Perubahan nomenklatur terutama pada instansi penelitian arkeologi di Indonesia dan instansi pengelolaan cagar budaya berpengaruh pada pengelolaan cagar budayanya. Dengan bergabungnya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi ke dalam struktur organisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional, maka nomenklatur lembaga penelitian arkeologi pun berubah. Nomenklatur baru tersebut adalah Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra yang mempunyai tujuh pusat riset, yaitu tiga menyelenggarakan penelitian arkeologi, dan empat melaksanakan penelitian bahasa, sastra, dan manuskrip. Sementara perubahan yang terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi adalah penggabungan dua unit pelaksana teknis, yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Balai Pelestarian Nilai Budaya, menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan. Perubahan di atas berpengaruh pada pengelolaan cagar budaya di Indonesia. Bagaimana pengaruhnya dan bagaimana kemitraan pengelolaan yang akan datang merupakan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Tujuan penelitian adalah mendorong percepatan pemahaman kemitraan pengelolaan cagar budaya. Penelitian ini diakukan secara induktif-deskriptif melalui studi pustaka dengan fokus kasus-kasus di Kalimantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan cagar budaya di Kalimantan secara umum memang belum berjalan dengan baik. Dengan demikian, disimpulkan bahwa harus dibangun skema kemitraan pengelolaan antarpemangku kepentingan, dari tingkat perencanaan sampai dengan pemanfataannya. Skema kemitraan ini harus melibatkan dinas pendidikan dan kebudayaan serta dinas kebudayaan dan pariwisata setempat, kemudian membangun sinergi dan kolaborasi yang baik dengan pihak terkait seperti kepolisian, kejaksaan, lembaga sosial masyarakat budaya, dinas pertambangan, dinas pekerjaan umum, akademisi, dan masyarakat. Kerja sama dan koordinasi tersebut dimulai dengan menyamakan visi dan misi dalam memelihara dan melestarikan cagar budaya, sehingga diharapkan akan terbentuk satu rencana aksi pengelolaan cagar budaya yang terpadu di bawah arahan walikota atau bupati atau gubernur. Changes in nomenclature, especially at archaeological research institutions in Indonesia and cultural heritage management agencies, affect the management of their cultural heritage. The merger of the Pusat Penelitian Arkeologi Nasional and its ten institutes of archaeology into the organizational structure of Badan Riset dan Inovasi Nasional has also affected the change of their nomenclature. Their present nomenclature is the Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra, which has seven research centres, i.e. three manage archaeological research, and four operate research regarding language, literature, and manuscripts. Meanwhile, a change of organizational structure also occurred within the Direktorat Jenderal Kebudayaan of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology, which was affected by the mer
印度尼西亚考古学研究机构和保留区管理机构的命名规范的变化主要影响到其文化保护区的管理。与国家考古研究中心和考古大厅合并成国家研究和创新机构的组织结构,使考古研究机构的新命名发生了变化。新编号是一个考古、语言和文学研究组织,有七个研究中心,三个进行考古研究,四个进行语言、文学和手稿研究。与文化发展局(文化部研究与技术教育部)环境的变化同时将两个技术管理单位合并为保护区保护区和文化价值保护区,形成文化保护区。上述改变影响了印尼的保留地管理。这项研究将如何影响以及管理伙伴关系将如何出现是一个问题。这项研究的目的是促进对保护区管理伙伴关系的理解。本研究是通过对加里曼丹主理案件的库研究进行描述性分析的。研究结果表明,加里曼丹保留地的管理基本上没有取得成功。因此,它得出的结论是,必须建立利益相关者之间管理伙伴关系的计划,从规划水平到反馈。这种伙伴关系计划必须包括教育、文化和旅游服务,然后与警察、检察官、文化社会机构、采矿服务、公共就业服务、学术和社区等相关各方建立良好的协同作用和合作。这种合作与协调始于将保护和保护保护区的愿景和使命等同起来,因此预计将在市长、摄政王或州长的指导下制定一个统一的计划。特别是印尼文化遗产管理机构的考古研究机构,影响它们文化遗产的管理。美国国家考古研究中心及其十家考古研究所的合并影响了国家研究和创新机构的组织结构。它们现在是考古、语言和文学研究组织,有七项研究中心,三项研究考古研究,四份工作研究语言、文学和手稿。我的意思是,组织结构的变化还发生在文化学术部主任办公室的变化,这影响了两项技术单位的合并,即i。这些变化影响着印尼文化遗产的管理。这是如何影响和未来管理伙伴关系的问题。促进文化遗产管理伙伴关系的研究小组。这个研究是conducted inductively和descriptively通过文献研究with a focus on案子在婆罗洲。《文化遗产results of The study秀那在婆罗洲里不是已经过去了好吧managed将军。因此,它可以推断这就是a管理伙伴关系”怀廷stakeholders之间必须成为基础,从它的utilization的策划水平。怀廷这样的伙伴关系必须牵扯到《美国教育和文化办公室嗯美国当地文化和旅游办公室,然后构建好synergy》和相关各方一起collaboration这样的美国警察,prosecutors文化社区社交institutions矿业公司、公共工程担保机构,academia《社区。这个cooperation and coordination必须被aligning commenced愿景和使命》maintaining与preserving文化遗产;这就是,一个集成文化遗产管理行动计划可以成为大联盟打球方向》下formed摄政或当局或总督。
{"title":"ERA BARU DALAM KEMITRAAN PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA: STUDI KASUS KALIMANTAN","authors":"Bambang Sugiyanto, S.S.","doi":"10.24832/nw.v16i2.508","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i2.508","url":null,"abstract":"Perubahan nomenklatur terutama pada instansi penelitian arkeologi di Indonesia dan instansi pengelolaan cagar budaya berpengaruh pada pengelolaan cagar budayanya. Dengan bergabungnya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi ke dalam struktur organisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional, maka nomenklatur lembaga penelitian arkeologi pun berubah. Nomenklatur baru tersebut adalah Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra yang mempunyai tujuh pusat riset, yaitu tiga menyelenggarakan penelitian arkeologi, dan empat melaksanakan penelitian bahasa, sastra, dan manuskrip. Sementara perubahan yang terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi adalah penggabungan dua unit pelaksana teknis, yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Balai Pelestarian Nilai Budaya, menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan. Perubahan di atas berpengaruh pada pengelolaan cagar budaya di Indonesia. Bagaimana pengaruhnya dan bagaimana kemitraan pengelolaan yang akan datang merupakan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Tujuan penelitian adalah mendorong percepatan pemahaman kemitraan pengelolaan cagar budaya. Penelitian ini diakukan secara induktif-deskriptif melalui studi pustaka dengan fokus kasus-kasus di Kalimantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan cagar budaya di Kalimantan secara umum memang belum berjalan dengan baik. Dengan demikian, disimpulkan bahwa harus dibangun skema kemitraan pengelolaan antarpemangku kepentingan, dari tingkat perencanaan sampai dengan pemanfataannya. Skema kemitraan ini harus melibatkan dinas pendidikan dan kebudayaan serta dinas kebudayaan dan pariwisata setempat, kemudian membangun sinergi dan kolaborasi yang baik dengan pihak terkait seperti kepolisian, kejaksaan, lembaga sosial masyarakat budaya, dinas pertambangan, dinas pekerjaan umum, akademisi, dan masyarakat. Kerja sama dan koordinasi tersebut dimulai dengan menyamakan visi dan misi dalam memelihara dan melestarikan cagar budaya, sehingga diharapkan akan terbentuk satu rencana aksi pengelolaan cagar budaya yang terpadu di bawah arahan walikota atau bupati atau gubernur. \u0000Changes in nomenclature, especially at archaeological research institutions in Indonesia and cultural heritage management agencies, affect the management of their cultural heritage. The merger of the Pusat Penelitian Arkeologi Nasional and its ten institutes of archaeology into the organizational structure of Badan Riset dan Inovasi Nasional has also affected the change of their nomenclature. Their present nomenclature is the Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra, which has seven research centres, i.e. three manage archaeological research, and four operate research regarding language, literature, and manuscripts. Meanwhile, a change of organizational structure also occurred within the Direktorat Jenderal Kebudayaan of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology, which was affected by the mer","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114604391","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Studi bentanglahan arkeologi atau bentang arkeologi ditujukan untuk mengetahui bentuk dan pola persebaran data arkeologi pada suatu bentanglahan fisik tertentu. Wilayah Lasem di Jawa Tengah merupakan suatu kawasan yang dikategorikan sebagai suatu bentang arkeologi, yang anasir pembentuknya berupa bentanglahan fisik sebagai lokasi keberadaannya. Dalam upaya mendapatkan variabel-variabel yang dapat menjadi penentu kriteria suatu bentanglahan arkeologi, maka perlu penelitian mendalam tentang karakteristik bentanglahan di kawasan Lasem. Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana keterkaitan variabel-variabel tersebut sebagai faktor pendorong perkembangan budaya di wilayah Lasem. Sintesis penelitian berdasarkan data bentanglahan dan kesejarahan wilayah Lasem menunjukkan bahwa kawasan tersebut mengandung dua karakteristik bentang arkeologi yang dilandasi, a) aspek kronologi atau pendekatan waktu, yaitu periode Klasik, Islam, dan Kolonial; b) aspek ekologi yang berkaitan dengan keletakannya pada suatu topografi dan bentuklahan. Berdasarkan atas fungsinya, karakteristik bentang arkeologi dari tiga periodisasi tersebut, dapat dikelompokkan dalam kategori fungsi-fungsi ekonomi, sosial, politik, dan budaya.The study of archaeological landscapes aims to determine the shape and distribution pattern of archaeological data on a particular physical landscape. The Lasem area in Central Java is a region that is categorized as an archaeological landscape, whose constituent elements are physical landscapes as its location. To obtain variables that can determine the criteria for an archaeological landscape, it is necessary to carry out in-depth research on the characteristics of the landscape in the Lasem area. Thus, to what extent these variables are related to the driving factors of cultural development in the Lasem region can be understood. Based on the landscape and historical data of the Lasem area, the research synthesis shows that this region contains two characteristics of the archaeological landscape which are established by aspects of a) chronology or approach to time, which are the periods of Classic, Islamic and Colonial; and b) ecology, relating to its location in topography and landforms. Based on their functions, the characteristics of archaeological landscapes from the three periods can be grouped into economic, social, political and cultural functions.
{"title":"KARAKTERISTIK BENTANGLAHAN ARKEOLOGI DI WILAYAH LASEM, JAWA TENGAH","authors":"Andi Putranto","doi":"10.24832/nw.v16i2.481","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i2.481","url":null,"abstract":"Studi bentanglahan arkeologi atau bentang arkeologi ditujukan untuk mengetahui bentuk dan pola persebaran data arkeologi pada suatu bentanglahan fisik tertentu. Wilayah Lasem di Jawa Tengah merupakan suatu kawasan yang dikategorikan sebagai suatu bentang arkeologi, yang anasir pembentuknya berupa bentanglahan fisik sebagai lokasi keberadaannya. Dalam upaya mendapatkan variabel-variabel yang dapat menjadi penentu kriteria suatu bentanglahan arkeologi, maka perlu penelitian mendalam tentang karakteristik bentanglahan di kawasan Lasem. Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana keterkaitan variabel-variabel tersebut sebagai faktor pendorong perkembangan budaya di wilayah Lasem. Sintesis penelitian berdasarkan data bentanglahan dan kesejarahan wilayah Lasem menunjukkan bahwa kawasan tersebut mengandung dua karakteristik bentang arkeologi yang dilandasi, a) aspek kronologi atau pendekatan waktu, yaitu periode Klasik, Islam, dan Kolonial; b) aspek ekologi yang berkaitan dengan keletakannya pada suatu topografi dan bentuklahan. Berdasarkan atas fungsinya, karakteristik bentang arkeologi dari tiga periodisasi tersebut, dapat dikelompokkan dalam kategori fungsi-fungsi ekonomi, sosial, politik, dan budaya.The study of archaeological landscapes aims to determine the shape and distribution pattern of archaeological data on a particular physical landscape. The Lasem area in Central Java is a region that is categorized as an archaeological landscape, whose constituent elements are physical landscapes as its location. To obtain variables that can determine the criteria for an archaeological landscape, it is necessary to carry out in-depth research on the characteristics of the landscape in the Lasem area. Thus, to what extent these variables are related to the driving factors of cultural development in the Lasem region can be understood. Based on the landscape and historical data of the Lasem area, the research synthesis shows that this region contains two characteristics of the archaeological landscape which are established by aspects of a) chronology or approach to time, which are the periods of Classic, Islamic and Colonial; and b) ecology, relating to its location in topography and landforms. Based on their functions, the characteristics of archaeological landscapes from the three periods can be grouped into economic, social, political and cultural functions.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"157 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114375699","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tembikar merupakan artefak arkeologi yang dibuat dari tanah liat bakar yang secara umum berfungsi sebagai peralatan sehari-hari. Tembikar banyak ditemukan di situs-situs arkeologi, termasuk di dataran rendah Lampung. Penelitian desk study tahun 2020-2021 melakukan analisis mengenai rekonstruksi bentuk, kronologi, dan asal tembikar Lampung dengan metode gabungan kuantitatif melalui uji laboratorium X-ray fluorescence, X-ray diffraction, Inductively coupled plasma mass spectrometry, Petrografi, dan Thermoluminescence. Metode kualitatif pun digunakan untuk rekonstruksi hasil selective sampling dengan menggunakan Rhinoceros software dan didukung pendekatan sejarah. Tujuan penelitian adalah mengetahui kecenderungan varian bentuk, kronologi, dan asal tembikar Lampung secara umum. Penelitian ini menghasilkan bentuk yang direkonstruksi berupa wadah sehari-hari terbanyak berupa mangkuk, cawan, dan jambangan. Cakupan kronologi tembikar adalah sejak abad ke-12 hingga ke-20 Masehi. Adapun asal produksi tembikar diketahui melalui pendekatan geologis dan sejarah, dan diduga di sekitar kawasan Kayu Agung Palembang dan Bakung Udik, Lampung. Pottery is an archaeological artefact made from baked clay, which functions as a daily tool. Pottery has been found in archaeological sites, including Lampung lowlands. The 2020-2021 desk study analyses were carried out to reconstruct the form of pottery and to understand the chronology as well as the origin of the Lampung pottery using a quantitative combined method through laboratory tests of X-ray fluorescence, X-ray diffraction, Inductively coupled plasma mass spectrometry, Petrography, and Thermoluminescence. Qualitative methods were also used to reconstruct the results of selective sampling using the Rhinoceros software supported by a historical approach. The purpose of this research is to know the favourable varieties of form, chronology, and origin of Lampung pottery in general. This research resulted in reconstructed forms of dominant pottery containers common for daily use such as bowls, cups, and vases. The chronology of pottery covers from the 12th to the 20th century. The origin of pottery production is known through a geological and historical approach and suggested to be manufactured around the Kayu Agung Palembang and Bakung Udik regions, in Lampung.
