Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.30641/HAM.2019.10.1-17
Yesaya Sandang
Sebagai salah satu sektor pembangunan yang terus berkembang pesat di Indonesia, kepariwisataan tidak terpisahkan dari pembahasan hak asasi manusia. Oleh karena itu, artikel ini berupaya untuk mengulas lebih jauh hubungan antara pariwisata dan hak asasi manusia serta mengkategorikan berbagai ranah pembahasannya secara sistematis. Dengan menggunakan pendekatan studi kepustakaan, artikel ini secara sistematis mengulas berbagai kelompok pembahasan pariwisata dan hak asasi manusia serta mengaitkan salah satunya dengan perkembangan terkini dalam area bisnis dan hak asasi manusia, yakni Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGPs). Artikel ini memiliki tujuan untuk memperkenalkan hubungan prinsip-prinsip bisnis dan hak asasi manusia ke dalam sektor pariwisata sembari membahas peluang dan tantangan pengarusutamaan prinsip-prinsip tersebut bagi kepariwisataan di Indonesia. Kesimpulannya, mengelola dimensi HAM dalam hubungannya dengan kepariwisataan membutuhkan pendekatan yang saksama (prinsip kehati-hatian). Perhatian utama perlu diberikan terhadap sejauh mana terdapat ketegasan untuk mengarusutamakan implementasi bisnis dan HAM bagi usaha pariwisata. Singkatnya, apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang kepariwisataan masih perlu dielaborasi lebih jauh pada berbagai jenjang regulasi (hingga ke tingkat destinasi) dan subsektor usaha pariwisata. Pada akhirnya, diajukan beberapa rekomendasi strategis dalam upaya mengarusutamakan prinsip-prinsip bisnis dan HAM bagi sektor pariwisata di Indonesia.
{"title":"Pengarusutamaan Prinsip-Prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia Bagi Sektor Pariwisata di Indonesia","authors":"Yesaya Sandang","doi":"10.30641/HAM.2019.10.1-17","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2019.10.1-17","url":null,"abstract":"Sebagai salah satu sektor pembangunan yang terus berkembang pesat di Indonesia, kepariwisataan tidak terpisahkan dari pembahasan hak asasi manusia. Oleh karena itu, artikel ini berupaya untuk mengulas lebih jauh hubungan antara pariwisata dan hak asasi manusia serta mengkategorikan berbagai ranah pembahasannya secara sistematis. Dengan menggunakan pendekatan studi kepustakaan, artikel ini secara sistematis mengulas berbagai kelompok pembahasan pariwisata dan hak asasi manusia serta mengaitkan salah satunya dengan perkembangan terkini dalam area bisnis dan hak asasi manusia, yakni Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGPs). Artikel ini memiliki tujuan untuk memperkenalkan hubungan prinsip-prinsip bisnis dan hak asasi manusia ke dalam sektor pariwisata sembari membahas peluang dan tantangan pengarusutamaan prinsip-prinsip tersebut bagi kepariwisataan di Indonesia. Kesimpulannya, mengelola dimensi HAM dalam hubungannya dengan kepariwisataan membutuhkan pendekatan yang saksama (prinsip kehati-hatian). Perhatian utama perlu diberikan terhadap sejauh mana terdapat ketegasan untuk mengarusutamakan implementasi bisnis dan HAM bagi usaha pariwisata. Singkatnya, apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang kepariwisataan masih perlu dielaborasi lebih jauh pada berbagai jenjang regulasi (hingga ke tingkat destinasi) dan subsektor usaha pariwisata. Pada akhirnya, diajukan beberapa rekomendasi strategis dalam upaya mengarusutamakan prinsip-prinsip bisnis dan HAM bagi sektor pariwisata di Indonesia.","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"48 6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132969059","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.30641/HAM.2019.10.69-83
Sudjana Sudjana
Negara hukum memberikan perlindungan terhadap HAM, karena merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan universal, sehingga harus dilindungi dan tidak boleh dikurangi, oleh siapapun. Tujuan penelitian ini adalah menentukan pembatasan Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) dalam perspektif HAM, sehingga diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan sumber data dari hasil studi kepustakaan, teknik pengumpulan data studi dokumen, dan dengan metode analisis data normatif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa pembatasan untuk mendapatkan Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) sesuai perundang-undangan mencakup pembatasan perlindungan; hasil karya yang tidak dilindungi; karya yang tidak Hak Cipta; perbuatan yang tidak dianggap pelanggaran Hak Cipta; penggunaan yang wajar. Berdasarkan penafsiran sistematis perundang-undangan di bidang HAM dan Hak Cipta serta doktrin hak yang dapat dibatasi pemenuhannya, maka pembatasan untuk mendapatkan Hak Cipta tidak bertentangan dengan HAM. Saran yang diberikan penulis adalah pemerintah perlu memberikan pemahaman yang komprehesif kepada masyarakat tentang ilmu pengetahuan, seni dan budaya yang berpotensi mendapatkan Hak Cipta dan pembatasan Hak Cipta sesuai perundangan-undangan, mengingat pembajakan di bidang Hak Cipta lebih banyak dibandingkan dengan Kekayaan Intelektual lainnya.
