Triana Agustin, Githa Rahmayunita, Rinadewi Astriningrum, Eliza Miranda, Erdina Hd Pusponegoro, Arini Setiawati, Sandra Widaty
Dermatitis seboroik (DS) merupakan kelainan inflamasi kulit di area seboroik berupa lesi eritematosa dan skuama, bersifat kronik-residif, sedangkan ketombe adalah DS derajat ringan berupa skuama pada skalp. Etiopatogenesis DS bersifat multifaktor, salah satunya berupa kolonisasi Malassezia. Studi pendahuluan ini menguji efikasi dan keamanan sampo dengan formulasi khusus yang mengandung climbazole 1% dan piroctone olamine 0,75%. Sebanyak 28 pasien ketombe dan 18 pasien DS ringan di skalp dibagi menjadi dua kelompok secara paralel, acak, dan tersamar ganda, yaitu kelompok uji dan kontrol. Kedua kelompok dilakukan pemeriksaan setiap 1 minggu selama 4 minggu. Efikasi dinilai menggunakan skor modifikasi Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index (SDASI) dan penilaian pruritus menggunakan visual analogue scale (VAS). Analisis efikasi dilakukan secara intention-to-treat dan per-protokol. Pada kelompok pasien ketombe, didapatkan penurunan skor modifikasi SDASI, luas lesi, derajat skuama yang berbeda bermakna antara kelompok uji dan plasebo (p<0,05). Pada kelompok pasien DS ringan pada skalp, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada penurunan skor modifikasi SDASI, luas lesi, derajat skuama, lesi eritematosa, dan skor lesi papul antara kelompok uji dan plasebo (p>0,05). Sampo uji terbukti efektif mengobati ketombe, namun pada DS ringan di skalp sampo hanya efektif mengurangi jumlah skuama tetapi tidak mengurangi lesi inflamasi.Kata kunci: climbazole, dermatitis seboroik, ketombe, piroctone olamine, sampo
{"title":"UJI KLINIS SAMPO FORMULASI KHUSUS PADA PASIEN KETOMBE DAN DERMATITIS SEBOROIK RINGAN PADA SKALP","authors":"Triana Agustin, Githa Rahmayunita, Rinadewi Astriningrum, Eliza Miranda, Erdina Hd Pusponegoro, Arini Setiawati, Sandra Widaty","doi":"10.33820/mdvi.v46i3.66","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v46i3.66","url":null,"abstract":"Dermatitis seboroik (DS) merupakan kelainan inflamasi kulit di area seboroik berupa lesi eritematosa dan skuama, bersifat kronik-residif, sedangkan ketombe adalah DS derajat ringan berupa skuama pada skalp. Etiopatogenesis DS bersifat multifaktor, salah satunya berupa kolonisasi Malassezia. Studi pendahuluan ini menguji efikasi dan keamanan sampo dengan formulasi khusus yang mengandung climbazole 1% dan piroctone olamine 0,75%. Sebanyak 28 pasien ketombe dan 18 pasien DS ringan di skalp dibagi menjadi dua kelompok secara paralel, acak, dan tersamar ganda, yaitu kelompok uji dan kontrol. Kedua kelompok dilakukan pemeriksaan setiap 1 minggu selama 4 minggu. Efikasi dinilai menggunakan skor modifikasi Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index (SDASI) dan penilaian pruritus menggunakan visual analogue scale (VAS). Analisis efikasi dilakukan secara intention-to-treat dan per-protokol. Pada kelompok pasien ketombe, didapatkan penurunan skor modifikasi SDASI, luas lesi, derajat skuama yang berbeda bermakna antara kelompok uji dan plasebo (p<0,05). Pada kelompok pasien DS ringan pada skalp, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada penurunan skor modifikasi SDASI, luas lesi, derajat skuama, lesi eritematosa, dan skor lesi papul antara kelompok uji dan plasebo (p>0,05). Sampo uji terbukti efektif mengobati ketombe, namun pada DS ringan di skalp sampo hanya efektif mengurangi jumlah skuama tetapi tidak mengurangi lesi inflamasi.Kata kunci: climbazole, dermatitis seboroik, ketombe, piroctone olamine, sampo","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"15 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88540361","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ferina Angelia, Purwantyastuti, Melva Louisa, Sri Linuwih Menaldi
Nanosains merupakan salah satu cabang ilmu yang meneliti partikel – partikel kecil dalam skala atomik atau molekuler. Teknologi nano merupakan cabang baru bidang teknik yang melibatkan penggunaan partikel berskala nano (1-100 nm). Partikel nano dapat digunakan di berbagai bidang antara lain teknik, kimia, onkologi, dermatologi, dan lain-lain. Aplikasi dalam bidang dermatologi disebut sebagai nanodermatologi. Nanodermatologi merupakan bidang baru yang menarik minat banyak peneliti dan perusahaan farmasi. Teknologi nano telah menimbulkan revolusi dalam pengobatan beberapa penyakit kulit, terutama yang berkaitan dengan hantaran obat atau bahan kosmetik ke target kerja yang spesifik secara efektif. Potensi aplikasi teknologi nano di bidang dermatologi dan kosmetik, antara lain pada produk tabir surya, pelembab, formulasi anti penuaan, fototerapi, antiseptik, vaksin, obat kanker kulit, produk perawatan rambut, produk perawatan kuku, dan sebagainya. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai teknologi nano, berbagai tipe partikel nano, aplikasi teknologi nano, dan pertimbangan keamanan partikel nano di bidang dermatologi dan kosmetik.Kata kunci: dermatologi; kosmetik; nanodermatologi; teknologi nano.
