. Ngayogyakarta Hadiningrat Palace means realizing values based on local knowledge as a civilization indicator. Fact Yogyakarta palace, as the center of Javanese culture, is maintained and exists through intangible and tangible aspects. The reality of the distribution of local Javanese values, such as Javanese philosophy and way of life, is threatened among the younger generation. The physical revitalization of the Yogyakarta Palace on public crisis awareness of understanding philosophical meaning circulating. Understanding that Yogyakarta Palace's symbolic meaning can be learned through buildings, especially in the Witana ward, is vital. Witana has complete ornaments full of symbolic meaning by focusing on the floor as one of the architectural building's elements. What does the floor look like in Witana Ward? What is the process of the relationship between geometric shapes and meaning? What is the symbolic meaning of the Witana Ward floor pattern? Consider Witana's architectural sym","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":" 10","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139142144","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-01DOI: 10.24853/nalars.22.1.73-80
Jundi Jundullah Afgani
Penghawaan alami merupakan kebutuhan penting bagi sebuah bangunan, maupun pengguna dari bangunan tersebut. Dengan menggunakan penghawaan alami dan system ventilasi udara yang baik akan berdampak pada kenyamanan termal didalam ruang dan membuat sebuah ruang menjadi lebih sehat karena pergerakan udara didalam ruang berjalan dengan baik, untuk memberikan kenyamanan bagi ruang-ruang di dalam rumah saat ini penghawaan alami sering dianggap tidak penting karena dapat ditanggulangi oleh penghawaan buatan, sehingga banyak sekali rumah-rumah yang ada sangat tergantung pada penghawaan buatan seperti kipas, Air Condition (AC) dan lain-lain,. tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kondisi penghawaan alami pada rumah tinggal di permukiman padat penduduk dan memberikan solusi agar penghawaan alami pada rumah tinggal di permukiman padat penduduk bisa maksimal sesuai dengan ketentuan standart SNI. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif yang didalamnya terdapat studi literature guna mendapatkan referensi sebagai dasar yang ada, selain itu penelitian ini juga menggunakan metode observasi secara langsung guna mendapatkan data-data yang ada seperti jenis dan ukuran dari jendela maupun ventilasi udara. Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi-dimensi dari jendela maupun ventilasi pada rumah tinggal masih belum memenuhi standart SNI, sehingga perlu adanya penambahan jumlah jendela dan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan penghawaan alami pada rumah tinggal, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi atau dapat menjadi acuan untuk rumah-rumah yang ada.
{"title":"KAJIAN PENGHAWAAN ALAMI PADA BUKAAN RUMAH TINGGAL DIPERMUKIMAN PADAT PENDUDUK","authors":"Jundi Jundullah Afgani","doi":"10.24853/nalars.22.1.73-80","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.22.1.73-80","url":null,"abstract":"Penghawaan alami merupakan kebutuhan penting bagi sebuah bangunan, maupun pengguna dari bangunan tersebut. Dengan menggunakan penghawaan alami dan system ventilasi udara yang baik akan berdampak pada kenyamanan termal didalam ruang dan membuat sebuah ruang menjadi lebih sehat karena pergerakan udara didalam ruang berjalan dengan baik, untuk memberikan kenyamanan bagi ruang-ruang di dalam rumah saat ini penghawaan alami sering dianggap tidak penting karena dapat ditanggulangi oleh penghawaan buatan, sehingga banyak sekali rumah-rumah yang ada sangat tergantung pada penghawaan buatan seperti kipas, Air Condition (AC) dan lain-lain,. tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kondisi penghawaan alami pada rumah tinggal di permukiman padat penduduk dan memberikan solusi agar penghawaan alami pada rumah tinggal di permukiman padat penduduk bisa maksimal sesuai dengan ketentuan standart SNI. