The purpose of this study was to determine the environmental adaptation in Padangratu Village with the target of megalithic sites and their relationship with the physical environment in Padangratu Village. The method used is a qualitative method and a semi-macro space study. which examines the relationship between megalithic and environemental in Padangratu Village. The results show that the megalithic sites in Padangratu Village were Jurun, Langkat, Putor, Bumijawa and Tanjung sites located at an altitude of 400-1032 meters/asl. The community supporting the megalithic tradition in the village of Padangratu had adapted to the environment by establishing megalithic buildings near water sources (springs and siring) and on soils containing volcanic weather and choosed locations that provide sources of megalithic building materials. The occupational periods of megalithic sites in the village Padangratu was the 10th century AD, this was based on the relative date of the ceramic findings from these sites. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui adaptasi lingkungan di Desa Padangratu dengan sasaran situs-situs megalitik dan hubungannya dengan lingkungan fisik di Desa Padangratu. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan studi ruang semi makro. yang mana menguji hubungan antara megalitik dan environemental reliks di Desa Padangratu. Hasilnya menunjukkan bahwa situs-situs megalitik di Desa Padangratu adalah situs Jurun, Langkat, Putor, Bumijawa dan Tanjung terletak di pada ketinggian 400 – 1032 meter/dpl. Masyarakat pendukung tradisi megalitik di Desa Padangratu sudah berdaptasi dengan lingkungan dengan mendirikan bangunan megalitik di dekat sumber air (mata air dan siring) dan pada tanah mengandung lapukan vulkanik dan memilih lokasi yang menyediakan sumber material bangunan megalitik.. Periode okupasi situs-situs megalitik di Desa Padangratu pada abad ke-10 M, hal ini berdasarkan pertanggalan relatif dari temuan keramik dari situs-situs tersebut.
本研究以巴丹格拉图村巨石遗址为研究对象,探讨巴丹格拉图村巨石遗址的环境适应性及其与自然环境的关系。所采用的方法是定性方法和半宏观空间研究。研究了帕丹格拉图村巨石与环境之间的关系。结果表明,巴丹格拉图村的巨石遗址为居伦、兰kat、普托、布米加瓦和丹戎遗址,分布在海拔400 ~ 1032 m / l。在Padangratu村,支持巨石传统的社区通过在水源(泉水和泉水)附近和含有火山天气的土壤上建造巨石建筑来适应环境,并选择了提供巨石建筑材料来源的地点。Padangratu村巨石遗址的占领时期是公元10世纪,这是基于这些遗址中陶瓷发现的相对日期。Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui adaptasi lingkungan di Desa Padangratu dengan sasaran situs megalitik danhubungannya dengan lingkungan finisik di Desa Padangratu。方法杨狄纳坎阿达拉方法定性丹研究黄半马克罗。杨曼孟古吉,胡邦干,南极洲的巨型石和环境遗迹,迪萨·帕丹格拉图。Hasilnya menunjukkan bahwa situs-situs megalitik di Desa Padangratu adalah situs Jurun, Langkat, Putor, Bumijawa dan Tanjung terletak di padketinggian 400 - 1032米/升。Masyarakat pendukung tradisi megalitik di Desa Padangratu sudah berdaptasi dengan lingkungan dengan mendirikan bangunan megalik di dekat sumer air (mata air dan siing) danpaada tanah mengandung lapukan vulkanik danmeilih lokasi yang menyediakan sumer material bangunan megalitik..周期okupasi situs-situs megalitik di Desa Padangratu padadabad ke-10 M, hal ini berdasarkan pertanggalan relativedari temukeramik dari situs-situs tersebut。
{"title":"SITUS-SITUS MEGALITIK DI DESA PADANGRATU KABUPATEN OKU SELATAN (GAMBARAN ADAPTASI LINGKUNGAN)","authors":"S. M. Siregar","doi":"10.24832/FA.V31I2.539","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/FA.V31I2.539","url":null,"abstract":"The purpose of this study was to determine the environmental adaptation in Padangratu Village with the target of megalithic sites and their relationship with the physical environment in Padangratu Village. The method used is a qualitative method and a semi-macro space study. which examines the relationship between megalithic and environemental in Padangratu Village. The results show that the megalithic sites in Padangratu Village were Jurun, Langkat, Putor, Bumijawa and Tanjung sites located at an altitude of 400-1032 meters/asl. The community supporting the megalithic tradition in the village of Padangratu had adapted to the environment by establishing megalithic buildings near water sources (springs and siring) and on soils containing volcanic weather and choosed locations that provide sources of megalithic building materials. The occupational periods of megalithic sites in the village Padangratu was the 10th century AD, this was based on the relative date of the ceramic findings from these sites. