Abstract The purpose of this study is to find the meaning of Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This research is legal research with a statutory, conceptual, and case approach. The results of this study found that Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia was formulated flexibly with open texture and opened legal policy. Using the original intent of grammatical interpretation, it was found that 7 (seven) meanings of Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia were 1) the regional head was the chief of local government, (2) Regional heads must exist and the number is 1 (one) person, (3) the deputy of regional head was not mandatory. If there can be 1 (one) or more people, (4) the regional head must be democratically elected, either directly by the people or by the local representative body, (5) the regional head candidate does not have to be submitted by a political party or a combination of political parties so that it can be an individual candidate, (6) the elected regional head is sufficient to obtain a simple majority of votes, and (7) the deputy of regional head is not obliged to be democratically elected, It is not mandatory to be selected in 1 (one) package of candidate pairs with the regional head, and can be appointed. Keywords: democratic; election; regional head Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 dirumuskan secara fleksibel dengan sifat open texture dan opened legal policy. Dengan menggunakan penafsiran original intent gramtikal, ditemukan 7 (tujuh) makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yakni 1) kepala daerah merupakan chief of local government, (2) kepala daerah wajib ada dan jumlahnya 1 (satu) orang, (3) wakil kepala daerah tidak wajib ada. Jika ada boleh 1 (satu) orang atau lebih, (4) kepala daerah wajib dipilih secara demokratis, baik secara langsung atau oleh DPRD, (5) calon kepala daerah tidak harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik sehingga boleh calon perseorangan, (6) kepala daerah terpilih cukup memperoleh simple majority suara, dan (7) wakil kepala daerah tidak wajib dipilih secara demokratis, tidak wajib dipilih dalam 1 (satu) paket pasangan calon dengan kepala daerah, dan dapat ditunjuk. Kata kunci: demokratis; kepala daerah; pemilihan
摘要本研究的目的是找出1945年印度尼西亚共和国宪法第18条第4款的含义。这项研究是法律研究与法定,概念和案例的方法。研究结果发现,1945年印度尼西亚共和国宪法第18条第4款的制定灵活,具有开放的结构和开放的法律政策。利用语法解释的初衷,发现1945年印度尼西亚共和国宪法第18条第4款的7(7)个含义是:1)大区首长是地方政府的首长;(2)大区首长必须存在且人数为1(1)人;(3)大区首长的副手不是强制性的。如果可以有1人或1人以上,(4)地区负责人必须民主选举,由人民直接选举或由当地代表机构选举;(5)地区负责人候选人不必由政党或政党组合提交,因此可以是个人候选人;(6)当选的地区负责人足以获得简单多数选票;(七)区长副不强制由民主选举产生,不强制与区长在一组候选人对中选出,可以任免。关键词:民主;选举;区域首脑Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna Pasal 18 (4) UUD NRI 1945。Penelitian ini adalah Penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus。hail penelitian ini menemukan bahwa Pasal 18 (4) UUD NRI 1945 dirumuskan secara fleksibel dengan sifat open texture and open legal policy。dunan menggunakan penafsiran original intent gramtikal, ditemukan 7 (tujuh) makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yakni 1) kepala daerah merupakan地方政府首长,(2)kepala daerah wajib ada dan jumlahnya 1 (satu) orang, (3) wakil kepala daerah tidak wajib ada。Jika ada boleh 1 (satu) orang atau lebih, (4) kepala daerah wajib dipilih secara democratis, baik secara langsung atau oleh DPRD, (5) calon kepala daerah tidak harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik sehinga boleh calon perseorangan, (6) kepala daerah terpilih cuppup memperoleh简单多数suara, dan (7) wakil kepala daerah tidak wajib dipilih secara democratis, tidak wajib dipilih dalam 1 (satu) paket pasangan calon dengan kepala daerah, dan dapat ditunjuk。民主主义者;kepala daerah;pemilihan
{"title":"Makna Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945","authors":"Syofyan Hadi","doi":"10.30996/dih.v19i1.7920","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v19i1.7920","url":null,"abstract":"Abstract \u0000The purpose of this study is to find the meaning of Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This research is legal research with a statutory, conceptual, and case approach. The results of this study found that Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia was formulated flexibly with open texture and opened legal policy. Using the original intent of grammatical interpretation, it was found that 7 (seven) meanings of Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia were 1) the regional head was the chief of local government, (2) Regional heads must exist and the number is 1 (one) person, (3) the deputy of regional head was not mandatory. If there can be 1 (one) or more people, (4) the regional head must be democratically elected, either directly by the people or by the local representative body, (5) the regional head candidate does not have to be submitted by a political party or a combination of political parties so that it can be an individual candidate, (6) the elected regional head is sufficient to obtain a simple majority of votes, and (7) the deputy of regional head is not obliged to be democratically elected, It is not mandatory to be selected in 1 (one) package of candidate pairs with the regional head, and can be appointed. \u0000Keywords: democratic; election; regional head \u0000Abstrak \u0000Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 dirumuskan secara fleksibel dengan sifat open texture dan opened legal policy. Dengan menggunakan penafsiran original intent gramtikal, ditemukan 7 (tujuh) makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yakni 1) kepala daerah merupakan chief of local government, (2) kepala daerah wajib ada dan jumlahnya 1 (satu) orang, (3) wakil kepala daerah tidak wajib ada. Jika ada boleh 1 (satu) orang atau lebih, (4) kepala daerah wajib dipilih secara demokratis, baik secara langsung atau oleh DPRD, (5) calon kepala daerah tidak harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik sehingga boleh calon perseorangan, (6) kepala daerah terpilih cukup memperoleh simple majority suara, dan (7) wakil kepala daerah tidak wajib dipilih secara demokratis, tidak wajib dipilih dalam 1 (satu) paket pasangan calon dengan kepala daerah, dan dapat ditunjuk. \u0000Kata kunci: demokratis; kepala daerah; pemilihan","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43050162","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract The limited financial capacity of BPJS Health is one of the problems faced by the National Health Insurance (JKN) program. As an effort to answer this problem, BPJS Kesehatan issued Regulation of the Director of Health Insurance Guarantee for BPJS Kesehatan No. 2 of 2018and Regulation of BPJS Kesehatan number 1 of 2020. The research method used in this study uses a normative juridical method, this research was conducted by analyzing library materials. or the second data is compared with the applicable regulations related to guarantees for the fulfillment of the rights of BPJS participants in cataract surgery services in hospitals. Implications of BPJS Kesehatan Health Insurance Director Regulation No.2 of 2018 Concerning Cataract Service Guarantee In BPJS Kesehatan regulation No.1 of 2020there are difficulties for BPJS patients in carrying out cataract surgery, namely that they can only perform cataract surgery with cataractsufferers with medical indications in the form of decrease in visual acuity with vision less than 6/18, so that in this case it reduces the rights of BPJS patients to receive guarantees for cataract surgery services through BPJS completely. Legal protection for BPJS patients whorequire medical action in the form of cataract surgery at the hospital in the form of preventive legal protection is very weak. Dispute resolution through non-litigation channels can use mediation as an effort to resolve disputes. Mediation itself is a simple and practical effort in resolving disputes which is preceded by finding and bringing together agreements to resolve problems, assisted by one or more mediators who are neutral and only function as facilitators. Keywords: cataract; cataract surgery; cataract operation garantee Abstrak Terbatasnya kemampuan finansial BPJS Kesehatan merupakan salah satu masalah yang dihadapi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebagai upaya menjawab persoalan itu BPJS Kesehatan menerbitkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan No.2 Tahun 2018 dan Peratutran BPJS Kesehatan nomer 1 tahun 2020. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian inimenggunakan metode yuridis normatif, penelitian ini dilakukan dengan menganalisis bahan-bahan pustaka atau data sekunder di bandingkan dengan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan jaminan pemenuhan hak peserta BPJS dalam layanan operasi katarakdi rumah sakit. Implikasi Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan No.2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam peraturan BPJS Kesehatan No.1 Tahun 2020 adalah adanya pembatasan bagi pasien BPJS dalam melakukanoperasi katarak yaitu hanya dapat melakukan operasi katarak dengan penderita penyakit katarak dengan indikasi medis berupa penurunantajam penglihatan dengan visus kurang dari 6/18, sehingga dalam hal ini mengurangi hak pasien BPJS dalam mendapat penjaminan pelayanan operasi katarak melalui BPJS seutuhnya. Perlindungan hukum pasien BPJS yang memerluk
摘要BPJS Health有限的财政能力是国家健康保险(JKN)计划面临的问题之一。为了解决这个问题,BPJS Kesehatan发布了2018年第2号和2020年第1号《健康保险保障总监条例》。本研究所采用的研究方法采用规范的法律方法,本研究是通过分析图书馆资料进行的。或者将第二数据与有关保障BPJS参与者在医院白内障手术服务中的权利的适用法规进行比较。关于白内障服务保障的2018年第2号BPJS Kesehatan健康保险总监条例的影响在2020年第1号BPJS Kesehatan条例中,BPJS患者在进行白内障手术时存在困难,-即他们只能对视力低于6/18的视力下降形式的医学指征白内障患者进行白内障手术,因此在这种情况下,这完全降低了BPJS患者通过BPJS获得白内障手术服务保障的权利。对BPJS患者以白内障手术形式在医院进行轮休医疗行为的预防性法律保护非常薄弱。通过非诉讼渠道解决争议可以利用调解来解决争议。调解本身是解决争端的一项简单而实际的努力,在此之前,在一名或多名中立的调解人的协助下,找到并达成解决问题的协议。白内障白内障手术;白内障手术摘要BPJS Health有限的财政能力是国家健康保险计划面临的问题之一。针对这一问题,BPJS Health发布了《卫生服务保障总监规则》(2018年BPJS Health第2号)和《2020年BPJS健康百分比第1号》。研究中使用的研究方法使用规范的法律方法,这项研究是通过分析图书馆材料或二级数据来完成的,与保证遵守BPJS参与者在医院白内障手术中的权利的邀请相比。《主任医疗服务保障规则》(BPJS Health Year No.2 2018)关于灾难性服务保障的含义在《BPJS Health Rule No.1 2020》中,对从事灾难性手术的BPJS患者有一个限制,即他们只能在签证较少的情况下,对患有视力下降医学指征的灾难性疾病进行灾难性手术。从6/18,因此在这种情况下,减少了BPJS患者通过BPJS接受白内障手术抵押品的权利。以预防性法律保护的形式,对需要采取医疗行动的BPJS患者法律的保护非常薄弱。通过非诉讼途径解决垃圾可以使用调解作为解决问题的工具。调解本身是一种简单而实际的尝试,通过寻求和找到解决问题的协议,借助一个或多个中立的杠杆步骤,并仅作为调解人,来解决先前的冲突。关键词:白内障;白内障手术;白内障手术保障
{"title":"Perlindungan Pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Memperoleh Pelayanan Operasi Katarak di Rumah Sakit","authors":"Amir Surya","doi":"10.30996/dih.v19i1.6562","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v19i1.6562","url":null,"abstract":"Abstract \u0000The limited financial capacity of BPJS Health is one of the problems faced by the National Health Insurance (JKN) program. As an effort to answer this problem, BPJS Kesehatan issued Regulation of the Director of Health Insurance Guarantee for BPJS Kesehatan No. 2 of 2018and Regulation of BPJS Kesehatan number 1 of 2020. The research method used in this study uses a normative juridical method, this research was conducted by analyzing library materials. or the second data is compared with the applicable regulations related to guarantees for the fulfillment of the rights of BPJS participants in cataract surgery services in hospitals. Implications of BPJS Kesehatan Health Insurance Director Regulation No.2 of 2018 Concerning Cataract Service Guarantee In BPJS Kesehatan regulation No.1 of 2020there are difficulties for BPJS patients in carrying out cataract surgery, namely that they can only perform cataract surgery with cataractsufferers with medical indications in the form of decrease in visual acuity with vision less than 6/18, so that in this case it reduces the rights of BPJS patients to receive guarantees for cataract surgery services through BPJS completely. Legal protection for BPJS patients whorequire medical action in the form of cataract surgery at the hospital in the form of preventive legal protection is very weak. Dispute resolution through non-litigation channels can use mediation as an effort to resolve disputes. Mediation itself is a simple and practical effort in resolving disputes which is preceded by finding and bringing together agreements to resolve problems, assisted by one or more mediators who are neutral and only function as facilitators. \u0000Keywords: cataract; cataract surgery; cataract operation garantee \u0000Abstrak \u0000Terbatasnya kemampuan finansial BPJS Kesehatan merupakan salah satu masalah yang dihadapi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebagai upaya menjawab persoalan itu BPJS Kesehatan menerbitkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan No.2 Tahun 2018 dan Peratutran BPJS Kesehatan nomer 1 tahun 2020. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian inimenggunakan metode yuridis normatif, penelitian ini dilakukan dengan menganalisis bahan-bahan pustaka atau data sekunder di bandingkan dengan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan jaminan pemenuhan hak peserta BPJS dalam layanan operasi katarakdi rumah sakit. Implikasi Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan No.2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam peraturan BPJS Kesehatan No.1 Tahun 2020 adalah adanya pembatasan bagi pasien BPJS dalam melakukanoperasi katarak yaitu hanya dapat melakukan operasi katarak dengan penderita penyakit katarak dengan indikasi medis berupa penurunantajam penglihatan dengan visus kurang dari 6/18, sehingga dalam hal ini mengurangi hak pasien BPJS dalam mendapat penjaminan pelayanan operasi katarak melalui BPJS seutuhnya. Perlindungan hukum pasien BPJS yang memerluk","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41427339","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract This paper aims to provide a description of the legal issues that arise, including; to analyze the legal relationship that exists between online drivers and application provider companies and to analyze changes in the status of a partnership legal relationship to a working relationship in the perspective of Indonesian labor law. The research method used is legal research. The results and discussion obtained through the legal materials and approaches used show that: 1) the legal relationship that exists between online drivers and application provider companies is a partnership relationship regulated in Law Number 20 of 2008 concerning Micro, Small and Medium Enterprises Medium as amended in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation with elements consisting of; cooperation either directly or indirectly; there are four principles (mutual need, trust, strengthen, and benefit); presence of business actors; 2) the partnership relationship that is formed between online drivers and application provider companies is different from the work relationship as stipulated in Article 1 number 15 of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower as amended in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, so that the concept of disguised employment relations and dependent employment relations (disguised employment/dependent self-employment) regulated by the International Labor Organization (hereinafter referred to as the ILO) concerning non-standard forms of employment in 2015. Keywords: employment law; employment relationship; partnership relationship Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memberikan perskripsi pada isu hukum yang muncul, antara lain; untuk menganalisis hubungan hukum yang terjalin antara driver online dengan perusahaan penyedia aplikasi dan untuk menganalisis perubahan status hubungan hukum kemitraan menjadi hubungan kerja dalam perspektif hukum ketenagakerjaan Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Hasil dan pembahasan yang diperoleh melalui bahan hukum dan pendekatan yang digunakan, yaitu menunjukan bahwa: 1) hubungan hukum yang terjalin antara driver online dengan perusahaan penyedia aplikasi merupakan hubungan kemitraan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana telah diubah pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan unsur-unsur yang terdiri atas; kerjasama baik secara langsung atau tidak langsung; terdapat empat prinsip (saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan); adanya pelaku usaha; 2) hubungan kemitraan yang terbentuk antara driver online dengan perusahaan penyedia aplikasi berbeda halnya dengan hubungan kerja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sehingga konsep hubungan kerja terselubung dan hubungan kerja mandiri yang bergantung yang diatur pa
