Pub Date : 2022-06-30DOI: 10.37035/alqisthas.v13i1.6465
Sarbini Sarbini
Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas penting dalam hukum perjanjian. Dalam berbagai kajian, asas proporsionalitas lebih sering dilupakan jika dibandingkan dengan asas iktikad baik ataupun asas kebebasan berkontrak. Penelitian ini berorientasi pada penggalian hakikat dan makna asas kebebasan berkontrak serta implementasi asas kebebasan berkontrak. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian menegaskan bahwa hakikat asas proporsionalitas adalah orientasi hubungan hukum yang bersifat “sama rasa, sama bahagia” yang tidak hanya sekadar hubungan hukum matematis. Selain itu, implementasi asas proporsionalitas juga perlu dilakukan dalam tahap pra-perjanjian, perumusan perjanjian, serta pelaksanaan perjanjian.
{"title":"Eksistensi Asas Proporsionalitas dalam Hukum Perjanjian: Manifestasi dan Dinamika","authors":"Sarbini Sarbini","doi":"10.37035/alqisthas.v13i1.6465","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v13i1.6465","url":null,"abstract":"Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas penting dalam hukum perjanjian. Dalam berbagai kajian, asas proporsionalitas lebih sering dilupakan jika dibandingkan dengan asas iktikad baik ataupun asas kebebasan berkontrak. Penelitian ini berorientasi pada penggalian hakikat dan makna asas kebebasan berkontrak serta implementasi asas kebebasan berkontrak. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian menegaskan bahwa hakikat asas proporsionalitas adalah orientasi hubungan hukum yang bersifat “sama rasa, sama bahagia” yang tidak hanya sekadar hubungan hukum matematis. Selain itu, implementasi asas proporsionalitas juga perlu dilakukan dalam tahap pra-perjanjian, perumusan perjanjian, serta pelaksanaan perjanjian.","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129322814","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-30DOI: 10.37035/alqisthas.v13i1.6492
Fuqoha Fuqoha, Sukendar Sukendar
Kerangka demokrasi yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia menjadi dasar terhadap pengakuan dan jaminan atas kebebasan dan/atau hak-hak asasi manusia bagi seluruh warga negara Indonesia. Pengakuan dan jaminan kebebasan diantaranya adalah kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 28E. Dengan demikian, berangkat dari pengakuan dan jaminan tersebut lahirlah berbagai organisasi kemasyarakatan dengan latarbelakang dan tujuan-tujuan keorganisasiannya, yang salah satu diantaranya organisasi kemasyarakatan yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Pada praktiknya pembentukan dan pengawasan terhadap organisasi kemasyarakatan didasarkan pada regulasi perundang-undangan mengenai organisasi kemasyarakatan yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017. Penelitian ini disajikan dengan menggunakan pendekatan penilitian yuridis normatif dengan uraian deskriptif kualitatif dengan maksud menginterpretasi makna Undang-Undang yang disandingkan dengan fenomena dan fakta empiris dari implementasi Undang-Undang. Dari uraian-uraian yang dianalisis peneliti memperoleh berbagai argumentasi dari kerangka negara hukum dan prinsip demokrasi. Sebagai negara hukum, pemerintah berhak untuk membentuk dan memberlakukan suatu regulasi atau perundang-undangan dengan maksud menciptakan suatu tatanan hukum yang dapat diikuti oleh setiap warga negara dan termasuk diantaranya organisasi kemasyarakatan. Sedangkan dalam prinsip demokrasi secara konstitusional, pembatasan terhadap kebebasan dan jaminan atas hak-hak berorganisasi harus sesuai dengan cita-cita bangsa dan negara sebagai bentuk depolitisasi terhadap tujuan organisasi kemasyarakatan.