{"title":"Pembatasan Perlindungan Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) dalam Perspektif Hak Asasi Manusia","authors":"Sudjana Sudjana","doi":"10.30641/HAM.2019.10.69-83","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2019.10.69-83","url":null,"abstract":"Negara hukum memberikan perlindungan terhadap HAM, karena merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan universal, sehingga harus dilindungi dan tidak boleh dikurangi, oleh siapapun. Tujuan penelitian ini adalah menentukan pembatasan Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) dalam perspektif HAM, sehingga diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan sumber data dari hasil studi kepustakaan, teknik pengumpulan data studi dokumen, dan dengan metode analisis data normatif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa pembatasan untuk mendapatkan Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) sesuai perundang-undangan mencakup pembatasan perlindungan; hasil karya yang tidak dilindungi; karya yang tidak Hak Cipta; perbuatan yang tidak dianggap pelanggaran Hak Cipta; penggunaan yang wajar. Berdasarkan penafsiran sistematis perundang-undangan di bidang HAM dan Hak Cipta serta doktrin hak yang dapat dibatasi pemenuhannya, maka pembatasan untuk mendapatkan Hak Cipta tidak bertentangan dengan HAM. Saran yang diberikan penulis adalah pemerintah perlu memberikan pemahaman yang komprehesif kepada masyarakat tentang ilmu pengetahuan, seni dan budaya yang berpotensi mendapatkan Hak Cipta dan pembatasan Hak Cipta sesuai perundangan-undangan, mengingat pembajakan di bidang Hak Cipta lebih banyak dibandingkan dengan Kekayaan Intelektual lainnya.","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"92 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133173837","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.30641/HAM.2019.10.57-67
V. H. Situmorang
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih saja terjadi di Indonesia. Hal tersebut tentunya melanggar hak asasi manusia yang mana telah diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menyoroti mengapa masih saja terjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau sering diistilahkan perilaku intoleransi diskriminatif yang cenderung bersifat anarkis. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan dan memanfaatkan informasi terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun sifat penelitian ini adalah analis deskriptif. Sumber data adalah data sekunder. Dengan masih saja terjadinya peristiwa atau kasus intoleransi diskriminatif, tentunya merupakan sinyal bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai pembenahan dan evaluasi di sektor penegakan hukum dan aparatur pemerintah, berikut pembinaan terhadap masyarakat secara menyeluruh, baik melalui sistem pendidikan sekolah maupun sosialisasi tentang kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
{"title":"Kebebasan Beragama Sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia","authors":"V. H. Situmorang","doi":"10.30641/HAM.2019.10.57-67","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2019.10.57-67","url":null,"abstract":"Pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih saja terjadi di Indonesia. Hal tersebut tentunya melanggar hak asasi manusia yang mana telah diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menyoroti mengapa masih saja terjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau sering diistilahkan perilaku intoleransi diskriminatif yang cenderung bersifat anarkis. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan dan memanfaatkan informasi terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun sifat penelitian ini adalah analis deskriptif. Sumber data adalah data sekunder. Dengan masih saja terjadinya peristiwa atau kasus intoleransi diskriminatif, tentunya merupakan sinyal bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai pembenahan dan evaluasi di sektor penegakan hukum dan aparatur pemerintah, berikut pembinaan terhadap masyarakat secara menyeluruh, baik melalui sistem pendidikan sekolah maupun sosialisasi tentang kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"46 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128135631","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.30641/HAM.2019.10.99-113
B. Bangun
Perkembangan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai perwujudan dari komunitas ASEAN pada sisi lain berhadapan dengan prinsip kedaulatan negara yang dipegang teguh oleh negara anggota ASEAN serta adanya perbedaan sistem politik dan pemerintahan yang mencolok dari negara-negara anggota. Tulisan ini berfokus pada pengaruh dari sistem dan mekanisme HAM nasional negara-negara anggota ASEAN terutama yang ditunjukkan melalui perlindungan HAM dalam konstitusi dan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM. Melalui pembahasan dan analisis didapatkan hasil bahwa sistem dan mekanisme HAM nasional negara-negara anggota ASEAN yang ditunjukkan melalui perlindungan HAM dalam konstitusinya maupun melalui pembentukan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan HAM sesungguhnya cukup beragam, namun dapat menjadi modalitas yang memadai bagi sistem dan mekanisme HAM ASEAN sebagai organisasi regional.