摘要本文旨在描述由此产生的法律问题,包括;分析在线司机与应用程序提供商公司之间存在的法律关系,并从印尼劳动法的角度分析合伙法律关系向工作关系的地位变化。使用的研究方法是法律研究。通过使用的法律材料和方法获得的结果和讨论表明:1)在线司机和应用程序提供商公司之间存在的法律关系是2008年关于中小微企业的第20号法律规定的伙伴关系,并经2020年关于创造就业的第11号法律修订,其要素包括;直接或间接合作;有四个原则(相互需要、信任、加强和利益);业务参与者的存在;2)在线司机和应用程序提供商公司之间形成的伙伴关系不同于2003年关于人力的第13号法律第1条第15款规定的工作关系,并经2020年关于创造就业的第11号法律修订;使2015年国际劳工组织(以下简称劳工组织)关于非标准雇佣形式规定的变相雇佣关系和依赖型雇佣关系(变相雇佣/依赖型自营职业)概念得以确立。关键词:劳动法;雇佣关系;伙伴关系ini bertujuan Abstrak颜色为她memberikan perskripsi篇isu hukum杨muncul,安塔拉躺;untuk menganalis hubungan hukum yang terjalin antara driver online dengan perusahaan penyedia应用程序danuntuk menganalis perubahan状态hubungan hukum kemitraan menjadi hubungan kerja dalam perspektif hukum ketenagakerjaan印度尼西亚。penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum。1)在网上开车的人,开车的人,开车的人,开车的人,开车的人,开车的人,开车的人,开车的人,开车的人,开车的人,开车的人,开车的人。喀拉拉邦;Terdapat empat原则(销售委员、委员、委员、委员、委员);Adanya pelaku usaha;2)劳工组织(ILO)劳工组织(ILO)劳工组织(ILO)劳工组织(ILO)劳工组织(ILO)劳工组织(ILO)非标准就业形式(2015)劳工组织(ILO)劳工组织(ILO)劳工组织(ILO)非标准就业形式(2015)劳工组织(ILO)。Kata kunci: hubungan kemitraan;hubungan kerja;hukum ketenagakerjaan
{"title":"Menyoal Tuntutan Driver Online terhadap Perubahan Hubungan Kemitraan Menjadi Hubungan Kerja dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia","authors":"I. M. T. Dewanta, M. Rizal, M. Farid","doi":"10.30996/dih.v19i1.7387","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v19i1.7387","url":null,"abstract":"Abstract \u0000This paper aims to provide a description of the legal issues that arise, including; to analyze the legal relationship that exists between online drivers and application provider companies and to analyze changes in the status of a partnership legal relationship to a working relationship in the perspective of Indonesian labor law. The research method used is legal research. The results and discussion obtained through the legal materials and approaches used show that: 1) the legal relationship that exists between online drivers and application provider companies is a partnership relationship regulated in Law Number 20 of 2008 concerning Micro, Small and Medium Enterprises Medium as amended in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation with elements consisting of; cooperation either directly or indirectly; there are four principles (mutual need, trust, strengthen, and benefit); presence of business actors; 2) the partnership relationship that is formed between online drivers and application provider companies is different from the work relationship as stipulated in Article 1 number 15 of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower as amended in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, so that the concept of disguised employment relations and dependent employment relations (disguised employment/dependent self-employment) regulated by the International Labor Organization (hereinafter referred to as the ILO) concerning non-standard forms of employment in 2015. \u0000Keywords: employment law; employment relationship; partnership relationship \u0000Abstrak \u0000Tulisan ini bertujuan untuk memberikan perskripsi pada isu hukum yang muncul, antara lain; untuk menganalisis hubungan hukum yang terjalin antara driver online dengan perusahaan penyedia aplikasi dan untuk menganalisis perubahan status hubungan hukum kemitraan menjadi hubungan kerja dalam perspektif hukum ketenagakerjaan Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Hasil dan pembahasan yang diperoleh melalui bahan hukum dan pendekatan yang digunakan, yaitu menunjukan bahwa: 1) hubungan hukum yang terjalin antara driver online dengan perusahaan penyedia aplikasi merupakan hubungan kemitraan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana telah diubah pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan unsur-unsur yang terdiri atas; kerjasama baik secara langsung atau tidak langsung; terdapat empat prinsip (saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan); adanya pelaku usaha; 2) hubungan kemitraan yang terbentuk antara driver online dengan perusahaan penyedia aplikasi berbeda halnya dengan hubungan kerja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sehingga konsep hubungan kerja terselubung dan hubungan kerja mandiri yang bergantung yang diatur pa","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46820364","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Tulisan ini bertujuan menganalisis lingkup ganti rugi immateriil dalam putusan pengadilan serta perbandingan ganti rugi dalam KUHPerdata dan NBW. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis normatif, yang bersifat analitis preskriptif, denganpendekatan undang-undang, kasus, dan perbandingan hukum. Tulisan ini tidak hanya membahas ganti rugi immateriil menurut KUHPerdata atas dasar tanggung jawab perbuatan melawan hukum saja, tetapi juga akan dibahas ganti rugi immateriil atas dasartanggung jawab kontraktual, serta perbandingannya dengan ketentuan dalam NBW. Berdasarkan putusan yang dianalisis, lingkup ganti rugi immateriil adalah adanya rasa trauma, terciderainya psikologis, tercemarnya nama baik. Lingkup lainnya menurut Arrest Hooge Raad dan yurisprudensi yaitu kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan tetangganya atau berkurangnyakenikmatan orang atas hak-haknya atas kekayaannya, penderitaan akibat kecelakaan dan hilangnya kebahagiaan hidup. Perbandingan terkait ganti rugi dalam KUHPerdata dan NBW yaitu, mengenai persamaan, bahwa sifat pengaturan ganti rugi yang merupakan hukum pelengkap, prinsip ganti rugi mengembalikan keadaan seakan tidak terjadi wanprestasi/PMH, adanya hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan/ wanprestasi, serta adanya kebebasan hakim dalam menilai besaran ganti rugi. Perbedaanya, bahwa NBW mengaturganti rugi secara umum yang dapat diterapkan terhadap jenis pertanggungjawaban dalam NBW, ganti rugi dalam NBW terdiri dari materiil dan immateriil (termasuk penjelasan lingkupnya), NBW mengatur bentuk ganti rugi, adanya wewenang hakim dalam menilainominal ganti rugi yang disepakati para pihak, kerugian yang mungkin timbul dikemudian hari termasuk jika ada klaim asuransi, pihak ketiga yang ikut dirugikan, serta pihak yang dapat mengajukan ganti rugi. Kata kunci: ganti rugi; immateriil; pengaturan Abstract This paper aims to analyze the scope of immaterial compensation in court decisions as well as a comparison of compensation in the Civil Code and NBW. The research method used is normative juridical method, prescriptive analytical, with statutory, case and comparative law approaches. This paper does not only discuss immaterial compensation according to the Civil Code based on unlawful actsresponsibility, but also discusses immaterial compensation based on contractual responsibility, as well as its comparison with the provisions in the NBW. Based on the court decisions analyzed, the scope of immaterial compensation is the existence of trauma, psychological injury, and defamation of reputation. Another scope according to Arrest Hooge Raad and jurisprudence is losing the enjoyment of a peace caused by neighbors or reduced enjoyment of people over their rights of their wealth, suffering due to accidents and loss of happiness in life. Comparisons related to compensation in the Civil Code and NBW are, regarding similarities, that the nature of compensation arrangements is a complementary law
