Pub Date : 2019-08-06DOI: 10.24821/WAYANG.V3I2.3148
Aris Wahyudi
Arjuna, Indra’s son stands at his war car. General uniform was used making heroic, his left hand hold a bow, and right hand to balance arrow; in the other side Kurawa’s army, Prabu Karna, the Surya’s son, the commander to play his bow too. When bang of war drum to fill the sky, the both army toward central of Kuruksetra field. The millionarrows flaying in the sky like cloudy that closed the sun, and after their hundreds army to yell out dating, afterward the Kuruksetra field flood blood. Suddenly Karna’s arrow kicks Arjuna’s head. At once surprised who show it. Deities yell congratulation praying. Some minutes the war stop. Arjuna’s crown destroyed. Narada descends from the sky give crown to Arjuna that it is exactly with Karna’s have. The both hero collide again. Now, Arjuna likes Karna. Arjuna.s angry make increasingly. He get Pasopati arrow. Arjuna lift his bow. Another one who is look when Arjuna frees his arrow, suddenly Karna’s head cut off. Kurawa’s Hero, Surya’s son was dead. This story, in the wayang world it was called Lakon Karno Tandhing. There were can to get some problems. When Arjuna’s crown destroyed, Narada prepare a crown to Arjuna. I assume that deity knew that would happen. The question is “Why the crown was prepared similarly Karna have, so it is called Karna Tandhing? I am sure that the composer had a meaning ofit. Mythology-ritual analysis shows that this happen is continuity of deity level. All of the hero experiences always involve deity activities. Javanese philosopher composed this story to explain cosmic system that uses symbol systems Lakon Karna Tandhing.Arjuna, putra Indra berdiri megah di atas kereta perangnya. Pakaian kebesaran seorang senapati semakin menambah keperkasaannya. Kedua tangannya mengayun gendewa lengkap dengan busurnya. Di pihak lain, Prabu Karna, putra Surya melakukan hal yang sama saat memimpin pasukan Kurawa. Begitu genderang perang bertalu-talu memenuhi angkasa, kedua pihak berhambur ke medan Kuruksetra, saling menyerbu. Ribuan pasukan saling bertempur dan tidak sedikit yang gugur. Tiba-tiba anak panah Karna menghantam kepala Arjuna hingga mahkotanya hancur. Semua yang menyaksikan sangat terkejut, termasuk pula para dewa dewi di angkasa. Narada segera turun ke dunia, memberikan mahkota yang mirip dengan yang dikenakan Karna yang membuat Arjuna mirip dengan Karna. Kedua perwira tersebut kembali bertempur, seakan-akan Karna melawan Karna. Arjuna melepaskan panah pasopati dan tepat memenggal leher Karna. Karna gugur dengan kepala terlempar dan tubuhnya bersandar di kereta perangnya. Kisah ini dalam tradisi pedalangan disebut lakon Karna Tandhing. Dari persoalan tersebut, pertanyaannya adalah: mengapa mahkota yang diberikan Narada tersebut mirip dengan milik Karna? Melalui analisis mitologi-ritual diperoleh pemahaman bahwa peristiwa tersebut merupakan kontinuitas dari peristiwa di tataran mite. Semua peristiwa yang dialami para tokoh epic selalu melibatkan campur tangan tokoh mite. Lakon Karna Tandh
因陀罗的儿子阿尔诸那站在他的战车前。将军的制服是用来制造英雄的,他左手拿弓,右手平衡箭;另一边是仓川的军队,苏里亚的儿子普拉布·卡尔纳,他也是拉弓的指挥官。当一声战鼓响彻天空时,两军向库鲁克塞特拉战场中央进发。百万支箭在天空中飞舞,像乌云遮住了太阳,之后他们的数百支军队大声喊叫着约会,后来库鲁克塞特拉田野里血流成河。突然,迦纳的箭射中了阿尔诸那的头。立刻惊讶是谁表现出来的。神灵们大声祝贺祈祷。几分钟后,战争停止了。阿尔诸那的王冠毁了。那都从天而降,赐给阿诸那王冠,这正是迦纳所拥有的。两位英雄再次相撞。现在,阿尔诸那喜欢噶那。阿诸那。生气使人越来越生气。他得到帕索帕蒂的箭。阿尔诸那举起他的弓。另一个人在看,当阿尔诸那射出他的箭时,突然迦纳的头被砍掉了。仓川的英雄,苏利亚的儿子死了。这个故事,在wayang的世界里叫做Lakon Karno Tandhing。有可能会遇到一些问题。当阿诸那的王冠被毁时,那拉都为阿诸那准备了一顶王冠。我想上帝知道会发生这样的事。问题是“为什么冠上也准备了类似的噶那有,所以叫噶那昙亭?”我相信这位作曲家是有用意的。神话-仪式分析表明,这种现象的发生是神性层面的延续。所有的英雄经历都包含着神性活动。爪哇哲学家写了这个故事来解释宇宙系统,使用符号系统Lakon Karna Tandhing。阿诸那,普特拉因陀罗berdiri megah di数据kereta perangnya。巴基斯坦国民警卫队(kebesaran seorang senapati)似乎是一名男子。克多亚,唐甘亚,孟亚云,gendewa, lengkap,登干,布尔尼亚。Di pihak lain, Prabu Karna, putra Surya melakukan hal yang sama saat pasukan Kurawa。Begitu genderang perang bertalu-talu memenuhi angkasa, kedua pihak berhambur ke medan Kuruksetra,出售menyerbu。Ribuan pasukan saling bertempur dan tidak sedikit yang gugur。Tiba-tiba anak panah Karna menghantam kepala Arjuna hingga mahkotanya hancur。Semua yang menyaksikan sangat terkejut, termasuk pula para dewa dewi di angkasa。南都司杰拉转世克噶那,成员是阿诸那,成员是阿诸那,成员是阿诸那,成员是阿诸那,成员是阿诸那。Kedua perwira tersebut kembali bertempur, seakan-akan Karna melawan Karna。阿诸那melepaskan panah pasopati dan tepat memenggal leher Karna。Karna gugur dengan kepala terlempar dan tubuhnya bersandar di kereta perangnya。Kisah ini dalam tradisi pedalangan disebut lakon Karna Tandhing。达里的人都是这样的,pertanyaannya adalah: mengapa mahkota yang diberikan Narada tersebut mirip dengan milik Karna?Melalui analysis is mitologii -ritual diperoleh pemahaman bahwa peristiwa tersebut merupakan kontinuitas dari peristiwa di taran mite。Semua peristiwa yang dialami para tokoh史诗selalu melibatkan campur tangan tokoh mite。Lakon Karna Tandhing merupakan pengejawantahan peristiwa kosmis yang menjelaskan perpindahan musim kemarau (Karna sebagai putra Surya) berganti dengan musin penghujan (Arjuna sebagai putra Indra)。Kesemuanya diatur oleh Syiwa sebagai mahakala yang disimbolkan melaluarjuna bermahkotakan“Karna”。
{"title":"Lakon Karna Tandhing: Konsep Pergantian Musim dalam Pemujaan Syiwa","authors":"Aris Wahyudi","doi":"10.24821/WAYANG.V3I2.3148","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V3I2.3148","url":null,"abstract":"Arjuna, Indra’s son stands at his war car. General uniform was used making heroic, his left hand hold a bow, and right hand to balance arrow; in the other side Kurawa’s army, Prabu Karna, the Surya’s son, the commander to play his bow too. When bang of war drum to fill the sky, the both army toward central of Kuruksetra field. The millionarrows flaying in the sky like cloudy that closed the sun, and after their hundreds army to yell out dating, afterward the Kuruksetra field flood blood. Suddenly Karna’s arrow kicks Arjuna’s head. At once surprised who show it. Deities yell congratulation praying. Some minutes the war stop. Arjuna’s crown destroyed. Narada descends from the sky give crown to Arjuna that it is exactly with Karna’s have. The both hero collide again. Now, Arjuna likes Karna. Arjuna.s angry make increasingly. He get Pasopati arrow. Arjuna lift his bow. Another one who is look when Arjuna frees his arrow, suddenly Karna’s head cut off. Kurawa’s Hero, Surya’s son was dead. This story, in the wayang world it was called Lakon Karno Tandhing. There were can to get some problems. When Arjuna’s crown destroyed, Narada prepare a crown to Arjuna. I assume that deity knew that would happen. The question is “Why the crown was prepared similarly Karna have, so it is called Karna Tandhing? I am sure that the composer had a meaning ofit. Mythology-ritual analysis shows that this happen is continuity of deity level. All of the hero experiences always involve deity activities. Javanese philosopher composed this story to explain cosmic system that uses