Para petani yang menanam padi ladang masih cukup banyak di Indonesia, dan cukup banyak di antaranya yang masih hidup dalam kemiskinan. Walaupun demikian, masih cukup banyak di kalangan mereka yang masih terus menjadikan bertanam padi ladang sebagai mata pencaharian utamanya. Hal ini terjadi karena adanya tradisi turun temurun yang harus tetap dijaga dan dilestarikan, serta ketidaksadaran akan kemiskinannya. Di tempat-tempat tertentu, kapital spiritual yang ada di kalangan masyarakat memampukan mereka untuk terus bertahan hidup, namun tidak membawa mereka keluar dari kemiskinan. Dibutuhkan suatu tindakan stimulus bagi masyarakat yang dapat membuat kapital spiritual di tempat tersebut meningkatkan pendapatan para petani. Oleh karena itu, tulisan ini hendak menggambarkan bagaimana kapital spiritual yang ada di dalam masyarakat komunal menjadi kekuatan bagi mereka untuk bertahan hidup di tengah belenggu kemiskinan, dan bahkan bisa meningkatkan pendapatan jika ada tindakan stimulus bagi mereka
{"title":"KAPITAL SPIRITUAL DI BALIK KEMAMPUAN BERTAHAN HIDUP PARA PETANI LADANG MISKIN","authors":"Helena Anggraeni Tjondro Sugianto, E. Salfarini","doi":"10.33007/INF.V6I3.2419","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/INF.V6I3.2419","url":null,"abstract":"Para petani yang menanam padi ladang masih cukup banyak di Indonesia, dan cukup banyak di antaranya yang masih hidup dalam kemiskinan. Walaupun demikian, masih cukup banyak di kalangan mereka yang masih terus menjadikan bertanam padi ladang sebagai mata pencaharian utamanya. Hal ini terjadi karena adanya tradisi turun temurun yang harus tetap dijaga dan dilestarikan, serta ketidaksadaran akan kemiskinannya. Di tempat-tempat tertentu, kapital spiritual yang ada di kalangan masyarakat memampukan mereka untuk terus bertahan hidup, namun tidak membawa mereka keluar dari kemiskinan. Dibutuhkan suatu tindakan stimulus bagi masyarakat yang dapat membuat kapital spiritual di tempat tersebut meningkatkan pendapatan para petani. Oleh karena itu, tulisan ini hendak menggambarkan bagaimana kapital spiritual yang ada di dalam masyarakat komunal menjadi kekuatan bagi mereka untuk bertahan hidup di tengah belenggu kemiskinan, dan bahkan bisa meningkatkan pendapatan jika ada tindakan stimulus bagi mereka","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"33 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130023006","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pandemi COVID-19 merupakan badai yang sempurna untuk menguji hubungan pasangan suami istri. Selama pandemi COVID-19 angka perceraian di Indonesia meningkat sebesar 5 persen. Tulisan ini merupakan kajian literatur yang bertujuan untuk menganalisis perceraian di masa pandemi COVID-19 dalam perspektif ilmu sosial. Analisis dalam tulisan ini dilakukan melalui kajian pustaka. Secara umum faktor penyebab perceraian pada masa pandemi COVID-19 terjadi karena adanya konflik dalam rumah tangga yang disebabkan oleh permasalahan ekonomi, ketidakseimbangan aktivitas dan waktu bersama, kekerasan dalam rumah tangga, berubah pola komunikasi, dan faktor usia dalam membina rumah tangga. Dari berbagai teori dalam ilmu sosial dapat diketahui bahwa dalam sebuah keluarga ada fungsi dan disfungsi yang terjadi antara keluarga. Dalam keluarga pun sering terjadi pertentangan atau konflik internal maupun eksternal anggota keluarga. Agar terhindar dari keretakan dalam rumah tangga dapat dilakukan dengan cara memberi ruang ke dalam hubungan sebaik yang dapat dilakukan. Selain itu penulis merekomendasikan kepada semua pasangan suami istri yang sering berkonflik di tengah pendemi, sebaiknya pasangan suami istri tersebut harus belajar untuk berdiskusi dengan menggunakan kata-kata yang lembut, dan membangun terutama pada saat mengatakan sesuatu yang sulit bagi pasangan untuk mendengarnya. Dalam berdiskusi penting untuk menerapkan perilaku 3M yaitu, mengalah, memaklumi, dan memaafkan.
