ABSTRAKSifilis merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang diketahui berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi human immunodeficiency virus(HIV) dan begitupun sebaliknya. Hingga saat ini, deteksi sifilis dengan atau tanpa koinfeksi HIV menggunakan tes serologi masih menjadi pilihan utama, terutama di negara-negara berkembang. Tes serologi yang rutin digunakan meliputi tes nontreponema dan treponema. Dalam menegakkan diagnosis, klinisi seringkali merujuk pada tes serologi tersebut. Hasil tersebut perlu menjadi perhatian karena manifestasi klinis dan tes serologi sifilis pada HIV sering tidak biasa. Hal ini diduga akibat respons imun pada infeksi HIV yang dapat mengubah perjalanan alamiah sifilis. Beberapa hasil tes serologi sifilis pada koinfeksi HIV dapat menunjukkan hasil negatif palsu, terjadinya serokonversi, dan adanya fenomena serofast. Selain itu, perlu juga dilakukan tes penapisan serologi sifilis secara rutin pada koinfeksi HIV dan untuk mengevaluasi efektivitas terapi. Berbagai pola serologi sifilis pada koinfeksi HIV yang tidak biasa tersebut perlu diantisipasi dengan baik sehingga tata laksana dapat berjalan efektif, dan diharapkan mengurangi risiko penularan terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.
{"title":"SEROLOGI SIFILIS PADA INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)","authors":"M. Priyanto, M. Marissa, Wresti Indriatmi","doi":"10.33820/MDVI.V48I2.159","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V48I2.159","url":null,"abstract":"ABSTRAKSifilis merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang diketahui berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi human immunodeficiency virus(HIV) dan begitupun sebaliknya. Hingga saat ini, deteksi sifilis dengan atau tanpa koinfeksi HIV menggunakan tes serologi masih menjadi pilihan utama, terutama di negara-negara berkembang. Tes serologi yang rutin digunakan meliputi tes nontreponema dan treponema. Dalam menegakkan diagnosis, klinisi seringkali merujuk pada tes serologi tersebut. Hasil tersebut perlu menjadi perhatian karena manifestasi klinis dan tes serologi sifilis pada HIV sering tidak biasa. Hal ini diduga akibat respons imun pada infeksi HIV yang dapat mengubah perjalanan alamiah sifilis. Beberapa hasil tes serologi sifilis pada koinfeksi HIV dapat menunjukkan hasil negatif palsu, terjadinya serokonversi, dan adanya fenomena serofast. Selain itu, perlu juga dilakukan tes penapisan serologi sifilis secara rutin pada koinfeksi HIV dan untuk mengevaluasi efektivitas terapi. Berbagai pola serologi sifilis pada koinfeksi HIV yang tidak biasa tersebut perlu diantisipasi dengan baik sehingga tata laksana dapat berjalan efektif, dan diharapkan mengurangi risiko penularan terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"27 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87326906","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
ABSTRAKLuka kronis adalah luka yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh, tidak sembuh, atau berulang. Luka kronis sebagian besar terkait dengan hipoksia dan iskemia yang dapat merusak sintesis kolagen dan dapat menyebabkan akumulasi metabolit seperti amonia yang menyebabkan pembengkakan sel dan mengganggu penyembuhan luka. Â Penyembuhan luka melibatkan banyak tipe sel yang berinteraksi, yang terdiri dari beberapa fase, yaitu fase hemostasis atau koagulasi, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Oksigen adalah nutrisi penting untuk luka dan memainkan peran penting dalam setiap tahap proses penyembuhan luka. Terapi oksigen hiperbarik ditujukan untuk mengatasi masalah mendasar dari hipoksia luka dengan menyediakan oksigen ke jaringan iskemik. Terapi oksigen hiperbarik merupakan penggunaan O2 100% pada tekanan lebih besar dari tekanan atmosfir. Pasien menghirup O2 100% secara intermiten sementara tekanan dari ruang perawatan ditingkatkan menjadi lebih dari 1 atmosfer absolut (ATA). Terapi oksigen hiperbarik mengurangi cedera reperfusi iskemia, memobilisasi Stem progenitor cell (SPC) yang telah diidentifikasi berperan dalam vaskulogenesis, meningkatkan aktivitas neutrofil untuk membunuh bakteri, menghasilkan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS), dan merangsang berbagai faktor pertumbuhan yang mendukung penyembuhan luka.Kata Kunci: luka kronis, HBOT, penyembuhan luka kronis, terapi oksigen hiperbarik