{"title":"TEKNOLOGI NANO DI BIDANG DERMATOLOGI KOSMETIK","authors":"Ferina Angelia, Purwantyastuti, Melva Louisa, Sri Linuwih Menaldi","doi":"10.33820/MDVI.V46I2.62","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V46I2.62","url":null,"abstract":"Nanosains merupakan salah satu cabang ilmu yang meneliti partikel – partikel kecil dalam skala atomik atau molekuler. Teknologi nano merupakan cabang baru bidang teknik yang melibatkan penggunaan partikel berskala nano (1-100 nm). Partikel nano dapat digunakan di berbagai bidang antara lain teknik, kimia, onkologi, dermatologi, dan lain-lain. Aplikasi dalam bidang dermatologi disebut sebagai nanodermatologi. Nanodermatologi merupakan bidang baru yang menarik minat banyak peneliti dan perusahaan farmasi. Teknologi nano telah menimbulkan revolusi dalam pengobatan beberapa penyakit kulit, terutama yang berkaitan dengan hantaran obat atau bahan kosmetik ke target kerja yang spesifik secara efektif. Potensi aplikasi teknologi nano di bidang dermatologi dan kosmetik, antara lain pada produk tabir surya, pelembab, formulasi anti penuaan, fototerapi, antiseptik, vaksin, obat kanker kulit, produk perawatan rambut, produk perawatan kuku, dan sebagainya. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai teknologi nano, berbagai tipe partikel nano, aplikasi teknologi nano, dan pertimbangan keamanan partikel nano di bidang dermatologi dan kosmetik.Kata kunci: dermatologi; kosmetik; nanodermatologi; teknologi nano.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"49 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82735358","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Meidina Kusuma Wardani, Eva Hariani, Cut Mirshella Amanda
Imunologi onikomikosis masih belum sepenuhnya dipahami. Pemahaman respons imun terhadap penyakit onikomikosis mungkin dapat membuka wawasan baru terhadap patogenesis dan terapi. Berdasarkan beberapa laporan kasus dan penelitian sebelumnya, dijumpai kadar immunoglobulin E (IgE) serum yang lebih tinggi pada pasien asma, rinitis, atau urtikaria yang menderita onikomikosis. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara kadar IgE serum dengan lamanya menderita onikomikosis pada populasi umum.Penelitian ini merupakan studi analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) yang melibatkan 20 pasien onikomikosis. Setelah diagnosis onikomikosis ditegakkan, pada setiap sampel dicatat lama sakit dan kemudian dilakukan pemeriksaan kadar IgE serum. Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Juli 2016.Tidak dijumpai hubungan antara kadar IgE serum pasien onikomikosis dengan lama sakit (nilai p=0,959). Nilai rata-rata lamanya pasien menderita onikomikosis adalah 64,80 (simpang baku 10,12) bulan. Kadar minimum IgE serum 9,17 IU/mL dan kadar maksimumnya 8,388,20 IU/mL, serta nilai rata-rata 1,337,73 (simpang baku 472,55) IU/mL.Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar IgE serum pasien dengan lamanya menderita onikomikosis. Dari beberapa penelitian di Indonesia sebelumnya mengenai hubungan antara kadar IgE serum dengan onikomikosis belum menunjukkan hasil yang konsisten.Kata kunci: Onikomikosis, immunoglobulin E, lama sakit
