Orang asing di Jawa telah diketahui keberadaannya melalui penyebutan wargga kilalan di prasasti. Prasasti pada masa Airlangga hingga Majapahit dengan gamblang menyebutkan keberadaan orang-orang asing yang dalam hal ini pada konteks penarikan pajak terhadap orang-orang asing tersebut. Salah satu bangsa asing yang mendiami Jawa pada masa Jawa Kuno adalah orang Khmer. Keunikan kasus bermukimnya orang Khmer di Jawa disebutkan pula dalam sumber epigrafi Khmer. Dalam prasasti-prasasti Khmer disebutkan fenomena pemukiman orang Khmer di Jawa, dan diberitakan pula bahwa salah satu raja Khmer pernah menetap di Jawa selama beberapa tahun. Kajian ini berusaha untuk menjawab permasalahan dinamika pendudukan orang Khmer di Jawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan kasus menetapnya orang Khmer di Jawa sebagai suatu fenomena diaspora atau bukan. Tahapan penelitian dilakukan dengan pengumpulan data, analisis, dan interpretasi, dengan data utama berupa prasasti. Kajian ini menghasilkan pemahaman mengenai dinamika motivasi perpindahan tempat bermukim orang Khmer ke Jawa, letak daerah bermukim orang Khmer di Jawa, dan bentuk interaksi orang Khmer dengan orang Jawa. Meskipun demikian, belum ada bukti-bukti yang menguatkan fenomena tersebut sebagai suatu diaspora.
{"title":"ORANG KHMER DI JAWA PADA MASA HINDU-BUDDHA (ABAD KE-9--15 MASEHI): EKSISTENSINYA DIPANDANG DARI TEORI DIASPORA","authors":"Muhamad Alnoza","doi":"10.24832/nw.v15i1.453","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v15i1.453","url":null,"abstract":"Orang asing di Jawa telah diketahui keberadaannya melalui penyebutan wargga kilalan di prasasti. Prasasti pada masa Airlangga hingga Majapahit dengan gamblang menyebutkan keberadaan orang-orang asing yang dalam hal ini pada konteks penarikan pajak terhadap orang-orang asing tersebut. Salah satu bangsa asing yang mendiami Jawa pada masa Jawa Kuno adalah orang Khmer. Keunikan kasus bermukimnya orang Khmer di Jawa disebutkan pula dalam sumber epigrafi Khmer. Dalam prasasti-prasasti Khmer disebutkan fenomena pemukiman orang Khmer di Jawa, dan diberitakan pula bahwa salah satu raja Khmer pernah menetap di Jawa selama beberapa tahun. Kajian ini berusaha untuk menjawab permasalahan dinamika pendudukan orang Khmer di Jawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan kasus menetapnya orang Khmer di Jawa sebagai suatu fenomena diaspora atau bukan. Tahapan penelitian dilakukan dengan pengumpulan data, analisis, dan interpretasi, dengan data utama berupa prasasti. Kajian ini menghasilkan pemahaman mengenai dinamika motivasi perpindahan tempat bermukim orang Khmer ke Jawa, letak daerah bermukim orang Khmer di Jawa, dan bentuk interaksi orang Khmer dengan orang Jawa. Meskipun demikian, belum ada bukti-bukti yang menguatkan fenomena tersebut sebagai suatu diaspora.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"76 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133253867","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara mewariskan artefak-artefak arkeologi yang tersebar di seluruh pelosok kepulauan ini. Salah satu artefak tersebut berupa mukhalingga yang ditemukan di Nanga Sepauk, Kalimantan Barat. Mukhalingga mengandung simbol religi agama Hindu. Simbol tersebut dilatarbelakangi oleh struktur budaya masyarakat yang menciptakan artefak tersebut. Selama ini penelitian arkeologi terhadap mukhalingga membahas hanya kronologi budaya tanpa meneliti aspek struktur budayanya. Penelitian kali ini berupaya mengungkap struktur budaya yang melatarbelakangi pendirian mukhalingga . Tujuan penelitian ini adalah memahami sejarah budaya masyarakat masa lalu di Nanga Sepauk. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis struktural. Analisis dilakukan dengan menguraikan aspek asosiatif dan paradigmatif mukhalingga . Hasil analisis struktural menunjukkan bahwa mukhalingga merupakan wujud dari tiga aspek, yaitu kekuatan Śiwa, siklus kehidupan, dan dualisme gagasan. Pada konteks sejarah budaya di Nanga Sepauk keberadaan mukhalingga menunjukkan adanya Śiwaisme, kultus dewarāja , dan keberadaan mandala. The Hindu-Buddhist culture in Nusantara bequeaths archaeological artefacts scattered throughout the archipelago. One of such artefacts is the mukhalingga found in Nanga Sepauk, West Kalimantan. A mukhalingga contains religious symbols of Hinduism which is formed by the cultural structure of a community who created the artefact. Until today, archaeological studies of mukhalingga discuss only its cultural chronology without examining the structural aspects of the culture. This research attempts to disclose the cultural structure underlying the establishment of a mukhalingga. The objective of this study is to understand the cultural history of the past in Nanga Sepauk. The research method used is qualitative with structural analysis. The analysis is carried out by breaking down the associative and paradigmative aspects of a mukhalingga. The results of structural analysis suggest that a mukhalingga is a manifestation three aspects, i.e. the power of Śiwa , life cycle, and dualism of ideas. Regarding the context of cultural history in Nanga Sepauk the existence of mukhalingga suggests the presence of Śiwaisme, dewarāja cult, and the mandalas.
