Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.475
Rosita Sofyaningrum, Ahmad Irham Maulana, Karina Sistiyaningrum, Feri Alfian
This study examines environmental damage in literary works that affects people's lives. This study aims to describe the difficulty of surviving due to environmental damage. Enviromental damage can be overcome by blue economy and green economy,especially in economic improvement and environmental protection. The data sources used in this research are four short stories related to the environment. By using a qualitative descriptive method, the following things were found. The description of environmental damage is depicted through narrative quotes and dialogues from the characters:(1) the difficulty of finding the three-colored bahar root as a drug, (2) the scarcity of clean water sources due to pollution and construction building, (3) the decline in crop yields due to changes in weather, and (4) the ancestral lands no longer able to give life. Second, the survival difficulties of the characters which are described through the narrative quotes and dialogues of the characters. Descriptions of difficulties in survival are (1) difficulties to find food to sustain life in coastal communities, (2) difficulties to find food to the point of sacrificing lives, (3) difficulties to find clean water sources, (4) rubber plantations that are unable to support farmers and their families, (5) the occurrence of crime, and (6) migration some people for a better life. Third, the importance of green economy and blue economy in overcoming the life difficulties of the characters in short stories and reducing environmental damage.AbstrakPenelitian ini mengkaji kerusakan lingkungan dalam karya sastra yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan sulitnya bertahan hidup akibat kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan dapat diatasi dengan blue economy dan green economy,khususnya dalam peningkatan ekonomi dan pelindungan lingkungan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah empat cerpen yang berkaitan dengan lingkungan. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, ditemukan hal-hal berikut. Pertama, gambaran kerusakan lingkungan digambarkan melalui kutipan narasi dan dialog para tokoh. Gambaran kerusakan lingkungan meliputi (1) sulitnya menemukan akar bahar tiga warna sebagai obat, (2) langkanya sumber air bersih akibat pencemaran dan pembangunan gedung, (3) menurunnya hasil panen akibat adanya perubahan cuaca, dan (4) tanah leluhur yang sudah tidak mampu memberikan kehidupan. Kedua, kesulitan bertahan hidup para tokoh yang digambarkan melalui kutipan narasi dan dialognya. Gambaran kesulitan bertahan hidup meliputi (1) sulit mencari makanan untuk menyambung hidup masyarakat pesisir, (2) sulitnya mencari makan hingga mengorbankan nyawa, (3) sulitnya menemukan sumber air bersih, (4) perkebunan karet yang tidak mampu menghidupi petani dan keluarganya, (5) terjadinya kriminalitas, dan (6) perantauan beberapa orang untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ketiga, pentingnya green economy dan blue economy dalam mengatasi kesulitan h
{"title":"Blue Economy and Green Economy: Ecocritical Study of Kompas Short Stories Collection Keluarga Kudus","authors":"Rosita Sofyaningrum, Ahmad Irham Maulana, Karina Sistiyaningrum, Feri Alfian","doi":"10.26499/surbet.v18i1.475","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.475","url":null,"abstract":"This study examines environmental damage in literary works that affects people's lives. This study aims to describe the difficulty of surviving due to environmental damage. Enviromental damage can be overcome by blue economy and green economy,especially in economic improvement and environmental protection. The data sources used in this research are four short stories related to the environment. By using a qualitative descriptive method, the following things were found. The description of environmental damage is depicted through narrative quotes and dialogues from the characters:(1) the difficulty of finding the three-colored bahar root as a drug, (2) the scarcity of clean water sources due to pollution and construction building, (3) the decline in crop yields due to changes in weather, and (4) the ancestral lands no longer able to give life. Second, the survival difficulties of the characters which are described through the narrative quotes and dialogues of the characters. Descriptions of difficulties in survival are (1) difficulties to find food to sustain life in coastal communities, (2) difficulties to find food to the point of sacrificing lives, (3) difficulties to find clean water sources, (4) rubber plantations that are unable to support farmers and their families, (5) the occurrence of crime, and (6) migration some people for a better life. Third, the importance of green economy and blue economy in overcoming the life difficulties of the characters in short stories and reducing environmental damage.AbstrakPenelitian ini mengkaji kerusakan lingkungan dalam karya sastra yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan sulitnya bertahan hidup akibat kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan dapat diatasi dengan blue economy dan green economy,khususnya dalam peningkatan ekonomi dan pelindungan lingkungan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah empat cerpen yang berkaitan dengan lingkungan. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, ditemukan hal-hal berikut. Pertama, gambaran kerusakan lingkungan digambarkan melalui kutipan narasi dan dialog para tokoh. Gambaran kerusakan lingkungan meliputi (1) sulitnya menemukan akar bahar tiga warna sebagai obat, (2) langkanya sumber air bersih akibat pencemaran dan pembangunan gedung, (3) menurunnya hasil panen akibat adanya perubahan cuaca, dan (4) tanah leluhur yang sudah tidak mampu memberikan kehidupan. Kedua, kesulitan bertahan hidup para tokoh yang digambarkan melalui kutipan narasi dan dialognya. Gambaran kesulitan bertahan hidup meliputi (1) sulit mencari makanan untuk menyambung hidup masyarakat pesisir, (2) sulitnya mencari makan hingga mengorbankan nyawa, (3) sulitnya menemukan sumber air bersih, (4) perkebunan karet yang tidak mampu menghidupi petani dan keluarganya, (5) terjadinya kriminalitas, dan (6) perantauan beberapa orang untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ketiga, pentingnya green economy dan blue economy dalam mengatasi kesulitan h","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44070821","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This study aims at revealing English representation on the business signboards in some business centers in Padang. This research is a qualitative descriptive study that helps researchers to have a thorough analysis of the data. Linguistic landscape and visual semiotics theories proposed by Landry and Bourhis, Kress and van Leeuwen, and Scollon and Scollon are applied to discuss the results. The visual semiotics theory is specified for only composition, especially given and new composition. The study finds that there are 687 data with 957 compositions of given-new, ideal-real, and center-margin information. Among them are 54 (6%) given compositions and 221 (23%) new compositions. It indicates that the business owners in Padang mostly use English as a subordinate language on the signboard. The business owners use English on the signboards to give new information to promote their stores. Hopefully, this research can give more contributions to the linguistic landscape in Padang. It also can broaden the readers’ horizons about the language in public spaces, especially the language used in business areas.AbstrakPenelitian ini bertujuan mengungkap penggambaran bahasa Inggris pada papan nama bisnis di beberapa pusat bisnis di Padang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang membantu peneliti untuk melakukan analisis data secara mendalam. Teori lanskap linguistik dan semiotika visual oleh Landry dan Bourhis, Kress dan van Leeuwen, dan Scollon dan Scollon diterapkan untuk membahas hasil penelitian. Teori semiotika visual dikhususkan hanya untuk komposisi, terutama komposisi ‘given’ dan komposisi ‘new’. Penelitian ini menemukan bahwa ada 687 data dengan 957 komposisi informasi yang given-new, ideal-real, dan center-margin. Diantaranya, terdapat 54 (6%) komposisi given dan 221 (23%) komposisi new. Hal ini menunjukkan bahwa pemilik bisnis di Padang sebagian besar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pelengkap pada papan nama. Pemilik usaha menggunakan bahasa Inggris pada papan nama untuk memberikan informasi baru untuk mempromosikan toko mereka. Diharapkan penelitian ini dapat menambah kontribusi penelitian lanskap linguistik di kota Padang. Selain itu, penelitian ini dapat memperluas wawasan pembaca mengenai bahasa di ruang publik, khususnya di bidang bisnis.
