Pendahuluan: Asma adalah penyakit respiratorik yang memiliki prevalensi tinggi di seluruh dunia. Salah satu gejala asma adalah serangan asma, yaitu sesak napas. Gejala ini dapat berakhir fatal jika tidak diatasi dengan baik. Metode: Tinjauan Pustaka ini disusun dengan cara meninjau beberapa sumber ilmiah dengan beberapa kata kunci. Selanjutnya penulis menganalisis, meninjau dan memilah referensi yang relevan. Pembahasan: Kandungan kafein dalam daun Camellia sinensis dapat berfungsi sebagai bronkodilator sehingga penggunaan ekstrak daun C. sinensis dapat menjadi solusi yang tepat dalam upaya preventif terhadap serangan asma dan menurunkan angka mortalitas asma. Simpulan: Penggunaan ekstrak daun Camellia sinensis berpotensi sebagai upaya preventif terhadap serangan asma. Kata Kunci: asma, Camellia sinensis, kafein
{"title":"POTENSI EKSTRAK DAUN CAMELLIA SINENSIS SEBAGAI UPAYA PREVENTIF TERHADAP SERANGAN ASMA","authors":"Angelica Riadi Alim","doi":"10.53366/JIMKI.V9I1.328","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/JIMKI.V9I1.328","url":null,"abstract":"Pendahuluan: Asma adalah penyakit respiratorik yang memiliki prevalensi tinggi di seluruh dunia. Salah satu gejala asma adalah serangan asma, yaitu sesak napas. Gejala ini dapat berakhir fatal jika tidak diatasi dengan baik. \u0000Metode: Tinjauan Pustaka ini disusun dengan cara meninjau beberapa sumber ilmiah dengan beberapa kata kunci. Selanjutnya penulis menganalisis, meninjau dan memilah referensi yang relevan. \u0000Pembahasan: Kandungan kafein dalam daun Camellia sinensis dapat berfungsi sebagai bronkodilator sehingga penggunaan ekstrak daun C. sinensis dapat menjadi solusi yang tepat dalam upaya preventif terhadap serangan asma dan menurunkan angka mortalitas asma. \u0000Simpulan: Penggunaan ekstrak daun Camellia sinensis berpotensi sebagai upaya preventif terhadap serangan asma. \u0000Kata Kunci: asma, Camellia sinensis, kafein","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"38 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"90081445","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dwi Nonita Nugraheni, Sri Wahyu Basuki, Anika Candrasari, Budi Hernawan
Osteoporosis merupakan penyakit yang digolongkan sebagai silent killer karena tidak terdeteksi secara dini dan baru diketahui setelah terjadinya fraktur. Kebiasaan merokok menjadi faktor risiko terjadinya osteoporosis, karena pada perokok akan kehilangan massa tulang lebih cepat dibandingkan bukan perokok. Asupan kafein berlebih dikaitkan dengan efek kafein pada homeostasis tulang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kebiasaan merokok dan mengkonsumsi kafein dengan kejadian osteoporosis pada usia lanjut. Desain penelitian ini adalah studi literatur atau literature review. Penelitian ini mengambil sumber dari Pubmed, Science Direct, dan Google Scholar dengan kata kunci: (smoking OR smoking habits) AND (caffeine OR caffeine consumption OR drink coffee) AND (osteoporosis) AND (elderly OR aged). Hasil pencarian didapatkan 1.136 artikel yang ditemukan, lalu setelah duplikat dihilangkan tersisa 1.104 artikel. Kemudian diidentifikasi berdasarkan judul, abstrak, dan kelayakan yang sesuai dengan kriteria restriksi, didapatkan 8 artikel yang direview. Hasil penelitian dari artikel menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko osteoporosis. Konsumsi kafein tinggi dapat berisiko osteoporosis, sedangkan konsumsi kafein rendah hingga sedang dapat menurunkan risiko osteoporosis. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dan mengkonsusmsi tinggi kafein terhadap risiko osteoporosis pada usia lanjut.
