Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki amanat untuk mengembangkan sistem jaminan sosial dan telah diwujudkan dengan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Dengan tujuan menjamin terpenuhinya dasar hidup yang layak bagi seluruh pekerja dan anggota keluarganya, sebuah perusahaan yang memperkerjakan pekerja alih daya mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan pekerjanya pada program BPJS Ketenagakerjaan ini. Namun, faktanya masih banyak perusahaan dengan sengaja mengabaikan hak pekerja alih daya walaupun ada ketentuan tentang sanksi. Pokok pembahasan ini membahas pasal 15 ayat (1) UU BPJS yang menjadi dasar kewajiban perusahaan tersebut, kemudian dihubungkan dengan putusan MK nomor 82/PUU-X/2012 yang menghasilkan putusan bahwa pasal 15 ayat (1) UU BPJS ditetapkan berlaku dengan konstitusional bersyarat karena dimaknai meniadakan hak pekerja alih daya atas kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
{"title":"Legal Certainty of Registration of Outsourced Workers in the Employees Social Security System","authors":"Elyta Gevy Agustin","doi":"10.19184/jkk.v1i2.25474","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i2.25474","url":null,"abstract":"Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki amanat untuk mengembangkan sistem jaminan sosial dan telah diwujudkan dengan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Dengan tujuan menjamin terpenuhinya dasar hidup yang layak bagi seluruh pekerja dan anggota keluarganya, sebuah perusahaan yang memperkerjakan pekerja alih daya mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan pekerjanya pada program BPJS Ketenagakerjaan ini. Namun, faktanya masih banyak perusahaan dengan sengaja mengabaikan hak pekerja alih daya walaupun ada ketentuan tentang sanksi. Pokok pembahasan ini membahas pasal 15 ayat (1) UU BPJS yang menjadi dasar kewajiban perusahaan tersebut, kemudian dihubungkan dengan putusan MK nomor 82/PUU-X/2012 yang menghasilkan putusan bahwa pasal 15 ayat (1) UU BPJS ditetapkan berlaku dengan konstitusional bersyarat karena dimaknai meniadakan hak pekerja alih daya atas kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"45 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122377449","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pengaturan hak atas tanah ulayat telah diatur dalam Undang-undnag Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masyarakat Hukum adat. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji pentingnya pendaftaran tanah ulayat menjadi hak milik pribadi agar idak terjadi konflik dan sengketa dari masyarakat hukum adat khususnya pada suku Batak Toba di pulau Samosir, Sumatera Utara. Kemudia penulis akan menguraikan tata cara pelapasan tanah ulayat secara adat sehingga dapat menjadi hak milik perseorangan atau pribadi. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dititik beratkan pada kaidah-kaidah hukum.
{"title":"Pendaftaran Tanah Ulayat yang menjadi Hak Milik Perseorangan Pada Suku Batak Toba di Pulau Samosir, Sumatera Utara","authors":"Khoirur Rahmi Sibarani","doi":"10.19184/jkk.v1i2.27770","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i2.27770","url":null,"abstract":"Pengaturan hak atas tanah ulayat telah diatur dalam Undang-undnag Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masyarakat Hukum adat. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji pentingnya pendaftaran tanah ulayat menjadi hak milik pribadi agar idak terjadi konflik dan sengketa dari masyarakat hukum adat khususnya pada suku Batak Toba di pulau Samosir, Sumatera Utara. Kemudia penulis akan menguraikan tata cara pelapasan tanah ulayat secara adat sehingga dapat menjadi hak milik perseorangan atau pribadi. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dititik beratkan pada kaidah-kaidah hukum.","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130539731","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
ABSTRACT: Inconsistency between Article 41 paragraph (3) of Law Number 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest and Article 19 paragraph (2) letter c of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles in conjunction with Article 32 of Regulation Government Number 24 of 1997 concerning Land Registration. Article 19 paragraph (2) letter c of the UUPA in conjunction with Article 32 of PP Number 24 of 1997 which states that the certificate is valid as a strong evidence. Meanwhile, Article 41 paragraph (3) of Law Number 2 of 2012 explains that the certificate is valid as a means of absolute proof and cannot be contested in the future. The sentence “inviolability in the future raises the perception that Article 41 will give birth to injustice for third parties if he is the