{"title":"ANALISIS STRUKTURAL PADA MUKHALINGGA DI NANGA SEPAUK, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT (STRUCTURAL ANALYSIS OF MUKHALINGGA IN SEPAUK, KABUPATEN SINTANG, WEST KALIMANTAN)","authors":"Imam Hindarto","doi":"10.24832/NW.V13I1.327","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/NW.V13I1.327","url":null,"abstract":"Kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara mewariskan artefak-artefak arkeologi yang tersebar di seluruh pelosok kepulauan ini. Salah satu artefak tersebut berupa mukhalingga yang ditemukan di Nanga Sepauk, Kalimantan Barat. Mukhalingga mengandung simbol religi agama Hindu. Simbol tersebut dilatarbelakangi oleh struktur budaya masyarakat yang menciptakan artefak tersebut. Selama ini penelitian arkeologi terhadap mukhalingga membahas hanya kronologi budaya tanpa meneliti aspek struktur budayanya. Penelitian kali ini berupaya mengungkap struktur budaya yang melatarbelakangi pendirian mukhalingga . Tujuan penelitian ini adalah memahami sejarah budaya masyarakat masa lalu di Nanga Sepauk. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis struktural. Analisis dilakukan dengan menguraikan aspek asosiatif dan paradigmatif mukhalingga . Hasil analisis struktural menunjukkan bahwa mukhalingga merupakan wujud dari tiga aspek, yaitu kekuatan Śiwa, siklus kehidupan, dan dualisme gagasan. Pada konteks sejarah budaya di Nanga Sepauk keberadaan mukhalingga menunjukkan adanya Śiwaisme, kultus dewarāja , dan keberadaan mandala. The Hindu-Buddhist culture in Nusantara bequeaths archaeological artefacts scattered throughout the archipelago. One of such artefacts is the mukhalingga found in Nanga Sepauk, West Kalimantan. A mukhalingga contains religious symbols of Hinduism which is formed by the cultural structure of a community who created the artefact. Until today, archaeological studies of mukhalingga discuss only its cultural chronology without examining the structural aspects of the culture. This research attempts to disclose the cultural structure underlying the establishment of a mukhalingga. The objective of this study is to understand the cultural history of the past in Nanga Sepauk. The research method used is qualitative with structural analysis. The analysis is carried out by breaking down the associative and paradigmative aspects of a mukhalingga. The results of structural analysis suggest that a mukhalingga is a manifestation three aspects, i.e. the power of Śiwa , life cycle, and dualism of ideas. Regarding the context of cultural history in Nanga Sepauk the existence of mukhalingga suggests the presence of Śiwaisme, dewarāja cult, and the mandalas.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"9 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132176420","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This study clarifies how eco-material culture is exemplified in bird traps and the use in the environment in terms of: 1) the ecological aspects and material culture of bird traps; 2) the practicality of trapping techniques; and 3) the relationships among bird traps, birds, and people from an ethno-archaeological viewpoint. The research target is the Palawan, an indigenous people of Palawan Island, the Philippines. The research methods are interviews and participant observation. The research suggests that current bird traps are made of plant materials with nylon for convenience, but plant materials remain fundamental. Further, since Palawan bird-trapping technology is unrefined, and as traps are sometimes unsuccessful, trapping is likely done for enjoyment and as a challenge. Thus, bird traps connect humans to nature, as reflected in the Palawan’s eco-material culture. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan perangkap burung yang menggunakan bahan-bahan dari tanaman dan penggunaannya di lingkungan, serta membahas tentang: 1) aspek budaya ekologi dan material dari perangkap burung; 2) teknologi perangkap burung; dan 3) hubungan antara burung, perangkap burung, dan manusia dari sudut pandang etnoarkeologi. Metode penelitian ini adalah wawancara dan observasi partisipan. Target penelitian adalah penduduk asli Pulau Palawan di Filipina. Penulis memastikan bahwa perangkap burung yang biasa digunakan pada masa kini dibuat dari bahan tanaman dan plastik nilon untuk kemudahan. Sementara itu, masyarakat Palawan masih menggunakan bahanbahan tanaman sebagai bahan utama dalam membuat perangkap burung, dan teknologi yang digunakan merupakan perkembangan dari metode perangkap tradisional. Tujuan masyarakat Palawan menggunakan perangkap bukan sematamata untuk menangkap burung, tetapi untuk menakut-nakutinya juga agar penduduk dapat hidup berdampingan dengan burung di lingkungannya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perangkap burung merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk hidup berdampingan dengan burung dan merefleksikan prinsip hidup masyarakat alami yang hidup berpusat pada budaya ekosistem dan material.
本文从以下几个方面阐述了生态物质文化在捕鸟器中的体现及其在环境中的应用:1)捕鸟器的生态方面和物质文化;2)诱捕技术的实用性;3)从民族考古学的角度探讨捕鸟器、鸟与人之间的关系。研究对象是菲律宾巴拉望岛的土著居民巴拉望族。研究方法为访谈法和参与式观察法。研究表明,目前的捕鸟器是由植物材料制成的,为了方便,尼龙,但植物材料仍然是基本的。此外,由于巴拉望岛的捕鸟技术尚不完善,捕鸟器有时也不成功,所以捕鸟很可能是为了娱乐和挑战。因此,捕鸟器将人类与自然联系起来,这反映在巴拉望岛的生态物质文化中。图juan dari penelitian ini adalah menjelaskan perangkap burung yang menggunakan bahan-bahan dari tanaman dan penggunaannya di lingkungan, serta membahas tentung: 1)说budaya生态学和材料dari perangkap burung;2)科技perangkap burung;(3) hubungan antara burung, perangkap burung, danmanusia dari sudut pandang etnoarkeology。在观测过程中观察到的数据。目标penelitian adalah penduduk是菲律宾巴拉望岛。Penulis memastikan bahwa perangkap burung yang biasa digunakan pada masa kini dibuat dari bahan tanaman dan plastiks untuk kemudahan。Sementara itu, masyarakat Palawan masih menggunakan bahanbahan tanaman sebagai bahan utama dalam成员perangkap burung, dan technologii yang digunakan merupakan perkembangan dari metode perangkap traditional。在巴拉望岛上,在巴拉望岛上,在巴拉望岛上,在巴拉望岛上,在巴拉望岛上,在巴拉望岛上,在巴拉望岛上,在巴拉望岛上,在巴拉望岛上。Dari hasil penelitian dapat dispulpulkan bahwa perangkap burung merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk hidup berpulat alami yang hidup berpusat pada budaya生态系统和材料。