{"title":"Hubungan Kebiasaan Merokok Dan Mengkonsumsi Kafein Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Usia Lanjut","authors":"Dwi Nonita Nugraheni, Sri Wahyu Basuki, Anika Candrasari, Budi Hernawan","doi":"10.53366/JIMKI.V9I1.368","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/JIMKI.V9I1.368","url":null,"abstract":"Osteoporosis merupakan penyakit yang digolongkan sebagai silent killer karena tidak terdeteksi secara dini dan baru diketahui setelah terjadinya fraktur. Kebiasaan merokok menjadi faktor risiko terjadinya osteoporosis, karena pada perokok akan kehilangan massa tulang lebih cepat dibandingkan bukan perokok. Asupan kafein berlebih dikaitkan dengan efek kafein pada homeostasis tulang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kebiasaan merokok dan mengkonsumsi kafein dengan kejadian osteoporosis pada usia lanjut. Desain penelitian ini adalah studi literatur atau literature review. Penelitian ini mengambil sumber dari Pubmed, Science Direct, dan Google Scholar dengan kata kunci: (smoking OR smoking habits) AND (caffeine OR caffeine consumption OR drink coffee) AND (osteoporosis) AND (elderly OR aged). Hasil pencarian didapatkan 1.136 artikel yang ditemukan, lalu setelah duplikat dihilangkan tersisa 1.104 artikel. Kemudian diidentifikasi berdasarkan judul, abstrak, dan kelayakan yang sesuai dengan kriteria restriksi, didapatkan 8 artikel yang direview. Hasil penelitian dari artikel menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko osteoporosis. Konsumsi kafein tinggi dapat berisiko osteoporosis, sedangkan konsumsi kafein rendah hingga sedang dapat menurunkan risiko osteoporosis. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dan mengkonsusmsi tinggi kafein terhadap risiko osteoporosis pada usia lanjut.","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"79 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"80330734","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pendahuluan: Saat ini prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di seluruh dunia mencapai proporsi pandemik yang menyerang lebih dari 8% populasi global (hampir lebih dari 350 juta orang) dan akan meningkat menjadi lebih dari 550 juta orang pada tahun 2035. Hiperglikemia persisten pada pasien diabetes melitus dapat berkembang menjadi penyakit ginjal kronis yang disebut nefropati diabetik. Diperkirakan 25 % hingga 40 % penderita diabetes melitus akan berkembang menjadi nefropati diabetik secara progresif setelah 15 tahun durasi penyakitnya terjadi dan 20 % pasien nefropati diabetik akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir atau end stage kidney disease (ESKD) yang membutuhkan transpalantasi organ atau dialisis. Intervensi terapeutik yang diberikan untuk pasien DM dengan nefropati diabetik belum dapat mencegah progresifitas kerusakan ginjal. Penelitian akhir-akhir ini menemukan potensi dari biosuplemen sinbiotik soygurt sebagai terapi adjuvant yang potensial untuk pasien nefropati diabetik. Pembahasan: Soygurt merupakan biosuplemen yang berasal dari susu kedelai yang di fermentasikan. Potensinya sebagai terapi adjuvant pada pasien nefropati diabetik melalui dua mekanisme yaitu mekanisme langsung dan tidak langsung. Pada mekanisme langsung bermanfaat dalam memperbaiki dan mencegah kerusakan ginjal dengan berperan sebagai antioksidan, menghambat pelepasan mediator inflamasi dan faktor koagulasi darah, serta memperbaiki dan menghambat terjadinya fibrosis pada ginjal. Sedangkan pada mekanisme tidak langsung bermanfaat dalam menurunkan faktor risiko terjadi komplikasi diabetes melitus pada ginjal seperti obesitas, resistensi insulin, hiperglikemi, hipertensi dan dislipidemia. Simpulan: Biosuplemen sinbiotik soygurt memiliki potensi yang besar dalam mencegah progresifitas dan memperbaiki faktor risiko kerusakan ginjal pada pasien nefropati diabetik.
{"title":"POTENSI BIOSUPLEMEN SINBIOTIK DALAM SOYGURT SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA PASIEN NEFROPATI DIABETIK","authors":"R. Krismondani","doi":"10.53366/JIMKI.V9I1.373","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/JIMKI.V9I1.373","url":null,"abstract":"Pendahuluan: Saat ini prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di seluruh dunia mencapai proporsi pandemik yang menyerang lebih dari 8% populasi global (hampir lebih dari 350 juta orang) dan akan meningkat menjadi lebih dari 550 juta orang pada tahun 2035. Hiperglikemia persisten pada pasien diabetes melitus dapat berkembang menjadi penyakit ginjal kronis yang disebut nefropati diabetik. Diperkirakan 25 % hingga 40 % penderita diabetes melitus akan berkembang menjadi nefropati diabetik secara progresif setelah 15 tahun durasi penyakitnya terjadi dan 20 % pasien nefropati diabetik akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir atau end stage kidney disease (ESKD) yang membutuhkan transpalantasi organ atau dialisis. Intervensi terapeutik yang diberikan untuk pasien DM dengan nefropati diabetik belum dapat mencegah progresifitas kerusakan ginjal. Penelitian akhir-akhir ini menemukan potensi dari biosuplemen sinbiotik soygurt sebagai terapi adjuvant yang potensial untuk pasien nefropati diabetik. \u0000Pembahasan: Soygurt merupakan biosuplemen yang berasal dari susu kedelai yang di fermentasikan. Potensinya sebagai terapi adjuvant pada pasien nefropati diabetik melalui dua mekanisme yaitu mekanisme langsung dan tidak langsung. Pada mekanisme langsung bermanfaat dalam memperbaiki dan mencegah kerusakan ginjal dengan berperan sebagai antioksidan, menghambat pelepasan mediator inflamasi dan faktor koagulasi darah, serta memperbaiki dan menghambat terjadinya fibrosis pada ginjal. Sedangkan pada mekanisme tidak langsung bermanfaat dalam menurunkan faktor risiko terjadi komplikasi diabetes melitus pada ginjal seperti obesitas, resistensi insulin, hiperglikemi, hipertensi dan dislipidemia. \u0000Simpulan: Biosuplemen sinbiotik soygurt memiliki potensi yang besar dalam mencegah progresifitas dan memperbaiki faktor risiko kerusakan ginjal pada pasien nefropati diabetik. \u0000 ","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"10 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"83519662","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Akne vulgaris adalah penyakit kulit yang banyak terjadi pada sekitar 80-100% populasi pada usia 15-18 tahun ke atas. Menurut studi Global Burden of Disease (GBD), akne vulgaris mengenai 85% orang dewasa muda berusia 12–25 tahun. Penyakit ini menyebabkan depresi dan kecemasan. Etiologi dari akne belum diketahui secara pasti, tetapi pada usia pubertas dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, yaitu meningkatnya hormon androgen, penggunakan kosmetik, personal hygine, pola tidur yang buruk dan stres. Untuk mengetahui hubungan tingkat stres dan pemakaian bb cream terhadap kejadian akne vulgaris. Desain penelitian menggunakan cross sectional dan dilakukan pada bulan Januari 2021 pada mahasiswi FK UMS angkatan 2018. Besar subjek pada penelitian ini adalah 33 responden yang sesuai dengan kriteria restriksi dan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Data tingkat stres dan pemakaian BB cream menggunakan kuesioner. Data kejadian akne vulgaris dengan diagnosis oleh dokter umum. Data analisis menggunakan uji chi-square dan uji regresi logistik. Hasil uji chi-square terdapat hubungan antara tingkat stres terhadap kejadian akne vulgaris (p=0,001), terdapat hubungan antara pemakaian BB cream terhadap kejadian akne vulgaris (p=0,003). Hasil analisis multivariat stres menunjukkan nilai p = 0,010 (p<0,05) dan timbulnya akne vulgaris dan pada variabel BB cream menunjukkan nilai p = 0,027 (p<0,05). Terdapat hubungan antara tingkat stres terhadap kejadian akne vulgaris, terdapat hubungan antara tingkat stres terhadap kejadian akne vulgaris.
{"title":"THE RELATIONSHIP OF STRESS AND USE BB CREAM OF THE OCCURRENCE OF ACNE VULGARIS IN STUDENT AT UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH SURAKARTA FORCES MEDICAL 2018","authors":"Ramadhina Tria Sesanti","doi":"10.53366/JIMKI.V9I1.358","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/JIMKI.V9I1.358","url":null,"abstract":"Akne vulgaris adalah penyakit kulit yang banyak terjadi pada sekitar 80-100% populasi pada usia 15-18 tahun ke atas. Menurut studi Global Burden of Disease (GBD), akne vulgaris mengenai 85% orang dewasa muda berusia 12–25 tahun. Penyakit ini menyebabkan depresi dan kecemasan. Etiologi dari akne belum diketahui secara pasti, tetapi pada usia pubertas dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, yaitu meningkatnya hormon androgen, penggunakan kosmetik, personal hygine, pola tidur yang buruk dan stres. Untuk mengetahui hubungan tingkat stres dan pemakaian bb cream terhadap kejadian akne vulgaris. Desain penelitian menggunakan cross sectional dan dilakukan pada bulan Januari 2021 pada mahasiswi FK UMS angkatan 2018. Besar subjek pada penelitian ini adalah 33 responden yang sesuai dengan kriteria restriksi dan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Data tingkat stres dan pemakaian BB cream menggunakan kuesioner. Data kejadian akne vulgaris dengan diagnosis oleh dokter umum. Data analisis menggunakan uji chi-square dan uji regresi logistik. Hasil uji chi-square terdapat hubungan antara tingkat stres terhadap kejadian akne vulgaris (p=0,001), terdapat hubungan antara pemakaian BB cream terhadap kejadian akne vulgaris (p=0,003). Hasil analisis multivariat stres menunjukkan nilai p = 0,010 (p<0,05) dan timbulnya akne vulgaris dan pada variabel BB cream menunjukkan nilai p = 0,027 (p<0,05). Terdapat hubungan antara tingkat stres terhadap kejadian akne vulgaris, terdapat hubungan antara tingkat stres terhadap kejadian akne vulgaris.","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"112 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"77586436","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pendahuluan: Hipoglikemia berat dapat menyebabkan kerusakan pada otak sehingga terjadi keadaan koma yang menetap. Kondisi ini disebut sebagai ensefalopati hipoglikemia (EH). Ensefalopati hipoglikemia memiliki luaran klinis yang variatif, sehingga dibutuhkan nilai prediktif dari pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menentukan prognosis dari penyakit tersebut. Metode: Metode yang digunakan dalam tinjauan pustaka ini adalah pencarian literatur menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dilakukan analisis, sintesis dan rangkum dalam tinjauan pustaka ini. Pembahasan: Ensefalopati hipoglikemia ditegakkan berdasarkan temuan klinis berupa keadaan stupor atau koma yang bertahan ≥24 jam walaupun telah dilakukan tatalaksana terhadap hipoglikemia. Riwayat penyakit sebelumnya harus digali seperti riwayat hipotensi, hipertensi, asidosis, intoksikasi obat, maupun infeksi. Penegakkan diagnosis EH harus dilakukan secara tepat dengan menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding lain melalui pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan radiologi berupa MRI serebral dapat menunjukkan adanya lesi hiperintens simetris pada korteks serebri, hipokampus, kapsula interna, amigdala, atau ganglia basalis. Luasnya bagian otak yang terkena tidak secara signifikan berpengaruh terhadap luaran klinis pasien, sehingga diperlukan faktor prediktif lain untuk menentukan prognosis penyakit. Faktor prediktif yang dapat membantu dalam menentukan prognosis dari penyakit EH adalah suhu tubuh, durasi hipoglikemia, konsentrasi glukosa darah, dan kadar asam laktat. Simpulan: Riwayat penyakit dan gejala klinis bersama dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi perlu dilakukan secara tepat untuk menegakkan diagnosis EH dan menyingkirkan diagnosis lain. Selain itu, pemeriksaan faktor prediktif dapat dilakukan untuk menentukan prognosis penyakit dari EH.
{"title":"Faktor Prediktif Prognosis Pasien dengan Ensefalopati Hipoglikemia","authors":"D. C. D. Valentina","doi":"10.53366/JIMKI.V9I1.351","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/JIMKI.V9I1.351","url":null,"abstract":"Pendahuluan: Hipoglikemia berat dapat menyebabkan kerusakan pada otak sehingga terjadi keadaan koma yang menetap. Kondisi ini disebut sebagai ensefalopati hipoglikemia (EH). Ensefalopati hipoglikemia memiliki luaran klinis yang variatif, sehingga dibutuhkan nilai prediktif dari pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menentukan prognosis dari penyakit tersebut. \u0000Metode: Metode yang digunakan dalam tinjauan pustaka ini adalah pencarian literatur menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dilakukan analisis, sintesis dan rangkum dalam tinjauan pustaka ini. \u0000Pembahasan: Ensefalopati hipoglikemia ditegakkan berdasarkan temuan klinis berupa keadaan stupor atau koma yang bertahan ≥24 jam walaupun telah dilakukan tatalaksana terhadap hipoglikemia. Riwayat penyakit sebelumnya harus digali seperti riwayat hipotensi, hipertensi, asidosis, intoksikasi obat, maupun infeksi. Penegakkan diagnosis EH harus dilakukan secara tepat dengan menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding lain melalui pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan radiologi berupa MRI serebral dapat menunjukkan adanya lesi hiperintens simetris pada korteks serebri, hipokampus, kapsula interna, amigdala, atau ganglia basalis. Luasnya bagian otak yang terkena tidak secara signifikan berpengaruh terhadap luaran klinis pasien, sehingga diperlukan faktor prediktif lain untuk menentukan prognosis penyakit. Faktor prediktif yang dapat membantu dalam menentukan prognosis dari penyakit EH adalah suhu tubuh, durasi hipoglikemia, konsentrasi glukosa darah, dan kadar asam laktat. \u0000Simpulan: Riwayat penyakit dan gejala klinis bersama dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi perlu dilakukan secara tepat untuk menegakkan diagnosis EH dan menyingkirkan diagnosis lain. Selain itu, pemeriksaan faktor prediktif dapat dilakukan untuk menentukan prognosis penyakit dari EH.","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"81 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"80792178","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pendahuluan : Terdapat peningkatan prevalensi pasien diabetes mellitus (DM) dan morbiditasnya, termasuk retinopati diabetik. Retinopati diabetik adalah penyebab paling sering dari kasus baru kebutaan di antara orang dewasa berusia 20-74 tahun yang akan mempengaruhi produktivitas kelompok usia ini jika dibiarkan atau tidak diobati. Tujuan : Mengevaluasi kemungkinan tingkat kalsifediol sebagai prediktor keparahan retinopati diabetik pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Metode : Kami mencari di PubMed, Kemajuan Oftalmologi, Laporan Ilmiah dan Ilmu Pengetahuan Langsung menggunakan istilah “25(OH)D3 Level”, “Diabetic Retinopathy”, “Prevalence of Diabetes Mellitus”, “Type 2 Diabetes Mellitus”, dan “Predictor” dalam berbagai kombinasi dan menemukan 7 studi yang digunakan dalam ulasan ini. Hasil : Kami menemukan 4 literatur yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara level 25 (OH) D3 sebagai prediktor untuk keparahan retinopati diabetik sementara ada 3 literatur yang menyatakan sebaliknya. Enam literatur menggunakan desain cross sectional sedangkan satu dilakukan dengan menggunakan case control. Tingkat pemotongan 25(OH)D3 pada pasien dengan masing-masing 18,9-24,3 ng/ml, 17,4-21,7 ng/ml, dan 14,7-21,1 ng/ml. Kesimpulan : Sementara penggunaan 25(OH)D3 sebagai prediktor tingkat keparahan retinopati diabetik masih tidak meyakinkan, hubungan proporsional terbalik terlihat antara kedua variabel.