陶器是一种考古文物,由燃烧的粘土制成,通常用作日常工具。许多在考古遗址被发现,包括陶器在楠榜低地。研究助理研究于2020-2021年通过x射线光泽度、x射线衍生物、诱导、脱光体、脱光体、脱光体、脱光学和热致发光的分析,对定量方法的形式、年代和起源进行了分析。一种定性方法被用来通过软件鼻西龙来重建选择性采样结果,并支持历史方法。研究的目的是了解变体形式,年表的倾向,和一般的陶器楠榜。这些研究产生了最多的日常形式的容器的重建、花瓶、杯子和碗。陶器年代的覆盖范围从公元12世纪到20世纪。至于通过地质方法已知陶器生产的起源和历史,据称周围地区木材大帝Palembang和水仙花乡巴佬,楠榜。陶器是用粘土做的考古文物,作为每天的工具。陶器已经找到了在考古sites,楠榜lowlands在内。《2020-2021 study analyses办公桌是carried out to reconstruct陶器之形式和理解《起源》著as well as楠榜用a quantitative陶器组合的方法通过实验室测试fluorescence x射线、x光diffraction Inductively coupled spectrometry, Petrography和Thermoluminescence等离子团。有资格的方法还利用历史认可的软件重新构建了选择性采样的结果。《favourable这个研究的目的是要知道varieties of form,著和起源》楠榜陶器在将军。这个研究resulted in reconstructed forms of the dominant陶器containers共同为美国每日用这样的碗、杯子和vases。从12世纪到20世纪的陶器年代计算。陶器生产的起源通过地质和历史上的确定,并建议在南部的雄伟的帕伦邦和水烟地区生产。
{"title":"BENTUK, KRONOLOGI, DAN ASAL TEMBIKAR KUNO DI DATARAN RENDAH LAMPUNG","authors":"Rusyanti -, I. Setiawan, Akbar Adhi Satrio","doi":"10.24832/nw.v16i2.505","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i2.505","url":null,"abstract":"Tembikar merupakan artefak arkeologi yang dibuat dari tanah liat bakar yang secara umum berfungsi sebagai peralatan sehari-hari. Tembikar banyak ditemukan di situs-situs arkeologi, termasuk di dataran rendah Lampung. Penelitian desk study tahun 2020-2021 melakukan analisis mengenai rekonstruksi bentuk, kronologi, dan asal tembikar Lampung dengan metode gabungan kuantitatif melalui uji laboratorium X-ray fluorescence, X-ray diffraction, Inductively coupled plasma mass spectrometry, Petrografi, dan Thermoluminescence. Metode kualitatif pun digunakan untuk rekonstruksi hasil selective sampling dengan menggunakan Rhinoceros software dan didukung pendekatan sejarah. Tujuan penelitian adalah mengetahui kecenderungan varian bentuk, kronologi, dan asal tembikar Lampung secara umum. Penelitian ini menghasilkan bentuk yang direkonstruksi berupa wadah sehari-hari terbanyak berupa mangkuk, cawan, dan jambangan. Cakupan kronologi tembikar adalah sejak abad ke-12 hingga ke-20 Masehi. Adapun asal produksi tembikar diketahui melalui pendekatan geologis dan sejarah, dan diduga di sekitar kawasan Kayu Agung Palembang dan Bakung Udik, Lampung. \u0000Pottery is an archaeological artefact made from baked clay, which functions as a daily tool. Pottery has been found in archaeological sites, including Lampung lowlands. The 2020-2021 desk study analyses were carried out to reconstruct the form of pottery and to understand the chronology as well as the origin of the Lampung pottery using a quantitative combined method through laboratory tests of X-ray fluorescence, X-ray diffraction, Inductively coupled plasma mass spectrometry, Petrography, and Thermoluminescence. Qualitative methods were also used to reconstruct the results of selective sampling using the Rhinoceros software supported by a historical approach. The purpose of this research is to know the favourable varieties of form, chronology, and origin of Lampung pottery in general. This research resulted in reconstructed forms of dominant pottery containers common for daily use such as bowls, cups, and vases. The chronology of pottery covers from the 12th to the 20th century. The origin of pottery production is known through a geological and historical approach and suggested to be manufactured around the Kayu Agung Palembang and Bakung Udik regions, in Lampung.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"48 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124600983","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pada daerah aliran Sungai Musi dan Batanghari di Sumatera, terdapat sebaran arca-arca Buddha dari abad ke-7 hingga ke-10 Masehi. Berdasarkan karakteristiknya, maka dapat diketahui pengaruh kebudayaan pembuatannya, serta kronologi pembuatannya. Tujuan penelitian ini adalah memahami perkembangan wilayah pengaruh agama Buddha dan kawasan politik dan agama Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-9 Masehi berdasarkan pengamatan karakteristik arca Buddha. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode seriasi terhadap tipe dan bentuk arca untuk mengetahui pola sebaran situs yang dipengaruhi oleh perkembangan agama Buddha pada masa tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi-lokasi ditemukannya arca-arca Buddha selaras dengan perkembangan kebudayaan dan aktivitas politik masyarakat kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-9 Masehi. Perkembangan tersebut diawali dari hilir daerah aliran Sungai Musi, dan bergerak ke arah hulu daerah aliran Sungai Batanghari. Pada skala makro, tampak pula perkembangan kawasan pengaruh kebudayaannya mulai dari Sumatera bagian selatan ke Jambi, Sumatera bagian barat, dan Aceh.A number of 7th-9th centuries Buddhist statues are found distributed on the catchment areas of Sungai Musi and Sungai Batanghari, in Sumatera. The characteristics of Buddhist statues may suggest the cultural influence of their manufacture, as well as the technology and chronology. The purpose of this study is to understand the development of the area of influence of Buddhism and the political and religious region of the Sriwijaya Kingdom in the 7th-9th centuries, based on observing the characteristics of Buddha statues. This research was conducted using the seriation method on the type and shape of the statues to determine the distribution patterns of sites that were influenced by the development of Buddhism at that time. The results showed that the locations where the Buddha statues were found were in accord with the cultural developments and political activities of the people of the Sriwijaya kingdom in the 7th-9th centuries. This development began from the downstream regions of the Musi River catchment and moves towards the upstream regions of the Batanghari River catchment. On a macro scale, the regional development of the culture-influenced commenced from southern Sumatra upwards to Jambi, western Sumatra and Aceh.