{"title":"English Depiction of Given-New Information in Business-Scape in Padang: a Linguistic Landscape Exploration","authors":"Kamelia Sari, Nfn Oktavianus, Nfn Zulprianto, Nfn Novalinda","doi":"10.26499/surbet.v18i1.6466","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.6466","url":null,"abstract":"This study aims at revealing English representation on the business signboards in some business centers in Padang. This research is a qualitative descriptive study that helps researchers to have a thorough analysis of the data. Linguistic landscape and visual semiotics theories proposed by Landry and Bourhis, Kress and van Leeuwen, and Scollon and Scollon are applied to discuss the results. The visual semiotics theory is specified for only composition, especially given and new composition. The study finds that there are 687 data with 957 compositions of given-new, ideal-real, and center-margin information. Among them are 54 (6%) given compositions and 221 (23%) new compositions. It indicates that the business owners in Padang mostly use English as a subordinate language on the signboard. The business owners use English on the signboards to give new information to promote their stores. Hopefully, this research can give more contributions to the linguistic landscape in Padang. It also can broaden the readers’ horizons about the language in public spaces, especially the language used in business areas.AbstrakPenelitian ini bertujuan mengungkap penggambaran bahasa Inggris pada papan nama bisnis di beberapa pusat bisnis di Padang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang membantu peneliti untuk melakukan analisis data secara mendalam. Teori lanskap linguistik dan semiotika visual oleh Landry dan Bourhis, Kress dan van Leeuwen, dan Scollon dan Scollon diterapkan untuk membahas hasil penelitian. Teori semiotika visual dikhususkan hanya untuk komposisi, terutama komposisi ‘given’ dan komposisi ‘new’. Penelitian ini menemukan bahwa ada 687 data dengan 957 komposisi informasi yang given-new, ideal-real, dan center-margin. Diantaranya, terdapat 54 (6%) komposisi given dan 221 (23%) komposisi new. Hal ini menunjukkan bahwa pemilik bisnis di Padang sebagian besar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pelengkap pada papan nama. Pemilik usaha menggunakan bahasa Inggris pada papan nama untuk memberikan informasi baru untuk mempromosikan toko mereka. Diharapkan penelitian ini dapat menambah kontribusi penelitian lanskap linguistik di kota Padang. Selain itu, penelitian ini dapat memperluas wawasan pembaca mengenai bahasa di ruang publik, khususnya di bidang bisnis.","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46100953","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.833
Nfn Aswan, G. Susanto
This study aims to investigate Indonesian child politeness through speech represented by the character Susanti in the animated film Upin-Ipin. The animated films Upin-Ipin are popular for children in Indonesian society. This film is considered to be interesting because it is a foreign animated film featuring Indonesian children's characters. Susanti is presented as a representation of Indonesian children in a multicultural society. Seeing this phenomenon, the researcher aims to further explore Susanti’s utterance in the context of politeness. This study focuses on examining Susanti's politeness based on Leech's politeness principles which consists of six maxims. The qualitative method used in this study utilizes a pragmatic approach as an analytical tool. The research data are utterances of Susanti which were collected from eight events in six episodes of the film. The data source was the six episodes uploaded by Les'copaqe YouTube channel. The results of the study show that Susanti's utterances tens to represent the maxim of wisdom. These results show that Susanti’s utterances represented the politeness of Indonesian children, especially in the preschool context, which was in accordance with the background of the character of Susanti. AbstrakTujuan penelitian ini adalah menginvestigasi kesantunan anak Indonesia melalui tuturan yang direpresentasikan oleh tokoh Susanti dalam film animasi Upin dan Ipin. Film animasi Upin dan Ipin merupakan salah satu film animasi anak yang populer di masyarakat Indonesia. Film ini dikatakan menarik karena menjadi salah satu film animasi asing yang memunculkan karakter anak Indonesia. Tokoh Susanti dihadirkan sebagai representasi anak Indonesia dalam masyarakat multikultural. Melihat fenomena itu, penulis menelaah lebih lanjut tuturan tokoh Susanti dalam konteks kesantunan. Secara khusus, penelitian ini berfokus pada kesantunan tokoh Susanti berdasarkan prinsip kesantunan Leech yang terdiri atas enam maksim. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan memanfaatkan pendekatan pragmatik. Data penelitian adalah tuturan tokoh Susanti yang ditemukan dari delapan peristiwa di enam episode film Upin dan Ipintersebut. Sumber data diambil dari kanal Youtube @lescopaque. Hasil penelitian menunjukkan, dari delapan peristiwa tutur tokoh Susanti, tuturan tokoh Susanti cenderung didominasi oleh maksim kebijaksanaan. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa tuturan tokoh Susanti telah merepresentasikan kesantunan anak Indonesia, khusus dalam konteks prasekolah yang sesuai dengan latar belakang tokoh Susanti.
本研究旨在通过动画电影《宾品-宾品》中Susanti角色为代表的言语来考察印尼儿童的礼貌行为。动画电影《宾宾》在印尼社会很受孩子们的欢迎。这部电影被认为是有趣的,因为它是一部以印度尼西亚儿童角色为主角的外国动画电影。苏珊蒂是多元文化社会中印度尼西亚儿童的代表。看到这一现象,研究者希望进一步探讨Susanti在礼貌语境下的话语。本研究的重点是在Leech的礼貌原则的基础上考察Susanti的礼貌,该原则由六条格言组成。本研究中使用的定性方法使用语用学方法作为分析工具。研究数据是Susanti的话语,从电影的六集中的八个事件中收集。数据来源于Les’copaqe YouTube频道上传的6集视频。研究结果表明,苏珊蒂的话语往往代表着智慧的格言。这些结果表明,Susanti的话语代表了印尼儿童的礼貌行为,尤其是在学前语境中,这与Susanti的性格背景是一致的。亚衲族AbstrakTujuan penelitian ini adalah menginvestigasi kesantunan人印尼melalui tuturan杨direpresentasikan oleh pokalchuk tokoh王莲香dalam电影animasi在丹Ipin。电影animasi Upin dan Ipin merupakan salah satu电影animasi anak yang populer di masyarakat印度尼西亚。电影ini dikatakan menarik karena menjadi salah satu电影animasi asingyang menunculkan karakter anak印度尼西亚。Tokoh Susanti dihadirkan sebagai代表了印度尼西亚dalam masyarakat的多元文化。Melihat现象,penulis menelaah lebih lanjut tuturan tokoh Susanti dalam konteks kesantunan。Secara khusus,他的女儿,她的女儿,她的女儿,她的女儿,她的女儿,她的女儿,她的女儿,她的女儿,她的女儿。这句话的意思是:“我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是我的意思。”数据penelitian adalah tuturan tokoh Susanti yang ditemukan dari delapan peristitiwa是一集电影《Upin dan Ipintersebut》。夏季数据diambil dari kanal Youtube @lescopaque。Hasil penelitian menunjukkan, dari delapan peristiwa tuturan toksusanti, tuturan toksusanti, tuturan toksusanti, didominasi oleh maksim kebijaksanaan。Dari hasil tersebut ditemukan bahwa tuturan tokoh Susanti telah代表印度尼西亚的亚洲人,khusus dalam konteks prasekolah yang sesuai dengan latar belakang tokoh Susanti。