{"title":"KADAR KALSIFEDIOL SEBAGAI PREDIKTOR DERAJAT KEPARAHAN RETINOPATI DIABETIK PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2","authors":"Gilbert Sterling Octavius, Alvita Suci Edgina, Stefany Tanto, Werlison Tobing","doi":"10.53366/jimki.v8i3.113","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/jimki.v8i3.113","url":null,"abstract":"Pendahuluan : Terdapat peningkatan prevalensi pasien diabetes mellitus (DM) dan morbiditasnya, termasuk retinopati diabetik. Retinopati diabetik adalah penyebab paling sering dari kasus baru kebutaan di antara orang dewasa berusia 20-74 tahun yang akan mempengaruhi produktivitas kelompok usia ini jika dibiarkan atau tidak diobati. \u0000Tujuan : Mengevaluasi kemungkinan tingkat kalsifediol sebagai prediktor keparahan retinopati diabetik pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. \u0000Metode : Kami mencari di PubMed, Kemajuan Oftalmologi, Laporan Ilmiah dan Ilmu Pengetahuan Langsung menggunakan istilah “25(OH)D3 Level”, “Diabetic Retinopathy”, “Prevalence of Diabetes Mellitus”, “Type 2 Diabetes Mellitus”, dan “Predictor” dalam berbagai kombinasi dan menemukan 7 studi yang digunakan dalam ulasan ini. \u0000Hasil : Kami menemukan 4 literatur yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara level 25 (OH) D3 sebagai prediktor untuk keparahan retinopati diabetik sementara ada 3 literatur yang menyatakan sebaliknya. Enam literatur menggunakan desain cross sectional sedangkan satu dilakukan dengan menggunakan case control. Tingkat pemotongan 25(OH)D3 pada pasien dengan masing-masing 18,9-24,3 ng/ml, 17,4-21,7 ng/ml, dan 14,7-21,1 ng/ml. \u0000Kesimpulan : Sementara penggunaan 25(OH)D3 sebagai prediktor tingkat keparahan retinopati diabetik masih tidak meyakinkan, hubungan proporsional terbalik terlihat antara kedua variabel.","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"30 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88004350","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
ABSTRAK Pendahuluan: Hipoalbuminemia adalah suatu kondisi abnormal yang ditunjukkan dengan level albumin dalam darah yang rendah. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi albumin atau peningkatan kehilangan albumin melalui ginjal, saluran gastrointestinal, kulit, atau ruang ekstravaskular atau peningkatan katabolisme albumin atau kombinasi dari 2 atau lebih mekanisme ini. Hipoalbuminemia berhubungan dengan status fungsional yang buruk, durasi rawat inap yang lebih lama serta morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Penderita hipoalbuminemia karena malnutrisi di Indonesia sebesar 40-50% pasien mengalami ataupun berisiko hipoalbuminemia, dimana sebesar 12% mengalami hipoalbuminemia berat. Pemberian nutrisi protein tinggi secara oral serta pemberian albumin parenteral merupakan salah satu alternatif penanganan hipoalbuminemia. Metode: Artikel disusun dengan metode literature review, melibatkan 24 pustaka baik buku dan jurnal nasional atau internasional. Pembahasan: Ikan gabus (Ophiocephalus stratius) memiliki kandungan protein tinggi, terutama albumin. Kandungan albumin yang tinggi dari ekstrak ikan gabus dapat berfungsi sebagai sumber asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis albumin. Berbagai khasiat ekstrak ikan gabus telah dilaporkan diantaranya mempercepat penyembuhan luka, memiliki aktivitas antinociceptive, anti inflamasi, dan memiliki efek penting untuk mengatasi hipoalbuminemia dengan meningkatkan kadar albumin dalam darah. Ekstrak ikan gabus juga dapat meningkatkan level IGF-1 dimana dapat mengurangi peradangan yang mungkin menjelaskan korelasinya dengan peningkatan kadar albumin. Kesimpulan: Kandungan asam amino dalam ikan gabus (Ophiocephalus striatus) berpengaruh untuk meningkatkan kadar albumin pada penderita hipoalbuminemia.