{"title":"PERSEBARAN ARCA BUDDHA ABAD KE-7-9 MASEHI: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN KAWASAN AWAL KERAJAAN SRIWIJAYA","authors":"E. A. P. Taim","doi":"10.24832/nw.v16i2.501","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i2.501","url":null,"abstract":"Pada daerah aliran Sungai Musi dan Batanghari di Sumatera, terdapat sebaran arca-arca Buddha dari abad ke-7 hingga ke-10 Masehi. Berdasarkan karakteristiknya, maka dapat diketahui pengaruh kebudayaan pembuatannya, serta kronologi pembuatannya. Tujuan penelitian ini adalah memahami perkembangan wilayah pengaruh agama Buddha dan kawasan politik dan agama Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-9 Masehi berdasarkan pengamatan karakteristik arca Buddha. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode seriasi terhadap tipe dan bentuk arca untuk mengetahui pola sebaran situs yang dipengaruhi oleh perkembangan agama Buddha pada masa tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi-lokasi ditemukannya arca-arca Buddha selaras dengan perkembangan kebudayaan dan aktivitas politik masyarakat kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-9 Masehi. Perkembangan tersebut diawali dari hilir daerah aliran Sungai Musi, dan bergerak ke arah hulu daerah aliran Sungai Batanghari. Pada skala makro, tampak pula perkembangan kawasan pengaruh kebudayaannya mulai dari Sumatera bagian selatan ke Jambi, Sumatera bagian barat, dan Aceh.A number of 7th-9th centuries Buddhist statues are found distributed on the catchment areas of Sungai Musi and Sungai Batanghari, in Sumatera. The characteristics of Buddhist statues may suggest the cultural influence of their manufacture, as well as the technology and chronology. The purpose of this study is to understand the development of the area of influence of Buddhism and the political and religious region of the Sriwijaya Kingdom in the 7th-9th centuries, based on observing the characteristics of Buddha statues. This research was conducted using the seriation method on the type and shape of the statues to determine the distribution patterns of sites that were influenced by the development of Buddhism at that time. The results showed that the locations where the Buddha statues were found were in accord with the cultural developments and political activities of the people of the Sriwijaya kingdom in the 7th-9th centuries. This development began from the downstream regions of the Musi River catchment and moves towards the upstream regions of the Batanghari River catchment. On a macro scale, the regional development of the culture-influenced commenced from southern Sumatra upwards to Jambi, western Sumatra and Aceh.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125457894","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Rumah adat Banjar “Bubungan Tinggi” mempunyai bentuk dan bagian-bagian khas yang berbeda dari rumah adat yang lainnya. Meskipun penelitian tentang rumah adat Banjar sudah banyak dilakukan, belum ada yang membahas leksikon-leksikon rumah adat “Bubungan Tinggi” dalam kajian ilmu etnosemantik secara khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi suatu benda berdasarkan sosial kultural masyarakat penutur bahasa. Secara lebih rinci adalah memahami penggambaran leksikon konstruksi utama bangunan “Bubungan Tinggi” berdasarkan bentuk dan fungsi, wujud leksikon ruangan rumahnya. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dengan teknik wawancara, observasi dan studi pustaka. Pengolahan data dilakukan dengan teknik identifikasi sesuai dengan aspek yang diteliti, menyeleksi data, mengklasifikasi, menyesuaikan data, membahas, dan terakhir menyimpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah “Bubungan Tinggi” bercirikan arsitektur rumah panggung, dengan bubungan atap yang tinggi, serta memiliki dua anjung di bagian kiri dan kanan bangunan. Konstruksi utama bangunan memiliki bentuk dan fungsi masing-masing yang khas yang tampak pada leksikon tihang, lantai, lalungkang, lawang, lis, tawing, tataban, atap, dan tangga. Leksikon lain yang signifikan tampak pada bentuk dan fungsi ruangan-ruangannya, yaitu palatar, panampik, palidangan, anjung, padapuran. Selanjutnya, motif ukiran flora dan kaligrafi yang digunakan dalam ornamen rumah “Bubungan Tinggi” pun mempunyai leksikon, dengan makna simbolis sebagai bagian dari makna semantis yang melambangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Banjar. Leksikon”Bubungan Tinggi” perlu diperkenalkan kembali kepada masyarakat khususnya generasi muda, sebagai upaya untuk merevitalisasi kembali rumah adat dan maknanya, agar tidak punah dan tergantikan dengan rumah-rumah modern. . The Banjar traditional house "Bubungan Tinggi" has distinctive shapes and parts that are different from other traditional houses. Although much research has been done on Banjar traditional houses, none has discussed the lexicons of “Bubungan Tinggi,” in the study of ethnosemantics particularly. This research aims to determine the description of an object based on the socio-culture of its language speakers. A more elaborate objective is to understand the lexicon depiction of the main construction of the "Bubungan Tinggi" based on the form and function, as well as the lexicon of space within the house. The research uses a qualitative descriptive method, where data collection was carried out by interviews, observation, and literature study. Data processing was carried out using identification techniques according to the aspects studied, selecting data, classifying, adjusting data, discussing, and finally inferring. The study resulted that the "Bubungan Tinggi" house is characterized by the architecture of a stilt house, with a high roof, and has two annexes each on the left and right of the building. The main co
海关班加尔高个屋脊有形状和其他海关的典型的不同部分。虽然海关班加尔做了很多研究,但还没有人讨论leksikon-leksikon海关etnosemantik特别科学研究中的“高屋脊”。本研究旨在探讨描述物体根据社会文化语言。更详细地主要建筑是理解词汇描述高层建筑“屋脊”基于字典的形状和功能,实体房子房间。描述性研究方法进行定性。数据收集的面试技巧,观察和文献研究。数据处理是通过根据所研究的方面进行的识别技术、选择数据、分类、调整数据、讨论和最后得出结论。研究表明,“高架房屋”的特点是架空房屋,屋顶高度,以及建筑的左右有两架门廊。建筑的主要结构有独特的形状和功能,可以在tihang词典、地板、lawang、lawang、lis、tawing、语法、屋顶和楼梯上看到。其他重要的词汇表现在其大厅的形状和功能上,即甲板、甲板、门廊、门廊等。除此之外,在“高耸的屋顶”装饰中使用的弗洛拉雕刻和书法的主题也有类似的含义,具有象征意义,作为班加尔社会文化生活的象征意义的一部分。高个屋脊需要介绍的字典还给社会尤其是年轻一代,作为努力振兴习俗和含义,以免回家和现代的房屋所取代。灭绝。高个屋脊Banjar传统屋有独特形状画和来自其他传统房子的部分,那是不同的。虽然很多研究已经完成Banjar传统上的房子,无人有词汇》discussed屋脊”,“in the study of ethnosemantics特别高。这个研究风貌》aims to个重大的物体socio-culture》改编自它的语言扬声器。A more elaborate客观是需要理解词汇depiction》玩建筑“屋脊高》改编自《词汇》形式和功能,as well as太空在全场。《研究利用a qqe descriptive方法,数据哪里收藏是carried out by interviews observation,和文学研究。数据加工是用identification carried out techniques弥足《aspects studied, selecting, classifying adjusting数据、discussing终于推断。study resulted那臭名昭著的“屋脊高屋是架构》characterized by a stilt house里,用高屋顶,每有两个annexes《左和右之建设。《建设有它的distinct玩建筑形式和功能,这可以看到在柱子,floors,窗户,门之词汇frames,岩壁plinths、屋顶和楼梯。另见浓厚,词汇是在房间,哪种形式和功能》指到露台,小房间,家庭房、附件和厨房。Furthermore,花卉和calligraphic雕刻motifs以前》ornaments高个屋脊屋也有词汇里,用象征着美国的遗迹》部分semantic socio-cultural生活》的意义,以至于refers to Banjar人。高个屋脊的词汇》Banjar传统屋需要to be reintroduced《杨格尔的一代,美国公众,尤其是努力到revitalize传统屋和它的意义;因此臭名昭著的“屋脊高不会成为extinct和现代是replaced by房子。
{"title":"LEKSIKON, BENTUK DAN FUNGSI RUANG, SERTA MAKNA ORNAMEN RUMAH ADAT BANJAR “BUBUNGAN TINGGI”","authors":"Eka Suryatin, Derri Ris Riana, S.S., Rissari Yayuk, Nfn Jahdiah, B. Sudarmanto","doi":"10.24832/nw.v16i2.507","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i2.507","url":null,"abstract":"Rumah adat Banjar “Bubungan Tinggi” mempunyai bentuk dan bagian-bagian khas yang berbeda dari rumah adat yang lainnya. Meskipun penelitian tentang rumah adat Banjar sudah banyak dilakukan, belum ada yang membahas leksikon-leksikon rumah adat “Bubungan Tinggi” dalam kajian ilmu etnosemantik secara khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi suatu benda berdasarkan sosial kultural masyarakat penutur bahasa. Secara lebih rinci adalah memahami penggambaran leksikon konstruksi utama bangunan “Bubungan Tinggi” berdasarkan bentuk dan fungsi, wujud leksikon ruangan rumahnya. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dengan teknik wawancara, observasi dan studi pustaka. Pengolahan data dilakukan dengan teknik identifikasi sesuai dengan aspek yang diteliti, menyeleksi data, mengklasifikasi, menyesuaikan data, membahas, dan terakhir menyimpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah “Bubungan Tinggi” bercirikan arsitektur rumah panggung, dengan bubungan atap yang tinggi, serta memiliki dua anjung di bagian kiri dan kanan bangunan. Konstruksi utama bangunan memiliki bentuk dan fungsi masing-masing yang khas yang tampak pada leksikon tihang, lantai, lalungkang, lawang, lis, tawing, tataban, atap, dan tangga. Leksikon lain yang signifikan tampak pada bentuk dan fungsi ruangan-ruangannya, yaitu palatar, panampik, palidangan, anjung, padapuran. Selanjutnya, motif ukiran flora dan kaligrafi yang digunakan dalam ornamen rumah “Bubungan Tinggi” pun mempunyai leksikon, dengan makna simbolis sebagai bagian dari makna semantis yang melambangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Banjar. Leksikon”Bubungan Tinggi” perlu diperkenalkan kembali kepada masyarakat khususnya generasi muda, sebagai upaya untuk merevitalisasi kembali rumah adat dan maknanya, agar tidak punah dan tergantikan dengan rumah-rumah modern. \u0000. The Banjar traditional house \"Bubungan Tinggi\" has distinctive shapes and parts that are different from other traditional houses. Although much research has been done on Banjar traditional houses, none has discussed the lexicons of “Bubungan Tinggi,” in the study of ethnosemantics particularly. This research aims to determine the description of an object based on the socio-culture of its language speakers. A more elaborate objective is to understand the lexicon depiction of the main construction of the \"Bubungan Tinggi\" based on the form and function, as well as the lexicon of space within the house. The research uses a qualitative descriptive method, where data collection was carried out by interviews, observation, and literature study. Data processing was carried out using identification techniques according to the aspects studied, selecting data, classifying, adjusting data, discussing, and finally inferring. The study resulted that the \"Bubungan Tinggi\" house is characterized by the architecture of a stilt house, with a high roof, and has two annexes each on the left and right of the building. The main co","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125463119","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Candrasengkala atau kronogram sudah dikenal oleh masyarakat di Jawa sejak zaman Hindu di Nusantara. Candrasengkala merupakan tetenger atau pengingat suatu peristiwa penting, seperti kelahiran, kematian, dan sebagainya. Dalam candrasengkala digunakan bentuk visual figur binatang yang diambil dari cerita pewayangan atau mitologi India. Binatang-binatang ditampilkan dengan pengolahan visual berupa gambar, relief, dan patung. Masing-masing figur binatang tersebut mengandung watak angka tahun dan makna simbolis. Hingga sekarang masih sedikit penelitian yang mengkaji candrasengkala di Tamansari Gua Sunyaragi di Cirebon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui elemen estetis dan simbolis figur binatang pada candrasengkala yang terdapat di Tamansari Gua Sunyaragi, di Cirebon, Jawa Barat. Penelitian ini merupakan kajian deskriptif terhadap aspek tangible Tamansari Gua Sunyaragi berupa figur-figur binatang yang dilandasi mitologi India. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa material batu dan batu karang diolah menjadi karakter-karakter figur gajah, burung garuda, dan ular, sehingga tampilan visualnya membentuk “candrasengkala”, sekaligus sebagai cuplikan kisah dari cerita pewayangan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa candrasengkala merupakan salah satu bentuk seni rupa Nusantara dan kreativitas kearifan lokal. Keberadaanya dapat menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan karya seni rupa, desain, dan kriya Nusantara ke depan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang kajian binatang-binatang mitologis dalam candrasengkala di Tamansari Gua Sunyaragi.The Javanese are familiar with “candrasengkala” or chronogram which developed in Nusantara since the Hindu era. The “candrasengkala” is a “tetenger” or a reminder of important occurrences, such as birth, death, etc. “Candrasengkala” often uses visual forms of animal figures drawn from “wayang” stories or Indian mythology. Animals are featured with visual processing into depictions of figures, reliefs, and sculptures. Each animal figure contains disposition number of years and bears symbolic meanings. Until today there is little research that focuses on “candrasengkala” in Tamansari Gua Sunyaragi in Cirebon. This study aims to determine the aesthetic and symbolic elements of animal figures in “candrasengkala” at Tamansari Gua Sunyaragi, in Cirebon, West Java. This research is a descriptive study of the tangible aspects of Tamansari Gua Sunyaragi in the form of animal figures based on Indian mythology. The study resulted that stone and coral materials are processed into figures of elephants, eagles, and snakes, thus the visual appearance forms a "candrasengkala", as well as snippets of “wayang” stories. Therefore, it is understood that “candrasengkala” is a form of Nusantara art and creativity of local wisdom. Its existence can be a source of inspiration in the future development of Nusantara fine arts, designs and crafts. This research may be used as a reference for further studies of mythol
{"title":"KAJIAN ELEMEN ESTETIS DAN SIMBOLIS CANDRASENGAKALA PADA TAMANSARI GUA SUNYARAGI DI CIREBON","authors":"A. Purnomo, Yasmin Adila Ramdan","doi":"10.24832/nw.v16i2.494","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i2.494","url":null,"abstract":"Candrasengkala atau kronogram sudah dikenal oleh masyarakat di Jawa sejak zaman Hindu di Nusantara. Candrasengkala merupakan tetenger atau pengingat suatu peristiwa penting, seperti kelahiran, kematian, dan sebagainya. Dalam candrasengkala digunakan bentuk visual figur binatang yang diambil dari cerita pewayangan atau mitologi India. Binatang-binatang ditampilkan dengan pengolahan visual berupa gambar, relief, dan patung. Masing-masing figur binatang tersebut mengandung watak angka tahun dan makna simbolis. Hingga sekarang masih sedikit penelitian yang mengkaji candrasengkala di Tamansari Gua Sunyaragi di Cirebon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui elemen estetis dan simbolis figur binatang pada candrasengkala yang terdapat di Tamansari Gua Sunyaragi, di Cirebon, Jawa Barat. Penelitian ini merupakan kajian deskriptif terhadap aspek tangible Tamansari Gua Sunyaragi berupa figur-figur binatang yang dilandasi mitologi India. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa material batu dan batu karang diolah menjadi karakter-karakter figur gajah, burung garuda, dan ular, sehingga tampilan visualnya membentuk “candrasengkala”, sekaligus sebagai cuplikan kisah dari cerita pewayangan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa candrasengkala merupakan salah satu bentuk seni rupa Nusantara dan kreativitas kearifan lokal. Keberadaanya dapat menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan karya seni rupa, desain, dan kriya Nusantara ke depan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang kajian binatang-binatang mitologis dalam candrasengkala di Tamansari Gua Sunyaragi.The Javanese are familiar with “candrasengkala” or chronogram which developed in Nusantara since the Hindu era. The “candrasengkala” is a “tetenger” or a reminder of important occurrences, such as birth, death, etc. “Candrasengkala” often uses visual forms of animal figures drawn from “wayang” stories or Indian mythology. Animals are featured with visual processing into depictions of figures, reliefs, and sculptures. Each animal figure contains disposition number of years and bears symbolic meanings. Until today there is little research that focuses on “candrasengkala” in Tamansari Gua Sunyaragi in Cirebon. This study aims to determine the aesthetic and symbolic elements of animal figures in “candrasengkala” at Tamansari Gua Sunyaragi, in Cirebon, West Java. This research is a descriptive study of the tangible aspects of Tamansari Gua Sunyaragi in the form of animal figures based on Indian mythology. The study resulted that stone and coral materials are processed into figures of elephants, eagles, and snakes, thus the visual appearance forms a \"candrasengkala\", as well as snippets of “wayang” stories. Therefore, it is understood that “candrasengkala” is a form of Nusantara art and creativity of local wisdom. Its existence can be a source of inspiration in the future development of Nusantara fine arts, designs and crafts. This research may be used as a reference for further studies of mythol","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"31 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132220215","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil, Badruzsaufari Badruzsaufari, Dharmono Dharmono
