Dalam Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 terjadi pelanggaran prinsip independensi hakim yang diatur dalam kode etik dan perilaku hakim MK yang merujuk kepada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”, disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku. Berdasarkan permasalahan yang ada membuktikan bahwasannya dalam proses penetapan Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia capres dan cawapres adanya sebuah kecacatan hukum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui independensi hakim MK dalam putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 dan pengaruh dari pelanggaran kode etik oleh hakim MK terhadap putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia capres dan cawapres. Metode penelitian yang digunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Hasil penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa adanya pelanggaran kode etik hakim pada Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia capres dan cawapres terkait prinsip independensi dan ketidakberpihakan. Dan adanya pelanggaran kode etik dalam Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 tidak mempengaruhi keberlakuan putusan tersebut yang artinya putusan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan karena sifatnya final.
{"title":"Analisis Pengaruh Pelanggaran Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Terhadap Putusan Yang Di Tetapkan","authors":"Hafizatul Ulum, Sukarno","doi":"10.36679/ulr.v6i2.60","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.60","url":null,"abstract":"Dalam Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 terjadi pelanggaran prinsip independensi hakim yang diatur dalam kode etik dan perilaku hakim MK yang merujuk kepada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”, disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku. Berdasarkan permasalahan yang ada membuktikan bahwasannya dalam proses penetapan Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia capres dan cawapres adanya sebuah kecacatan hukum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui independensi hakim MK dalam putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 dan pengaruh dari pelanggaran kode etik oleh hakim MK terhadap putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia capres dan cawapres. Metode penelitian yang digunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Hasil penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa adanya pelanggaran kode etik hakim pada Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia capres dan cawapres terkait prinsip independensi dan ketidakberpihakan. Dan adanya pelanggaran kode etik dalam Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 tidak mempengaruhi keberlakuan putusan tersebut yang artinya putusan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan karena sifatnya final.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"3 12","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139130457","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ammar Surya Sorimuda Lubis, Gusti Ayu Ratih Damayanti, Sri Karyati
Dimulai dari 2019 pemilu serentak diadakan di Indonesia yakni antara legislatif dan eksekutif dipilih oleh masyarakat secara bersamaan. Keberadaan ketentuan Presidential threshold sebagai syarat partai politik untuk mengajukan kandidat capres dan cawapres yang masih diterapkan di pemilu serentak menimbulkan kerancuan dalam mekanismenya, hal yang dipermasalahkan adalah bahwa ketentuan didalam pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 menyatakan bahwa partai politik baru boleh mengajukan capres dan cawapresnya ketika sudah memenuhi kursi parlemen 20% atau suara sah nasional 25% “pada pemilu legislatif sebelumnya”. Ketentuan perolehan suara untuk partai politik pada pemilu sebelumnya menjadi berubah karna pemilu yang diadakan menjadi serentak antara legislatif dan eksekutif, hal ini yang menjadi kabur terhadap norma yang ada. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan Presidential threshold dalam hukum positif Indonesia dan untuk mengetahui implikasi Presidential threshold dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Ketentuan Presidential threshold merupakan media bagi pemerintah untuk menyderhanakan partai politik sebagai pendukung stabilitas sistem presidensil dan kepemerintahan, Namun sayangnya ketentuan Presidential threshold menciderai hak yang telah dilindungi oleh negara didalam Konstitusi Undang-undang Dasar 1945, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Selain itu mekanisme pengambilan hasil suara untuk penentuan presidential threshold tidak sejalan dengan prinsip keberlangsung pemilu yaitu prinsip “langsung”, maka hal ini menjadikan presidential threshold tidak relevan di pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia.