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui adaptasi lingkungan di Desa Padangratu dengan sasaran situs-situs megalitik dan hubungannya dengan lingkungan fisik di Desa Padangratu. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan studi ruang semi makro. yang mana menguji hubungan antara megalitik dan environemental reliks di Desa Padangratu. Hasilnya menunjukkan bahwa situs-situs megalitik di Desa Padangratu adalah situs Jurun, Langkat, Putor, Bumijawa dan Tanjung terletak di pada ketinggian 400 – 1032 meter/dpl. Masyarakat pendukung tradisi megalitik di Desa Padangratu sudah berdaptasi dengan lingkungan dengan mendirikan bangunan megalitik di dekat sumber air (mata air dan siring) dan pada tanah mengandung lapukan vulkanik dan memilih lokasi yang menyediakan sumber material bangunan megalitik.. Periode okupasi situs-situs megalitik di Desa Padangratu pada abad ke-10 M, hal ini berdasarkan pertanggalan relatif dari temuan keramik dari situs-situs tersebut.","PeriodicalId":52717,"journal":{"name":"Forum Arkeologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48645475","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
One of the influence of Indian culture that developed rapidly in the classical Indonesia period is a manufacute of statues. This remind is not rarely associated with contruction of holy and a particular religion. Talking about the statue not regardless of the a figures in statue. Furthermore, thus study wants to identity the statue which is located in the V terrace of Cetho Temple who contain meaning aesthetic. This statue has a height 99 cm, wide 15 cm, and wearing the head covering some kind of hat/tekes. Data collection was done through observation and literature review. Data analysis was using qualitative and comparative. Result showed that this statue is figure of Panji. It rests upon a comparison with Panji Statue from Selokelir temple and Grogol. The Panji Statue is used as a medium by the rsi who lived in Cetho Temple at that time. Therefore, Panji is considered as special person. For it, to hold the cult the Panji of hope can deliver the rsi to the God. Salah satu pengaruh kebudayaan India yang berkembang pesat dalam periode Masa Klasik Indonesia adalah pembuatan arca. Peninggalan ini tidak jarang berkaitan dengan pembangunan sebuah tempat suci dan agama tertentu. Berbicara mengenai arca tidak terlepas dari tokoh yang diarcakan. Untuk itu penelitian ini ingin mengidentifikasi arca yang terletak di teras ke lima Candi Cetho yang sarat mengandung makna estetis. Arca tersebut memiliki tinggi 99 cm, lebar 15 cm, dan mengenakan penutup kepala semacam topi/tekes. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan kualitatif dan komparatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa arca yang terletak di teras ke lima Candi Cetho merupakan tokoh Panji. Hal ini berdasarkan atas perbandingan yang dilakukan dengan arca Panji dari Candi Selokelir dan Grogol. Sangat mungkin tokoh Panji ini dijadikan sebagai media pemujaan oleh kaum rsi dan pertapa yang tinggal di Candi Cetho kala itu, karena Panji dianggap sebagai sesosok yang istimewa dan mempunyai kelebihan pada dirinya. Untuk itu dengan mengadakan pemujaan terhadap Panji berharap dapat menghantarkan si pemuja kepada Tuhan. Kata kunci: arca, panji, pemujaan.