Pada ekskavasi arkeologi di situs Benteng Tabanio yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin ditemukan berbagai artefak dan ekofak. Ekofak yang banyak ditemukan adalah cangkang moluska. Namun demikian, cangkang moluska hasil penelitian tersebut belum diidentifikasi secara taksonomis. Pelabelan koleksi ditulis sebagai kerang, cangkang kerang, atau fragmen cangkang kerang, padahal dalam koleksi tersebut terdapat cangkang moluska bivalvia dan cangkang gastropoda. Kerancuan identitas ini berakibat pada kesalahan informasi. Pada penelitian ekskavasi situs Benteng Tabanio, tinggalan ekofaktual moluska bivalvia belum dibahas secara komperehensif. Penelitian ini ditujukan untuk memahami keberadaan cangkang moluska bivalvia di situs Benteng Tabanio. Identifikasi 101 sampel cangkang marin dilakukan sampai dengan tingkat genus atau spesies dilakukan menggunakan analisis komparasi morfologi dengan cangkang bivalvia marin yang didapatkan di luar zona situs. Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat ordo dengan tujuh famili dan empat belas genera atau spesies yang dapat diidentifikasi. Keempat belas genera atau spesies tersebut dapat dikonsumsi, tetapi sisa-sisa cangkang yang ditemukan di situs Benteng Tabanio menunjukkan tidak adanya pemanfaatan moluska bivalvia sebagai bahan pangan ataupun bahan bangunan.A variety of artefacts and ecofacts was found during the excavation of Tabanio Fort by the Banjarmasin Institute for Archaeology. The most common ecofacts found were mollusc shells. However, the mollusc shells collected from the excavation have not been taxonomically identified. Even though the collection contains shells of bivalve molluscs and gastropods, the collection labelling was written as shells, clam shells, or clam shell fragments. Such ambiguous identity results in misinformation. The bivalve mollusc ecofacts recovered from the Tabanio Fort have not been comprehensively discussed. This research aims to understand the presence of bivalve mollusc shells at the site of Tabanio Fort. The identification of 101 marine shells was carried out up to the genus or species level by using comparative morphological analysis with marine bivalve shells obtained beyond the site zone. The research identified four orders, including seven families and fourteen genera or species of bivalve shells. The fourteen identified genera or species are of edible varieties, but shell remains recovered from the Tabanio Fort site indicate no use of bivalve molluscs as food or building materials.
在Banjarmasin考古大厅对Tabanio要塞的考古发掘中,发现了许多文物和文物。许多发现的证据都是软体动物的壳。然而,研究结果的软体动物壳还没有通过taksonomis进行鉴定。收集的标签是用贝壳、贝壳或贝壳碎片写成的,而贝壳中有双壳软体动物和腹足类动物壳。这种身份混淆导致信息错误。关于塔巴尼奥堡遗址的开发研究,双壳软体动物的真实生态遗产尚未全面介绍。本研究旨在了解塔巴尼奥堡遗址中存在双壳动物软体动物的存在。鉴定101个马林氏壳的样本是使用在局外发现的双壳马林壳的形态比较分析进行的。研究结果表明,有4个属于7个家族和14个可识别物种的命令。这14代动物或物种是可以食用的,但在塔巴尼奥要塞遗址发现的贝壳遗迹表明,它们在食物或建筑材料上没有利用双壳软体动物。在班雅尔马辛考古研究所(Banjarmasin Institute of考古学)对塔巴尼奥堡的解释中发现了一些文物和生态事实。最常见的发现是熔化的贝壳。霍夫,发霉的贝壳,从活体中收集的贝壳还没有被确认身份。尽管这些收藏品中含有双阀分解和消化道的贝壳,但收集标签却像贝壳、贝壳贝壳或贝壳碎片一样被书写。这种模糊的身份推荐。从塔巴尼奥堡回收的双壳生物识别技术并没有被指控指控。这项研究旨在理解塔巴尼奥堡基地的双壳生物的存在。通过利用海洋生物分析与海洋双壳壳死亡区之外的分析,101个海洋贝壳的鉴定被列为属或物种级别。该研究包括四名成员,包括七名家庭和十四名双壳物种。《食用或十四个identified已灭绝物种是varieties,但壳牌公司的遗迹recovered from bivalve之堡Tabanio site indicate不利用美国molluscs食品或建筑材料。
{"title":"IDENTIFIKASI EKOFAK MOLUSKA BIVALVA DARI SITUS BENTENG TABANIO, DI KABUPATEN TANAH LAUT","authors":"Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil, Badruzsaufari Badruzsaufari, Dharmono Dharmono","doi":"10.24832/nw.v16i1.504","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i1.504","url":null,"abstract":"Pada ekskavasi arkeologi di situs Benteng Tabanio yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin ditemukan berbagai artefak dan ekofak. Ekofak yang banyak ditemukan adalah cangkang moluska. Namun demikian, cangkang moluska hasil penelitian tersebut belum diidentifikasi secara taksonomis. Pelabelan koleksi ditulis sebagai kerang, cangkang kerang, atau fragmen cangkang kerang, padahal dalam koleksi tersebut terdapat cangkang moluska bivalvia dan cangkang gastropoda. Kerancuan identitas ini berakibat pada kesalahan informasi. Pada penelitian ekskavasi situs Benteng Tabanio, tinggalan ekofaktual moluska bivalvia belum dibahas secara komperehensif. Penelitian ini ditujukan untuk memahami keberadaan cangkang moluska bivalvia di situs Benteng Tabanio. Identifikasi 101 sampel cangkang marin dilakukan sampai dengan tingkat genus atau spesies dilakukan menggunakan analisis komparasi morfologi dengan cangkang bivalvia marin yang didapatkan di luar zona situs. Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat ordo dengan tujuh famili dan empat belas genera atau spesies yang dapat diidentifikasi. Keempat belas genera atau spesies tersebut dapat dikonsumsi, tetapi sisa-sisa cangkang yang ditemukan di situs Benteng Tabanio menunjukkan tidak adanya pemanfaatan moluska bivalvia sebagai bahan pangan ataupun bahan bangunan.A variety of artefacts and ecofacts was found during the excavation of Tabanio Fort by the Banjarmasin Institute for Archaeology. The most common ecofacts found were mollusc shells. However, the mollusc shells collected from the excavation have not been taxonomically identified. Even though the collection contains shells of bivalve molluscs and gastropods, the collection labelling was written as shells, clam shells, or clam shell fragments. Such ambiguous identity results in misinformation. The bivalve mollusc ecofacts recovered from the Tabanio Fort have not been comprehensively discussed. This research aims to understand the presence of bivalve mollusc shells at the site of Tabanio Fort. The identification of 101 marine shells was carried out up to the genus or species level by using comparative morphological analysis with marine bivalve shells obtained beyond the site zone. The research identified four orders, including seven families and fourteen genera or species of bivalve shells. The fourteen identified genera or species are of edible varieties, but shell remains recovered from the Tabanio Fort site indicate no use of bivalve molluscs as food or building materials.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130039475","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pedang Sanghyang Borosngora adalah pedang yang diyakini oleh sebagian masyarakat Panjalu sebagai pemberian Sayyidina Ali kepada Prabu Borosngora. Pedang yang sekarang disimpan di Bumi Alit, Panjalu, dan merupakan artefak penting dalam sejarah masyarakat Ciamis dan Sunda, karena memuat nilai-nilai kultural masa lalu yang dapat diidentifikasi sebagai sumber penulisan sejarah. Informasi yang bias tentang Pedang Sanghyang Borosngora adalah masalah utama penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menarasikan sejarah Pedang Prabu Siliwangi dan bagian-bagiannya secara detail sesuai dengan pakem. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur review dengan menelaah sumber arsip, dan melakukan observasi langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber-sumber tradisional yang dianggap otoritatif oleh masyarakat terkait narasi sejarah Pedang Sanghyang Borosngora mengalami perubahan sejak awal abad ke-20 Masehi. Hal tersebut terjadi karena sejak masa itu Pedang Sanghyang Borosngora mulai dikenal sebagai Pedang Sayyidina Ali, padahal sebelumnya pedang itu diriwayatkan sebagai pedang pemberian Prabu Siliwangi kepada Raja Panjalu. Selain itu, ditemukan kesamaan yang spesifik dari pedang ini dengan pedang-pedang lain yang berasal dari Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Pedang Sanghyang Borosngora lebih cocok untuk disebut sebagai Pedang Prabu Siliwangi. The Sanghyang Borosngora sword is believed by some Panjalu people to have been given by Sayyidina Ali to King Borosngora. The sword is now stored in Bumi Alit, Panjalu, and is known as an important artifact in the history of the Ciamis and Sundanese people due to its old cultural values which can be identified as a source of historical writing. Biased information about the sword of Sanghyang Borosngora is the main issue of this research. This study aims to narrate the history of King Siliwangi's sword and its parts in detail according to its standard narration. The method used in this study was literature reviews by examining archival sources and making direct observations. The study suggests that traditional sources which are considered authoritative by the community regarding the historical narrative of the sword of Sanghyang Borosngora have changed since the early 20th century. Such a circumstance occurred because since the early 20th century the Sanghyang Borosngora Sword began to be known as the Sayyidina Ali Sword, even though previously the sword was narrated as a sword given by Prabu Siliwangi to King Panjalu. Additionally, specific similarities were found between this sword and other swords originating from the Kingdom of Sunda. Thus, the Sanghyang Borosngora Sword is more suitable to be called the Prabu Siliwangi Sword.
