Pub Date : 2021-03-04DOI: 10.21274/legacy.2021.1.1.24-45
Nurush Shobahah, M. Rifai
Diskursus desain penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (baca: Pilkada) kembali mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 pada tanggal 26 Februari 2020. Pada Putusan tersebut muncul istilah Pemilu serentak yang di dalamnya memuat penyelenggaraan Pilkada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah Pilkada masuk kembali ke rezim Pemilu setelah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan UU Pilkada dinyatakan bukan bagian dari Pemilu. Terbukti UU Pilkada mengamanatkan pembentukan badan peradilan khusus untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Lantas bagaimana sebenarnya standing position Pilkada? Apakah bagian dari Pemilu atau tidak? Sebab standing position itu mempengaruhi desain penyelesaian perselisihan hasil Pilkada. Melalui penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach), terjawab bahwa Pilkada bukanlah bagian dari Pemilu sehingga Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya. Perselisihan hasil Pilkada dapat diberikan kepada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pilihannya ada dua yakni diberikan kepada PTTUN atau dibentuk badan peradilan khusus. Dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi, penulis berpendapat sebaiknya diberikan kepada PTTUN.
{"title":"DESAIN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI/WALIKOTA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 55/PUU-XVII/2019","authors":"Nurush Shobahah, M. Rifai","doi":"10.21274/legacy.2021.1.1.24-45","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/legacy.2021.1.1.24-45","url":null,"abstract":"Diskursus desain penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (baca: Pilkada) kembali mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 pada tanggal 26 Februari 2020. Pada Putusan tersebut muncul istilah Pemilu serentak yang di dalamnya memuat penyelenggaraan Pilkada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah Pilkada masuk kembali ke rezim Pemilu setelah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan UU Pilkada dinyatakan bukan bagian dari Pemilu. Terbukti UU Pilkada mengamanatkan pembentukan badan peradilan khusus untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Lantas bagaimana sebenarnya standing position Pilkada? Apakah bagian dari Pemilu atau tidak? Sebab standing position itu mempengaruhi desain penyelesaian perselisihan hasil Pilkada. Melalui penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach), terjawab bahwa Pilkada bukanlah bagian dari Pemilu sehingga Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya. Perselisihan hasil Pilkada dapat diberikan kepada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pilihannya ada dua yakni diberikan kepada PTTUN atau dibentuk badan peradilan khusus. Dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi, penulis berpendapat sebaiknya diberikan kepada PTTUN.","PeriodicalId":114951,"journal":{"name":"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-03-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131365270","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-03-04DOI: 10.21274/legacy.2021.1.1.96-111
H. Hakim
Kebebasan ekspresi beragama (freedom of religious exspression) merupakan bagian penting dari kebebasan beragama (freedom of religion). Aspek fundamental dalam beragama di antaranya adalah mengimani, mempraktikkan, dan menyiarkan ajaran agama. Kebebasan ekspresi beragama dalam kacamata hak asasi manusia dan konfigurasi ketatanegaraan mempunyai posisi yang kompleks. Meskipun kebebasan ekspresi beragama dijamin dalam konstitusi. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, kebebasan ekspresi beragama selama 10 tahun terakhir mengalami tantangan dan degradasi. Penelitan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dan menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua faktor penting yang menjadi tantangan kebebasan ekspresi beragama di Indonesia. Pertama, faktor hukum (regulasi) berupa perda. Kedua, faktor politik kedaerahan (lokal).
