Kekerasan seksual terhadap anak dalam kondisi realitasnya di Kota Pontianak menunjukkan angka yang cukup signifikan. Dari 94 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani Polresta Pontianak pada kurun waktu tahun 2017, terdapat 81 (86,17%) kasus kekerasan seksual terhadap anak. Maraknya kekerasan seksual terhadap anak tersebut perlu dilakukan upaya optimalisasi penyelenggaraan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) bagi korban kekerasan terhadap anak, yang dilakukan melalui penguatan penyelenggaraan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Permpuan dan Anak (P2TP2A). Tulisan ini mengungkap permasalahan kendala apa yang dihadapi serta upaya apa yang harus dilakukan dalam mengoptimalkan peran PPT memberikan perlindungan anak korban kekerasan seksual di Kota Pontianak. Melalui metode penelitian socio legal dengan pendekatan secara kualitatif ditemukan hasil penelitian, bahwa realitasnya pelaksanaan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual terhadap anak di Kota Pontianak belum berjalan optimal yang dipengaruhi anak/keluarga masih menutup diri akan kasus yang dialaminya, belum memadainya sarana/prasana serta keterbatasan sumber daya yang menangani perlindungan anak. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan dari Pemerintah Kota Pontianak dalam bentuk Perda pelayanan perlindungan anak korban kekerasan seksual disertai kebijakan pengalokasian anggarannya.
{"title":"OPTIMALISASI PENYELENGGARAAN PUSAT PELAYANAN TERPADU (PPT) BAGI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI KOTA PONTIANAK","authors":"Yenny As","doi":"10.32501/JHMB.V3I1.43","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V3I1.43","url":null,"abstract":"Kekerasan seksual terhadap anak dalam kondisi realitasnya di Kota Pontianak menunjukkan angka yang cukup signifikan. Dari 94 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani Polresta Pontianak pada kurun waktu tahun 2017, terdapat 81 (86,17%) kasus kekerasan seksual terhadap anak. Maraknya kekerasan seksual terhadap anak tersebut perlu dilakukan upaya optimalisasi penyelenggaraan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) bagi korban kekerasan terhadap anak, yang dilakukan melalui penguatan penyelenggaraan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Permpuan dan Anak (P2TP2A). Tulisan ini mengungkap permasalahan kendala apa yang dihadapi serta upaya apa yang harus dilakukan dalam mengoptimalkan peran PPT memberikan perlindungan anak korban kekerasan seksual di Kota Pontianak. Melalui metode penelitian socio legal dengan pendekatan secara kualitatif ditemukan hasil penelitian, bahwa realitasnya pelaksanaan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual terhadap anak di Kota Pontianak belum berjalan optimal yang dipengaruhi anak/keluarga masih menutup diri akan kasus yang dialaminya, belum memadainya sarana/prasana serta keterbatasan sumber daya yang menangani perlindungan anak. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan dari Pemerintah Kota Pontianak dalam bentuk Perda pelayanan perlindungan anak korban kekerasan seksual disertai kebijakan pengalokasian anggarannya.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130247704","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penerapan asas keadilan dalam hukum kepailitan tidak terbatas pada teks yang dinormakan, tetapi bermakna luas yang juga meliputi keseluruhan proses penjatuhan putusan pailit maupun penundaan kewajiban pembayaran utang. Penerapan asas keadilan dalam kasus permohonan pailit PT. Sempati Air yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 37/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst. adalah dalam rangka perlindungan hukum terhadap debitor terhadap tindakan sewenang-wenang kreditor yang berlomba-lomba secara mengklaim aset debitor untuk kepentingannya.dan mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai ekonomi perusahaan yang pada gilirannya dipergunakan untuk membayar utang kepada para kreditornya. Untuk mengeksplanasi permasalahan pengaturan tersebut, peneliti melakukan penelitian hukum normatif dengan membahas permasalahan apakah putusan Pengadilan Niaga Nomor 37/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst telah memenuhi asas keadilan bagi debitor berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?. Adapun kesimpulan dalam penulisan jurnal ini adalah putusan Pengadilan Niaga Nomor 37/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst telah memenuhi asas keadilan dalam bagi debitor berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