{"title":"ANALISIS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG ORMAS DALAM KERANGKA DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN DEPOLITISASI ISLAM POLITIK","authors":"Fuqoha Fuqoha, Sukendar Sukendar","doi":"10.37035/alqisthas.v13i1.6492","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v13i1.6492","url":null,"abstract":"Kerangka demokrasi yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia menjadi dasar terhadap pengakuan dan jaminan atas kebebasan dan/atau hak-hak asasi manusia bagi seluruh warga negara Indonesia. Pengakuan dan jaminan kebebasan diantaranya adalah kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 28E. Dengan demikian, berangkat dari pengakuan dan jaminan tersebut lahirlah berbagai organisasi kemasyarakatan dengan latarbelakang dan tujuan-tujuan keorganisasiannya, yang salah satu diantaranya organisasi kemasyarakatan yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Pada praktiknya pembentukan dan pengawasan terhadap organisasi kemasyarakatan didasarkan pada regulasi perundang-undangan mengenai organisasi kemasyarakatan yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017. Penelitian ini disajikan dengan menggunakan pendekatan penilitian yuridis normatif dengan uraian deskriptif kualitatif dengan maksud menginterpretasi makna Undang-Undang yang disandingkan dengan fenomena dan fakta empiris dari implementasi Undang-Undang. Dari uraian-uraian yang dianalisis peneliti memperoleh berbagai argumentasi dari kerangka negara hukum dan prinsip demokrasi. Sebagai negara hukum, pemerintah berhak untuk membentuk dan memberlakukan suatu regulasi atau perundang-undangan dengan maksud menciptakan suatu tatanan hukum yang dapat diikuti oleh setiap warga negara dan termasuk diantaranya organisasi kemasyarakatan. Sedangkan dalam prinsip demokrasi secara konstitusional, pembatasan terhadap kebebasan dan jaminan atas hak-hak berorganisasi harus sesuai dengan cita-cita bangsa dan negara sebagai bentuk depolitisasi terhadap tujuan organisasi kemasyarakatan.","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"411 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121706891","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-01-13DOI: 10.37035/alqisthas.v12i2.5057
Fira Adhisa Rivanda
Kode Etik Notaris bertujuan sebagai pedoman bagi Notaris agar menjaga harkat dan martabat dalam menjalankan jabatannya sebagai seorang Notaris. Penegakan Kode Etik Notaris wajib ditegakan agar para Notaris tidak mengalami penyimpangan dalam menjalankan jabatannya, namun dalam praktiknya masih banyak yang tidak memperdulikan ketentuan sebagaimana dalam kode etik terutama mengenai pengaturan pemasangan papan nama Notaris yang diatur dalam Kode etik Notaris cenderung tidak diperhatikan dan menyebabkan Notaris mengalami pelanggaran kode etik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaturan pemasangan papan nama notaris berdasarkan kode etik noris dan upaya penjatuhan sanksi bagi notaris yang melakukan pelanggaran kode etik terhadap pemasangan papan nama Notaris. Penelitian ini menggunakan yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum tertulis. Hasil dari penelitian ini adalah pengaturan pemasangan papan nama Notaris sudah diatur dalam kode etik Notaris serta Pengawasan bagi notaris dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda yaitu Majelis Pengawas Notaris secara eksternal dan Dewan Kehormatan Notaris secara internal.
{"title":"PELANGGARAN PEMASANGAN PAPAN NAMA NOTARIS YANG TIDAK SESUAI DENGAN PELAKSANAAN KODE ETIK NOTARIS","authors":"Fira Adhisa Rivanda","doi":"10.37035/alqisthas.v12i2.5057","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i2.5057","url":null,"abstract":"Kode Etik Notaris bertujuan sebagai pedoman bagi Notaris agar menjaga harkat dan martabat dalam menjalankan jabatannya sebagai seorang Notaris. Penegakan Kode Etik Notaris wajib ditegakan agar para Notaris tidak mengalami penyimpangan dalam menjalankan jabatannya, namun dalam praktiknya masih banyak yang tidak memperdulikan ketentuan sebagaimana dalam kode etik terutama mengenai pengaturan pemasangan papan nama Notaris yang diatur dalam Kode etik Notaris cenderung tidak diperhatikan dan menyebabkan Notaris mengalami pelanggaran kode etik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaturan pemasangan papan nama notaris berdasarkan kode etik noris dan upaya penjatuhan sanksi bagi notaris yang melakukan pelanggaran kode etik terhadap pemasangan papan nama Notaris. Penelitian ini menggunakan yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum tertulis. Hasil dari penelitian ini adalah pengaturan pemasangan papan nama Notaris sudah diatur dalam kode etik Notaris serta Pengawasan bagi notaris dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda yaitu Majelis Pengawas Notaris secara eksternal dan Dewan Kehormatan Notaris secara internal.","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"84 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131675518","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-01-13DOI: 10.37035/alqisthas.v12i2.5213