{"title":"APLIKASI TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK DALAM PENYEMBUHAN LUKA KRONIS","authors":"Duma wenty irene Sinambela, Oratna Ginting","doi":"10.33820/mdvi.v48i2.161","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i2.161","url":null,"abstract":"ABSTRAKLuka kronis adalah luka yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh, tidak sembuh, atau berulang. Luka kronis sebagian besar terkait dengan hipoksia dan iskemia yang dapat merusak sintesis kolagen dan dapat menyebabkan akumulasi metabolit seperti amonia yang menyebabkan pembengkakan sel dan mengganggu penyembuhan luka. Â Penyembuhan luka melibatkan banyak tipe sel yang berinteraksi, yang terdiri dari beberapa fase, yaitu fase hemostasis atau koagulasi, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Oksigen adalah nutrisi penting untuk luka dan memainkan peran penting dalam setiap tahap proses penyembuhan luka. Terapi oksigen hiperbarik ditujukan untuk mengatasi masalah mendasar dari hipoksia luka dengan menyediakan oksigen ke jaringan iskemik. Terapi oksigen hiperbarik merupakan penggunaan O2 100% pada tekanan lebih besar dari tekanan atmosfir. Pasien menghirup O2 100% secara intermiten sementara tekanan dari ruang perawatan ditingkatkan menjadi lebih dari 1 atmosfer absolut (ATA). Terapi oksigen hiperbarik mengurangi cedera reperfusi iskemia, memobilisasi Stem progenitor cell (SPC) yang telah diidentifikasi berperan dalam vaskulogenesis, meningkatkan aktivitas neutrofil untuk membunuh bakteri, menghasilkan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS), dan merangsang berbagai faktor pertumbuhan yang mendukung penyembuhan luka.Kata Kunci: luka kronis, HBOT, penyembuhan luka kronis, terapi oksigen hiperbarik","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"12 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"79250467","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Lita Setyowatie, Galuh Dyah Puspitasari, S. Basuki
Sifilis maligna merupakan bentuk varian berat sifilis sekunder. Pada Pasien human immunodeficiency virus (HIV), perjalanan sifilis dapat menjadi atipikal dan lebih agresif, oleh karena itu varian ini sering ditemukan pada Pasien HIV. Mekanisme pasti perkembangan sifilis maligna hingga saat ini masih belum jelas, namun diduga berhubungan dengan imunosupresi, respon imun host yang tidak tepat, atau strain virulen Treponema pallidum. Ruam berupa papula dan plak berkrusta atau bersisik yang dapat berkembang menjadi ulkus atau lesi nekrotik (lesi rupioid), yang sering dikaitkan dengan tingginya titer nontreponemal dan disertai gejala sistemik. Berikut kami laporkan seorang Pasien HIV dengan plak nodul yang disertai ulseronekrotik tersebar di seluruh tubuh, serta memiliki hasil titer serologi sifilis yang tinggi. Berdasarkan gambaran klinis, serologi, dan patologi, Pasien didiagnosis sifilis maligna. Resolusi lesi kulit tampak signifikan setelah pemberian terapi Benzathine Penicillin. Dengan meningkatnya kasus koinfeksi sifilis dan HIV, penting untuk mengenali dan mendiagnosis sifilis maligna secara dini dan memberikan pengobatan yang tepat.Kata kunci : Sifilis maligna, Lues maligna, HIV, koinfeksi