{"title":"AN ECO-MATERIAL CULTURAL STUDY ON BIRD TRAPS AMONG THE PALAWAN OF THE PHILIPPINES (STUDI BUDAYA EKOLOGI DAN MATERIAL PERANGKAP BURUNG PADA MASYARAKAT PALAWAN DI PULAU PALAWAN, FILIPINA)","authors":"Takashi Tsuji","doi":"10.24832/NW.V13I1.323","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/NW.V13I1.323","url":null,"abstract":"This study clarifies how eco-material culture is exemplified in bird traps and the use in the environment in terms of: 1) the ecological aspects and material culture of bird traps; 2) the practicality of trapping techniques; and 3) the relationships among bird traps, birds, and people from an ethno-archaeological viewpoint. The research target is the Palawan, an indigenous people of Palawan Island, the Philippines. The research methods are interviews and participant observation. The research suggests that current bird traps are made of plant materials with nylon for convenience, but plant materials remain fundamental. Further, since Palawan bird-trapping technology is unrefined, and as traps are sometimes unsuccessful, trapping is likely done for enjoyment and as a challenge. Thus, bird traps connect humans to nature, as reflected in the Palawan’s eco-material culture. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan perangkap burung yang menggunakan bahan-bahan dari tanaman dan penggunaannya di lingkungan, serta membahas tentang: 1) aspek budaya ekologi dan material dari perangkap burung; 2) teknologi perangkap burung; dan 3) hubungan antara burung, perangkap burung, dan manusia dari sudut pandang etnoarkeologi. Metode penelitian ini adalah wawancara dan observasi partisipan. Target penelitian adalah penduduk asli Pulau Palawan di Filipina. Penulis memastikan bahwa perangkap burung yang biasa digunakan pada masa kini dibuat dari bahan tanaman dan plastik nilon untuk kemudahan. Sementara itu, masyarakat Palawan masih menggunakan bahanbahan tanaman sebagai bahan utama dalam membuat perangkap burung, dan teknologi yang digunakan merupakan perkembangan dari metode perangkap tradisional. Tujuan masyarakat Palawan menggunakan perangkap bukan sematamata untuk menangkap burung, tetapi untuk menakut-nakutinya juga agar penduduk dapat hidup berdampingan dengan burung di lingkungannya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perangkap burung merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk hidup berdampingan dengan burung dan merefleksikan prinsip hidup masyarakat alami yang hidup berpusat pada budaya ekosistem dan material.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"84 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134034564","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sedikitnya studi naskah pengobatan ini karena keberadaan naskah pengobatan sulit ditemukan. Naskah pengobatan adalah naskah rahasia yang disembunyikan dari orang lain karena bacaannya bersifat magis, dan tidak semua orang dapat membacanya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi penelitian lain yang membahas tentang mantra pengobatan yang bersumber dari naskah lama. Selain itu, penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan manuskrip lama yang memuat informasi tentang kehidupan dan budaya masa lampau, melestarikan tradisi lisan mantra dan pengobatan tradisional Banjar yang mulai punah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menerapkan kodikologi dan menganalisis isi teks mantra pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah mantra pengobatan ditulis dengan bahasa Banjar berbentuk prosa dan beraksara Arab Melayu. Naskah ini memuat keterangan tentang kumpulan obat-obatan herbal, termasuk bacaan, mantra, wafak, isim, dan azimat. Lebih lanjut, bacaan dalam naskah ini diklasifikasikan dalam empat bentuk, yaitu doa, ayat Alquran, selawat, dan syahadat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Banjar sejak zaman dulu sudah menggunakan berbagai media dalam melakukan pengobatan. The lack of study on healing manuscripts is due to the difficulties in finding such texts. A healing manuscript is a secret text that is kept hidden from others because it contains magic script, and not everyone is able to read it. This research is proposed as basis for other studies on healing mantra originating from old manuscripts. Further, this research is conducted as an effort to preserve old manuscripts that contain information concerning life and culture of the past, preserve the oral traditions of mantra, and traditional Banjarese healings that are becoming extinct. The research method used was descriptive by applying codicology and analyzing the contents of healing mantra. Results of this research indicate that the texts of healing mantra was written as proses in Banjarese using Arabic-Malay letters. The text contains information of a collection of herbal concoctions, including scripts, incantations, wafak, isim, and amulets. Furthermore, the literatures in this manuscript are classified into four structures, i.e. prayer, verses of the Koran, selawat, and shahada. Results of this study indicate that the Banjar community has used various media to conduct healing treatment since ancient times.
由于医学文献的存在很难找到,所以至少对这些医学文献进行了研究。治疗是一种对他人隐藏的秘密脚本,因为它是神奇的,不是每个人都能读懂它。这项研究预计将为其他涉及从旧文献中提取的治疗咒语的研究奠定基础。此外,这个研究努力保留旧手稿包含了生活和文化信息的事,在古时就说出未来保存口头传统的咒语和传统医学班加尔开始灭绝。使用的研究方法是运用辅导法和分析治疗咒语的内容来进行描述性研究。研究结果表明,剧本写咒语治疗Banjar形状的散文语言和阿拉伯beraksara马来语。它包含关于一系列草药的信息,包括阅读、咒语、wafak、isim和符咒。此外,本手稿的文献分为四种形式:祈祷、《可兰经》经文、沙拉瓦和沙哈达。这项研究结果表明,Banjar自从古代社会中使用各种媒体做治疗。《study on缺乏治疗》的手稿是帐款difficulties在找到这样的文献。A治疗manuscript is A secret短信就是在隐藏从其他人,因为it contains神奇的剧本,而不是每个人都是able to read it。这研究基地是美国proposed给其他studies on治疗originating从旧手稿的咒语。美国,这离research is conducted努力去保存旧手稿那包容的资讯网concerning过去的生活和文化,保存之口交traditions咒语,和传统Banjarese healings那是extinct的提供者。研究方法以前是descriptive by applying codicology和analyzing治疗法术之地点。这项研究的结果是,治疗文本的内容用阿拉伯语信件写在Banjarese的书上。文本包含草药集合、包括脚本、感染、wafak、isim和变形虫的信息。Furthermore,这篇手稿的文学作品分为四种结构、i.e.祈祷文、报纸散文、selawat和shahada。这项研究的结果是,Banjar社区利用不同的媒体从古时代起就进行了治疗。
{"title":"MANTRA PENGOBATAN DALAM NASKAH BANJAR (HEALING MANTRA IN BANJARESE MANUSCRIPT)","authors":"D. Hidayatullah","doi":"10.24832/NW.V13I1.322","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/NW.V13I1.322","url":null,"abstract":"Sedikitnya studi naskah pengobatan ini karena keberadaan naskah pengobatan sulit ditemukan. Naskah pengobatan adalah naskah rahasia yang disembunyikan dari orang lain karena bacaannya bersifat magis, dan tidak semua orang dapat membacanya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi penelitian lain yang membahas tentang mantra pengobatan yang bersumber dari naskah lama. Selain itu, penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan manuskrip lama yang memuat informasi tentang kehidupan dan budaya masa lampau, melestarikan tradisi lisan mantra dan pengobatan tradisional Banjar yang mulai punah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menerapkan kodikologi dan menganalisis isi teks mantra pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah mantra pengobatan ditulis dengan bahasa Banjar berbentuk prosa dan beraksara Arab Melayu. Naskah ini memuat keterangan tentang kumpulan obat-obatan herbal, termasuk bacaan, mantra, wafak, isim, dan azimat. Lebih lanjut, bacaan dalam naskah ini diklasifikasikan dalam empat bentuk, yaitu doa, ayat Alquran, selawat, dan syahadat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Banjar sejak zaman dulu sudah menggunakan berbagai media dalam melakukan pengobatan. The lack of study on healing manuscripts is due to the difficulties in finding such texts. A healing manuscript is a secret text that is kept hidden from others