{"title":"Perbandingan Sistem dan Mekanisme HAM Negara-Negara Anggota Asean: Tinjauan Konstitusi dan Kelembagaan","authors":"B. Bangun","doi":"10.30641/HAM.2019.10.99-113","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2019.10.99-113","url":null,"abstract":"Perkembangan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai perwujudan dari komunitas ASEAN pada sisi lain berhadapan dengan prinsip kedaulatan negara yang dipegang teguh oleh negara anggota ASEAN serta adanya perbedaan sistem politik dan pemerintahan yang mencolok dari negara-negara anggota. Tulisan ini berfokus pada pengaruh dari sistem dan mekanisme HAM nasional negara-negara anggota ASEAN terutama yang ditunjukkan melalui perlindungan HAM dalam konstitusi dan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM. Melalui pembahasan dan analisis didapatkan hasil bahwa sistem dan mekanisme HAM nasional negara-negara anggota ASEAN yang ditunjukkan melalui perlindungan HAM dalam konstitusinya maupun melalui pembentukan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan HAM sesungguhnya cukup beragam, namun dapat menjadi modalitas yang memadai bagi sistem dan mekanisme HAM ASEAN sebagai organisasi regional.","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"111 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124720128","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.30641/HAM.2019.10.115-126
Desia Rakhma Banjarani, Ricco Andreas
Meskipun Indonesia sudah meratifikasi konvensi-konvensi International Labor Organization (ILO) yang mengatur tentang keseteraan gender, namun faktanya masih banyak berbagai pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan konvensi tersebut. Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa buruh perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih mengalami diskriminasi. Bentuk diskriminasi mulai dari kesenjangan hak kerja, hingga pelecehan seksual. Permasalahan yang akan dibahas oleh peneliti adalah bagaimana pelaksanaan dan perlindungan akses hak pekerja wanita berdasarkan Konvensi ILO dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya hak-hak pekerja wanita sebagaimana mengacu pada Konvensi ILO terdiri dari kesetaraan upah, diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, perlindungan kehamilan dan pekerja dengan tanggung jawab keluarga. Hak-hak tersebut juga telah diatur dan termuat dalam hukum Indonesia yakni dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun dalam praktiknya, masih terdapat beberapa hak pekerja wanita yang belum terpenuhi di berbagai perusahaan Indonesia, seperti hak reproduktif, hak cuti melahirkan, hak perlindungan dari kekerasan seksual serta terjadinya diskriminasi upah, jabatan, dan diskriminasi tunjangan. Sehingga dalam rangka untuk memenuhi hak-hak pekerja wanita, pemerintah Indonesia melakukan berbagai wujud nyata sebagai bentuk Implementasi dari Konvensi ILO di Indonesia.