{"title":"Sifilis Maligna Pada Pasien Human Immunodeficiency Virus","authors":"Lita Setyowatie, Galuh Dyah Puspitasari, S. Basuki","doi":"10.33820/mdvi.v48i2.167","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i2.167","url":null,"abstract":"Sifilis maligna merupakan bentuk varian berat sifilis sekunder. Pada Pasien human immunodeficiency virus (HIV), perjalanan sifilis dapat menjadi atipikal dan lebih agresif, oleh karena itu varian ini sering ditemukan pada Pasien HIV. Mekanisme pasti perkembangan sifilis maligna hingga saat ini masih belum jelas, namun diduga berhubungan dengan imunosupresi, respon imun host yang tidak tepat, atau strain virulen Treponema pallidum. Ruam berupa papula dan plak berkrusta atau bersisik yang dapat berkembang menjadi ulkus atau lesi nekrotik (lesi rupioid), yang sering dikaitkan dengan tingginya titer nontreponemal dan disertai gejala sistemik. Berikut kami laporkan seorang Pasien HIV dengan plak nodul yang disertai ulseronekrotik tersebar di seluruh tubuh, serta memiliki hasil titer serologi sifilis yang tinggi. Berdasarkan gambaran klinis, serologi, dan patologi, Pasien didiagnosis sifilis maligna. Resolusi lesi kulit tampak signifikan setelah pemberian terapi Benzathine Penicillin. Dengan meningkatnya kasus koinfeksi sifilis dan HIV, penting untuk mengenali dan mendiagnosis sifilis maligna secara dini dan memberikan pengobatan yang tepat.Kata kunci : Sifilis maligna, Lues maligna, HIV, koinfeksi","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"14 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"81594488","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Novian Febiyanto, He Yeon Asva Nafaisa, Sunardi Radiono, Sri Awalia Febriana, Niken Indrastuti, Arief Budiyanto, Fajar Waskito
Psoriasis pustulosa generalisata (PPG) adalah penyakit multisistem yang cukup sulit diterapi. Sejauh ini masih sedikit penilaian keberhasilan terapi PPG menggunakan alat uji yang objektif. Penelitian ini menilai evaluasi terapi PPG menggunakan pustular symptom score (PSS). Rancangan penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Subjek penelitian yaitu semua penderita PPG derajat berat yang berobat di poliklinik dermatologi dan venereologi RSUP dr. Sardjito tahun 2017-2019. Pustular symptom score dievaluasi selama 4 bulan berupa penurunan skor ke derajat ringan, remisi, PSS 50, PSS 75, dan PSS 100. Terdapat 37 subjek PPG derajat berat selama 2017-2019. Perbaikan derajat keparahan menjadi ringan pada subjek yang mendapat metotreksat, metilprednisolon (MP), kombinasi metotreksat dan MP, dan kombinasi narrow-band ultraviolet B (NBUVB) dan MP adalah sebesar 100%; sedangkan perbaikan pada kombinasi siklosporin dan MP sebesar 90%. Metotreksat dan kombinasi metotreksat dan MP memberikan remisi dan pencapaian PSS 75 tertinggi di antara terapi lainnya. Rerata skor PSS terendah di akhir pengamatan juga didapatkan pada kedua kelompok tersebut. Pemberian metotreksat, MP, kombinasi metotreksat dan MP, kombinasi siklosporin dan MP, serta kombinasi NBUVB dan MP mampu memperbaiki derajat keparahan menjadi ringan. Metotreksat, baik tunggal maupun dikombinasi dengan MP, memberikan hasil lebih baik pada penurunan skor PSS dibandingkan modalitas terapi lain.Kata kunci :Â Psoriasis, PPG, PSS, metotreksat, siklosporin
{"title":"EVALUASI BERBAGAI TERAPI PSORIASIS PUSTULOSA GENERALISATA MENGGUNAKAN PUSTULAR SYMPTOM SCORE DI RSUP DR. SARDJITO","authors":"Novian Febiyanto, He Yeon Asva Nafaisa, Sunardi Radiono, Sri Awalia Febriana, Niken Indrastuti, Arief Budiyanto, Fajar Waskito","doi":"10.33820/MDVI.V48I1.102","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V48I1.102","url":null,"abstract":"Psoriasis pustulosa generalisata (PPG) adalah penyakit multisistem yang cukup sulit diterapi. Sejauh ini masih sedikit penilaian keberhasilan terapi PPG menggunakan alat uji yang objektif. Penelitian ini menilai evaluasi terapi PPG menggunakan pustular symptom score (PSS). Rancangan penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Subjek penelitian yaitu semua penderita PPG derajat berat yang berobat di poliklinik dermatologi dan venereologi RSUP dr. Sardjito tahun 2017-2019. Pustular symptom score dievaluasi selama 4 bulan berupa penurunan skor ke derajat ringan, remisi, PSS 50, PSS 75, dan PSS 100. Terdapat 37 subjek PPG derajat berat selama 2017-2019. Perbaikan derajat keparahan menjadi ringan pada subjek yang mendapat metotreksat, metilprednisolon (MP), kombinasi metotreksat dan MP, dan kombinasi narrow-band ultraviolet B (NBUVB) dan MP adalah sebesar 100%; sedangkan perbaikan pada kombinasi siklosporin dan MP sebesar 90%. Metotreksat dan kombinasi metotreksat dan MP memberikan remisi dan