{"title":"PEDANG PENINGGALAN PRABU SILIWANGI DARI PANJALU, CIAMIS, JAWA BARAT","authors":"T. Tendi","doi":"10.24832/nw.v16i1.467","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i1.467","url":null,"abstract":"Pedang Sanghyang Borosngora adalah pedang yang diyakini oleh sebagian masyarakat Panjalu sebagai pemberian Sayyidina Ali kepada Prabu Borosngora. Pedang yang sekarang disimpan di Bumi Alit, Panjalu, dan merupakan artefak penting dalam sejarah masyarakat Ciamis dan Sunda, karena memuat nilai-nilai kultural masa lalu yang dapat diidentifikasi sebagai sumber penulisan sejarah. Informasi yang bias tentang Pedang Sanghyang Borosngora adalah masalah utama penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menarasikan sejarah Pedang Prabu Siliwangi dan bagian-bagiannya secara detail sesuai dengan pakem. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur review dengan menelaah sumber arsip, dan melakukan observasi langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber-sumber tradisional yang dianggap otoritatif oleh masyarakat terkait narasi sejarah Pedang Sanghyang Borosngora mengalami perubahan sejak awal abad ke-20 Masehi. Hal tersebut terjadi karena sejak masa itu Pedang Sanghyang Borosngora mulai dikenal sebagai Pedang Sayyidina Ali, padahal sebelumnya pedang itu diriwayatkan sebagai pedang pemberian Prabu Siliwangi kepada Raja Panjalu. Selain itu, ditemukan kesamaan yang spesifik dari pedang ini dengan pedang-pedang lain yang berasal dari Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Pedang Sanghyang Borosngora lebih cocok untuk disebut sebagai Pedang Prabu Siliwangi. \u0000The Sanghyang Borosngora sword is believed by some Panjalu people to have been given by Sayyidina Ali to King Borosngora. The sword is now stored in Bumi Alit, Panjalu, and is known as an important artifact in the history of the Ciamis and Sundanese people due to its old cultural values which can be identified as a source of historical writing. Biased information about the sword of Sanghyang Borosngora is the main issue of this research. This study aims to narrate the history of King Siliwangi's sword and its parts in detail according to its standard narration. The method used in this study was literature reviews by examining archival sources and making direct observations. The study suggests that traditional sources which are considered authoritative by the community regarding the historical narrative of the sword of Sanghyang Borosngora have changed since the early 20th century. Such a circumstance occurred because since the early 20th century the Sanghyang Borosngora Sword began to be known as the Sayyidina Ali Sword, even though previously the sword was narrated as a sword given by Prabu Siliwangi to King Panjalu. Additionally, specific similarities were found between this sword and other swords originating from the Kingdom of Sunda. Thus, the Sanghyang Borosngora Sword is more suitable to be called the Prabu Siliwangi Sword.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129932133","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nisan arca adalah salah satu produk budaya material dari masa Islam di wilayah administratif Sulawesi Selatan. Nisan arca di kawasan etnik Makassar, yang berada di Kabupaten Bantaeng, Jeneponto dan Maros, menunjukkan morfologi dan ciri antropomorfik yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah periode penggunaan dan kandungan maknanya. Penelitian ini ditujukan untuk memahami makna yang dikandung oleh nisan arca, dengan menjawab permasalahan-permasalahan mengenai kronologi nisan arca di Kawasan etnik Makassar dan identitas budaya Makassar. Data penelitian ini dilandasi oleh hasil analisis morfologi nisan dari penelitian terdahulu, kemudian pada penelitian ini dilanjutkan dengan analisis historis dan etnografis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan nisan arca dilatarbelakangi oleh tradisi pra-Islam yang masih terpelihara di tengah-tengah masyarakat Makassar, yang dalam perkembangannya mengalami pembauran dengan budaya Islam yang hadir pada periode selanjutnya. Nisan arca budaya Makassar mengandung simbol-simbol budaya sebagai identitas bagi masyarakat penggunanya, yaitu kebangsawanan atau stratifikasi sosial, religiusitas, pengharapan, penghormatan dan kebanggaan, serta intelektualitas. An effigy gravestone is one among the products of material culture from the Islamic period in the administrative area of South Sulawesi. The effigy gravestone in the Makassar ethnic regions of Bantaeng, Jeneponto, and Maros, present different morphological and anthropomorphic characteristics from one another. This difference is influenced by several factors, including the period of use and significance. This study aims to understand the significance of effigy gravestones by recognising the chronology of the gravestones in the Makassar ethnic regions, and within the Makassar cultural identity. The data of this study are based on the results of the morphological analysis of the gravestones from previous studies, and this research is continued with historical and ethnographic analysis. The results of this study indicate that the existence of the effigy gravestones is motivated by pre-Islamic traditions that are still preserved in Makassar society, which in its development experienced assimilation with the Islamic culture that was present in the later period. The Makassar effigy gravestones contain cultural symbols as identities of the people who use them, i.e. nobility or social stratification, religiosity, hope, respect and pride, and intellect.