{"title":"HUBUNGAN ANTARA KADAR IMMUNOGLOBULIN E SERUM DENGAN LAMANYA PASIEN MENDERITA ONIKOMIKOSIS","authors":"Meidina Kusuma Wardani, Eva Hariani, Cut Mirshella Amanda","doi":"10.33820/MDVI.V46I2.58","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V46I2.58","url":null,"abstract":"Imunologi onikomikosis masih belum sepenuhnya dipahami. Pemahaman respons imun terhadap penyakit onikomikosis mungkin dapat membuka wawasan baru terhadap patogenesis dan terapi. Berdasarkan beberapa laporan kasus dan penelitian sebelumnya, dijumpai kadar immunoglobulin E (IgE) serum yang lebih tinggi pada pasien asma, rinitis, atau urtikaria yang menderita onikomikosis. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara kadar IgE serum dengan lamanya menderita onikomikosis pada populasi umum.Penelitian ini merupakan studi analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) yang melibatkan 20 pasien onikomikosis. Setelah diagnosis onikomikosis ditegakkan, pada setiap sampel dicatat lama sakit dan kemudian dilakukan pemeriksaan kadar IgE serum. Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Juli 2016.Tidak dijumpai hubungan antara kadar IgE serum pasien onikomikosis dengan lama sakit (nilai p=0,959). Nilai rata-rata lamanya pasien menderita onikomikosis adalah 64,80 (simpang baku 10,12) bulan. Kadar minimum IgE serum 9,17 IU/mL dan kadar maksimumnya 8,388,20 IU/mL, serta nilai rata-rata 1,337,73 (simpang baku 472,55) IU/mL.Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar IgE serum pasien dengan lamanya menderita onikomikosis. Dari beberapa penelitian di Indonesia sebelumnya mengenai hubungan antara kadar IgE serum dengan onikomikosis belum menunjukkan hasil yang konsisten.Kata kunci: Onikomikosis, immunoglobulin E, lama sakit","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"77240956","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Giant congenital melanocytic nevus (GCMN) merupakan penyakit langka yang timbul saat lahir akibat sel melanosit tumbuh berlebih. Lesi pada GCMN sering ditemukan pada area punggung dan paha. Gambaran lesi berupa bercak hiperpigmentasi dengan ukuran lebih dari 20 cm dan terdapat rambut. Kondisi ini sering dihubungkan dengan neurokutaneus melanositosis dan melanoma maligna. Risiko neurokutaneus melanositosis meningkat signifikans bila lesi giant nevi terdapat pada regio kranial atau garis midline atau disertai lesi satelit. Rerata kumulatif risiko terjadinya melanoma dalam 5 tahun sebesar 4,5%. Pendekatan terapi masih menjadi tantangan dan bersifat individual bergantung pada usia, lokasi lesi, ukuran, risiko melanoma dan kemungkinan kelainan fungsi akibat tindakan invasif yang dilakukan serta dampak fisiologis terhadap luka pasca tindakan. Dilaporkan bayi perempuan usia 2 hari, lahir pervaginam, cukup bulan dari seorang ibu P4A0 menderita SLE yang diterapi metilprednisolon selama kehamilan. Status generalis dalam batas normal. Status dermatologikus pada regio skalp, fasialis, trunkus, ekstremitas superior dan inferior bilateral tampak makula-plak hiperpigmentasi, multipel, bulat-irregular, lentikuler-plakat, diskret; sebagian terdapat rambut, kulit sekitar normal; terdapat lesi satelit. Pada regio ekstremitas inferior sinistra terdapat lesi giant nevi dengan ukuran lebih dari 20 cm. Pada kasus ini diperlukan observasi yang baik dan pendekatan multidisiplin dalam tatalaksana GCMN.Kata kunci: Giant congenital melanocytic nevus, gambaran klinis, komplikasi.
