Indonesia termasuk Negara yang membatasi praktik poligami yaitu dengan menetapkan beberapa persyaratan yang harus di tempuh untuk dapat melakukan poligami, yaitu persyaratan alternatif dan kumulatif. UU No. 1 Tahun 1974 juga mengatur prosedur yang harus ditempuh suami dalam melakukan poligami, yakni melalui proses pada pengadilan. Meskipun UU telah mengatur mengenai poligami namun persoalannya adalah masih terjadi kasus-kasus poligami yang dilakukan tanpa izin Mahkamah Syar’iyah. Pernikahan keduanya dilakukan dengan cara nikah bawah tangan, di mana proses pernikahan kedua tersebut dilakukan tanpa dicatatkan dan tanpa persetujuan isteri pertama yang sah. KUHP mengatur tentang ancaman pidana bagi suami yang melanggar asas monogami yaitu pada Pasal 279 KUHP. Penelitian bertujuan untuk menganalisa mengapa sanksi hukum terhadap pelaku perkawinan poligami tanpa izin belum mampu mencegah terjadinya perkawinan poligami tanpa izin di Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah serta menganalisa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perkawinan tanpa izin. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang secara khusus mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah. Pengumpulan data juga dilakukan melalui studi wawancara. Kesimpulan bahwa pelaku perkawinan poligami siri tanpa izin di Kecamatan Celala belum pernah mendapatkan sanksi hukum, dikarenakan tidak adanya pengaduan atau laporan dari isteri pertama yang sah kepada pihak Kepolisian, sehingga pihak Kepolisian tidak dapat memproses secara hukum, yang ada hanya upaya hukum yang dilakukan oleh isteri pertama berupa sanksi sosial. Namun hal tersebut tidak memberikan efek jera atau tidak berimbas kepada perkawinan poligami yang dilakukan secara siri antara suami dan isteri kedua. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perkawinan poligami tanpa izin ini adalah dengan melakukan penyuluhan hukum dan sosialisasi berkenaan dengan mempertahankan keharmonisan rumah tangga, serta solusi yang juga harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang ataupun pihak yang terkait adalah harus dengan tegas memberlakukan Undang-undang yang sudah ada, juga harus menanamkan dalam jiwa masyarakat yang bahwa pasal 279 ayat (1) dan ayat (2) KUHPidana benar adanya dan dapat diterapkan jika suami melakukan perkawinan poligami tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari isteri pertama. Kata Kunci: Sanksi Hukum, Pelaku Perkawinan, Poligami tanpa izin
{"title":"SANKSI HUKUM TERHADAP PELAKU PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN MAHKAMAH SYAR’IYAH (STUDI PADA KECAMATAN CELALA KABUPATEN ACEH TENGAH)","authors":"Baina Sari","doi":"10.29103/sjp.v11i1.9141","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v11i1.9141","url":null,"abstract":"Indonesia termasuk Negara yang membatasi praktik poligami yaitu dengan menetapkan beberapa persyaratan yang harus di tempuh untuk dapat melakukan poligami, yaitu persyaratan alternatif dan kumulatif. UU No. 1 Tahun 1974 juga mengatur prosedur yang harus ditempuh suami dalam melakukan poligami, yakni melalui proses pada pengadilan. Meskipun UU telah mengatur mengenai poligami namun persoalannya adalah masih terjadi kasus-kasus poligami yang dilakukan tanpa izin Mahkamah Syar’iyah. Pernikahan keduanya dilakukan dengan cara nikah bawah tangan, di mana proses pernikahan kedua tersebut dilakukan tanpa dicatatkan dan tanpa persetujuan isteri pertama yang sah. KUHP mengatur tentang ancaman pidana bagi suami yang melanggar asas monogami yaitu pada Pasal 279 KUHP. Penelitian bertujuan untuk menganalisa mengapa sanksi hukum terhadap pelaku perkawinan poligami tanpa izin belum mampu mencegah terjadinya perkawinan poligami tanpa izin di Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah serta menganalisa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perkawinan tanpa izin. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang secara khusus mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah. Pengumpulan data juga dilakukan melalui studi wawancara. Kesimpulan bahwa pelaku perkawinan poligami siri tanpa izin di Kecamatan Celala belum pernah mendapatkan sanksi hukum, dikarenakan tidak adanya pengaduan atau laporan dari isteri pertama yang sah kepada pihak Kepolisian, sehingga pihak Kepolisian tidak dapat memproses secara hukum, yang ada hanya upaya hukum yang dilakukan oleh isteri pertama berupa sanksi sosial. Namun hal tersebut tidak memberikan efek jera atau tidak berimbas kepada perkawinan poligami yang dilakukan secara siri antara suami dan isteri kedua. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perkawinan poligami tanpa izin ini adalah dengan melakukan penyuluhan hukum dan sosialisasi berkenaan dengan mempertahankan keharmonisan rumah tangga, serta solusi yang juga harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang ataupun pihak yang terkait adalah harus dengan tegas memberlakukan Undang-undang yang sudah ada, juga harus menanamkan dalam jiwa masyarakat yang bahwa pasal 279 ayat (1) dan ayat (2) KUHPidana benar adanya dan dapat diterapkan jika suami melakukan perkawinan poligami tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari isteri pertama. Kata Kunci: Sanksi Hukum, Pelaku Perkawinan, Poligami tanpa izin ","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"31 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122104197","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Berdasarkan ketentuan Pasal 385 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, aparat penegak hukum harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sebelum melakukan penindakan terhadap pejabat Aparatur Sipil Negara yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang. Namun fakta yang terjadi sebaliknya adanya penegak hukum yang tidak melakukan koordinasi yang berakibat diajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka sebagaimana yang diputuskan oleh hakim praperadilan melalui putusan Nomor 01/Pid.Prap/2016/PN BMN. Rumusan masalah dalam kajian ini adalah untuk mengetahui mengapa koordinasi antara Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah dengan penegak hukum tidak berlaku secara efektif dan apa kendala dan hambatan terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan di lingkungan penyidik kejaksaan. Tujuan penelitian untuk menganalisis penyebab, tantangan dan hamabtan yang menjadi penyebab tidak efektifnya koordinasi antara APIP dan penegak hukum.Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Bahan hukum primer yang digunakan adalah UU Administrasi Pemerintaha, bahan hukum sekunder berupa jurnal dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak efektifnya koordinasi disebabkan karena belum adanya aturan teknis terkait koordinasi antara penegak hukum dengan APIP sebagai menjadi sulit terjadinya koordinasi. Selain itu, orientasi pemidaan yang sering ditonjolkan oleh penegak hukum padahal penegakan dengan pola demikian tidak mengembalikan kerugian keuangan negara. Konsekuensi yang timbul bila tidak dilakukannya koordinasi antara penegak hukum dan APIP adalah dapat diajukan permohonan prarperadilan oleh tersangka yang telah ditetapkan statusnya oleh penyidik. Disarankan supaya adanya kerjasama, SOP bagi penegak hukum agar lebih mudah berkoordinasi dan memberikan sanksi apabila tidak melaksanakan koordinasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Administrasi Pemerintahan.
{"title":"EFEKTIFITAS PELAKSAAN KOORDINASI APARATUR PENGAWASAN INTERNAL PEMERINTAH DENGAN PENEGAK HUKUM DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG PEJABAT PEMERINTAH","authors":"Abrari Rizki Falka","doi":"10.29103/sjp.v10i2.6635","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.6635","url":null,"abstract":"Berdasarkan ketentuan Pasal 385 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, aparat penegak hukum harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sebelum melakukan penindakan terhadap pejabat Aparatur Sipil Negara yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang. Namun fakta yang terjadi sebaliknya adanya penegak hukum yang tidak melakukan koordinasi yang berakibat diajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka sebagaimana yang diputuskan oleh hakim praperadilan melalui putusan Nomor 01/Pid.Prap/2016/PN BMN. Rumusan masalah dalam kajian ini adalah untuk mengetahui mengapa koordinasi antara Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah dengan penegak hukum tidak berlaku secara efektif dan apa kendala dan hambatan terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan di lingkungan penyidik kejaksaan. Tujuan penelitian untuk menganalisis penyebab, tantangan dan hamabtan yang menjadi penyebab tidak efektifnya koordinasi antara APIP dan penegak hukum.Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Bahan hukum primer yang digunakan adalah UU Administrasi Pemerintaha, bahan hukum sekunder berupa jurnal dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak efektifnya koordinasi disebabkan karena belum adanya aturan teknis terkait koordinasi antara penegak hukum dengan APIP sebagai menjadi sulit terjadinya koordinasi. Selain itu, orientasi pemidaan yang sering ditonjolkan oleh penegak hukum padahal penegakan dengan pola demikian tidak mengembalikan kerugian keuangan negara. Konsekuensi yang timbul bila tidak dilakukannya koordinasi antara penegak hukum dan APIP adalah dapat diajukan permohonan prarperadilan oleh tersangka yang telah ditetapkan statusnya oleh penyidik. Disarankan supaya adanya kerjasama, SOP bagi penegak hukum agar lebih mudah berkoordinasi dan memberikan sanksi apabila tidak melaksanakan koordinasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Administrasi Pemerintahan. ","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"54 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126543734","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah mengatur rumah sakit Daerah dipimpin oleh direktur, sehingga perlu diatur mengenai batas waktu penyesuaian status jabatan direktur rumah sakit Daerah yang berdasarkan ketentuan sebelumnya dilaksanakan oleh pejabat fungsional dokter atau dokter gigi yang diberikan tugas tambahan. Selain itu dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah bukan menjadi solusi yang baik untuk RSUD Langsa, melainkan memperumit masalah administrasi di berbagai bidang, oleh sebab itu dengan adanya PP NO. 72 Tahun 2019 menjadikan RSUD Langsa tidak lagi otonomi dalam mengelola rumah tangganya. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kedudukan pembentukan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Langsa, dan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kewenangan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Langsa. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Analisis data dilakukan secara preskriptif (Prescriptive analysis). Kedudukan pembentukan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Langsa mempunyai landasan hukum yang kuat hal ini dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan LayananUmum Daerah dan Pasal 68 ayat (4) Peraturan Walikota Langsa Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa, perlu diatur Remunerasi Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa. Kewenangan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Langsa dalam pengelolaan keuangan dan barang milik daerah serta bidang kepegawaian bertanggungjawab kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, maka dalam hal ini otonomi yang diberikan kepada RSUD sebagai BLUD sendiri setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 Perangkat Daerah, secara tidak langsung mempersempit gerak langkah administrasi yang cepat sesuai dengan kebijakan pelayanan yang dituntut untuk tetap professional dalam melayani masyarakat.Kata Kunci: Kedudukan, Kewenangan, Badan Layanan Umum