{"title":"HAK KEBEBASAN EKSPRESI BERAGAMA DALAM DINAMIKA HUKUM DAN POLITIK DI INDONESIA","authors":"H. Hakim","doi":"10.21274/legacy.2021.1.1.96-111","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/legacy.2021.1.1.96-111","url":null,"abstract":"Kebebasan ekspresi beragama (freedom of religious exspression) merupakan bagian penting dari kebebasan beragama (freedom of religion). Aspek fundamental dalam beragama di antaranya adalah mengimani, mempraktikkan, dan menyiarkan ajaran agama. Kebebasan ekspresi beragama dalam kacamata hak asasi manusia dan konfigurasi ketatanegaraan mempunyai posisi yang kompleks. Meskipun kebebasan ekspresi beragama dijamin dalam konstitusi. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, kebebasan ekspresi beragama selama 10 tahun terakhir mengalami tantangan dan degradasi. Penelitan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dan menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua faktor penting yang menjadi tantangan kebebasan ekspresi beragama di Indonesia. Pertama, faktor hukum (regulasi) berupa perda. Kedua, faktor politik kedaerahan (lokal).","PeriodicalId":114951,"journal":{"name":"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan","volume":"25 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-03-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121189486","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-03-04DOI: 10.21274/legacy.2021.1.1.46-68
Priyo Hutomo, Markus Marselinus Soge
Instrumen hukum pengaturan pembinaan narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer saat ini masih berdasarkan peraturan masa kolonial dan setelah kemerdekaan, yang tidak sesuai dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan nasional. Permasalahan disini adalah bagaimana perspektif Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman dalam melakukan pembaharuan pengaturan Sistem Pemasyarakatan Militer. Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam tulisan ini untuk meneliti hukum dalam kedudukannya sebagai norma, menggunakan data sekunder yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Data dikumpulkan dengan studi kepustakaan, kemudian diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptif analisis isi. Hasil penelitian yaitu perspektif Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman digunakan untuk melakukan pembaharuan pengaturan Sistem Pemasyarakatan Militer meliputi pembaharuan pada aspek struktur berupa penguatan kelembagaan Pemasyarakatan Militer, aspek substansi berupa penyusunan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan Milier, dan aspek budaya berupa bimbingan kesadaran hukum dan reintegrasi sosial prajurit untuk kembali menjadi prajurit yang berjati diri TNI. Disaran agar dapat segera dilakukan pembaharuan terhadap instrumen hukum pengaturan Sistem Pemasyarakatan Militer menggunakan perspektif Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman.
目前惩教所对军事囚犯的管理法律工具仍然是根据殖民时期和独立后的规定规定的,这与国家惩教制度的规定不符。这里的问题是劳伦斯·M·弗里德曼(Lawrence M. Friedman)关于改革军制度制度的观点。规范法律研究方法在本文中使用,使用次要数据,即原始和次要法律材料,以研究法律的地位。数据与文献研究一起收集,然后用内容分析的描述性技术进行分析。法律体系的研究成果,即理论视角(Lawrence M . Friedman用来做更新系统设置军事监狱,包括更新、加强体制结构方面的军事监狱,物质方面起草法律草案Milier监狱、法律意识和文化方面的指导和社会重新整合berjati TNI自己当兵回来的士兵。使用劳伦斯·M·弗里德曼(Lawrence M. Friedman)的法律调控系统技术的立即更新。
{"title":"PERSPEKTIF TEORI SISTEM HUKUM DALAM PEMBAHARUAN PENGATURAN SISTEM PEMASYARAKATAN MILITER","authors":"Priyo Hutomo, Markus Marselinus Soge","doi":"10.21274/legacy.2021.1.1.46-68","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/legacy.2021.1.1.46-68","url":null,"abstract":"Instrumen hukum pengaturan pembinaan narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer saat ini masih berdasarkan peraturan masa kolonial dan setelah kemerdekaan, yang tidak sesuai dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan nasional. Permasalahan disini adalah bagaimana perspektif Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman dalam melakukan pembaharuan pengaturan Sistem Pemasyarakatan Militer. Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam tulisan ini untuk meneliti hukum dalam kedudukannya sebagai norma, menggunakan data sekunder yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Data dikumpulkan dengan studi kepustakaan, kemudian diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptif analisis isi. Hasil penelitian yaitu perspektif Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman digunakan untuk melakukan pembaharuan pengaturan Sistem Pemasyarakatan Militer meliputi pembaharuan pada aspek struktur berupa penguatan kelembagaan Pemasyarakatan Militer, aspek substansi berupa penyusunan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan Milier, dan aspek budaya berupa bimbingan kesadaran hukum dan reintegrasi sosial prajurit untuk kembali menjadi prajurit yang berjati diri TNI. Disaran agar dapat segera dilakukan pembaharuan terhadap instrumen hukum pengaturan Sistem Pemasyarakatan Militer menggunakan perspektif Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman.","PeriodicalId":114951,"journal":{"name":"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan","volume":"30 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-03-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133932095","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-03-04DOI: 10.21274/legacy.2021.1.1.69-95
Ahmad Gelora Mahardika
Sengketa internal partai politik merupakan salah satu persoalan sistematis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut terjadi secara rutin dan hampir semua partai politik pernah mengalaminya. Namun meskipun menjadi persoalan rutin dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, regulasi yang mengatur terkait sengketa internal tampak belum jelas, bahkan keterlibatan sejumlah lembaga tinggi negara dalam proses penyelesaian sengketa membuktikan bahwa permasalahan terkait sengketa internal partai politik masih jauh dari kata selesai. Kasus Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan adalah catatan sengketa internal yang terjadi pasca reformasi. Pengaturan terkait sengketa internal harus diatur lebih jelas dalam undang-undang, sebagai upaya menciptakan regulasi yang mampu menyelesaikan sengketa internal partai politik yang berasaskan demokratis dan menujunjung asas kepastian hukum.