{"title":"GIANT CONGENITAL MELANOCYTIC NEVUS: LAPORAN KASUS LANGKA","authors":"Fitriani, Z. Ayu, Inda Astri Aryani, Soenarto K","doi":"10.33820/MDVI.V46I2.60","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V46I2.60","url":null,"abstract":"Giant congenital melanocytic nevus (GCMN) merupakan penyakit langka yang timbul saat lahir akibat sel melanosit tumbuh berlebih. Lesi pada GCMN sering ditemukan pada area punggung dan paha. Gambaran lesi berupa bercak hiperpigmentasi dengan ukuran lebih dari 20 cm dan terdapat rambut. Kondisi ini sering dihubungkan dengan neurokutaneus melanositosis dan melanoma maligna. Risiko neurokutaneus melanositosis meningkat signifikans bila lesi giant nevi terdapat pada regio kranial atau garis midline atau disertai lesi satelit. Rerata kumulatif risiko terjadinya melanoma dalam 5 tahun sebesar 4,5%. Pendekatan terapi masih menjadi tantangan dan bersifat individual bergantung pada usia, lokasi lesi, ukuran, risiko melanoma dan kemungkinan kelainan fungsi akibat tindakan invasif yang dilakukan serta dampak fisiologis terhadap luka pasca tindakan. Dilaporkan bayi perempuan usia 2 hari, lahir pervaginam, cukup bulan dari seorang ibu P4A0 menderita SLE yang diterapi metilprednisolon selama kehamilan. Status generalis dalam batas normal. Status dermatologikus pada regio skalp, fasialis, trunkus, ekstremitas superior dan inferior bilateral tampak makula-plak hiperpigmentasi, multipel, bulat-irregular, lentikuler-plakat, diskret; sebagian terdapat rambut, kulit sekitar normal; terdapat lesi satelit. Pada regio ekstremitas inferior sinistra terdapat lesi giant nevi dengan ukuran lebih dari 20 cm. Pada kasus ini diperlukan observasi yang baik dan pendekatan multidisiplin dalam tatalaksana GCMN.Kata kunci: Giant congenital melanocytic nevus, gambaran klinis, komplikasi.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"3 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88414922","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Arif Widiatmoko, Herwinda Brahmanti, Tri Pradesa Boco Pranowo
Keloid adalah proliferasi jaringan fibrosa jinak di kulit yang sering terjadi setelah trauma kulit dan sering timbul di cuping telinga. Terapi tunggal pada keloid menghasilkan angka kekambuhan yang tinggi. Kombinasi bedah eksisi, injeksi steroid intralesi, dan gel silikon akan mengurangi kekambuhan. Kami melaporkan keloid yang bertambah besar di kedua cuping telinga seorang perempuan usia 21 tahun, sejak 4 tahun setelah berganti anting. Riwayat injeksi triamsinolon asetonid rutin setiap 2 minggu selama satu tahun. Benjolan di telinga kiri mengecil, tetapi benjolan di telinga kanan mengalami sedikit perbaikan. Tidak ada riwayat luka yang menjadi keloid di bagian tubuh yang lain. Pemeriksaan regio aurikularis dekstra menunjukkan nodul bulat lonjong soliter hiperpigmentasi dengan konsistensi padat kenyal dan diameter 1,3 cm. Bedah eksisi dilakukan pada keloid. Selain itu, dilakukan injeksi triamsinolon asetonid intralesi dan aplikasi gel silikon 1 minggu setelah eksisi. Evaluasi pasien pada bulan ke-8 tidak menunjukkan pertumbuhan keloid. Kombinasi bedah eksisi, injeksi kortikosteroid intralesi, dan aplikasi gel silikon pada keloid cuping telinga dapat ini menekan kekambuhan dibandingkan dengan terapi injeksi kortikosteroid tunggal yang diberikan sebelumnya.Kata Kunci: keloid, bedah eksisi, kortikosteroid intralesi, gel silikon
{"title":"KOMBINASI BEDAH EKSISI, INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRALESI, DAN GEL SILIKON PADA TATA LAKSANA KELOID DI CUPING TELINGA","authors":"Arif Widiatmoko, Herwinda Brahmanti, Tri Pradesa Boco Pranowo","doi":"10.33820/MDVI.V46I2.61","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V46I2.61","url":null,"abstract":"Keloid adalah proliferasi jaringan fibrosa jinak di kulit yang sering terjadi setelah trauma kulit dan sering timbul di cuping telinga. Terapi tunggal pada keloid menghasilkan angka kekambuhan yang tinggi. Kombinasi bedah eksisi, injeksi steroid intralesi, dan gel silikon akan mengurangi kekambuhan. Kami melaporkan keloid yang bertambah besar di kedua cuping telinga seorang perempuan usia 21 tahun, sejak 4 tahun setelah berganti anting. Riwayat injeksi triamsinolon asetonid rutin setiap 2 minggu selama satu tahun. Benjolan di telinga kiri mengecil, tetapi benjolan di telinga kanan mengalami sedikit