{"title":"Representation of Indonesian Children's Politeness in an Animated Film: a Pragmatic Study","authors":"Nfn Aswan, G. Susanto","doi":"10.26499/surbet.v18i1.833","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.833","url":null,"abstract":"This study aims to investigate Indonesian child politeness through speech represented by the character Susanti in the animated film Upin-Ipin. The animated films Upin-Ipin are popular for children in Indonesian society. This film is considered to be interesting because it is a foreign animated film featuring Indonesian children's characters. Susanti is presented as a representation of Indonesian children in a multicultural society. Seeing this phenomenon, the researcher aims to further explore Susanti’s utterance in the context of politeness. This study focuses on examining Susanti's politeness based on Leech's politeness principles which consists of six maxims. The qualitative method used in this study utilizes a pragmatic approach as an analytical tool. The research data are utterances of Susanti which were collected from eight events in six episodes of the film. The data source was the six episodes uploaded by Les'copaqe YouTube channel. The results of the study show that Susanti's utterances tens to represent the maxim of wisdom. These results show that Susanti’s utterances represented the politeness of Indonesian children, especially in the preschool context, which was in accordance with the background of the character of Susanti. AbstrakTujuan penelitian ini adalah menginvestigasi kesantunan anak Indonesia melalui tuturan yang direpresentasikan oleh tokoh Susanti dalam film animasi Upin dan Ipin. Film animasi Upin dan Ipin merupakan salah satu film animasi anak yang populer di masyarakat Indonesia. Film ini dikatakan menarik karena menjadi salah satu film animasi asing yang memunculkan karakter anak Indonesia. Tokoh Susanti dihadirkan sebagai representasi anak Indonesia dalam masyarakat multikultural. Melihat fenomena itu, penulis menelaah lebih lanjut tuturan tokoh Susanti dalam konteks kesantunan. Secara khusus, penelitian ini berfokus pada kesantunan tokoh Susanti berdasarkan prinsip kesantunan Leech yang terdiri atas enam maksim. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan memanfaatkan pendekatan pragmatik. Data penelitian adalah tuturan tokoh Susanti yang ditemukan dari delapan peristiwa di enam episode film Upin dan Ipintersebut. Sumber data diambil dari kanal Youtube @lescopaque. Hasil penelitian menunjukkan, dari delapan peristiwa tutur tokoh Susanti, tuturan tokoh Susanti cenderung didominasi oleh maksim kebijaksanaan. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa tuturan tokoh Susanti telah merepresentasikan kesantunan anak Indonesia, khusus dalam konteks prasekolah yang sesuai dengan latar belakang tokoh Susanti.","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47286529","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.6460
Ilham Awaliyah Pimay, Sukarjo Waluyo, M. Suryadi
This research examines the negotiation of social sanctions against the main character Karman in the novel Kubah by Ahmad Tohari. This research uses literary sociology theory with text analysis to identify the factors of the negotiation of social sanctions against former PKI sympathizers in the novel. The results show that (1) Pegaten Village community is thick with rural life and Javanese philosophy inherent in each individual; (2) Javanese philosophy described in the novel includes kamanungsan, tepa slira, sikap perwira, aja dumeh, manungaling kawula gusti, and budi luhur, (3) negotiation of social sanctions materialized in the novel due to Javanese cultural values in life adopted by the local community. Instead of punishing former PKI sympathizers, Pegaten villagers gave Karman the opportunity to make a mosque dome as a form of acceptance of one's dark past. AbstrakPenelitian ini mengkaji negosiasi atas sanksi sosial terhadap tokoh utama Karman dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dengan analisis teks untuk mengidentifikasi faktor adanya negosiasi sanksi sosial terhadap eks simpatisan PKI dalam novel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) masyarakat Desa Pegaten kental akan kehidupan perdesaan dan falsafah Jawa yang melekat dalam diri tiap individu; (2) falsafah Jawa yang digambarkan dalam novel Kubah meliputi kamanungsan, tepa slira, sikap perwira, aja dumeh, manungaling kawula gusti dan budi luhur, (3) negosiasi atas sanksi sosial terwujud dalam novel Kubah disebabkan oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam berkehidupan yang dianut oleh masyarakat setempat. Alih-alih menghukum eks simpatisan PKI, masyarakat desa Pegaten justru memberi Karman kesempatan untuk membuat kubah masjid sebagai wujud penerimaan atas masa lalu seseorang yang kelam.
本研究考察了艾哈迈德·托哈里小说《库巴》中主人公卡门的社会制裁谈判。本研究运用文学社会学理论结合文本分析,探讨小说中对前共同情者的社会制裁谈判的因素。结果表明:(1)培腾村社区具有浓厚的乡村生活气息和每个个体内在的爪哇哲学;(2)小说中描述的爪哇哲学包括kamanungsan、tepa slira、sikap perwira、aja dumeh、manungaling kawula gusti和budi luhur;(3)由于当地社区对爪哇文化生活价值观的接受,小说中实现了社会制裁的谈判。佩腾村的村民没有惩罚前印尼共产党的同情者,而是给了卡门一个机会,让他做一个清真寺的圆顶,作为接受自己黑暗过去的一种形式。[摘要]penelitian ini mengkaji negogosiasas as sanksi social terhahad tohaam Kubah karya Ahmad Tohari。Penelitian ini menggunakan teori social ologologisasstra dengan分析teks untuk mengidentifikasi因子为adanya negosia sanksi social hahaks simpatian PKI dalam novel。Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) masyarakat Desa Pegaten kental akan kehidupan perdesaan dan falsafah Jawa yang melekat dalam diri tiap个人;(2) falsafah Jawa yang digambarkan dalam小说Kubah meliputi kamanungsan, tepa slira, sikap perwira, aja dumeh, manungaling kawula gusti dan budi luhur, (3) negosiasi ata sanksi社会terwujud dalam小说Kubah disebabkan oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam berkehidupan yang dianut oleh masyarakat setempat。Alih-alih menghukum周simpatisan PKI, masyarakat desa Pegaten justru成员Karman kesempatan untuk成员kubah masjid sebagai wujud penerimaan和asas masa lalu seseorang yang kelam。
{"title":"The Negotiation of Social Sanctions towards Karman in Ahmad Tohari’s Kubah","authors":"Ilham Awaliyah Pimay, Sukarjo Waluyo, M. Suryadi","doi":"10.26499/surbet.v18i1.6460","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.6460","url":null,"abstract":"This research examines the negotiation of social sanctions against the main character Karman in the novel Kubah by Ahmad Tohari. This research uses literary sociology theory with text analysis to identify the factors of the negotiation of social sanctions against former PKI sympathizers in the novel. The results show that (1) Pegaten Village community is thick with rural life and Javanese philosophy inherent in each individual; (2) Javanese philosophy described in the novel includes kamanungsan, tepa slira, sikap perwira, aja dumeh, manungaling kawula gusti, and budi luhur, (3) negotiation of social sanctions materialized in the novel due to Javanese cultural values in life adopted by the local community. Instead of punishing former PKI sympathizers, Pegaten villagers gave Karman the opportunity to make a mosque dome as a form of acceptance of one's dark past. AbstrakPenelitian ini mengkaji negosiasi atas sanksi sosial terhadap tokoh utama Karman dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dengan analisis teks untuk mengidentifikasi faktor adanya negosiasi sanksi sosial terhadap eks simpatisan PKI dalam novel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) masyarakat Desa Pegaten kental akan kehidupan perdesaan dan falsafah Jawa yang melekat dalam diri tiap individu; (2) falsafah Jawa yang digambarkan dalam novel Kubah meliputi kamanungsan, tepa slira, sikap perwira, aja dumeh, manungaling kawula gusti dan budi luhur, (3) negosiasi atas sanksi sosial terwujud dalam novel Kubah disebabkan oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam berkehidupan yang dianut oleh masyarakat setempat. Alih-alih menghukum eks simpatisan PKI, masyarakat desa Pegaten justru memberi Karman kesempatan untuk membuat kubah masjid sebagai wujud penerimaan atas masa lalu seseorang yang kelam.","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48172145","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.439
R. Budiawan, Vradyna Ashary Utomo