{"title":"Perlindungan dan Akses Hak Pekerja Wanita di Indonesia: Telaah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Atas Konvensi ILO","authors":"Desia Rakhma Banjarani, Ricco Andreas","doi":"10.30641/HAM.2019.10.115-126","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2019.10.115-126","url":null,"abstract":"Meskipun Indonesia sudah meratifikasi konvensi-konvensi International Labor Organization (ILO) yang mengatur tentang keseteraan gender, namun faktanya masih banyak berbagai pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan konvensi tersebut. Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa buruh perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih mengalami diskriminasi. Bentuk diskriminasi mulai dari kesenjangan hak kerja, hingga pelecehan seksual. Permasalahan yang akan dibahas oleh peneliti adalah bagaimana pelaksanaan dan perlindungan akses hak pekerja wanita berdasarkan Konvensi ILO dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya hak-hak pekerja wanita sebagaimana mengacu pada Konvensi ILO terdiri dari kesetaraan upah, diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, perlindungan kehamilan dan pekerja dengan tanggung jawab keluarga. Hak-hak tersebut juga telah diatur dan termuat dalam hukum Indonesia yakni dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun dalam praktiknya, masih terdapat beberapa hak pekerja wanita yang belum terpenuhi di berbagai perusahaan Indonesia, seperti hak reproduktif, hak cuti melahirkan, hak perlindungan dari kekerasan seksual serta terjadinya diskriminasi upah, jabatan, dan diskriminasi tunjangan. Sehingga dalam rangka untuk memenuhi hak-hak pekerja wanita, pemerintah Indonesia melakukan berbagai wujud nyata sebagai bentuk Implementasi dari Konvensi ILO di Indonesia. ","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130827127","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.30641/HAM.2019.10.19-37
Tony Yuri Rahmanto
Dinamika politik di Indonesia pada penghujung tahun 2018 kembali hangat disebabkan oleh terbitnya Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental berhak memperoleh hak pilih sehingga dapat didata sebagai pemilih. Hal tersebut menimbulkan pendapat beragam dimana akhirnya pemerintah mengakomodir hak penyandang disabilitas mental namun disisi lain memunculkan kekhawatiran bagi penyandang disabilitas mental apakah dapat menggunakan hak pilihnya secara baik dan benar atau tidak. Tujuan penulisan ini untuk memberikan pengertian komprehensif mengenai penyandang disabilitas mental, mendeskripsikan dasar hukum terkait hak pilih bagi penyandang disabilitas mental dan mendeskripsikan hak pilih penyandang disabilitas mental ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap fakta dan menyuguhkan apa adanya keadaan, fenomena, serta keadaan yang terjadi berdasarkan studi kepustakaan. Dalam penulisan ini mendeskripsikan bahwa penyandang disabilitas mental sejatinya tetap dapat diberikan hak pilih dalam pemilihan umum karena sejauh ini tidak ada larangan bagi penyandang disabilitas mental untuk memperoleh haknya. Sementara dari perspektif HAM memandang bahwa pemberian hak pilih bagi penyandang disabilitas adalah mutlak karena penyandang disabilitas mental juga merupakan bagian dari warga negara yang diberikan hak oleh negara untuk dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi secara prosedural.
{"title":"Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas Mental Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia","authors":"Tony Yuri Rahmanto","doi":"10.30641/HAM.2019.10.19-37","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2019.10.19-37","url":null,"abstract":"Dinamika politik di Indonesia pada penghujung tahun 2018 kembali hangat disebabkan oleh terbitnya Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental berhak memperoleh hak pilih sehingga dapat didata sebagai pemilih. Hal tersebut menimbulkan pendapat beragam dimana akhirnya pemerintah mengakomodir hak penyandang disabilitas mental namun disisi lain memunculkan kekhawatiran bagi penyandang disabilitas mental apakah dapat menggunakan hak pilihnya secara baik dan benar atau tidak. Tujuan penulisan ini untuk memberikan pengertian komprehensif mengenai penyandang disabilitas mental, mendeskripsikan dasar hukum terkait hak pilih bagi penyandang disabilitas mental dan mendeskripsikan hak pilih penyandang disabilitas mental ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap fakta dan menyuguhkan apa adanya keadaan, fenomena, serta keadaan yang terjadi berdasarkan studi kepustakaan. Dalam penulisan ini mendeskripsikan bahwa penyandang disabilitas mental sejatinya tetap dapat diberikan hak pilih dalam pemilihan umum karena sejauh ini tidak ada larangan bagi penyandang disabilitas mental untuk memperoleh haknya. Sementara dari perspektif HAM memandang bahwa pemberian hak pilih bagi penyandang disabilitas adalah mutlak karena penyandang disabilitas mental juga merupakan bagian dari warga negara yang diberikan hak oleh negara untuk dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi secara prosedural. ","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"NS25 4 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123420902","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.30641/HAM.2019.10.39-55
Pramella Yunindar Pasaribu, Bobby Briando
Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2018 tentang Penghargaan Pelayanan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia, jajaran keimigrasian yang merupakan bagian dari pelayanan publik harus menyesuaikan segala bentuk pelayanan berbasis pada Hak Asasi Manusia. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membangun konsep baru pelayanan keimigrasian berbasis Hak Asasi Manusia sesuai nilai-nilai Pancasila. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif terhadap substansi dan konteks serta refleksi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila merupakan falsafah kehidupan bangsa dan harus menjadi satu-satunya rujukan dalam menginternalisasikan prinsip Hak Asasi Manusia khususnya dalam memberikan pelayanan kepada publik. Kesimpulan menunjukkan bahwa Pelayanan Publik Keimigrasian berbasis Hak Asasi Manusia berdasarkan nilai-nilai Pancasila harus menjadi prioritas utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Saran penulis adalah agar pelayanan publik keimigrasian selalu mengutamakan Hak Asasi Manusia yang sesuai dengan falsafah Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia.