symbol systems Lakon Karna Tandhing.Arjuna, putra Indra berdiri megah di atas kereta perangnya. Pakaian kebesaran seorang senapati semakin menambah keperkasaannya. Kedua tangannya mengayun gendewa lengkap dengan busurnya. Di pihak lain, Prabu Karna, putra Surya melakukan hal yang sama saat memimpin pasukan Kurawa. Begitu genderang perang bertalu-talu memenuhi angkasa, kedua pihak berhambur ke medan Kuruksetra, saling menyerbu. Ribuan pasukan saling bertempur dan tidak sedikit yang gugur. Tiba-tiba anak panah Karna menghantam kepala Arjuna hingga mahkotanya hancur. Semua yang menyaksikan sangat terkejut, termasuk pula para dewa dewi di angkasa. Narada segera turun ke dunia, memberikan mahkota yang mirip dengan yang dikenakan Karna yang membuat Arjuna mirip dengan Karna. Kedua perwira tersebut kembali bertempur, seakan-akan Karna melawan Karna. Arjuna melepaskan panah pasopati dan tepat memenggal leher Karna. Karna gugur dengan kepala terlempar dan tubuhnya bersandar di kereta perangnya. Kisah ini dalam tradisi pedalangan disebut lakon Karna Tandhing. Dari persoalan tersebut, pertanyaannya adalah: mengapa mahkota yang diberikan Narada tersebut mirip dengan milik Karna? Melalui analisis mitologi-ritual diperoleh pemahaman bahwa peristiwa tersebut merupakan kontinuitas dari peristiwa di tataran mite. Semua peristiwa yang dialami para tokoh epic selalu melibatkan campur tangan tokoh mite. Lakon Karna Tandh","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"52 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121475569","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-06DOI: 10.24821/WAYANG.V3I2.3150
Endah Budiarti
This paper discusses the application of the method of learning puppetry, especially Pocapan language (dialogue with puppet characters’). This method is produced by first examining Ki Hadi Sugito’s pocapan in three plays, namely Bagong Ratu, Ujung Sengara, and Wahyu Widayat. Ki Hadi Sugito’s wayang performance was chosen as a model with language considerations produced by Ki Hadi Sugito, simple and communicative. From the results of the study, a simpler text was created. This text is then used as teaching material in class. The text used as this teaching material does not mean limiting students but instead provides opportunities to be developed by students, according to their respective abilities. Tulisan ini membicarakan penerapan metode belajar bahasa pedalangan khususnya bahasa pocapan (‘mendialogkan tokoh-tokoh wayang’). Metode ini dihasilkan dengan terlebih dahulu meneliti pocapan Ki Hadi Sugito dalam tiga lakon yaitu Bagong Ratu, Ujung Sengara, dan Wahyu Widayat. Pergelaran wayang versi Ki Hadi Sugito dipilih sebagai model dengan pertimbangan bahasa yang diproduksi Ki Hadi Sugito sederhana dan komunikatif. Dari hasil penelitian tersebut dibuatlah sebuah teks pocapan yang lebih sederhana. Teks ini kemudian digunakan sebagai bahan ajar di kelas. Teks yang digunakan sebagai bahan ajar ini tidak berarti membatasi mahasiswa tetapi justru memberi peluang untuk dikembangkan oleh mahasiswa, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
{"title":"Belajar Pocapan dari Ki Hadi Sugito","authors":"Endah Budiarti","doi":"10.24821/WAYANG.V3I2.3150","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V3I2.3150","url":null,"abstract":"This paper discusses the application of the method of learning puppetry, especially Pocapan language (dialogue with puppet characters’). This method is produced by first examining Ki Hadi Sugito’s pocapan in three plays, namely Bagong Ratu, Ujung Sengara, and Wahyu Widayat. Ki Hadi Sugito’s wayang performance was chosen as a model with language considerations produced by Ki Hadi Sugito, simple and communicative. From the results of the study, a simpler text was created. This text is then used as teaching material in class. The text used as this teaching material does not mean limiting students but instead provides opportunities to be developed by students, according to their respective abilities. Tulisan ini membicarakan penerapan metode belajar bahasa pedalangan khususnya bahasa pocapan (‘mendialogkan tokoh-tokoh wayang’). Metode ini dihasilkan dengan terlebih dahulu meneliti pocapan Ki Hadi Sugito dalam tiga lakon yaitu Bagong Ratu, Ujung Sengara, dan Wahyu Widayat. Pergelaran wayang versi Ki Hadi Sugito dipilih sebagai model dengan pertimbangan bahasa yang diproduksi Ki Hadi Sugito sederhana dan komunikatif. Dari hasil penelitian tersebut dibuatlah sebuah teks pocapan yang lebih sederhana. Teks ini kemudian digunakan sebagai bahan ajar di kelas. Teks yang digunakan sebagai bahan ajar ini tidak berarti membatasi mahasiswa tetapi justru memberi peluang untuk dikembangkan oleh mahasiswa, sesuai dengan kemampuan masing-masing.","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"31 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114729901","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-06DOI: 10.24821/WAYANG.V3I2.3149
B. Nugroho
This paper aims to track cak-ing pakeliran of the Ki Timbul Hadiprayitno version of Lakon Kalimasada. The tracking was used to see Ki Timbul Hadiprayitno’s openness towards today’s development of cak-ing pakeliran. In other words, this paper aims to trace the flexibility of Ki Timbul Hadiprayitno’s attitude as a puppeteer who was in jaman kelakoné. The concept of cak-ing pakeliran Mudjanattistomo et al. (1977) used as a theoretical basis. From the results of the analysis of the cak-ing pakeliran in the Lakon Kalimasada, it was found that the conclusion of Ki Timbul Hadiprayitno gave its own color in the pack of Yogyakarta style pakeliran. He followed the development of the era without damaging the existing cak-ing rules of the Yogyakarta style Pakeliran. It can be said of Ki Timbul Hadiprayitno, who was known as the mastermind who firmly maintained the Yogyakarta style puppetry, it turned out that in his career development was open to changes and developments.Tulisan ini bertujuan melacak cak-ing pakeliran Lakon Kalimasada versi Ki Timbul Hadiprayitno. Pelacakan tersebut digunakan untuk melihat keterbukaan Ki Timbul Hadiprayitno terhadap perkembangan cak-ing pakeliran jaman ini. Dengan kata lain tulisan ini bertujuan melacak kelenturan sikap Ki Timbul Hadiprayitno sebagai seorang dalang yang anut jaman kelakoné. Konsep struktur cak-ing pakeliran Mudjanattistomo dkk. (1977) digunakan sebagai landasan teori. Dari hasil analisis terhadap cak-ing pakeliran Lakon Kalimasada didapatkan kesimpulan Ki Timbul Hadiprayitno memberikan warna tersendiri dalam kemasan pakeliran gaya Yogyakarta. Ia mengikuti perkembangan jaman tanpa merusak kaidah caking pakeliran gaya Yogyakarta yang sudah ada. Dapat dikatakan Ki Timbul Hadiprayitno, yang dikenal sebagai dalang yang teguh mempertahankan pedalangan gaya Yogyakarta, ternyata dalam perkembangan kariernya terbuka terhadap perubahan dan perkembanganjaman.