pencapaian PSS 75 tertinggi di antara terapi lainnya. Rerata skor PSS terendah di akhir pengamatan juga didapatkan pada kedua kelompok tersebut. Pemberian metotreksat, MP, kombinasi metotreksat dan MP, kombinasi siklosporin dan MP, serta kombinasi NBUVB dan MP mampu memperbaiki derajat keparahan menjadi ringan. Metotreksat, baik tunggal maupun dikombinasi dengan MP, memberikan hasil lebih baik pada penurunan skor PSS dibandingkan modalitas terapi lain.Kata kunci :Â Psoriasis, PPG, PSS, metotreksat, siklosporin","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"42 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75187978","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pruritus akuagenik (PA) merupakan kondisi kulit yang ditandai rasa gatal tanpa adanya lesi akibat kontak dengan air terutama air hangat (>38oC). Prevalensi bervariasi dari 31%-69% pada pasien polisitemia vera (PV). Pruritus akuagenik dapat memengaruhi psikologi dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Wanita 58 tahun dengan PV yang mendapatkan kemoterapi hidroksiurea, datang ke poli kulit dan kelamin RSUP Dr. Sardjito dengan keluhan gatal pada dada, perut, punggung, tangan, dan kaki. Keluhan muncul setiap hari, terutama setelah mandi (air hangat) sejak 6 bulan. Pasien menyangkal adanya bercak/ruam pada kulit yang gatal. Pemeriksaan darah rutin didapatkan peningkatan hemoglobin, eritrositosis dan trombositosis. Pasien didiagnosis PA dan diterapi cetirizine 1x10 mg, serta urea topikal 2x/hari. Terdapat penurunan rasa gatal, yang diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS), setelah dua minggu terapi dari 7 menjadi 3. Pada PV terdapat peningkatan aktivitas asetilkolinesterase dan histamin pada serabut saraf di kelenjar ekrin sehingga mencetuskan gatal karena induksi air. Keluhan gatal, tanpa lesi kulit primer, peningkatan hemoglobin dan eliminasi diagnosis banding lain merupakan kunci penegakan diagnosis PA. Pruritus akuagenik sering terjadi pada pasien PV. Terapi cetirizine dan emolien efektif dalam mengatasi PA pada pasien PV. Kata kunci : Pruritus akuagenik, polisitemia vera, hidroksiureaÂ
{"title":"PRURITUS AKUAGENIK PADA PENDERITA POLISITEMIA VERA","authors":"Yefta Yefta, Agnes Sri Siswati, D. Winarni","doi":"10.33820/MDVI.V48I1.101","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V48I1.101","url":null,"abstract":"Pruritus akuagenik (PA) merupakan kondisi kulit yang ditandai rasa gatal tanpa adanya lesi akibat kontak dengan air terutama air hangat (>38oC). Prevalensi bervariasi dari 31%-69% pada pasien polisitemia vera (PV). Pruritus akuagenik dapat memengaruhi psikologi dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Wanita 58 tahun dengan PV yang mendapatkan kemoterapi hidroksiurea, datang ke poli kulit dan kelamin RSUP Dr. Sardjito dengan keluhan gatal pada dada, perut, punggung, tangan, dan kaki. Keluhan muncul setiap hari, terutama setelah mandi (air hangat) sejak 6 bulan. Pasien menyangkal adanya bercak/ruam pada kulit yang gatal. Pemeriksaan darah rutin didapatkan peningkatan hemoglobin, eritrositosis dan trombositosis. Pasien didiagnosis PA dan diterapi cetirizine 1x10 mg, serta urea topikal 2x/hari. Terdapat penurunan rasa gatal, yang diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS), setelah dua minggu terapi dari 7 menjadi 3. Pada PV terdapat peningkatan aktivitas asetilkolinesterase dan histamin pada serabut saraf di kelenjar ekrin sehingga mencetuskan gatal karena induksi air. Keluhan gatal, tanpa lesi kulit primer, peningkatan hemoglobin dan eliminasi diagnosis banding lain merupakan kunci penegakan diagnosis PA. Pruritus akuagenik sering terjadi pada pasien PV. Terapi cetirizine dan emolien efektif dalam mengatasi PA pada pasien PV. Kata kunci : Pruritus akuagenik, polisitemia vera, hidroksiurea ","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"42 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"80384846","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penegakkan diagnosis penyakit inflamasi kulit dilakukan berdasarkan anamnesis, gambaran morfologi, serta