This research aims to describe how CNN Indonesia, Tribunnews.com, and Kompas.com structure their coverage of the Taliban in Indonesia. This study is descriptive-qualitative in nature. Data were collected using the documentation method through the note-taking technique, namely by listening to reports about the Taliban on the CNN Indonesia, Tribunnews.com, and Kompas.com websites, then recording the findings and analyzing them by adopting the Pan and Kosicki analysis model. The results of the study show that those three online media arrange news information in an inverted pyramid structure with an orderly and complete scheme. The comparison of those media can be seen in the theme of the news that is presented about the Taliban, including the impact or consequences of the rule of the Taliban in Afghanistan, the policies or system of the Taliban government in Afghanistan, and the efforts made by the Taliban to have their government recognized immediately. The framing results from those media eventually resulted in a different direction of view, including CNN Indonesia wanting to give a negative view of the Taliban, Tribunnews.com indirectly directing that the Taliban is still a radical group with cruel rules, and Kompas.com being a media that runs its media with balance.Abstrak Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana CNN Indonesia, Tribunnews.com, dan Kompas.com menyusun liputan mereka tentang Taliban di Indonesia. Penelitian ini berjenis kualitatif deskriptif. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumentasi melalui teknik simak catat, yaitu mendengarkan laporan tentang Taliban di laman CNN Indonesia, Tribunnews.com, dan Kompas.com, kemudian mencatat temuan data dan dianalisis dengan mengadopsi model analisis Pan dan Kosicki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga media daring tersebut menyusun informasi berita dengan struktur piramida terbalik dengan skema yang disusun secara teratur dan lengkap. Perbandingan ketiga media daring tersebut tampak pada tema pemberitaan yang dibawakan mengenai Taliban, di antaranya dampak atau akibat dari kekuasaan Taliban di Afghanistan, kebijakan atau sistem pemerintahan Taliban di Afghanistan dan upaya yang dilakukan Taliban agar pemerintahannya segera diakui. Hasil framing dari ketiga media massa itu pun akhirnya menghasilkan perbedaan arah pandangan. CNN Indonesia ingin memberi pandangan negatif terhadap Taliban, Tribunnews.com secara tidak langsung mengarahkan bahwa Taliban masih merupakan kelompok radikal dengan peraturannya yang kejam dan Kompas.com menjadi media yang menjalankan medianya dengan seimbang.
{"title":"Framing Analysis on the News of Taliban in Indonesian Online Media","authors":"R. Budiawan, Vradyna Ashary Utomo","doi":"10.26499/surbet.v18i1.439","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.439","url":null,"abstract":"This research aims to describe how CNN Indonesia, Tribunnews.com, and Kompas.com structure their coverage of the Taliban in Indonesia. This study is descriptive-qualitative in nature. Data were collected using the documentation method through the note-taking technique, namely by listening to reports about the Taliban on the CNN Indonesia, Tribunnews.com, and Kompas.com websites, then recording the findings and analyzing them by adopting the Pan and Kosicki analysis model. The results of the study show that those three online media arrange news information in an inverted pyramid structure with an orderly and complete scheme. The comparison of those media can be seen in the theme of the news that is presented about the Taliban, including the impact or consequences of the rule of the Taliban in Afghanistan, the policies or system of the Taliban government in Afghanistan, and the efforts made by the Taliban to have their government recognized immediately. The framing results from those media eventually resulted in a different direction of view, including CNN Indonesia wanting to give a negative view of the Taliban, Tribunnews.com indirectly directing that the Taliban is still a radical group with cruel rules, and Kompas.com being a media that runs its media with balance.Abstrak Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana CNN Indonesia, Tribunnews.com, dan Kompas.com menyusun liputan mereka tentang Taliban di Indonesia. Penelitian ini berjenis kualitatif deskriptif. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumentasi melalui teknik simak catat, yaitu mendengarkan laporan tentang Taliban di laman CNN Indonesia, Tribunnews.com, dan Kompas.com, kemudian mencatat temuan data dan dianalisis dengan mengadopsi model analisis Pan dan Kosicki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga media daring tersebut menyusun informasi berita dengan struktur piramida terbalik dengan skema yang disusun secara teratur dan lengkap. Perbandingan ketiga media daring tersebut tampak pada tema pemberitaan yang dibawakan mengenai Taliban, di antaranya dampak atau akibat dari kekuasaan Taliban di Afghanistan, kebijakan atau sistem pemerintahan Taliban di Afghanistan dan upaya yang dilakukan Taliban agar pemerintahannya segera diakui. Hasil framing dari ketiga media massa itu pun akhirnya menghasilkan perbedaan arah pandangan. CNN Indonesia ingin memberi pandangan negatif terhadap Taliban, Tribunnews.com secara tidak langsung mengarahkan bahwa Taliban masih merupakan kelompok radikal dengan peraturannya yang kejam dan Kompas.com menjadi media yang menjalankan medianya dengan seimbang.","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44854376","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.4457
Assayyidah Bil Ichromatil Ilmi, Sailal Arimi
This study aims to identify the speech features employed by male and female influencers while promoting food. This research decided to apply a qualitative method, specifically in the form of a case study. Meanwhile, the researchers chose observation through social media, namely Instagram, as the data collection process. The data analysis consists of three stages, such as reduction, presentation, and conclusion. The researchers found that the female influencers use speech features are intensifier, emphatic stress, tag question, rising intonation, empty adjectives, specialized, hypercorrect grammar, super polite forms, avoidance of strong swear, and one form that belongs to the men known as command and directive. Meanwhile, the speech features employed by the men are command and directive, swearing and taboo words, compliments, and theme, and three forms of speech feature that belong to women, which are intensifier, empty adjective, and emphatic stress. The finding of this study is that both genders are not constantly with their own speech features. Both genders also applied speech features that belong to the opposite gender while doing promotion, although the language features of each gender dominate the respective results. AbstrakPenelitian ini bertujuan mengidentifikasi fitur tuturan yang digunakan oleh influencer pria dan wanita saat melakukan promosi makanan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, khususnya dalam bentuk studi kasus. Penulis memilih observasi melalui salah satu media sosial, yakni Instagram, pada proses pengumpulan data. Proses analisis data terdiri atas tiga tahap, yaitu reduksi, penyajian, dan penarikan simpulan. Penulis menemukan bahwa para influencer wanita menggunakan fitur ucapan yang intensif, penekanan tegas, tanda pertanyaan, intonasi tinggi, kata sifat kosong, kata khusus, tata bahasa yang berlebihan, bentuk sangat sopan, menghindari umpatan yang kuat, dan satu bentuk milik pria yang dikenal sebagai perintah dan direktif. Sementara itu, ciri-ciri tuturan yang digunakan oleh influencer laki-laki adalah tuturan perintah dan direktif, umpatan dan kata-kata tabu, pujian, dan tema, serta tiga bentuk tuturan yang dimiliki wanita, yaitu intensifier, kata sifat kosong, dan tekanan empatik. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa kedua jenis influencer tidak selalu memiliki fitur bicara mereka sendiri. Mereka juga menerapkan fitur bicara milik lawan jenis saat melakukan promosi meskipun hasilnya didominasi oleh ciri fitur bahasa pada masing-masing gender.