本文旨在追踪Ki Timbul Hadiprayitno版本的Lakon Kalimasada的蛋糕pakeliran。这一跟踪被用来观察Ki Timbul Hadiprayitno对今天巴基斯坦发展的开放态度。换句话说,本文旨在追溯Ki Timbul Hadiprayitno作为一名身处jaman kelakon的木偶戏演员的态度的灵活性。Mudjanattistomo等人(1977)将饼的概念作为理论基础。从Lakon Kalimasada的饼状pakeliran的分析结果来看,Ki Timbul Hadiprayitno的结论在日惹风格pakeliran的包装中赋予了自己的色彩。他遵循了时代的发展,而没有破坏日惹式巴基斯坦的现有规则。可以说,Ki Timbul Hadiprayitno被称为坚定地保持日惹风格木偶戏的策划者,事实证明,他的职业发展是开放的变化和发展。图里桑·贝图胡安·梅拉恰克(Lakon Kalimasada)与Ki Timbul Hadiprayitno的对决。Pelacakan tersebut digunakan untuk melihat keterbukaan Ki Timbul Hadiprayitno terhadap perkembangan cake -ing pakeliran jaman ini。邓加加卡塔是一个美丽的女神,她是一个美丽的女神,她是一个美丽的女神。康斯坦普的罢工使巴基斯坦人感到震惊。(1977)。达里哈希尔分析说,巴基利兰,Lakon Kalimasada didapatkan kespulan Ki Timbul Hadiprayitno成员,警告,tersendiri dalam kemasan pakeliran gaya日惹。i mengikuti perkembangan jaman tanpa merusak kaidah cake pakeliran gaya日惹yang sudah ada。日惹,日惹,日惹,日惹,日惹,日惹
{"title":"Fleksibilitas dan Improvisasi dalam Struktur Cak-ing Pakeliran Lakon Kalimasada Versi Ki Timbul Hadiprayitno","authors":"B. Nugroho","doi":"10.24821/WAYANG.V3I2.3149","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V3I2.3149","url":null,"abstract":"This paper aims to track cak-ing pakeliran of the Ki Timbul Hadiprayitno version of Lakon Kalimasada. The tracking was used to see Ki Timbul Hadiprayitno’s openness towards today’s development of cak-ing pakeliran. In other words, this paper aims to trace the flexibility of Ki Timbul Hadiprayitno’s attitude as a puppeteer who was in jaman kelakoné. The concept of cak-ing pakeliran Mudjanattistomo et al. (1977) used as a theoretical basis. From the results of the analysis of the cak-ing pakeliran in the Lakon Kalimasada, it was found that the conclusion of Ki Timbul Hadiprayitno gave its own color in the pack of Yogyakarta style pakeliran. He followed the development of the era without damaging the existing cak-ing rules of the Yogyakarta style Pakeliran. It can be said of Ki Timbul Hadiprayitno, who was known as the mastermind who firmly maintained the Yogyakarta style puppetry, it turned out that in his career development was open to changes and developments.Tulisan ini bertujuan melacak cak-ing pakeliran Lakon Kalimasada versi Ki Timbul Hadiprayitno. Pelacakan tersebut digunakan untuk melihat keterbukaan Ki Timbul Hadiprayitno terhadap perkembangan cak-ing pakeliran jaman ini. Dengan kata lain tulisan ini bertujuan melacak kelenturan sikap Ki Timbul Hadiprayitno sebagai seorang dalang yang anut jaman kelakoné. Konsep struktur cak-ing pakeliran Mudjanattistomo dkk. (1977) digunakan sebagai landasan teori. Dari hasil analisis terhadap cak-ing pakeliran Lakon Kalimasada didapatkan kesimpulan Ki Timbul Hadiprayitno memberikan warna tersendiri dalam kemasan pakeliran gaya Yogyakarta. Ia mengikuti perkembangan jaman tanpa merusak kaidah caking pakeliran gaya Yogyakarta yang sudah ada. Dapat dikatakan Ki Timbul Hadiprayitno, yang dikenal sebagai dalang yang teguh mempertahankan pedalangan gaya Yogyakarta, ternyata dalam perkembangan kariernya terbuka terhadap perubahan dan perkembanganjaman.","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131885257","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-06DOI: 10.24821/WAYANG.V3I2.3151
Aji Santoso Nugroho
This article aims to describe the musical accompaniment in the Menak Sukarno Golek Golek performance by Ki Sukarno. Musicology analysis is done using karawitan to reveal the structure, shape, workmanship, and function of karawitan in Ki Sukarno’s Menak Yogyakarta Golek Puppet show. From the observations of Ki Sukarno’s performance, it was concluded that the accompaniment of Menak Puppet Golek music used in the performance was basically not much different from the wayang kulit of Yogyakarta puppet. The difference between the two lies in the laya or rhythmic dish and the obstacle pattern, namely the wayang motion, the ater open the playon and the playon level. Laya or rhythm used refers to dance music and the pattern of resistance. This is because in the Menak Puppet Puppet contains elements of dance movement vocabulary. The performances of Menak Golek Puppet have a standard composition as accompaniment, namely the Gending Goal of Kabor Topèng, Orange Flower Sifter, Playon Kembang Jeruk, Playon Gégot, and Playon Gambuh. Karawitan in the performance of Menak Golek Puppet serves as a confirmation of scene changes, emphasizes the atmosphere of the scene, reinforces dramatic elements, emphasizes the character, and reinforces the character of puppet movements. The presentation structure of Menak Yogyakarta Golek Puppet refers to the structure of Purwa Yogyakarta Puppet Leather, both from the structure of the division of the scene, to the use of gamelan which only uses sléndro tunings. The element that distinguishes it is only found in the scene ajon-ajon or majeng beksa, namely the motion of dance before committing a war and a fierce war scene. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan iringan karawitan dalam pergelaran Wayang Golek Menak Yogyakarta versi Ki Sukarno. Analisis musikologi garap karawitan digunakan untuk mengungkap struktur, bentuk, garap, dan fungsi karawitan dalam pertunjukan Wayang Golek Menak Yogyakarta versi Ki Sukarno. Dari pengamatan terhadap pergelaran Ki Sukarno didapatkan kesimpulan bahwa iringan karawitan Wayang Golek Menak yang digunakan dalam pergelarannya pada dasarnya tidak berbeda jauh dari karawitan Wayang Kulit Yogyakarta. Perbedaan dari keduanya terletak pada sajian laya atau irama dan pola kendhangan yaitu ater-ater gerak wayang, ater-ater buka playon dan suwuk playon. Laya atau irama yang digunakan mengacu pada karawitan tari dan pola kendhangan. Hal ini dikarenakan dalam Wayang Golek Menak terkandung unsur vokabuler gerak tari. Pergelaran Wayang Golek Menak mempunyai gending baku sebagai iringan yaitu Ketawang Gending Kabor Topèng, Ayak-ayak Kembang Jeruk, Playon Kembang Jeruk, Playon Gégot, dan Playon Gambuh. Karawitan dalam pergelaran Wayang Golek Menak berfungsi sebagai penegas pergantian adegan, penegas suasana adegan, penegas unsur dramatik, penegas karakter tokoh, dan penegas karakter gerak wayang. Struktur penyajian Wayang Golek Menak Yogyakarta mengacu pada struktur Wayang Kulit Purwa Yogyakarta, baik itu dari
本文旨在描述Ki Sukarno在Menak Sukarno Golek Golek表演中的音乐伴奏。在Ki Sukarno的Menak Yogyakarta Golek木偶戏中,使用karawitan进行音乐学分析,揭示karawitan的结构,形状,工艺和功能。通过对Ki Sukarno表演的观察,得出的结论是,表演中使用的Menak Puppet Golek音乐伴奏与日惹木偶的wayang kulit基本没有太大区别。两者的区别在于层次或节奏盘和障碍模式,即wayang运动,水开玩法和玩法水平。Laya或节奏指的是舞蹈音乐和抵抗的模式。这是因为在米纳克木偶中包含了木偶舞蹈动作的词汇元素。Menak Golek Puppet的表演有一个标准的伴奏曲目,即《劳动top的Gending Goal》、《橙花筛》、《Playon Kembang Jeruk》、《Playon g》和《Playon Gambuh》。在《Menak Golek Puppet》的表演中,Karawitan作为场景变化的确认,强调场景的氛围,强化戏剧元素,强调人物,强化木偶动作的性格。Menak Yogyakarta Golek Puppet的呈现结构参考了Purwa Yogyakarta Puppet Leather的结构,无论是从场景划分的结构,还是使用仅使用slsamendro调弦的佳美兰。区别于它的元素只有在交战前的舞蹈动作和激烈的战争场面中才能找到。日惹与基·苏加诺。音乐分析garap karawitan digunakan untuk mengungkap struktur, bentuk, garap, dan fungsi karawitan dalam pertunjukan Wayang Golek Menak日惹与Ki Sukarno。日惹,日惹,日惹,日惹,日惹。Perbedaan dari keduanya terletak pada sajian laya atau irama dan pola kendhangan yitu after gerak wayang, after - after buka playon dan suwuk playon。Laya atau irama yang digunakan mengacu pada karawitan tari dan pola kendhangan。这是我的梦想,这是我的梦想,这是我的梦想。Pergelaran Wayang Golek Menak mempunyai gending baku sebagai iringan yitu Ketawang gending Kabor top, Ayak-ayak Kembang Jeruk, Playon Kembang Jeruk, Playon g, dan Playon Gambuh。penegas karakter tokoh, penegas karakter gerak Wayang Golek Menak berfungsi sebagai penegas pergantian adegan, penegas suasana adegan, penegas unsur戏剧家,penegas karakter tokoh, dan penegas karakter gerak Wayang。Struktur penyajian Wayang Golek Menak日惹mengacu篇合写Wayang Kulit Purwa日惹市baik itu达里语合写pembagian adegan, sampai penggunaan佳美兰杨hanya menggunakan劳拉斯。Unsur yang成员akannya hanya terdapat pada adegan ajon-ajon atau majeng beksa, yitu gerak ian sebelum melakukan perang dan adegan perang gul。