because it contains magic script, and not everyone is able to read it. This research is proposed as basis for other studies on healing mantra originating from old manuscripts. Further, this research is conducted as an effort to preserve old manuscripts that contain information concerning life and culture of the past, preserve the oral traditions of mantra, and traditional Banjarese healings that are becoming extinct. The research method used was descriptive by applying codicology and analyzing the contents of healing mantra. Results of this research indicate that the texts of healing mantra was written as proses in Banjarese using Arabic-Malay letters. The text contains information of a collection of herbal concoctions, including scripts, incantations, wafak, isim, and amulets. Furthermore, the literatures in this manuscript are classified into four structures, i.e. prayer, verses of the Koran, selawat, and shahada. Results of this study indicate that the Banjar community has used various media to conduct healing treatment since ancient times.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"271 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114329491","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dwi Kurnia Sandy, Natasha Devanand Dhanwani, Alem Putra Arma, Sandy Maulana Yusuf, Fuad Anshori, Sultan Kurnia Alam Bagagasyah, Muhammad Destrianto, Sheila Ayu Rachmadiena, Mahardika Budiansyah, Muslim Dimas Khoir, Fairus Aziz, Nurdin Nasir Gusfa, A.Azzam Rabbani
Sebagai daerah terdepan negara Indonesia, Sangihe menyajikan sumber daya arkeologi yang belum banyak diketahui masyarakat. Hal ini wajar karena para peneliti yang fokus pada kebudayaan jarang memperhatikan tinggalantinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan perbatasan. Tulisan ini memaparkan potensi tinggalan arkeologis di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang berada di kawasan utara Pulau Sulawesi yang berbatasan dengan kawasan selatan negara Filipina. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan arkeologis dengan mengkaji tinggalan-tinggalan bendawi seperti kapal karam, rumah kuno, makam, dan keramik kuno, serta didukung pendekatan etnohistoris yang menekankan pada data etnografi dan arsip sejarah. Penelitian ini bersifat eksploratif dan pengumpulan data dilakukan dengan penyelaman di perairan Sangihe. Hasil penelitian adalah identifikasi dan deskripsi tinggalan arkeologis di kawasan kepulauan Sangihe yang menunjukkan kawasan tersebut adalah pintu gerbang utara dalam konteks penyebaran kebudayaan ke kepulauan Nusantara, serta pemanfaatan potensi tinggalan arkeologis untuk pariwisata. Selanjutnya, diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian. As the frontier region of Indonesia, Sangihe presents archaeological resources that have not yet known by the public. Such circumstance is understandable since researchers who focus on culture rarely pay attention on archaeological remains discovered in the border regions. This paper describes the potential of archaeological remains in Kabupaten Kepulauan Sangihe on the northern region of Island Sulawesi that borders with the southern region of the Philippines. This research was conducted using an archaeological approach by examining material remains such as shipwrecks, ancient houses, tombs, and ancient ceramics, and supported by an ethnistorical approach emphasising on the study of ethnography and historical archives. This is an explorative research and data collection is carried out by diving in Sangihe waters. The results of this investigation are identifications and descriptions of archaeological remains in the Sangihe archipelago that suggest the region as the northern gate in the context of culture distribution into Nusantara, as well as the use of potential archaeological remains for tourism. Further, this present study is expected to be a reference for future projections.
{"title":"POTENSI TINGGALAN ARKEOLOGI DAN PARIWISATA DI KEPULAUAN SANGIHE, PROVINSI SULAWESI UTARA (THE POTENCY OF ARCHAEOLOGICAL REMAINS AND TOURISM IN ISLAND SANGIHE, NORTH SULAWESI PROVINCE)","authors":"Dwi Kurnia Sandy, Natasha Devanand Dhanwani, Alem Putra Arma, Sandy Maulana Yusuf, Fuad Anshori, Sultan Kurnia Alam Bagagasyah, Muhammad Destrianto, Sheila Ayu Rachmadiena, Mahardika Budiansyah, Muslim Dimas Khoir, Fairus Aziz, Nurdin Nasir Gusfa, A.Azzam Rabbani","doi":"10.24832/NW.V13I1.325","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/NW.V13I1.325","url":null,"abstract":"Sebagai daerah terdepan negara Indonesia, Sangihe menyajikan sumber daya arkeologi yang belum banyak diketahui masyarakat. Hal ini wajar karena para peneliti yang fokus pada kebudayaan jarang memperhatikan tinggalantinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan perbatasan. Tulisan ini memaparkan potensi tinggalan arkeologis di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang berada di kawasan utara Pulau Sulawesi yang berbatasan dengan kawasan selatan negara Filipina. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan arkeologis dengan mengkaji tinggalan-tinggalan bendawi seperti kapal karam, rumah kuno, makam, dan keramik kuno, serta didukung pendekatan etnohistoris yang menekankan pada data etnografi dan arsip sejarah. Penelitian ini bersifat eksploratif dan pengumpulan data dilakukan dengan penyelaman di perairan Sangihe. Hasil penelitian adalah identifikasi dan deskripsi tinggalan arkeologis di kawasan kepulauan Sangihe yang menunjukkan kawasan tersebut adalah pintu gerbang utara dalam konteks penyebaran kebudayaan ke kepulauan Nusantara, serta pemanfaatan potensi tinggalan arkeologis untuk pariwisata. Selanjutnya, diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian. As the frontier region of Indonesia, Sangihe presents archaeological resources that have not yet known by the public. Such circumstance is understandable since researchers who focus on culture rarely pay attention on archaeological remains discovered in the border regions. This paper describes the potential of archaeological remains in Kabupaten Kepulauan Sangihe on the northern region of Island Sulawesi that borders with the southern region of the Philippines. This research was conducted using an archaeological approach by examining material remains such as shipwrecks, ancient houses, tombs, and ancient ceramics, and supported by an ethnistorical approach emphasising on the study of ethnography and historical archives. This is an explorative research and data collection is carried out by diving in Sangihe waters. The results of this investigation are identifications and descriptions of archaeological remains in the Sangihe archipelago that suggest the region as the northern gate in the context of culture distribution into Nusantara, as well as the use of potential archaeological remains for tourism. Further, this present study is expected to be a reference for future projections.