印度尼西亚共和国《法律与人权部长法》(request of human rights) 2018年出版第27号《以人权为基础的公共服务荣誉》(public services of human rights),作为公共服务一部分的移民委员会(imigration)必须调整任何基于人权的服务形式。这篇文章的目的是建立一个基于潘卡西拉价值观的移民服务的新概念。研究方法采用描述性的定性方法,然后对潘卡西拉所体现的价值的物质、环境和反思进行定性分析。潘卡西拉是一个民族生活的哲学,应该是将基本人权原则纳入公共服务的唯一参考点。结论表明,以潘卡西拉价值观为基础的移民人权服务应该是为人民服务的首要任务。作者的建议是,移民公共服务应该把人权放在符合印度尼西亚民族主义和潘卡西拉哲学的地方。
{"title":"Pelayanan Publik Keimigrasian Berbasis HAM Sebagai Perwujudan Tata Nilai “PASTI” Kemenkumham","authors":"Pramella Yunindar Pasaribu, Bobby Briando","doi":"10.30641/HAM.2019.10.39-55","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2019.10.39-55","url":null,"abstract":"Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2018 tentang Penghargaan Pelayanan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia, jajaran keimigrasian yang merupakan bagian dari pelayanan publik harus menyesuaikan segala bentuk pelayanan berbasis pada Hak Asasi Manusia. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membangun konsep baru pelayanan keimigrasian berbasis Hak Asasi Manusia sesuai nilai-nilai Pancasila. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif terhadap substansi dan konteks serta refleksi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila merupakan falsafah kehidupan bangsa dan harus menjadi satu-satunya rujukan dalam menginternalisasikan prinsip Hak Asasi Manusia khususnya dalam memberikan pelayanan kepada publik. Kesimpulan menunjukkan bahwa Pelayanan Publik Keimigrasian berbasis Hak Asasi Manusia berdasarkan nilai-nilai Pancasila harus menjadi prioritas utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Saran penulis adalah agar pelayanan publik keimigrasian selalu mengutamakan Hak Asasi Manusia yang sesuai dengan falsafah Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia.","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121051746","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-19DOI: 10.30641/HAM.2019.10.85-98
Sabrina Nadilla
Upaya untuk membawa nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) ke tingkat lokal sudah mencuat sejak 1990-an, melalui berbagai konsep, salah satunya human rights in the city. Konsep tersebut menantang pendekatan HAM yang selama ini hanya terpusat pada negara, sehingga membuka ruang bagi ide bahwa implementasi nilai-nilai HAM harus ditangani oleh berbagai tingkatan pemerintahan, bukan lagi terbatas pada pemerintah pusat. Dalam konteks Indonesia, upaya melokalkan nilai-nilai HAM telah dilakukan melalui berbagai kebijakan hak asasi manusia. Kebijakan tersebut antara lain penghargaan kabupaten/kota peduli HAM yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan proyek Kota HAM Bandung. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berbasis pada studi kasus, analisis dilakukan dengan menerapkan konsep pendekatan hak asasi manusia (human rights-based approach) dalam kebijakan hak asasi manusia. Dalam perspektif pelokalan hak asasi manusia, kebijakan HAM di Kota Bandung menunjukkan beberapa indikasi. Pertama, kebijakan Deklarasi HAM Bandung sebagai suatu kebijakan berbasis hak asasi manusia yang bersifat bottom-up masih belum mampu mendukung upaya pelokalan HAM di kota Bandung. Kedua, kebijakan Penghargaan Kabupaten/Kota Peduli HAM sebagai suatu kebijakan yang bersifat top-down, meskipun mendapatkan respons positif dari pemerintah kota dan instansi vertikal sebagai bagian dari pelaksana kebijakan, tidak mendapatkan legitimasi yang cukup dari masyarakat kota Bandung.