{"title":"The Potensi Ikan Gabus (Ophiocephalus stratius) untuk Meningkatkan Kadar Albumin Pada Penderita Hipoalbuminemia","authors":"Agnes Trilansia Pratiwi","doi":"10.53366/jimki.v8i3.254","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/jimki.v8i3.254","url":null,"abstract":"ABSTRAK \u0000Pendahuluan: Hipoalbuminemia adalah suatu kondisi abnormal yang ditunjukkan dengan level albumin dalam darah yang rendah. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi albumin atau peningkatan kehilangan albumin melalui ginjal, saluran gastrointestinal, kulit, atau ruang ekstravaskular atau peningkatan katabolisme albumin atau kombinasi dari 2 atau lebih mekanisme ini. Hipoalbuminemia berhubungan dengan status fungsional yang buruk, durasi rawat inap yang lebih lama serta morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Penderita hipoalbuminemia karena malnutrisi di Indonesia sebesar 40-50% pasien mengalami ataupun berisiko hipoalbuminemia, dimana sebesar 12% mengalami hipoalbuminemia berat. Pemberian nutrisi protein tinggi secara oral serta pemberian albumin parenteral merupakan salah satu alternatif penanganan hipoalbuminemia. \u0000Metode: Artikel disusun dengan metode literature review, melibatkan 24 pustaka baik buku dan jurnal nasional atau internasional. \u0000Pembahasan: Ikan gabus (Ophiocephalus stratius) memiliki kandungan protein tinggi, terutama albumin. Kandungan albumin yang tinggi dari ekstrak ikan gabus dapat berfungsi sebagai sumber asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis albumin. Berbagai khasiat ekstrak ikan gabus telah dilaporkan diantaranya mempercepat penyembuhan luka, memiliki aktivitas antinociceptive, anti inflamasi, dan memiliki efek penting untuk mengatasi hipoalbuminemia dengan meningkatkan kadar albumin dalam darah. Ekstrak ikan gabus juga dapat meningkatkan level IGF-1 dimana dapat mengurangi peradangan yang mungkin menjelaskan korelasinya dengan peningkatan kadar albumin. \u0000Kesimpulan: Kandungan asam amino dalam ikan gabus (Ophiocephalus striatus) berpengaruh untuk meningkatkan kadar albumin pada penderita hipoalbuminemia.","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"44 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"74997524","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pendahuluan: Resistensi antibiotik pada infeksi yang terjadi di rumah sakit atau hospital-acquired infection (HAI) merupakan masalah besar yang dialami pelayanan kesehatan. Hal tersebut diperparah dengan tren resistensi antibiotik yang lebih banyak pada bakteri gram negatif. Acinetobacter baumannii adalah salah satu bakteri gram negatif yang menyebabkan HAI dan memiliki resistensi berbagai antibiotik atau multidrug-resistant (MDR). Oleh karena itu, kebutuhan akan senyawa yang dapat meresensitisasi antibiotik pada A. baumannii sangat dibutuhkan. Salah satu zat yang berpotensi adalah 2-aminoimidazole (2-AI) yang terdapat pada spons laut Leucetta dan Clathrina di perairan Indonesia. Metode: Artikel ini disusun menggunakan metode literature review, menggunakan 23 sumber yang berasal dari jurnal hasil literature searching dari search engine (Google dan Google Scholar) dan pusat data daring (PubMed dan SCOPUS). Pembahasan: 2-AI memiliki berbagai senyawa turunan yang diikuti oleh farmakofor. 2-Aminoimidazole triazole (2-AIT) adalah salah satu turunan potensial dengan sifat antibiofilm untuk meresensitisasi Acinetobacter baumanii. Optimasi gugus ekor 2-AIT dilakukan dengan beberapa metode seperti reaksi kimia organik sederhana dan cross-coupling Suzuki-Miyaura. Senyawa tersebut bekerja sebagai antibiofilm dengan mengikat protein bfmR, yang berperan langsung dalam pembentukan biofilm. Toksisitas senyawa ini pada uji hemolisis dan C. elegans relatif rendah. Simpulan: 2-AI memiliki sifat antibiofilm sehingga dapat membuat difusi obat ke dalam A. baumannii menjadi lebih efektif dan sensitive. Keamanan 2-AI juga telah dibuktikan secara in vitro dan in vivo. Kedua hal tersebut menyimpulkan bahwa 2-AI yang berasal dari berbagai spons laut perairan Indonesia berpotensi untuk meresensitisasi antibiotik pada multidrug-resistant Acinetobacter baumannii.