{"title":"ARCA DI CANDI CETHO: INTERPRETASI BARU SEBAGAI ARCA PANJI","authors":"Heri Purwanto, C. P. Titasari","doi":"10.24832/FA.V31I1.513","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/FA.V31I1.513","url":null,"abstract":"One of the influence of Indian culture that developed rapidly in the classical Indonesia period is a manufacute of statues. This remind is not rarely associated with contruction of holy and a particular religion. Talking about the statue not regardless of the a figures in statue. Furthermore, thus study wants to identity the statue which is located in the V terrace of Cetho Temple who contain meaning aesthetic. This statue has a height 99 cm, wide 15 cm, and wearing the head covering some kind of hat/tekes. Data collection was done through observation and literature review. Data analysis was using qualitative and comparative. Result showed that this statue is figure of Panji. It rests upon a comparison with Panji Statue from Selokelir temple and Grogol. The Panji Statue is used as a medium by the rsi who lived in Cetho Temple at that time. Therefore, Panji is considered as special person. For it, to hold the cult the Panji of hope can deliver the rsi to the God. Salah satu pengaruh kebudayaan India yang berkembang pesat dalam periode Masa Klasik Indonesia adalah pembuatan arca. Peninggalan ini tidak jarang berkaitan dengan pembangunan sebuah tempat suci dan agama tertentu. Berbicara mengenai arca tidak terlepas dari tokoh yang diarcakan. Untuk itu penelitian ini ingin mengidentifikasi arca yang terletak di teras ke lima Candi Cetho yang sarat mengandung makna estetis. Arca tersebut memiliki tinggi 99 cm, lebar 15 cm, dan mengenakan penutup kepala semacam topi/tekes. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan kualitatif dan komparatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa arca yang terletak di teras ke lima Candi Cetho merupakan tokoh Panji. Hal ini berdasarkan atas perbandingan yang dilakukan dengan arca Panji dari Candi Selokelir dan Grogol. Sangat mungkin tokoh Panji ini dijadikan sebagai media pemujaan oleh kaum rsi dan pertapa yang tinggal di Candi Cetho kala itu, karena Panji dianggap sebagai sesosok yang istimewa dan mempunyai kelebihan pada dirinya. Untuk itu dengan mengadakan pemujaan terhadap Panji berharap dapat menghantarkan si pemuja kepada Tuhan. Kata kunci: arca, panji, pemujaan.","PeriodicalId":52717,"journal":{"name":"Forum Arkeologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46779846","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Bali has an abundant cultural heritage, one of which is a literary culture of ancient manuscripts, written on media taken from nature, preserved, shaped, to a script. The purpose of this research is to understand the utilization of natural resources as media literacy in Bali. The data of this research were collected through direct observation, interview, and literature study. The result of this research is the utilization of biotic resources such as palm leaves, intaran tree bark, yam gadung, spices of isin rong wayah, coconut base bark, aubergine leaf, and candlenut. In addition to the utilization of biotic resources are also utilized abiotic resources such as clean water, sunlight, salt, wind and soot. Based on the results of the analysis it can be seen that the media literacy in Bali is very dependent on nature, because this function will affect the environmental sustainability, and grow a sense of appreciation, then trying to create harmony to nature. Bali memiliki warisan budaya yang melimpah, salah satunya adalah budaya literasi berupa naskah kuno, ditulis pada media dari alam, diawetkan, dibentuk, hingga menjadi naskah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan sumber daya alam daun lontar dan prosesnya sebagai bahan pembuatan media literasi serta proses penulisan literasi di Bali. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi langsung, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian berupa pemanfaatan sumber daya biotik; daun lontar, kulit pohon intaran, ubi gadung, rempah-rempah yakni isin rong wayah, kulit pangkal pohon kelapa, daun terong, dan kemiri. Selain pemanfaatan sumber daya biotik juga dimanfaatkan sumber daya abiotik; air bersih, sinar matahari, garam, angin dan jelaga. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa media literasi di Bali sangat bergantung kepada alam, karena fungsi ini berdampak kepada kelestarian lingkungan, dan tumbuh rasa menghargai untuk menciptakan keharmonisan terhadap alam. Kata kunci: sumber daya alam, media literasi, bali.