{"title":"PERCERAIAN DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF ILMU SOSIAL","authors":"Aris Tristanto","doi":"10.33007/INF.V6I3.2417","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/INF.V6I3.2417","url":null,"abstract":"Pandemi COVID-19 merupakan badai yang sempurna untuk menguji hubungan pasangan suami istri. Selama pandemi COVID-19 angka perceraian di Indonesia meningkat sebesar 5 persen. Tulisan ini merupakan kajian literatur yang bertujuan untuk menganalisis perceraian di masa pandemi COVID-19 dalam perspektif ilmu sosial. Analisis dalam tulisan ini dilakukan melalui kajian pustaka. Secara umum faktor penyebab perceraian pada masa pandemi COVID-19 terjadi karena adanya konflik dalam rumah tangga yang disebabkan oleh permasalahan ekonomi, ketidakseimbangan aktivitas dan waktu bersama, kekerasan dalam rumah tangga, berubah pola komunikasi, dan faktor usia dalam membina rumah tangga. Dari berbagai teori dalam ilmu sosial dapat diketahui bahwa dalam sebuah keluarga ada fungsi dan disfungsi yang terjadi antara keluarga. Dalam keluarga pun sering terjadi pertentangan atau konflik internal maupun eksternal anggota keluarga. Agar terhindar dari keretakan dalam rumah tangga dapat dilakukan dengan cara memberi ruang ke dalam hubungan sebaik yang dapat dilakukan. Selain itu penulis merekomendasikan kepada semua pasangan suami istri yang sering berkonflik di tengah pendemi, sebaiknya pasangan suami istri tersebut harus belajar untuk berdiskusi dengan menggunakan kata-kata yang lembut, dan membangun terutama pada saat mengatakan sesuatu yang sulit bagi pasangan untuk mendengarnya. Dalam berdiskusi penting untuk menerapkan perilaku 3M yaitu, mengalah, memaklumi, dan memaafkan.","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122166496","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pemerintah melalui program sekolah ramah anak berupaya untuk melindungi anak dari perundungan di sekolah. Hal ini mengingat kasus perundungan di sekolah masih menjadi masalah yang serius. Perundungan merupakan salah satu sisi gelap dalam komunikasi antarpribadi. Di sisi lain, lingkungan dan budaya sekolah berkontribusi pada perilaku komunikasi individu. Dengan menggunakan literature review dari hasil penelitian, jurnal ilmiah, buku, maupun dokumen yang relevan, kajian ini dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku komunikasi di sekolah ramah anak. Berdasarkan hasil kajian pustaka ditemukan bahwa: 1) bentuk perilaku komunikasi anak di Sekolah Ramah Anak adalah perilaku komunikasi verbal dan non-verbal, 2) perilaku komunikasi anak dengan guru bersifat positif, sedangkan dengan teman sebaya ada yang positif dan negatif, 3) perilaku komunikasi anak dengan guru tertutup sedangkan dengan teman sebaya bersifat terbuka. Kajian ini merekomendasikan agar dalam pelaksanaan Sekolah Ramah Anak keluarga dilibatkan secara aktif mengingat keluarga menjadi fondasi dalam membentuk perilaku anak. Guna memperkuat perilaku komunikasi positif anak di sekolah ramah anak, program Sekolah Ramah Anak seyogyanya diintegrasikan dengan program Kampung Ramah Anak, Rukun Warga Ramah Anak, dan program serupa lainnya. Tujuannya adalah untuk membuat perilaku komunikasi positif anak dapat terinternalisasi dan terwujud baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Hal ini juga sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan anak agar memperoleh perlindungan dan dapat berkembang secara optimal
{"title":"PERILAKU KOMUNIKASI DI SEKOLAH RAMAH ANAK KOTA MAGELANG","authors":"Hindina Maulida","doi":"10.33007/INF.V6I3.2371","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/INF.V6I3.2371","url":null,"abstract":"Pemerintah melalui program sekolah ramah anak berupaya untuk melindungi anak dari perundungan di sekolah. Hal ini mengingat kasus perundungan di sekolah masih menjadi masalah yang serius. Perundungan merupakan salah satu sisi gelap dalam komunikasi antarpribadi. Di sisi lain, lingkungan dan budaya sekolah berkontribusi pada perilaku komunikasi individu. Dengan menggunakan literature review dari hasil penelitian, jurnal ilmiah, buku, maupun dokumen yang relevan, kajian ini dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku komunikasi di sekolah ramah anak. Berdasarkan hasil kajian pustaka ditemukan bahwa: 1) bentuk perilaku komunikasi anak di Sekolah Ramah Anak adalah perilaku komunikasi verbal dan non-verbal, 2) perilaku komunikasi anak dengan guru bersifat positif, sedangkan dengan teman sebaya ada yang positif dan negatif, 3) perilaku komunikasi anak dengan guru tertutup sedangkan dengan teman sebaya bersifat terbuka. Kajian ini merekomendasikan agar dalam pelaksanaan Sekolah Ramah Anak keluarga dilibatkan secara aktif mengingat keluarga menjadi fondasi dalam membentuk perilaku anak. Guna memperkuat perilaku komunikasi positif anak di sekolah ramah anak, program Sekolah Ramah Anak seyogyanya diintegrasikan dengan program Kampung Ramah Anak, Rukun Warga Ramah Anak, dan program serupa lainnya. Tujuannya adalah untuk membuat perilaku