{"title":"Speech Features in Food Endorsement of Indonesian Influencers: a Study of Language and Gender","authors":"Assayyidah Bil Ichromatil Ilmi, Sailal Arimi","doi":"10.26499/surbet.v18i1.4457","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.4457","url":null,"abstract":"This study aims to identify the speech features employed by male and female influencers while promoting food. This research decided to apply a qualitative method, specifically in the form of a case study. Meanwhile, the researchers chose observation through social media, namely Instagram, as the data collection process. The data analysis consists of three stages, such as reduction, presentation, and conclusion. The researchers found that the female influencers use speech features are intensifier, emphatic stress, tag question, rising intonation, empty adjectives, specialized, hypercorrect grammar, super polite forms, avoidance of strong swear, and one form that belongs to the men known as command and directive. Meanwhile, the speech features employed by the men are command and directive, swearing and taboo words, compliments, and theme, and three forms of speech feature that belong to women, which are intensifier, empty adjective, and emphatic stress. The finding of this study is that both genders are not constantly with their own speech features. Both genders also applied speech features that belong to the opposite gender while doing promotion, although the language features of each gender dominate the respective results. AbstrakPenelitian ini bertujuan mengidentifikasi fitur tuturan yang digunakan oleh influencer pria dan wanita saat melakukan promosi makanan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, khususnya dalam bentuk studi kasus. Penulis memilih observasi melalui salah satu media sosial, yakni Instagram, pada proses pengumpulan data. Proses analisis data terdiri atas tiga tahap, yaitu reduksi, penyajian, dan penarikan simpulan. Penulis menemukan bahwa para influencer wanita menggunakan fitur ucapan yang intensif, penekanan tegas, tanda pertanyaan, intonasi tinggi, kata sifat kosong, kata khusus, tata bahasa yang berlebihan, bentuk sangat sopan, menghindari umpatan yang kuat, dan satu bentuk milik pria yang dikenal sebagai perintah dan direktif. Sementara itu, ciri-ciri tuturan yang digunakan oleh influencer laki-laki adalah tuturan perintah dan direktif, umpatan dan kata-kata tabu, pujian, dan tema, serta tiga bentuk tuturan yang dimiliki wanita, yaitu intensifier, kata sifat kosong, dan tekanan empatik. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa kedua jenis influencer tidak selalu memiliki fitur bicara mereka sendiri. Mereka juga menerapkan fitur bicara milik lawan jenis saat melakukan promosi meskipun hasilnya didominasi oleh ciri fitur bahasa pada masing-masing gender. ","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44942125","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.453
Widyanuari Eko Putra, N. Kistanto, M. Suryadi
W.R. Supratman wrote the novel Perawan Desa (1929) in the colonial era. The novel tells the life of colonial society in the Dutch East Indies era. This study examines the colonial discourse and resistance in the novel with a postcolonial approach. The colonial discourse in question is discrimination, racial superiority, and racism. Forms of resistance in question are stereotype, mimicry, ambivalence, and hybridity. The method used is descriptive qualitative. As a result, the novel contains colonial discourses and resistance. Acts of racial superiority and racism are shown in scenes of harsh treatment of natives, and different treatment before the law. The mimicry is shown in the imitation of the way of dressing, attitude, and reading habits of Dutch novels. The negative assumptions about other parties outside the group show the stereotype is shown in the negative assumptions about other parties outside the group. The ambivalence is shown in the indigenous interest in Dutch newspapers and the Dutch dislike of working as government employees. Hybridity is shown in the embodiment of Dutch houses decorated with local ornaments and the nickname "mientje" for native women. This novel complexly shows colonial discourse with strong responses against it. AbstrakW.R. Supratman menulis novel Perawan Desa (1929) pada era kolonial. Novel itu bercerita tentang kehidupan masyarakat kolonial pada era Hindia Belanda. Penelitian ini mengkaji wacana kolonial dan resistensi dalam novel tersebut dengan pendekatan poskolonial. Wacana kolonial yang dimaksud ialah diskriminasi, superioritas ras, dan rasisme, yang disampaikan melalui tindakan dan ucapan tokoh. Adapun bentuk resistensi adalah stereotipe, mimikri, ambivalensi, dan hibriditas yang disampaikan dalam bentuk penampilan, cara berpikir tokoh, dan bentuk tempat tinggal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif. Novel Perawan Desa menyuarakan wacana kolonial berupa ucapan orang Belanda yang menyatakan rasnya lebih unggul, perlakuan kasar terhadap bumiputra, dan perbedaan perlakuan di depan hukum. Resistensi terbukti pada tindakan mimikri berupa peniruan cara berpakaian dan kebiasaan membaca roman Belanda. Ambivalensi terbukti pada asumsi negatif terhadap pihak lain di luar kelompoknya, ketertarikan bumiputra pada koran Belanda, dan ketidaksukaan orang Belanda pada pekerjaan pegawai kolonial. Hibriditas terbukti pada pewujudan bangunan rumah Belanda yang dihiasi ornamen lokal dan panggilan “mientje” pada perempuan bumiputra. Novel ini secara kompleks menunjukkan wacana kolonial dengan tanggapan yang kuat terhadapnya.
