Pub Date : 2020-02-04DOI: 10.22373/petita.v3i2.4048
Alfata
Fish Auction Place (TPI) in Lampulo, Banda Aceh, is the largest place of loading and unloading fish in Aceh. However, it has not succeeded in providing the best service to consumers. The accuracy of the scales used by traders is often unclear in weighing fish so that consumers are disadvantaged. The results of the study revealed that the process of weighing fish in TPI Lampulo was inaccurate in term of the scale measurement, and rounding of the scales had been practiced to gain more benefits for the traders yet disadvantages the consumers. Furthermore, the fish traders who sell fish in large quantities do not pay attention to the containers when weighing. Fish weighing containers are sometimes wet or dry, a dry container weighing approximately 2.8 kilograms or 3 kilograms for the wet one. The fish traders in TPI lampulo Banda Aceh rounded the weight to 3 kilograms, meaning 0.2 kilograms of loss for consumers. According to some traders, it had become customary. It can be concluded that the process of weighing the fish at TPI Lampulo Banda Aceh was not accurate in term of measuring the scales. Abstrak: Tempat Pelelangan Ikan di Lampulo Kota Banda Aceh, merupakan tempat yang terbesar di Aceh dimana bongkar muat ikan, namum dengan begitu belum bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen, pedagang dalam menimbang ikan belum jelas keakuratan timbangan sehingga konsumen merasa dirugikan. Dari hasil penelitian ditemukan proses penimbangan ikan di TPI Lampulo tidak akurat takaran timbangannya, dan pembulatan ukuran timbangan sudah menjadi kebiasaan demi mendapatkan keuntungan bagi pedagang yang merugikan konsumen, para pedagang ikan yang menjual ikan dalam jumlah yang banyak ketika melakukan penimbangan tidak memperhatikan wadah tempat penimbangan ikan. Wadah tempat penimbangan ikan kadang kala basah atau kering. Terdapat perbedaan berat wadah yang kering mencapai 2,8 kilogram ketika basah wadah tersebut mencapai 3 kilogram. Para pedagang ikan di TPI lampulo Kota Banda Aceh membulatkan menjadi 3 kilogram terdapat 0,2 kilogram kerugian bagi konsumen. Menurut beberapa pedagang hal tersebut sudah menjadi kebiasan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses penimbangan ikan yang tejadi di TPI Lampulo Banda Aceh tidak akurat takaran timbangan. Kata kunci: Proses, Timbangan, TPI, Ma’qud ‘Alaih.
位于班达亚齐兰普罗的鱼类拍卖场所(TPI)是亚齐最大的鱼类装卸场所。然而,它并没有成功地为消费者提供最好的服务。在给鱼称重时,贸易商使用的鱼秤的准确性往往不明确,因此消费者处于不利地位。研究结果表明,TPI Lampulo的鱼类称重过程在鱼鳞测量方面不准确,鱼鳞四舍五入的做法为贸易商带来了更多的利益,但对消费者不利。此外,大量出售鱼类的鱼贩在称重时不注意容器。鱼类称重容器有时是湿的或干的,干的容器重约2.8公斤或湿的容器重约3公斤。TPI lampulo Banda Aceh的鱼商将重量四舍五入为3公斤,这意味着消费者损失了0.2公斤。据一些商人说,这已经成为一种习惯。可以得出结论,在TPI Lampulo Banda Aceh称重鱼的过程在测量鱼鳞方面是不准确的。摘要:班达亚齐省(Banda Aceh)的temat Pelelangan Ikan di Lampulo Kota, merupakan Tempat yang terbesar di Aceh dimana bongkar muat Ikan, namum dengan begitu belum bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepaada konsumen, pedagang dalam menimbang Ikan belum jelas keakuratan timbangan sehinga konsumen merasa dirugikan。我的翻译是:我的翻译是:我的翻译是:我的翻译是:我的翻译是:我的翻译是:我的翻译是:我的翻译是:我的翻译是:我的翻译是:Wadah tempat penimbangan ikan kadang kala basah atau kering。Terdapat perbedaan berat wadah yang kering menapai 2,8公斤ketika basah wadah tersebut menapai 3公斤。Para pedagang ikan di TPI lampulo Kota班达亚齐membulatkan menjadi 3公斤terdapat 0,2公斤kerugian bagi konsumen。menuut beberapa pedagang hal tersebut sudah menjadi kebiasan。我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是。Kata kunci:散文,Timbangan, TPI, Ma ' qud ' Alaih。
{"title":"PROSES PENIMBANGAN IKAN DI TEMPAT PELELANGAN IKAN LAMPULO KOTA BANDA ACEH DALAM PERSPEKTIF MA’QUD ‘ALAIH","authors":"Alfata","doi":"10.22373/petita.v3i2.4048","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/petita.v3i2.4048","url":null,"abstract":"Fish Auction Place (TPI) in Lampulo, Banda Aceh, is the largest place of loading and unloading fish in Aceh. However, it has not succeeded in providing the best service to consumers. The accuracy of the scales used by traders is often unclear in weighing fish so that consumers are disadvantaged. The results of the study revealed that the process of weighing fish in TPI Lampulo was inaccurate in term of the scale measurement, and rounding of the scales had been practiced to gain more benefits for the traders yet disadvantages the consumers. Furthermore, the fish traders who sell fish in large quantities do not pay attention to the containers when weighing. Fish weighing containers are sometimes wet or dry, a dry container weighing approximately 2.8 kilograms or 3 kilograms for the wet one. The fish traders in TPI lampulo Banda Aceh rounded the weight to 3 kilograms, meaning 0.2 kilograms of loss for consumers. According to some traders, it had become customary. It can be concluded that the process of weighing the fish at TPI Lampulo Banda Aceh was not accurate in term of measuring the scales. \u0000Abstrak: Tempat Pelelangan Ikan di Lampulo Kota Banda Aceh, merupakan tempat yang terbesar di Aceh dimana bongkar muat ikan, namum dengan begitu belum bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen, pedagang dalam menimbang ikan belum jelas keakuratan timbangan sehingga konsumen merasa dirugikan. Dari hasil penelitian ditemukan proses penimbangan ikan di TPI Lampulo tidak akurat takaran timbangannya, dan pembulatan ukuran timbangan sudah menjadi kebiasaan demi mendapatkan keuntungan bagi pedagang yang merugikan konsumen, para pedagang ikan yang menjual ikan dalam jumlah yang banyak ketika melakukan penimbangan tidak memperhatikan wadah tempat penimbangan ikan. Wadah tempat penimbangan ikan kadang kala basah atau kering. Terdapat perbedaan berat wadah yang kering mencapai 2,8 kilogram ketika basah wadah tersebut mencapai 3 kilogram. Para pedagang ikan di TPI lampulo Kota Banda Aceh membulatkan menjadi 3 kilogram terdapat 0,2 kilogram kerugian bagi konsumen. Menurut beberapa pedagang hal tersebut sudah menjadi kebiasan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses penimbangan ikan yang tejadi di TPI Lampulo Banda Aceh tidak akurat takaran timbangan. \u0000Kata kunci: Proses, Timbangan, TPI, Ma’qud ‘Alaih.","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"08 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-02-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124465909","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Principally, each agreement made by the parties expects the parties to conduct their performance as they should. However, there is a discrepancy between theory and practice. If one party in an agreement does not fulfil its obligations properly, then the party is said to have defaulted (breached the contract). The cases of defaults occur in the financing of ARRUM Products in Pegadaian Syariah (sharia pawnshop), the customers are delayed in repayment of the loan instalment, resulted in fines when it is due. The results of the study concluded that the customer and the sharia pawnshop determined the product financing mechanism. Defaults were subject to additional fees, especially for those who do not pay the loan instalments for three consecutive months. The sharia pawnshop had settled the defaults per sharia law by charging additional fees to the customers who can afford to pay the debts but neglect on their obligations. This process is based on the Fatwa of the National Sharia Board-MUI Number 43 of the Year 2004 concerning Compensation (Ta'widh). Abstrak: Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak prinsipnya adalah menghendaki agar para pihak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya, akan tetapi terdapat perbedaan antara teori dan praktiknya, ketika dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dengan semestinya, maka pihak tersebut dikatakan telah wanprestasi (Ingkar Janji). Dalam pembiayaan Produk ARRUM di pegadaian Syariah terdapat kasus wanprestasi. Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah berupa suatu keterlambatan dalam pembayaran angsuran pinjaman, yang mengakibatkan dikenakan denda ketika telah jatuh tempo. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa mekanisme pembiayaan produk telah di tentukan oleh pihak nasabah dengan pihak pegadaian Syariah. Wanprestasi dikenakan biaya tambahan, khususnya bagi yang tidak melaksanakan pembayaran angsuran pinjaman selama 3 bulan secara berturut-turut. Sementara proses penyelesaian wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pegadaian Syariah sudah sesuai dengan hukum Islam dimana pihak pegadaian memberikan biaya tambahan kepada nasabah yang mampu untuk membayar hutang tetapi melalaikan kewajibannya, yang sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No. 43 tahun 2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh). Kata Kunci: Hukum Islam, Wanprestasi, Pegadaian, Produk ARRUM
摘要:当事人订立的每一项协议,原则上都期望当事人履行自己的义务。然而,理论与实践之间存在着差异。如果协议中的一方没有正确履行其义务,那么这一方就被称为违约(违反合同)。违约的情况发生在Pegadaian Syariah(伊斯兰典当行)的ARRUM产品融资中,客户延迟偿还分期贷款,导致到期罚款。研究结果表明,顾客和伊斯兰典当行决定了产品融资机制。违约者需要支付额外的费用,特别是那些连续三个月不支付分期贷款的人。伊斯兰典当行根据伊斯兰教法向有能力偿还债务但不履行义务的客户收取额外费用,从而解决了违约问题。这一进程是基于国家伊斯兰教法委员会2004年关于赔偿(Ta'widh)的第43号法特瓦。摘要:Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak prinsipnya adalah menghendaki agar para pihak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya, akan tetapi terdapat perbedaan antara teori dan praktiknya, ketika dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dengan semestinya, maka pihak tersebut dikatakan telah wanprestasi (Ingkar Janji)。Dalam pembiayaan Produk ARRUM是一名伊斯兰教徒,因为他是一名伊斯兰教徒。本笃-本笃wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah berupa suatu keterlambatan dalam pembayaran angsuran pinjaman, yang mengakibatkan dikenakan dentenda ketika telah jatuh tempo。Hasil penelitian menypulkan bahwa mekanisme pembiayaan产品telah di tentukan oleh pihak nasabah dengan pihak pegadaian伊斯兰教。Wanprestasi dikenakan biaya tambahan, khususnya bagi yang tidak melaksanakan pembayaran angsuran pinjaman selama 3 bulan secara berturut-turut。Sementara propropenyelesaian wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pegadaian Syariah suah sesuai dengan hukum Islam dimana pihak pegadaian memberikan biaya tambahan kepada nasabah yang mampu untuk membayar hutang tetapi melalaikan kewajibannya, yang sesuai dengan Fatwa Dewan ysariah national - mui第43号,2004年12月,tantanganti Rugi (tawidh)。Kata Kunci: Hukum Islam, Wanprestasi, Pegadaian, Produk ARRUM
{"title":"TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PENYELESAIAN WANPRESTASI PRODUK ARRUM DI PEGADAIAN SYARIAH ACEH BESAR.","authors":"Asdi, Edi Darmawijaya, Faisal Fauzan","doi":"10.22373/petita.v3i2.48","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/petita.v3i2.48","url":null,"abstract":"Abstract: Principally, each agreement made by the parties expects the parties to conduct their performance as they should. However, there is a discrepancy between theory and practice. If one party in an agreement does not fulfil its obligations properly, then the party is said to have defaulted (breached the contract). The cases of defaults occur in the financing of ARRUM Products in Pegadaian Syariah (sharia pawnshop), the customers are delayed in repayment of the loan instalment, resulted in fines when it is due. The results of the study concluded that the customer and the sharia pawnshop determined the product financing mechanism. Defaults were subject to additional fees, especially for those who do not pay the loan instalments for three consecutive months. The sharia pawnshop had settled the defaults per sharia law by charging additional fees to the customers who can afford to pay the debts but neglect on their obligations. This process is based on the Fatwa of the National Sharia Board-MUI Number 43 of the Year 2004 concerning Compensation (Ta'widh). \u0000Abstrak: Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak prinsipnya adalah menghendaki agar para pihak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya, akan tetapi terdapat perbedaan antara teori dan praktiknya, ketika dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dengan semestinya, maka pihak tersebut dikatakan telah wanprestasi (Ingkar Janji). Dalam pembiayaan Produk ARRUM di pegadaian Syariah terdapat kasus wanprestasi. Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah berupa suatu keterlambatan dalam pembayaran angsuran pinjaman, yang mengakibatkan dikenakan denda ketika telah jatuh tempo. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa mekanisme pembiayaan produk telah di tentukan oleh pihak nasabah dengan pihak pegadaian Syariah. Wanprestasi dikenakan biaya tambahan, khususnya bagi yang tidak melaksanakan pembayaran angsuran pinjaman selama 3 bulan secara berturut-turut. Sementara proses penyelesaian wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pegadaian Syariah sudah sesuai dengan hukum Islam dimana pihak pegadaian memberikan biaya tambahan kepada nasabah yang mampu untuk membayar hutang tetapi melalaikan kewajibannya, yang sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No. 43 tahun 2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh). \u0000Kata Kunci: Hukum Islam, Wanprestasi, Pegadaian, Produk ARRUM","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"3255 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-01-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127487368","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Region expansion is one of the main keys in providing services to the community, after the establishment of Law Number 22 of the Year 1999 concerning the regional government. This law was established due to problems arose mainly concerning the lack of public services, the extent of territory, territorial borders, ethnic and cultural differences, and unfair development in all regions and others, leading to many problems in the community. The results of this study revealed that region expansion had positive implications in term of social, political and cultural recognition of regional communities. Through the expansion policy, community entities with a long history of cohesiveness and greatness have been recognized as new autonomous regions. This recognition has, in turn, positively contribute to community satisfaction, which ultimately increases the regional support for central governments. It can be concluded that regional expansion policies shorten the geographical distance between citizen settlements and service centers, and narrow the range of control between the local governments and its lower government units. In addition, the expansion enables the government to bring new types of service to the area, such as electricity, water, and health services. Abstrak: Pemekaran daerah merupakan salah satu kunci utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, setelah disahkannya atas UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, lahirnya undang-undang ini dikarenakan adanya permasalahan-permasalahan yang timbul terutama dari segi kurangnya pelayanan publik, luasnya wilayah, batas wilayah, perbedaan suku dan budaya,dan pembangunan yang tidak merata di seluruh daerah dan lain-lain, sehingga menimbulkan banyak permasalahan dalam masyarakat. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemekaran daerah membawa implikasi positif dalam bentuk pengakuan sosial, politik dan kultural masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, sehingga meningkatkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional. Intisari kesimpulan yang dapat diambil adalah Kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya. Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayan baru di Daerah tersebut seperti pelayanan listrik, Air, Kesehatan dan sebagainya. Kata Kunci: Dampak Pemekaran, Pelayanan Publik, Otonomi Khusus