perbaikan. Tidak ada riwayat luka yang menjadi keloid di bagian tubuh yang lain. Pemeriksaan regio aurikularis dekstra menunjukkan nodul bulat lonjong soliter hiperpigmentasi dengan konsistensi padat kenyal dan diameter 1,3 cm. Bedah eksisi dilakukan pada keloid. Selain itu, dilakukan injeksi triamsinolon asetonid intralesi dan aplikasi gel silikon 1 minggu setelah eksisi. Evaluasi pasien pada bulan ke-8 tidak menunjukkan pertumbuhan keloid. Kombinasi bedah eksisi, injeksi kortikosteroid intralesi, dan aplikasi gel silikon pada keloid cuping telinga dapat ini menekan kekambuhan dibandingkan dengan terapi injeksi kortikosteroid tunggal yang diberikan sebelumnya.Kata Kunci: keloid, bedah eksisi, kortikosteroid intralesi, gel silikon","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"21 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88551350","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Firmina Kus Setianingrum, Tantari Shw, Arif Widiatmoko
Hormon testosteron merupakan prekursor adrenal poten yang menyebabkan peningkatan ukuran, sekresi, serta fungsi kelenjar sebasea dengan mengikat reseptor adrenal, peningkatan proliferasi keratinosit folikuler yang dapat menyumbat kanal pilosebasea dan mengakibatkan obstruksi aliran sebum, sehingga terjadi pembentukan mikrokomedo, sebagai lesi awal akne vulgaris (AV).Tujuan penelitian menentukan kadar testosteron serum dan uji beda kadar testosteron serum pada berbagai derajat keparahan AV. Metode penelitian secara potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien AV laki-laki umur 13-30 tahun di instalasi rawat jalan (IRJ) Kulit dan Kelamin RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Jumlah subyek 63 orang, terdiri dari AV derajat ringan, sedang, dan berat masing-masing berjumlah 21 orang.Hasil penelitian didapatkan rerata kadar testosteron serum AV ringan 6,66 ng/mL, AV sedang 8,11 ng/mL, dan AV berat 8,97 ng.mL. Komparasi rerata kadar testosteron serum ketiga derajat keparahan AV tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Demikian pula hasil uji post hoc untuk mengetahui perbedaan kadar testosteron serum pada masing-masing derajat keparahan AV, yaitu AV ringan dengan sedang, ringan dengan berat dan sedang dengan berat menunjukkan hasil perbedaan tidak bermakna (p>0,05), walaupun nilai rerata pada masing-masing derajat keparahan AV lebih tinggi dibandingkan nilai normal.Disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna kadar testosteron serum pada berbagai derajat keparahan AV.Kata kunci: hormon testosteron, akne vulgaris, laki-laki
睾丸激素是肾上腺素的前体,它通过与肾上腺素受体结合而导致大小、分泌和丘脑功能增加,叶绿素增殖增加,可能堵塞领口,并导致皮瓣流阻塞,从而形成微孔,即甲基外皮病变(AV)的早期病变。研究的目的是确定血清睾丸激素水平和对血清睾丸激素水平的不同检测……研究方法具有一定的纬度。研究对象是23 -30岁的男性AV患者,他的皮肤和性别都符合认罪和拒绝的标准。受试者人数63人,包括温和、中度和21个AV。研究结果发现,睾丸激素水平低6.66 ng/mL, AV 8.11 ng/mL,和v级8.97 ng。比较睾丸激素的三度血清英语角没有表现出有意义的差异(p> 0.05)。邮报hoc测试确定了每个AV英语角的血清睾丸激素水平的差异,即轻微的、中度的、轻微的、中度的和中级的,显示出明显的差异(p> 0.05)的结果,尽管每个v级的平均平均值高于正常水平。根据各种AV的严重程度,血清睾丸激素水平没有差异。关键词:睾丸激素,阿克内外泄,男性
{"title":"UJI KOMPARASI KADAR TESTOSTERON SERUM PADA BERBAGAI DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS LAKI-LAKI","authors":"Firmina Kus Setianingrum, Tantari Shw, Arif Widiatmoko","doi":"10.33820/MDVI.V46I2.56","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V46I2.56","url":null,"abstract":"Hormon testosteron merupakan prekursor adrenal poten yang menyebabkan peningkatan ukuran, sekresi, serta fungsi kelenjar sebasea dengan mengikat reseptor adrenal, peningkatan proliferasi keratinosit folikuler yang dapat menyumbat kanal pilosebasea dan mengakibatkan obstruksi aliran sebum, sehingga terjadi pembentukan mikrokomedo, sebagai lesi awal akne vulgaris (AV).Tujuan penelitian menentukan kadar testosteron serum dan uji beda kadar testosteron serum pada berbagai derajat keparahan AV. Metode penelitian secara potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien AV laki-laki umur 13-30 tahun di instalasi rawat jalan (IRJ) Kulit dan Kelamin RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Jumlah subyek 63 orang, terdiri dari AV derajat ringan, sedang, dan berat masing-masing berjumlah 21 orang.Hasil penelitian didapatkan rerata kadar testosteron serum AV ringan 6,66 ng/mL, AV sedang 8,11 ng/mL, dan AV berat 8,97 ng.mL. Komparasi rerata kadar testosteron serum ketiga derajat keparahan AV tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Demikian