{"title":"The The Urgency of Arrangement Regarding Immaterial Compensation in Civil Law in Indonesia","authors":"Devi Puspita Sari, S. Rohani, Angga Prihatin","doi":"10.30996/dih.v19i1.7988","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v19i1.7988","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Tulisan ini bertujuan menganalisis lingkup ganti rugi immateriil dalam putusan pengadilan serta perbandingan ganti rugi dalam KUHPerdata dan NBW. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis normatif, yang bersifat analitis preskriptif, denganpendekatan undang-undang, kasus, dan perbandingan hukum. Tulisan ini tidak hanya membahas ganti rugi immateriil menurut KUHPerdata atas dasar tanggung jawab perbuatan melawan hukum saja, tetapi juga akan dibahas ganti rugi immateriil atas dasartanggung jawab kontraktual, serta perbandingannya dengan ketentuan dalam NBW. Berdasarkan putusan yang dianalisis, lingkup ganti rugi immateriil adalah adanya rasa trauma, terciderainya psikologis, tercemarnya nama baik. Lingkup lainnya menurut Arrest Hooge Raad dan yurisprudensi yaitu kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan tetangganya atau berkurangnyakenikmatan orang atas hak-haknya atas kekayaannya, penderitaan akibat kecelakaan dan hilangnya kebahagiaan hidup. Perbandingan terkait ganti rugi dalam KUHPerdata dan NBW yaitu, mengenai persamaan, bahwa sifat pengaturan ganti rugi yang merupakan hukum pelengkap, prinsip ganti rugi mengembalikan keadaan seakan tidak terjadi wanprestasi/PMH, adanya hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan/ wanprestasi, serta adanya kebebasan hakim dalam menilai besaran ganti rugi. Perbedaanya, bahwa NBW mengaturganti rugi secara umum yang dapat diterapkan terhadap jenis pertanggungjawaban dalam NBW, ganti rugi dalam NBW terdiri dari materiil dan immateriil (termasuk penjelasan lingkupnya), NBW mengatur bentuk ganti rugi, adanya wewenang hakim dalam menilainominal ganti rugi yang disepakati para pihak, kerugian yang mungkin timbul dikemudian hari termasuk jika ada klaim asuransi, pihak ketiga yang ikut dirugikan, serta pihak yang dapat mengajukan ganti rugi. \u0000Kata kunci: ganti rugi; immateriil; pengaturan \u0000Abstract \u0000This paper aims to analyze the scope of immaterial compensation in court decisions as well as a comparison of compensation in the Civil Code and NBW. The research method used is normative juridical method, prescriptive analytical, with statutory, case and comparative law approaches. This paper does not only discuss immaterial compensation according to the Civil Code based on unlawful actsresponsibility, but also discusses immaterial compensation based on contractual responsibility, as well as its comparison with the provisions in the NBW. Based on the court decisions analyzed, the scope of immaterial compensation is the existence of trauma, psychological injury, and defamation of reputation. Another scope according to Arrest Hooge Raad and jurisprudence is losing the enjoyment of a peace caused by neighbors or reduced enjoyment of people over their rights of their wealth, suffering due to accidents and loss of happiness in life. Comparisons related to compensation in the Civil Code and NBW are, regarding similarities, that the nature of compensation arrangements is a complementary law","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41984618","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract Article finds a middle way between the principle of legality and unwritten norms to fulfill the sense of justice as mandated by the Law on Judicial Power. Researchers use normative juridical methods through statutory approaches to examine the legal ratio of related laws. Next, the researcher applied qualitative analysis. The results of this study found that the KUHP accommodates living laws and unwritten legal norms in harmony with the principle of legality, therefore the Government must immediately stipulate them by considering everything. Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code stipulates the principle of legality, that is, no act can be punished except under pre-existing criminal law provisions. However, Article 5 paragraph (1) of UU No.48/2009 stipulates that judges must explore, follow, and understand the living legal norms and values felt by society. The novelty of this legal research is to analyze norms and values that are unwritten and not promulgated like written law in upholding a sense of justice in society, and the UU No.48/2009 has obligated judges to pay attention to ongeschreven recht a person can be punished based on the law that lives in society, even though the law does not specify explicitly that the act is a criminal act. Keywords: justice; legality principle; living law Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jalan tengah antara asas legalitas dan norma tidak tertulis dalam rangka pemenuhan rasa keadilan seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Peneliti menggunakan metode yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan untuk mengkaji ratio legis Undang-Undang terkait. Selanjutnya, peneliti menerapkan analisis kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa KUHP mengakomodir hukum yang hidup dan norma hukum yang tidak tertulis secara serasi dengan asas legalitas, oleh karena itu Pemerintah harus segera menetapkannya dengan mempertimbangkan segala sesuatunya. Pasal 1 ayat (1) KUHP menetapkan asas legalitas, yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali dengan ketentuan hukum pidana yang telah ada sebelumnya. Namun, Pasal 5 ayat (1) UU No.48/2009mengatur bahwa hakim harus menggali, mengikuti, dan memahami norma dan nilai hukum yang hidup yang dirasakan masyarakat. Kebaruan penelitian hukum ini adalah dengan menganalisis norma dan nilai yang hidup tidak tertulis dan tidak diundangkan layaknya hukum tertulis dalam menegakkan rasa keadilan masyarakat, dan UU No.48/2009 telah mewajibkan hakim untuk memperhatikan ongeschreven recht, seseorang dapat dipidana berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat, meskipun Undang-Undang tidak menentukan secara eksplisit bahwa perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana. Kata kunci: asas legalitas; keadilan; living law
摘要:本文寻求一条介于法定原则与不成文规范之间的中间道路,以实现《司法权法》赋予的正义感。研究者运用规范性的司法方法,通过成文法的途径来考察相关法律的法律比例。接下来,研究者进行了定性分析。这项研究的结果发现,KUHP容纳了符合合法性原则的现行法律和不成文的法律规范,因此政府必须考虑一切因素,立即制定这些法律。《刑法》第1条第(1)款规定了合法性原则,即除非根据现有的刑法规定,否则不得处罚任何行为。然而,UU No.48/2009第5条第(1)款规定,法官必须探索、遵循和理解社会所感受到的活生生的法律规范和价值。这一法律研究的新颖之处在于分析了不成文的、不像成文法律那样颁布的规范和价值观,以维护社会的正义感,而UU No.48/2009责成法官关注基于社会中存在的法律对一个人的惩罚,即使法律没有明确规定该行为是犯罪行为。关键词:正义;合法性原则;活的法律摘要:Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jalan tengah antara as legalitas dan norma tidak tertulis dalam rangka pemenuhan rasa keadilan seperti yang diamanatkan oleh undang tenang Kekuasaan Kehakiman。Peneliti menggunakan方法,yuridis normatiatif melalui pendekatan perundang-undangan untuk mengkaji比率legis Undang-Undang terkait。Selanjutnya, peneliti menerapkan分析定性。哈西尔peneltitian ini menemukan bahwa KUHP mengakomodir hukum yang hidup dan norma hukum yang teteka tertulis segera segera menetapkanya dengan成员permierpenelitian ini menemukan bahwa KUHP mengakomodir hukum yang hidup dan norma hukum yang teteka tertulis segera segera segera segera dgenya legalitas。(1) KUHP menetapkan as legalitas, yitu tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali dengan ketentuan hukum pidana yang telah ada sebelumnya。《中华人民大学学报》第48期,2009年,孟加里,孟吉库提,孟吉库提,孟吉库提,孟吉库提,孟吉库提,孟吉库提,孟吉库提,孟吉库提,孟吉库提。Kebaruan penelitian hukum ini adalah dengan menganalis norma dannilai yang hidup tidak diundangkan layaknya hukum tertulis dalam menegakkan rasa keadilan masyarakat, danuu no .48 2009 telah mewajibkan hakim untuk成员perhatikan ongeschreven recht, seseorang dapat dipidana berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat, meskipun undang datak menentukan secara eksplisit bahwa perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana。Kata kunci:以及法律;keadilan;生活的定律