{"title":"Pelokalan Hak Asasi Manusia Melalui Partisipasi Publik dalam Kebijakan Berbasis Hak Asasi Manusia","authors":"Sabrina Nadilla","doi":"10.30641/HAM.2019.10.85-98","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2019.10.85-98","url":null,"abstract":"Upaya untuk membawa nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) ke tingkat lokal sudah mencuat sejak 1990-an, melalui berbagai konsep, salah satunya human rights in the city. Konsep tersebut menantang pendekatan HAM yang selama ini hanya terpusat pada negara, sehingga membuka ruang bagi ide bahwa implementasi nilai-nilai HAM harus ditangani oleh berbagai tingkatan pemerintahan, bukan lagi terbatas pada pemerintah pusat. Dalam konteks Indonesia, upaya melokalkan nilai-nilai HAM telah dilakukan melalui berbagai kebijakan hak asasi manusia. Kebijakan tersebut antara lain penghargaan kabupaten/kota peduli HAM yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan proyek Kota HAM Bandung. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berbasis pada studi kasus, analisis dilakukan dengan menerapkan konsep pendekatan hak asasi manusia (human rights-based approach) dalam kebijakan hak asasi manusia. Dalam perspektif pelokalan hak asasi manusia, kebijakan HAM di Kota Bandung menunjukkan beberapa indikasi. Pertama, kebijakan Deklarasi HAM Bandung sebagai suatu kebijakan berbasis hak asasi manusia yang bersifat bottom-up masih belum mampu mendukung upaya pelokalan HAM di kota Bandung. Kedua, kebijakan Penghargaan Kabupaten/Kota Peduli HAM sebagai suatu kebijakan yang bersifat top-down, meskipun mendapatkan respons positif dari pemerintah kota dan instansi vertikal sebagai bagian dari pelaksana kebijakan, tidak mendapatkan legitimasi yang cukup dari masyarakat kota Bandung. ","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121467028","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-07DOI: 10.30641/HAM.2018.9.153-174
I. Kusumawardhana, Rusdi J. Abbas
Pasca Deklarasi Bersama Buenos Aires tentang Perdagangan dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan pada Desember 2017 silam, keterlibatan Indonesia kembali menjadikannya berada dipersimpangan jalan. Jika merujuk pada kenyataan bahwahingga kini Indonesia belum memiliki Undang - Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (UU-KKG), polemik kesetaraan dan keadilan gender tetap menjadi sebuah tugas yang jauh dari kata usai untuk Indonesia terutama dalam konteks penjaminan Hak Asasi Manusia. Padahal, substansi Deklarasi Bersama Buenos Aires adalah penekanan terhadap kesetaraan dan keadilan gender pada aktifitas ekonomi, dalam konteks tersebut, kajian ini dirajut dalam rangka mengangkat kembali urgensi UU-KKG, terutama dalam kaitan pemberdayaan ekonomi perempuan pasca Deklarasi Buenos Aires. Pertanyaan utama yang diajukan adalah mengapa UU-KKG penting bagi Indonesia pasca keterlibatannya di dalam Deklarasi Buenos Aires? Menggunakan pendekatan globalisasi ekonomi, hak asasi manusia, dan perspektif gender; serta menggunakan metodologi kualitatif dalam menganalisis permasalahanurgensi Undang-UndangKesetaraan dan Keadilan Gender setelah Indonesia terlibat di dalam Deklarasi Bersama Buenos Aires tentang Perdagangan dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan.