komunikasi positif anak dapat terinternalisasi dan terwujud baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Hal ini juga sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan anak agar memperoleh perlindungan dan dapat berkembang secara optimal","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129005638","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Perkembangan teknologi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama pada aspek sosial berupa perubahan pola interaksi sosial sebagai fokus praktik pekerjaan sosial. Hal ini menjadi tantangan bagi profesi pekerjaan sosial, bukan hanya pada bagaimana melakukan intervensi, melainkan juga pada transformasi yang harus dilakukan dalam praktik berbasis teknologi. Namun demikian, situasi ini menciptakan peluang bagi praktik pekerja sosial karena dapat menjangkau lebih luas dan lebih banyak masalah sosial ataupun upaya peningkatan keberfungsian sosial penerima manfaat. Dengan menggunakan metode studi literatur, artikel ini bertujuan mengkaji tantangan dan peluang profesi pekerjaan sosial dalam menyongsong era 5.0 yang menempatkan kebermanfaatan teknologi terutama bagi kepentingan manusia sebagai prioritasnya. Hasil studi menunjukkan profesi pekerjaan sosial telah melakukan transformasi pelayanan sosial bagi para penerima manfaat, sehingga produk sosial yang diciptakan dapat tersebar lebih luas dan lebih cepat tanpa batasan ruang dan waktu. Hal ini menunjukkan telah terjadi percepatan proses pemberian pelayanan sosial. Namun, jika dibandingkan dengan sektor bisnis, proses adopsi teknologi pada bidang pekerjaan sosial jauh terhitung lambat. Berbagai perubahan yang terjadi menjadi tantangan dan peluang bagi profesi pekerjaan sosial dan entitas pendidikan bidang pekerjaan sosial sebagai institusi pencetak calon pekerja sosial yang berpeluang melakukan rekayasa sosial di tengah masyarakat
技术的发展影响着生活的各个方面,尤其是社会互动模式的改变,作为社会工作实践的重点。这对社会就业专业来说是一个挑战,不仅是如何进行干预,而且是基于技术的实践中必须发生的转变。然而,这种情况为社会工作者的实践创造了机会,因为它可以带来更多的社会问题,也可以增加受惠者的社会功能。这篇文章以文献研究方法为目标,探讨了5.0的时代所带来的挑战和社会就业机会,将技术的主要利益置于人类利益之上。研究表明,社会工作专业已经对受益者进行了社会服务的转变,因此创造的社会产品可以在不限制时间和空间的情况下更广泛、更快地传播。这表明,社会服务进程正在加速。然而,与商业部门相比,社会就业领域的技术采用过程相当缓慢。社会就业专业和社会就业教育实体(social work profession and social work development)面临的挑战和机遇,将成为创造社会就业机会的社会生产者机构
{"title":"TRANSFORMASI PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL MENUJU MASYARAKAT 5.0","authors":"M. B. Santoso, Maulana - Irfan, Nunung Nurwati","doi":"10.33007/inf.v6i2.2383","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2383","url":null,"abstract":"Perkembangan teknologi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama pada aspek sosial berupa perubahan pola interaksi sosial sebagai fokus praktik pekerjaan sosial. Hal ini menjadi tantangan bagi profesi pekerjaan sosial, bukan hanya pada bagaimana melakukan intervensi, melainkan juga pada transformasi yang harus dilakukan dalam praktik berbasis teknologi. Namun demikian, situasi ini menciptakan peluang bagi praktik pekerja sosial karena dapat menjangkau lebih luas dan lebih banyak masalah sosial ataupun upaya peningkatan keberfungsian sosial penerima manfaat. Dengan menggunakan metode studi literatur, artikel ini bertujuan mengkaji tantangan dan peluang profesi pekerjaan sosial dalam menyongsong era 5.0 yang menempatkan kebermanfaatan teknologi terutama bagi kepentingan manusia sebagai prioritasnya. Hasil studi menunjukkan profesi pekerjaan sosial telah melakukan transformasi pelayanan sosial bagi para penerima manfaat, sehingga produk sosial yang diciptakan dapat tersebar lebih luas dan lebih cepat tanpa batasan ruang dan waktu. Hal ini menunjukkan telah terjadi percepatan proses pemberian pelayanan sosial. Namun, jika dibandingkan dengan sektor bisnis, proses adopsi teknologi pada bidang pekerjaan sosial jauh terhitung lambat. Berbagai perubahan yang terjadi menjadi tantangan dan peluang bagi profesi pekerjaan sosial dan entitas pendidikan bidang pekerjaan sosial sebagai institusi pencetak calon pekerja sosial yang berpeluang melakukan rekayasa sosial di tengah masyarakat","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"42 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115105265","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pandemi COVID-19 berdampak pada aspek fisiologis, psikologis, dan sosial lanjut usia. Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan bentuk dukungan kesehatan jiwa dan psikososial (DKJPS) dalam pelayanan sosial lanjut usia pada masa pandemi COVID-19. Analisis dalam artikel ini dilakukan melalui kajian pustaka. Instrumen penulis dalam artikel ini adalah daftar check list, skema penulisan dan format catatan penulisan. Teknik analisis dalam artikel ini adalah metode analisis isi. DKJPS kepada lanjut usia dapat dilakukan melalui pelayanan sosial lanjut usia berbasis institusi (institutional based), pelayanan sosial lanjut usia berbasis komunitas (community based), dan layanan berbasis rumah tangga (home-based). Bentuk DKJPS kepada lanjut usia berbasis institusi adalah pengoptimalan kegiatan bimbingan mental, agama, dan sosial bagi lanjut usia kategori mandiri. Sedangkan untuk lanjut usia yang tidak memiliki kemandirian (bedridden), bentuk DKJPS yang dapat diberikan adalah pelayanan yang lebih intensif terutama dalam hal kesehatan. Terkait bentuk DKJPS kepada lanjut usia berbasis komunitas adalah pendamping lanjut usia oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. Dalam melakukan pendampingan sosial terkait DKJPS pendamping dapat mengajarkan kepada lanjut usia dan keluarganya tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Bagi lanjut usia yang terlantar karena tinggal sendiri di rumah, pendamping sosial harus mampu menggerakkan kelompok dukungan sosial di lingkungannya. Sedangkan bentuk DKJPS kepada lanjut usia berbasis rumah tangga adalah mengaturan aktifitas yang tepat tanpa mengurangi kemandirian dari lanjut usia. Implikasi teoritis dari penulisan artikel ini yaitu lanjut usia dikatakan sehat secara mental bukan hanya terhindar dari gejala gangguan dan penyakit jiwa, tetapi berkaitan dengan penyesuaian diri yang aktif dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan kondisi baru.
{"title":"DUKUNGAN KESEHATAN JIWA DAN PSIKOSOSIAL (DKJPS) DALAM PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA PADA MASA PANDEMI COVID-19","authors":"Aris Tristanto","doi":"10.33007/inf.v6i2.2348","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2348","url":null,"abstract":"Pandemi COVID-19 berdampak pada aspek fisiologis, psikologis, dan sosial lanjut usia. Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan bentuk dukungan kesehatan jiwa dan psikososial (DKJPS) dalam pelayanan sosial lanjut usia pada masa pandemi COVID-19. Analisis dalam artikel ini dilakukan melalui kajian pustaka. Instrumen penulis dalam artikel ini adalah daftar check list, skema penulisan dan format catatan penulisan. Teknik analisis dalam artikel ini adalah metode analisis isi. DKJPS kepada lanjut usia dapat dilakukan melalui pelayanan sosial lanjut usia berbasis institusi (institutional based), pelayanan sosial lanjut usia berbasis komunitas (community based), dan layanan berbasis rumah tangga (home-based). Bentuk DKJPS kepada lanjut usia berbasis institusi adalah pengoptimalan kegiatan bimbingan mental, agama, dan sosial bagi lanjut usia kategori mandiri. Sedangkan untuk lanjut usia yang tidak memiliki kemandirian (bedridden), bentuk DKJPS yang dapat diberikan adalah pelayanan yang lebih intensif terutama dalam hal kesehatan. Terkait bentuk DKJPS kepada lanjut usia berbasis komunitas adalah pendamping lanjut usia oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. Dalam melakukan pendampingan sosial terkait DKJPS pendamping dapat mengajarkan kepada lanjut usia dan keluarganya tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Bagi lanjut usia yang terlantar karena tinggal sendiri di rumah, pendamping sosial harus mampu menggerakkan kelompok dukungan sosial di lingkungannya. Sedangkan bentuk DKJPS kepada lanjut usia berbasis rumah tangga adalah mengaturan aktifitas yang tepat tanpa mengurangi kemandirian dari lanjut usia. Implikasi teoritis dari penulisan artikel ini yaitu lanjut usia dikatakan sehat secara mental bukan hanya terhindar dari gejala gangguan dan penyakit jiwa, tetapi berkaitan dengan penyesuaian diri yang aktif dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan kondisi baru.","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"57 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126211542","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tentang peran profesi pekerja sosial dalam pendampingan sosial. Profesi pekerja sosial di Indonesia masih dianggap suatu pelayanan karitatif yang dapat dilakukan oleh semua orang. Peran pekerja sosial seringkali diwujudkan dalam kapasitas sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah secara langsung. Peran pekerja sosial sebagai pendamping sosial berupaya mengembangkan, memelihara, dan memperkuat sistem kesejahteraan sosial, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Selain itu pekerja sosial berperan sebagai penghubung, memberikan kemudahan, serta memberikan dorongan semangat kepada penerima manfaat untuk bersikap positif, sehingga dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Profesi Pekerja Sosial sudah saatnya mendapatkan tempat dan ruang yang lebih besar di dalam penyelesaian permasalahan bangsa dengan meningkatkan keterampilan, nilai-nilai, dan metode yang dimiliki. Pekerja sosial dalam melaksanakan pendampingan sosial untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga, masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial. Pekerja sosial sebagai pendamping dilaksanakan dalam bentuk pemberdayaan memerlukan organisasi layanan sosial dan kinerja profesional dilaksanakan secara terpadu dan integratif. Pekerja sosial sebagai sebuah profesi mengarah kepada profesionalisme mempunyai kompetensi yang tersertifikasi memiliki acuan kerja lebih produktif dan efektif berorientasi pada kebutuhan aktual masyarakat.