{"title":"Colonial Discourse and Resistance in the Novel Perawan Desa by W.R. Supratman","authors":"Widyanuari Eko Putra, N. Kistanto, M. Suryadi","doi":"10.26499/surbet.v18i1.453","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.453","url":null,"abstract":"W.R. Supratman wrote the novel Perawan Desa (1929) in the colonial era. The novel tells the life of colonial society in the Dutch East Indies era. This study examines the colonial discourse and resistance in the novel with a postcolonial approach. The colonial discourse in question is discrimination, racial superiority, and racism. Forms of resistance in question are stereotype, mimicry, ambivalence, and hybridity. The method used is descriptive qualitative. As a result, the novel contains colonial discourses and resistance. Acts of racial superiority and racism are shown in scenes of harsh treatment of natives, and different treatment before the law. The mimicry is shown in the imitation of the way of dressing, attitude, and reading habits of Dutch novels. The negative assumptions about other parties outside the group show the stereotype is shown in the negative assumptions about other parties outside the group. The ambivalence is shown in the indigenous interest in Dutch newspapers and the Dutch dislike of working as government employees. Hybridity is shown in the embodiment of Dutch houses decorated with local ornaments and the nickname \"mientje\" for native women. This novel complexly shows colonial discourse with strong responses against it. AbstrakW.R. Supratman menulis novel Perawan Desa (1929) pada era kolonial. Novel itu bercerita tentang kehidupan masyarakat kolonial pada era Hindia Belanda. Penelitian ini mengkaji wacana kolonial dan resistensi dalam novel tersebut dengan pendekatan poskolonial. Wacana kolonial yang dimaksud ialah diskriminasi, superioritas ras, dan rasisme, yang disampaikan melalui tindakan dan ucapan tokoh. Adapun bentuk resistensi adalah stereotipe, mimikri, ambivalensi, dan hibriditas yang disampaikan dalam bentuk penampilan, cara berpikir tokoh, dan bentuk tempat tinggal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif. Novel Perawan Desa menyuarakan wacana kolonial berupa ucapan orang Belanda yang menyatakan rasnya lebih unggul, perlakuan kasar terhadap bumiputra, dan perbedaan perlakuan di depan hukum. Resistensi terbukti pada tindakan mimikri berupa peniruan cara berpakaian dan kebiasaan membaca roman Belanda. Ambivalensi terbukti pada asumsi negatif terhadap pihak lain di luar kelompoknya, ketertarikan bumiputra pada koran Belanda, dan ketidaksukaan orang Belanda pada pekerjaan pegawai kolonial. Hibriditas terbukti pada pewujudan bangunan rumah Belanda yang dihiasi ornamen lokal dan panggilan “mientje” pada perempuan bumiputra. Novel ini secara kompleks menunjukkan wacana kolonial dengan tanggapan yang kuat terhadapnya.","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45741302","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.6455
Natasya Lawrencia, Danial Hidayatullah
This article aims to compare and investigate the movie Yuni (2021) and He Named Me Malala (2015) in terms of how the sociocultural environment affects the main characters' psychological conditions. Despite the differences in their sociocultural conditions, both characters experience some similarities with the recurring trauma, dissociative effect, and reorientation of consciousness. The phenomena is crucial to investigate because Franz Fanon has attempted to prove that psychoanalysis is not a universally applied theory. The purpose of this study is to find out the form of traumatic feelings experienced by the two main characters and identify how dissociative effects and reorientation of consciousness are presented due to traumatic events. The theory of literary trauma by Caruth is employed as the theory to be used in this research. The impact of Malala's and Yuni's traumatic experiences are significantly different. Yuni tends to have the effects of Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), while Malala tends to have a Post Traumatic Growth (PTG). PTSD is regarded as a severe condition that needs expert care to manage and recover from. PTG, on the other hand, describes the positive psychological improvements that certain people may experience after a traumatic occurrence.AbstrakArtikel ini bertujuan membandingkan dan menyelidiki Yuni (2021) dan He Named Me Malala (2015) dalam kaitannya dengan bagaimana lingkungan sosiokultural memengaruhi kondisi psikologis tokoh utama. Terlepas dari perbedaan kondisi sosiokultural mereka, kedua karakter mengalami beberapa kesamaan dengan trauma berulang, efek disosiatif, dan reorientasi kesadaran. Fenomena ini penting untuk diselidiki karena Franz Fanon telah berusaha membuktikan bahwa psikoanalisis bukanlah teori yang diterapkan secara universal. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk perasaan traumatis yang dialami oleh kedua tokoh utama dan mengidentifikasi bagaimana efek disosiatif dan reorientasi kesadaran yang dihadirkan akibat peristiwa traumatis. Teori trauma sastra oleh Cathy Caruth digunakan sebagai teori yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dampak pengalaman traumatis Malala dan Yuni sangat berbeda. Yuni cenderung mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), sedangkan Malala cenderung mengalami Post Traumatic Growth (PTG). PTSD dianggap sebagai kondisi parah yang membutuhkan perawatan ahli untuk dikelola dan dipulihkan. PTG, di sisi lain, menggambarkan peningkatan psikologis positif yang mungkin dialami orang-orang tertentu setelah kejadian traumatis. Dari temuan ini, apa yang dikatakan Fanon bergantung pada situasi di sekitar subjek.
本文旨在从社会文化环境如何影响主要人物心理状况的角度,对电影《尤尼》(2021)和《他给我起名叫马拉拉》(2015)进行比较研究。尽管他们的社会文化条件不同,但两个角色都经历了一些相似之处,比如反复出现的创伤、分离效应和意识的重新定位。这些现象是研究的关键,因为弗朗茨·法农试图证明精神分析不是一个普遍应用的理论。本研究的目的是找出两个主要角色所经历的创伤感受的形式,并确定创伤事件是如何产生解离效应和意识重新定向的。本研究采用卡鲁斯的文学创伤理论作为研究理论。马拉拉和尤尼的创伤经历所产生的影响是截然不同的。Yuni倾向于有创伤后应激障碍(PTSD)的影响,而Malala倾向于有伤后成长(PTG)。创伤后应激障碍被认为是一种严重的疾病,需要专家护理来管理和康复。另一方面,PTG描述了某些人在创伤发生后可能经历的积极心理改善。这篇摘要文章旨在比较和调查Yuni(2021)和He Named Me Malala(2015)关于社会文化环境如何影响主人公的心理状况。尽管他们的社会文化条件不同,但两个角色在反复的创伤、社会影响和意识重新定位方面都有一些相似之处。这一现象值得研究,因为弗朗茨·法农试图证明精神分析不是一个普遍应用的理论。此外,本研究的目的是确定两位主角所经历的创伤情绪的形式,并确定创伤事件是如何造成社会影响和意识重新定向的。凯西·卡鲁斯的文学创伤理论是本研究的理论基础。马拉拉和尤尼的创伤影响非常不同。希腊倾向于经历创伤后应激障碍(PTSD),而马拉拉倾向于经历外伤后成长(PTG)。创伤后应激障碍被认为是一种需要专业护理来管理和恢复的不良状况。另一方面,PTG描述了一些人在创伤后可能经历的积极的心理增长。根据这一发现,法农所说的取决于围绕这个主题的情况。