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124911400","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian tentang taman dari masa Hindu-Buddha pada abad ke-9 Masehi selama ini belum banyak dilakukan. Hal ini karena jarang ditemukannya tinggalan arkeologis berupa taman dari masa tersebut. Namun, prasasti Jurungan berangka tahun 798 Saka (876 Masehi) membuktikan bahwa ada taman dari abad ke-9 Masehi dengan status sA®ma bagi prA¢sA¢da di Gunung Hyang. Penelitian ini penting dilakukan untuk memahami karakterisktik taman di Jawa pada abad ke-9 Masehi dan hubungan taman sA®ma dengan prA¢sA¢da. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah melengkapi pengetahuan mengenai lanskap taman pada wilayah Mataram Hindu abad ke-9 Masehi dan merekonstruksi budaya masyarakat Jawa pada masa itu. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah, dan dilakukan dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dari buku-buku, laporan penelitian, artikel ilmiah, dan naskah kesastraan. Pembacaan prasasti Jurungan dilakukan secara langsung dan terhadap hasil alih aksara prasasti. Analisis prasasti didukung pula oleh pengamatan relief pada Candi Borobudur dan Prambanan, serta pengamatan lanskap taman Keraton Boko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa taman sA®ma pada prasasti Jurungan memiliki unsur penting berupa tanaman dan air yang mendukung kelangsungan prA¢sA¢da sebagai bangunan suci di Gunung Hyang. Lebih lanjut, disebutkan pula tentang pemenuhan kebutuhan akan buah atau bunga persembahan untuk prA¢sA¢da ataupun kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar yang mengelola prA¢sA¢da. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taman sA®ma, prA¢sA¢da, dan Gunung Hyang secara konseptual merupakan lanskap sakral yang dibentuk menjadi satu kesatuan sebagai perwujudan konsep kosmologi masyarakat Hindu di Jawa pada abad ke-9 Masehi. Little researches on gardens from the ninth century Hindu-Buddhist period are conducted due to the few discoveries of archaeological remains that indicate gardens. However, the Jurungan inscription dated 798 Saka (876 CE) proves the existence of a garden from the ninth century with a status of sA®ma for a prA¢sA¢da on Gunung Hyang. The significance of this research is to understand the characteristics of a garden in Java during the ninth century and the relationship between a sA®ma garden and prA¢sA¢da. Additionally, the objective of this study is to obtain a comprehensive knowledge of a garden landscape in the ninth century Hindu Mataram region and reconstruct the culture of the Javanese society then. This study uses a historical approach, and data collection is carried out by literature studies from books, research reports, scientific articles, and literary texts. Reading the Jurungan inscription was conducted both from the script and its transliteration. The inscription analysis was also supported by a study of the reliefs on the temples Borobudur and Prambanan, as well as landscape observations of the Boko palace garden. Research results suggest that the sA®ma garden mentioned in the Jurungan inscription has important elements of plants and water that
从公元9世纪的印度教到佛教时期,对花园的研究并没有取得多大成就。这是因为那个时代的花园很少被考古发现。然而,字编号Jurungan 7.98二重身(876年)证明有与sA®地位于公元9世纪的花园为预¢sA¢da ma在山香。本研究的重要的事情是理解karakterisktik公园在公元9世纪爪哇和sA®和预¢sA¢da ma。此外,这项研究的目的是补充对公元9世纪印度教马塔兰地区花园景观的了解,并重建当时的爪哇文化。该研究采用了历史的方法,并通过对书籍、研究报告、科学文章和文学文本的库研究来实现数据收集技术。替我念,替我念!婆罗浮屠和Prambanan寺庙的浮雕,以及Boko植物园的景观,也支持了对铭文的分析。研究结果表明,马公园sA®的铭文Jurungan有植物和水的基本要素支持预¢sA¢生存达作为神圣的建筑在山上的香。进一步,果实将提到怎样满足需求或鲜花祭品献给预¢sA¢da或管理的社会经济需求大约预¢sA¢哒。从而推断马公园sA®,¢sA¢哒,和前山香在概念上是神圣的景观塑造成一个整体概念的化身宇宙学公元9世纪爪哇的印度教社会。从九个世纪的佛教选区开始,对花园的一些观察受到了影响,这些研究只针对少数被发现的考古遗迹。二重身,但是,《Jurungan inscription dated 7.98存在》(876 CE) proves和a status of a花园从《第九世纪预¢sA sA马®for a¢达在山香。之遗迹”这个研究是需要理解Java characteristics of a花园》期间《第九世纪与马之间关系a sA®花园和预¢sA¢da。此外,这项研究的目的是在19世纪印度马塔拉姆地区对花园景观的综合知识,以及当时日本社会的文化的重建。这项研究是一种历史上的发现,而收集数据是由来自书本、研究报告、科学文章和文学文本的文学研究所考虑的。阅读剧本及其转录的标题。本文的分析还得到了对寺庙婆罗浮屠和Prambanan的研究。研究results建议那境花园sA®ma mentioned Jurungan inscription有植物和水的重要文本,以至于支持预¢continuity》a sA¢da美国圣vesalius on山香。更远,《inscription也mentioned关于fulfilling需要花为水果或预¢sA¢offerings for the da或经济需求》surrounding communities who预¢sA¢maintained《da。Conclusively《sA®ma研究suggests花园,¢sA¢哒,和前山香是conceptually圣landscapes那是formed进入a美国实体单曲《cosmological manifestation印度教society in Java during the第九世纪的理念。
{"title":"TAMAN SÎMA PADA PRÂSÂDA DI GUNUNG HYANG (JAWA ABAD IX M) (SÎMA GARDEN IN A PRÂSÂDA ON GUNUNG HYANG (JAVA IN THE NINTH CENTURY))","authors":"Mimi Savitri","doi":"10.24832/NW.V13I1.326","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/NW.V13I1.326","url":null,"abstract":"Penelitian tentang taman dari masa Hindu-Buddha pada abad ke-9 Masehi selama ini belum banyak dilakukan. Hal ini karena jarang ditemukannya tinggalan arkeologis berupa taman dari masa tersebut. Namun, prasasti Jurungan berangka tahun 798 Saka (876 Masehi) membuktikan bahwa ada taman dari abad ke-9 Masehi dengan status sA®ma bagi prA¢sA¢da di Gunung Hyang. Penelitian ini penting dilakukan untuk memahami karakterisktik taman di Jawa pada abad ke-9 Masehi dan hubungan taman sA®ma dengan prA¢sA¢da. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah melengkapi pengetahuan mengenai lanskap taman pada wilayah Mataram Hindu abad ke-9 Masehi dan merekonstruksi budaya masyarakat Jawa pada masa itu. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah, dan dilakukan dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dari buku-buku, laporan penelitian, artikel ilmiah, dan naskah kesastraan. Pembacaan prasasti Jurungan dilakukan secara langsung dan terhadap hasil alih aksara prasasti. Analisis prasasti didukung pula oleh pengamatan relief pada Candi Borobudur dan Prambanan, serta pengamatan lanskap taman Keraton Boko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa taman sA®ma pada prasasti Jurungan memiliki unsur penting berupa tanaman dan air yang mendukung kelangsungan prA¢sA¢da sebagai bangunan suci di Gunung Hyang. Lebih lanjut, disebutkan pula tentang pemenuhan kebutuhan akan buah atau bunga persembahan untuk prA¢sA¢da ataupun kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar yang mengelola prA¢sA¢da. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taman sA®ma, prA¢sA¢da, dan Gunung Hyang secara konseptual merupakan lanskap sakral yang dibentuk menjadi satu kesatuan sebagai perwujudan konsep kosmologi masyarakat Hindu di Jawa pada abad ke-9 Masehi. Little researches on gardens from the ninth century Hindu-Buddhist period are conducted due to the few discoveries of archaeological remains that indicate gardens. However, the Jurungan inscription dated 798 Saka (876 CE) proves the existence of a garden from the ninth century with a status of sA®ma for a prA¢sA¢da on Gunung Hyang. The significance of this research is to understand the characteristics of a garden in Java during the ninth century and the relationship between a sA®ma garden and prA¢sA¢da. Additionally, the objective of this study is to obtain a comprehensive knowledge of a garden landscape in the ninth century Hindu Mataram region and reconstruct the culture of the Javanese society then. This study uses a historical approach, and data collection is carried out by literature studies from books, research reports, scientific articles, and literary texts. Reading the Jurungan inscription was conducted both from the script and its transliteration. The inscription analysis was also supported by a study of the reliefs on the temples Borobudur and Prambanan, as well as landscape observations of the Boko palace garden. Research results suggest that the sA®ma garden mentioned in the Jurungan inscription has important elements of plants and water that ","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"126 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124214102","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Batimung dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus lebih banyak dikenal untuk acara prosesi pernikahan dan sangat sedikit yang mengetahui bahwa batimung selain untuk kesehatan juga untuk pengobatan penyakit di antaranya penyakit wisa (hepatitis). Oleh karena itu, masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana tradisi pengobatan batimung hidup dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus. Tujuan penelitian ini akan enguraikan secara terperinci keberadaan batimung Banjar dan Dayak Meratus sebagai warisan tradisi nenek moyang yang telah sejak lama di Kalimantan Selatan yang berdampingan dengan budaya modern. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif ialah suatu metode untuk memperoleh informasi tentang tata cara pengobatan batimung dalam masyarakat Banjar. Hasil penelitian memberi gambaran tentang pengobatan batimung dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. The healing tradition of Batimung in the communities of Banjar and Dayak Meratus is recognised as part of a wedding ceremony, but only few knows that this tradition is benefitted also to cure hepatitis. Thus, a research question arises regarding the continuous existence of batimung in the communities of Banjar and Dayak Meratus today. The objective of this research was to understand how batimung healing tradition coexist with modern culture. This was a descriptive-qualitative research which emphasised on observation and description on the procedure of batimung as a healing therapy. Hence, the result provided a comprehensive information on batimung hich has been practiced by the communities of Banjar and Dayak Meratus until today.
{"title":"TRADISI PENGOBATAN BATIMUNG DALAM MASYARAKAT BANJAR DAN DAYAK MERATUS DI KALIMANTAN SELATAN (BATIMUNG HEALING TRADITION OF THE BANJARESE AND DAYAK MERATUS COMMUNITY IN SOUTH KALIMANTAN)","authors":"nFn Saefuddin, Sisva Maryadi","doi":"10.24832/nw.v12i2.307","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v12i2.307","url":null,"abstract":"Batimung dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus lebih banyak dikenal untuk acara prosesi pernikahan dan sangat sedikit yang mengetahui bahwa batimung selain untuk kesehatan juga untuk pengobatan penyakit di antaranya penyakit wisa (hepatitis). Oleh karena itu, masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana tradisi pengobatan batimung hidup dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus. Tujuan penelitian ini akan enguraikan secara terperinci keberadaan batimung Banjar dan Dayak Meratus sebagai warisan tradisi nenek moyang yang telah sejak lama di Kalimantan Selatan yang berdampingan dengan budaya modern. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif ialah suatu metode untuk memperoleh informasi tentang tata cara pengobatan batimung dalam masyarakat Banjar. Hasil penelitian memberi gambaran tentang pengobatan batimung dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. The healing tradition of Batimung in the communities of Banjar and Dayak Meratus is recognised as part of a wedding ceremony, but only few knows that this tradition is benefitted also to cure hepatitis. Thus, a research question arises regarding the continuous existence of batimung in the communities of Banjar and Dayak Meratus today. The objective of this research was to understand how batimung healing tradition coexist with modern culture. This was a descriptive-qualitative research which emphasised on observation and description on the procedure of batimung as a healing therapy. Hence, the result provided a comprehensive information on batimung hich has been practiced by the communities of Banjar and Dayak Meratus until today.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"213 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131741490","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Bangunan cagar budaya di Kota Surakarta merupakan peninggalan sejarah dari masa kolonial di Indonesia. Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bangunan- bangunan tersebut dapat dikategorikan sebagai Bangunan Cagar Budaya jika telah melalui proses pendaftaran atau register, penilaian hingga ditetapkan sesuai dengan peringkatnya. Penilaian cagar budaya khususnya dari jenis bangunan dilakukan dalam rangka penyusunan rekomendasi untuk penetapan. Bentuk penilaian tersebut belum banyak diketahui mekanismenya. Penelitian ini melakukan cara penilaian dengan menggunakan metode analisis kuantitatif berjenjang dengan faktor pembobot. Proses perolehan hasil akhir dari penilaian dilakukan dengan menggunakan algoritma matematika, sehingga proses penilaiandapat terlihat dalam satu rangkaian proses yang berurutan dan sistematis. Hasil penilaian dengan model penilaian tersebut digunakan untuk memperoleh nilai akhir bagi sebuah bangunan dalam bentuk kelas rekomendasi untuk penetapan bangunan cagar budaya. Dalam penelitian ini diajukan empat kelas, yaitu kelas bangunan dengan tidak atau kurang direkomendasikan, kelas bangunan direkomendasikan dengan level cukup, kelas bangunan direkomendasikan dengan level kuat, dan kelas bangunan yang direkomendasikan dengan level mendesak. Keempat level ini berkaitan erat dengan skala prioritas dalam rangkaian kegiatan penetapan sebagai bangunan cagar budaya. Peneitian ini menghasilkan nilai yang bersifat kuantitatif dan terukur secara ilmiah dan memberikan dinamika positif dalam cara penilaian bangunan untuk penetapan cagar budaya. Cultural heritage buildings in Surakarta are historical relics from Indonesian colonial period. The law number 11, year 2010 of the Republic of Indonesia concerning and cultural archaelogical preservation and management classifiesthese buildings as Cultural Heritage Building, after passing through multiple registration process. The assessment of cultural heritage nomination, especially based on types of building, is carried out in the framework of preparing recommendations for its establishment. Unfortunately, the assesment mechanism has not been widely understood. This study carried out the evaluation using a tiered quantitative analysis method with a weighing factor. The process to obtain final assessment results is achieved by using a mathematical algorithm. The assessment process can be visually observed in sequential and systematic processes. By using this method, the assesment results a formula that can be used to obtain the final value for a building which classified into several recommendations for the establishment of a cultural heritage building. The study claims that at least here are four classes of recommendation levels; building classes with no or less recommended, recommended building classes with sufficient levels; recommended building classes with strong levels; and recommended building classes with urgent levels. These four levels are clo