{"title":"SUMBER DAYA ALAM SEBAGAI MEDIA LITERASI DI BALI","authors":"I. N. Rema, I. G. B. Putra","doi":"10.24832/FA.V31I1.462","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/FA.V31I1.462","url":null,"abstract":"Bali has an abundant cultural heritage, one of which is a literary culture of ancient manuscripts, written on media taken from nature, preserved, shaped, to a script. The purpose of this research is to understand the utilization of natural resources as media literacy in Bali. The data of this research were collected through direct observation, interview, and literature study. The result of this research is the utilization of biotic resources such as palm leaves, intaran tree bark, yam gadung, spices of isin rong wayah, coconut base bark, aubergine leaf, and candlenut. In addition to the utilization of biotic resources are also utilized abiotic resources such as clean water, sunlight, salt, wind and soot. Based on the results of the analysis it can be seen that the media literacy in Bali is very dependent on nature, because this function will affect the environmental sustainability, and grow a sense of appreciation, then trying to create harmony to nature. Bali memiliki warisan budaya yang melimpah, salah satunya adalah budaya literasi berupa naskah kuno, ditulis pada media dari alam, diawetkan, dibentuk, hingga menjadi naskah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan sumber daya alam daun lontar dan prosesnya sebagai bahan pembuatan media literasi serta proses penulisan literasi di Bali. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi langsung, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian berupa pemanfaatan sumber daya biotik; daun lontar, kulit pohon intaran, ubi gadung, rempah-rempah yakni isin rong wayah, kulit pangkal pohon kelapa, daun terong, dan kemiri. Selain pemanfaatan sumber daya biotik juga dimanfaatkan sumber daya abiotik; air bersih, sinar matahari, garam, angin dan jelaga. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa media literasi di Bali sangat bergantung kepada alam, karena fungsi ini berdampak kepada kelestarian lingkungan, dan tumbuh rasa menghargai untuk menciptakan keharmonisan terhadap alam. Kata kunci: sumber daya alam, media literasi, bali.","PeriodicalId":52717,"journal":{"name":"Forum Arkeologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42660290","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Carriage is a material manifestation from the highest social structure in the Javanese culture, the kraton. But, studies on this subject are still considered as scarce and having narrow contexts. These two considerations have led this research to adopt not only Javanese, but also European culture paradigm. Using those paradigms, we compared royal carriages ornaments of Kraton Kasunanan Surakarta (named Garuda Kencana) and Kasultanan Yogyakarta (Garuda Yaksa). This study aims to uncover ornaments differences or similarities, how those ornaments symbolized the status of kraton, and how they relate to the social culture at that time. The method being use was qualitative by inductive reasoning. Data were compared and interpreted with combining field and literature data. This research concludes that those carriages are using style and symbolization concept of European ornament. Those similarities are highlighting the social realities that at 19th Century Java, European Dutch culture were dominant among the elites. Kereta adalah salah satu manifestasi bendawi dari struktur sosial tertinggi di kebudayaan Jawa, kraton. Sayangnya, penelitian atas artefak ini masih sedikit dan beberapa penelitian sebelumnya pun konteksnya tidak begitu luas. Dilatari oleh penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini mempertimbangkan tidak hanya budaya Jawa, namun juga budaya Eropa. Konteks artefak yang lebih luas dengan dua sudut pandang itu kemudian digunakan untuk membandingkan ragam hias antara kereta-kereta kebesaran Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Dua kereta yang diambil sebagai bahan perbandingan adalah kereta kebesaran di kedua kraton, yaitu Garuda Kencana dan Garuda Yaksa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah perbedaan atau persamaan ragam hias, bagaimana penyimbolan status kerajaan melalui ragam hias itu, dan bagaimanakah pula hubungannya dengan konteks sosial budaya pada masa tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan penalaran induktif. Hasil analisis diinterpretasikan dengan menggabungkan data primer dari observasi langsung dengan data sekunder studi pustaka. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua kereta tersebut menggunakan gaya ragam hias dan konsep penyimbolan kerajaan pada budaya Eropa. Persamaan tersebut mengungkapkan realita bahwa budaya Eropa Belanda pada abad ke-19 dominan di antara para elit Jawa.