{"title":"KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2019 TENTANG PERANGKAT DAERAH","authors":"Harris Gusnally","doi":"10.29103/sjp.v10i2.9140","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.9140","url":null,"abstract":"Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah mengatur rumah sakit Daerah dipimpin oleh direktur, sehingga perlu diatur mengenai batas waktu penyesuaian status jabatan direktur rumah sakit Daerah yang berdasarkan ketentuan sebelumnya dilaksanakan oleh pejabat fungsional dokter atau dokter gigi yang diberikan tugas tambahan. Selain itu dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah bukan menjadi solusi yang baik untuk RSUD Langsa, melainkan memperumit masalah administrasi di berbagai bidang, oleh sebab itu dengan adanya PP NO. 72 Tahun 2019 menjadikan RSUD Langsa tidak lagi otonomi dalam mengelola rumah tangganya. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kedudukan pembentukan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Langsa, dan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kewenangan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Langsa. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Analisis data dilakukan secara preskriptif (Prescriptive analysis). Kedudukan pembentukan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Langsa mempunyai landasan hukum yang kuat hal ini dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan LayananUmum Daerah dan Pasal 68 ayat (4) Peraturan Walikota Langsa Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa, perlu diatur Remunerasi Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa. Kewenangan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Langsa dalam pengelolaan keuangan dan barang milik daerah serta bidang kepegawaian bertanggungjawab kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, maka dalam hal ini otonomi yang diberikan kepada RSUD sebagai BLUD sendiri setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 Perangkat Daerah, secara tidak langsung mempersempit gerak langkah administrasi yang cepat sesuai dengan kebijakan pelayanan yang dituntut untuk tetap professional dalam melayani masyarakat.Kata Kunci: Kedudukan, Kewenangan, Badan Layanan Umum","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"197 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134211698","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
U.URI .N.o 22 tahun 2009 mengenai“l.al.u l.intas dan a.ngkutan jalan” dalam P.sl 1 ayat 32:“ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan adalah perihalwaktu berlalu lintas yang berlangsung secara lancarberdasarkanatas hak dan kewajiban setiap pemakai jalan”.Berkaitan dengan kece.lakaan la.lu linta.s dapatdilakukan penanganan terhadappersoalan kecelaka.an “lal.u lintas denganstrategi kead.ilan restoratif.Metode risetdengan menggunakan metoderiset hukum Juridis normatif melaluicara melakukanpenelitian deskriptif analisis. Salah satu yang dilakukan dengan pengumpulan data melaluiriset kepustakaan dan melakukan wawancara.Hasil penelitian: pertama; faktor penyebab terjadinya pelanggaran lalu lintas salah satunya yang tingkat pemahamansertakontribusiwargabelum tercerahkan, pemahaman hukum yang masih rendah serta sarana dan prasarana jalan yang masih belum memadai. kedua, Hambatan tindakan “kepolisian menerapkan “restorative justice” terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas di Polres Lhokseumwe menggunakan pendekatan keadilan dalam perkara“lalu lintas dimana keadilan restorative (restorative justice) dianggap l.eb.ih a.di.l, dibandi.ngkan dengan penyelesaian melalui mekanisme pengadilan. ketiga, Upaya Kepolisian dalam menerapkan restorative justice terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas dengan menggunakan konsep dan prinsip-prinsip restorative justicedimana yakni,terdapat perbaikanatas korban yang mengalamipenderitaan akibat kejahatan dengan cara melakukan perdamaian, memberikan kepada korban ganti kerugian,memberikan kerja social kepada pelakudanhal lainnya. Kata Kunci:Tindakan, Restorative Justice,Kecelakaan Lalu Lintas
{"title":"T.INDAKAN K.EPOL.ISIAN D.AL.AM MENERAPKAN .RESTOR.ATIVE .JUSTICE, T.ERHAD.AP PELAKU PELANGGARAN LA.LU, LIN.TAS, YANG MENYEBABKAN KECELAKAAN LALU LINTAS (STUDI PENELITIAN DI POLRES LHOKSEUMAWE)","authors":"E. Efendi","doi":"10.29103/sjp.v10i2.9160","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.9160","url":null,"abstract":"U.URI .N.o 22 tahun 2009 mengenai“l.al.u l.intas dan a.ngkutan jalan” dalam P.sl 1 ayat 32:“ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan adalah perihalwaktu berlalu lintas yang berlangsung secara lancarberdasarkanatas hak dan kewajiban setiap pemakai jalan”.Berkaitan dengan kece.lakaan la.lu linta.s dapatdilakukan penanganan terhadappersoalan kecelaka.an “lal.u lintas denganstrategi kead.ilan restoratif.Metode risetdengan menggunakan metoderiset hukum Juridis normatif melaluicara melakukanpenelitian deskriptif analisis. Salah satu yang dilakukan dengan pengumpulan data melaluiriset kepustakaan dan melakukan wawancara.Hasil penelitian: pertama; faktor penyebab terjadinya pelanggaran lalu lintas salah satunya yang tingkat pemahamansertakontribusiwargabelum tercerahkan, pemahaman hukum yang masih rendah serta sarana dan prasarana jalan yang masih belum memadai. kedua, Hambatan tindakan “kepolisian menerapkan “restorative justice” terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas di Polres Lhokseumwe menggunakan pendekatan keadilan dalam perkara“lalu lintas dimana keadilan restorative (restorative justice) dianggap l.eb.ih a.di.l, dibandi.ngkan dengan penyelesaian melalui mekanisme pengadilan. ketiga, Upaya Kepolisian dalam menerapkan restorative justice terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas dengan menggunakan konsep dan prinsip-prinsip restorative justicedimana yakni,terdapat perbaikanatas korban yang mengalamipenderitaan akibat kejahatan dengan cara melakukan perdamaian, memberikan kepada korban ganti kerugian,memberikan kerja social kepada pelakudanhal lainnya. Kata