Arsita putri Utama
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mendalam tentang program asimilasi ABH pada masa pandemic Covid-19 di LPKA Kelas I Kutoarjo. Penelitian ini menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang bagaimana implementasi asimilasi ABH yang merupakan kebijakan pemerintah dalam upaya menekan angka penyebaran Covid-19. Metode yang dugunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Informan dalam penelitian ini merupakan petugas Pemasyarakatan bagian registrasi narapidana, yang ditentukan dengan teknik purposive sampling yaitu degan pertimbangkan tertentu. Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LPKA Kelas I Kutoarjo menerapkan asimilasi ABH di masa pandemic Covid-19. Ada 76 ABH yang mendapatkan hak asimilasi di rumah. Namun ada beberapa permasalahan yang timbul dan berakibat pada kegagalan program asimilasi dirumah, permasalahan tersebut adalah penolakan dari masyarakat sekitar, penolakan dari keluarga korban, keluarga ABH yang seharusnya menjadi penjamin tidak ditemukan ditempat. ABH memiliki kasus pidana lainnya dan ABH melakukan pelanggaran disiplin. Program asimilasi ini dilakukan sesuai dengan aturan Permenkumham nomor 10 dan nomor 32 tahun 2020 yang mengatur persyaratan tentang asimilasi di masa pandemic Covid-19. Landasan ini seharusnya dapat menekan angka kecemasan masyarakat pada asimilasi ini, karena kebijakan tersebut bukan melulu tentang pembebasan narapidana namun juga ada pengawasan. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu memberikan sosialisasi pada masyarakat tentang program asimilasi, mengadakan penelitian kemasyarakatan pada masyarakat disekitar ABH oleh pembimbing kemasyarakatan dan pendampingan pengasuh ABH agar hak asimilasi dapat diberikan. Kata Kunci : Asimilasi narapidana, ABH, LPKA
本研究旨在深入了解在LPKA I Kutoarjo班的流行文化Covid-19同化ABH计划。这项研究广泛地探讨了ABH是如何实现政府政策同化以压制Covid-19的流行的。本研究采用的方法是描述性质的方法。本研究中的告密者是一名犯人登记部的惩教人员,这是由特定目标抽样技术决定的。数据收集技术采用深入采访、观察和文献研究的方式。研究结果表明,LPKA I Kutoarjo在pandemic Covid-19中实现了ABH同化。有76人获得了家庭同化的权利。但是,由于家庭同化计划的失败,出现了一些问题,这些问题是周围社区的否认,受害者家庭的否认,本应在现场找到的ABH家庭。ABH还有其他刑事案件,ABH违反了纪律。该同化计划是按照2020年10号和32号号数的限制进行的,该准则规定了大萧条时期的同化要求。该基础应该能够抑制公众对这种同化的焦虑程度,因为这项政策不仅是关于释放囚犯的,而且还有监督。可以做的一些努力是在社区同化方面进行社会化,由社区顾问和保姆ABH围绕社区进行社区社区研究,这样就可以获得同化的权利。关键词:同化囚犯ABH, LPKA
{"title":"Program Asimilasi Anak Berhadapan dengan Hukum pada Masa Covid-19 di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo","authors":"Arsita putri Utama","doi":"10.37035/alqisthas.v12i2.5213","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i2.5213","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mendalam tentang program asimilasi ABH pada masa pandemic Covid-19 di LPKA Kelas I Kutoarjo. Penelitian ini menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang bagaimana implementasi asimilasi ABH yang merupakan kebijakan pemerintah dalam upaya menekan angka penyebaran Covid-19. Metode yang dugunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Informan dalam penelitian ini merupakan petugas Pemasyarakatan bagian registrasi narapidana, yang ditentukan dengan teknik purposive sampling yaitu degan pertimbangkan tertentu. Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi. \u0000 Hasil penelitian menunjukkan bahwa LPKA Kelas I Kutoarjo menerapkan asimilasi ABH di masa pandemic Covid-19. Ada 76 ABH yang mendapatkan hak asimilasi di rumah. Namun ada beberapa permasalahan yang timbul dan berakibat pada kegagalan program asimilasi dirumah, permasalahan tersebut adalah penolakan dari masyarakat sekitar, penolakan dari keluarga korban, keluarga ABH yang seharusnya menjadi penjamin tidak ditemukan ditempat. ABH memiliki kasus pidana lainnya dan ABH melakukan pelanggaran disiplin. Program asimilasi ini dilakukan sesuai dengan aturan Permenkumham nomor 10 dan nomor 32 tahun 2020 yang mengatur persyaratan tentang asimilasi di masa pandemic Covid-19. Landasan ini seharusnya dapat menekan angka kecemasan masyarakat pada asimilasi ini, karena kebijakan tersebut bukan melulu tentang pembebasan narapidana namun juga ada pengawasan. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu memberikan sosialisasi pada masyarakat tentang program asimilasi, mengadakan penelitian kemasyarakatan pada masyarakat disekitar ABH oleh pembimbing kemasyarakatan dan pendampingan pengasuh ABH agar hak asimilasi dapat diberikan. \u0000Kata Kunci : Asimilasi narapidana, ABH, LPKA","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128530055","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-01-13DOI: 10.37035/alqisthas.v12i2.5229
Percaturan Politik, B. Syafuri