{"title":"Dilema Keadilan Hukum antara Hukum Tidak Tertulis yang Hidup (Ongeschreven Recht) dan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia Ditinjau dari Aspek Filo-sofis","authors":"Yuber Lago, Yuni Priskila Ginting, Fajar Sugianto","doi":"10.30996/dih.v19i1.7310","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v19i1.7310","url":null,"abstract":"Abstract \u0000Article finds a middle way between the principle of legality and unwritten norms to fulfill the sense of justice as mandated by the Law on Judicial Power. Researchers use normative juridical methods through statutory approaches to examine the legal ratio of related laws. Next, the researcher applied qualitative analysis. The results of this study found that the KUHP accommodates living laws and unwritten legal norms in harmony with the principle of legality, therefore the Government must immediately stipulate them by considering everything. Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code stipulates the principle of legality, that is, no act can be punished except under pre-existing criminal law provisions. However, Article 5 paragraph (1) of UU No.48/2009 stipulates that judges must explore, follow, and understand the living legal norms and values felt by society. The novelty of this legal research is to analyze norms and values that are unwritten and not promulgated like written law in upholding a sense of justice in society, and the UU No.48/2009 has obligated judges to pay attention to ongeschreven recht a person can be punished based on the law that lives in society, even though the law does not specify explicitly that the act is a criminal act. \u0000Keywords: justice; legality principle; living law \u0000Abstrak \u0000Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jalan tengah antara asas legalitas dan norma tidak tertulis dalam rangka pemenuhan rasa keadilan seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Peneliti menggunakan metode yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan untuk mengkaji ratio legis Undang-Undang terkait. Selanjutnya, peneliti menerapkan analisis kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa KUHP mengakomodir hukum yang hidup dan norma hukum yang tidak tertulis secara serasi dengan asas legalitas, oleh karena itu Pemerintah harus segera menetapkannya dengan mempertimbangkan segala sesuatunya. Pasal 1 ayat (1) KUHP menetapkan asas legalitas, yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali dengan ketentuan hukum pidana yang telah ada sebelumnya. Namun, Pasal 5 ayat (1) UU No.48/2009mengatur bahwa hakim harus menggali, mengikuti, dan memahami norma dan nilai hukum yang hidup yang dirasakan masyarakat. Kebaruan penelitian hukum ini adalah dengan menganalisis norma dan nilai yang hidup tidak tertulis dan tidak diundangkan layaknya hukum tertulis dalam menegakkan rasa keadilan masyarakat, dan UU No.48/2009 telah mewajibkan hakim untuk memperhatikan ongeschreven recht, seseorang dapat dipidana berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat, meskipun Undang-Undang tidak menentukan secara eksplisit bahwa perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana. \u0000Kata kunci: asas legalitas; keadilan; living law","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45593914","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract The development of financial technology continues to produce various innovations, especially in digital asset investment products, one of which is investment using crypto assets. Specifically, this research tries to examine issues related to consumer protection according to Law No.8/1999 in relation to investment activities using crypto assets. The research method uses normative juridical research methods based on juridical aspects such as norms, regulations, and legal theories related to crypto asset investment obtained from scientific papers, books, online media and others related to the object of study under study, namely consumer protection against investment activities using crypto assets. This research tries to explore the urgency behind the need for amendments as well as urging the government to make new, more comprehensive regulations regarding consumer protection in crypto asset investment, given the growth of investors which continues to increase from year to year. Problems also arise because the current Law No.8/1999 existed long before the digital transaction model emerged as it is now so that aspects of legal novelty are needed to ensure legal certainty for the community as a whole in every economic transaction activity, both conventional and digital. Keywords:; consumer protection; crypto assets; investment Abstrak Perkembangan teknologi finansial terus menghasilkan berbagai inovasi khususnya pada produk investasi aset digital yaitu investasi menggunakan aset kripto. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan berkaitan dengan perlindungan konsumen menurut UU No.8/1999 dalam hubungannya dengan kegiatan investasi menggunakan aset kripto. Metode penelitian menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang berlandaskan pada aspek yuridis seperti norma-norma, peraturan-peraturan, dan teori hukum yang berhubungan dengan investasi aset kripto yang diperoleh dari karya ilmiah, buku, media online dan lain sebagainya berkaitan dengan objek kajian yang diteliti yakni perlindungan konsumen terhadap kegiatan investasi menggunakan aset kripto. Penelitian ini mencoba mengupas urgensi apa saja yang melatarbelakangi perlunya dilakukan amandemen sekaligus mendesak agar pemerintah membuat peraturan baru yang lebih komperhensif mengenai perlindungan konsumen pada investasi aset kripto, mengingat pertumbuhan investor yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Problematika pun muncul karena UU No.8/1999 yang berlaku saat ini telah ada jauh sebelum model transaksi digital muncul seperti sekarang sehingga diperlukan aspek kebaharuan hukum demi menjamin kepastian hukum bagi masyarakat secara menyeluruh dalam setiap kegiatan transaksi ekonomi baik yang bersifat konvensional maupun digital. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UU No.8/1999 dirasa belum dapat menjadi payung hukum bagi perlindungan konsumen pengguna aset kripto di Indonesia. Sedangkan Peraturan BAPPEBTI No.5/2019 hanya mengatur mengenai transaksi yang dilakukan oleh pe
{"title":"Telaah Yuridis Perlindungan Konsumen Dalam Kegiatan Investasi Aset Kripto Di Indonesia","authors":"Wardah Yuspin, Arief Wicaksono","doi":"10.30996/dih.v19i1.7886","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v19i1.7886","url":null,"abstract":"Abstract \u0000The development of financial technology continues to produce various innovations, especially in digital asset investment products, one of which is investment using crypto assets. Specifically, this research tries to examine issues related to consumer protection according to Law No.8/1999 in relation to investment activities using crypto assets. The research method uses normative juridical research methods based on juridical aspects such as norms, regulations, and legal theories related to crypto asset investment obtained from scientific papers, books, online media and others related to the object of study under study, namely consumer protection against investment activities using crypto assets. This research tries to explore the urgency behind the need for amendments as well as urging the government to make new, more comprehensive regulations regarding consumer protection in crypto asset investment, given the growth of investors which continues to increase from year to year. Problems also arise because the current Law No.8/1999 existed long before the digital transaction model emerged as it is now so that aspects of legal novelty are needed to ensure legal certainty for the community as a whole in every economic transaction activity, both conventional and digital. \u0000Keywords:; consumer protection; crypto assets; investment \u0000Abstrak \u0000Perkembangan teknologi finansial terus menghasilkan berbagai inovasi khususnya pada produk investasi aset digital yaitu investasi menggunakan aset kripto. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan berkaitan dengan perlindungan konsumen menurut UU No.8/1999 dalam hubungannya dengan kegiatan investasi menggunakan aset kripto. Metode penelitian menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang berlandaskan pada aspek yuridis seperti norma-norma, peraturan-peraturan, dan teori hukum yang berhubungan dengan investasi aset kripto yang diperoleh dari karya ilmiah, buku, media online dan lain sebagainya berkaitan dengan objek kajian yang diteliti yakni perlindungan konsumen terhadap kegiatan investasi menggunakan aset kripto. Penelitian ini mencoba mengupas urgensi apa saja yang melatarbelakangi perlunya dilakukan amandemen sekaligus mendesak agar pemerintah membuat peraturan baru yang lebih komperhensif mengenai perlindungan konsumen pada investasi aset kripto, mengingat pertumbuhan investor yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Problematika pun muncul karena UU No.8/1999 yang berlaku saat ini telah ada jauh sebelum model transaksi digital muncul seperti sekarang sehingga diperlukan aspek kebaharuan hukum demi menjamin kepastian hukum bagi masyarakat secara menyeluruh dalam setiap kegiatan transaksi ekonomi baik yang bersifat konvensional maupun digital. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UU No.8/1999 dirasa belum dapat menjadi payung hukum bagi perlindungan konsumen pengguna aset kripto di Indonesia. Sedangkan Peraturan BAPPEBTI No.5/2019 hanya mengatur mengenai transaksi yang dilakukan oleh pe","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42097579","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract Indonesia as a developing country requires maximum infrastructure development for the public interest or in other words for the realization of people's welfare. Indigenous peoples' land which is used as the object of infrastructure development without prior approval can result in violation of the rights of indigenous peoples. By using a normative juridical method, this research focuses on reviewing the approval of indigenous peoples whose land is the object of infrastructure development in the public interest. This then becomes important because to what extent is the definition of public interest formulated in the phrase the interests of the State and common interests often lead to prolonged conflicts. The redefinition of public interest by using the concept of the welfare state approach is then deemed relevant for the creation of a responsive land law politics. Keywords: culture; development infrastructure; public interest Abstrak Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan pembangunan infrastruktur yang maksimal demi kepentingan umum atau dengan kata lain demi mewujudkan kesejaheraan rakyat. Tanah masyarakat adat yang dijadikan objek pembangunan infrastruktur tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dapat menimbulkan pencideraan hak masyarakat adat. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, peneltian ini fokus mengkaji terkait persetujuan dari masyarakat hukum adat yang tanahnya dijadikan objek dalam pembangunan infrastruktur demi kepentingan umum. Hal ini kemudian menjadi penting karena sejauh apa definisi kepentingan umum yang dirumuskan dalam frasa kepentingan Negara dan kepentingan bersama itu sering kali meimbulkan konflik berkepanjangan. Redefinisi kepentingan umum dengan menggunakan pendekatan konsep welfare state kemudian dianggap relevan untuk tercipata politik hukum pertanahan yang responsif. Kata kunci: kepentingan umum; masyarakat adat; pembangunan infrastruktur
印度尼西亚作为一个发展中国家,为了公共利益,或者说为了实现人民的福利,需要最大限度地发展基础设施。未经事先批准将土著人民的土地用作基础设施发展的对象,可能导致侵犯土著人民的权利。本研究采用规范的司法方法,重点审查原住民的批准,他们的土地是公共利益基础设施发展的对象。这就变得很重要,因为公共利益的定义在多大程度上是在国家利益和共同利益这一短语中形成的,往往导致长期的冲突。通过使用福利国家方法的概念来重新定义公共利益,然后被认为与创建响应性土地法政治相关。关键词:文化;发展基础设施;公共利益摘要印度尼西亚sebagai negara berkembang memerlukan pembangunan基础设施yang maksimal demi kepentingan umum atau dengan kata lain demi mewujudkan kesejaheraan rakyat。Tanah masyarakat adat yang dijadikan objek pembangunan基础设施,tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dapat menimbulkan penderaan hak masyarakat adat。登安蒙古纳坎的方法是标准化的,peneltian ini fokus蒙古纳坎terkait persetujuan dari masyarakat hukum和yang tanahnya dijadikan objek dalam pembangunan基础设施demi ketingingan umum。halini kemudian menjadi penting karena sejauh apa definisi kepentingan umum yang dirumuskan dalam fringingan Negara dan kepentingan bersama itsering kali meimbulkan konflik berkepanjangan。重新定义,保持一个人的尊严,登一个人的尊严,登一个人的尊严,登一个人的尊严,登一个人的尊严,登一个人的尊严,登一个人的尊严,登一个人的尊严,登一个人的尊严。Kata kunci:保持沉默;步伐adat;pembangunan infrastruktur
{"title":"Redefinisi Frasa Kepentingan Umum Atas Pengelolaan Tanah Masyarakat Adat Berdasar-kan Pendekatan Konsep Welfare State","authors":"Jerry Watumlawar, Heru Saputra Lumban Gaol","doi":"10.30996/dih.v19i1.6629","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v19i1.6629","url":null,"abstract":"Abstract \u0000Indonesia as a developing country requires maximum infrastructure development for the public interest or in other words for the realization of people's welfare. Indigenous peoples' land which is used as the object of infrastructure development without prior approval can result in violation of the rights of indigenous peoples. By using a normative juridical method, this research focuses on reviewing the approval of indigenous peoples whose land is the object of infrastructure development in the public interest. This then becomes important because to what extent is the definition of public interest formulated in the phrase the interests of the State and common interests often lead to prolonged conflicts. The redefinition of public interest by using the concept of the welfare state approach is then deemed relevant for the creation of a responsive land law politics. \u0000Keywords: culture; development infrastructure; public interest \u0000Abstrak \u0000Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan pembangunan infrastruktur yang maksimal demi kepentingan umum atau dengan kata lain demi mewujudkan kesejaheraan rakyat. Tanah masyarakat adat yang dijadikan objek pembangunan infrastruktur tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dapat menimbulkan pencideraan hak masyarakat adat. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, peneltian ini fokus mengkaji terkait persetujuan dari masyarakat hukum adat yang tanahnya dijadikan objek dalam pembangunan infrastruktur demi kepentingan umum. Hal ini kemudian menjadi penting karena sejauh apa definisi kepentingan umum yang dirumuskan dalam frasa kepentingan Negara dan kepentingan bersama itu sering kali meimbulkan konflik berkepanjangan. Redefinisi kepentingan umum dengan menggunakan pendekatan konsep welfare state kemudian dianggap relevan untuk tercipata politik hukum pertanahan yang responsif. \u0000Kata kunci: kepentingan umum; masyarakat adat; pembangunan infrastruktur","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48448234","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract Judicial acts of corruption in Indonesia are not fully carried out in accordance with applicable legal norms, caused by deviations from norms so that collusion occurs. As a result of the legal discrepancy in the implementation of the corruption trial, the community loses accountability and doubts the credibility of state officials in enforcing the law on corruption. Positive law regulates material corruption which is more profitable for corruptors so that the implementation of a simple, fast and low-cost, collusion-free judiciary cannot be carried out. Since Perma No.1/2020 was promulgated, it has not reduced the criminalization of corruption cases in terms of light sentences, which should have been eradicated in extra ordinary measures. Corruption trials have precedents in the form of decisions by previous courts that create legal loopholes for judges to determine the same decision, namely light sentences against perpetrators of corruption. The researchmethod used in this research is normative legal research and uses a research approach including statutory approach, conceptual approach, and case