{"title":"PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM PENDAMPINGAN SOSIAL","authors":"Soetji Andari","doi":"10.33007/inf.v6i2.2200","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2200","url":null,"abstract":"Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tentang peran profesi pekerja sosial dalam pendampingan sosial. Profesi pekerja sosial di Indonesia masih dianggap suatu pelayanan karitatif yang dapat dilakukan oleh semua orang. Peran pekerja sosial seringkali diwujudkan dalam kapasitas sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah secara langsung. Peran pekerja sosial sebagai pendamping sosial berupaya mengembangkan, memelihara, dan memperkuat sistem kesejahteraan sosial, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Selain itu pekerja sosial berperan sebagai penghubung, memberikan kemudahan, serta memberikan dorongan semangat kepada penerima manfaat untuk bersikap positif, sehingga dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Profesi Pekerja Sosial sudah saatnya mendapatkan tempat dan ruang yang lebih besar di dalam penyelesaian permasalahan bangsa dengan meningkatkan keterampilan, nilai-nilai, dan metode yang dimiliki. Pekerja sosial dalam melaksanakan pendampingan sosial untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga, masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial. Pekerja sosial sebagai pendamping dilaksanakan dalam bentuk pemberdayaan memerlukan organisasi layanan sosial dan kinerja profesional dilaksanakan secara terpadu dan integratif. Pekerja sosial sebagai sebuah profesi mengarah kepada profesionalisme mempunyai kompetensi yang tersertifikasi memiliki acuan kerja lebih produktif dan efektif berorientasi pada kebutuhan aktual masyarakat.","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121548929","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pandemi COVID-19 yang melanda negara-negara di dunia memperlihatkan struktur “neokolonialisme” dan kebijakan “penyesuaian struktural” neoliberal berpengaruh buruk terhadap sistem kesehatan masyarakat dan memperparah kondisi krisis ketahanan pangan. Proses ini memperburuk malnutrisi akibat ancaman bencana keikliman global. Dalam rangka mengatasi krisis pangan, beberapa negara Global South memobilisasi petani kecil untuk mengamankan persediaan dan rantai pangan global melalui skema megaproyek kebun pangan skala luas. Ironisnya para petani semakin kesulitan mendapatkan makanan, memenuhi kebutuhan keluarga mereka, dan mengakses fasilitas kesehatan publik. Pada saat yang sama mereka dipaksa bekerja di lahan yang asing bagi mereka. Artikel ini menyoroti rencana Pemerintah Republik Indonesia untuk membangun lumbung pangan nasional dengan mencetak 2,2 juta hektar sawah dan memindahkan 300.000 petani kecil atas nama ketahanan pangan nasional. Hipotesis dalam hal ini adalah kegagalan pemerintah dalam membangun tiga megaproyek kebun pangan skala luas seperti pada masa lalu. Melalui studi literatur yang dieksplorasi ialah irisan antara marjinalitas ekonomi dan kondisi kesehatan serta gizi. Narasi krisis pangan yang didengungkan oleh pemerintah diprakirakan berhasil menggerakkan lembaga-lembaga negara mengembangkan korporasi agrobisnis sebagai sirkuit baru untuk akumulasi kapital. Namun, proses tersebut menempatkan petani kecil sebagai korban. Pada akhirnya, kesehatan dan kualitas gizi petani kecil tidak membaik, malahan menempatkan mereka dalam lingkatan setan kemiskinan generasional. Mereka terus berada di bawah sistem ekonomi kapitalistik, dengan kemiskinan direproduksi oleh dirinya sendiri yang ditandai kondisi kekurangan gizi