rightful owner of the plot of land that is used as the object of land acquisition. This study aims to determine the suitability of the law on land acquisition for development in the public interest with the land registration system in Indonesia and the legal consequences if there are parties who object to proof of ownership of land acquisition objects for development in the public interest. The method used in this research is normative juridical using a statutory approach and a conceptual approach. The method of collecting legal materials is through literature study with deductive analysis. From the results of the study, it can be concluded that the law on land acquisition for development in the public interest is not in accordance with the land registration system in Indonesia which causes if there are parties who object to the certificate as proof of ownership of the object of land acquisition, then that party will lose their land rights along with compensation. losses on the implementation of land acquisition if the objecting party can provide other evidence that can weaken the strength of proof of the certificate. KEYWORDS: certificate, land registration, land acquisition
{"title":"Kekuatan Pembuktian Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Bukti Kepemilikan Objek Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum","authors":"Ulfa Rohmati","doi":"10.19184/jkk.v1i2.25959","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i2.25959","url":null,"abstract":"ABSTRACT: Inconsistency between Article 41 paragraph (3) of Law Number 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest and Article 19 paragraph (2) letter c of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles in conjunction with Article 32 of Regulation Government Number 24 of 1997 concerning Land Registration. Article 19 paragraph (2) letter c of the UUPA in conjunction with Article 32 of PP Number 24 of 1997 which states that the certificate is valid as a strong evidence. Meanwhile, Article 41 paragraph (3) of Law Number 2 of 2012 explains that the certificate is valid as a means of absolute proof and cannot be contested in the future. The sentence “inviolability in the future raises the perception that Article 41 will give birth to injustice for third parties if he is the rightful owner of the plot of land that is used as the object of land acquisition. This study aims to determine the suitability of the law on land acquisition for development in the public interest with the land registration system in Indonesia and the legal consequences if there are parties who object to proof of ownership of land acquisition objects for development in the public interest. The method used in this research is normative juridical using a statutory approach and a conceptual approach. The method of collecting legal materials is through literature study with deductive analysis. From the results of the study, it can be concluded that the law on land acquisition for development in the public interest is not in accordance with the land registration system in Indonesia which causes if there are parties who object to the certificate as proof of ownership of the object of land acquisition, then that party will lose their land rights along with compensation. losses on the implementation of land acquisition if the objecting party can provide other evidence that can weaken the strength of proof of the certificate. \u0000KEYWORDS: certificate, land registration, land acquisition","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133159324","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract The execution parate is the easiest and speedy means of execution for creditors to repay debts when debtors are promised. In practice, however, execution of the execution as section 6 the land bill and materials related to the ground or commonly called the uuht were often hammed. This is because there are inconsistencies in the formal mechanisms or rules of the execution of the execution. The inconsistency is seen when chapter 6 is linked with the general explanation of Jo chapter 14 verse 2 and verse 3. Inconsistencies in the rules can create legal uncertainties in society. The purpose of this study is to identify inconsistencies in the arrangement of the parate, uuht, and proper legal formulations to overcome the tariff for the execution of the property-rights object. The method used was normatif juridical research, using a regulatory and conceptual approach. The result of this study is when a clause of chapter 6 is incorporated with the general explanation of the number 9 in the uuht that the general explanation of the number 9 is section 14 of verses 2 and 3 of the uuht is irrelevant to use asa basis for the