{"title":"Indonesia di Persimpangan: Urgensi “Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender” di Indonesia Pasca Deklarasi Bersama Buenos Aires Pada Tahun 2017","authors":"I. Kusumawardhana, Rusdi J. Abbas","doi":"10.30641/HAM.2018.9.153-174","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2018.9.153-174","url":null,"abstract":"Pasca Deklarasi Bersama Buenos Aires tentang Perdagangan dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan pada Desember 2017 silam, keterlibatan Indonesia kembali menjadikannya berada dipersimpangan jalan. Jika merujuk pada kenyataan bahwahingga kini Indonesia belum memiliki Undang - Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (UU-KKG), polemik kesetaraan dan keadilan gender tetap menjadi sebuah tugas yang jauh dari kata usai untuk Indonesia terutama dalam konteks penjaminan Hak Asasi Manusia. Padahal, substansi Deklarasi Bersama Buenos Aires adalah penekanan terhadap kesetaraan dan keadilan gender pada aktifitas ekonomi, dalam konteks tersebut, kajian ini dirajut dalam rangka mengangkat kembali urgensi UU-KKG, terutama dalam kaitan pemberdayaan ekonomi perempuan pasca Deklarasi Buenos Aires. Pertanyaan utama yang diajukan adalah mengapa UU-KKG penting bagi Indonesia pasca keterlibatannya di dalam Deklarasi Buenos Aires? Menggunakan pendekatan globalisasi ekonomi, hak asasi manusia, dan perspektif gender; serta menggunakan metodologi kualitatif dalam menganalisis permasalahanurgensi Undang-UndangKesetaraan dan Keadilan Gender setelah Indonesia terlibat di dalam Deklarasi Bersama Buenos Aires tentang Perdagangan dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan.","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"107 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124101443","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-07DOI: 10.30641/HAM.2018.9.103-120
Tony Yuri Rahmanto
Fenomena pasangan calon tunggal dalam pilkada serentak tahun 2018 kembali hadir, akan tetapi hadirnya fenomena tersebut di satu sisi memberikan dinamika politik yang berbeda di Indonesia namun di sisi lain disinyalir menempatkan pilkada sebagai proses pemilihan yang tidak memerlukan pilihan sehingga dapat mendegradasi unsur partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang diikuti oleh calon tunggal di Provinsi Banten apakah sudah sesuai dengan perspektif hak memilih dan dipilih serta bagaimana mekanisme untuk mencegah terjadinya calon tunggal dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak khususnya di Provinsi Banten. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap fakta dan menyuguhkan apa adanya keadaan, fenomena, serta keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan. Dalam penulisan ini menemukan fakta bahwa dalam tatanan implementasi belum terlihat adanya jaminan atau pemenuhan hak secara utuh bahwa Pemilihan Kepala Daerah yang diikuti calon tunggal sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai dengan perspektif HAM. Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah, salah satu ukuran kontestasi yang berpersektif HAM adalah penyelenggaraannya harus menjamin tersedianya ruang atau peluang bagi peserta dalam hal ini pasangan calon dan masyarakat untuk memanifestasikan kedaulatannya dalam melaksanakan haknya, dalam baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih.
{"title":"Calon Tunggal dalam Perspektif Hak Memilih dan Dipilih di Provinsi Banten","authors":"Tony Yuri Rahmanto","doi":"10.30641/HAM.2018.9.103-120","DOIUrl":"https://doi.org/10.30641/HAM.2018.9.103-120","url":null,"abstract":"Fenomena pasangan calon tunggal dalam pilkada serentak tahun 2018 kembali hadir, akan tetapi hadirnya fenomena tersebut di satu sisi memberikan dinamika politik yang berbeda di Indonesia namun di sisi lain disinyalir menempatkan pilkada sebagai proses pemilihan yang tidak memerlukan pilihan sehingga dapat mendegradasi unsur partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang diikuti oleh calon tunggal di Provinsi Banten apakah sudah sesuai dengan perspektif hak memilih dan dipilih serta bagaimana mekanisme untuk mencegah terjadinya calon tunggal dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak khususnya di Provinsi Banten. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap fakta dan menyuguhkan apa adanya keadaan, fenomena, serta keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan. Dalam penulisan ini menemukan fakta bahwa dalam tatanan implementasi belum terlihat adanya jaminan atau pemenuhan hak secara utuh bahwa Pemilihan Kepala Daerah yang diikuti calon tunggal sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai dengan perspektif HAM. Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah, salah satu ukuran kontestasi yang berpersektif HAM adalah penyelenggaraannya harus menjamin tersedianya ruang atau peluang bagi peserta dalam hal ini pasangan calon dan masyarakat untuk memanifestasikan kedaulatannya dalam melaksanakan haknya, dalam baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih.","PeriodicalId":342655,"journal":{"name":"Jurnal HAM","volume":"278 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123425510","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}