在1999年关于区域政府的第22号法律制定之后,区域扩张是向社区提供服务的主要关键之一。之所以制定这项法律,主要是因为出现了一些问题,包括缺乏公共服务、领土范围、领土边界、种族和文化差异以及所有地区和其他地区的不公平发展,导致了社会上的许多问题。研究结果表明,区域扩张对区域社区的社会、政治和文化认同具有积极的影响。通过扩张政策,具有悠久凝聚力和伟大历史的社区实体被认可为新的自治区。这种认识反过来又积极地促进了社区满意度,最终增加了地区对中央政府的支持。研究认为,区域扩张政策缩短了居民聚落与服务中心之间的地理距离,缩小了地方政府与下级政府单位之间的控制范围。此外,扩建使政府能够为该地区带来新的服务类型,如电力、水和卫生服务。摘要:penekaran daerah merupakan salah satu kunci utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, setelah disahkannya atas UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, lahirnya undang-undang ini dikkarenakan adanya permasalahan-permasalahan yang timbul terutama dari segi kurangnya pelayananpublik, luasnya wilayah, batas wilayah, perbedaan suku dan budaya,dan pembangunan yang tidak merata di seluruh daerah dan lainlain, sehinga menimbulkan banyak permasalahan dalam masyarakat。这句话的意思是:“我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国。”Melalui kebijakan pemekaran, entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru。Pengakuan ini padgilirannya成员kontribusi积极的terhadap kepuasan masyarakat, sehinga meningkatkan dukungan daerah terhadap pemerintah national。Intisari kespulpan yang dapat diambil adalah Kebijakan pemekaran daerah mampu成员perpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, juga member persempit renan kendali antara pememintah daerah dengan unit pememintahan di bawahnya。Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayan baru di Daerah tersebut perperti pelayanan listrik, Air, Kesehatan dan sebagainya。Kata Kunci: Dampak Pemekaran, Pelayanan Publik, Otonomi Khusus
{"title":"DAMPAK PEMEKARAN DAERAH PADA PELAYANAN PUBLIK DITINJAU MENURUT SISTEM HUKUM INDONESIA","authors":"N. Syah","doi":"10.22373/PETITA.V3I2.50","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/PETITA.V3I2.50","url":null,"abstract":"Region expansion is one of the main keys in providing services to the community, after the establishment of Law Number 22 of the Year 1999 concerning the regional government. This law was established due to problems arose mainly concerning the lack of public services, the extent of territory, territorial borders, ethnic and cultural differences, and unfair development in all regions and others, leading to many problems in the community. The results of this study revealed that region expansion had positive implications in term of social, political and cultural recognition of regional communities. Through the expansion policy, community entities with a long history of cohesiveness and greatness have been recognized as new autonomous regions. This recognition has, in turn, positively contribute to community satisfaction, which ultimately increases the regional support for central governments. It can be concluded that regional expansion policies shorten the geographical distance between citizen settlements and service centers, and narrow the range of control between the local governments and its lower government units. In addition, the expansion enables the government to bring new types of service to the area, such as electricity, water, and health services. \u0000Abstrak: Pemekaran daerah merupakan salah satu kunci utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, setelah disahkannya atas UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, lahirnya undang-undang ini dikarenakan adanya permasalahan-permasalahan yang timbul terutama dari segi kurangnya pelayanan publik, luasnya wilayah, batas wilayah, perbedaan suku dan budaya,dan pembangunan yang tidak merata di seluruh daerah dan lain-lain, sehingga menimbulkan banyak permasalahan dalam masyarakat. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemekaran daerah membawa implikasi positif dalam bentuk pengakuan sosial, politik dan kultural masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, sehingga meningkatkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional. Intisari kesimpulan yang dapat diambil adalah Kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya. Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayan baru di Daerah tersebut seperti pelayanan listrik, Air, Kesehatan dan sebagainya. \u0000Kata Kunci: Dampak Pemekaran, Pelayanan Publik, Otonomi Khusus","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-01-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116836680","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Historically, the means of payment has evolved from time to time. The current phenomenon is Bitcoin, claimed by its users as a means of future payments, that have been the major attention of many people, from people in business to students. The research question in this study was how the existence of Bitcoin as a medium of exchange is, and how its existence as a medium of exchange is viewed based on the maqāṣid al-syar 'īyah. This used the literature research method and the maqāṣidī approach by applying the tarjih maslahat method. The existence of Bitcoin as a medium of exchange is considered valid because of the 'urf recognition. However, it requires a legal status from the government because it is related to al-maslahat al-mmāmmah, the mafsadat (damage) value of Bitcoin is higher than its maslahat (benefit) value. Hence, it is concluded that Bitcoin is valid as a medium of exchange. Still, its use must be limited due to the mafsadat (harm) probability that is more dominant at the ḍarūriyyāt (primary needs) level, following the principle of "rejecting the harm is prioritized than realizing the benefit." Abstrak: Berdasarkan sejarah, alat pembayaran dari masa ke masa telah mengalami evolusi, pada saat ini terdapat sebuah fenomena yaitu fenomena Bitcoin yang diklaim oleh para penggunanya sebagai alat pembayaran masa depan yang telah banyak menyita perhatian orang mulai dari kalangan pengusaha hingga mahasiswa. Bitcoin memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan alat pembayaran yang biasa digunakan, di antaranya yaitu sifatnya yang desentralisasi sehingga tidak ada pengendali pusat yang akan ikut campur di dalamnya. Sedangkan pada kebiasaannya, alat pembayaran di suatu wilayah berada di bawah pengawasan pemerintah karena alat pembayaran tergolong kepada kebutuhan primer yang menyangkut kesejahteraan umum. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana eksistensi Bitcoin sebagai alat tukar dan bagaimana keberadaan Bitcoin sebagai alat tukar berdasarkan maqāṣid al-syar‘īyah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan dan pendekatan maqāṣidī dengan menerapkan metode tarjih maslahat. Keberadaan Bitoin sebagai alat tukar dianggap sah karena terdapat pengakuan secara ‘urf. Akan tetapi status sah tersebut perlu mendapatkan pengesahan pemerintah karena terkait dengan al- maslahat al-‘āmmah, nilai mafsadat pada Bitcoin lebih dominan jika dibandingkan dengan nilai maslahatnya. Dari paparan di atas disimpulkan bahwa keberadaan Bitcoin sah sebagai alat tukar, namun penggunaannya merupakan sesuatu yang harus dibatasi karena probabilitas mafsadatnya lebih dominan yang berada pada tingkat ḍarūriyyāt.. Hal ini sesuai dengan kaidah “menolak mafsadat di dahulukan dari pada mewujudkan maslahat.” Keyword: Eksistensi, Bitcoin, Maqāṣid al-Syar‘īyah.