{"title":"Ambang Batas Presiden Pada Pemilihan Umum Serentak","authors":"Ammar Surya Sorimuda Lubis, Gusti Ayu Ratih Damayanti, Sri Karyati","doi":"10.36679/ulr.v6i2.58","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.58","url":null,"abstract":"Dimulai dari 2019 pemilu serentak diadakan di Indonesia yakni antara legislatif dan eksekutif dipilih oleh masyarakat secara bersamaan. Keberadaan ketentuan Presidential threshold sebagai syarat partai politik untuk mengajukan kandidat capres dan cawapres yang masih diterapkan di pemilu serentak menimbulkan kerancuan dalam mekanismenya, hal yang dipermasalahkan adalah bahwa ketentuan didalam pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 menyatakan bahwa partai politik baru boleh mengajukan capres dan cawapresnya ketika sudah memenuhi kursi parlemen 20% atau suara sah nasional 25% “pada pemilu legislatif sebelumnya”. Ketentuan perolehan suara untuk partai politik pada pemilu sebelumnya menjadi berubah karna pemilu yang diadakan menjadi serentak antara legislatif dan eksekutif, hal ini yang menjadi kabur terhadap norma yang ada. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan Presidential threshold dalam hukum positif Indonesia dan untuk mengetahui implikasi Presidential threshold dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Ketentuan Presidential threshold merupakan media bagi pemerintah untuk menyderhanakan partai politik sebagai pendukung stabilitas sistem presidensil dan kepemerintahan, Namun sayangnya ketentuan Presidential threshold menciderai hak yang telah dilindungi oleh negara didalam Konstitusi Undang-undang Dasar 1945, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Selain itu mekanisme pengambilan hasil suara untuk penentuan presidential threshold tidak sejalan dengan prinsip keberlangsung pemilu yaitu prinsip “langsung”, maka hal ini menjadikan presidential threshold tidak relevan di pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"23 7","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139129970","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang kuat yang mitsaqon golizan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal bahagia dengan tujuan untuk memperoleh sakinah mawaddah warohmah akan tetapi perkawinan dengan tujuan tersebut haruslah dimulai dari kematangan fisik, kematangan akal dan kematangan mental, jika tidak maka tujuan dari perkawinan tersebut tidak dapat tercapai. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji secara komprehensif tentang proses hukum penerbitan dispensasi terhadap perkawinan di bawah umur oleh kantor urusan agama. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Proses hukum dispensasi nikah yaitu proses mendaftar nikah kepada kantor Urusan agama kemudian dari kantr urusan agama akan memeriksa berkas-berkas kedua belah pihak berupa N1 N2N3 N4 N5 N6 jika semua berkas telah di periksa maka KUA akan mengeluarkan N7 sebagai penolakan karena tidak mencukupi umur untuk melakukan perkawinan dengan N7 tersebut akan digunakan oleh para pihak atau wali dari keduanya untuk mendaftarkan permohonan dispensasi kepad pengadilan setelah pengadilan menjalankan fungsinya memeriksa mengadili dan memutuskan maka jika pengadilan mengabulkan permohonan pemohon maka putusan pengadilan tersebut dapat dipergunakan kembali untuk mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama.
{"title":"Proses Hukum Dispensasi Terhadap Perkawinan Di Bawah Umur Oleh Kantor Urusan Agama","authors":"Ahmad rifai, Liling Kartini","doi":"10.36679/ulr.v6i2.59","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.59","url":null,"abstract":"Perkawinan merupakan suatu ikatan yang kuat yang mitsaqon golizan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal bahagia dengan tujuan untuk memperoleh sakinah mawaddah warohmah akan tetapi perkawinan dengan tujuan tersebut haruslah dimulai dari kematangan fisik, kematangan akal dan kematangan mental, jika tidak maka tujuan dari perkawinan tersebut tidak dapat tercapai. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji secara komprehensif tentang proses hukum penerbitan dispensasi terhadap perkawinan di bawah umur oleh kantor urusan agama. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Proses hukum dispensasi nikah yaitu proses mendaftar nikah kepada kantor Urusan agama kemudian dari kantr urusan agama akan memeriksa berkas-berkas kedua belah pihak berupa N1 N2N3 N4 N5 N6 jika semua berkas telah di periksa maka KUA akan mengeluarkan N7 sebagai penolakan karena tidak mencukupi umur untuk melakukan perkawinan dengan N7 tersebut akan digunakan oleh para pihak atau wali dari keduanya untuk mendaftarkan permohonan dispensasi kepad pengadilan setelah pengadilan menjalankan fungsinya memeriksa mengadili dan memutuskan maka jika pengadilan mengabulkan permohonan pemohon maka putusan pengadilan tersebut dapat dipergunakan kembali untuk mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"81 13","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139132185","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Perkembangan hak kebebasan dalam beragama di Indonesia mengalami dinamika perkembangan yang signifikan, berawal dari peraturan nasional yang kemudian di jelsakan dalam berbagai perturan kebijakan pemerintah. Perkembangan ini berdampak terhadap kebebasan ini secara substansi pengaturan maupun penegakannya. Kebebasan beragama ini juga menjadi objek perhatian khusus oleh hukum internasional terutama bagian HAM untuk meredeka memeluk suatu agama, kendatipun aturan keberadaan agama juga tidak konkrit dan tegas terhadap penggunaan istilah resmi dalam konteks keagamaan di Indonesia. Dalam pembahasan hak ke-beragama perlu disimpulkan terlebih dahulu apakah status kepemilikan suatu agama merupakan haka tau kewajiban bagi seorang manusia atau WNI. Perlu ada perhatian khusus terhadap berbagai intoleransi yang mengatasnamakan keberbedaan agama tertentu. Kajian secara progresif akan memberikan penguatan dan pengkonsepan secara konkrit terhadap hak komunitas beragama diluar 6 agama resmi d Indonesia.
{"title":"Kajian Progresif Hukum Ham Internasional Dan Hukum Nasional Terhadap Pemenuhan Hak Komunitas Beragama Di Luar Enam Agama Resmi Di Indonesia","authors":"Ahmad Iffan, Syamsul Mujtahidin","doi":"10.36679/ulr.v6i2.56","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.56","url":null,"abstract":"Perkembangan hak kebebasan dalam beragama di Indonesia mengalami dinamika perkembangan yang signifikan, berawal dari peraturan nasional yang kemudian di jelsakan dalam berbagai perturan kebijakan pemerintah. Perkembangan ini berdampak terhadap kebebasan ini secara substansi pengaturan maupun penegakannya. Kebebasan beragama ini juga menjadi objek perhatian khusus oleh hukum internasional terutama bagian HAM untuk meredeka memeluk suatu agama, kendatipun aturan keberadaan agama juga tidak konkrit dan tegas terhadap penggunaan istilah resmi dalam konteks keagamaan di Indonesia. Dalam pembahasan hak ke-beragama perlu disimpulkan terlebih dahulu apakah status kepemilikan suatu agama merupakan haka tau kewajiban bagi seorang manusia atau WNI. Perlu ada perhatian khusus terhadap berbagai intoleransi yang mengatasnamakan keberbedaan agama tertentu. Kajian secara progresif akan memberikan penguatan dan pengkonsepan secara konkrit terhadap hak komunitas beragama diluar 6 agama resmi d Indonesia.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"645 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139170028","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi peraturan menteri No 5 tahun 2020 tentang hak tanggungan elektronik di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat ditinjau dari aspek pelayanan publik dan untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaannya di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian yang meneliti aturan terkait dengan pelayanan publik berbasis elektronik, serta didukung dengan pendapat ahli (law in the book) selain itu datang langsung ke lapangan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaannya (law in action).Untuk mempermudah penelitian ini digunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach),pendekatan konseptual(conceptual approach),pendekatan sosiologis (sociological approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi peraturan menteri No 5 tahun 2020 tentang Hak Tanggungan Elektronik di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat sudah sangat baik dengan menggunakan indikator pelayanan publik seperti Tangibles yang berkaitan dengan tersedianya fasilitas yang lengkap dan memadai, Reliability yang berkaitan dengan Keahlian petugas menggunakan teknologi, Responsiveness yang berkaitan dengan respon petugas yang baik dan sesuai dengan ketentuan apabila Pengguna Layanan mengalami kendala, Assurance yang berkaitan dengan adanya kepastian biaya dalam pelayanan, emphaty yang berkaitan dengan ramah dan sopan santun dalam memberikan pelayanan. Adapun kendalanya yakni masih belum semuanya tanah yang ada di Kabupaten Lombok Barat tervalidasi sehingga masih ada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang datang secara manual ke Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat untuk melakukan pengecekan.