Persoalan yang pertama kali muncul di kalangan umat Islam awal sepeninggal Nabi Muhammad saw. adalah persoalan politik, yaitu penentuan pengganti Nabi sebagai Kepala Negara dari Negara Madinah. Fenomena ini muncul disebabkan karena Nabi semasa hidupnya tidak pernah meninggalkan wasiat yang bisa diterima oleh para sahabat terkait masalah itu, meskipun ada klaim dari pendukung Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi telah memberikan wasiat mengenai masalah ini yang kemudian dikenal dengan “peristiwa Gadir Qum”, namun hal itu masih diperdebatkan keabsahannya oleh sebagian besar sahabat. Di samping itu tidak terdapat petunujuk dari ayat-ayat al Qur’an terkait masalah tersebut, akibatnya timbullah perdebatan yang sengit dan hampir saja menjadikan mereka terpecah belah, bahkan lebih fatal dari itu. Sebagian berpendapat menyatakan bahwa pengganti Nabi itu harus dari suku Quraisy karena suku ini dipandang oleh masyarakat Arab waktu itu sebagai suku besar yang sangat mulia dan dihormati oleh suku-suku yang lain. Pendapat kelompok inilah yang kemudian diterima oleh komunitas Muslim awal, dengan dipilihnya Abu Bakar sebagai khalifah. Pendapat ini kemudian dianut oleh golongan Sunni. Sebagian lagi berpendapat bahwa yang berhak menggantikan Nabi sebagai Kepala Negara adalah salah satu keluarga sedarah yang terdekat dengan Nabi, dan Ali bin Abi Thalib dipandang orang yang paling tepat mewarisi kepemimpinan. Ali bin Abi Thalib, disamping sepupu Nabi, dia juga menantu Nabi, suami dari Fatimah, pendapat ini kemudian dianut oleh golongan Syi’ah. Sebagian lagi berpendapat bahwa yang berhak sebagai pengganti Nabi adalah dari kalangan Anshar. Pada perkembangan selanjutnya, muncul pendapat bahwa pengganti Nabi tidak mesti dari golongan Quraisy, apalagi keluarga Nabi, tetapi siapa saja dari ummat Islam, walaupun bukan berasal dari etnis Arab, ia bisa mengganti Nabi sebagai Kepala Negara. Pendapat ini pada mulanya dianut oleh golongan Khawarij, tetapi semenjak abad ke XIV dianut oleh golongan Sunni.
先知穆罕默德(愿平安与祝福归与他)去世后,伊斯兰教最早出现的问题。这是一个政治问题,即任命先知的继任者为麦地那国家的国家元首。出现这一现象是因为先知一生从来没有留下遗嘱所能接受的有关这一问题的朋友们,尽管有索赔Ali bin Abi塔利班支持者的先知已经提供了关于这个问题的遗嘱后,也被称为“海峡库姆事件”,但它是有争议的大部分朋友的有效性。《古兰经》中关于这个问题的章节没有导引,导致了一场激烈的辩论,几乎使他们分裂,甚至更致命。一些人认为,先知的继任者应该是古拉伊什人,因为这个部落被当时的阿拉伯社会视为一个受到其他部落尊敬和高度尊敬的伟大部落。这一群体后来被早期穆斯林社区接受,任命阿布·巴克尔为哈里发。逊尼派也认同这一观点。另一些人则认为,取代先知为国家元首的资格是与先知关系最密切的家族之一,而阿里·本·阿比·塔利布(Ali bin Abi Thalib)被认为是继承领导权的最佳人选。阿里·本·塔利布,除了先知的堂兄,他还是先知的女婿,法蒂玛的丈夫。有些人认为,接替先知的资格来自安苏尔。后来有一种观点认为,先知的继任者不一定是《古兰经》(Quraisy),更不用说先知的家族了,而是任何来自ummat Islam的人,虽然不是阿拉伯人,但都可以取代先知成为国家元首。这一观点最初是由花剌子学派提出的,但自14世纪以来一直是逊尼派。
{"title":"PERCATURAN POLITIK BANI UMAIYAH DALAM MENDIRIKAN PEMERINTAHAN MONARKI","authors":"Percaturan Politik, B. Syafuri","doi":"10.37035/alqisthas.v12i2.5229","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i2.5229","url":null,"abstract":"Persoalan yang pertama kali muncul di kalangan umat Islam awal sepeninggal Nabi Muhammad saw. adalah persoalan politik, yaitu penentuan pengganti Nabi sebagai Kepala Negara dari Negara Madinah. Fenomena ini muncul disebabkan karena Nabi semasa hidupnya tidak pernah meninggalkan wasiat yang bisa diterima oleh para sahabat terkait masalah itu, meskipun ada klaim dari pendukung Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi telah memberikan wasiat mengenai masalah ini yang kemudian dikenal dengan “peristiwa Gadir Qum”, namun hal itu masih diperdebatkan keabsahannya oleh sebagian besar sahabat. Di samping itu tidak terdapat petunujuk dari ayat-ayat al Qur’an terkait masalah tersebut, akibatnya timbullah perdebatan yang sengit dan hampir saja menjadikan mereka terpecah belah, bahkan lebih fatal dari itu. Sebagian berpendapat menyatakan bahwa pengganti Nabi itu harus dari suku Quraisy karena suku ini dipandang oleh masyarakat Arab waktu itu sebagai suku besar yang sangat mulia dan dihormati oleh suku-suku yang lain. Pendapat kelompok inilah yang kemudian diterima oleh komunitas Muslim awal, dengan dipilihnya Abu Bakar sebagai khalifah. Pendapat ini kemudian dianut oleh golongan Sunni. Sebagian lagi berpendapat bahwa yang berhak menggantikan Nabi sebagai Kepala Negara adalah salah satu keluarga sedarah yang terdekat dengan Nabi, dan Ali bin Abi Thalib dipandang orang yang paling tepat mewarisi kepemimpinan. Ali bin Abi Thalib, disamping sepupu Nabi, dia juga menantu Nabi, suami dari Fatimah, pendapat ini kemudian dianut oleh golongan Syi’ah. Sebagian lagi berpendapat bahwa yang berhak sebagai pengganti Nabi adalah dari kalangan Anshar. Pada perkembangan selanjutnya, muncul pendapat bahwa pengganti Nabi tidak mesti dari golongan Quraisy, apalagi keluarga Nabi, tetapi siapa saja dari ummat Islam, walaupun bukan berasal dari etnis Arab, ia bisa mengganti Nabi sebagai Kepala Negara. Pendapat ini pada mulanya dianut oleh golongan Khawarij, tetapi semenjak abad ke XIV dianut oleh golongan Sunni.","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"44 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122890667","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-12-24DOI: 10.37035/alqisthas.v12i2.5143