distribusi dari lesi. Namun, terkadang klinisi kesulitan untuk menyingkirkan diagnosis banding penyakit yang dialami oleh pasien. Dermoskopi merupakan alat diagnostik non-invasif yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis kelainan kulit. Dermoskopi dapat membantu visualisasi struktur di bawah permukaan kulit hingga ke dermis superfisialis dan memperlihatkan morfologi lesi yang sulit teramati secara kasat mata. Pada awalnya dermoskopi dipakai sebagai pemeriksaan penunjang untuk tumor jinak dan tumor ganas kulit. Saat ini, dermoskopi digunakan secara luas dalam berbagai penyakit kulit antara lain penyakit infeksi dan infestasi kulit (entomodermoscopy), kelainan kuku dan lipat kuku (onychoscopy), kelainan rambut (trichoscopy), penyakit inflamasi kulit (inflammoscopy), serta membantu pengambilan keputusan dan evaluasi terapi. Pemeriksaan dermoskopi pada penyakit inflamasi kulit meliputi pengamatan morfologi dan distribusi pembuluh darah, warna dan distribusi skuama, gambaran folikuler, struktur lain, serta tanda spesifik yang dapat ditemukan pada penyakit tertentu. Dengan menggabungkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan dermoskopi, diagnosis penyakit inflamasi kulit menjadi lebih akurat.Kata kunci : dermoskopi, inflammoscopy, penyakit inflamasi kulit
{"title":"DERMOSKOPI PADA PENYAKIT INFLAMASI KULIT","authors":"Melody Febriana Andardewi, Roro Inge Ade Krisanti, Windy Keumala Budianti, E. Effendi","doi":"10.33820/MDVI.V48I1.178","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V48I1.178","url":null,"abstract":"Penegakkan diagnosis penyakit inflamasi kulit dilakukan berdasarkan anamnesis, gambaran morfologi, serta distribusi dari lesi. Namun, terkadang klinisi kesulitan untuk menyingkirkan diagnosis banding penyakit yang dialami oleh pasien. Dermoskopi merupakan alat diagnostik non-invasif yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis kelainan kulit. Dermoskopi dapat membantu visualisasi struktur di bawah permukaan kulit hingga ke dermis superfisialis dan memperlihatkan morfologi lesi yang sulit teramati secara kasat mata. Pada awalnya dermoskopi dipakai sebagai pemeriksaan penunjang untuk tumor jinak dan tumor ganas kulit. Saat ini, dermoskopi digunakan secara luas dalam berbagai penyakit kulit antara lain penyakit infeksi dan infestasi kulit (entomodermoscopy), kelainan kuku dan lipat kuku (onychoscopy), kelainan rambut (trichoscopy), penyakit inflamasi kulit (inflammoscopy), serta membantu pengambilan keputusan dan evaluasi terapi. Pemeriksaan dermoskopi pada penyakit inflamasi kulit meliputi pengamatan morfologi dan distribusi pembuluh darah, warna dan distribusi skuama, gambaran folikuler, struktur lain, serta tanda spesifik yang dapat ditemukan pada penyakit tertentu. Dengan menggabungkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan dermoskopi, diagnosis penyakit inflamasi kulit menjadi lebih akurat.Kata kunci : dermoskopi, inflammoscopy, penyakit inflamasi kulit","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"72 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87434092","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Elliana Wahyuanggradewi, Kharisma Yuliasis Widiasri, Jeffrey Giantoro, N. Indrastuti, N. Trisnowati
Langerhans cell histiocytosis (LCH) merupakan suatu penyakit neoplasia inflamatif sel dendritik mieloid langka dengan manifestasi klinis yang bervariasi, ditandai dengan adanya sel mononuklear positif terhadap CD1a/S100/CD207 yang menginfiltrasi sistem organ termasuk kulit. Kejadian LCH di RSUP Dr Sardjito dari tahun 2014–2019 sebanyak 11 kasus. Makalah ini melaporkan satu kasus LCH pada anak berusia 1,5 tahun dengan keluhan utama bintik-bintik merah di seluruh tubuh dan kulit kepala berkerak sejak 6 bulan yang lalu. Pemeriksaan status dermatovenereologis menunjukkan pada kepala, wajah, dada, punggung, kedua tangan dan kaki, serta punggung kaki nampak papul purpurik multipel tersebar, kepala tertutup krusta kekuningan, kuku tangan dan kaki tampak hiperkeratosis. Pada abdomen didapatkan hepatosplenomegali. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan histopatologis dan imunohistokimia S-100 didapatkan positif pada sitoplasma sel tumor dan CD1a positif pada sitoplasma dan membran sel tumor. Diagnosis LCH ditegakkan berdasarkan kondisi klinis dan histopatologis. Pasien mendapatkan terapi pelembab dan regimen kemoterapi.Kata kunci : Langerhans cell histiocytosis, diagnosis, imunohistokimia