{"title":"Implementasi Peraturan Menteri ATR/BPN No 5 Tahun 2020 Tentang Hak Tanggungan Elektronik Ditinjau Dari Aspek Pelayanan Publik Pada Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat","authors":"A. Ashari, Khairul Umam, A. Setiawan, R. Amalia","doi":"10.36679/ulr.v6i2.43","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.43","url":null,"abstract":"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi peraturan menteri No 5 tahun 2020 tentang hak tanggungan elektronik di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat ditinjau dari aspek pelayanan publik dan untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaannya di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian yang meneliti aturan terkait dengan pelayanan publik berbasis elektronik, serta didukung dengan pendapat ahli (law in the book) selain itu datang langsung ke lapangan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaannya (law in action).Untuk mempermudah penelitian ini digunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach),pendekatan konseptual(conceptual approach),pendekatan sosiologis (sociological approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi peraturan menteri No 5 tahun 2020 tentang Hak Tanggungan Elektronik di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat sudah sangat baik dengan menggunakan indikator pelayanan publik seperti Tangibles yang berkaitan dengan tersedianya fasilitas yang lengkap dan memadai, Reliability yang berkaitan dengan Keahlian petugas menggunakan teknologi, Responsiveness yang berkaitan dengan respon petugas yang baik dan sesuai dengan ketentuan apabila Pengguna Layanan mengalami kendala, Assurance yang berkaitan dengan adanya kepastian biaya dalam pelayanan, emphaty yang berkaitan dengan ramah dan sopan santun dalam memberikan pelayanan. Adapun kendalanya yakni masih belum semuanya tanah yang ada di Kabupaten Lombok Barat tervalidasi sehingga masih ada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang datang secara manual ke Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lombok Barat untuk melakukan pengecekan.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"1 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139168386","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diwarnai pro kontra di berbagai kalangan. Banyak yang beranggapan bahwa pengaturan tindak pidana kohibitasi akan mengakibatkan pariwisata terpuruk. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana konstruksi pasal yang mengatur mengenai kohibitasi dan apakah wisatawan asing dapat dipidana apabila melakukan kohibitasi di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk memperkaya khazanah pemikiran terkait perkembangan hukum pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang, pasca diberlakukannya KUHP Nasional, telah mengatur bahwa tindakan kohibitasi merupakan tindak pidana. Meskipun ancaman hukumannya tergolong ringan dan diancamkan dengan model alternatif sanksi, namun kohibitasi pada prinsipnya merupakan perbuatan kriminal, sehingga terhadap pelaku dapat dikenakan sanksi sepanjang dilakukan aduan oleh pihak yang berhak. Berikutnya, ketentuan tersebut juga berlaku bagi wisatawan asing yang sedang berkunjung ke Indonesia berdasarkan asas Teritorial, kedaulatan hukum sebuah negara. Kebijakan hukum yang lahir adalah berdasar pada nilai-nilai yang dihormati oleh Masyarakat setempat, sehingga wisatawan asing juga semestinya mematuhi segala kebijakan hukum yang berlaku
{"title":"Penegakan Hukum Pidana Terhadap Wisatawan Pelaku Kohibitasi","authors":"Suheflihusaini Ashady, Aryadi Almau Dudy","doi":"10.36679/ulr.v6i2.51","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.51","url":null,"abstract":"Pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diwarnai pro kontra di berbagai kalangan. Banyak yang beranggapan bahwa pengaturan tindak pidana kohibitasi akan mengakibatkan pariwisata terpuruk. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana konstruksi pasal yang mengatur mengenai kohibitasi dan apakah wisatawan asing dapat dipidana apabila melakukan kohibitasi di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk memperkaya khazanah pemikiran terkait perkembangan hukum pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang, pasca diberlakukannya KUHP Nasional, telah mengatur bahwa tindakan kohibitasi merupakan tindak pidana. Meskipun ancaman hukumannya tergolong ringan dan diancamkan dengan model alternatif sanksi, namun kohibitasi pada prinsipnya merupakan perbuatan kriminal, sehingga terhadap pelaku dapat dikenakan sanksi sepanjang dilakukan aduan oleh pihak yang berhak. Berikutnya, ketentuan tersebut juga berlaku bagi wisatawan asing yang sedang berkunjung ke Indonesia berdasarkan asas Teritorial, kedaulatan hukum sebuah negara. Kebijakan hukum yang lahir adalah berdasar pada nilai-nilai yang dihormati oleh Masyarakat setempat, sehingga wisatawan asing juga semestinya mematuhi segala kebijakan hukum yang berlaku","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"5 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139167982","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Lalu Anugrah Nugraha, S. Sutarno, Ninis Nugraheni, Andika Persada Putra
Peresepan elektronik di pelayanan kesehatan Indonesia sudah mulai dilakukan oleh rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya. Penggunaan media elektronik dalam praktik peresepan elektronik rentan dengan permasalahan kebocoran data, sehingga data pribadi pasien memerlukan perlindungan hukum untuk menjamin keamanannya dan perlindungannya termasuk oleh rumah sakit sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan yang mengelola data pasien dalam sistemnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan peresepan elektronik dalam hukum positif Indonesia dan pertanggungjawaban rumah sakit terhadap kebocoran data pribadi pasien. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analisis konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan masih tidak adanya peraturan yang mengatur secara spesifik terkait perlindungan data pribadi dalam peresepan elektronik di Indonesia dan pertanggungjawaban rumah sakit terhadap kebocoran data pribadi pasien dipengaruhi upaya yang telah dilakukan untuk menjamin keamanan data pribadi pasien apabila telah mencapai upaya maksimal maka rumah sakit tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban.
{"title":"Perlindungan Hukum Rumah Sakit Atas Penggunaan Data Pasien Dalam Peresepan Elektronik","authors":"Lalu Anugrah Nugraha, S. Sutarno, Ninis Nugraheni, Andika Persada Putra","doi":"10.36679/ulr.v6i2.45","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.45","url":null,"abstract":"Peresepan elektronik di pelayanan kesehatan Indonesia sudah mulai dilakukan oleh rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya. Penggunaan media elektronik dalam praktik peresepan elektronik rentan dengan permasalahan kebocoran data, sehingga data pribadi pasien memerlukan perlindungan hukum untuk menjamin keamanannya dan perlindungannya termasuk oleh rumah sakit sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan yang mengelola data pasien dalam sistemnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan peresepan elektronik dalam hukum positif Indonesia dan pertanggungjawaban rumah sakit terhadap kebocoran data pribadi pasien. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analisis konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan masih tidak adanya peraturan yang mengatur secara spesifik terkait perlindungan data pribadi dalam peresepan elektronik di Indonesia dan pertanggungjawaban rumah sakit terhadap kebocoran data pribadi pasien dipengaruhi upaya yang telah dilakukan untuk menjamin keamanan data pribadi pasien apabila telah mencapai upaya maksimal maka rumah sakit tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"55 3","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139169777","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Muh. Risnain, Any Suryani Hamzah, Rizky Yuniansari
Penanganan Covid-19 selain menghadirkan problem kesehatan yang mengancam manusia, resesi ekonomi, tetapi juga kompleksitas persoalan hukum. Sistem hukum penanggulangan darurat kesehatan dengan undang-undang onomr 18 tahun 2016 tentang karantina kesehatan ternyata tidak memadai bagi pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi penyebara covid 19. Pendekatan penyelesaian covid 19 melalui pembatasan social berskala besar ternyata bukan satu-satunya jalan untuk penyebaran covid-19 setelah ditemukan vaksin. Namun persoalan hukum baru muncul mana kala tidak ada instrument hokum bagi pemerintah yang dapat memaksa mayarakat yang menolak dilakukan vaksinasi. Sementara di sisi lain sistem hokum kesehatan nasional yang dianut dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan undang-undang nomor 36 tahun tahun 2014 telah menempatkan prinsip hokum bahwa segala tindakan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang memberikan hak kepada pasien untuk setuju atau tidak setuju terhadap setiap tindakan medis (informed consent). Kompleksitas dan Ketidakharmonisan sistem hokum penanggulangan kesehatan dengan hokum kesehatan yang ada tentu saja berdampak pada kecepatan dan ketepatan pemerintah dalam menanggulangi covid-19. Maka perlu dilakukan kajian untuk itu dalam rangka memberikan solusi bagi pemerintah dan DPR dalam menanggulangi penanggulangan Darurat Kesehatan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum.Persoalan hokum dalam penelitian ini adalah, pertama, bagaimanakah mengharmoniskan sistem hokum penanggulangan kesehatan dengan hokum kesehatan dalam kerangka hak asasi manusia ? bagaimana arah konsep restrukturisasi Sistem Hukum Penangungalangan Darurat Kesehatan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum ? hasil penelitian menemukan, pertama, Instrument hukum penganggulangan darurat kesehatan merupakan sebuah sistem dalam kerangka Negara hukum. Harmonisasi Sistem Hukum Penanggulangan Darurat Kesehatan dengan melakukan penyesuaian norma-norma dalam Undang-undang bidang kesehatan dan undang-undang Hak Asasi Manusia. Kedua, Konsep Restrukturisasi Sistem Hukum Penangungalangan Darurat Kesehatan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum kedepan dilakukan dengan menggunakan metode omnibus law dalam penyusunan RUU perubahan UU Kekarantinaan kesehatan. Oleh karena kami menyarankan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan terhadap UU nomor 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan dilakukan perubahan.
{"title":"Restrukturisasi Sistem Hukum Penangungalangan Darurat Kesehatan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Negara Hukum","authors":"Muh. Risnain, Any Suryani Hamzah, Rizky Yuniansari","doi":"10.36679/ulr.v6i2.55","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.55","url":null,"abstract":"Penanganan Covid-19 selain menghadirkan problem kesehatan yang mengancam manusia, resesi ekonomi, tetapi juga kompleksitas persoalan hukum. Sistem hukum penanggulangan darurat kesehatan dengan undang-undang onomr 18 tahun 2016 tentang karantina kesehatan ternyata tidak memadai bagi pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi penyebara covid 19. Pendekatan penyelesaian covid 19 melalui pembatasan social berskala besar ternyata bukan satu-satunya jalan untuk penyebaran covid-19 setelah ditemukan vaksin. Namun persoalan hukum baru muncul mana kala tidak ada instrument hokum bagi pemerintah yang dapat memaksa mayarakat yang menolak dilakukan vaksinasi. Sementara di sisi lain sistem hokum kesehatan nasional yang dianut dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan undang-undang nomor 36 tahun tahun 2014 telah menempatkan prinsip hokum bahwa segala tindakan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang memberikan hak kepada pasien untuk setuju atau tidak setuju terhadap setiap tindakan medis (informed consent). Kompleksitas dan Ketidakharmonisan sistem hokum penanggulangan kesehatan dengan hokum kesehatan yang ada tentu saja berdampak pada kecepatan dan ketepatan pemerintah dalam menanggulangi covid-19. Maka perlu dilakukan kajian untuk itu dalam rangka memberikan solusi bagi pemerintah dan DPR dalam menanggulangi penanggulangan Darurat Kesehatan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum.Persoalan hokum dalam penelitian ini adalah, pertama, bagaimanakah mengharmoniskan sistem hokum penanggulangan kesehatan dengan hokum kesehatan dalam kerangka hak asasi manusia ? bagaimana arah konsep restrukturisasi Sistem Hukum Penangungalangan Darurat Kesehatan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum ? hasil penelitian menemukan, pertama, Instrument hukum penganggulangan darurat kesehatan merupakan sebuah sistem dalam kerangka Negara hukum. Harmonisasi Sistem Hukum Penanggulangan Darurat Kesehatan dengan melakukan penyesuaian norma-norma dalam Undang-undang bidang kesehatan dan undang-undang Hak Asasi Manusia. Kedua, Konsep Restrukturisasi Sistem Hukum Penangungalangan Darurat Kesehatan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum kedepan dilakukan dengan menggunakan metode omnibus law dalam penyusunan RUU perubahan UU Kekarantinaan kesehatan. Oleh karena kami menyarankan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan terhadap UU nomor 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan dilakukan perubahan.