日惹市的地标建筑是印度尼西亚殖民时期的历史遗迹。2010年,印度尼西亚共和国关于保护区的第11号法律规定,如果这些建筑物通过登记或登记的程序,可以将其归类为保留区建筑。根据任命的建议,保护区对具体类型的建筑进行了特别的评估。这种评估形式的性质还不太了解它的机制。本研究采用采用高分量分量的定量分析方法进行评估。评估的最终收获过程是使用数学算法进行的,这样评估过程就可以看到连续的、系统的过程。这种评估模式的评估结果被用来获得一个建筑的最终价值,以建立一个保护区建筑推荐类。在这项研究中,它提出了四个类,即不推荐或不推荐的构建类,适当的构建构建类,强有力的构建类,以及紧急的构建类。这四个层次与作为一个保护区建筑的一系列优先事项的规模密切相关。定量Peneitian它产生的价值和科学测量和提供积极的动态建筑评级方法制定保留区。A文化遗产能耗在日惹是印尼历史遗迹从殖民地时期。法律11号,2010年《印度尼西亚共和国concerning文化古文物保护和管理classifiesthese能耗穿越之后的美国传统文化建设、多发性registration的过程。文化传统nomination,尤其是评估》改编自types of建设框架》,是carried out in preparing recommendations for its体制。不幸的是,评估机制并不容易理解。这项研究采用了一个异常量量分析方法的方法。使用数学算法进行最后评估的过程正在实现。过程可以在顺序和系统过程中进行视觉观察。通过使用这种方法,可以用来确定一种机密建筑的最终价值的配方。调查显示,至少有四节要求建设课没有或没有重复的要求,重载的建设课与适度的要求;重构建设与强力结合;以及紧急楼梯间的重新组合。这四层相对于一组文化遗产中的优先级。这是一项具有价值的研究产品,其价值在于对文化遗产的建立过程的评估和应用。
{"title":"MODEL PENILAIAN KUANTITATIF BANGUNAN CAGAR BUDAYA KOTA SURAKARTA (QUANTITATIVE VALUING MODEL OF HERITAGE BUILDINGS IN SURAKARTA CITY)","authors":"Andi Putranto, Dwi Pradnyawan","doi":"10.24832/NW.V12I2.313","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/NW.V12I2.313","url":null,"abstract":"Bangunan cagar budaya di Kota Surakarta merupakan peninggalan sejarah dari masa kolonial di Indonesia. Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bangunan- bangunan tersebut dapat dikategorikan sebagai Bangunan Cagar Budaya jika telah melalui proses pendaftaran atau register, penilaian hingga ditetapkan sesuai dengan peringkatnya. Penilaian cagar budaya khususnya dari jenis bangunan dilakukan dalam rangka penyusunan rekomendasi untuk penetapan. Bentuk penilaian tersebut belum banyak diketahui mekanismenya. Penelitian ini melakukan cara penilaian dengan menggunakan metode analisis kuantitatif berjenjang dengan faktor pembobot. Proses perolehan hasil akhir dari penilaian dilakukan dengan menggunakan algoritma matematika, sehingga proses penilaiandapat terlihat dalam satu rangkaian proses yang berurutan dan sistematis. Hasil penilaian dengan model penilaian tersebut digunakan untuk memperoleh nilai akhir bagi sebuah bangunan dalam bentuk kelas rekomendasi untuk penetapan bangunan cagar budaya. Dalam penelitian ini diajukan empat kelas, yaitu kelas bangunan dengan tidak atau kurang direkomendasikan, kelas bangunan direkomendasikan dengan level cukup, kelas bangunan direkomendasikan dengan level kuat, dan kelas bangunan yang direkomendasikan dengan level mendesak. Keempat level ini berkaitan erat dengan skala prioritas dalam rangkaian kegiatan penetapan sebagai bangunan cagar budaya. Peneitian ini menghasilkan nilai yang bersifat kuantitatif dan terukur secara ilmiah dan memberikan dinamika positif dalam cara penilaian bangunan untuk penetapan cagar budaya. Cultural heritage buildings in Surakarta are historical relics from Indonesian colonial period. The law number 11, year 2010 of the Republic of Indonesia concerning and cultural archaelogical preservation and management classifiesthese buildings as Cultural Heritage Building, after passing through multiple registration process. The assessment of cultural heritage nomination, especially based on types of building, is carried out in the framework of preparing recommendations for its establishment. Unfortunately, the assesment mechanism has not been widely understood. This study carried out the evaluation using a tiered quantitative analysis method with a weighing factor. The process to obtain final assessment results is achieved by using a mathematical algorithm. The assessment process can be visually observed in sequential and systematic processes. By using this method, the assesment results a formula that can be used to obtain the final value for a building which classified into several recommendations for the establishment of a cultural heritage building. The study claims that at least here are four classes of recommendation levels; building classes with no or less recommended, recommended building classes with sufficient levels; recommended building classes with strong levels; and recommended building classes with urgent levels. These four levels are clo","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"74 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127657340","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sumur Putaran adalah istilah lokal dari suatu bangunan bata, bagian dari konstruksi tambang batu bara Oranje Nassau, di Desa Pengaron. Sebagian bangunan dari Sumur Putaran rusak oleh alam dan agen manusia, dan batu bata yang tersingkap menunjukkan berbagai jenis pemasangan batu bata. Korelasi antara jenis pemasangan batu bata dan arsitekturnya menarik dan belum diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fungsi dari berbagai jenis pemasangan batu bata di Sumur Putaran dan hubungannya dengan konstruksi tambang batu bara bawah tanah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penalaran induktif dan pendekatan deskriptif-komparatif. Data primer yang dikumpulkan dari lapangan dijelaskan dan dibandingkan dengan data sekunder dari studi literatur. Kesimpulannya adalah bahwa teknik pemasangan batu bata dari Oranje Nassau memiliki fungsi struktural dan visual. Sumur Putaran is a local term of a brick building, a part of the Oranje Nassau coal mine construction, in Pengaron Village. Sumur Putaran is partially damaged by nature and human agent, and bricks are exposed showing different types of brick installation. The correlation between the types of brick installation and its architecture is intriguing and has not been studied. This research aims to identify the function of different types of brick installation at Sumur Putaran and their relationship with the underground coal mine construction. This research used qualitative method with inductive reasoning and comparative-descriptive approach. The primary data collected from the field was described and compared with secondary data from literature studies. The conclusion is that the brick installation technique of the Oranje Nassau has both structural and visual functions.