Kunci:Tindakan, Restorative Justice,Kecelakaan Lalu Lintas","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"58 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134543617","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Badan penyelenggara pemilihan umum di Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dasar hukum di Indonesia tentang penyelenggaraan pemilu tertuang dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh badan penyelenggara pemilu yang tetap dan independen. PKPU No 20 Tahun 2020 ada beberapa pihak yang tidak puas dan menggugat PKPU tersebut ke Mahkamah Agung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada bahan hukum yang berfokus pada membaca dan mempelajari bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dasar pertimbangan hukum Mahkamah Agung adalah bahwa hakim menilai Peraturan KPU no. 20 Tahun 2018 dalam frasa ini tidak menjamin hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam konstitusi yaitu soal memilih dan dipilih yang termuat dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 73 UU. Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, pengakuan hak politik diakui dalam kovenan internasional tentang hak sipil dan politik (ICCPR) yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 2200A yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik. Selanjutnya, menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam ketentuan tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak menyebutkan norma atau aturan larangan mencalonkan mantan narapidana korupsi sebagaimana tertuang dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018. Disarankan kepada pemerintah agar sudah saatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum agar segera direvisi oleh lembaga pembentuk undang-undang dan calon penyelenggara negara perlu bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama bagi calon anggota legislatif.
{"title":"ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 46P/hum/2018 TERKAIT UJI MATERIIL PASAL 4 AYAT (3) PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 20 TAHUN 2018","authors":"Muhamad Aulia Ichsan, Y. Yusrizal, M. Mukhlis","doi":"10.29103/sjp.v10i2.9013","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.9013","url":null,"abstract":"Badan penyelenggara pemilihan umum di Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dasar hukum di Indonesia tentang penyelenggaraan pemilu tertuang dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh badan penyelenggara pemilu yang tetap dan independen. PKPU No 20 Tahun 2020 ada beberapa pihak yang tidak puas dan menggugat PKPU tersebut ke Mahkamah Agung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada bahan hukum yang berfokus pada membaca dan mempelajari bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dasar pertimbangan hukum Mahkamah Agung adalah bahwa hakim menilai Peraturan KPU no. 20 Tahun 2018 dalam frasa ini tidak menjamin hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam konstitusi yaitu soal memilih dan dipilih yang termuat dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 73 UU. Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, pengakuan hak politik diakui dalam kovenan internasional tentang hak sipil dan politik (ICCPR) yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 2200A yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik. Selanjutnya, menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam ketentuan tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak menyebutkan norma atau aturan larangan mencalonkan mantan narapidana korupsi sebagaimana tertuang dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018. Disarankan kepada pemerintah agar sudah saatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum agar segera direvisi oleh lembaga pembentuk undang-undang dan calon penyelenggara negara perlu bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama bagi calon anggota legislatif.","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131759002","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This study discusses the handling of corruption crimes that have been handled by the Central Aceh District Attorney with the formula for the problem: (1) how is the arrangement for prosecuting the confiscation of the property of the accused perpetrators of corruption which allegedly originates from the proceeds of criminal acts of corruption based on Law Number 20 of 2001 Regarding the Eradication of Criminal Acts of Corruption, and (2) what is the legal procedure for confiscation of assets of perpetrators of corruption as determined by the Prosecutor's Office. This type of research is normative-empirical law research (applied law research), the data source is a direct source (primary data) or data obtained from indirect sources (secondary data). The method of collecting data is through document or literature research techniques (library research) and field research techniques (field research). Based on the results of the study, the authors conclude: (1) The mechanism for prosecuting the confiscation of the defendant's property from a criminal act of corruption is carried out by two mechanisms, namely criminal instruments (criminal charges) and civil instruments (civil lawsuits). (2) The process carried out by the Prosecutor in prosecuting the confiscation of the assets of the defendant in a criminal act of corruption is regulated through the Regulation of the Prosecutor's Office of the Republic of Indonesia Number 7 of 2020. (3) The obstacles faced by the prosecutor in prosecuting the confiscation of the defendant's property resulting from a criminal act of corruption consist of assets resulting from the act of corruption. corruption crimes are obscured or transferred to other parties, corruption assets are exhausted, assets are pledged to other parties, the perpetrators of corruption crimes have died, assets resulting from corruption crimes have been transported abroad.