{"title":"Iringan Karawitan Pergelaran Wayang Golek Menak Yogyakarta Versi Ki Sukarno","authors":"Aji Santoso Nugroho","doi":"10.24821/WAYANG.V3I2.3151","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V3I2.3151","url":null,"abstract":"This article aims to describe the musical accompaniment in the Menak Sukarno Golek Golek performance by Ki Sukarno. Musicology analysis is done using karawitan to reveal the structure, shape, workmanship, and function of karawitan in Ki Sukarno’s Menak Yogyakarta Golek Puppet show. From the observations of Ki Sukarno’s performance, it was concluded that the accompaniment of Menak Puppet Golek music used in the performance was basically not much different from the wayang kulit of Yogyakarta puppet. The difference between the two lies in the laya or rhythmic dish and the obstacle pattern, namely the wayang motion, the ater open the playon and the playon level. Laya or rhythm used refers to dance music and the pattern of resistance. This is because in the Menak Puppet Puppet contains elements of dance movement vocabulary. The performances of Menak Golek Puppet have a standard composition as accompaniment, namely the Gending Goal of Kabor Topèng, Orange Flower Sifter, Playon Kembang Jeruk, Playon Gégot, and Playon Gambuh. Karawitan in the performance of Menak Golek Puppet serves as a confirmation of scene changes, emphasizes the atmosphere of the scene, reinforces dramatic elements, emphasizes the character, and reinforces the character of puppet movements. The presentation structure of Menak Yogyakarta Golek Puppet refers to the structure of Purwa Yogyakarta Puppet Leather, both from the structure of the division of the scene, to the use of gamelan which only uses sléndro tunings. The element that distinguishes it is only found in the scene ajon-ajon or majeng beksa, namely the motion of dance before committing a war and a fierce war scene. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan iringan karawitan dalam pergelaran Wayang Golek Menak Yogyakarta versi Ki Sukarno. Analisis musikologi garap karawitan digunakan untuk mengungkap struktur, bentuk, garap, dan fungsi karawitan dalam pertunjukan Wayang Golek Menak Yogyakarta versi Ki Sukarno. Dari pengamatan terhadap pergelaran Ki Sukarno didapatkan kesimpulan bahwa iringan karawitan Wayang Golek Menak yang digunakan dalam pergelarannya pada dasarnya tidak berbeda jauh dari karawitan Wayang Kulit Yogyakarta. Perbedaan dari keduanya terletak pada sajian laya atau irama dan pola kendhangan yaitu ater-ater gerak wayang, ater-ater buka playon dan suwuk playon. Laya atau irama yang digunakan mengacu pada karawitan tari dan pola kendhangan. Hal ini dikarenakan dalam Wayang Golek Menak terkandung unsur vokabuler gerak tari. Pergelaran Wayang Golek Menak mempunyai gending baku sebagai iringan yaitu Ketawang Gending Kabor Topèng, Ayak-ayak Kembang Jeruk, Playon Kembang Jeruk, Playon Gégot, dan Playon Gambuh. Karawitan dalam pergelaran Wayang Golek Menak berfungsi sebagai penegas pergantian adegan, penegas suasana adegan, penegas unsur dramatik, penegas karakter tokoh, dan penegas karakter gerak wayang. Struktur penyajian Wayang Golek Menak Yogyakarta mengacu pada struktur Wayang Kulit Purwa Yogyakarta, baik itu dari ","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"41 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132926031","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-06DOI: 10.24821/WAYANG.V3I2.3147
H. Hariyanto
This article analyzes Ki Enthus Susmono’s performance through observing some of his previous performances, with the performance idea of Shoshana Felman (2003) in his book, The Scandal of Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, which reads the Don Juan theater by Molière. As a result, it was found that there were similarities between promises by J.L. Austin, Don Juan and Ki Enthus Susmono. Ki Enthus Susmono’s performance has been successfully built through the eclectic, parody and irony representation of postmodern art, which shows the reality of his body’s actions, has been produced repeatedly to produce certain effects so that it becomes a habit (myth). Through his performativity, Ki Enthus Susmono showed his success in building a novel marker of gagrag puppetry. Artikel ini menganalisis performativitas Ki Enthus Susmono melalui pengamatan beberapa rekaman pertunjukannya terdahulu, dengan gagasan performativitas Shoshana Felman (2003) dalam bukunya, The Scandal of The Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, yang membaca teater Don Juan karya Molière. Hasilnya, ditemukan bahwa ada kesamaan antara tindakan janji oleh J.L. Austin,Don Juan dan Ki Enthus Susmono. Performativitas Ki Enthus Susmono berhasil dibangun melalui strategi representasi seni postmodern yang eklektis, parodi, dan ironi, yang menunjukkan realitas tindakan tubuhnya, telah diproduksi berulangkali untuk menghasilkan efek tertentu sehingga menjadi kebiasaan (mitos). Melalui performativitasnya tersebut, Ki Enthus Susmono menunjukkan keberhasilannya membangun penanda kebaruan gagrag pedalangan.
本文以索莎娜·费尔曼(2003)在其著作《说话的身体的丑闻:J.L.奥斯汀的唐璜,或两种语言的诱惑》中的表演思想为基础,通过观察Ki Enthus Susmono之前的一些表演来分析他的表演。结果发现,J.L. Austin、Don Juan和Ki Enthus Susmono的承诺有相似之处。Ki Enthus Susmono的表演成功地通过后现代艺术的折衷、戏仿和反讽的表现方式建立起来,表现出他身体动作的现实性,被反复地产生一定的效果,从而成为一种习惯(神话)。通过他的表演,Ki Enthus Susmono展示了他成功地建立了一个新的gagrag木偶戏标志。(2003) dalam bukunya,《会说话的身体的丑闻:与J.L. Austin合作的唐璜》,或《两种语言的诱惑》,yang membaca teater Don Juan karya molire。Hasilnya, ditemukan bahwa ada kesamaan antara tindakan janji oleh J.L. Austin,Don Juan dan Ki Enthus Susmono。表演vitas Ki Enthus Susmono berhasil dibangun melalui策略代表了seni后现代的yang eklektis, parodi, dan ironi, yang menunjukkan realitas tindakan tubuhnya, telah diproduksi berulangkali untuk menghasilkan efek tertentu sehinga menjadi kebiasaan (mitos)。Melalui performance vitasnya tersebut, Ki Enthus Susmono menunjukkan keberhasilannya membangun penanda kebaruan gagrag pedalangan。
{"title":"Ki Enthus Susmono: Skandal Performatif Don Juan dan Kebaruan Gagrag Pedalangan","authors":"H. Hariyanto","doi":"10.24821/WAYANG.V3I2.3147","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V3I2.3147","url":null,"abstract":"This article analyzes Ki Enthus Susmono’s performance through observing some of his previous performances, with the performance idea of Shoshana Felman (2003) in his book, The Scandal of Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, which reads the Don Juan theater by Molière. As a result, it was found that there were similarities between promises by J.L. Austin, Don Juan and Ki Enthus Susmono. Ki Enthus Susmono’s performance has been successfully built through the eclectic, parody and irony representation of postmodern art, which shows the reality of his body’s actions, has been produced repeatedly to produce certain effects so that it becomes a habit (myth). Through his performativity, Ki Enthus Susmono showed his success in building a novel marker of gagrag puppetry. Artikel ini menganalisis performativitas Ki Enthus Susmono melalui pengamatan beberapa rekaman pertunjukannya terdahulu, dengan gagasan performativitas Shoshana Felman (2003) dalam bukunya, The Scandal of The Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, yang membaca teater Don Juan karya Molière. Hasilnya, ditemukan bahwa ada kesamaan antara tindakan janji oleh J.L. Austin,Don Juan dan Ki Enthus Susmono. Performativitas Ki Enthus Susmono berhasil dibangun melalui strategi representasi seni postmodern yang eklektis, parodi, dan ironi, yang menunjukkan realitas tindakan tubuhnya, telah diproduksi berulangkali untuk menghasilkan efek tertentu sehingga menjadi kebiasaan (mitos). Melalui performativitasnya tersebut, Ki Enthus Susmono menunjukkan keberhasilannya membangun penanda kebaruan gagrag pedalangan.","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"33 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115749929","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-01DOI: 10.24821/WAYANG.V2I2.3049
B. Suseno