{"title":"Dissociative Effect and Reorientation of Consciousness in the Movie Yuni and He Named Me Malala","authors":"Natasya Lawrencia, Danial Hidayatullah","doi":"10.26499/surbet.v18i1.6455","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.6455","url":null,"abstract":"This article aims to compare and investigate the movie Yuni (2021) and He Named Me Malala (2015) in terms of how the sociocultural environment affects the main characters' psychological conditions. Despite the differences in their sociocultural conditions, both characters experience some similarities with the recurring trauma, dissociative effect, and reorientation of consciousness. The phenomena is crucial to investigate because Franz Fanon has attempted to prove that psychoanalysis is not a universally applied theory. The purpose of this study is to find out the form of traumatic feelings experienced by the two main characters and identify how dissociative effects and reorientation of consciousness are presented due to traumatic events. The theory of literary trauma by Caruth is employed as the theory to be used in this research. The impact of Malala's and Yuni's traumatic experiences are significantly different. Yuni tends to have the effects of Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), while Malala tends to have a Post Traumatic Growth (PTG). PTSD is regarded as a severe condition that needs expert care to manage and recover from. PTG, on the other hand, describes the positive psychological improvements that certain people may experience after a traumatic occurrence.AbstrakArtikel ini bertujuan membandingkan dan menyelidiki Yuni (2021) dan He Named Me Malala (2015) dalam kaitannya dengan bagaimana lingkungan sosiokultural memengaruhi kondisi psikologis tokoh utama. Terlepas dari perbedaan kondisi sosiokultural mereka, kedua karakter mengalami beberapa kesamaan dengan trauma berulang, efek disosiatif, dan reorientasi kesadaran. Fenomena ini penting untuk diselidiki karena Franz Fanon telah berusaha membuktikan bahwa psikoanalisis bukanlah teori yang diterapkan secara universal. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk perasaan traumatis yang dialami oleh kedua tokoh utama dan mengidentifikasi bagaimana efek disosiatif dan reorientasi kesadaran yang dihadirkan akibat peristiwa traumatis. Teori trauma sastra oleh Cathy Caruth digunakan sebagai teori yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dampak pengalaman traumatis Malala dan Yuni sangat berbeda. Yuni cenderung mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), sedangkan Malala cenderung mengalami Post Traumatic Growth (PTG). PTSD dianggap sebagai kondisi parah yang membutuhkan perawatan ahli untuk dikelola dan dipulihkan. PTG, di sisi lain, menggambarkan peningkatan psikologis positif yang mungkin dialami orang-orang tertentu setelah kejadian traumatis. Dari temuan ini, apa yang dikatakan Fanon bergantung pada situasi di sekitar subjek.","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43642089","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.839
Dita Yulianti, I. Setiawan, D. D. Kusumayanti
This research aims to find some ideologies in the adaptation of a novel into a film that uses qualitative research methods and comparative methods. These ideologies lead us to find out the motive beyond the adaptation work. So, this research discusses two objects. The first object is how the transformations of The Lightning Thief adaptation (from novel to film) are. The second object is the motive beyond the adaptation of The Lightning Thief from a book into a film. This research uses Linda Hutchon’s theory of adaptation as a basis of theory, Roland Barthes’ Mythologies, and the theory film of mise-en-scene as the method to find out the ideology from both the novel and film. The results show some transformations of the ideologies from the book into a film. The novel brings the emergence of feminism, the motherhood role, collectivism, fantasy as the uniqueness of the story, and cultural universality. While the film changes into the emergence of patriarchal ideology, the fatherhood role, individualism, competitiveness, and freedom of American values. These results show three motives of adaptation: cultural capital, personal motive, and economic lures. AbstrakPenelitian ini bertujuan menemukan beberapa ideologi dalam adaptasi novel ke dalam film dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan metode komparatif. Ideologi ini membawa kita untuk menemukan motif dalam karya adaptasi. Jadi, penelitian ini membahas dua objek. Objek pertama adalah bagaimana transformasi adaptasi The Lightning Thief (dari novel ke film). Objek kedua adalah apa motif dibalik adaptasi The Lightning Thief dari sebuah novel menjadi sebuah film. Penelitian ini menggunakan teori adaptasi Linda Hutchon sebagai dasar teori,Mythologies Roland Barthes dan teori film mise-en-scene sebagai metode untuk menemukan ideologi baik dari novel maupun film. Hasilnya menunjukkan beberapa transformasi ideologi dari novel ke film. Novel membawa kemunculan feminisme, peran keibuan, kolektivisme, fantasi sebagai keunikan cerita, dan universalitas budaya. Sementara film berubah menjadi kemunculan ideologi patriarki, peran kebapakan, individualisme, daya saing, dan kebebasan sebagai nilai-nilai Amerika. Hasil ini menunjukkan tiga motif adaptasi, yaitu modal budaya, motif personal, dan iming-iming ekonomi.
本研究旨在运用定性研究方法和比较研究方法,寻找小说改编电影中的一些意识形态。这些意识形态引导我们寻找适应工作之外的动机。因此,本研究讨论了两个对象。第一个问题是《闪电贼》的改编(从小说到电影)是如何转变的。第二个目标是超越《闪电贼》改编成电影的动机。本研究以琳达·哈钦的改编理论为理论基础,以罗兰·巴特的《神话学》为理论基础,以场景改编电影理论为方法,从小说和电影中寻找意识形态。结果显示了从书到电影的一些意识形态的转变。小说带来了女性主义、母性角色、集体主义、幻想作为故事的独特性和文化普遍性的出现。而影片则转变为男权意识形态、父亲角色、个人主义、竞争、自由等美国价值观的出现。研究结果表明,适应的动机有三个:文化资本、个人动机和经济诱惑。摘要:penpenelitian ini bertujuan menemakan beberelian意识形态dalam改编自小说《梦古纳坎》电影《梦古纳坎》方法penpenelitian质的方法比较。意识形态是一种自我意识形态,是一种自我意识形态。贾迪,penelitian的ini成员有一个对象。Objek pertama adalah bagaimana transformasi改编的闪电小偷(达里小说和电影)。Objek kedua adalah motif dibalik改编自《闪电贼》达里·塞布阿小说曼贾迪·塞布阿电影。Penelitian ini menggunakan teori改编Linda Hutchon sebagai dasar teori,Mythologies Roland Barthes danteori电影场景场景sebagai methok menemukan意识形态baik dari小说maupun电影。哈西尼亚·孟农·朱克坎·贝贝拉帕是一部意识形态转型的小说电影。小说是女性主义、自由主义、集体行动主义、幻想主义、社会主义、普遍主义。Sementara电影berubah menjadi kemunculan意识形态patriarki, peran kebapakan,个人主义,daya储蓄,dan kebebasan sebagai nilai nilai美国。哈西尼·门努朱克卡蒂加:母题自适应;雅图·模态布达亚;母题个人;
{"title":"The Changes in Ideology in the Adaptation of Riordan’s The Lightning Thief","authors":"Dita Yulianti, I. Setiawan, D. D. Kusumayanti","doi":"10.26499/surbet.v18i1.839","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.839","url":null,"abstract":"This research aims to find some ideologies in the adaptation of a novel into a film that uses qualitative research methods and comparative methods. These ideologies lead us to find out the motive beyond the adaptation work. So, this research discusses two objects. The first object is how the transformations of The Lightning Thief adaptation (from novel to film) are. The second object is the motive beyond the adaptation of The Lightning Thief from a book into a film. This research uses Linda Hutchon’s theory of adaptation as a basis of theory, Roland Barthes’ Mythologies, and the theory film of mise-en-scene as the method to find out the ideology from both the novel and film. The results show some transformations of the ideologies from the book into a film. The novel brings the emergence of feminism, the motherhood role, collectivism, fantasy as the uniqueness of the story, and cultural universality. While the film changes into the emergence of patriarchal ideology, the fatherhood role, individualism, competitiveness, and freedom of American values. These results show three motives of adaptation: cultural capital, personal motive, and economic lures. AbstrakPenelitian ini bertujuan menemukan beberapa ideologi dalam adaptasi novel ke dalam film dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan metode komparatif. Ideologi ini membawa kita untuk menemukan motif dalam karya adaptasi. Jadi, penelitian ini membahas dua objek. Objek pertama adalah bagaimana transformasi adaptasi The Lightning Thief (dari novel ke film). Objek kedua adalah apa motif dibalik adaptasi The Lightning Thief dari sebuah novel menjadi sebuah film. Penelitian ini menggunakan teori adaptasi Linda Hutchon sebagai dasar teori,Mythologies Roland Barthes dan teori film mise-en-scene sebagai metode untuk menemukan ideologi baik dari novel maupun film. Hasilnya menunjukkan beberapa transformasi ideologi dari novel ke film. Novel membawa kemunculan feminisme, peran keibuan, kolektivisme, fantasi sebagai keunikan cerita, dan universalitas budaya. Sementara film berubah menjadi kemunculan ideologi patriarki, peran kebapakan, individualisme, daya saing, dan kebebasan sebagai nilai-nilai Amerika. Hasil ini menunjukkan tiga motif adaptasi, yaitu modal budaya, motif personal, dan iming-iming ekonomi.","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44030876","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-03DOI: 10.26499/surbet.v18i1.6452