pula hasil uji post hoc untuk mengetahui perbedaan kadar testosteron serum pada masing-masing derajat keparahan AV, yaitu AV ringan dengan sedang, ringan dengan berat dan sedang dengan berat menunjukkan hasil perbedaan tidak bermakna (p>0,05), walaupun nilai rerata pada masing-masing derajat keparahan AV lebih tinggi dibandingkan nilai normal.Disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna kadar testosteron serum pada berbagai derajat keparahan AV.Kata kunci: hormon testosteron, akne vulgaris, laki-laki","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"4 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"72668621","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penyakit Kawasaki (PK) merupakan sindrom mukokutan dan kelenjar getah bening dengan demam disertai vaskulitis multisistem, terutama menyerang anak usia di bawah 5 tahun. Etiopatogenesis belum diketahui pasti. Gambaran klinis PK bergantung fase penyakit yaitu fase akut, subakut dan konvalesen. The American Heart Association (AHA) membagi kriteria diagnosis PK menjadi klasik dan tidak lengkap. Diagnosis PK klasik ditegakkan apabila ditemukan demam tinggi ≥5 hari dan memenuhi 4 dari 5 kriteria klinis PK, yaitu injeksi konjungtiva noneksudatif bilateral tanpa keterllibatan limbus, perubahan mukosa oral, perubahan ekstremitas, eksantema polimorfik, dan limfadenopati servikal unilateral. Pasien dengan demam tinggi ≥5 hari disertai kurang dari 4 kriteria klinis PK dapat dianggap sebagai PK tidak lengkap bila gambaran ekokardiografi ditemukan abnormalitas arteri koroner. Meskipun PK bersifat swasirna dan angka kematiannya sangat rendah, 15-25% kasus yang tidak diobati mengalami kelainan kardiovaskuler progresif dan menetap. Tata laksana PK melibatkan multidisiplin ilmu kedokteran. Pemberian imunoglobulin intravena (IGIV) dan aspirin efektif mencegah komplikasi.Kata kunci: Penyakit Kawasaki, gambaran klinis, kriteria diagnosis
{"title":"PENYAKIT KAWASAKI","authors":"Reza Mayasari, F. ., Soenarto K","doi":"10.33820/mdvi.v46i2.63","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v46i2.63","url":null,"abstract":"Penyakit Kawasaki (PK) merupakan sindrom mukokutan dan kelenjar getah bening dengan demam disertai vaskulitis multisistem, terutama menyerang anak usia di bawah 5 tahun. Etiopatogenesis belum diketahui pasti. Gambaran klinis PK bergantung fase penyakit yaitu fase akut, subakut dan konvalesen. The American Heart Association (AHA) membagi kriteria diagnosis PK menjadi klasik dan tidak lengkap. Diagnosis PK klasik ditegakkan apabila ditemukan demam tinggi ≥5 hari dan memenuhi 4 dari 5 kriteria klinis PK, yaitu injeksi konjungtiva noneksudatif bilateral tanpa keterllibatan limbus, perubahan mukosa oral, perubahan ekstremitas, eksantema polimorfik, dan limfadenopati servikal unilateral. Pasien dengan demam tinggi ≥5 hari disertai kurang dari 4 kriteria klinis PK dapat dianggap sebagai PK tidak lengkap bila gambaran ekokardiografi ditemukan abnormalitas arteri koroner. Meskipun PK bersifat swasirna dan angka kematiannya sangat rendah, 15-25% kasus yang tidak diobati mengalami kelainan kardiovaskuler progresif dan menetap. Tata laksana PK melibatkan multidisiplin ilmu kedokteran. Pemberian imunoglobulin intravena (IGIV) dan aspirin efektif mencegah komplikasi.Kata kunci: Penyakit Kawasaki, gambaran klinis, kriteria diagnosis","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"4 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"80246414","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Imunitas terdiri atas 2 jenis yaitu imunitas alamiah dan imunitas didapat. Imunomodulator adalah semua obat yang dapat memodifikasi respons imun, menstimulasi mekanisme pertahanan alamiah dan adaptif, dan dapat berfungsi baik sebagai imunosupresan maupun imunostimulan. Imunostimulan atau imunostimulator adalah substansi (obat dan nutrien) yang menstimulasi sistem imun dengan meningkatkan aktivitas komponen sistem imun untuk melawan infeksi dan penyakit. Terdapat beberapa imunostimulan yang digunakan dalam bidang dermatologivenereologi, meliputi levamisol, simetidin, isoprinosin, talidomid, sitokin rekombinan, dan vaksin BCG. Masing-masing obat memiliki mekanisme kerja, indikasi dan efek simpang yang berbeda, baik sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi dengan terapi lain. Talidomid memiliki peran sebagai antiinflamasi, imunomodulator, dan antiangiogenik, tergantung dari komponen respons imun yang dipengaruhi. Pengunaan talidomid harus mempertimbangkan rasio manfaat berbanding risiko bagi pasien, khususnya dalam penggunaan jangka panjang. Beberapa obat telah disetujui penggunaannya oleh badan yang berwenang di beberapa negara. Namun masih tetap dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas imunostimulan pada berbagai penyakit kulit dan efek simpang yang ditimbulkan dalam penggunaan jangka panjang.Kata kunci: Imunostimulan, sistem imun