approach. The results of this study indicate that Perma No.1/2020 has no value of justice from a societal perspective and after theSupreme Court regulation was promulgated for more than a year it is known that this regulation is optional and does not bind judges to be guided by Perma No.1/2020. Therefore, Perma No.1/2020 must have its material formulation changed and judicially reviewed by thesupreme court with the aim of Perma No.1/2020 the normative material is more proportional, of better quality and produces decisions withoutdisparities in corruption cases with the same characteristics to realize future rule of law. Keywords: criminal guidelines; Supreme Court regulations; value of justice Abstrak Peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, disebabkan oleh penyimpangan norma sehingga kolusi terjadi. Akibat dari kesenjangan hukum pada implementasi peradilan tindak pidana korupsi masyarakat kehilangan akuntabilitas dan meragukan kredibilitas aparat negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hukum positif mengatur korupsi materinya lebih menguntungkan terhadap pelaku korupsi sehingga implementasi peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan bebas kolusi tidak dapat terlaksana. Semenjak Perma No.1/2020 diundangkan juga tidak membuat pemidanaan kasus korupsiberkurang dalam aspek vonis ringan yang seharusnya pelaksanaan pemidanaan kasus korupsi diberantas secara extra ordinary measures. Peradilan tindak pidana korupsi memiliki preseden berupa putusan oleh pengadilan terdahulu membuat celah hukum bagi hakim untuk menetapkan putusan yang sama yaitu vonis ringan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian hukum normatif serta menggunakan pendekatan penelitian meliputipendekatan perundang-undanga
{"title":"Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi","authors":"Boy Santoso, Erny Herlin Setyorini","doi":"10.30996/dih.v19i1.7602","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v19i1.7602","url":null,"abstract":"Abstract \u0000Judicial acts of corruption in Indonesia are not fully carried out in accordance with applicable legal norms, caused by deviations from norms so that collusion occurs. As a result of the legal discrepancy in the implementation of the corruption trial, the community loses accountability and doubts the credibility of state officials in enforcing the law on corruption. Positive law regulates material corruption which is more profitable for corruptors so that the implementation of a simple, fast and low-cost, collusion-free judiciary cannot be carried out. Since Perma No.1/2020 was promulgated, it has not reduced the criminalization of corruption cases in terms of light sentences, which should have been eradicated in extra ordinary measures. Corruption trials have precedents in the form of decisions by previous courts that create legal loopholes for judges to determine the same decision, namely light sentences against perpetrators of corruption. The researchmethod used in this research is normative legal research and uses a research approach including statutory approach, conceptual approach, and case approach. The results of this study indicate that Perma No.1/2020 has no value of justice from a societal perspective and after theSupreme Court regulation was promulgated for more than a year it is known that this regulation is optional and does not bind judges to be guided by Perma No.1/2020. Therefore, Perma No.1/2020 must have its material formulation changed and judicially reviewed by thesupreme court with the aim of Perma No.1/2020 the normative material is more proportional, of better quality and produces decisions withoutdisparities in corruption cases with the same characteristics to realize future rule of law. \u0000Keywords: criminal guidelines; Supreme Court regulations; value of justice \u0000Abstrak \u0000Peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, disebabkan oleh penyimpangan norma sehingga kolusi terjadi. Akibat dari kesenjangan hukum pada implementasi peradilan tindak pidana korupsi masyarakat kehilangan akuntabilitas dan meragukan kredibilitas aparat negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hukum positif mengatur korupsi materinya lebih menguntungkan terhadap pelaku korupsi sehingga implementasi peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan bebas kolusi tidak dapat terlaksana. Semenjak Perma No.1/2020 diundangkan juga tidak membuat pemidanaan kasus korupsiberkurang dalam aspek vonis ringan yang seharusnya pelaksanaan pemidanaan kasus korupsi diberantas secara extra ordinary \u0000measures. Peradilan tindak pidana korupsi memiliki preseden berupa putusan oleh pengadilan \u0000terdahulu membuat celah hukum bagi hakim untuk menetapkan putusan yang sama yaitu vonis ringan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian hukum normatif serta menggunakan pendekatan penelitian meliputipendekatan perundang-undanga","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-02-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41481610","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract In UMKM activities in Minggirsari Village, Blitar Regency, the contract is the basic framework used as a frame of relationship for economic actors. The contract can give rise to rights and obligations for the parties who make the contract. This the contract plays an important role in doing business in Indonesia. This condition is the background of this research in order to find out how the stages of designing a business contract and how to make a business contract structure. This research uses normative legal research with a concept and law approach. The analysis of legal materials was carried out by descriptive, interpretative, evaluative and argumentative analysis. The results showed that the contract design stages consisted of the pre-contract stage, the contract signing stage and the post-contract stage. The parties to an agreement must look at the principles that form the basis of the contract made. The principles in question, such as understanding the elements of the agreement, the principle of the agreement and the legal terms of an agreement, need to be careful and thorough by the parties who make a contract/agreement in designing a good and correct business contract structure. In addition, it must meet procedural requirements, namely fulfilling subjective and objective requirements. A good contract must be clear and detailed, regarding the subject, object and obligations of the parties along with the sanctions imposed on the parties, as well as the clarity of the ways and procedures for implementing sanctions, and not contradicting all legal norms related to the contract. Keywords: contract design; economic activities; UMKM. Abstrak Dalam kegiatan UMKM di Desa Minggirsari Kabupaten Blitar, kontrak merupakan kerangka dasar yang digunakan sebagai bingkai dari hubungan bagi para pelaku ekonomi. Kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut. Dengan demikian kontrak sangat berperan penting dalam berbisnis di Indonesia. Kondisi ini melatar belakangi penelitian ini dalam rangka mengetahui bagaimana tahapan perancangan kontrak bisnis dan bagaimana pembuatan struktur kontrak bisnis. Penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep dan undang-undang. Analisis bahan hukum dilakukan secara deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif analisis. Hasil penelitian menunjukkan tahapan perancangan kontrak terdiri dari tahap prakontrak, tahap penandatangan kontrak dan tahap pasca kontrak. Pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian harus melihat prinsip yang menjadi dasar pada kontrak yang dibuat. Prinsip yang dimaksud seperti paham akan unsur dari perjanjian, asas dari perjanjian serta syarat sahnya suatu perjanjian, perlu cermat dan teliti oleh pihak-pihak yang melakukan suatu kontrak/perjanjian dalam merancang pembuatan struktur kontrak bisnis yang baik dan benar. Selain itu harus memenuhi syarat prosedural yaitu memenuhi syarat subjektif dan objektif.