从历史上看,支付手段不时发生变化。目前的现象是比特币,它的用户声称它是未来支付的一种手段,它已经引起了许多人的主要关注,从商界人士到学生。本研究的研究问题是比特币作为交换媒介的存在方式,以及如何基于maqāṣid al-syar ' yah来看待比特币作为交换媒介的存在。本研究采用文献研究法和maqāṣidī方法,采用tarjih maslahat方法。由于“urf认可”,比特币作为交换媒介的存在被认为是有效的。然而,它需要政府的合法地位,因为它与al-maslahat al-mmāmmah有关,比特币的mafsadat(损害)价值高于其maslahat(利益)价值。因此,可以得出结论,比特币作为交换媒介是有效的。然而,它的使用必须受到限制,因为在ḍarūriyyāt(主要需求)层面上,mafsadat(伤害)的可能性更占主导地位,遵循“拒绝伤害优先于实现利益”的原则。摘要:Berdasarkan sejarah, alat pembayaran dari masa ke masa telah mengalami evolusi, pada saat ini terdapat sebuah现象,yitu现象,比特币yang diklaim oleh para penggunanya sebagai alat pembayaran masa depan yang telah banyak menyita perhatian orang mulai dari kalangan pengusaha hinga mahasiswa。比特币memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan alat pembayaran yang biasa digunakan, diantaranya yitu sitfatnya yang desentralisasi seingga tiak ada pengendali pusat yang akan ikut campur di dalamnya。我是说,我的儿子,我的儿子,我的儿子,我的儿子,我的儿子,我的儿子,我的儿子,我的儿子,我的儿子,我的儿子,我的儿子。Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana eksistensi比特币sebagai alat tukar dan bagaimana keberadaan比特币sebagai alat tukar berdasarkan maqāṣid al-syar ' ?Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan dan pendekatan maqāṣidī dengan menerapkan metode tarjih maslahat。Keberadaan比特币sebagai alat tukar dianggap sah karena terdapat pengakuan secara ' urf。Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin Bitcoin比特币,比特币,比特币,比特币,比特币,比特币Hal ini sesuai dengan kaidah " menolak mafsadat di dahulukan dari pada mewujudkan maslahat "。关键词:Eksistensi,比特币,Maqāṣid al-Syar '
{"title":"EKSISTENSI BITCOIN DALAM PERSPEKTIF MAQĀṢID AL-SYAR‘ĪYAH","authors":"Dara, Jabbar Sabil, Syarifuddin Usman","doi":"10.22373/petita.v3i2.45","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/petita.v3i2.45","url":null,"abstract":"Historically, the means of payment has evolved from time to time. The current phenomenon is Bitcoin, claimed by its users as a means of future payments, that have been the major attention of many people, from people in business to students. The research question in this study was how the existence of Bitcoin as a medium of exchange is, and how its existence as a medium of exchange is viewed based on the maqāṣid al-syar 'īyah. This used the literature research method and the maqāṣidī approach by applying the tarjih maslahat method. The existence of Bitcoin as a medium of exchange is considered valid because of the 'urf recognition. However, it requires a legal status from the government because it is related to al-maslahat al-mmāmmah, the mafsadat (damage) value of Bitcoin is higher than its maslahat (benefit) value. Hence, it is concluded that Bitcoin is valid as a medium of exchange. Still, its use must be limited due to the mafsadat (harm) probability that is more dominant at the ḍarūriyyāt (primary needs) level, following the principle of \"rejecting the harm is prioritized than realizing the benefit.\" \u0000Abstrak: Berdasarkan sejarah, alat pembayaran dari masa ke masa telah mengalami evolusi, pada saat ini terdapat sebuah fenomena yaitu fenomena Bitcoin yang diklaim oleh para penggunanya sebagai alat pembayaran masa depan yang telah banyak menyita perhatian orang mulai dari kalangan pengusaha hingga mahasiswa. Bitcoin memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan alat pembayaran yang biasa digunakan, di antaranya yaitu sifatnya yang desentralisasi sehingga tidak ada pengendali pusat yang akan ikut campur di dalamnya. Sedangkan pada kebiasaannya, alat pembayaran di suatu wilayah berada di bawah pengawasan pemerintah karena alat pembayaran tergolong kepada kebutuhan primer yang menyangkut kesejahteraan umum. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana eksistensi Bitcoin sebagai alat tukar dan bagaimana keberadaan Bitcoin sebagai alat tukar berdasarkan maqāṣid al-syar‘īyah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan dan pendekatan maqāṣidī dengan menerapkan metode tarjih maslahat. Keberadaan Bitoin sebagai alat tukar dianggap sah karena terdapat pengakuan secara ‘urf. Akan tetapi status sah tersebut perlu mendapatkan pengesahan pemerintah karena terkait dengan al- maslahat al-‘āmmah, nilai mafsadat pada Bitcoin lebih dominan jika dibandingkan dengan nilai maslahatnya. Dari paparan di atas disimpulkan bahwa keberadaan Bitcoin sah sebagai alat tukar, namun penggunaannya merupakan sesuatu yang harus dibatasi karena probabilitas mafsadatnya lebih dominan yang berada pada tingkat ḍarūriyyāt.. Hal ini sesuai dengan kaidah “menolak mafsadat di dahulukan dari pada mewujudkan maslahat.” \u0000Keyword: Eksistensi, Bitcoin, Maqāṣid al-Syar‘īyah.","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-01-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127695481","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Qonita Royani Salpina, Rusjdi Ali Muhammad, Yenny Sriwahyuni
Abstract: The Helsinki MoU between the Indonesian Government and the Aceh Free Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) aimed to resolve the Aceh conflict peacefully. The Helsinki MoU agreement mandated to form the law on the governing of Aceh (UUPA), and this law should accommodate the contents of the agreement. The research problem was what the position of the Helsinki MoU in establishing UUPA is and whether the establishment of UUPA adhered to the technical procedures of establishing laws and regulations. The results showed that the Helsinki MoU was the forerunner in the establishment of UUPA as mandated in the Helsinki MoU agreement terms. Some terms of the agreement had been accommodated in UUPA, while some were not accommodated or not explicitly regulated in the UUPA. In theory, the considerations should include the background for the establishment of laws and regulations, and they must contain the sociological basis as one of the absolute foundations that should be present in every law. Regarding the technical procedure of the law establishment, the establishment of UUPA had met the technical procedures of the laws and regulations as stipulated in law number 10 of the Year 2004, concerning the establishment of laws and regulations. Abstrak: MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM bertujuan untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai. Pada poin perjanjian MoU Helsinki diamanatkan untuk membentuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh, dan diharapkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat mengakomodir isi perjanjian tersebut. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan MoU Helsinki dalam pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh serta apakah pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan teknis pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan MoU Helsinki pada pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh merupakan cikal bakal dibentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagaimana telah diamanatkan pada poin perjanjian MoU Helsinki. Sebahagian ketentuan perjanjian telah diakomodir dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, namun ada beberapa ketentuan MoU Helsinki yang tidak diakomodir atau tidak tegas diatur dalam UUPA. Secara teori seharusnya dalam konsideran memuat latar belakang dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan, dan konsideran haruslah memuat landasan sosiologis sebagai salah satu landasan yang mutlak dan seharusnya ada dalam setiap undang-undang. Mengenai teknis pembentukan undang-undang, maka pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kata Kunci: MoU Helsinki, UUPA, dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keywords: HELSINKI MOU, UUPA, AND THE ESTABLISHMENT OF LAWS AND REGULATIONS.