law of executing the parliament of execution, and legal formulation to address this inconsistency by making a revision of the uuht content particularly the troubled chapters. Keywords: Inconsistency, Parate Execution, and Legal Formulation Abstrak Parate eksekusi merupakan sarana eksekusi termudah dan cepat bagi kreditur untuk pelunasan piutang manakala debitur cidera janji. Akan tetapi di dalam prakteknya pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau yang biasa disebut UUHT sering terkendala. Hal ini dikarenakan terdapat inkonsistensi mengenai mekanisme atau aturan formal dalam pelaksanaan parate eksekusi. Inkosistensi ini terlihat apabila Pasal 6 UUHT dihubungkan dengan Penjelasan Umum angka 9 jo Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHT. Inkonsistensi dalam peraturan tersebut dapat menciptakan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui inkonsistensi pengaturan parate eksekusi hak tanggungan dalam UUHT dan formulasi hukum yang tepat untuk mengatasi inkonsistensi terhadap pelaksanaan parate eksekusi objek hak tanggungan atas tanah. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundangundangan dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini adalah apabila dikaitkan antara ketentuan pada Pasal 6 dengan Penjelasan Umum angka 9 dalam UUHT bahwa Penjelasan Umum angka 9 jo Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT tidak relevan apabila digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan parate eksekusi, dan formulasi hukum untuk mengatasi inkonsistensi ini yaitu dengan melakukan revisi materi muatan UUHT khususnya pasal-pasal yang bermasalah. Kata Kunci: Inkonsistensi, Parate Eksekusi, dan Formulasi Hukum
摘要:执行分割是债权人履行债务人债务时最简便、快捷的执行方式。但在实践中,执行作为第6条执行的土地单和与土地有关的材料或俗称的土地书往往受到打击。这是因为在执行的正式机制或规则中存在不一致之处。当第6章与约翰福音14章第2节和第3节的一般解释联系在一起时,可以看到这种不一致。规则的不一致会给社会带来法律上的不确定性。本研究的目的是找出在个别、个别和适当的法律条文安排上的不一致之处,以克服产权客体执行的关税。所使用的方法是规范的法律研究,采用管制和概念方法。本研究的结果是,当第6章的一个条款与文本中数字9的一般解释相结合时,数字9的一般解释是文本中第2节和第3节的第14节,这与使用执行议会执行法的基础无关,法律制定通过修改文本内容来解决这种不一致,特别是有问题的章节。关键词:不一致,共同执行,法律制定摘要:共同执行,merupakan sarana, eksekusi termudah dan cepat bagi creredur untuk pelunasan piutang manakala debitur cidera janji。Akan tetapi di dalam prakteknya pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau Yang biasa disebut uht服务terkendala。在此基础上,本文提出了一种新的研究方法,即不一致的mengenai mekanisme,即正式的dalam pelaksanaan和独立的eksekusi。Inkosistensi ini terlihat apabila Pasal 6 uht dihubungkan dengan Penjelasan Umum angka 9 jo Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) uht。inconsistensi dalam peraturan tersebut dapat menciptakan ketidakpastian hukum dalam masyarakat。Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggetahui inconsistensi pengaturan parate eksekusi hak tanggungan dalam uht danformulasi hukum yang tepat untuk mengatasi inconsistensi terhadap pelaksanaan parate eksekusi objek hak tanggungan atas tanah。从字面上看,这句话的意思是:从字面上看,这句话的意思是:从字面上看,这句话的意思是:Hasil dari penelitian ini adalah apabila dikaitkan antara ketentuan pada Pasal 6 dengan Penjelasan Umum angka 9 dalam uht bahwa Penjelasan Umum angka 9 jo Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) uht tidak relevan apabila digunakan sebagai dasar hukum untuk mengatasi inconstsistensi i yitu dengan melakukan revisi materi muatan uht khususnya Pasal - Pasal yang bermasalah。Kata Kunci: Inkonsistensi, Parate Eksekusi, dan Formulasi Hukum
{"title":"Inkonsistensi Pengaturan Pelaksanaan Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan Atas Tanah","authors":"Nuzulia Ramadhani","doi":"10.19184/jkk.v1i2.26056","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i2.26056","url":null,"abstract":"Abstract \u0000 \u0000 \u0000The execution parate is the easiest and speedy means of execution for creditors to repay debts when debtors are promised. In practice, however, execution of the execution as section 6 the land bill and materials related to the ground or commonly called the uuht were often hammed. This is because there are inconsistencies in the formal mechanisms or rules of the execution of the execution. The inconsistency is seen when chapter 6 is linked with the general explanation of Jo chapter 14 verse 2 and verse 3. Inconsistencies in the rules can create legal uncertainties in society. The purpose of this study is to identify inconsistencies in the arrangement of the parate, uuht, and proper legal formulations to overcome the tariff for the execution of the property-rights object. The method used was normatif juridical research, using a regulatory and conceptual approach. The result of this study is when a clause of chapter 6 is incorporated with the general explanation of the number 9 in the uuht that the general explanation of the number 9 is section 14 of verses 2 and 3 of the uuht is