{"title":"KESEJAHTERAAN PETANI DAN KETAHANAN PANGAN PADA MASA PANDEMI COVID-19: TELAAH KRITIS TERHADAP RENCANA MEGAPROYEK LUMBUNG PANGAN NASIONAL INDONESIA","authors":"Atmaezer Hariara Simanjuntak, Rudy G. Erwinsyah","doi":"10.33007/inf.v6i2.2332","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2332","url":null,"abstract":"Pandemi COVID-19 yang melanda negara-negara di dunia memperlihatkan struktur “neokolonialisme” dan kebijakan “penyesuaian struktural” neoliberal berpengaruh buruk terhadap sistem kesehatan masyarakat dan memperparah kondisi krisis ketahanan pangan. Proses ini memperburuk malnutrisi akibat ancaman bencana keikliman global. Dalam rangka mengatasi krisis pangan, beberapa negara Global South memobilisasi petani kecil untuk mengamankan persediaan dan rantai pangan global melalui skema megaproyek kebun pangan skala luas. Ironisnya para petani semakin kesulitan mendapatkan makanan, memenuhi kebutuhan keluarga mereka, dan mengakses fasilitas kesehatan publik. Pada saat yang sama mereka dipaksa bekerja di lahan yang asing bagi mereka. Artikel ini menyoroti rencana Pemerintah Republik Indonesia untuk membangun lumbung pangan nasional dengan mencetak 2,2 juta hektar sawah dan memindahkan 300.000 petani kecil atas nama ketahanan pangan nasional. Hipotesis dalam hal ini adalah kegagalan pemerintah dalam membangun tiga megaproyek kebun pangan skala luas seperti pada masa lalu. Melalui studi literatur yang dieksplorasi ialah irisan antara marjinalitas ekonomi dan kondisi kesehatan serta gizi. Narasi krisis pangan yang didengungkan oleh pemerintah diprakirakan berhasil menggerakkan lembaga-lembaga negara mengembangkan korporasi agrobisnis sebagai sirkuit baru untuk akumulasi kapital. Namun, proses tersebut menempatkan petani kecil sebagai korban. Pada akhirnya, kesehatan dan kualitas gizi petani kecil tidak membaik, malahan menempatkan mereka dalam lingkatan setan kemiskinan generasional. Mereka terus berada di bawah sistem ekonomi kapitalistik, dengan kemiskinan direproduksi oleh dirinya sendiri yang ditandai kondisi kekurangan gizi","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121149770","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sektor kesehatan dan kesejahteraan menghadapi tantangan menarik. Pertama, pesatnya penuaan penduduk diiringi penurunan jumlah pengasuh yang berimplikasi pada pengasuhan lanjut usia. Kedua, munculnya kesadaran baru pada terapi hewan yang berpotensi risiko penularan zonosis, isu etika dan moral, perspektif budaya dan agama, sejarah dan keraguan. Ketiga, pesatnya perkembangan teknologi robotik dan kecerdasan buatan dalam menyikapi isu pengasuhan. Kondisi ini membawa implikasi pada alokasi sumber daya manusia dan dampaknya terhadap stabilitas pengiriman pengasuhan. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mengetahui manfaat sosial, psikologis, fisiologis, dan klinis dari Paro, robot bantuan-sosial paling populer di dunia, dalam pengasuhan lanjut usia. Paro membentuk perilaku hewani dan menanggapi cahaya, suhu, suara, sentuhan dan postur sejalan dengan perputaran waktu. Hasil penelitian yang dilakukan di negara-negara maju menunjukkan bahwa Paro mendorong lanjut usia yang mengalami demensia untuk berkomunikasi di antara mereka dan memperkuat hubungan sosial individual, mempengaruhi hubungan, dan membantu mengatasi kesepian. Selain menurunkan stres dan kecemasan, Paro juga mampu menurunkan penggunaan pengobatan psikoaktif dan sakit medis pada klien demensia, dan efektif dalam intervensi terapeutik. Namun harganya mahal, hanya fasilitas pengasuhan sosial tertentu yang bisa mengaksesnya. Mengingat pengaruh positif, penggunaan Paro dengan menyertakan pengasuh bisa memperluas jangkauan terapeutik. Ada potensi untuk menggunakan Paro sebagai companion robot dalam pengasuhan lanjut usia dalam setting panti sosial, rumah sakit, keluarga dan komunitas. Nampaknya, intervensi robotik sedang mengalami pergeseran dari terapi bantuan-hewan menuju pengembangan cara-cara inovatif yang menghubungkan robot dengan lanjut usia.