Aldys Rismelin Alrasyid
Suatu sengketa tanah tentu subyeknya tidak hanya satu, namun lebih dari satu, entah itu antar individu, kelompok, organisasi bahkan lembaga besar sekalipun seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun negara. Banyaknya kasus sengketa tanah yang dilakukan oleh mafia tanah, mafia tanah adalah sekelompok orang yang bekerja sama dalam merebut hak atas tanah atau properti milik orang lain. Cara-cara mafia tanah ini tentu mudah dilakukan bagi masyarkat yang belum paham betul mengenai pentingnya kegunaan sertifikat hak tanah. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang, mengimbau agar masyarakat waspada dengan modus yang dilakukan oleh mafia tanah. Itulah pentingnya mengetahui foktor dari permasalahan sengketa tanah, agar masyarakat lebih paham mengenai pentingnya sertifikat sebagai hak milik mereka. Selain itu, adanya payung hukum untuk semua permasalahan sengketa tanah agar masyarakat dapat memperjuangkan hak tanah mereka.
{"title":"Hak Akses Publik terhadap Kepemilikan Hak atas Tanah","authors":"Aldys Rismelin Alrasyid","doi":"10.37035/alqisthas.v12i2.5143","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i2.5143","url":null,"abstract":"Suatu sengketa tanah tentu subyeknya tidak hanya satu, namun lebih dari satu, entah itu antar individu, kelompok, organisasi bahkan lembaga besar sekalipun seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun negara. Banyaknya kasus sengketa tanah yang dilakukan oleh mafia tanah, mafia tanah adalah sekelompok orang yang bekerja sama dalam merebut hak atas tanah atau properti milik orang lain. Cara-cara mafia tanah ini tentu mudah dilakukan bagi masyarkat yang belum paham betul mengenai pentingnya kegunaan sertifikat hak tanah. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang, mengimbau agar masyarakat waspada dengan modus yang dilakukan oleh mafia tanah. Itulah pentingnya mengetahui foktor dari permasalahan sengketa tanah, agar masyarakat lebih paham mengenai pentingnya sertifikat sebagai hak milik mereka. Selain itu, adanya payung hukum untuk semua permasalahan sengketa tanah agar masyarakat dapat memperjuangkan hak tanah mereka.","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"67 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126350625","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-04DOI: 10.37035/alqisthas.v12i1.4932
A. O. Akbar
Studi tentang HAM akan terus dikaji dan dikembangkan utamanya saat dirasa masih ada ruang makna yang kosong, dan menuntut segera dipenuhinya. Konteks dialektika penalaran antroposentris ini selama terus dikaji dan didalami mesti di dalamnya ada nilai manfaat, plus pragmatisme, dengan ekspresi tafsir keadilan yang beragam: mulai dari pencarian universalisme minimum, bahkan hingga universalisme pluralis yang belakangan semarak ditelaah banyak pemikir kemanusiaan, sebagaimana Parekh, Bell, dan lain-lain. Pelbagai metode dan setrategi untuk memformulasikan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam sejumlah deklarasi baik internasional, nasional, regional atau sub-regional dengan melibatkan pergumulan dialog lintas negara, lintas budaya, antar-agama, dan keyakinan untuk meraih makna intersubyektif sebagai universalisme minimum dan plural. Sekalipun substansi yang ditawarkan dalam HAM adalah nilai-nilai moral, namun dalam prakteknya tak bisa dilepaskan dari nuansa pragmatis dan tarikan geopolitik, disamping doktrin agama dan budaya. Adanya gap pada tataran teoritis dan praksis, tarikan perbedaan kepentingan politik lokal, nasional, transnasional, internasional, dan seterusnya meniscayakan munculnya ketidak-nayamanan penilaian dan istilah terkait makna dan moralitas HAM, yang masih sering disebut sebagai “hanya kepura-puraan (only in pretension), utopis, dan tidak produktif (unproductive). Melihat kenyataan ini, para pemikir kontemporer Barat semacam Bikhu Parekh, Daniel Bell dan lainnya tak henti-hentinya tetap committed berjuang membuat pendekatan yang dianggap integratif, lintas budaya, intersubyektif, komparatif serta applicable, seperti direkomendasikan Paraekh dan Daniel A. Bell. Karena itu, cara pandang moderat dan demokratis tetap menyimpan suatu harapan dalam memformulasi nilai-nilai tengah “universalisme minimum”. Begitu pula para pemikir Islam mutakhir, tak mau ketinggalan terus berjuang mencari ruang tafsir yang lebih bermakna seperti yang dilakukan oleh Ahmed Naim dengan tawaran teori “abrogasi”nya, al-Syathibi dengan , teori istiqra al-ādi-nya, dan lebih menukik lagi pendekatan yang ditawarkan Jaseer Audah belakangan, dengan menafsirkan maqasid al-Syari’ah dengan system approach-nya. Dan dari kreatifitas tawaran pemikir-pemikir Islam ini benih-benih nilai dan norma HAM dengan spirit “universalisme pluralis” dari Parekh tersebut mendapatkan enrichment tafsir baru dari khazanah nilai dan tradisi Islam sebagaimana ditawarkan tiga orang pemikir Islam tersebut.