Njajah désa milang kori program is an activity of going around from one place to another in Bantul regency. This activity is one of the moral responsibility of the academic civitas of Pedalangan FSP ISI Yogyakarta for the world’s recognition of wayang kulit, which in fact began to have signs of fading in Bantul society. The move is intended as a vehicle to increase the appreciation of the community as well as improving the ability of dalang, both for lecturers and students majoring Pedalangan ISI Yogyakarta. The program is a place to experiment and explore new formats of wayang performances according to the demands of the era. One of these steps is reusing Lakon Alap-alapan Sukèsi by Ki Nartosabdo into the Ngayogyakarta tradition in a concise format. The questions are: (1) What elements are considered in the re-work; (2) Whether the results are stillfollowing the rules of the puppetry; and (3) whether the results of the work have met the criteria of the demands of the times. Through the study of balungan balungan plays and the concept of rap-rapet obtained the conclusion that: (1) Issues submitted are only the main points only; (2) Broadly speaking the plays still follow the pattern of pathet by reducing the jejer and the scene; (3) It meets the demands of the times, new in the aspect of the duration of time; and (4) have not been able to produce ashow that seems relaxed and less able to build a living reality. The results of this study are expected to intensify the re-evaluation so that the purpose of developing the world of puppetry can be achieved. Program njajah désa milang kori adalah sebuah kegiatan mendalang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain di Kabupaten Bantul. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral civitas akademika jurusan Pedalangan FSP ISI Yogyakarta atas pengakuan dunia terhadap wayang kulit, yang pada kenyataannya mulai ada tanda-tanda memudar pamornya dalam masyarakat Bantul. Langkah tersebut dimaksudkan sebagai wahana peningkatan apresiasi masyarakat sekaligus peningkatan kemampuan mendalang, baik bagi dosen maupun mahasiswa jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta. Program tersebut merupakan ajang bereksperimen dan mengekplorasi format baru pertunjukan wayang sesuai dengan tuntutan jamannya. Salah satu dari langkah tersebut adalah garap-ulang Lakon Alap-alapan Sukèsi oleh Ki Nartosabdo ke dalam tradisi Ngayogyakarta dalam format pakeliran ringkas. Yang menjadi pertanyaan adalah: (1) Unsur apa saja yang diperhatikan dalam garap-ulang tersebut; (2) Apakah hasil garap tersebut masih mengikuti kaidah-kaidah dalam pedalangan; dan (3) Apakah hasil garap tersebut sudah memenuhi kriteria tuntutan jaman. Melalui telaah pola balungan lakon dan konsep sambung-rapet diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Permasalahan yang disampaikan hanyalah yang pokok-pokoksaja; (2) Secara garis besar lakon masih mengikuti pola pathet dengan mengurangi jejer dan adegan; (3) Hal yang memenuhi tuntutan jaman, baru dalam aspek durasi
Njajah dsaman milang kori项目是在班图尔摄政区从一个地方到另一个地方的活动。这项活动是Pedalangan FSP ISI Yogyakarta的学术公民的道德责任之一,因为世界对wayang kulit的认可,实际上在班图尔社会开始有褪色的迹象。此举旨在增加社区的欣赏,并提高大朗的能力,无论是讲师和学生主修的Pedalangan ISI日惹。这个项目是一个根据时代的需求,尝试和探索新的wayang表演形式的地方。其中一个步骤是以简洁的形式将Ki Nartosabdo的Lakon Alap-alapan suk si重新运用到Ngayogyakarta传统中。问题是:(1)返工会考虑哪些因素;(2)结果是否仍然遵循木偶戏的规则;(三)工作成果是否符合时代要求的标准。通过对巴伦干巴伦干剧作和巴伦干说唱概念的研究,得出以下结论:(1)提出的问题仅是要点;(2)一般来说,戏剧仍然遵循戏剧的模式,减少了jejeer和scene;(三)符合时代要求,在时间上具有新颖性;(4)无法制作出看起来轻松的节目,也无法营造出生动的现实。期望本研究结果能加强对木偶戏的重新评估,以达到发展木偶戏世界的目的。该计划的主要内容是:计划的目标是:计划的目标是:计划的目标是:计划的目标是:计划的目标是:计划的目标是:计划的目标是:计划的目标是:计划的目标是:计划的目标。Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk jagung jaja道德公民akademika jurusan Pedalangan FSP ISI日惹(Yogyakarta) atas pengakan dunia terhadap wayang kulit, yang pada kenyataannya mulai ada tanda-tanda memudar pamornya dalam masyarakat Bantul。日惹,日惹,日惹,日惹程序简洁,但merupakan ajang bereksperen danmengekplorasi格式baru pertunjukan wayang sesuai dengan tuntuntan jamannya。Salah satu dari langkah tersebut adalah garap-ulang Lakon Alap-alapan suksi oleh Ki Nartosabdo ke dalam tradis Ngayogyakarta dalam format pakeliran ringkas。(1) Unsur apa saja Yang diperhatikan dalam garap-ulang tersebut;(2) Apakah hasil garap tersebut masih mengikuti kaidah-kaidah dalam pedalangan;但(3)亚帕迦哈西迦迦人的神,但他的神,他的神,他的神,他的神。Melalui telaah pola balungan lakon dan konsep samung -rapet diperoleh kespulpulan bahwa:(1) Permasalahan yang disampaikan hanyalah yang pokoksaja;(2) Secara garis besar lakon masih mengikuti pola patet dengan mengurangi jejer dan adegan;(3) Hal yang memenuhi tuntutan jaman, baru dalam aspek durasi waktu;丹(4)Belum mampu menghasilkan pertunjukan yang terkesan santai dankurang mampu membangun realitas yang hidup。哈西尔penelitian ini diharapkan semakin menggiatkan telaah ulang seingga tujuan pengembangan dunidalangan和apat tercapai。
{"title":"Review Lakon Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Wahana Eksplorasi Model Perancangan Lakon Dalam Rangka “Njajah Désa Milang Kori”","authors":"B. Suseno","doi":"10.24821/WAYANG.V2I2.3049","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V2I2.3049","url":null,"abstract":"Njajah désa milang kori program is an activity of going around from one place to another in Bantul regency. This activity is one of the moral responsibility of the academic civitas of Pedalangan FSP ISI Yogyakarta for the world’s recognition of wayang kulit, which in fact began to have signs of fading in Bantul society. The move is intended as a vehicle to increase the appreciation of the community as well as improving the ability of dalang, both for lecturers and students majoring Pedalangan ISI Yogyakarta. The program is a place to experiment and explore new formats of wayang performances according to the demands of the era. One of these steps is reusing Lakon Alap-alapan Sukèsi by Ki Nartosabdo into the Ngayogyakarta tradition in a concise format. The questions are: (1) What elements are considered in the re-work; (2) Whether the results are stillfollowing the rules of the puppetry; and (3) whether the results of the work have met the criteria of the demands of the times. Through the study of balungan balungan plays and the concept of rap-rapet obtained the conclusion that: (1) Issues submitted are only the main points only; (2) Broadly speaking the plays still follow the pattern of pathet by reducing the jejer and the scene; (3) It meets the demands of the times, new in the aspect of the duration of time; and (4) have not been able to produce ashow that seems relaxed and less able to build a living reality. The results of this study are expected to intensify the re-evaluation so that the purpose of developing the world of puppetry can be achieved. Program njajah désa milang kori adalah sebuah kegiatan mendalang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain di Kabupaten Bantul. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral civitas akademika jurusan Pedalangan FSP ISI Yogyakarta atas pengakuan dunia terhadap wayang kulit, yang pada kenyataannya mulai ada tanda-tanda memudar pamornya dalam masyarakat Bantul. Langkah tersebut dimaksudkan sebagai wahana peningkatan apresiasi masyarakat sekaligus peningkatan kemampuan mendalang, baik bagi dosen maupun mahasiswa jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta. Program tersebut merupakan ajang bereksperimen dan mengekplorasi format baru pertunjukan wayang sesuai dengan tuntutan jamannya. Salah satu dari langkah tersebut adalah garap-ulang Lakon Alap-alapan Sukèsi oleh Ki Nartosabdo ke dalam tradisi Ngayogyakarta dalam format pakeliran ringkas. Yang menjadi pertanyaan adalah: (1) Unsur apa saja yang diperhatikan dalam garap-ulang tersebut; (2) Apakah hasil garap tersebut masih mengikuti kaidah-kaidah dalam pedalangan; dan (3) Apakah hasil garap tersebut sudah memenuhi kriteria tuntutan jaman. Melalui telaah pola balungan lakon dan konsep sambung-rapet diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Permasalahan yang disampaikan hanyalah yang pokok-pokoksaja; (2) Secara garis besar lakon masih mengikuti pola pathet dengan mengurangi jejer dan adegan; (3) Hal yang memenuhi tuntutan jaman, baru dalam aspek durasi ","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"176 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115696233","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-01DOI: 10.24821/WAYANG.V2I2.3048
M. Mahmudi
This “Wayang Bèbèr Damarwulan” work is an interpretation of wayang bèbèr based on the creator’s experience in studying arts. This work is a wayang Bèbèr artwork using traditional picture language (two dimension theory) and shape transformation theory. Both of these theories are used to combine the art of “kethoprak” with the story of Damarwulan into Wayang Bèbèr which then performed as a new version of wayang Bèbèr. By combining kethoprak into wayang Bèbèr, it is expected to be a new attractive and interesting wayang Bèbèr performance for the society. Karya Wayang Bèbèr Damarwulan adalah suatu bentuk interpretasi baru dari wayang bèbèr. Interpretasi baru ini lahir dari pengalaman yang diperoleh perancang selama menekuni dunia seni, baik seni lukis maupun seni pedalangan. Karya Wayang Bèbèr Damarwulan ini merupakan penggarapan wayang bèbèr berdasarkan teori bahasa rupa tradisional/RWD (teori ruang waktu datar) dan teori alih wahana. Kedua teori tersebut digunakan sebagai kerangka berpikir dalam merancang Wayang Bèbèr Damarwulan yang merupakan sebuah karya wayang bèbèr versi baru perpaduan antara kethoprak cerita Damarwulan dengan wayang bèbèr. Karya ini diharapkan dapat membuat pertunjukan wayang bèbèr semakin menarik dan diminati masyarakat.