{"title":"TERAPI ROBOT BAGI LANJUT USIA YANG MENGALAMI DEMENSIA","authors":"M. Nuryana","doi":"10.33007/inf.v6i2.2339","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2339","url":null,"abstract":"Sektor kesehatan dan kesejahteraan menghadapi tantangan menarik. Pertama, pesatnya penuaan penduduk diiringi penurunan jumlah pengasuh yang berimplikasi pada pengasuhan lanjut usia. Kedua, munculnya kesadaran baru pada terapi hewan yang berpotensi risiko penularan zonosis, isu etika dan moral, perspektif budaya dan agama, sejarah dan keraguan. Ketiga, pesatnya perkembangan teknologi robotik dan kecerdasan buatan dalam menyikapi isu pengasuhan. Kondisi ini membawa implikasi pada alokasi sumber daya manusia dan dampaknya terhadap stabilitas pengiriman pengasuhan. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mengetahui manfaat sosial, psikologis, fisiologis, dan klinis dari Paro, robot bantuan-sosial paling populer di dunia, dalam pengasuhan lanjut usia. Paro membentuk perilaku hewani dan menanggapi cahaya, suhu, suara, sentuhan dan postur sejalan dengan perputaran waktu. Hasil penelitian yang dilakukan di negara-negara maju menunjukkan bahwa Paro mendorong lanjut usia yang mengalami demensia untuk berkomunikasi di antara mereka dan memperkuat hubungan sosial individual, mempengaruhi hubungan, dan membantu mengatasi kesepian. Selain menurunkan stres dan kecemasan, Paro juga mampu menurunkan penggunaan pengobatan psikoaktif dan sakit medis pada klien demensia, dan efektif dalam intervensi terapeutik. Namun harganya mahal, hanya fasilitas pengasuhan sosial tertentu yang bisa mengaksesnya. Mengingat pengaruh positif, penggunaan Paro dengan menyertakan pengasuh bisa memperluas jangkauan terapeutik. Ada potensi untuk menggunakan Paro sebagai companion robot dalam pengasuhan lanjut usia dalam setting panti sosial, rumah sakit, keluarga dan komunitas. Nampaknya, intervensi robotik sedang mengalami pergeseran dari terapi bantuan-hewan menuju pengembangan cara-cara inovatif yang menghubungkan robot dengan lanjut usia.","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"49 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127465024","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Para ahli dan peneliti menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu isu krusial di tingkat global yang dihadapi para remaja dan dewasa muda. Kekerasan dalam pacaran mencakup perilaku agresi secara fisik, emosional, verbal, sosial, dan seksual yang bertujuan mengendalikan dan menyakiti pasangan. Kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak negatif multidimensi bagi korban dan masyarakat. Namun demikian sebagian besar kajian tentang topik ini didasarkan pada konteks negara Barat atau maju. Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan faktor-faktor risiko dan pelindung terhadap kekerasan dalam pacaran di kelompok remaja serta implikasinya terhadap upaya pencegahannya. Kajian ini didasarkan pada kajian literatur yang dituntun oleh perspektif ekologi sosial yang memandang interaksi berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku manusia yang dapat diidentifikasi berada pada berbagai level lingkungan yang berbeda. Hasil dari kajian ini menunjukkan faktor-faktor yang meningkatkan potensi menjadi pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran mencakup karakteristik individual, struktur dan interaksi dalam keluarga, karakteristik lingkungan teman sebaya serta kondisi komunitas masyarakat. Faktor-faktor pelindung yang mencegah atau mengurangi kemungkinan terlibat sebagai pelaku atau korban kekerasan dalam pacaran juga ditemukan di berbagai tingkatan lingkungan meskipun berbeda komprehensivitasnya dibandingkan faktor risiko Kajian ini mengaitkan diskusi faktor risiko dan pelindung dengan upaya pencegahan kekerasan dalam pacaran untuk konteks Indonesia.