{"title":"PENUNTUTAN PERAMPASAN HARTA BENDA TERDAKWA KORUPSI YANG DIDUGA BERASAL DARI HASIL KORUPSI","authors":"Nazamuddin Nazamuddin","doi":"10.29103/sjp.v10i2.8061","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.8061","url":null,"abstract":"This study discusses the handling of corruption crimes that have been handled by the Central Aceh District Attorney with the formula for the problem: (1) how is the arrangement for prosecuting the confiscation of the property of the accused perpetrators of corruption which allegedly originates from the proceeds of criminal acts of corruption based on Law Number 20 of 2001 Regarding the Eradication of Criminal Acts of Corruption, and (2) what is the legal procedure for confiscation of assets of perpetrators of corruption as determined by the Prosecutor's Office. This type of research is normative-empirical law research (applied law research), the data source is a direct source (primary data) or data obtained from indirect sources (secondary data). The method of collecting data is through document or literature research techniques (library research) and field research techniques (field research). Based on the results of the study, the authors conclude: (1) The mechanism for prosecuting the confiscation of the defendant's property from a criminal act of corruption is carried out by two mechanisms, namely criminal instruments (criminal charges) and civil instruments (civil lawsuits). (2) The process carried out by the Prosecutor in prosecuting the confiscation of the assets of the defendant in a criminal act of corruption is regulated through the Regulation of the Prosecutor's Office of the Republic of Indonesia Number 7 of 2020. (3) The obstacles faced by the prosecutor in prosecuting the confiscation of the defendant's property resulting from a criminal act of corruption consist of assets resulting from the act of corruption. corruption crimes are obscured or transferred to other parties, corruption assets are exhausted, assets are pledged to other parties, the perpetrators of corruption crimes have died, assets resulting from corruption crimes have been transported abroad.","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"48 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131935849","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pemberdayaan Ekonomi Fakir Miskin yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2011 dilakukan melalui kegiatan Usaha Ekonomi Produktif dan Kelompok Usaha Bersama dirancang sesuai dengan potensi masyarakat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi maupun sosial. Dalam pemanfaatan bantuan masih ditemukan berbagai masalah sehingga bantuan tersebut belum mampu meningkatkan perekonomian secara individual tau kelompok. Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Aceh Utara perlu melaksanakan pengawasan secara terpadu dalam pemanfaatan bantuan sosial, dan pemutakhiran pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) pada Aplikasi Sistim Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS-NG) guna ketepatan sasaran penerima bantuan sosial yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apa yang menjadi hambatan serta bagaimana upaya pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam memberdayakan fakir miskin melalui Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif dan Kelompok Usaha Bersama. Metode Penelitian yang akan digunakan oleh penelitian adalah penelitian Yuridis Empiris. Sifat penelitian yang dilakukan adalah bersifat preskriptif, yang bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya pemberdayaan ekonomi fakir miskin melaui pemberian bantuan modal Usaha Ekonomi Produktif (UEP) melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sesuai dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2011 serta Qanun Nomor 20 tahun 2021. Selanjutnya melakukan pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Aplikasi Sistim Informasi Kesejahteraan Sosial Next Geneneration (SIKS-NG) agar penerima bantuan tepat sasaran.Penulis menilai perlu adanya sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal penerima bantuan, perlu adanya dana sharing dari pemerintah daerah kepada Dinas Sosial Aceh Utara untuk pemutakhiran Data Terpadu Fakir Miskin, serta perlu adanya pengawasan berkelanjutan dalam bantuan Usaha Ekonomi Produktif dan Kelompok Usaha Bersama. Kata Kunci : Kewenangan, Kemiskinan, Implementasi, UEP Dan Pelaksanaan KUBE
{"title":"KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ACEH UTARA DALAM PENANGANAN KEMISKINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN","authors":"M. S.H","doi":"10.29103/sjp.v10i2.9150","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.9150","url":null,"abstract":"Pemberdayaan Ekonomi Fakir Miskin yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2011 dilakukan melalui kegiatan Usaha Ekonomi Produktif dan Kelompok Usaha Bersama dirancang sesuai dengan potensi masyarakat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi maupun sosial. Dalam pemanfaatan bantuan masih ditemukan berbagai masalah sehingga bantuan tersebut belum mampu meningkatkan perekonomian secara individual tau kelompok. Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Aceh Utara perlu melaksanakan pengawasan secara terpadu dalam pemanfaatan bantuan sosial, dan pemutakhiran pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) pada Aplikasi Sistim Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS-NG) guna ketepatan sasaran penerima bantuan sosial yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apa yang menjadi hambatan serta bagaimana upaya pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam memberdayakan fakir miskin melalui Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif dan Kelompok Usaha Bersama. Metode Penelitian yang akan digunakan oleh penelitian adalah penelitian Yuridis Empiris. Sifat penelitian yang dilakukan adalah bersifat preskriptif, yang bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya pemberdayaan ekonomi fakir miskin melaui pemberian bantuan modal Usaha Ekonomi Produktif (UEP) melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sesuai dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2011 serta Qanun Nomor 20 tahun 2021. Selanjutnya melakukan pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Aplikasi Sistim Informasi Kesejahteraan Sosial Next Geneneration (SIKS-NG) agar penerima bantuan tepat sasaran.Penulis menilai perlu adanya sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal penerima bantuan, perlu adanya dana sharing dari pemerintah daerah kepada Dinas Sosial Aceh Utara untuk pemutakhiran Data Terpadu Fakir Miskin, serta perlu adanya pengawasan berkelanjutan dalam bantuan Usaha Ekonomi Produktif dan Kelompok Usaha Bersama. Kata Kunci : Kewenangan, Kemiskinan, Implementasi, UEP Dan Pelaksanaan KUBE","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122058974","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Menurut Pasal 1 Ayat (26) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, zina adalah persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak. Terdapat satu kasus tentang jarimah zina yang dilakukan oleh terdakwa I dan terdakwa II yang mereka sudah ada ikatan perkawinan (menikah) namun terhadap terdakwa tersebut Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa tersebut melanggar Pasal 33 ayat (1) Jo Pasal 37 ayat (1) Qanun Hukum Jinayat karena telah melakukan jarimah zina. Dan terhadap kasus tersebut dalam Perkara Nomor 19/JN/2020/Ms.Tkn Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan bahwa terdakwa I dan terdakwa II terbukti bersalah melakukan jarimah Khalwat. Tujuan dari penelitian Tesis ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan hukum terhadap jarimah zina dan jarimah khalwat menurut hukum Islam dan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang hukum jinayat, penerapan hukum pada putusan perkara nomor 19/JN/2020/MS/Takengon, dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan perkara nomor 19/JN/2020/Ms/Takengon. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan Kasus dan Pendekatan Perundang-Undangan. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, serta penelitian ini bersifat prespektif. Berdasarkan hasil penelitian, dalam hukum Islam terdapat perbedaan hukuman yaitu pezina yang sudah menikah di cambuk sebanyak seratus kali dan dirajam dengan batu sedangkan pezina yang masih lajang dihukum dengan dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Sedangkan menurut Qanun Aceh tidak membedakan antara pezina yang menikah dengan yang lajang dan hanya mendapat hukuman seratus kali cambukan. Penerapan hukum oleh Majelis Hakim pada perkara nomor 19/JN/2020/MS.Tkn tidak sesuai dengan fakta dipersidangan. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan nomor 19/JN/2020/MS.Tkn terdapat kekeliruan karena Majelis Hakim tidak menerapkan mekanisme yang diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Disarankan agar dalam Qanun Aceh Hukum Jinayat juga perlu dibuat perbedaan hukuman antar pelaku jarimah yang sudah menikah dengan pelaku jarimah yang belum menikah. Disarankan agar Majelis Hakim lebih teliti dalam menerapkan pasal yang sesuai dengan fakta di persidangan. Disarankan agar Majelis Hakim dalam mempertimbangkan fakta dipersidangan harus dengan ketelitian dan tidak mengenyampingkan ketentuan yang khusus yang terdapat dalam Qanun Aceh.
{"title":"Analisis Putusan Mahkamah Syariah Takengon Nomor 19/Jn/2020/Ms-Tkn Tentang Zina Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Hukum Jinayat","authors":"Tamarsah Tamarsah","doi":"10.29103/sjp.v10i2.9161","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.9161","url":null,"abstract":"Menurut Pasal 1 Ayat (26) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, zina adalah persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak. Terdapat satu kasus tentang jarimah zina yang dilakukan oleh terdakwa I dan terdakwa II yang mereka sudah ada ikatan perkawinan (menikah) namun terhadap terdakwa tersebut Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa tersebut melanggar Pasal 33 ayat (1) Jo Pasal 37 ayat (1) Qanun Hukum Jinayat karena telah melakukan jarimah zina. Dan terhadap kasus tersebut dalam Perkara Nomor 19/JN/2020/Ms.Tkn Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan bahwa terdakwa I dan terdakwa II terbukti bersalah melakukan jarimah Khalwat. Tujuan dari penelitian Tesis ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan hukum terhadap jarimah zina dan jarimah khalwat menurut hukum Islam dan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang hukum jinayat, penerapan hukum pada putusan perkara nomor 19/JN/2020/MS/Takengon, dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan perkara nomor 19/JN/2020/Ms/Takengon. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan Kasus dan Pendekatan Perundang-Undangan. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, serta penelitian ini bersifat prespektif. Berdasarkan hasil penelitian, dalam hukum Islam terdapat perbedaan hukuman yaitu pezina yang sudah menikah di cambuk sebanyak seratus kali dan dirajam dengan batu sedangkan pezina yang masih lajang dihukum dengan dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Sedangkan menurut Qanun Aceh tidak membedakan antara pezina yang menikah dengan yang lajang dan hanya mendapat hukuman seratus kali cambukan. Penerapan hukum oleh Majelis Hakim pada perkara nomor 19/JN/2020/MS.Tkn tidak sesuai dengan fakta dipersidangan. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan nomor 19/JN/2020/MS.Tkn terdapat kekeliruan karena Majelis Hakim tidak menerapkan mekanisme yang diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Disarankan agar dalam Qanun Aceh Hukum Jinayat juga perlu dibuat perbedaan hukuman antar pelaku jarimah yang sudah menikah dengan pelaku jarimah yang belum menikah. Disarankan agar Majelis Hakim lebih teliti dalam menerapkan pasal yang sesuai dengan fakta di persidangan. Disarankan agar Majelis Hakim dalam mempertimbangkan fakta dipersidangan harus dengan ketelitian dan tidak mengenyampingkan ketentuan yang khusus yang terdapat dalam Qanun Aceh. ","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"134 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127892360","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Banda Aceh melaksanakan tugas dan fungsi Pengawasan sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam Pasal 3 ayat 1 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, terhadap peredaran obat keras di Kabupaten Aceh Utara.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektifitas pengawasan balai besar pengawas obat dan makanan di banda aceh terhadap peredaran obat keras di Kabupaten Aceh Utara dan hambatan dalam pengawasan balai besar pengawas obat dan makanan di banda aceh terhadap peredaran obat keras di Kabupaten Aceh Utara.Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris dengan pendekatan peraturan perundang undangan. Adapun sifat penelitian tesis ini adalah penelitian Preskriptif, dengan menggunakan data bahan hukum primer, skunder dan tersier.Berdasarkan hasil penelitian Pengawasan yang dilakukan Oleh BBPOM di Banda Aceh masih belum maksimal dalam menjalankan pengawasan terhadap peredaran obat keras yang ada di Kabupaten Aceh Utara, masih terdapat beberapa temuan-temuan dilapangan terhadap peredaran obat keras. Adapun ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengawasan terhadap obat keras di Kabupaten Aceh Utara ialah kurang koordinasi antar lembaga terkait pengawasan obat keras, masih banyak terdapat toko obat berizin masih menjual obat keras, kurang pemahaman masyarakat terhadap obat keras yang ada di Kabupaten Aceh Utara dan Adapun hambatan yang dialami oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Banda Aceh yaitu masih sangat kurang sumber daya manusia yang ada di BBPOM di Banda Aceh melihat wilayah kerja yang cukup luas, masih kurang pengetahuan masyarakat terkait lembaga BBPOM di Banda Aceh. Dengan demikian BBPOM di Banda Aceh melakukan beberapa upaya dalam melakukan pengawasan seperti peningkatan pengetahuan,pelatihan kepada masyarakat dan penyebaran informasi, sosialisasi dan penyebaran informasi melalui radio dan dialog interaktif di televisi lokal dan beberapa upaya lainnya.Saran penulis dalam penelitian ini adalah Perlu adanya koordinasi dengan maksimal antar lembaga terkait demi melaksanakan pengawasan peredaran obat keras di Kabupaten Aceh Utara dan penambahan sumber daya manusia di BBPOM di Banda Aceh.Keyword : Pengawasan, Obat Keras, Dinas Kesehatan, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Banda Aceh.
{"title":"EFEKTIFITAS PENGAWASAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI BANDA ACEH TERHADAP PEREDARAN OBAT KERAS DI KABUPATEN ACEH UTARA","authors":"Abdul Khalid","doi":"10.29103/sjp.v10i2.9136","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.9136","url":null,"abstract":"Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Banda Aceh melaksanakan tugas dan fungsi Pengawasan sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam Pasal 3 ayat 1 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, terhadap peredaran obat keras di Kabupaten Aceh Utara.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektifitas pengawasan balai besar pengawas obat dan makanan di banda aceh terhadap peredaran obat keras di Kabupaten Aceh Utara dan hambatan dalam pengawasan balai besar pengawas obat dan makanan di banda aceh terhadap peredaran obat keras di Kabupaten Aceh Utara.Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris dengan pendekatan peraturan perundang undangan. Adapun sifat penelitian tesis ini adalah penelitian Preskriptif, dengan menggunakan data bahan hukum primer, skunder dan tersier.Berdasarkan hasil penelitian Pengawasan yang dilakukan Oleh BBPOM di Banda Aceh masih belum maksimal dalam menjalankan pengawasan terhadap peredaran obat keras yang ada di Kabupaten Aceh Utara, masih terdapat beberapa temuan-temuan dilapangan terhadap peredaran obat keras. Adapun ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengawasan terhadap obat keras di Kabupaten Aceh Utara ialah kurang koordinasi antar lembaga terkait pengawasan obat keras, masih banyak terdapat toko obat berizin masih menjual obat keras, kurang pemahaman masyarakat terhadap obat keras yang ada di Kabupaten Aceh Utara dan Adapun hambatan yang dialami oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Banda Aceh yaitu masih sangat kurang sumber daya manusia yang ada di BBPOM di Banda Aceh melihat wilayah kerja yang cukup luas, masih kurang pengetahuan masyarakat terkait lembaga BBPOM di Banda Aceh. Dengan demikian BBPOM di Banda Aceh melakukan beberapa upaya dalam melakukan pengawasan seperti peningkatan pengetahuan,pelatihan kepada masyarakat dan penyebaran informasi, sosialisasi dan penyebaran informasi melalui radio dan dialog interaktif di televisi lokal dan beberapa upaya lainnya.Saran penulis dalam penelitian ini adalah Perlu adanya koordinasi dengan maksimal antar lembaga terkait demi melaksanakan pengawasan peredaran obat keras di Kabupaten Aceh Utara dan penambahan sumber daya manusia di BBPOM di Banda Aceh.Keyword : Pengawasan, Obat Keras, Dinas Kesehatan, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Banda Aceh.","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"54 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130360402","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Prostitusi online adalah suatu transaksi yang dilakukan melalui media elektronik antara si perempuan pekerja seks komersial (PSK) dan si pemakai jasa PSK yang memberi sejumlah uang untuk interaksi