irrelevant to use asa basis for the law of executing the parliament of execution, and legal formulation to address this inconsistency by making a revision of the uuht content particularly the troubled chapters. \u0000 \u0000Keywords: Inconsistency, Parate Execution, and Legal Formulation \u0000 \u0000 \u0000Abstrak \u0000 \u0000Parate eksekusi merupakan sarana eksekusi termudah dan cepat bagi kreditur untuk pelunasan piutang manakala debitur cidera janji. Akan tetapi di dalam prakteknya pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau yang biasa disebut UUHT sering terkendala. Hal ini dikarenakan terdapat inkonsistensi mengenai mekanisme atau aturan formal dalam pelaksanaan parate eksekusi. Inkosistensi ini terlihat apabila Pasal 6 UUHT dihubungkan dengan Penjelasan Umum angka 9 jo Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHT. Inkonsistensi dalam peraturan tersebut dapat menciptakan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui inkonsistensi pengaturan parate eksekusi hak tanggungan dalam UUHT dan formulasi hukum yang tepat untuk mengatasi inkonsistensi terhadap pelaksanaan parate eksekusi objek hak tanggungan atas tanah. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundangundangan dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini adalah apabila dikaitkan antara ketentuan pada Pasal 6 dengan Penjelasan Umum angka 9 dalam UUHT bahwa Penjelasan Umum angka 9 jo Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT tidak relevan apabila digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan parate eksekusi, dan formulasi hukum untuk mengatasi inkonsistensi ini yaitu dengan melakukan revisi materi muatan UUHT khususnya pasal-pasal yang bermasalah. \u0000Kata Kunci: Inkonsistensi, Parate Eksekusi, dan Formulasi Hukum","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"26 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133362124","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The COVID-19 pandemic has resulted in most entrepreneurs being forced to stop or reduce their business activities. This means that there will be Termination of Employment or reduction of its workers. It also forces workers to work from home (WFH) or not work at all. This means reduced or stopped sources of livelihood for workers and their families. As a result of the COVID-19 Pandemic, for the Government, termination of employment is an increase in the number of unemployed which can cause social unrest. This means reduced or stopped sources of livelihood for workers and their families. As a result of the COVID-19 Pandemic, for the Government, termination of employment is an increase in the number of unemployed which can cause social unrest.
{"title":"Prinsip Perlindungan Hukum Pekerja Atas Pengurangan Upah Di Masa Pandemi Covid-19","authors":"Mega Surya Mahar Dika","doi":"10.19184/jkk.v1i2.25736","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i2.25736","url":null,"abstract":"The COVID-19 pandemic has resulted in most entrepreneurs being forced to stop or reduce their business activities. This means that there will be Termination of Employment or reduction of its workers. It also forces workers to work from home (WFH) or not work at all. This means reduced or stopped sources of livelihood for workers and their families. As a result of the COVID-19 Pandemic, for the Government, termination of employment is an increase in the number of unemployed which can cause social unrest. This means reduced or stopped sources of livelihood for workers and their families. As a result of the COVID-19 Pandemic, for the Government, termination of employment is an increase in the number of unemployed which can cause social unrest.","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128545692","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pengujian formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK 2019), merupakan babak baru bagi kelembagaan KPK. Pengujian formil atas undang-undang KPK, juga merupakan tantangan tersendiri bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat mewujudkan keadilan substantif, dan kemajuan hukum progresif. Tujuan Penelitian ini adalah untuk meninjau ulang paradigma pengujian formil dalam Mahkamah Konstitusi, serta mengukur pengaruh keberlakuan UU KPK 2019, terhadap inefektifitas pemberantasan korupsi di masa depan. Dalam penelitian ini, akan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan menghadirkandan analisa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, melakukan pendekatan secara konseptual perundang-undangan, serta aspek aspek non-hukum berupa asas-asas hukum, dan teori-teori pembentukan peraturan perundang-undangan, ataupun berkenaan dengan paradigma penerapan hukum oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian formil. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, adalah bahan hukum primer , berupa undang-undang, peraturan Mahkamah Konstitusi, serta peraturan terkait lainnya, dan bahan hukum sekunder berupa karya tulis ilmiah (jurnal, artikel dsb), dan thesis. Penelitian ini menunjukkan, bahwa pengujian formil di Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan keseluruhan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pasca putusan pengujian formil terhadap undang-undang KPK, kelembagaan KPK masuk dalam rumpun eksekutif, walaupun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, KPK tetap tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan manapun. Namun, Konsepsi Independen tersebut, perlu ditinjau ulang, karena KPK memiliki sifat costitutionale importance, sehingga tidak layak dimasukkan dalam cabang kekuasaan eksekutif. KEYWORDS: Mahkamah Konstitusi, Pengujian Formil, Komisi Pemberantasan Korupsi.
{"title":"Meninjau Ulang Paradigma Pengujian Formil oleh MK: Belajar dari Diskursus Pengujian terhadap Independensi KPK","authors":"Aprilian Sumodiningrat","doi":"10.19184/jkk.v1i1.24455","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i1.24455","url":null,"abstract":" Pengujian formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK 2019), merupakan babak baru bagi kelembagaan KPK. Pengujian formil atas undang-undang KPK, juga merupakan tantangan tersendiri bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat mewujudkan keadilan substantif, dan kemajuan hukum progresif. Tujuan Penelitian ini adalah untuk meninjau ulang paradigma pengujian formil dalam Mahkamah Konstitusi, serta mengukur pengaruh keberlakuan UU KPK 2019, terhadap inefektifitas pemberantasan korupsi di masa depan. Dalam penelitian ini, akan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan menghadirkandan analisa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, melakukan pendekatan secara konseptual perundang-undangan, serta aspek aspek non-hukum berupa asas-asas hukum, dan teori-teori pembentukan peraturan perundang-undangan, ataupun berkenaan dengan paradigma penerapan hukum oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian formil. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, adalah bahan hukum primer , berupa undang-undang, peraturan Mahkamah Konstitusi, serta peraturan terkait lainnya, dan bahan hukum sekunder berupa karya tulis ilmiah (jurnal, artikel dsb), dan thesis. Penelitian ini menunjukkan, bahwa pengujian formil di Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan keseluruhan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pasca putusan pengujian formil terhadap undang-undang KPK, kelembagaan KPK masuk dalam rumpun eksekutif, walaupun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, KPK tetap tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan manapun. Namun, Konsepsi Independen tersebut, perlu ditinjau ulang, karena KPK memiliki sifat costitutionale importance, sehingga tidak layak dimasukkan dalam cabang kekuasaan eksekutif. \u0000KEYWORDS: Mahkamah Konstitusi, Pengujian Formil, Komisi Pemberantasan Korupsi.","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"66 2 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123546892","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The enforcement process of electoral law needs to be simplified by proposing the single authority granted to a special election court. This is because the segmentation of electoral law enforcement into several law enforcement agencies has not been able to guarantee legal certainty and enforce election justice. This article aims to revisit the various problems in segmenting election law enforcement and their implications for the quality of election administration in Indonesia. It offers an ideal concept of electoral law enforcement within the framework of democratic and fair elections. This article shows that election law problems and the concept of law enforcement which have been segmented into several categories with various settlement mechanisms and law enforcement agencies often only cause overlapping authorities and decisions between judicial institutions and still allow for a legal vacuum so that it has negative implications for the quality of elections in Indonesia. Consequently, it is necessary to revamp the concept of electoral law enforcement by simplifying and redesigning its law enforcement agencies, one of which is to strengthen the idea of a special election court body. This is seen as the ideal concept of law enforcement for elections in Indonesia within the framework of democratic and fair elections. Keywords: Elections, Election Law Enforcement, Democratic and Fair Elections.