马车是爪哇文化中最高社会结构克拉通的物质表现。但是,关于这一主题的研究仍然被认为是稀缺和狭隘的背景。这两个考虑导致本研究不仅采用爪哇文化范式,而且采用欧洲文化范式。利用这些范式,我们比较了卡拉顿·卡苏南·苏拉塔(Garuda Kencana)和卡苏南·日惹(Garuda Yaksa)的皇家马车装饰。本研究旨在揭示饰品的异同,这些饰品如何象征着克拉顿的地位,以及它们与当时社会文化的关系。所使用的方法是归纳推理定性。结合现场资料和文献资料对资料进行比较和解释。本研究认为,这些车厢都采用了欧式装饰的风格和符号化概念。这些相似之处凸显了19世纪爪哇的社会现实,即欧洲荷兰文化在精英阶层中占主导地位。Kereta adalah salah satu manifestasi bendawi dari structurr social tingi di kebudayaan java, kraton。Sayangnya, penelitian atas artefak ini masih sedikit and beberapa penelitian sebelumnya pun konteksnya tidak begitu luas。Dilatari oleh penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini mempertimbangkan tidak hanya budaya爪哇,namun juga budaya欧洲。Konteks artefak yang lebih luas dengan dua sudut pandang, kemudian digunakan untuk, untuk membandingkan ragam hias, antara kereta-kereta kebesaran Kraton Kasunanan Surakarta Kraton Kasultanan日惹。Dua kereta yang diambil sebagai bahan perbandingan adalah kereta kebesaran di kedua kraton, yitu Garuda Kencana dan Garuda Yaksa。Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah perbedaan atau persamaan ragam hias, bagaimana penimbolan status kerajaan melalui ragam hias itu, dan bagaimanakah pula hubungannya dengan konteks social budaya pada masa tersebut。方法yang digunakan dalam penelitian ini adalah quality of dengan penalan工业。Hasil分析,diinterprettasikan dengan, menggabungkan数据,primer, dari observasi, langsung dengan数据,sekunder studka。Penelitian ini menypulkan bahwa kedua kereta tersebut menggunakan gaya ragam hias dan konsep penyimbolan kerajaan pada budaya eropya。在爪哇岛上,印度人的生活很美好,但他们的生活很美好。
{"title":"PERBANDINGAN RAGAM HIAS KERETA KYAI GARUDA KENCANA DAN GARUDA YAKSA","authors":"Harianto Wibowo","doi":"10.24832/fa.v31i1.453","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/fa.v31i1.453","url":null,"abstract":"Carriage is a material manifestation from the highest social structure in the Javanese culture, the kraton. But, studies on this subject are still considered as scarce and having narrow contexts. These two considerations have led this research to adopt not only Javanese, but also European culture paradigm. Using those paradigms, we compared royal carriages ornaments of Kraton Kasunanan Surakarta (named Garuda Kencana) and Kasultanan Yogyakarta (Garuda Yaksa). This study aims to uncover ornaments differences or similarities, how those ornaments symbolized the status of kraton, and how they relate to the social culture at that time. The method being use was qualitative by inductive reasoning. Data were compared and interpreted with combining field and literature data. This research concludes that those carriages are using style and symbolization concept of European ornament. Those similarities are highlighting the social realities that at 19th Century Java, European Dutch culture were dominant among the elites. Kereta adalah salah satu manifestasi bendawi dari struktur sosial tertinggi di kebudayaan Jawa, kraton. Sayangnya, penelitian atas artefak ini masih sedikit dan beberapa penelitian sebelumnya pun konteksnya tidak begitu luas. Dilatari oleh penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini mempertimbangkan tidak hanya budaya Jawa, namun juga budaya Eropa. Konteks artefak yang lebih luas dengan dua sudut pandang itu kemudian digunakan untuk membandingkan ragam hias antara kereta-kereta kebesaran Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Dua kereta yang diambil sebagai bahan perbandingan adalah kereta kebesaran di kedua kraton, yaitu Garuda Kencana dan Garuda Yaksa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah perbedaan atau persamaan ragam hias, bagaimana penyimbolan status kerajaan melalui ragam hias itu, dan bagaimanakah pula hubungannya dengan konteks sosial budaya pada masa tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan penalaran induktif. Hasil analisis diinterpretasikan dengan menggabungkan data primer dari observasi langsung dengan data sekunder studi pustaka. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua kereta tersebut menggunakan gaya ragam hias dan konsep penyimbolan kerajaan pada budaya Eropa. Persamaan tersebut mengungkapkan realita bahwa budaya Eropa Belanda pada abad ke-19 dominan di antara para elit Jawa.","PeriodicalId":52717,"journal":{"name":"Forum Arkeologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45203479","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}