摘要:印尼政府与亚齐自由运动(Gerakan Aceh Merdeka, GAM)签署的赫尔辛基谅解备忘录旨在和平解决亚齐冲突。《赫尔辛基谅解备忘录》协议授权制定亚齐省管治法(UUPA),该法律应适应协议的内容。研究的问题是赫尔辛基谅解备忘录在建立UUPA方面的立场是什么,UUPA的建立是否遵循了制定法律法规的技术程序。结果表明,赫尔辛基谅解备忘录是赫尔辛基谅解备忘录协议条款授权建立UUPA的先驱。协定的一些条款已纳入UUPA,而有些则未纳入UUPA或未明确规定。从理论上讲,这些考虑应该包括法律法规制定的背景,它们必须包含社会学基础,作为每一部法律应该存在的绝对基础之一。关于建立法律的技术程序,UUPA的建立符合2004年关于建立法律和法规的第10号法律规定的法律和法规的技术程序。摘要:MoU赫尔辛基antara peremerintah RI dan GAM bertujuan untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai。Pada point perjanjian MoU赫尔辛基diamanatkan untuk membentuk Undang-Undang Pemerintahan亚齐,dandiharapkan Undang-Undang Pemerintahan亚齐dapat mengakomodir is perjanjian tersebut。【翻译】【翻译】【翻译】【翻译】【翻译】【翻译】【翻译】【翻译】【翻译】Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan MoU赫尔辛基pada pembentukan Undang-Undang Pemerintahan亚齐merupakan cikal bakal dibentuknya Undang-Undang Pemerintahan亚齐sebagaimana telah diamanatkan pada point perjanjian MoU赫尔辛基。Sebahagian ketentuan perjanjian telah diakomodir dalam Undang-Undang Pemerintahan亚齐namun ada beberapa ketentuan备忘录赫尔辛基杨有些diakomodir atau有些tegas diatur dalam UUPA。这句话的意思是:“我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。”Mengenai teknis pembentukan undang-undang, maka pembentukan undang-undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat pundang -undang 2004年10月10日Kata Kunci: MoU赫尔辛基,UUPA, dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan。关键词:赫尔辛基谅解备忘录,UUPA,法律法规的建立。
{"title":"KEDUDUKAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MOU) HELSINKI DALAM PEMBENTUKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH","authors":"Qonita Royani Salpina, Rusjdi Ali Muhammad, Yenny Sriwahyuni","doi":"10.22373/petita.v3i1.34","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/petita.v3i1.34","url":null,"abstract":"Abstract: The Helsinki MoU between the Indonesian Government and the Aceh Free Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) aimed to resolve the Aceh conflict peacefully. The Helsinki MoU agreement mandated to form the law on the governing of Aceh (UUPA), and this law should accommodate the contents of the agreement. The research problem was what the position of the Helsinki MoU in establishing UUPA is and whether the establishment of UUPA adhered to the technical procedures of establishing laws and regulations. The results showed that the Helsinki MoU was the forerunner in the establishment of UUPA as mandated in the Helsinki MoU agreement terms. Some terms of the agreement had been accommodated in UUPA, while some were not accommodated or not explicitly regulated in the UUPA. In theory, the considerations should include the background for the establishment of laws and regulations, and they must contain the sociological basis as one of the absolute foundations that should be present in every law. Regarding the technical procedure of the law establishment, the establishment of UUPA had met the technical procedures of the laws and regulations as stipulated in law number 10 of the Year 2004, concerning the establishment of laws and regulations. \u0000Abstrak: MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM bertujuan untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai. Pada poin perjanjian MoU Helsinki diamanatkan untuk membentuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh, dan diharapkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat mengakomodir isi perjanjian tersebut. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan MoU Helsinki dalam pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh serta apakah pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan teknis pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan MoU Helsinki pada pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh merupakan cikal bakal dibentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagaimana telah diamanatkan pada poin perjanjian MoU Helsinki. Sebahagian ketentuan perjanjian telah diakomodir dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, namun ada beberapa ketentuan MoU Helsinki yang tidak diakomodir atau tidak tegas diatur dalam UUPA. Secara teori seharusnya dalam konsideran memuat latar belakang dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan, dan konsideran haruslah memuat landasan sosiologis sebagai salah satu landasan yang mutlak dan seharusnya ada dalam setiap undang-undang. Mengenai teknis pembentukan undang-undang, maka pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. \u0000Kata Kunci: MoU Helsinki, UUPA, dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. \u0000Keywords: HELSINKI MOU, UUPA, AND THE ESTABLISHMENT OF LAWS AND REGULATIONS.","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-01-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129987972","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ulema agrees on two pieces of adultery evidence, namely confession and four witnesses. Today, DNA test evidence is also considered to be accurate in determining someone committing adultery. Aceh Qanun Number 6 of the Year 2014 concerning Law of Jinayat (criminal law) has included DNA test as evidence to replace the four witnesses. This research was conducted using a literature study approach with the juridical-analysis method. The results confirmed that Acehnese People want clear and constitutional rules regarding law enforcement, following up the privileges granted by the central government in establishing sharia law. The DNA test results can be used as evidence to replace four witnesses. Based on sharia law, the adultery can be proved by two alternative pieces of evidence, iqrār (admission/confession) and shahadah (testimony of witnesses). However, DNA test is not mentioned clearly in the Qur’an, hadith or the opinions of scholars. In sharia law, a DNA test can be included as the type of supporting and additional evidence like pregnancy and childbirth beyond the minimum pregnancy limit. The supporting and additional evidence, such as the DNA result cannot replace the four witnesses. Abstrak: Terdapat dua alat bukti zina yang telah disepakati oleh ulama, yaitu pengakuan dan empat orang saksi. Dewasa ini, terdapat alat bukti lain yang dipandang akurat menetapkan seseorang berbuat zina, yaitu bukti test DNA. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat telah memasukkan test DNA sebagai alat bukti pengganti empat orang saksi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi pustaka dengan metode analisis-yuridis. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa masyarakat Aceh menginginkan adanya aturan yang jelas dan konstitusional tentang penegakan hukum, sebagai tindak lanjut dari keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam menegakkan syari’at Islam. Hasil test DNA tersebut bisa menjadi alat bukti untuk menggantikan empat orang saksi. Menurut Hukum Islam pembuktian zina dapat dilakukan dengan dua alat bukti yaitu iqrār dan syahadah. Kedua alat bukti ini bersifat alternatif. Sementara test DNA tidak disebutkan secara pasti dalam Alquran dan hadis serta pendapat ulama. Test DNA dalam hukum Islam bisa masuk dalam jenis alat bukti pendukung dan tambahan seperti halnya kehamilan dan kelahiran anak di luar batas minimal kehamilan. Alat bukti pendukung dan tambahan seperti hasil test DNA tidak bisa menggantikan empat orang saksi. Kata Kunci: Tes DNA, Alat Bukti Pengganti, Empat Orang Saksi, Qanun Jinayah