{"title":"LANGERHANS CELL HISTIOCYTOSIS: PENEGAKAN DIAGNOSIS","authors":"Elliana Wahyuanggradewi, Kharisma Yuliasis Widiasri, Jeffrey Giantoro, N. Indrastuti, N. Trisnowati","doi":"10.33820/MDVI.V48I1.156","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V48I1.156","url":null,"abstract":"Langerhans cell histiocytosis (LCH) merupakan suatu penyakit neoplasia inflamatif sel dendritik mieloid langka dengan manifestasi klinis yang bervariasi, ditandai dengan adanya sel mononuklear positif terhadap CD1a/S100/CD207 yang menginfiltrasi sistem organ termasuk kulit. Kejadian LCH di RSUP Dr Sardjito dari tahun 2014–2019 sebanyak 11 kasus. Makalah ini melaporkan satu kasus LCH pada anak berusia 1,5 tahun dengan keluhan utama bintik-bintik merah di seluruh tubuh dan kulit kepala berkerak sejak 6 bulan yang lalu. Pemeriksaan status dermatovenereologis menunjukkan pada kepala, wajah, dada, punggung, kedua tangan dan kaki, serta punggung kaki nampak papul purpurik multipel tersebar, kepala tertutup krusta kekuningan, kuku tangan dan kaki tampak hiperkeratosis. Pada abdomen didapatkan hepatosplenomegali. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan histopatologis dan imunohistokimia S-100 didapatkan positif pada sitoplasma sel tumor dan CD1a positif pada sitoplasma dan membran sel tumor. Diagnosis LCH ditegakkan berdasarkan kondisi klinis dan histopatologis. Pasien mendapatkan terapi pelembab dan regimen kemoterapi.Kata kunci : Langerhans cell histiocytosis, diagnosis, imunohistokimia","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"5 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75634460","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Agnes Sri Siswati, Lintang Unggul Rini, Hanggoro Tri Rinonce
Latar Belakang: Mayoritas reaksi lepra terjadi selama menggunakan Multi Drug Treatment (MDT) dan disebut sebagai reaksi lepra dini. Patomekanisme reaksi lepra melibatkan sitokin pro-inflamasi interleukin (IL)-6. Tujuan: Mengetahui apakah ekspresi IL-6 awal yang tinggi pada jaringan kulit merupakan faktor risiko terjadinya reaksi lepra dini. Metode: Penelitian kasus kontrol ini dilakukan pada pasien lepra di RSUP Dr. Sardjito menggunakan blok parafin dari sampel biopsi kulit setiap subjek saat penegakan diagnosis. Kelompok kasus merupakan pasien yang mengalami reaksi lepra dini, sedangkan kelompok kontrol merupakan pasien tanpa reaksi lepra. Ekspresi IL-6 dilihat dengan pengecatan imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal IL-6 dan dinilai dengan program ImageJ. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungannya dengan kejadian reaksi lepra dini. Hasil: Ekspresi positif IL-6 ditemukan pada neutrofil, limfosit, histiosit epiteloid, sel Langhans, dan sel plasma dalam bentuk granuloma maupun tersebar pada dermis. Nilai ekspresi IL-6 awal ≥ 40,21% meningkatkan risiko kejadian reaksi lepra dini hingga 22,2 kali. Kesimpulan dan Saran: Ekspresi IL-6 awal ≥ 40,21% pada jaringan kulit saat penegakan diagnosis lepra merupakan faktor risiko terjadinya reaksi lepra dini. Pada pasien yang terdiagnosis lepra dibutuhkan pemeriksaan ekspresi IL-6 awal pada jaringan kulit untuk menilai faktor risiko kejadian reaksi lepra dini.Kata kunci : Biopsi kulit, interleukin-6, reaksi lepra dini