{"title":"Desain Ulang Konsep Penegakan Hukum Pemilu di Indonesia dalam Kerangka Pemilu Demokratis dan Berkeadilan","authors":"Dzikry Gaosul Ashfiya","doi":"10.19184/jkk.v1i1.23792","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i1.23792","url":null,"abstract":"The enforcement process of electoral law needs to be simplified by proposing the single authority granted to a special election court. This is because the segmentation of electoral law enforcement into several law enforcement agencies has not been able to guarantee legal certainty and enforce election justice. This article aims to revisit the various problems in segmenting election law enforcement and their implications for the quality of election administration in Indonesia. It offers an ideal concept of electoral law enforcement within the framework of democratic and fair elections. This article shows that election law problems and the concept of law enforcement which have been segmented into several categories with various settlement mechanisms and law enforcement agencies often only cause overlapping authorities and decisions between judicial institutions and still allow for a legal vacuum so that it has negative implications for the quality of elections in Indonesia. Consequently, it is necessary to revamp the concept of electoral law enforcement by simplifying and redesigning its law enforcement agencies, one of which is to strengthen the idea of a special election court body. This is seen as the ideal concept of law enforcement for elections in Indonesia within the framework of democratic and fair elections. \u0000Keywords: Elections, Election Law Enforcement, Democratic and Fair Elections.","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"21 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129606558","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
F. Yunita, Abdul Basith Umami, Ahmad Alveyn Sulthony Ananda, Reni Putri Anggraeni
This paper aim to examine issues regarding Komisi Yudisial (KY) as an independent commission with limited authorities over judicial branch. As the Constitutional Court decision, this Commission’s authority in selecting first-level court judges was eliminated. The consequences is that in 2019, from 130 sanctions recommended by KY, only 10 sanctions were enforced by the Supreme Court. This research discuss two issues. First, granting the authority to select the first judge’s appointment to KY. Second, giving the authority to impose sanctions on judges who violate the code of ethics to KY. This study uses a juridical-normative method with a conceptual-comparative approach to analyze the legal materials. The study found that the law has placed KY as an ethical institution as well as a supervisor of judicial power, but practically, many KY authorities cannot be implemented optimally because of the lack of regulation and technical understanding with the Supreme Court as the pinnacle of justice in Indonesia. It is very important to restore KY authority in appointing first-level judges and increase KY authority in imposing ethical sanctions on judges who violate ethics. KEYWORDS: Komisi Yudisial, Judges Appointment, Ethical Sanction.
本文旨在探讨 Komisi Yudisial(KY)作为一个对司法部门拥有有限权力的独立委员会所面临的问题。根据宪法法院的决定,该委员会在遴选一级法院法官方面的权力被取消。其后果是,2019 年,在 KY 建议的 130 项制裁中,只有 10 项制裁由最高法院执行。本研究讨论了两个问题。第一,赋予 KY 遴选一级法官任命的权力。第二,赋予 KY 对违反道德规范的法官实施制裁的权力。本研究采用概念比较法的司法规范法对法律材料进行分析。研究发现,法律将 KY 定义为道德机构以及司法权力的监督者,但实际上,由于最高法院作为印尼司法的顶峰,缺乏监管和技术理解,许多 KY 权力无法得到最佳执行。恢复印尼最高司法委员会在任命一级法官方面的权力,并增强其在对违反道德的法官实施道德制裁方面的权力是非常重要的。关键词:印尼最高法院,法官任命,道德制裁。
{"title":"Penguatan Kewenangan Komisi Yudisial di Indonesia: Perspektif Konstitusional dan Kontekstual","authors":"F. Yunita, Abdul Basith Umami, Ahmad Alveyn Sulthony Ananda, Reni Putri Anggraeni","doi":"10.19184/jkk.v1i1.23822","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i1.23822","url":null,"abstract":"This paper aim to examine issues regarding Komisi Yudisial (KY) as an independent commission with limited authorities over judicial branch. As the Constitutional Court decision, this Commission’s authority in selecting first-level court judges was eliminated. The consequences is that in 2019, from 130 sanctions recommended by KY, only 10 sanctions were enforced by the