乌勒玛同意两项通奸证据,即供词和四名证人。今天,DNA测试证据也被认为是确定某人犯通奸罪的准确证据。亚齐省2014年第6号关于《刑法》的决议将DNA测试作为取代四名证人的证据。本研究采用文献研究法和司法分析法进行。调查结果证实,亚齐人民希望在执法方面有明确的宪法规定,遵循中央政府在制定伊斯兰教法时给予的特权。DNA检测结果可以作为替代四名证人的证据。根据伊斯兰教法,通奸可以通过两种替代证据来证明,iqrār(承认/忏悔)和shahadah(证人证词)。然而,在古兰经、圣训和学者们的观点中,DNA测试并没有被明确提及。在伊斯兰教法中,DNA测试可以作为支持和额外的证据,如怀孕和分娩超过最低怀孕限制。支持和补充证据,如DNA结果,不能取代四名证人。摘要:Terdapat dua alat bukti zina yang telah disepakati oleh ulama, yitu pengakuan and empat orang saksi。Dewasa ini, terpatat bukti, yandipandang, akurat menetapkan, sesorang berkina, yitu bukti测试DNA。Qanun Aceh noor 6 Tahun 2014 tenang Hukum Jinayat telah memasukkan测试DNA sebagai alat bukti pengganti empat orang saksi。Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan研究pustaka dengan方法分析-yuridis。Hasil penelitian ini menegaskan bahwa步伐亚齐menginginkan adanya aturan杨jela丹konstitusional tentang penegakan hukum, sebagai tindak lanjut达里语keistimewaan杨diberikan oleh pokalchuk pemerintah pusat dalam menegakkan syari特伊斯兰教。哈西尔测试了DNA序列,但比萨·曼加迪·阿拉特·孟甘提克·奥古斯塔克·奥古斯塔克。menuut Hukum Islam pembuktian zina dapat dilakukan dengan dua alat bukti yitu iqrār dan syahadah。Kedua警告bukti,这是一个非常好的选择。Sementara测试DNA,以确定disebutkan secara pasti dalam古兰经和hadis serta pendapat ulama。测试DNA dalam hukum Islam bisa masuk dalam jenis alat bukti pendukung dan tambahan seperti halnya kehamilan dan kelahiran anak di luar batas minimal kehamilan。Alat bukti pendukung dan tambahan seperil test DNA (DNA测试)Kata Kunci: Tes DNA, Alat Bukti Pengganti, Empat Orang Saksi, Qanun Jinayah
{"title":"TES DNA SEBAGAI ALAT BUKTI PENGGANTI EMPAT ORANG SAKSI","authors":"Era Fadli, Mursyid Djawas, Syarifah Rahmatillah","doi":"10.22373/petita.v3i1.28","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/petita.v3i1.28","url":null,"abstract":"Ulema agrees on two pieces of adultery evidence, namely confession and four witnesses. Today, DNA test evidence is also considered to be accurate in determining someone committing adultery. Aceh Qanun Number 6 of the Year 2014 concerning Law of Jinayat (criminal law) has included DNA test as evidence to replace the four witnesses. This research was conducted using a literature study approach with the juridical-analysis method. The results confirmed that Acehnese People want clear and constitutional rules regarding law enforcement, following up the privileges granted by the central government in establishing sharia law. The DNA test results can be used as evidence to replace four witnesses. Based on sharia law, the adultery can be proved by two alternative pieces of evidence, iqrār (admission/confession) and shahadah (testimony of witnesses). However, DNA test is not mentioned clearly in the Qur’an, hadith or the opinions of scholars. In sharia law, a DNA test can be included as the type of supporting and additional evidence like pregnancy and childbirth beyond the minimum pregnancy limit. The supporting and additional evidence, such as the DNA result cannot replace the four witnesses. \u0000Abstrak: Terdapat dua alat bukti zina yang telah disepakati oleh ulama, yaitu pengakuan dan empat orang saksi. Dewasa ini, terdapat alat bukti lain yang dipandang akurat menetapkan seseorang berbuat zina, yaitu bukti test DNA. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat telah memasukkan test DNA sebagai alat bukti pengganti empat orang saksi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi pustaka dengan metode analisis-yuridis. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa masyarakat Aceh menginginkan adanya aturan yang jelas dan konstitusional tentang penegakan hukum, sebagai tindak lanjut dari keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam menegakkan syari’at Islam. Hasil test DNA tersebut bisa menjadi alat bukti untuk menggantikan empat orang saksi. Menurut Hukum Islam pembuktian zina dapat dilakukan dengan dua alat bukti yaitu iqrār dan syahadah. Kedua alat bukti ini bersifat alternatif. Sementara test DNA tidak disebutkan secara pasti dalam Alquran dan hadis serta pendapat ulama. Test DNA dalam hukum Islam bisa masuk dalam jenis alat bukti pendukung dan tambahan seperti halnya kehamilan dan kelahiran anak di luar batas minimal kehamilan. Alat bukti pendukung dan tambahan seperti hasil test DNA tidak bisa menggantikan empat orang saksi. \u0000Kata Kunci: Tes DNA, Alat Bukti Pengganti, Empat Orang Saksi, Qanun Jinayah","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"134 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-01-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123223648","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The Constitutional Court decision in 2010 on the recognition of Siri, an unofficial, unregistered marriage ignited debate in Indonesian society. Even though the main reason of the recognition of Siri is to protect children born from this marriage, allowing Siri marriage will broaden the legal spectrum in the Indonesian Marriage Law and potentially causes legal uncertainty for the perpetrators. It may be argued that the decision is to negotiate legal sources that affect the norms in the marriage law. Yet, this decision has the both positive and negative social impacts. The positive impact of the approval of Siri marriage is the children born from such practices will be able to obtain financial, biological, and psychological protection. The negative impact of the decision is that more Siri marriages in the community will lead to increasingly complex social and legal problems. If the women involved in the marriages have insufficient financial capacity and adequate knowledge, they will be very dependent on their husbands. In the event of a divorce, these women will face more serious psychological and financial problems after marriage. Abstrak: Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 tentang pengakuan pernikahan Siri, yaitu pernikahan yang tidak resmi dan tidak terdaftar memicu perdebatan di masyarakat Indonesia. Meskipun alasan utama pengakuan pernikahan siri adalah untuk melindungi anak-anak yang lahir dari pernikahan ini, perizinan pernikahan siri akan memperluas spektrum hukum dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan Indonesia, dan berpotensi menyebabkan keraguan hukum bagi para pelaku. Dapat dikatakan bahwa keputusan ini adalah untuk menegosiasikan sumber hukum yang mempengaruhi norma-norma dalam hukum perkawinan. Namun, keputusan ini memiliki dampak sosial positif dan negatif. Dampak positif dari persetujuan pernikahan siri yaitu anak-anak yang lahir dari pernikahan ini dapat memperoleh perlindungan secara finansial, biologis, dan psikologis. Sedangkan dampak negatif dari keputusan ini adalah semakin banyaknya pernikahan siri di masyarakat yang akan menimbulkan masalah sosial dan hukum yang semakin kompleks. Jika para wanita yang terlibat dalam pernikahan ini memiliki kapasitas keuangan dan pengetahuan yang tidak memadai, mereka akan sangat bergantung pada suami. Jika terjadi perceraian, para wanita ini akan menghadapi masalah psikologis dan keuangan yang lebih serius. Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Hak Perempuan, Perkawinan, Pluralisme Hukum di Indonesia