{"title":"INTERLEUKIN-6 SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA REAKSI LEPRA DINI","authors":"Agnes Sri Siswati, Lintang Unggul Rini, Hanggoro Tri Rinonce","doi":"10.33820/MDVI.V48I1.106","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V48I1.106","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Mayoritas reaksi lepra terjadi selama menggunakan Multi Drug Treatment (MDT) dan disebut sebagai reaksi lepra dini. Patomekanisme reaksi lepra melibatkan sitokin pro-inflamasi interleukin (IL)-6. Tujuan: Mengetahui apakah ekspresi IL-6 awal yang tinggi pada jaringan kulit merupakan faktor risiko terjadinya reaksi lepra dini. Metode: Penelitian kasus kontrol ini dilakukan pada pasien lepra di RSUP Dr. Sardjito menggunakan blok parafin dari sampel biopsi kulit setiap subjek saat penegakan diagnosis. Kelompok kasus merupakan pasien yang mengalami reaksi lepra dini, sedangkan kelompok kontrol merupakan pasien tanpa reaksi lepra. Ekspresi IL-6 dilihat dengan pengecatan imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal IL-6 dan dinilai dengan program ImageJ. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungannya dengan kejadian reaksi lepra dini. Hasil: Ekspresi positif IL-6 ditemukan pada neutrofil, limfosit, histiosit epiteloid, sel Langhans, dan sel plasma dalam bentuk granuloma maupun tersebar pada dermis. Nilai ekspresi IL-6 awal ≥ 40,21% meningkatkan risiko kejadian reaksi lepra dini hingga 22,2 kali. Kesimpulan dan Saran: Ekspresi IL-6 awal ≥ 40,21% pada jaringan kulit saat penegakan diagnosis lepra merupakan faktor risiko terjadinya reaksi lepra dini. Pada pasien yang terdiagnosis lepra dibutuhkan pemeriksaan ekspresi IL-6 awal pada jaringan kulit untuk menilai faktor risiko kejadian reaksi lepra dini.Kata kunci : Biopsi kulit, interleukin-6, reaksi lepra dini","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75676196","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar belakang: Sebanyak 95% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, yang mencakup dermatitis kontak alergi dan iritan. Beberapa jenis pekerjaan tertentu memiliki frekuensi lebih tinggi untuk terpajan dengan bahan atau aktivitas yang meningkatkan risiko kejadian dermatitis kontak akibat kerja, termasuk tenaga kesehatan. Tujuan: Menilai hubungan antara pekerjaan sebagai tenaga kesehatan dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja melalui pencarian informasi berbasis bukti. Metode: Pencarian artikel dilakukan menggunakan PubMed, Cochrane Library, Proquest dan Scopus dengan kata kunci yang sesuai dengan pertanyaan klinis. Artikel yang diperoleh diseleksi menurut kriteria inklusi dan eksklusi yang kemudian ditelaah kegunaannya berdasarkan nilai validity, importance, dan applicability. Hasil: Didapatkan dua artikel berupa studi kohort retrospektif dan studi kasus-kontrol. Pada studi kohort retrospektif didapatkan bahwa pekerjaan sebagai tenaga kesehatan memiliki risiko 1,17 kali lebih besar untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja dibandingkan dengan pekerjaan selain tenaga kesehatan (RR 1,17, nilai p <0,001, NNH 3). Hal ini didukung oleh hasil studi kasus-kontrol yang memberikan hasil OR sebesar 2,5, CI 95% 2,08 – 3,02 dan NNH 5. Kesimpulan: Risiko terjadinya dermatitis kontak pada tenaga kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerja lainnya sehingga diperlukan upaya untuk menurunkan angka kejadian tersebut.Kata kunci : Tenaga kesehatan, perawat, dermatitis kontak akibat kerja, dermatitis kontak alergi, dermatitis kontak iritan
{"title":"HUBUNGAN ANTARA PEKERJAAN SEBAGAI TENAGA KESEHATAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK AKIBAT KERJA","authors":"Irwansyah Batubara, Andira Hardjodipuro, Sandra Widaty","doi":"10.33820/MDVI.V48I1.165","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V48I1.165","url":null,"abstract":"Latar belakang: Sebanyak 95% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, yang mencakup dermatitis kontak alergi dan iritan. Beberapa jenis pekerjaan tertentu memiliki frekuensi lebih tinggi untuk terpajan dengan bahan atau aktivitas yang meningkatkan risiko kejadian dermatitis kontak akibat kerja, termasuk tenaga kesehatan. Tujuan: Menilai hubungan antara pekerjaan sebagai tenaga kesehatan dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja melalui pencarian informasi berbasis bukti. Metode: Pencarian artikel dilakukan menggunakan PubMed, Cochrane Library, Proquest dan Scopus dengan kata kunci yang sesuai dengan pertanyaan klinis. Artikel yang diperoleh diseleksi menurut