{"title":"Pendampingan Perancangan Kontrak Kerja Pada Usaha Mikro Kecil Menengah Di Desa Minggirsari Kabupaten Blitar","authors":"D. Verawati","doi":"10.30996/dih.v0i0.6179","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v0i0.6179","url":null,"abstract":"Abstract \u0000In UMKM activities in Minggirsari Village, Blitar Regency, the contract is the basic framework used as a frame of relationship for economic actors. The contract can give rise to rights and obligations for the parties who make the contract. This the contract plays an important role in doing business in Indonesia. This condition is the background of this research in order to find out how the stages of designing a business contract and how to make a business contract structure. This research uses normative legal research with a concept and law approach. The analysis of legal materials was carried out by descriptive, interpretative, evaluative and argumentative analysis. The results showed that the contract design stages consisted of the pre-contract stage, the contract signing stage and the post-contract stage. The parties to an agreement must look at the principles that form the basis of the contract made. The principles in question, such as understanding the elements of the agreement, the principle of the agreement and the legal terms of an agreement, need to be careful and thorough by the parties who make a contract/agreement in designing a good and correct business contract structure. In addition, it must meet procedural requirements, namely fulfilling subjective and objective requirements. A good contract must be clear and detailed, regarding the subject, object and obligations of the parties along with the sanctions imposed on the parties, as well as the clarity of the ways and procedures for implementing sanctions, and not contradicting all legal norms related to the contract. \u0000Keywords: contract design; economic activities; UMKM. \u0000Abstrak \u0000Dalam kegiatan UMKM di Desa Minggirsari Kabupaten Blitar, kontrak merupakan kerangka dasar yang digunakan sebagai bingkai dari hubungan bagi para pelaku ekonomi. Kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut. Dengan demikian kontrak sangat berperan penting dalam berbisnis di Indonesia. Kondisi ini melatar belakangi penelitian ini dalam rangka mengetahui bagaimana tahapan perancangan kontrak bisnis dan bagaimana pembuatan struktur kontrak bisnis. Penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep dan undang-undang. Analisis bahan hukum dilakukan secara deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif analisis. Hasil penelitian menunjukkan tahapan perancangan kontrak terdiri dari tahap prakontrak, tahap penandatangan kontrak dan tahap pasca kontrak. Pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian harus melihat prinsip yang menjadi dasar pada kontrak yang dibuat. Prinsip yang dimaksud seperti paham akan unsur dari perjanjian, asas dari perjanjian serta syarat sahnya suatu perjanjian, perlu cermat dan teliti oleh pihak-pihak yang melakukan suatu kontrak/perjanjian dalam merancang pembuatan struktur kontrak bisnis yang baik dan benar. Selain itu harus memenuhi syarat prosedural yaitu memenuhi syarat subjektif dan objektif.","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49254740","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract The purpose of this study is to describe problems related to environmental protection and management that occur in Minggirsari Village. This research is a normative legal research with a statutory and conceptual approach. The results of the study found that in Minggirsari Village there are many tourist attractions where tourists can enjoy these tourist destinations. However, there are various kinds of problems regarding the environment of these tourist attractions. There are various tourist attractions that still do not have a clear permit. Then there are various empty buildings even though if these buildings are addressed they can potentially become buildings that can be used as tourist attractions. Referring to Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management, local governments can manage the place into a clean tourist spot while taking into account the aspirations of the community and being participatory by involving all interested parties in environmental management so that the place can be attractive. the attention of the tourists. Going forward to the government and local governments, it is recommended that in issuing provisions in the form of environmental permits, they should always pay attention to human needs and environmental limitations in meeting current and future needs based on the concept of sustainable development that is environmentally sound through accurate and responsible environmental assessment and analysis answer. Keywords: environment; licensing; tourist attraction Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan permasalahan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang terjadi di Desa Minggirsari. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menemukan bahwa di Desa Minggirsari terdapat banyak sekali tempat wisata di mana para wisatawan dapat menikmati destinasi wisata tersebut. Akan tetapi, terdapat berbagai macam permasalahan mengenai lingkungan dari tempat wisata tersebut. Terdapat berbagai tempat wisata yang masih belum memiliki izin yang jelas. Kemudian terdapat berbagai bangunan yang kosong padahal jika bangunan tersebut dibenahi dapat berpotensi sebagai bangunan yang dapat dijadikan objek wisata. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah daerah dapat mengelola tempat tersebut menjadi tempat wisata yang bersih dengan tetap memperhatikan aspirasi dari masyarakat dan bersifat partisipasif dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan lingkungan agar tempat tersebut dapat menarik perhatian para wisatawan. Ke depan kepada pemerintah dan pemerintah daerah, disarankan agar dalam mengeluarkan ketetapan berbentuk izin lingkungan hendaknya senantiasa memperhatikan kebutuhan manusia serta keterbatasan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang dengan berlandaskan pada konsep pembangunan be
摘要本研究的目的是描述明格萨里村环境保护与管理的相关问题。本研究是一项具有成文法和概念方法的规范性法律研究。研究结果发现,在明格沙里村有许多旅游景点,游客可以享受这些旅游目的地。然而,这些旅游景点的环境存在着各种各样的问题。有许多旅游景点仍然没有明确的许可证。然后还有各种各样的空建筑,即使这些建筑得到处理,它们也有可能成为可以用作旅游景点的建筑。根据2009年关于环境保护和管理的第32号法律,地方政府可以把这个地方管理成一个干净的旅游景点,同时考虑到社区的愿望,并通过让所有有关各方参与环境管理,使这个地方具有吸引力。游客的注意力。展望政府和地方政府,建议他们在发放环境许可形式的规定时,始终以环境无害的可持续发展理念为基础,通过准确和负责任的环境评估和分析回答,关注满足当前和未来需求的人类需求和环境限制。关键词:环境;许可;旅游景点摘要:图juan penelitian ini adalah untuk menggambarkan permasalahan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang terjadi di Desa Minggirsari。Penelitian ini adalah Penelitian hukum normatiatian pendekatan perundang-undangan dankonseptual。Hasil penelitian menemukan bahwa di Desa Minggirsari terdapat banyak sekali tempat wisata di mana para wisatawan dapat menikmati destinasi wisata tersebut。Akan tetapi, terdapat berbagai macam, permasalahan mengeni, lingkungan, dari tempatwisa terteri。Terdapat berbagai tempat wisata yang masih belum memiliki izin yang jelas。Kemudian terdapat berbagai bangunan yang kosong padahal jika bangunan tersebut dibenahi dapat berpotensi sebagai bangunan yang dapat dijadikan objek wisata。Mengacu篇Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan丹Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah daerah dapat mengelola tempat于menjadi tempat wisata杨净选盟dengan tetap memperhatikan aspirasi达里语步伐丹bersifat partisipasif dengan melibatkan semua pihak杨berkepentingan dalam Pengelolaan Lingkungan琼脂tempat于dapat menarik perhatian对位wisatawan。柯depan kepada pemerintah dan pemerintah daerah disarankan琼脂dalam mengeluarkan ketetapan berbentuk izin lingkungan hendaknya senantiasa memperhatikan kebutuhan manusia舒达keterbatasan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan玛莎kini丹玛莎mendatang dengan berlandaskan篇konsep pembangunan berkelanjutan杨berwawasan lingkungan melalui pengkajian丹分析lingkungan杨akurat丹bertanggung jawab。卡塔昆慈:灵昆甘;perizinan;tempat wisata
{"title":"Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009","authors":"Noviar Ramadhany Biesse Putri","doi":"10.30996/dih.v0i0.6587","DOIUrl":"https://doi.org/10.30996/dih.v0i0.6587","url":null,"abstract":"Abstract \u0000The purpose of this study is to describe problems related to environmental protection and management that occur in Minggirsari Village. This research is a normative legal research with a statutory and conceptual approach. The results of the study found that in Minggirsari Village there are many tourist attractions where tourists can enjoy these tourist destinations. However, there are various kinds of problems regarding the environment of these tourist attractions. There are various tourist attractions that still do not have a clear permit. Then there are various empty buildings even though if these buildings are addressed they can potentially become buildings that can be used as tourist attractions. Referring to Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management, local governments can manage the place into a clean tourist spot while taking into account the aspirations of the community and being participatory by involving all interested parties in environmental management so that the place can be attractive. the attention of the tourists. Going forward to the government and local governments, it is recommended that in issuing provisions in the form of environmental permits, they should always pay attention to human needs and environmental limitations in meeting current and future needs based on the concept of sustainable development that is environmentally sound through accurate and responsible environmental assessment and analysis answer. \u0000Keywords: environment; licensing; tourist attraction \u0000Abstrak \u0000Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan permasalahan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang terjadi di Desa Minggirsari. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menemukan bahwa di Desa Minggirsari terdapat banyak sekali tempat wisata di mana para wisatawan dapat menikmati destinasi wisata tersebut. Akan tetapi, terdapat berbagai macam permasalahan mengenai lingkungan dari tempat wisata tersebut. Terdapat berbagai tempat wisata yang masih belum memiliki izin yang jelas. Kemudian terdapat berbagai bangunan yang kosong padahal jika bangunan tersebut dibenahi dapat berpotensi sebagai bangunan yang dapat dijadikan objek wisata. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah daerah dapat mengelola tempat tersebut menjadi tempat wisata yang bersih dengan tetap memperhatikan aspirasi dari masyarakat dan bersifat partisipasif dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan lingkungan agar tempat tersebut dapat menarik perhatian para wisatawan. Ke depan kepada pemerintah dan pemerintah daerah, disarankan agar dalam mengeluarkan ketetapan berbentuk izin lingkungan hendaknya senantiasa memperhatikan kebutuhan manusia serta keterbatasan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang dengan berlandaskan pada konsep pembangunan be","PeriodicalId":52801,"journal":{"name":"DiH","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47260472","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}