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"43 22","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139176412","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tindakan pembedahan dalam dunia medis merupakan tindakan kedokteran yang berisiko tinggi sehingga prosedur sebelum melakukan pembedahan harus didahului dengan adanya informed consent sebagai prosedur persetujuan pasien atau keluarga pasien untuk dilakukannya tindakan pembedahan. Namun dalam proses pembedahan terjadinya proses anestesi tambahan menjadi permasalahan yang dianggap sebagai tindakan diluar informed consent atau tindakan kedaruratan atau tindakan atas kelalaian yang diakibatkan kesalahan melakukan anestesi diawal, hal ini belum terdapat kepastian hukumnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui tinjauan hukum legalitas informed consent dalam pelayanan kesehatan dan tanggung jawab hukum dokter operator dan anestesi atas timbulnya risiko medis yang membutuhkan tambahan tindakan anastesi saat proses pembedahan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekata perundang-undangan dan konseptual. Legalitas informed consent dalam hukum Indonesia diatur dalam beberapa aturan kesehatan seperti UU Kesehatan, UU Praktik Kendokteran dengan aturan secara spesifik ada pada No.290/PERMEN/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Medis yang didalamnya diatur juga kebolehan melakukan tindakan medis tanpa informed consent dalam kedaruratan yaitu dalam Pasal 4 ayat (1). Dan tanggung jawab dokter operator dan anestesi dalam tindakan anestesi tambahan saat proses pembedahan ditentukan pada anestesi tambahan yang dilakukan masuk kategori tindakan tanpa informed consent atau tindakan kelalaian yang merugikan pasien makan pertanggungjawabannya dapat dituntut secara perdata dan pidana, namun apabila tindakan anestesi tambahan dianggap sebagai tindakan kedaruratan maka dokter operator dan anestesi tidak dikenakan pertanggungjawaban hukum tetapi diwajibkan untuk menjelaskan tindakan yang telah dilakukan setelah proses tindakan selesai kepada pasien atau keluarga terdekat.
在医学界,外科手术是一种高风险的医疗行为,因此在实施外科手术之前,必须经过知情同意,这是患者或患者家属同意手术的程序。然而,在手术过程中,额外麻醉过程的发生会成为一个问题,被视为知情同意之外的行为或紧急行为,或因开始实施麻醉时的失误造成的过失而提起的诉讼,这在法律上没有确定性。本研究的目的是确定对医疗服务中知情同意合法性的法律审查,以及手术过程中发生需要采取额外麻醉措施的医疗风险时,操作者和麻醉师的法律责任。本研究采用规范法学研究方法,使用法定和概念方法。印尼法律中知情同意的合法性在多个卫生法规中都有规定,如《卫生法》、《医疗实践法》,其中第 290 / PERMEN / PER / III / 2008 号关于医疗行动审批的具体规定还对紧急情况下未经知情同意实施医疗行动的能力做出了规定,即第 4 条第(1)款。手术操作者和麻醉师在手术过程中的额外麻醉行为的责任是根据在未获得知情同意的情况下实施的额外麻醉行为或对患者造成伤害的过失来确定的,责任可以受到民事和刑事起诉,但如果额外麻醉被认为是紧急行动,则手术操作者和麻醉师无需承担法律责任,但需要在行动过程结束后向患者或近亲属解释所采取的行动。
{"title":"Aspek Hukum Ketiadaan Informed Consent Atas Tindakan Anestesi Tambahan Saat Tindakan Medis Pembedahan","authors":"Sherliyanah Sherliyanah, Asmuni Asmuni","doi":"10.36679/ulr.v6i2.44","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i2.44","url":null,"abstract":"Tindakan pembedahan dalam dunia medis merupakan tindakan kedokteran yang berisiko tinggi sehingga prosedur sebelum melakukan pembedahan harus didahului dengan adanya informed consent sebagai prosedur persetujuan pasien atau keluarga pasien untuk dilakukannya tindakan pembedahan. Namun dalam proses pembedahan terjadinya proses anestesi tambahan menjadi permasalahan yang dianggap sebagai tindakan diluar informed consent atau tindakan kedaruratan atau tindakan atas kelalaian yang diakibatkan kesalahan melakukan anestesi diawal, hal ini belum terdapat kepastian hukumnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui tinjauan hukum legalitas informed consent dalam pelayanan kesehatan dan tanggung jawab hukum dokter operator dan anestesi atas timbulnya risiko medis yang membutuhkan tambahan tindakan anastesi saat proses pembedahan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekata perundang-undangan dan konseptual. Legalitas informed consent dalam hukum Indonesia diatur dalam beberapa aturan kesehatan seperti UU Kesehatan, UU Praktik Kendokteran dengan aturan secara spesifik ada pada No.290/PERMEN/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Medis yang didalamnya diatur juga kebolehan melakukan tindakan medis tanpa informed consent dalam kedaruratan yaitu dalam Pasal 4 ayat (1). Dan tanggung jawab dokter operator dan anestesi dalam tindakan anestesi tambahan saat proses pembedahan ditentukan pada anestesi tambahan yang dilakukan masuk kategori tindakan tanpa informed consent atau tindakan kelalaian yang merugikan pasien makan pertanggungjawabannya dapat dituntut secara perdata dan pidana, namun apabila tindakan anestesi tambahan dianggap sebagai tindakan kedaruratan maka dokter operator dan anestesi tidak dikenakan pertanggungjawaban hukum tetapi diwajibkan untuk menjelaskan tindakan yang telah dilakukan setelah proses tindakan selesai kepada pasien atau keluarga terdekat.