{"title":"Wayang Bèbèr Damarwulan","authors":"M. Mahmudi","doi":"10.24821/WAYANG.V2I2.3048","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V2I2.3048","url":null,"abstract":"This “Wayang Bèbèr Damarwulan” work is an interpretation of wayang bèbèr based on the creator’s experience in studying arts. This work is a wayang Bèbèr artwork using traditional picture language (two dimension theory) and shape transformation theory. Both of these theories are used to combine the art of “kethoprak” with the story of Damarwulan into Wayang Bèbèr which then performed as a new version of wayang Bèbèr. By combining kethoprak into wayang Bèbèr, it is expected to be a new attractive and interesting wayang Bèbèr performance for the society. Karya Wayang Bèbèr Damarwulan adalah suatu bentuk interpretasi baru dari wayang bèbèr. Interpretasi baru ini lahir dari pengalaman yang diperoleh perancang selama menekuni dunia seni, baik seni lukis maupun seni pedalangan. Karya Wayang Bèbèr Damarwulan ini merupakan penggarapan wayang bèbèr berdasarkan teori bahasa rupa tradisional/RWD (teori ruang waktu datar) dan teori alih wahana. Kedua teori tersebut digunakan sebagai kerangka berpikir dalam merancang Wayang Bèbèr Damarwulan yang merupakan sebuah karya wayang bèbèr versi baru perpaduan antara kethoprak cerita Damarwulan dengan wayang bèbèr. Karya ini diharapkan dapat membuat pertunjukan wayang bèbèr semakin menarik dan diminati masyarakat.","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"54 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130581336","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-01DOI: 10.24821/WAYANG.V3I1.3057
Endah Budiarti
The purpose of this study was to find the structure janturan of the Yogyakarta shadow puppet. A further goal of this research is to find a method for learning puppetry language, especially janturan language. To achieve the above objectives, the researchers will first identify and categorize the structure of janturan carried out by Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Suparman, and Mudjanattistomo. Second, the grammatical structure of the Yogyakarta senior puppeteers’ puppets wasthen reduced to the grammatical structure of the Yogyakarta shadow puppet show. To find the structure janturan of Yogyakarta Purwa shadow puppet, this study will apply structural analysis. The concept of tatas in chess aesthetics is the version of Soetarno et al. (2007) and the grammatical structure of the Sasangka version (1989) were used as analysis blades in this study. Janturan is the ukara-ukara (‘sentences’) kenès which are arranged in a complete, sequential, and not overlapping manner. As a ukara certainly has a grammatical structure. To be able to find the grammatical structure of scattering, the tatas concept and the grammatical theory of Javanese language are used. From the results of the study of the (grammatical) structure of the Yogyakarta senior mastermind’s succession, the following pattern is obtained: The first part is a section that contains worship. The second part of the janturan contains the greatness of the kingdom which is the center of storytelling. The third part of janturan contains the great king in the great kingdom who is the center of storytelling. The fourth part of the janturan is about the preparation of the trial and those present at the hearing. It is expected that the results of this study can improve teaching materials in thesubject of Bahasa Pedalangan, Pedalangan Rhetoric, and Basics of Pakeliran in the Pedalangan Department.Tujuan penelitian ini adalah menemukan struktur janturan wayang kulit purwa Yogyakarta. Tujuan lebih jauh dari penelitian ini ialah menemukan satu metode belajar bahasa pedalangan khususnya bahasa janturan. Untuk mencapai tujuan di atas, pertama-tama peneliti akan mengidentifikasi dan mengkategorikan struktur janturan yang dibawakan oleh Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Suparman, dan Mudjanattistomo. Kedua, struktur gramatikal janturan dalang-dalangsenior Yogyakarta tersebut kemudian direduksi menjadi struktur gramatikal janturan wayang kulit purwa Yogyakarta. Untuk menemukan struktur janturan wayang kulit purwa Yogyakarta penelitian ini akan menerapkan analisis struktural. Konsep tatas dalam estetika catur versi Soetarno dkk. (2007) dan struktur gramatikal ukara versi Sasangka (1989) digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Janturanmerupakan ukara-ukara (‘kalimat-kalimat’) kenès yang disusun secara lengkap, urut, dan tidak tumpang tindih. Sebagai sebuah ukara tentu memiliki struktur gramatikal. Untuk dapat menemukan struktur gramatikal janturan digunakan konsep tatas dan teori strukt
本研究的目的是找出日惹皮影木偶的结构。本研究的另一个目标是寻找一种学习木偶戏语言的方法,特别是janturan语言。为了实现上述目标,研究人员将首先对Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Suparman和Mudjanattistomo进行的janturan结构进行识别和分类。其次,日惹高级木偶戏演员的木偶的语法结构被简化为日惹皮影戏的语法结构。为了找出日惹普瓦皮影的结构特征,本研究将运用结构分析的方法。象棋美学中的塔塔概念是Soetarno et al.(2007)的版本,Sasangka版本(1989)的语法结构是本研究的分析刀片。Janturan是ukara-ukara(“句子”)ken,它们以完整、顺序和不重叠的方式排列。因为ukara当然有语法结构。为了能够找到散射的语法结构,使用了爪哇语的塔塔概念和语法理论。从对日惹高级策划人继承的(语法)结构的研究结果中,可以得出以下模式:第一部分是包含崇拜的部分。《janturan》的第二部分包含了王国的伟大,这是故事的中心。《janturan》的第三部分包含了伟大王国的伟大国王,他是故事的中心。第四部分是关于审判的准备工作和出席听证会的人员。期望本研究的结果能改善马来语、马来语修辞、马来语基础等科目的教材。Tujuan penelitian ini adalah menemukan strucktur janturan wayang kulit purwa日惹。Tujuan lebih jauh dari penelitian ini menemukan satu方法belajar bahasa pedalangan khususnya bahasa janturan。Untuk mencapai tujuan di ata, pertama- tamama peneliti akan mengidentifikasi dan mengkategorikan strucktuturan yang dibawakan oleh Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Suparman, dan Mudjanattistomo。这句话的意思是:“日惹”,意思是“日惹”,意思是“日惹”。Untuk menemukan strucktur janturan wayang kulit purwa日惹penelitian ini akan menerapkan分析结构。Konsep tatas dalam estetika catur与Soetarno dkk。(2007)与Sasangka(1989)的对比分析。Janturanmerupakan ukara-ukara (' kalimat-kalimat ') ken yang dissusun secara lengkap, utut, dan tidak tumpang tindih。Sebagai sebuah ukara tenu memoriliki structutural语法。Untuk dapat menemukan struckturr gramatikal janturan digunakan konsep tatas dan teori struckturr bahasa java。日惹,日惹语,日惹语,日惹语,日惹语,日惹语,日惹语。巴吉安·克杜瓦·达里·詹图尔·贝里斯·唐·克贝斯·扬·曼贾迪·潘特·贝里斯。巴吉安·凯迪加·达尔达尔·贝瑞斯·阿格尔达尔·阿格尔达尔·阿格尔达尔·阿格尔达尔·巴吉安·巴格尔达尔·贝瑞斯。巴吉安人保持着良好的生活状态,但是,他们的生活状态很好。Diharapkan hasil penelitian ini dapat menyempurnakanbahan ajar mata kuliah Bahasa Pedalangan, Retorika Pedalangan, dan Dasar-dasar Pakeliran di Jurusan Pedalangan。