Eka Ugi Sutikno
Undoubtedly W. S. Rendra's poem “Nyanyian Dunia” can be brought closer to semantics, worldviews, and humanities values. However, the three things above become a contrast when faced with research that focuses on eroticism and Newmark's method of translation. Mainly “Di Antara Kita” by Ajip Rosidi, which has not yet been analyzed. This study aims to explain how erotic texts are presented to create aesthetics in poetry writing and how the three poems above are translated through the perspective of the Newmark translation method. The method used in this article is qualitative. The results show that “Di Antara Kita” on ‘Between Us’ and “Nyanyian Duniawi” on ‘A Worldly Song’, translated by Harry Aveling above, is dominated by the free translation method, and the diction contained in the source text and translation cannot be classified into in pornographic texts. The conclusion is that eroticism in the two poems above is confronted with the choice of diction, so the poems “Di Antara Kita” and “Nyanyian Duniawi” are not included in pornography, which is so verbal and obscene. Also, the eroticism in the two poems above reflects the desire of the two subjects who want each other’s love and bodies. AbstrakTidak diragukan lagi, puisi W. S. Rendra yang berjudul “Nyanyian Dunia” memiliki nilai semantik, pandangan dunia, dan humaniora yang kental. Akan tetapi, ketiga hal itu menjadi kontras ketika dihadapkan pada penelitian yang menitikberatkan pada erotisme dan metode penerjemahan ala Newmark. Terlebih “Di Antara Kita” karya Ajip Rosidi yang belum pernah dianalisis. Tujuan kajian ini ialah menjelaskan bagaimana teks erotisme dihadirkan untuk menciptakan estetika dalam penulisan puisi dan bagaimana ketiga puisi di atas diterjemahkan melalui perspektif metode penerjemahan Newmark. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Analisis menunjukkan bahwa “Antara Kita” atas Between Us dan “Nyanyian Duniawi” atas A Worldly Song yang diterjemahkan oleh Harry Aveling didominasi oleh metode free translation dan diksi yang terdapat di dalam teks sumber dan terjemahan tidak dapat digolongkan ke dalam teks pornografi. Simpulan yang diperoleh adalah erotisme di kedua puisi itu dihadapkan pada pemilihan diksi sehingga tidak termasuk ke dalam pornografi yang begitu verbal dan cabul. Erotisme di kedua puisi di atas mencerminkan adanya hasrat dari dua subjek yang saling menginginkan cinta dan tubuh mereka.
毫无疑问,伦德拉的《年月夜》可以更接近语义学、世界观和人文价值。然而,当面对以情色为中心的研究和纽马克的翻译方法时,这三者就形成了对比。主要是Ajip Rosidi的《Di Antara Kita》,尚未被分析。本研究旨在通过纽马克翻译法的视角来解释情色文本如何在诗歌创作中创造美学,以及上述三首诗是如何翻译的。本文采用的方法是定性的。结果表明,上述Harry Aveling翻译的《Between Us》中的“Di Antara Kita”和《A world Song》中的“Nyanyian Duniawi”以意译法为主,源文本和译文中包含的措辞不能归类为色情文本。结论是上述两首诗中的情色面临着措辞的选择,所以《Di Antara Kita》和《Nyanyian Duniawi》这两首诗都没有被列入情色,这是如此的言语和淫秽。此外,上述两首诗中的情色也反映了两个主体想要彼此的爱和身体的欲望。[摘要]tidak diragukan lagi, puisi W. S. Rendra yang berjudul " Nyanyian Dunia " memiliki nilai semantics, pandangan Dunia, dan humaniora yang kental。Akan tetapi, ketiga hali menjadi kontras ketika dihaapkan pada penelitian yang menitikberatkan pada erotisme和metode penerjemahan ala Newmark。Terlebih " Di Antara Kita " karya Ajip Rosidi yang belum pernah dianalis。Tujuan kajian ini ialah menjelaskan bagaimana teks erotisme dihadirkan untuk menciptakan estetika dalam penulisan puisi dan bagaimana ketiga puisi di ata diiterjemahkan melalui perspetif meerjemahan Newmark。Penelitian ini mongunakan方法定性。解析menunjukkan bahwa《Antara Kita》《Between Us》《Nyanyian Duniawi》《A world Song》《diiterjemahkan oleh》哈利·阿韦林(Harry Aveling) didominasi oleh方法意译dan diksi yang terdapat di dalam teks sumber dan terjemahan tidak dapat digolongkan ke dalam teks porn》。Simpulan yang diperoleh adalah erotisme di kedua puisi itu dihadapkan pada pemilihan diksi sehinga tidak termasuk ke dalam porn yang begitu verbal dan cabul。中国日报网讯:中国日报网讯:中国日报网讯:中国日报网讯:中国日报网讯:
{"title":"Erotism and the Translation of the Poetry \"Di Antara Kita\" by Ajip Rosidi and \"Nyanyian Duniawi\" by W.S. Rendra","authors":"Eka Ugi Sutikno","doi":"10.26499/surbet.v18i1.6452","DOIUrl":"https://doi.org/10.26499/surbet.v18i1.6452","url":null,"abstract":"Undoubtedly W. S. Rendra's poem “Nyanyian Dunia” can be brought closer to semantics, worldviews, and humanities values. However, the three things above become a contrast when faced with research that focuses on eroticism and Newmark's method of translation. Mainly “Di Antara Kita” by Ajip Rosidi, which has not yet been analyzed. This study aims to explain how erotic texts are presented to create aesthetics in poetry writing and how the three poems above are translated through the perspective of the Newmark translation method. The method used in this article is qualitative. The results show that “Di Antara Kita” on ‘Between Us’ and “Nyanyian Duniawi” on ‘A Worldly Song’, translated by Harry Aveling above, is dominated by the free translation method, and the diction contained in the source text and translation cannot be classified into in pornographic texts. The conclusion is that eroticism in the two poems above is confronted with the choice of diction, so the poems “Di Antara Kita” and “Nyanyian Duniawi” are not included in pornography, which is so verbal and obscene. Also, the eroticism in the two poems above reflects the desire of the two subjects who want each other’s love and bodies. AbstrakTidak diragukan lagi, puisi W. S. Rendra yang berjudul “Nyanyian Dunia” memiliki nilai semantik, pandangan dunia, dan humaniora yang kental. Akan tetapi, ketiga hal itu menjadi kontras ketika dihadapkan pada penelitian yang menitikberatkan pada erotisme dan metode penerjemahan ala Newmark. Terlebih “Di Antara Kita” karya Ajip Rosidi yang belum pernah dianalisis. Tujuan kajian ini ialah menjelaskan bagaimana teks erotisme dihadirkan untuk menciptakan estetika dalam penulisan puisi dan bagaimana ketiga puisi di atas diterjemahkan melalui perspektif metode penerjemahan Newmark. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Analisis menunjukkan bahwa “Antara Kita” atas Between Us dan “Nyanyian Duniawi” atas A Worldly Song yang diterjemahkan oleh Harry Aveling didominasi oleh metode free translation dan diksi yang terdapat di dalam teks sumber dan terjemahan tidak dapat digolongkan ke dalam teks pornografi. Simpulan yang diperoleh adalah erotisme di kedua puisi itu dihadapkan pada pemilihan diksi sehingga tidak termasuk ke dalam pornografi yang begitu verbal dan cabul. Erotisme di kedua puisi di atas mencerminkan adanya hasrat dari dua subjek yang saling menginginkan cinta dan tubuh mereka.","PeriodicalId":34821,"journal":{"name":"Suar Betang","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42791487","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}