前期:医院或医院感染的抗生素耐药性(HAI)是医疗保健的一个主要问题。抗生素耐药性的增加加剧了负面细菌克的上升趋势。baumannii acineto杆菌是一种阴性细菌,引起HAI并具有多种抗生素或多抗药性(MDR)抗药性。因此,迫切需要一种能对A. baumannii抗生素进行消毒的化合物。其中一种潜在的物质是露西塔海绵状海绵状海绵状海绵状和白丽娜海绵体上的2-aminoimidazole (2-AI)。方法:本文采用的是对“搜索引擎”(谷歌和谷歌Scholar)、在线数据中心(public and SCOPUS)的字义搜索。讨论:2-AI有一系列的衍生物化合物,然后是farmakofor。2- aminomidazole triazole (2- azole)是潜在的反生物后代,其目的是修复包曼二世。2-AIT尾簇优化采用了几种方法,如简单的有机化学反应和交叉接触山三木。这种化合物与bfmR蛋白质结合,bfmR蛋白质在生物薄膜的形成中发挥直接作用。血液毒性测试和C.元素含量相对较低。结论:2-AI具有抗生素薄膜的特性,可以使药物扩散到一种更有效、更敏感的化合物中。2-AI安全还在体外和体内验证。这两种结论都表明,来自印度尼西亚不同海域海绵状海绵体的2-AI有可能对多孔耐杆菌杆菌中的抗生素进行消毒。
{"title":"POTENSI SENYAWA DERIVAT 2-AMINOIMIDAZOLE SEBAGAI AGEN AJUVAN TERHADAP INFEKSI MULTIDRUG-RESISTANT ACINETOBACTER BAUMANNII MELALUI SIFAT ANTIBIOFILM DAN RESENSITISASI ANTIBIOTIK","authors":"Grady Krisandi, A. Parawangsa","doi":"10.53366/jimki.v8i3.229","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/jimki.v8i3.229","url":null,"abstract":"Pendahuluan: Resistensi antibiotik pada infeksi yang terjadi di rumah sakit atau hospital-acquired infection (HAI) merupakan masalah besar yang dialami pelayanan kesehatan. Hal tersebut diperparah dengan tren resistensi antibiotik yang lebih banyak pada bakteri gram negatif. Acinetobacter baumannii adalah salah satu bakteri gram negatif yang menyebabkan HAI dan memiliki resistensi berbagai antibiotik atau multidrug-resistant (MDR). Oleh karena itu, kebutuhan akan senyawa yang dapat meresensitisasi antibiotik pada A. baumannii sangat dibutuhkan. Salah satu zat yang berpotensi adalah 2-aminoimidazole (2-AI) yang terdapat pada spons laut Leucetta dan Clathrina di perairan Indonesia. \u0000Metode: Artikel ini disusun menggunakan metode literature review, menggunakan 23 sumber yang berasal dari jurnal hasil literature searching dari search engine (Google dan Google Scholar) dan pusat data daring (PubMed dan SCOPUS). \u0000Pembahasan: 2-AI memiliki berbagai senyawa turunan yang diikuti oleh farmakofor. 2-Aminoimidazole triazole (2-AIT) adalah salah satu turunan potensial dengan sifat antibiofilm untuk meresensitisasi Acinetobacter baumanii. Optimasi gugus ekor 2-AIT dilakukan dengan beberapa metode seperti reaksi kimia organik sederhana dan cross-coupling Suzuki-Miyaura. Senyawa tersebut bekerja sebagai antibiofilm dengan mengikat protein bfmR, yang berperan langsung dalam pembentukan biofilm. Toksisitas senyawa ini pada uji hemolisis dan C. elegans relatif rendah. \u0000Simpulan: 2-AI memiliki sifat antibiofilm sehingga dapat membuat difusi obat ke dalam A. baumannii menjadi lebih efektif dan sensitive. Keamanan 2-AI juga telah dibuktikan secara in vitro dan in vivo. Kedua hal tersebut menyimpulkan bahwa 2-AI yang berasal dari berbagai spons laut perairan Indonesia berpotensi untuk meresensitisasi antibiotik pada multidrug-resistant Acinetobacter baumannii.","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"9 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86007599","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Introduksi : Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu masalah utama kesehatan di Indonesia dengan angka kejadian yang tinggi. Pasien obesitas mengalami disbiosis sehingga menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan lain. Saat ini mulai dikembangkan terapi Fecal Microbiota Transplantation (FMT) untuk mengatasi obesitas dengan restorasi keseimbangan mikrobiota usus pada pasien obesitas.Tujuan : Literature review ini dibuat untuk mendiskusikan potensi terapi Personalized FMT, yaitu memodifikasi FMT pada donor feses yang berasal dari pasien obesitas dengan teknik cross-kingdom miRNA. Metode : Penulis melakukan pencarian artikel pada beberapa sistem basis data jurnal kedokteran seperti PubMed, ScienceDirect, dan beberapa jurnal yang dipublikasikan dalam Google Scholar menggunakan logika pencarian Boolean. Hasil dan Pembahasan : FMT terbukti memiliki efek positif dalam menyeimbangkan mikrobiota usus pasien obesitas, namun hal tersebut terjadi secara temporal. Penerapan personalized FMT adalah dengan mengambil feses pasien obesitas itu sendiri dan dilakukan perlakukan dengan teknik cross-kingdom miRNA dari sumber hewani dan nabati. miRNA yang telah dikultur dengan mikrobiota usus secara in vitro sebelum memasuki tahap FMT akan meningkatkan komposisi bakteri baik seperti Bacteriodetes dan menekan Firmicutes, sehingga dapat langsung ditransplantasikan kembali kepada pasien obesitas untuk memperbaiki kondisi disbiosis dan kemudian mempertahankan komposisi mikrobiota usus secara permanen. Kata Kunci : Obesitas, Fecal Microbiota Transplantation, Disbiosis, Cross-kingdom miRNA, Restorasi Mikrobiota