{"title":"PENGGUNAAN IMUNOSTIMULAN DALAM BIDANG DERMATOVENEREOLOGI","authors":"Martinus, Triana Agustin, Aida Sofiati Dachlan, Evita Halim","doi":"10.33820/MDVI.V46I2.65","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V46I2.65","url":null,"abstract":"Imunitas terdiri atas 2 jenis yaitu imunitas alamiah dan imunitas didapat. Imunomodulator adalah semua obat yang dapat memodifikasi respons imun, menstimulasi mekanisme pertahanan alamiah dan adaptif, dan dapat berfungsi baik sebagai imunosupresan maupun imunostimulan. Imunostimulan atau imunostimulator adalah substansi (obat dan nutrien) yang menstimulasi sistem imun dengan meningkatkan aktivitas komponen sistem imun untuk melawan infeksi dan penyakit. Terdapat beberapa imunostimulan yang digunakan dalam bidang dermatologivenereologi, meliputi levamisol, simetidin, isoprinosin, talidomid, sitokin rekombinan, dan vaksin BCG. Masing-masing obat memiliki mekanisme kerja, indikasi dan efek simpang yang berbeda, baik sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi dengan terapi lain. Talidomid memiliki peran sebagai antiinflamasi, imunomodulator, dan antiangiogenik, tergantung dari komponen respons imun yang dipengaruhi. Pengunaan talidomid harus mempertimbangkan rasio manfaat berbanding risiko bagi pasien, khususnya dalam penggunaan jangka panjang. Beberapa obat telah disetujui penggunaannya oleh badan yang berwenang di beberapa negara. Namun masih tetap dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas imunostimulan pada berbagai penyakit kulit dan efek simpang yang ditimbulkan dalam penggunaan jangka panjang.Kata kunci: Imunostimulan, sistem imun","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"123 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"85258792","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Melasma adalah kelainan hipermelanosis didapat, ditandai dengan makula hiperpigmentasi yang terdistribusi secara simetris pada bagian tubuh yang terpajan sinar matahari, terutama wajah. Patogenesis kondisi ini belum diketahui secara pasti. Berbagai faktor telah diketahui berkaitan dengan terjadinya melasma, yang tidak berdiri sendiri.Sistem neuroendokrinologi pada kulit berperan secara lokal dan sistemik melalui jaras humoral dan neurologis untuk menginduksi perubahan vaskular, imunitas, atau pigmen. Sistem ini juga berfungsi menjaga dan memelihara integritas struktur dan fungsi kulit, dan penting dalam homeostasis kulit. Perubahan pada sistem neuroendokrinologi kulit dapat berpengaruh dalam berbagai jenis kelainan kulit, salah satunya melasma. Keterlibatan neurologis pada melasma terutama berhubungan dengan peningkatan ekspresi nerve growth factor receptor (NGFR) dan neural endopeptidase (NEP) serta hipertrofi serabut saraf dermis. Terkait dengan faktor endokrin sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang konsisten mengenai keterlibatan hormon estrogen, progesteron dan hipofisa. Mekanisme patogenesis melasma bersifat heterogen. Pemahaman patogenesis khususnya aspek neuroendokrinologi dapat memberikan terobosan untuk menyelesaikan kesulitan terapi melasma.Kata kunci: hormone, neuroendokrin, melasma, patogenesis