Supreme Court. This research discuss two issues. First, granting the authority to select the first judge’s appointment to KY. Second, giving the authority to impose sanctions on judges who violate the code of ethics to KY. This study uses a juridical-normative method with a conceptual-comparative approach to analyze the legal materials. The study found that the law has placed KY as an ethical institution as well as a supervisor of judicial power, but practically, many KY authorities cannot be implemented optimally because of the lack of regulation and technical understanding with the Supreme Court as the pinnacle of justice in Indonesia. It is very important to restore KY authority in appointing first-level judges and increase KY authority in imposing ethical sanctions on judges who violate ethics. \u0000KEYWORDS: Komisi Yudisial, Judges Appointment, Ethical Sanction.","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128187780","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pasal 33(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indnesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagai dasar kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 6 menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, salah satunya yakni kegiatan perluasan ataupun penambahan tempat pemakaman umum. Dalam pelaksanaannya pemerintah kota harus melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dan kondisi dan juga sosialisasi kepada masyarakat diantaranya, masyarakat/warga. Sebab pada dasarnya tujuan pembangunan untuk kepentingan umum sendiri yakni untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan, serta pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pembangunan yang berkelanjutan akan terwujud apabila antar elemen selanjutnya saling berkaitan sebab seyogyanya pembangunan untuk kepentingan umum sendiri mengedepankan kemanusiaan, keterbukaan, keadilan, kepastian, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan guna mewujudkan kemakmuran masyarakat dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Artikel ini dibuat untuk mendeskripsikan tentang bagaimana tempat pemakaman umum semakin luas di Surabaya dan segala akibat hukum yang timbul oleh karenanya.
{"title":"Aspek Hukum Perluasan Tanah Pemakaman Umum di Kota Surabaya","authors":"Martinoadi Batara, Warah Atikah","doi":"10.19184/jkk.v1i1.24105","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i1.24105","url":null,"abstract":"Pasal 33(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indnesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagai dasar kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 6 menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, salah satunya yakni kegiatan perluasan ataupun penambahan tempat pemakaman umum. Dalam pelaksanaannya pemerintah kota harus melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dan kondisi dan juga sosialisasi kepada masyarakat diantaranya, masyarakat/warga. Sebab pada dasarnya tujuan pembangunan untuk kepentingan umum sendiri yakni untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan, serta pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pembangunan yang berkelanjutan akan terwujud apabila antar elemen selanjutnya saling berkaitan sebab seyogyanya pembangunan untuk kepentingan umum sendiri mengedepankan kemanusiaan, keterbukaan, keadilan, kepastian, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan guna mewujudkan kemakmuran masyarakat dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Artikel ini dibuat untuk mendeskripsikan tentang bagaimana tempat pemakaman umum semakin luas di Surabaya dan segala akibat hukum yang timbul oleh karenanya.","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"430 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132245826","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Iwan Rachmad Soetijono, Rizal Nugroho, J. Jayus, Ida Bagus Oka Ana