{"title":"REFLEKSI IDENTITAS BUDAYA MAKASSAR DARI PENGGUNAAN NISAN ARCA DI KOMPLEKS MAKAM ISLAM DI KAWASAN BANTAENG, JENEPONTO, DAN MAROS","authors":"N. Purnamasari","doi":"10.24832/nw.v16i1.478","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i1.478","url":null,"abstract":"Nisan arca adalah salah satu produk budaya material dari masa Islam di wilayah administratif Sulawesi Selatan. Nisan arca di kawasan etnik Makassar, yang berada di Kabupaten Bantaeng, Jeneponto dan Maros, menunjukkan morfologi dan ciri antropomorfik yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah periode penggunaan dan kandungan maknanya. Penelitian ini ditujukan untuk memahami makna yang dikandung oleh nisan arca, dengan menjawab permasalahan-permasalahan mengenai kronologi nisan arca di Kawasan etnik Makassar dan identitas budaya Makassar. Data penelitian ini dilandasi oleh hasil analisis morfologi nisan dari penelitian terdahulu, kemudian pada penelitian ini dilanjutkan dengan analisis historis dan etnografis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan nisan arca dilatarbelakangi oleh tradisi pra-Islam yang masih terpelihara di tengah-tengah masyarakat Makassar, yang dalam perkembangannya mengalami pembauran dengan budaya Islam yang hadir pada periode selanjutnya. Nisan arca budaya Makassar mengandung simbol-simbol budaya sebagai identitas bagi masyarakat penggunanya, yaitu kebangsawanan atau stratifikasi sosial, religiusitas, pengharapan, penghormatan dan kebanggaan, serta intelektualitas. An effigy gravestone is one among the products of material culture from the Islamic period in the administrative area of South Sulawesi. The effigy gravestone in the Makassar ethnic regions of Bantaeng, Jeneponto, and Maros, present different morphological and anthropomorphic characteristics from one another. This difference is influenced by several factors, including the period of use and significance. This study aims to understand the significance of effigy gravestones by recognising the chronology of the gravestones in the Makassar ethnic regions, and within the Makassar cultural identity. The data of this study are based on the results of the morphological analysis of the gravestones from previous studies, and this research is continued with historical and ethnographic analysis. The results of this study indicate that the existence of the effigy gravestones is motivated by pre-Islamic traditions that are still preserved in Makassar society, which in its development experienced assimilation with the Islamic culture that was present in the later period. The Makassar effigy gravestones contain cultural symbols as identities of the people who use them, i.e. nobility or social stratification, religiosity, hope, respect and pride, and intellect.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"40 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131932490","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Muhammad Wishnu Wibisono, D. A. Tanudirjo, Imam Hindarto
Historiografi Kabupaten Kotawaringin Barat tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Kerajaan Kotawaringin abad ke-17-19 Masehi. Kerajaan Kotawaringin tumbuh dan berkembang sebagai kawasan multietnis Bugis, Dayak dan Jawa. Beberapa sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin, di Kotawaringin Lama, yang masih tersisa adalah Astana Al-Nursari, Makam Kuta Tanah, Masjid Kyai Gede, dan Danau Masoraian. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Astana Al-Nursari akan dikembangkan menjadi museum yang berintegrasi dengan ketiga sumber daya budaya lainnya. Rencana pengembangan tersebut diinisiasi oleh keturunan Kerajaan Kotawaringin, yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat. Namun demikian, sampai sekarang penelitian mengenai sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin yang menjadi langkah awal rencana pengembangan tersebut masih sebatas studi aspek sejarahnya. Penelitian kali ini ditujukan untuk memahami nilai penting sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin berdasarkan kondisi aktual masa kini. Pemahaman akan nilai penting tersebut diharapkan dapat menggambarkan karakter dan potensi Kotawaringin Barat yang dapat menjadi landasan dalam pengelolaan sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya budaya di Kotawaringin Lama, di Kalimantan Tengah, memiliki nilai penting yang dapat menjadi fondasi pengelolaan kawasan cagar budaya yang berintegrasi dengan kawasan lindung geologi. Integrasi pengelolaan dua kawasan lindung tersebut merupakan suatu langkah awal sebelum kawasan tersebut dapat dimanfaatkan secara praktis dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat di sekitar kawasan dan Indonesia secara umum. . The historiography of Kotawaringin Barat Regency cannot be separated from the existence of the 17th-19th century Kotawaringin Kingdom. The Kotawaringin kingdom grew and developed as a multi-ethnic region of Bugis, Dayak and Javanese. Some of the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom, in Kotawaringin Lama, which still exists are the Astana Al-Nursari, the Kuta Tanah Cemetery, Kyai Gede Mosque, and the Masoraian Lake. The interview results suggest that Astana Al-Nursari will be developed into a museum that integrates with the other three cultural resources. The development plan was initiated by descendants of the Kotawaringin Kingdom, supported by the Regency Government of Kotawaringin Barat. However, until today research on the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom, which is the first step in this development plan, is still limited to studying the historical aspects of the Kotawaringin Kingdom. This research is aimed at understanding the important value of the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom based on current actual conditions. The understanding of these important values is expected to enable the depiction of the characteristics and potential of Kotawaringin Barat which can become the basis for cultural resources management of the Kotawaringin Kingdom. The res
{"title":"NILAI PENTING SUMBER DAYA BUDAYA KOTAWARINGIN LAMA","authors":"Muhammad Wishnu Wibisono, D. A. Tanudirjo, Imam Hindarto","doi":"10.24832/nw.v16i1.500","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v16i1.500","url":null,"abstract":"Historiografi Kabupaten Kotawaringin Barat tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Kerajaan Kotawaringin abad ke-17-19 Masehi. Kerajaan Kotawaringin tumbuh dan berkembang sebagai kawasan multietnis Bugis, Dayak dan Jawa. Beberapa sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin, di Kotawaringin Lama, yang masih tersisa adalah Astana Al-Nursari, Makam Kuta Tanah, Masjid Kyai Gede, dan Danau Masoraian. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Astana Al-Nursari akan dikembangkan menjadi museum yang berintegrasi dengan ketiga sumber daya budaya lainnya. Rencana pengembangan tersebut diinisiasi oleh keturunan Kerajaan Kotawaringin, yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat. Namun demikian, sampai sekarang penelitian mengenai sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin yang menjadi langkah awal rencana pengembangan tersebut masih sebatas studi aspek sejarahnya. Penelitian kali ini ditujukan untuk memahami nilai penting sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin berdasarkan kondisi aktual masa kini. Pemahaman akan nilai penting tersebut diharapkan dapat menggambarkan karakter dan potensi Kotawaringin Barat yang dapat menjadi landasan dalam pengelolaan sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya budaya di Kotawaringin Lama, di Kalimantan Tengah, memiliki nilai penting yang dapat menjadi fondasi pengelolaan kawasan cagar budaya yang berintegrasi dengan kawasan lindung geologi. Integrasi pengelolaan dua kawasan lindung tersebut merupakan suatu langkah awal sebelum kawasan tersebut dapat dimanfaatkan secara praktis dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat di sekitar kawasan dan Indonesia secara umum. \u0000. The historiography of Kotawaringin Barat Regency cannot be separated from the existence of the 17th-19th century Kotawaringin Kingdom. The Kotawaringin kingdom grew and developed as a multi-ethnic region of Bugis, Dayak and Javanese. Some of the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom, in Kotawaringin Lama, which still exists are the Astana Al-Nursari, the Kuta Tanah Cemetery, Kyai Gede Mosque, and the Masoraian Lake. The interview results suggest that Astana Al-Nursari will be developed into a museum that integrates with the other three cultural resources. The development plan was initiated by descendants of the Kotawaringin Kingdom, supported by the Regency Government of Kotawaringin Barat. However, until today research on the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom, which is the first step in this development plan, is still limited to studying the historical aspects of the Kotawaringin Kingdom. This research is aimed at understanding the important value of the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom based on current actual conditions. The understanding of these important values is expected to enable the depiction of the characteristics and potential of Kotawaringin Barat which can become the basis for cultural resources management of the Kotawaringin Kingdom. The res","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"4 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127089458","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}