{"title":"UNIVERSALISME MINIMUM NILAI-NILAI HAM MENUJU UNIVERSALISME PLURALIS DALAM ISLAM","authors":"A. O. Akbar","doi":"10.37035/alqisthas.v12i1.4932","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i1.4932","url":null,"abstract":"Studi tentang HAM akan terus dikaji dan dikembangkan utamanya saat dirasa masih ada ruang makna yang kosong, dan menuntut segera dipenuhinya. Konteks dialektika penalaran antroposentris ini selama terus dikaji dan didalami mesti di dalamnya ada nilai manfaat, plus pragmatisme, dengan ekspresi tafsir keadilan yang beragam: mulai dari pencarian universalisme minimum, bahkan hingga universalisme pluralis yang belakangan semarak ditelaah banyak pemikir kemanusiaan, sebagaimana Parekh, Bell, dan lain-lain. Pelbagai metode dan setrategi untuk memformulasikan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam sejumlah deklarasi baik internasional, nasional, regional atau sub-regional dengan melibatkan pergumulan dialog lintas negara, lintas budaya, antar-agama, dan keyakinan untuk meraih makna intersubyektif sebagai universalisme minimum dan plural. Sekalipun substansi yang ditawarkan dalam HAM adalah nilai-nilai moral, namun dalam prakteknya tak bisa dilepaskan dari nuansa pragmatis dan tarikan geopolitik, disamping doktrin agama dan budaya. Adanya gap pada tataran teoritis dan praksis, tarikan perbedaan kepentingan politik lokal, nasional, transnasional, internasional, dan seterusnya meniscayakan munculnya ketidak-nayamanan penilaian dan istilah terkait makna dan moralitas HAM, yang masih sering disebut sebagai “hanya kepura-puraan (only in pretension), utopis, dan tidak produktif (unproductive). Melihat kenyataan ini, para pemikir kontemporer Barat semacam Bikhu Parekh, Daniel Bell dan lainnya tak henti-hentinya tetap committed berjuang membuat pendekatan yang dianggap integratif, lintas budaya, intersubyektif, komparatif serta applicable, seperti direkomendasikan Paraekh dan Daniel A. Bell. Karena itu, cara pandang moderat dan demokratis tetap menyimpan suatu harapan dalam memformulasi nilai-nilai tengah “universalisme minimum”. Begitu pula para pemikir Islam mutakhir, tak mau ketinggalan terus berjuang mencari ruang tafsir yang lebih bermakna seperti yang dilakukan oleh Ahmed Naim dengan tawaran teori “abrogasi”nya, al-Syathibi dengan , teori istiqra al-ādi-nya, dan lebih menukik lagi pendekatan yang ditawarkan Jaseer Audah belakangan, dengan menafsirkan maqasid al-Syari’ah dengan system approach-nya. Dan dari kreatifitas tawaran pemikir-pemikir Islam ini benih-benih nilai dan norma HAM dengan spirit “universalisme pluralis” dari Parekh tersebut mendapatkan enrichment tafsir baru dari khazanah nilai dan tradisi Islam sebagaimana ditawarkan tiga orang pemikir Islam tersebut. ","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"41 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131494120","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-07-20DOI: 10.37035/alqisthas.v12i1.4883
Muhamad Romdoni, Atu Karomah
Kejahatan narkotika sangat meresahkan di banyak negara dan penggunaan secara melawan hukum menyebabkan kerusakan otak dan fisik penggunanya. Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia telah melakukan segala upaya untuk memberantas kejahatan tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua negara tersebut kemudian menjadi sebuah ulasan perbandingan yang menarik untuk diteliti, terutama tentang perbedaan kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menangani kejahatan narkotika antara kedua negara. Penelitian yang menggunakan metode perbandingan makro membandingkan sistem civil law yang diterapkan di Indonesia dan common law di Malaysia. Temuan menunjukkan bagaimana UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Indonesia dan Akta 234 Akta Dadah Berbahaya 1952 (revisi 1980 dan amandemen terbaru 2014) di Malaysia yang bertujuan untuk memberantas kejahatan narkotika atau dadah memiliki tiga perbedaan utama, yakni (1) penjatuhan pidana mati yang bersifat mandatori di Malaysia, (2) yurisprudensi menjadi sumber hukum utama common law (di Malaysia), serta (3) pengedepanan prinsip premum remidium di Indonesia yang berbanding terbalik dengan penerapan ultimum remidium di Malaysia.