{"title":"TEKNOLOGI PEMASANGAN BATA PADA BANGUNAN SUMUR PUTARAN DI TAMBANG BATU BARA ORANJE NASSAU, PENGARON (BRICKLAYING TECHNOLOGY ON SUMUR PUTARAN BUILDING AT ORANJE NASSAU COAL MINE, PENGARON)","authors":"Restu Budi Sulistiyo","doi":"10.24832/NW.V12I2.309","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/NW.V12I2.309","url":null,"abstract":"Sumur Putaran adalah istilah lokal dari suatu bangunan bata, bagian dari konstruksi tambang batu bara Oranje Nassau, di Desa Pengaron. Sebagian bangunan dari Sumur Putaran rusak oleh alam dan agen manusia, dan batu bata yang tersingkap menunjukkan berbagai jenis pemasangan batu bata. Korelasi antara jenis pemasangan batu bata dan arsitekturnya menarik dan belum diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fungsi dari berbagai jenis pemasangan batu bata di Sumur Putaran dan hubungannya dengan konstruksi tambang batu bara bawah tanah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penalaran induktif dan pendekatan deskriptif-komparatif. Data primer yang dikumpulkan dari lapangan dijelaskan dan dibandingkan dengan data sekunder dari studi literatur. Kesimpulannya adalah bahwa teknik pemasangan batu bata dari Oranje Nassau memiliki fungsi struktural dan visual. Sumur Putaran is a local term of a brick building, a part of the Oranje Nassau coal mine construction, in Pengaron Village. Sumur Putaran is partially damaged by nature and human agent, and bricks are exposed showing different types of brick installation. The correlation between the types of brick installation and its architecture is intriguing and has not been studied. This research aims to identify the function of different types of brick installation at Sumur Putaran and their relationship with the underground coal mine construction. This research used qualitative method with inductive reasoning and comparative-descriptive approach. The primary data collected from the field was described and compared with secondary data from literature studies. The conclusion is that the brick installation technique of the Oranje Nassau has both structural and visual functions.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"7 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127294880","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Banjarmasin dan Nagara merupakan dua kawasanang terdiri atas sungai dan rawa. Di sepanjang aliran sungai dan rawa ini terdapat permukiman warga dengan segala aktivitas yang berhubungan dengan budaya sungai. Aktivitas budaya sungai yang dilakukan warga di kedua kawasan ini tercermin dalam leksikon-leksikon yang terdapat dalam bahasa mereka.Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan leksikon pengungkap karakteristik budaya sungai masyarakat Banjarmasin dan Nagara, dan mendeskripsikan karakteristik budaya sungai pada masyarakat Banjarmasin dan Nagara berdasarkan leksikon. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dari data umum kedua wilayah dan analisis data leksikon diketahui terdapat leksikon-leksikon yang mengungkapkan karakteristik budaya sungai masyarakat Banjarmasin dan Nagara. Selanjutnya diketahui juga unsur karakteristik yang terdapat pada leksikon tersebut meliputi bahasa, mata pencaharian, religi, pengetahuan dan teknologi, dan sistem sosial kemasyarakatan. Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu makna yang terdapat pada leksikon-leksikon bahasa masyarakat Banjarmasin dan Nagara mencerminkan karakteristik kebudayaan mereka sebagai suku Banjar yang tidak jauh berbeda karena berhubungan dengan cara hidup di pemukiman atas sungai atau rawa. Banjarmasin and Nagara consist of rivers and swamps. Along these areas there are residential communities with all activities related to river culture. The culturalriver activities of the two regions are reflected in the lexicons contained in their language. This research aim are to describe the lexicons which express the characteristics of river culture of the people, and to depict the cultural river characteristcs of the people based on the lexicons. The method used is descriptive qualitative. Based on the general data of both regions and lexicon data analysis, many of lexicons have revealed the characteristics of river culture of both people, Banjarmasin and Nagara. Furthermore, the characteristics on lexicon are found in language, livelihood, religion, knowledge and technology, and social systems. The conclusion is that the lexicon meaning of Banjarmasin and Nagara languages eflects their cultural characteristics as Banjarese which look liketheir ways of living along the river banks and swamp areas .
{"title":"LEKSIKON PENGUNGKAP KARAKTERISTIK BUDAYA SUNGAI MASYARAKAT BANJARMASIN DAN NAGARA: TELAAH ETNOSEMANTIS (LEXICON OF CHARACTERISTIC DISCLOSURE OF RIVER CULTURE AT BANJARMASIN AND NAGARA SOCIETIES: AN ETHNOSEMANTIC STUDY)","authors":"Rissari Yayuk","doi":"10.24832/nw.v12i2.312","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v12i2.312","url":null,"abstract":"Banjarmasin dan Nagara merupakan dua kawasanang terdiri atas sungai dan rawa. Di sepanjang aliran sungai dan rawa ini terdapat permukiman warga dengan segala aktivitas yang berhubungan dengan budaya sungai. Aktivitas budaya sungai yang dilakukan warga di kedua kawasan ini tercermin dalam leksikon-leksikon yang terdapat dalam bahasa mereka.Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan leksikon pengungkap karakteristik budaya sungai masyarakat Banjarmasin dan Nagara, dan mendeskripsikan karakteristik budaya sungai pada masyarakat Banjarmasin dan Nagara berdasarkan leksikon. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dari data umum kedua wilayah dan analisis data leksikon diketahui terdapat leksikon-leksikon yang mengungkapkan karakteristik budaya sungai masyarakat Banjarmasin dan Nagara. Selanjutnya diketahui juga unsur karakteristik yang terdapat pada leksikon tersebut meliputi bahasa, mata pencaharian, religi, pengetahuan dan teknologi, dan sistem sosial kemasyarakatan. Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu makna yang terdapat pada leksikon-leksikon bahasa masyarakat Banjarmasin dan Nagara mencerminkan karakteristik kebudayaan mereka sebagai suku Banjar yang tidak jauh berbeda karena berhubungan dengan cara hidup di pemukiman atas sungai atau rawa. Banjarmasin and Nagara consist of rivers and swamps. Along these areas there are residential communities with all activities related to river culture. The culturalriver activities of the two regions are reflected in the lexicons contained in their language. This research aim are to describe the lexicons which express the characteristics of river culture of the people, and to depict the cultural river characteristcs of the people based on the lexicons. The method used is descriptive qualitative. Based on the general data of both regions and lexicon data analysis, many of lexicons have revealed the characteristics of river culture of both people, Banjarmasin and Nagara. Furthermore, the characteristics on lexicon are found in language, livelihood, religion, knowledge and technology, and social systems. The conclusion is that the lexicon meaning of Banjarmasin and Nagara languages eflects their cultural characteristics as Banjarese which look liketheir ways of living along the river banks and swamp areas .","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"142 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122284647","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}