{"title":"KEKERASAN DALAM PACARAN: FAKTOR RISIKO DAN PELINDUNG SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN","authors":"Binahayati Rusyidi, Eva Nuriyah Hidayat","doi":"10.33007/inf.v6i2.2208","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2208","url":null,"abstract":"Para ahli dan peneliti menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu isu krusial di tingkat global yang dihadapi para remaja dan dewasa muda. Kekerasan dalam pacaran mencakup perilaku agresi secara fisik, emosional, verbal, sosial, dan seksual yang bertujuan mengendalikan dan menyakiti pasangan. Kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak negatif multidimensi bagi korban dan masyarakat. Namun demikian sebagian besar kajian tentang topik ini didasarkan pada konteks negara Barat atau maju. Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan faktor-faktor risiko dan pelindung terhadap kekerasan dalam pacaran di kelompok remaja serta implikasinya terhadap upaya pencegahannya. Kajian ini didasarkan pada kajian literatur yang dituntun oleh perspektif ekologi sosial yang memandang interaksi berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku manusia yang dapat diidentifikasi berada pada berbagai level lingkungan yang berbeda. Hasil dari kajian ini menunjukkan faktor-faktor yang meningkatkan potensi menjadi pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran mencakup karakteristik individual, struktur dan interaksi dalam keluarga, karakteristik lingkungan teman sebaya serta kondisi komunitas masyarakat. Faktor-faktor pelindung yang mencegah atau mengurangi kemungkinan terlibat sebagai pelaku atau korban kekerasan dalam pacaran juga ditemukan di berbagai tingkatan lingkungan meskipun berbeda komprehensivitasnya dibandingkan faktor risiko Kajian ini mengaitkan diskusi faktor risiko dan pelindung dengan upaya pencegahan kekerasan dalam pacaran untuk konteks Indonesia.","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114965276","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Praktik keuangan mikro selama ini dipercaya sebagai salah satu strategi efektif untuk mengatasi kemiskinan. Saat ini, model dari praktik keuangan mikro tumbuh dalam bentuk yang sangat beragam. Salah satunya adalah dengan pendekatan institutionalist atau diistilahkan pula sebagai bentuk komersialisasi dalam keuangan mikro. Keuangan mikro diyakini perlu mencapai kecukupan secara finansial supaya dapat berjalan secara mandiri dan tidak bergantung pada kehadiran donor atau subsidi. Sayangnya, banyak bukti yang menunjukkan bagaimana pendekatan ini menghasilkan berbagai masalah, utamanya bagi masyarakat miskin sebagai anggota dan juga bagi lembaga. Banyak masyarakat miskin menjadi terbebani karena mempergunakan program keuangan mikro. Fokus yang terlalu besar pada profit dan pertumbuhan menyebabkan keuangan mikro abai terhadap misi originalnya untuk membantu masyarakat miskin keluar dari jebakan kemiskinan. Melalui kajian studi literatur, artikel ini mencoba menguraikan masalah yang terjadi pada pendekatan institutionalist dalam keuangan mikro. Berdasarkan permasalahan yang selama ini terjadi, ada tiga hal utama yang menjadi solusi. Pertama, penulis merekomendasikan praktik pendekatan institutionalist untuk tidak memberikan layanan kepada masyarakat paling miskin. Kedua, keuangan mikro perlu melakukan pembentukan kelompok sebagai upaya memperkuat kapital sosial antar anggota dan anggota dengan lembaga, serta sebagai bentuk mitigasi risiko. Ketiga, lembaga keuangan mikro sebaiknya menyediakan layanan tambahan, baik dalam bentuk layanan finansial dan non-finansial untuk melindungi dan meningkatkan kemampuan anggota.
{"title":"PENDEKATAN INSTITUTIONALIST DALAM KEUANGAN MIKRO DAN PERANNYA TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI","authors":"William Cahyawan, Sari Viciawati Machdum","doi":"10.33007/INF.V5I1.1685","DOIUrl":"https://doi.org/10.33007/INF.V5I1.1685","url":null,"abstract":"Praktik keuangan mikro selama ini dipercaya sebagai salah satu strategi efektif untuk mengatasi kemiskinan. Saat ini, model dari praktik keuangan mikro tumbuh dalam bentuk yang sangat beragam. Salah satunya adalah dengan pendekatan institutionalist atau diistilahkan pula sebagai bentuk komersialisasi dalam keuangan mikro. Keuangan mikro diyakini perlu mencapai kecukupan secara finansial supaya dapat berjalan secara mandiri dan tidak bergantung pada kehadiran donor atau subsidi. Sayangnya, banyak bukti yang menunjukkan bagaimana pendekatan ini menghasilkan berbagai masalah, utamanya bagi masyarakat miskin sebagai anggota dan juga bagi lembaga. Banyak masyarakat miskin menjadi terbebani karena mempergunakan program keuangan mikro. Fokus yang terlalu besar pada profit dan pertumbuhan menyebabkan keuangan mikro abai terhadap misi originalnya untuk membantu masyarakat miskin keluar dari jebakan kemiskinan. Melalui kajian studi literatur, artikel ini mencoba menguraikan masalah yang terjadi pada pendekatan institutionalist dalam keuangan mikro. Berdasarkan permasalahan yang selama ini terjadi, ada tiga hal utama yang menjadi solusi. Pertama, penulis merekomendasikan praktik pendekatan institutionalist untuk tidak memberikan layanan kepada masyarakat paling miskin. Kedua, keuangan mikro perlu melakukan pembentukan kelompok sebagai upaya memperkuat kapital sosial antar anggota dan anggota dengan lembaga, serta sebagai bentuk mitigasi risiko. Ketiga, lembaga keuangan mikro sebaiknya menyediakan layanan tambahan, baik dalam bentuk layanan finansial dan non-finansial untuk melindungi dan meningkatkan kemampuan anggota.","PeriodicalId":229919,"journal":{"name":"Sosio informa","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121573170","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}