{"title":"PERBANDINGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY) TERHADAP KEJAHATAN NARKOTIKA ATAU DADAH (STUDI KOMPARATIF INDONESIA DAN MALAYSIA)","authors":"Muhamad Romdoni, Atu Karomah","doi":"10.37035/alqisthas.v12i1.4883","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i1.4883","url":null,"abstract":"Kejahatan narkotika sangat meresahkan di banyak negara dan penggunaan secara melawan hukum menyebabkan kerusakan otak dan fisik penggunanya. Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia telah melakukan segala upaya untuk memberantas kejahatan tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua negara tersebut kemudian menjadi sebuah ulasan perbandingan yang menarik untuk diteliti, terutama tentang perbedaan kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menangani kejahatan narkotika antara kedua negara. Penelitian yang menggunakan metode perbandingan makro membandingkan sistem civil law yang diterapkan di Indonesia dan common law di Malaysia. Temuan menunjukkan bagaimana UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Indonesia dan Akta 234 Akta Dadah Berbahaya 1952 (revisi 1980 dan amandemen terbaru 2014) di Malaysia yang bertujuan untuk memberantas kejahatan narkotika atau dadah memiliki tiga perbedaan utama, yakni (1) penjatuhan pidana mati yang bersifat mandatori di Malaysia, (2) yurisprudensi menjadi sumber hukum utama common law (di Malaysia), serta (3) pengedepanan prinsip premum remidium di Indonesia yang berbanding terbalik dengan penerapan ultimum remidium di Malaysia.","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"33 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128960265","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-07-20DOI: 10.37035/alqisthas.v12i1.4882
Hajani Hajani
Tradisi keilmuan dalam hukum Islam dikenal dengan tradisi ahlu al-ra’yi dan ahlu al-hadis yang keduanya menggunakan penalaran dalam memahami makna literal dan realitas dari wahyu. Hukum Islam dari zaman nabi sampai zaman sekarang. Tradisi penalaran filosofis ini telah mengalami perkembangan epistemologi keilmuan, sehingga menempatkan penalaran filosofis sebagai alat ilmiah yang penting dan urgen dalam memahami makna hakiki hukum Islam Tidaklah mudah untuk membuat definisi “hukum” karena syari'at Islam, hukum Islam dan fiqh adalah hukum yang sifatnya hukum. Pada dasarnya, dalam masyarakat hukum bertujuan untuk melayani dan melindungi masyarakat. Ini adalah sistem implementasi untuk melindungi hak individu dan hak masyarakat. Selain itu, ia memiliki sifat dan ruang lingkupnya sendiri. Hukum itu konstan. Itu tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Hanya tafsir umat Islam terhadap hukum yang selalu berubah sesuai dengan ranah sosial-sejarah dan budaya. Syariah Islam, hukum Islam dan fiqh, terletak pada argumen yang digunakan. Syariah Islam didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah tanpa alasan hukum apapun, tetapi tetap bertumpu pada semangat kedua sumber Islam tersebut. Jadi, syari'at Islam itu konstan sedangkan hukum Islam bersifat temporal. Dalam konteks hukum positif, hukum Islam memiliki prospek yang baik selama para praktisi hukum mampu mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki oleh hukum IslamPengetahuan legal drafting merambah ke wilayah hukum privat sebab untuk membuat dan memahami dokumen-dokumen hukum maupun surat-surat penting juga dibutuhkan ilmu yang dipakai dalam penyusunan peraturan perundang-undangan itu. Hampir setiap urusan bisnis yang berkaitan hukum ekonomi, baik organisasi dan perseroan (corporate) maupun personal perorangan akan memerlukan perjanjian atau kontrak sebagai koridor dasar yang akan menentukan hak, kewajiban, dan wewenang para pihak yang terlibat didalamnya