Anak merupakan sumberdaya manusia bagi pembangunan dan penentu suatu bangsa. Berkaitan dengan pemenuhan ruang untuk mendukung minat dan bakat anak ke hal yang lebih positif dan bisa menambah ruang kreatifitas bagi anak tentunya pemerintah juga perlu mendukung tidak hanya berasal dari orang tua saja. Karena dengan adanya dukungan dari seluruh pihak maka minat dan bakat anak bisa berkembang dengan baik didukung dengan berbagai saranan dan prasarana baik yang disediakan oleh orang tua, sekolah, dan pemerintah daerah setempat. Adapun peran yang dapat diberikan oleh pemerintah daerah setempat adalah dengan memberikan ruang bagi seluruh masyarakat diberbagai kalangan, salah satunya ruang terbuka hijau berupa alun-alun, sarana olah raga dan tempat bermain bagi anak yang ramah terhadap anak. Alasan pemerintah daerah memiliki peran dalam pemenuhanhak anak melalui ruang terbuka hijau ini tercantum dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Bahwa setidaknya pemerintah bisa memberikan sedikitnya 20% dari luasan wilayahnya untuk pemenuhan ruang terbuka hijau yang bisa digunakan oleh masyarakat dalam beraktivitas secara positif misalnya, di alun-alun kota. Penelitian ni menggunakan metode penelitian legal studies dimana mengungkap masalah yang ada di amasyarakat dengan kemudian memberikan solusi. Pada dasarnya dalam setiap upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah telah mengarah pada pemenuhan hak ruang terbuka hijau baik public mapun privat baik berupa regulasi maupun program-program yang pro terhadap kepentingan anak. Namun masih ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam melaksanakan program karena masih belum maksimalnya partisipasi dari seluruh stakeholder terutama untuk kondisi di Kabupaten Jember, sedangkan untuk di Kabupaten Banyuwangi secara keseluruhan bisa dikategorikan sebagai pemerintah kabupaten yang secara partifsipatif dalam hal pemenuhan ruang terbuk ahijau bagi anak, karena hampir rata di setiap program yang dilaksanakan selalu melibatkan peran dari seluruh stakeholder terkait.
{"title":"Pemenuhan Hak Anak Atas Ruang Terbuka Hijau: Studi Kebijakan di Kabupaten Jember dan Banyuwangi","authors":"Iwan Rachmad Soetijono, Rizal Nugroho, J. Jayus, Ida Bagus Oka Ana","doi":"10.19184/jkk.v1i1.23959","DOIUrl":"https://doi.org/10.19184/jkk.v1i1.23959","url":null,"abstract":"Anak merupakan sumberdaya manusia bagi pembangunan dan penentu suatu bangsa. Berkaitan dengan pemenuhan ruang untuk mendukung minat dan bakat anak ke hal yang lebih positif dan bisa menambah ruang kreatifitas bagi anak tentunya pemerintah juga perlu mendukung tidak hanya berasal dari orang tua saja. Karena dengan adanya dukungan dari seluruh pihak maka minat dan bakat anak bisa berkembang dengan baik didukung dengan berbagai saranan dan prasarana baik yang disediakan oleh orang tua, sekolah, dan pemerintah daerah setempat. Adapun peran yang dapat diberikan oleh pemerintah daerah setempat adalah dengan memberikan ruang bagi seluruh masyarakat diberbagai kalangan, salah satunya ruang terbuka hijau berupa alun-alun, sarana olah raga dan tempat bermain bagi anak yang ramah terhadap anak. Alasan pemerintah daerah memiliki peran dalam pemenuhanhak anak melalui ruang terbuka hijau ini tercantum dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Bahwa setidaknya pemerintah bisa memberikan sedikitnya 20% dari luasan wilayahnya untuk pemenuhan ruang terbuka hijau yang bisa digunakan oleh masyarakat dalam beraktivitas secara positif misalnya, di alun-alun kota. Penelitian ni menggunakan metode penelitian legal studies dimana mengungkap masalah yang ada di amasyarakat dengan kemudian memberikan solusi. Pada dasarnya dalam setiap upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah telah mengarah pada pemenuhan hak ruang terbuka hijau baik public mapun privat baik berupa regulasi maupun program-program yang pro terhadap kepentingan anak. Namun masih ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam melaksanakan program karena masih belum maksimalnya partisipasi dari seluruh stakeholder terutama untuk kondisi di Kabupaten Jember, sedangkan untuk di Kabupaten Banyuwangi secara keseluruhan bisa dikategorikan sebagai pemerintah kabupaten yang secara partifsipatif dalam hal pemenuhan ruang terbuk ahijau bagi anak, karena hampir rata di setiap program yang dilaksanakan selalu melibatkan peran dari seluruh stakeholder terkait.","PeriodicalId":447928,"journal":{"name":"Jurnal Kajian Konstitusi","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126586496","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}