{"title":"REKONSTRUKSI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNAL PARTAI POLITIK DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA","authors":"Ahmad Gelora Mahardika","doi":"10.21274/legacy.2021.1.1.69-95","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/legacy.2021.1.1.69-95","url":null,"abstract":"Sengketa internal partai politik merupakan salah satu persoalan sistematis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut terjadi secara rutin dan hampir semua partai politik pernah mengalaminya. Namun meskipun menjadi persoalan rutin dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, regulasi yang mengatur terkait sengketa internal tampak belum jelas, bahkan keterlibatan sejumlah lembaga tinggi negara dalam proses penyelesaian sengketa membuktikan bahwa permasalahan terkait sengketa internal partai politik masih jauh dari kata selesai. Kasus Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan adalah catatan sengketa internal yang terjadi pasca reformasi. Pengaturan terkait sengketa internal harus diatur lebih jelas dalam undang-undang, sebagai upaya menciptakan regulasi yang mampu menyelesaikan sengketa internal partai politik yang berasaskan demokratis dan menujunjung asas kepastian hukum.","PeriodicalId":114951,"journal":{"name":"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan","volume":"3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-03-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121706005","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-03-04DOI: 10.21274/legacy.2021.1.1.1-23
Ahmad Gelora Mahardika, R. Saputra
Semakin tingginya angka penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan baru yakni Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Seperti halnya kebijakan-kebijakan lain, pemberlakuan kebijakan ini sekali pun dinilai efektif oleh Pemerintah selayaknya harus tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kebijakan PPKM merupakan salah satu kebijakan dalam upaya penanggulangan pandemi Covid-19 yang tidak mempunyai kedudukan hukum yang jelas, karena frase Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Wabah tidak terdapat dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Rumusan masalah yang hendak dijawab dalam artikel ini adalah bagaimana kedudukan hukum Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ini di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah peraturan berkaitan dengan PPKM tersebut yang cacat secara formil.
{"title":"KEDUDUKAN HUKUM PEMBERLAKUAN PEMBATASAN KEGIATAN MASYARAKAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA","authors":"Ahmad Gelora Mahardika, R. Saputra","doi":"10.21274/legacy.2021.1.1.1-23","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/legacy.2021.1.1.1-23","url":null,"abstract":"Semakin tingginya angka penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan baru yakni Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Seperti halnya kebijakan-kebijakan lain, pemberlakuan kebijakan ini sekali pun dinilai efektif oleh Pemerintah selayaknya harus tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kebijakan PPKM merupakan salah satu kebijakan dalam upaya penanggulangan pandemi Covid-19 yang tidak mempunyai kedudukan hukum yang jelas, karena frase Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Wabah tidak terdapat dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Rumusan masalah yang hendak dijawab dalam artikel ini adalah bagaimana kedudukan hukum Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ini di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah peraturan berkaitan dengan PPKM tersebut yang cacat secara formil.","PeriodicalId":114951,"journal":{"name":"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-03-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132774094","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}