{"title":"NEUROENDOKRINOLOGI MELASMA","authors":"Lili Legiawati, Nitish Basant Adnani","doi":"10.33820/mdvi.v46i2.64","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v46i2.64","url":null,"abstract":"Melasma adalah kelainan hipermelanosis didapat, ditandai dengan makula hiperpigmentasi yang terdistribusi secara simetris pada bagian tubuh yang terpajan sinar matahari, terutama wajah. Patogenesis kondisi ini belum diketahui secara pasti. Berbagai faktor telah diketahui berkaitan dengan terjadinya melasma, yang tidak berdiri sendiri.Sistem neuroendokrinologi pada kulit berperan secara lokal dan sistemik melalui jaras humoral dan neurologis untuk menginduksi perubahan vaskular, imunitas, atau pigmen. Sistem ini juga berfungsi menjaga dan memelihara integritas struktur dan fungsi kulit, dan penting dalam homeostasis kulit. Perubahan pada sistem neuroendokrinologi kulit dapat berpengaruh dalam berbagai jenis kelainan kulit, salah satunya melasma. Keterlibatan neurologis pada melasma terutama berhubungan dengan peningkatan ekspresi nerve growth factor receptor (NGFR) dan neural endopeptidase (NEP) serta hipertrofi serabut saraf dermis. Terkait dengan faktor endokrin sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang konsisten mengenai keterlibatan hormon estrogen, progesteron dan hipofisa. Mekanisme patogenesis melasma bersifat heterogen. Pemahaman patogenesis khususnya aspek neuroendokrinologi dapat memberikan terobosan untuk menyelesaikan kesulitan terapi melasma.Kata kunci: hormone, neuroendokrin, melasma, patogenesis","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"93 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75965322","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Psoriasis eritroderma pada anak merupakan varian psoriasis yang paling jarang. Kelainan ini ditandai secara khas oleh eritema pada seluruh tubuh dengan skuama putih berlapis tebal, disertai ektropion, eklabium, dan onikodistrofi. Manifestasi kulit tersebut sering keliru didiagnosis sebagai iktiosis herediter. Salah satu pilihan terapi sistemik psoriasis eritroderma adalah isotretinoin oral. Obat tersebut bekerja dengan cara menghambat dan mengurangi diferensiasi dan hiperproliferasi keratinosit, serta mencegah infiltrasi sel radang di kulit pada psoriasis. Perlu diperhatikan bahwa isotretinoin dapat menimbulkan efek samping yang berakibat fatal. Pada kasus dilaporkan seorang anak perempuan usia 4,5 tahun dengan kulit seluruh tubuh eritematosa ditutupi skuama putih, melekat, berlapis tebal, disertai ektropion dan eklabium, menyerupai iktiosis herediter. Dengan ditemukannya mikroabses Munro pada pemeriksaan histopatologi, pasien didiagnosis sebagai psoriasis eritroderma. Terapi dengan isotretinoin oral memberikan hasil yang memuaskan, namun menimbulkan efek samping berupa trombositopenia. Perlu pemantauan ketat dan evaluasi laboratorium rutin pada pemberian isotretinoin oral untuk psoriasis eritroderma anak, sehingga apabila ditemukan kelainan dapat segera dilakukan tatalaksana yang tepat.Kata kunci: psoriasis eritroderma, mikroabses Munro, isotretinoin oral, trombositopenia.
{"title":"TERAPI ISOTRETINOIN ORAL PADA PSORIASIS ERITRODERMA YANG MENYERUPAI IKTIOSIS HEREDITER: LAPORAN KASUS DAN TELAAH PUSTAKA","authors":"Malvan, Sunardi Radiono, Erdina, Retno Danarti","doi":"10.33820/MDVI.V46I2.59","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V46I2.59","url":null,"abstract":" Psoriasis eritroderma pada anak merupakan varian psoriasis yang paling jarang. Kelainan ini ditandai secara khas oleh eritema pada seluruh tubuh dengan skuama putih berlapis tebal, disertai ektropion, eklabium, dan onikodistrofi. Manifestasi kulit tersebut sering keliru didiagnosis sebagai iktiosis herediter. Salah satu pilihan terapi sistemik psoriasis eritroderma adalah isotretinoin oral. Obat tersebut bekerja dengan cara menghambat dan mengurangi diferensiasi dan hiperproliferasi keratinosit, serta mencegah infiltrasi sel radang di kulit pada psoriasis. Perlu diperhatikan bahwa isotretinoin dapat menimbulkan efek samping yang berakibat fatal. Pada kasus dilaporkan seorang anak perempuan usia 4,5 tahun dengan kulit seluruh tubuh eritematosa ditutupi skuama putih, melekat, berlapis tebal, disertai ektropion dan eklabium, menyerupai iktiosis herediter. Dengan ditemukannya mikroabses Munro pada pemeriksaan histopatologi, pasien didiagnosis sebagai psoriasis eritroderma. Terapi dengan isotretinoin oral memberikan hasil yang memuaskan, namun menimbulkan efek samping berupa trombositopenia. Perlu pemantauan ketat dan evaluasi laboratorium rutin pada pemberian isotretinoin oral untuk psoriasis eritroderma anak, sehingga apabila ditemukan kelainan dapat segera dilakukan tatalaksana yang tepat.Kata kunci: psoriasis eritroderma, mikroabses Munro, isotretinoin oral, trombositopenia.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"78 6 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"77444550","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}