{"title":"Struktur Janturan Wayang Kulit Purwa Yogyakarta","authors":"Endah Budiarti","doi":"10.24821/WAYANG.V3I1.3057","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V3I1.3057","url":null,"abstract":"The purpose of this study was to find the structure janturan of the Yogyakarta shadow puppet. A further goal of this research is to find a method for learning puppetry language, especially janturan language. To achieve the above objectives, the researchers will first identify and categorize the structure of janturan carried out by Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Suparman, and Mudjanattistomo. Second, the grammatical structure of the Yogyakarta senior puppeteers’ puppets wasthen reduced to the grammatical structure of the Yogyakarta shadow puppet show. To find the structure janturan of Yogyakarta Purwa shadow puppet, this study will apply structural analysis. The concept of tatas in chess aesthetics is the version of Soetarno et al. (2007) and the grammatical structure of the Sasangka version (1989) were used as analysis blades in this study. Janturan is the ukara-ukara (‘sentences’) kenès which are arranged in a complete, sequential, and not overlapping manner. As a ukara certainly has a grammatical structure. To be able to find the grammatical structure of scattering, the tatas concept and the grammatical theory of Javanese language are used. From the results of the study of the (grammatical) structure of the Yogyakarta senior mastermind’s succession, the following pattern is obtained: The first part is a section that contains worship. The second part of the janturan contains the greatness of the kingdom which is the center of storytelling. The third part of janturan contains the great king in the great kingdom who is the center of storytelling. The fourth part of the janturan is about the preparation of the trial and those present at the hearing. It is expected that the results of this study can improve teaching materials in thesubject of Bahasa Pedalangan, Pedalangan Rhetoric, and Basics of Pakeliran in the Pedalangan Department.Tujuan penelitian ini adalah menemukan struktur janturan wayang kulit purwa Yogyakarta. Tujuan lebih jauh dari penelitian ini ialah menemukan satu metode belajar bahasa pedalangan khususnya bahasa janturan. Untuk mencapai tujuan di atas, pertama-tama peneliti akan mengidentifikasi dan mengkategorikan struktur janturan yang dibawakan oleh Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Suparman, dan Mudjanattistomo. Kedua, struktur gramatikal janturan dalang-dalangsenior Yogyakarta tersebut kemudian direduksi menjadi struktur gramatikal janturan wayang kulit purwa Yogyakarta. Untuk menemukan struktur janturan wayang kulit purwa Yogyakarta penelitian ini akan menerapkan analisis struktural. Konsep tatas dalam estetika catur versi Soetarno dkk. (2007) dan struktur gramatikal ukara versi Sasangka (1989) digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Janturanmerupakan ukara-ukara (‘kalimat-kalimat’) kenès yang disusun secara lengkap, urut, dan tidak tumpang tindih. Sebagai sebuah ukara tentu memiliki struktur gramatikal. Untuk dapat menemukan struktur gramatikal janturan digunakan konsep tatas dan teori strukt","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"91 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133465208","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-01DOI: 10.24821/WAYANG.V2I2.3050
I. K. B. Dwitiya
“Wrémada” is reinterpretations of once episode of Tantri stories, it’s to respond of social-culture phenomena in Indonesia. As we know, the television programs expose coruption in some departmens and institutions. In the other side, the majority of Indonesia society wereunderestimating of traditional arts. Based on this phenomena,title of this art work was used “Wrémada”, it’s mean is “the monkey was stunned by position and authorities. This art work to fuse three genre, there are wayang golek, wayang peteng, dan wayang lemah, in which each of those had different of playing technical and space. But they were colaborated to be one unity art work, and so, this art work can be accepted of Baliness society. And it explained once widya component of Tantri’s story, so it be rebornd and reflected by Indonesia society, and so to build a nations character based on local norm and convention. My expectations of tenants, it can be wise and be guided by the chess pariksa or called by the name of chess nayasandhi is the same, different, funds, and danda. “Wrémada” merupakan reinterpretasi dari salah satu cerita dalam Tantri, untuk merespon kondisi sosial budaya bangsa Indonesia dewasa ini. Sebagaimana banyak diberitakan di televisi tentang pejabat tinggi negara yang terjerat kasus korupsi. Fakta demikian ditunjang oleh kondisi budaya bangsa khususnya kesenian tradisional yang menunjukkan adanya gejala mulai terpinggirkan. Atas dasar hal tersebut maka karya ini diberi judul “Wremada”, yang artinya kera yang mabuk jabatan dan kekuasaan.Karya ini merupakan gabungan tiga jenis wayang, yaitu wayang golek, wayang peteng, dan wayang lemah. Ketiganya memiliki teknik bermain dan ruang gerak yang berbeda, kemudian dikolaborasikan menjadi satu kesatuan karya yang utuh. Karya ini dimaksudkan untuk menjabarkan salah satu komponen widya dalam cerita Tantri agar dikenali kembali oleh masyarakat. Karya ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam pembangunan karakter bangsa, khususnya pola perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa sesuai dengan kapasitas masing-masing. Harapan penggarap, karya ini dapat dijadikan cermin bagi masyarakat agar bersikap bijaksana dengan berpedoman pada catur pariksa atau catur nayasandhi,yang meliputi sama, beda, dana, dan danda.
《wrmada》是对一段坦陀利故事的重新诠释,是对印尼社会文化现象的回应。正如我们所知,电视节目揭露了一些部门和机构的腐败。另一方面,印尼社会的大多数人都低估了传统艺术。基于这种现象,这幅作品的标题被使用了“wrmada”,意思是“猴子被地位和权威惊呆了”。这一艺术作品融合了三种类型,分别是瓦扬歌乐、瓦扬佩腾、丹瓦扬勒玛,每种类型都有不同的演奏技术和空间。但是他们被合作成为一个统一的艺术作品,因此,这个艺术作品可以被Baliness社会所接受。它曾经解释了坦陀利故事的一个重要组成部分,所以它被印度尼西亚社会重新反映出来,从而建立一个基于当地规范和习俗的民族性格。我对租户的期望是,它可以是明智的,被引导的象棋pariksa或被称为象棋nayasandhi的名字是相同的,不同的,基金,和丹达。“wr马达”merupakan重新解释为dari salah satu cerita dalam tani, untuk merespon kondisi social budaya bangsa Indonesia dewasa ini。这是我的第一个电视节目,是我的第一个电视节目,是我的第一个电视节目。Fakta demikian ditunjang oleh kondisi budaya bangsa khususnya kesenian传统杨menunjukkan adanya gejala mulai terpinggirkan。Atas dasar hal tersebut maka karya ini diberi judul“Wremada”,yang artinya kera yang mabuk jabatan dan kekuasaan。Karya ini merupakan gabungan tiga jenis wayang, yitu wayang golek, wayang peteng, dan wayang lemah。Ketiganya memoriliki teknik bermain danang gerak yang berbeda, kemudian dikolaborasikan menjadi satu kesatuan karya yang utuh。Karya ini dimaksudkan untuk menjabarkan salah satu komponen widya dalam cerita tantani agar dikenali kembali oleh masyarakat。Karya ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam pembangunan karakter bangsa, khususnya pola perakaku yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa sesuai dengan kapasitas masing-masing。希望,希望,希望,希望,希望,希望,希望,希望,希望,希望,希望,希望,希望,希望。
{"title":"Wrémada: Sebuah Transformasi Tantri dalam Pertunjukan Wayang Bali","authors":"I. K. B. Dwitiya","doi":"10.24821/WAYANG.V2I2.3050","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V2I2.3050","url":null,"abstract":"“Wrémada” is reinterpretations of once episode of Tantri stories, it’s to respond of social-culture phenomena in Indonesia. As we know, the television programs expose coruption in some departmens and institutions. In the other side, the majority of Indonesia society wereunderestimating of traditional arts. Based on this phenomena,title of this art work was used “Wrémada”, it’s mean is “the monkey was stunned by position and authorities. This art work to fuse three genre, there are wayang golek, wayang peteng, dan wayang lemah, in which each of those had different of playing technical and space. But they were colaborated to be one unity art work, and so, this art work can be accepted of Baliness society. And it explained once widya component of Tantri’s story, so it be rebornd and reflected by Indonesia society, and so to build a nations character based on local norm and convention. My expectations of tenants, it can be wise and be guided by the chess pariksa or called by the name of chess nayasandhi is the same, different, funds, and danda. “Wrémada” merupakan reinterpretasi dari salah satu cerita dalam Tantri, untuk merespon kondisi sosial budaya bangsa Indonesia