{"title":"Personalized Fecal Microbiota Transplantation: Upaya Restorasi Keseimbangan Mikrobiota Usus dengan Cross-kingdom miRNA pada Individu Obesitas","authors":"Aisyah Farah Nisrina, Nadia Yasmine, Yumna Shafa Yananda, Rio Jati Kusuma","doi":"10.53366/jimki.v8i3.212","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/jimki.v8i3.212","url":null,"abstract":"\u0000 \u0000 \u0000Introduksi : Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu masalah utama kesehatan di Indonesia dengan angka kejadian yang tinggi. Pasien obesitas mengalami disbiosis sehingga menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan lain. Saat ini mulai dikembangkan terapi Fecal Microbiota Transplantation (FMT) untuk mengatasi obesitas dengan restorasi keseimbangan mikrobiota usus pada pasien obesitas.Tujuan : Literature review ini dibuat untuk mendiskusikan potensi terapi Personalized FMT, yaitu memodifikasi FMT pada donor feses yang berasal dari pasien obesitas dengan teknik cross-kingdom miRNA. Metode : Penulis melakukan pencarian artikel pada beberapa sistem basis data jurnal kedokteran seperti PubMed, ScienceDirect, dan beberapa jurnal yang dipublikasikan dalam Google Scholar menggunakan logika pencarian Boolean. Hasil dan Pembahasan : FMT terbukti memiliki efek positif dalam menyeimbangkan mikrobiota usus pasien obesitas, namun hal tersebut terjadi secara temporal. Penerapan personalized FMT adalah dengan mengambil feses pasien obesitas itu sendiri dan dilakukan perlakukan dengan teknik cross-kingdom miRNA dari sumber hewani dan nabati. miRNA yang telah dikultur dengan mikrobiota usus secara in vitro sebelum memasuki tahap FMT akan meningkatkan komposisi bakteri baik seperti Bacteriodetes dan menekan Firmicutes, sehingga dapat langsung ditransplantasikan kembali kepada pasien obesitas untuk memperbaiki kondisi disbiosis dan kemudian mempertahankan komposisi mikrobiota usus secara permanen. \u0000Kata Kunci : Obesitas, Fecal Microbiota Transplantation, Disbiosis, Cross-kingdom miRNA, Restorasi Mikrobiota \u0000 \u0000 \u0000","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"146 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86842346","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dispepsia fungsional mempengaruhi >20% populasi umum. Gejala-gejala dispepsia fungsional sering dikaitkan dengan gangguan kualitas hidup pasien. Sampai sekarang, pengobatan dispepsia fungsional masih kontrovesial. Oleh karena itu, perlu adanya review mengenai terapi alternatif lain yang salah satunya dapat berasal dari tanaman herbal. Hasil literature review menunjukkan terapi kombinasi minyak peppermint dan minyak jintan memiliki aktivitas sinergis karena minyak peppermint memiliki sifat spasmolitik dan minyak jintan berperan dalam peningkatan tonus otot polos sehingga efektif untuk menghilangkan rasa sakit dan rasa tidak nyaman pada pasien dengan dispepsia fungsional. Pengembangan penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar dan berjangka panjang diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas dari terapi herbal ini.
{"title":"LITERATURE REVIEW: POTENSI KOMBINASI MINYAK DAUN MINT DAN MINYAK JINTAN SEBAGAI TERAPI DISPEPSIA FUNGSIONAL","authors":"Fenska Seipalla","doi":"10.53366/jimki.v8i3.256","DOIUrl":"https://doi.org/10.53366/jimki.v8i3.256","url":null,"abstract":"Dispepsia fungsional mempengaruhi >20% populasi umum. Gejala-gejala dispepsia fungsional sering dikaitkan dengan gangguan kualitas hidup pasien. Sampai sekarang, pengobatan dispepsia fungsional masih kontrovesial. Oleh karena itu, perlu adanya review mengenai terapi alternatif lain yang salah satunya dapat berasal dari tanaman herbal. Hasil literature review menunjukkan terapi kombinasi minyak peppermint dan minyak jintan memiliki aktivitas sinergis karena minyak peppermint memiliki sifat spasmolitik dan minyak jintan berperan dalam peningkatan tonus otot polos sehingga efektif untuk menghilangkan rasa sakit dan rasa tidak nyaman pada pasien dengan dispepsia fungsional. Pengembangan penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar dan berjangka panjang diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas dari terapi herbal ini.","PeriodicalId":14697,"journal":{"name":"JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia","volume":"27 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87611682","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}