{"title":"PARADIGMA PENALARAN FIQIH BERORIENTASI LOGIKA UNDANG-UNDANG (TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE LEGISLASI NASIONAL)","authors":"Hajani Hajani","doi":"10.37035/alqisthas.v12i1.4882","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i1.4882","url":null,"abstract":"Tradisi keilmuan dalam hukum Islam dikenal dengan tradisi ahlu al-ra’yi dan ahlu al-hadis yang keduanya menggunakan penalaran dalam memahami makna literal dan realitas dari wahyu. Hukum Islam dari zaman nabi sampai zaman sekarang. Tradisi penalaran filosofis ini telah mengalami perkembangan epistemologi keilmuan, sehingga menempatkan penalaran filosofis sebagai alat ilmiah yang penting dan urgen dalam memahami makna hakiki hukum Islam Tidaklah mudah untuk membuat definisi “hukum” karena syari'at Islam, hukum Islam dan fiqh adalah hukum yang sifatnya hukum. Pada dasarnya, dalam masyarakat hukum bertujuan untuk melayani dan melindungi masyarakat. Ini adalah sistem implementasi untuk melindungi hak individu dan hak masyarakat. Selain itu, ia memiliki sifat dan ruang lingkupnya sendiri. Hukum itu konstan. Itu tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Hanya tafsir umat Islam terhadap hukum yang selalu berubah sesuai dengan ranah sosial-sejarah dan budaya. Syariah Islam, hukum Islam dan fiqh, terletak pada argumen yang digunakan. Syariah Islam didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah tanpa alasan hukum apapun, tetapi tetap bertumpu pada semangat kedua sumber Islam tersebut. Jadi, syari'at Islam itu konstan sedangkan hukum Islam bersifat temporal. Dalam konteks hukum positif, hukum Islam memiliki prospek yang baik selama para praktisi hukum mampu mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki oleh hukum IslamPengetahuan legal drafting merambah ke wilayah hukum privat sebab untuk membuat dan memahami dokumen-dokumen hukum maupun surat-surat penting juga dibutuhkan ilmu yang dipakai dalam penyusunan peraturan perundang-undangan itu. Hampir setiap urusan bisnis yang berkaitan hukum ekonomi, baik organisasi dan perseroan (corporate) maupun personal perorangan akan memerlukan perjanjian atau kontrak sebagai koridor dasar yang akan menentukan hak, kewajiban, dan wewenang para pihak yang terlibat didalamnya","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"87 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130517778","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-07-15DOI: 10.37035/alqisthas.v12i1.3699
Romadiah Romadiah
Pada dasarnya, tidak ada dikotomi antara politik dan Islam. Keduanya merupakan komponen yang saling melengkapi. Adanya berbagai kalangan yang menyatakan bahwa Islam dan politik haruslah dipisahkan merupakan salah satu bentuk jalan menuju kemunduran suatu bangsa. Era sekulerisme oleh Attaturk seringkali menjadi patokan. Rasulullah sebagai pribadi yang kompeten dalam mengelola negara dan kemajuan isalm akibat dakwah struktura kurang diketahui oleh masyarakat luas. Padahal, dakwah struktural lebih membuahkan hasil dibanding dakwah kultural. Hal inilah yang mendorong pentingnya politik dalam menentukan kualitas Islam. Untuk mengetahui politik, haruslah diketahui terlebih dahulu mengenai ideologi politik. Ideologi politik merupakan landasan dalam menerapkan sistem pemerintahan suatu negara. Setelah mengamati dan mengklasifikasi ideologi politik yang berkembang di dunia, barulah dikaitkan dengan ideologi politik Islam yang bersumber dari Rasulullah, yakni demokrasi Islam yang menjadikan manusia sebagai wakil Allah yang mengemban amanah dari-Nya untuk mengelola bumi.
{"title":"DEMOKRASI ISLAM DAN PERKEMBANGAN IDEOLOGI POLITIK DUNIA","authors":"Romadiah Romadiah","doi":"10.37035/alqisthas.v12i1.3699","DOIUrl":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i1.3699","url":null,"abstract":"Pada dasarnya, tidak ada dikotomi antara politik dan Islam. Keduanya merupakan komponen yang saling melengkapi. Adanya berbagai kalangan yang menyatakan bahwa Islam dan politik haruslah dipisahkan merupakan salah satu bentuk jalan menuju kemunduran suatu bangsa. Era sekulerisme oleh Attaturk seringkali menjadi patokan. Rasulullah sebagai pribadi yang kompeten dalam mengelola negara dan kemajuan isalm akibat dakwah struktura kurang diketahui oleh masyarakat luas. Padahal, dakwah struktural lebih membuahkan hasil dibanding dakwah kultural. Hal inilah yang mendorong pentingnya politik dalam menentukan kualitas Islam. Untuk mengetahui politik, haruslah diketahui terlebih dahulu mengenai ideologi politik. Ideologi politik merupakan landasan dalam menerapkan sistem pemerintahan suatu negara. Setelah mengamati dan mengklasifikasi ideologi politik yang berkembang di dunia, barulah dikaitkan dengan ideologi politik Islam yang bersumber dari Rasulullah, yakni demokrasi Islam yang menjadikan manusia sebagai wakil Allah yang mengemban amanah dari-Nya untuk mengelola bumi.","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130977065","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}