dewasa ini. Sebagaimana banyak diberitakan di televisi tentang pejabat tinggi negara yang terjerat kasus korupsi. Fakta demikian ditunjang oleh kondisi budaya bangsa khususnya kesenian tradisional yang menunjukkan adanya gejala mulai terpinggirkan. Atas dasar hal tersebut maka karya ini diberi judul “Wremada”, yang artinya kera yang mabuk jabatan dan kekuasaan.Karya ini merupakan gabungan tiga jenis wayang, yaitu wayang golek, wayang peteng, dan wayang lemah. Ketiganya memiliki teknik bermain dan ruang gerak yang berbeda, kemudian dikolaborasikan menjadi satu kesatuan karya yang utuh. Karya ini dimaksudkan untuk menjabarkan salah satu komponen widya dalam cerita Tantri agar dikenali kembali oleh masyarakat. Karya ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam pembangunan karakter bangsa, khususnya pola perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa sesuai dengan kapasitas masing-masing. Harapan penggarap, karya ini dapat dijadikan cermin bagi masyarakat agar bersikap bijaksana dengan berpedoman pada catur pariksa atau catur nayasandhi,yang meliputi sama, beda, dana, dan danda.","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"16 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123748611","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-08-01DOI: 10.24821/WAYANG.V3I1.3054
Fani Rickyansyah
The design of the Ramabargawa play is a realization from a perspective on reading Ramabargawa stories that have been known by the community. In addition to offering a perspective, this work also aims as a medium to communicate the idea of a harmonious family. Wolfgang Iser’s Aesthetic Response Theory is used as a frame of mind. The texts of the Ramabargawa story known to the public as the text of the sender were responded to by the recipient of the work, then realized in the design of the Ramabargawa play. Ramabargawa’s play is a response to the Ramabargawa story that is considered common by the community. This play is packed in solid shows with a duration of one and a half hours. This Ramabargawa play is presented in the style of Pakeliran Yogyakarta that is developing today. New working idioms that make pakeliran offeringsare more interesting, weighty, and in accordance with the development of puppetry today displayed in the show. This is intended so that the Yogyakarta-style shadow puppet show continues to be sustainable but continues to grow with a variety of new innovations.Perancangan lakon Ramabargawa merupakan realisasi dari sebuah sudut pandang atas pembacaan kisah-kisah Ramabargawa yang telah dikenal oleh masyarakat. Selain menawarkan sebuah sudut pandang, karya ini juga bertujuan sebagai media mengkomunikasikan gagasan tentang keluarga harmonis. Teori Respon Estetik Wolfgang Iser dipakai sebagai kerangka berpikir. Teks-teks kisah Ramabargawa yang telah dikenal masyarakat sebagai teks pengirim direspon oleh pengkarya sebagaipenerima, lalu direalisasikan dalam perancangan lakon Ramabargawa. Lakon Ramabargawa merupakan respon atas cerita Ramabargawa yang dianggap lazim oleh masyarakat. Lakon ini dikemas dalam pertunjukan padat dengan durasi waktu satu setengah jam. Lakon Ramabargawa ini disajikan dengan gaya Pakeliran Yogyakarta yang berkembang dewasa ini. Idiom-idiom garap baru yang membuat sajian pakeliran lebih menarik, berbobot, dan sesuai dengan perkembangan pedalangan zaman sekarang ditampilkan dalam pertunjukan. Hal tersebut dimaksudkan agar pertunjukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta tetap lestari namun terusberkembang dengan berbagai inovasi baru.
Ramabargawa戏剧的设计是从阅读社区已知的Ramabargawa故事的角度来实现的。除了提供一个视角,这个作品还旨在作为一种媒介来传达和谐家庭的理念。沃尔夫冈·伊瑟尔的美学反应理论被用作一种思维框架。Ramabargawa故事的文本被公众称为发送者的文本,由作品的接受者回应,然后在Ramabargawa戏剧的设计中实现。Ramabargawa的戏剧是对社区普遍认为的Ramabargawa故事的回应。这出戏一连演了一个半小时。这个Ramabargawa戏剧是按照Pakeliran日惹的风格呈现的,这种风格在今天正在发展。新的工作习语使pakeliran的作品更有趣,更有份量,并且与今天木偶戏的发展相一致。这是为了使日惹风格的皮影戏继续可持续发展,并随着各种新创新而继续发展。Perancangan lakon Ramabargawa merupakan realisasi dari sebuah sudut pandang atas pembacaan kisah-kisah Ramabargawa yang telah dikenal oleh masyarakat。Selain menawarkan sebuah sudut pandang, karya ini juga bertujuan sebagai媒体mengkomunikasikan gagasan tentangkeluarga harmonis。Teori Respon Estetik Wolfgang Iser dipakai sebagai kerangka berpikir。这句话的意思是:“我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是我的意思。”Lakon Ramabargawa merupakan的回应是:“我知道了,我知道了。”Lakon ini dikemas dalam pertunjukan padat dengan durasi waktu satu setengah jam。Lakon Ramabargawa ini disajikan dengan gaya pakelian日惹yang berkembang dewasa ini。garap baru yang的习惯用语是:sajian pakeliran lebih menarik, berbobot, dan sesuai dengan perkembangan pedalangan zaman sekarang ditampilkan dalam pertunjukan。Hal tersebut dimaksudkan agar pertunjukan wayang kulit purwa gaya日惹tetap lestari namun berkembang dengan berbagai inovasi baru。
{"title":"Perancangan Lakon Ramabargawa: Respon Estetik Kisah-Kisah Ramabargawa","authors":"Fani Rickyansyah","doi":"10.24821/WAYANG.V3I1.3054","DOIUrl":"https://doi.org/10.24821/WAYANG.V3I1.3054","url":null,"abstract":"The design of the Ramabargawa play is a realization from a perspective on reading Ramabargawa stories that have been known by the community. In addition to offering a perspective, this work also aims as a medium to communicate the idea of a harmonious family. Wolfgang Iser’s Aesthetic Response Theory is used as a frame of mind. The texts of the Ramabargawa story known to the public as the text of the sender were responded to by the recipient of the work, then realized in the design of the Ramabargawa play. Ramabargawa’s play is a response to the Ramabargawa story that is considered common by the community. This play is packed in solid shows with a duration of one and a half hours. This Ramabargawa play is presented in the style of Pakeliran Yogyakarta that is developing today. New working idioms that make pakeliran offeringsare more interesting, weighty, and in accordance with the development of puppetry today displayed in the show. This is intended so that the Yogyakarta-style shadow puppet show continues to be sustainable but continues to grow with a variety of new innovations.Perancangan lakon Ramabargawa merupakan realisasi dari sebuah sudut pandang atas pembacaan kisah-kisah Ramabargawa yang telah dikenal oleh masyarakat. Selain menawarkan sebuah sudut pandang, karya ini juga bertujuan sebagai media mengkomunikasikan gagasan tentang keluarga harmonis. Teori Respon Estetik Wolfgang Iser dipakai sebagai kerangka berpikir. Teks-teks kisah Ramabargawa yang telah dikenal masyarakat sebagai teks pengirim direspon oleh pengkarya sebagaipenerima, lalu direalisasikan dalam perancangan lakon Ramabargawa. Lakon Ramabargawa merupakan respon atas cerita Ramabargawa yang dianggap lazim oleh masyarakat. Lakon ini dikemas dalam pertunjukan padat dengan durasi waktu satu setengah jam. Lakon Ramabargawa ini disajikan dengan gaya Pakeliran Yogyakarta yang berkembang dewasa ini. Idiom-idiom garap baru yang membuat sajian pakeliran lebih menarik, berbobot, dan sesuai dengan perkembangan pedalangan zaman sekarang ditampilkan dalam pertunjukan. Hal tersebut dimaksudkan agar pertunjukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta tetap lestari namun terusberkembang dengan berbagai inovasi baru.","PeriodicalId":133263,"journal":{"name":"Wayang Nusantara: Journal of Puppetry","volume":"182 1-2","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114007581","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}