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif yang didalamnya terdapat studi literature guna mendapatkan referensi sebagai dasar yang ada, selain itu penelitian ini juga menggunakan metode observasi secara langsung guna mendapatkan data-data yang ada seperti jenis dan ukuran dari jendela maupun ventilasi udara. Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi-dimensi dari jendela maupun ventilasi pada rumah tinggal masih belum memenuhi standart SNI, sehingga perlu adanya penambahan jumlah jendela dan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan penghawaan alami pada rumah tinggal, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi atau dapat menjadi acuan untuk rumah-rumah yang ada.","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43099937","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-02-01DOI: 10.24853/nalars.22.1.63-72
Lia Mardalena, H. Murwadi
Berjalan kaki merupakan salah satu moda transportasi yang sangat sederhana, murah, dan popular pada sepanjang Jalan Zainal Abidin Pagar Alam (selanjutnya disebut Jalan ZAPA). Sepanjang Jalan ZAPA ini terdapat banyak perguruan tinggi dengan berbagai aktivitas mahasiswa, namun kondisi trotoar yang tersedia terlihat kurang memadai. Kondisi trotoar yang kurang memadai tersebut berpotensi menurunkan minat mahasiswa untuk melakukan kegiatan di sekitar kampus dengan menggunakan jalur pedestrian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kenyamanan mahasiswa dalam menggunakan jalur pedestrian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif berupa penggunakan teknik observasi lapangan guna mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan serta penyebarkan kuesioner kepada mahasiswa. Hasil penelitian diketahui bahwa indeks tingkat kenyamanan para mahasiswa terhadap jalur pedestrian yang tersedia masih dirasa kurang. Untuk memberikan kenyamanan bagi mahasiwa dalam menggunakan jalur pedestrian, maka pembangunan jalur pedestrian seharusnya lebih diperhatikan dengan mempertimbangkan kondisi di lapangan kualitas struktur, permukaan harus rata, elevasi yang landai, ketersediaan ram. Tersedianya jalur pedestrian yang layak diharapkan akan mampu meningkatkan motivasi para mahasiswa untuk berjalan kaki.
{"title":"ANALISIS KENYAMANAN BERJALAN MAHASISWA PADA JALUR PEDESTRIAN DI KOTA BANDARLAMPUNG","authors":"Lia Mardalena, H. Murwadi","doi":"10.24853/nalars.22.1.63-72","DOIUrl":"https://doi.org/10.24853/nalars.22.1.63-72","url":null,"abstract":"Berjalan kaki merupakan salah satu moda transportasi yang sangat sederhana, murah, dan popular pada sepanjang Jalan Zainal Abidin Pagar Alam (selanjutnya disebut Jalan ZAPA). Sepanjang Jalan ZAPA ini terdapat banyak perguruan tinggi dengan berbagai aktivitas mahasiswa, namun kondisi trotoar yang tersedia terlihat kurang memadai. Kondisi trotoar yang kurang memadai tersebut berpotensi menurunkan minat mahasiswa untuk melakukan kegiatan di sekitar kampus dengan menggunakan jalur pedestrian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kenyamanan mahasiswa dalam menggunakan jalur pedestrian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif berupa penggunakan teknik observasi lapangan guna mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan serta penyebarkan kuesioner kepada mahasiswa. Hasil penelitian diketahui bahwa indeks tingkat kenyamanan para mahasiswa terhadap jalur pedestrian yang tersedia masih dirasa kurang. Untuk memberikan kenyamanan bagi mahasiwa dalam menggunakan jalur pedestrian, maka pembangunan jalur pedestrian seharusnya lebih diperhatikan dengan mempertimbangkan kondisi di lapangan kualitas struktur, permukaan harus rata, elevasi yang landai, ketersediaan ram. Tersedianya jalur pedestrian yang layak diharapkan akan mampu meningkatkan motivasi para mahasiswa untuk berjalan kaki.","PeriodicalId":31959,"journal":{"name":"Nalars","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44897361","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}