2010年,印尼宪法法院(Constitutional Court)就承认未经登记的非正式婚姻Siri的裁决在印尼社会引发了争论。虽然承认Siri的主要原因是为了保护这段婚姻中出生的孩子,但允许Siri结婚将扩大印尼婚姻法的法律范围,并可能给犯罪者带来法律上的不确定性。有人可能会认为,这一决定是为了协商影响婚姻法规范的法律来源。然而,这一决定既有积极的社会影响,也有消极的社会影响。批准Siri婚姻的积极影响是,这样的做法所生的孩子将能够获得经济、生理和心理上的保护。该决定的负面影响是,社区中更多的Siri婚姻将导致越来越复杂的社会和法律问题。如果参与婚姻的妇女没有足够的经济能力和足够的知识,她们将非常依赖丈夫。如果离婚,这些女性在婚后将面临更严重的心理和经济问题。摘要:Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 tentang pengakuan pernikahan Siri, yitu pernikahan yang tidak resmi dan tidak terdaftar memicu perdebatan di masyarakat Indonesia。Meskipun alasan utama pengakuan pernikahan siri adalah untuk melindungi anak-anak yang lahir dari pernikahan ini, perizinan pernikahan siri akan (UU) Perkawinan Indonesia, dan berpotensi menyebabkan keraguan hukum bagi para pelaku。在这里,我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是:Namun, keputusan ini memoriliki danpak社会正与负。Dampak positif dari persetujuan pernikahan siri yitu anak-anak yang lahir dari pernikahan ini dapat memperoleh perlindungan secara金融,生物学,心理学。这句话的意思是:“Sedangkan dampak negative - dari keputusan ini adalah semakin banyaknya pernikahan siri di masyarakat yang akan menimbulkan masalah social dan hukum yang semakin kompleks”。Jika para wanita yang terlibat dalam pernikahan ini memoriliki kapasitas keuangan dan pengetahuan yang tidak memadai, mereka akan sangat bergantung paada suami。[j] [j] [j] [j] [j] [j] [j] [j] [j]。Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Hak Perempuan, Perkawinan, Pluralisme Hukum di Indonesia
{"title":"WOMEN, ISLAM, AND MODERN FAMILY CONSTRUCTION IN THE PERSPECTIVES OF LEGAL PLURALISM IN INDONESIA","authors":"Alkhanif","doi":"10.22373/petita.v4i2.24","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/petita.v4i2.24","url":null,"abstract":"The Constitutional Court decision in 2010 on the recognition of Siri, an unofficial, unregistered marriage ignited debate in Indonesian society. Even though the main reason of the recognition of Siri is to protect children born from this marriage, allowing Siri marriage will broaden the legal spectrum in the Indonesian Marriage Law and potentially causes legal uncertainty for the perpetrators. It may be argued that the decision is to negotiate legal sources that affect the norms in the marriage law. Yet, this decision has the both positive and negative social impacts. The positive impact of the approval of Siri marriage is the children born from such practices will be able to obtain financial, biological, and psychological protection. The negative impact of the decision is that more Siri marriages in the community will lead to increasingly complex social and legal problems. If the women involved in the marriages have insufficient financial capacity and adequate knowledge, they will be very dependent on their husbands. In the event of a divorce, these women will face more serious psychological and financial problems after marriage. \u0000Abstrak: Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 tentang pengakuan pernikahan Siri, yaitu pernikahan yang tidak resmi dan tidak terdaftar memicu perdebatan di masyarakat Indonesia. Meskipun alasan utama pengakuan pernikahan siri adalah untuk melindungi anak-anak yang lahir dari pernikahan ini, perizinan pernikahan siri akan memperluas spektrum hukum dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan Indonesia, dan berpotensi menyebabkan keraguan hukum bagi para pelaku. Dapat dikatakan bahwa keputusan ini adalah untuk menegosiasikan sumber hukum yang mempengaruhi norma-norma dalam hukum perkawinan. Namun, keputusan ini memiliki dampak sosial positif dan negatif. Dampak positif dari persetujuan pernikahan siri yaitu anak-anak yang lahir dari pernikahan ini dapat memperoleh perlindungan secara finansial, biologis, dan psikologis. Sedangkan dampak negatif dari keputusan ini adalah semakin banyaknya pernikahan siri di masyarakat yang akan menimbulkan masalah sosial dan hukum yang semakin kompleks. Jika para wanita yang terlibat dalam pernikahan ini memiliki kapasitas keuangan dan pengetahuan yang tidak memadai, mereka akan sangat bergantung pada suami. Jika terjadi perceraian, para wanita ini akan menghadapi masalah psikologis dan keuangan yang lebih serius. \u0000Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Hak Perempuan, Perkawinan, Pluralisme Hukum di Indonesia","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129360516","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This study investigates the matter of the compatibility between International Humanitarian Law and Islamic concept of Jihad. The proponents of the theory of the acceptability of International Humanitarian Law in an Islamic context have been presenting the similarities between International Humanitarian Law and Islam. The opponents have been trying to point out the differences between International Humanitarian Law and Islam, especially on the violent concept of Jihad. This study looks at the theories of the existence or non-existence of a fundamental conflict between International Humanitarian Law and Islam by analysing the views of different schools of thoughts and rules of International Humanitarian Law in the context of Islamic Law of War (Jihad). The lack of the availability of a satisfactory study on the matter provides justification for the present study that aims to address the gap by making an important contribution to the knowledge in this area. The data for this study has been collected by using both primary and secondary sources of data collection. The primary data has been collected through this study. The available literature on the same topic has been collected as secondary data through libraries, books, journals, articles and using the internet sources. The analyses of the data lead us to the point where the relationship between International Humanitarian Law and Islam becomes clear and an assessment is made about the compatibility of International Humanitarian Law with Islam, on the Islamic concept of Jihad, that rejects the existence of a fundamental conflict between International Humanitarian Law and Islam.