kriteria inklusi dan eksklusi yang kemudian ditelaah kegunaannya berdasarkan nilai validity, importance, dan applicability. Hasil: Didapatkan dua artikel berupa studi kohort retrospektif dan studi kasus-kontrol. Pada studi kohort retrospektif didapatkan bahwa pekerjaan sebagai tenaga kesehatan memiliki risiko 1,17 kali lebih besar untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja dibandingkan dengan pekerjaan selain tenaga kesehatan (RR 1,17, nilai p <0,001, NNH 3). Hal ini didukung oleh hasil studi kasus-kontrol yang memberikan hasil OR sebesar 2,5, CI 95% 2,08 – 3,02 dan NNH 5. Kesimpulan: Risiko terjadinya dermatitis kontak pada tenaga kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerja lainnya sehingga diperlukan upaya untuk menurunkan angka kejadian tersebut.Kata kunci : Tenaga kesehatan, perawat, dermatitis kontak akibat kerja, dermatitis kontak alergi, dermatitis kontak iritan","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"31 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82957250","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dhelya Widasmara, Faradiani Rasyidi, Muhammad Barlian Nugroho
Kerusakan saraf pada kusta dapat menyebabkan cacat dan berdampak negatif pada hidup. Rehabilitasi medis penting pada pasien kusta, meliputi edukasi pemeliharaan kulit, proteksi tubuh, fisioterapi, bidai, orthoses, dan terapi okupasi. Dilaporkan satu kasus pria usia 35 tahun kontrol ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang dengan tangan kanan kaku dan luka di ibu jari dan jari manis tangan kanan. Pasien didiagnosis Morbus Hansen Tipe Multibasiler (MHMB) dan kecacatan derajat II (claw hand dextra) sejak Februari 2018. Pemeriksaan fisis menunjukkan claw hand dextra dan pemendekan ibu jari tangan kiri. Pemeriksaan dermatologis menunjukkan ulkus, batas tegas, jumlah dua dengan ukuran masing-masing 1 x 0,5 cm pada palmar manus dekstra. Pasien diterapi melanjutkan MDT MB dan edukasi rawat luka. Pasien dikonsultasikan ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSSA dan diterapi okupasi dan fisioterapi selama lima kali. Didapatkan peningkatan kekuatan fungsi dan ketangkasan tangan kanan, serta peningkatan kekuatan otot abduksi jari kelingking kanan. Tidak ditemukan efek samping pada pasien.Kata kunci : Kecacatan derajat II, morbus hansen tipe multibasiler, rehabilitasi medik
{"title":"PERANAN EDUKASI, TERAPI OKUPASI DAN FISIOTERAPI PADA MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER DENGAN KECACATAN DERAJAT DUA","authors":"Dhelya Widasmara, Faradiani Rasyidi, Muhammad Barlian Nugroho","doi":"10.33820/MDVI.V48I1.164","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V48I1.164","url":null,"abstract":"Kerusakan saraf pada kusta dapat menyebabkan cacat dan berdampak negatif pada hidup. Rehabilitasi medis penting pada pasien kusta, meliputi edukasi pemeliharaan kulit, proteksi tubuh, fisioterapi, bidai, orthoses, dan terapi okupasi. Dilaporkan satu kasus pria usia 35 tahun kontrol ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang dengan tangan kanan kaku dan luka di ibu jari dan jari manis tangan kanan. Pasien didiagnosis Morbus Hansen Tipe Multibasiler (MHMB) dan kecacatan derajat II (claw hand dextra) sejak Februari 2018. Pemeriksaan fisis menunjukkan claw hand dextra dan pemendekan ibu jari tangan kiri. Pemeriksaan dermatologis menunjukkan ulkus, batas tegas, jumlah dua dengan ukuran masing-masing 1 x 0,5 cm pada palmar manus dekstra. Pasien diterapi melanjutkan MDT MB dan edukasi rawat luka. Pasien dikonsultasikan ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSSA dan diterapi okupasi dan fisioterapi selama lima kali. Didapatkan peningkatan kekuatan fungsi dan ketangkasan tangan kanan, serta peningkatan kekuatan otot abduksi jari kelingking kanan. Tidak ditemukan efek samping pada pasien.Kata kunci : Kecacatan derajat II, morbus hansen tipe multibasiler, rehabilitasi medik","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"162 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86189392","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}