seksual. Tindak pidana prostitusi online secara umum terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dan baru-baru ini terjadi di kota Langsa Provinsi Aceh, Pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Mei tahun 2020 di depan Hotel Harmoni, Petugas Kepolisian Polres Langsa menangkap 2 (dua) pelaku mucikari yang ditemani dengan 2 (dua) orang PSK sedang melakukan transaksi prostitusi online dengan pria pengguna jasa PSK, mucikari tersebut yakni bernama Yusnani yang berumur 47 Tahun dan Heni yang berumur 35 tahun yang keduanya berperan sebagai penghubung wanita panggilan yang menerima pesanan para lelaki dengan menggunakan media Whatshap. Tujuan penelitian tesis ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis apa faktor-faktor penyebab terjadi tindak pidana prostitusi online di kota Langsa, penegakan hukum terhadap tindak pidana kejahatan prostitusi online di kota Langsa, serta menganalisis upaya pencegahan terhadap tindak pidana kejahatan prostitusi online di kota Langsa. Metode penelitian yang digunakan dalam peneliti ini adalah penelitian yuridis empiris. Penelitian ini juga disebut dengan penelitian lapangan, yang bertitik tolak pada data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui kegiatan penelitian lapangan. Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta yang ada. Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor penyebab terjadinya prostitusi online di kota Langsa: yaitu 1. Ekonomi, 2. Pendidikan, 3. Pergaulan, 4. keseringan nonton film seks, 5. Faktor di cap sebagai PSK, 6. Penyalahgunaan teknologi telekomunikasi media sosial yang berkembang, 7. Kebutuhan biologis seks. Penegakan hukum terhadap tindak pidana prostitusi online di kota Langsa, masih terdapat kekurangan yaitu tidak dilakukannya proses penegakan hukum terhadap PSK. Upaya pencegahan kejahatan prostitusi online di kota Langsa dilakukan dengan melakukan penutupan terhadap akun-akun media sosial dan website yang terindikasi adanya prostitusi online di Kota Langsa, memberikan sosialisasi agar tidak melakukan prostitusi online di kota Langsa, serta melakukan penyamaran dan melakukan razia untuk menangkap pelaku prostitusi online. Disarankan agar pemerintah dapat menutup semua media internet yang ada unsur mengarah ke tindak pidana prositusi. Disarankan agar penyidik lebih teliti dalam melakukan proses penegakan hukum prostitusi online di kota Langsa. Disarankan agar Polisi Polres Langsa lebih meningkatkan lagi razia terhadap media sosial yang terindikasi adanya prostitusi online di kota LangsaKata kunci: tindak pidana, prostitusi online, kota Langsa.
{"title":"PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEJAHATAN PROSTITUSI ONLINE (STUDI PENELITIAN DI KOTA LANGSA)","authors":"Muhammad Muthi Al zakawali","doi":"10.29103/sjp.v10i2.9149","DOIUrl":"https://doi.org/10.29103/sjp.v10i2.9149","url":null,"abstract":"Prostitusi online adalah suatu transaksi yang dilakukan melalui media elektronik antara si perempuan pekerja seks komersial (PSK) dan si pemakai jasa PSK yang memberi sejumlah uang untuk interaksi seksual. Tindak pidana prostitusi online secara umum terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dan baru-baru ini terjadi di kota Langsa Provinsi Aceh, Pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Mei tahun 2020 di depan Hotel Harmoni, Petugas Kepolisian Polres Langsa menangkap 2 (dua) pelaku mucikari yang ditemani dengan 2 (dua) orang PSK sedang melakukan transaksi prostitusi online dengan pria pengguna jasa PSK, mucikari tersebut yakni bernama Yusnani yang berumur 47 Tahun dan Heni yang berumur 35 tahun yang keduanya berperan sebagai penghubung wanita panggilan yang menerima pesanan para lelaki dengan menggunakan media Whatshap. Tujuan penelitian tesis ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis apa faktor-faktor penyebab terjadi tindak pidana prostitusi online di kota Langsa, penegakan hukum terhadap tindak pidana kejahatan prostitusi online di kota Langsa, serta menganalisis upaya pencegahan terhadap tindak pidana kejahatan prostitusi online di kota Langsa. Metode penelitian yang digunakan dalam peneliti ini adalah penelitian yuridis empiris. Penelitian ini juga disebut dengan penelitian lapangan, yang bertitik tolak pada data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui kegiatan penelitian lapangan. Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta yang ada. Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor penyebab terjadinya prostitusi online di kota Langsa: yaitu 1. Ekonomi, 2. Pendidikan, 3. Pergaulan, 4. keseringan nonton film seks, 5. Faktor di cap sebagai PSK, 6. Penyalahgunaan teknologi telekomunikasi media sosial yang berkembang, 7. Kebutuhan biologis seks. Penegakan hukum terhadap tindak pidana prostitusi online di kota Langsa, masih terdapat kekurangan yaitu tidak dilakukannya proses penegakan hukum terhadap PSK. Upaya pencegahan kejahatan prostitusi online di kota Langsa dilakukan dengan melakukan penutupan terhadap akun-akun media sosial dan website yang terindikasi adanya prostitusi online di Kota Langsa, memberikan sosialisasi agar tidak melakukan prostitusi online di kota Langsa, serta melakukan penyamaran dan melakukan razia untuk menangkap pelaku prostitusi online. Disarankan agar pemerintah dapat menutup semua media internet yang ada unsur mengarah ke tindak pidana prositusi. Disarankan agar penyidik lebih teliti dalam melakukan proses penegakan hukum prostitusi online di kota Langsa. Disarankan agar Polisi Polres Langsa lebih meningkatkan lagi razia terhadap media sosial yang terindikasi adanya prostitusi online di kota LangsaKata kunci: tindak pidana, prostitusi online, kota Langsa.","PeriodicalId":199459,"journal":{"name":"Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh","volume":"201 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126601490","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}