{"title":"COMPATABILITY BETWEEN INTERNATIONAL HUMANITARIAN LAW AND ISLAMIC LAW OR WAR (JIHAD)","authors":"Faiz Faiz Bakhsh","doi":"10.22373/PETITA.V4I1.11","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/PETITA.V4I1.11","url":null,"abstract":"This study investigates the matter of the compatibility between International Humanitarian Law and Islamic concept of Jihad. The proponents of the theory of the acceptability of International Humanitarian Law in an Islamic context have been presenting the similarities between International Humanitarian Law and Islam. The opponents have been trying to point out the differences between International Humanitarian Law and Islam, especially on the violent concept of Jihad. This study looks at the theories of the existence or non-existence of a fundamental conflict between International Humanitarian Law and Islam by analysing the views of different schools of thoughts and rules of International Humanitarian Law in the context of Islamic Law of War (Jihad). The lack of the availability of a satisfactory study on the matter provides justification for the present study that aims to address the gap by making an important contribution to the knowledge in this area. \u0000The data for this study has been collected by using both primary and secondary sources of data collection. The primary data has been collected through this study. The available literature on the same topic has been collected as secondary data through libraries, books, journals, articles and using the internet sources. The analyses of the data lead us to the point where the relationship between International Humanitarian Law and Islam becomes clear and an assessment is made about the compatibility of International Humanitarian Law with Islam, on the Islamic concept of Jihad, that rejects the existence of a fundamental conflict between International Humanitarian Law and Islam.","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128187936","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This paper discusses the implementation of Islamic Criminal Law in Malaysia from the human rights perspectives. It looks at Syariah Criminal Offences Enactments and Syariah Criminal Procedure Enactments of States forming the Federation, and deals with the issues of the victimless Syariah offences of khalwat, fornication and drinking intoxicants, determining whether such criminalization is compatible with human rights. Discussion also deals with the issues of sanction and procedures, in finding out the extent to which Malaysia is complying with its International Human Rights Law obligations, if there is any. This paper finds that the Syariah statutory provisions are compatible with the human rights concept. In some extends, Syariah law can explore law uncertainty, because referring to God’s law not nature law. Most of human rights concept have come from the philosophy of nature law. Thus, the approach of nature law will always change depending of time period. However, Syariah law need to improve the training of religious enforcement officers on how to carry out their duties.
{"title":"HUMAN RIGHTS PERSPECTIVES ON ISSUES IN THE IMPLEMENTATION OF ISLAMIC CRIMINAL LAW IN MALAYSIA","authors":"Mohd Hisham Mohd Kamal","doi":"10.22373/PETITA.V4I1.5","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/PETITA.V4I1.5","url":null,"abstract":" This paper discusses the implementation of Islamic Criminal Law in Malaysia from the human rights perspectives. It looks at Syariah Criminal Offences Enactments and Syariah Criminal Procedure Enactments of States forming the Federation, and deals with the issues of the victimless Syariah offences of khalwat, fornication and drinking intoxicants, determining whether such criminalization is compatible with human rights. Discussion also deals with the issues of sanction and procedures, in finding out the extent to which Malaysia is complying with its International Human Rights Law obligations, if there is any. This paper finds that the Syariah statutory provisions are compatible with the human rights concept. In some extends, Syariah law can explore law uncertainty, because referring to God’s law not nature law. Most of human rights concept have come from the philosophy of nature law. Thus, the approach of nature law will always change depending of time period. However, Syariah law need to improve the training of religious enforcement officers on how to carry out their duties.","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"376 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115988480","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Child rights has become global concern, indicated from several law instruments which legislated by several countries in the world. In international context, United Nations has created several laws, including protocols and resolutions to protect rights of children. Those laws have consisted of soft-law which sometimes having no hard sanctions. In Indonesian context, there are a number of law instruments protecting child rights such as Law of Child Protection. However, the Law have not fully covered the implementation of Islamic law in Aceh. A number of Qanun (bylaws) in Aceh have not specifically protected child rights. There are still a lot of norms in Islamic criminal law not defining child rights. In Islamic law, Al-Quran and Prophet Muhammad have paid serious attention on children rights. Islamic law has given greatest care to safeguarding all that is needed to guarantee a wholesome psychological climate for the rearing of children, an environment wherein they learn about the world formulate their norms and behaviour.
{"title":"THE CHILD RIGHTS IN ISLAMIC LAW WITH A SPECIAL FOCUS ON ACEH","authors":"A. Sarong","doi":"10.22373/PETITA.V4I1.10","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/PETITA.V4I1.10","url":null,"abstract":"Child rights has become global concern, indicated from several law instruments which legislated by several countries in the world. In international context, United Nations has created several laws, including protocols and resolutions to protect rights of children. Those laws have consisted of soft-law which sometimes having no hard sanctions. In Indonesian context, there are a number of law instruments protecting child rights such as Law of Child Protection. However, the Law have not fully covered the implementation of Islamic law in Aceh. A number of Qanun (bylaws) in Aceh have not specifically protected child rights. There are still a lot of norms in Islamic criminal law not defining child rights. In Islamic law, Al-Quran and Prophet Muhammad have paid serious attention on children rights. Islamic law has given greatest care to safeguarding all that is needed to guarantee a wholesome psychological climate for the rearing of children, an environment wherein they learn about the world formulate their norms and behaviour.","PeriodicalId":231408,"journal":{"name":"PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH","volume":"15 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126963715","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}