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"113 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139176646","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Muhammad Ikhsan Kamil, Hafizatul Ulum, Adi Widiyantoro
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana pengaturan hukum tentang asas kontradiksi delimitasi dalam pendaftaran tanah sistematik lengkap dan bagaimana penerapan asas kontradiksi delimitasi dalam pendaftaran tanah sistematik lengkap di Kantor Pertanahan Kota Mataram. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif-empiris. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep. Jenis data ini terdiri dari data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dengan wawancara dan observasi serta analisis data menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian terhadap peraturan perundang-undangan Prinsip Kontradiksi Batasan Pada Tahap Pengukuran Bidang Tanah Dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, diatur dalam pasal 17,18,19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pasal 19 ,20,21 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan pasal 19A sampai dengan pasal 19D Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Surat Keterangan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik Berbatasan merupakan berkas lengkap yang harus dipenuhi oleh peserta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Oleh karena itu, tanggung jawab Prinsip Kontradiksi Delimitasi tidak sepenuhnya berada pada Petugas Pengukur. Petugas ukur atau satuan tugas fisik pada Kantor Pertanahan Kota Mataram dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap tetap mengedepankan penerapan asas pembatas kontradiksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada.
{"title":"Implementasi Asas Kontradiktur Delimitasi Dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap ( Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kota Mataram)","authors":"Muhammad Ikhsan Kamil, Hafizatul Ulum, Adi Widiyantoro","doi":"10.36679/ulr.v6i1.39","DOIUrl":"https://doi.org/10.36679/ulr.v6i1.39","url":null,"abstract":"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana pengaturan hukum tentang asas kontradiksi delimitasi dalam pendaftaran tanah sistematik lengkap dan bagaimana penerapan asas kontradiksi delimitasi dalam pendaftaran tanah sistematik lengkap di Kantor Pertanahan Kota Mataram. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif-empiris. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep. Jenis data ini terdiri dari data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dengan wawancara dan observasi serta analisis data menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian terhadap peraturan perundang-undangan Prinsip Kontradiksi Batasan Pada Tahap Pengukuran Bidang Tanah Dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, diatur dalam pasal 17,18,19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pasal 19 ,20,21 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan pasal 19A sampai dengan pasal 19D Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Surat Keterangan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik Berbatasan merupakan berkas lengkap yang harus dipenuhi oleh peserta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Oleh karena itu, tanggung jawab Prinsip Kontradiksi Delimitasi tidak sepenuhnya berada pada Petugas Pengukur. Petugas ukur atau satuan tugas fisik pada Kantor Pertanahan Kota Mataram dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap tetap mengedepankan penerapan asas pembatas kontradiksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada.","PeriodicalId":257407,"journal":{"name":"Unizar Law Review","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135155726","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}