{"title":"PENERAPAN “ASAS KEADILAN” DALAM HUKUM KEPAILITAN SEBAGAI PERWUJUDAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITOR","authors":"Serlika Aprita, R. Adhitya","doi":"10.32501/JHMB.V3I1.44","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V3I1.44","url":null,"abstract":"Penerapan asas keadilan dalam hukum kepailitan tidak terbatas pada teks yang dinormakan, tetapi bermakna luas yang juga meliputi keseluruhan proses penjatuhan putusan pailit maupun penundaan kewajiban pembayaran utang. Penerapan asas keadilan dalam kasus permohonan pailit PT. Sempati Air yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 37/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst. adalah dalam rangka perlindungan hukum terhadap debitor terhadap tindakan sewenang-wenang kreditor yang berlomba-lomba secara mengklaim aset debitor untuk kepentingannya.dan mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai ekonomi perusahaan yang pada gilirannya dipergunakan untuk membayar utang kepada para kreditornya. Untuk mengeksplanasi permasalahan pengaturan tersebut, peneliti melakukan penelitian hukum normatif dengan membahas permasalahan apakah putusan Pengadilan Niaga Nomor 37/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst telah memenuhi asas keadilan bagi debitor berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?. Adapun kesimpulan dalam penulisan jurnal ini adalah putusan Pengadilan Niaga Nomor 37/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst telah memenuhi asas keadilan dalam bagi debitor berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"72 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127126341","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Keberadaan pengaturan BOT saat ini masih sangat parsial, berdiri sendiri, dan tidak ada kepastian hukum serta tidak memberikan batasan boleh atau tidak boleh melakukan perjanjian dengan skema BOT. Dampak dari tidak adanya kepastian hukum akhirnya muncul berbagai sengketa perjanjian BOT, salah satunya kasus wanprestasi BOT Pasar Turi yang masuk di peradilan. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang coba dikaji yaitu menelusuri pengaturan BOT di masa lalu, saat ini, dan yang akan datang. Melalui penelusuran tersebut diharapkan dapat membangun pengaturan BOT yang ideal di masa yang akan datang. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan undang-undang, konsep, dan perbandingan. Hasil penelitian menunjukan pengaturan BOT di masa lalu dimulai sejak adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan kemudian diperkenalkan lebih lanjut melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/KMK.04/1995 dengan istilah bangun guna serah. Peraturan di masa lalu hanya memperkenalkan istilah bangun tanpa memberikan penjelasan mekanisme. Pengaturan pada saat ini juga demikian, meskipun adanya tambahan penjelasan perjanjian BOT dan pelimpahan pengelolaan dengan skema BOT oleh Daerah. Bertolak dari penjelasan tersebut maka pengaturan BOT di masa yang akan datang harus sesuai dengan nilai hukum Pancasila. Nilai hukum ini akan dituang ke dalam peraturan yang memuat diantaranya ketentuan umum project BOT, keputusan kualifikasi penawaran dan penghargaan, evaluasi penawaran, negosiasi perjanjian, penghargaan dan penandatanganan perjanjian dan diakhir proyek terdapat monitoring. Bertolak dari hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa periodisasi pengaturan BOT dari masa lalu hingga saat ini selalu mengalami perubahan namun belum ada satupun pengaturan yang spesifik mengenai BOT. Oleh karenanya di masa yang akan di perlukan pengaturan yang spesifik mengenai pengaturan BOT dan semua aspek-aspek yang terdapat dalam BOT.
{"title":"POLITIK HUKUM PENGATURAN BUILD OPERATE TRANSFER (BOT) DI INDONESIA: DI MASA LALU, SAAT INI, DAN AKAN DATANG","authors":"M. D. H. Noho","doi":"10.32501/JHMB.V3I1.51","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V3I1.51","url":null,"abstract":"Keberadaan pengaturan BOT saat ini masih sangat parsial, berdiri sendiri, dan tidak ada kepastian hukum serta tidak memberikan batasan boleh atau tidak boleh melakukan perjanjian dengan skema BOT. Dampak dari tidak adanya kepastian hukum akhirnya muncul berbagai sengketa perjanjian BOT, salah satunya kasus wanprestasi BOT Pasar Turi yang masuk di peradilan. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang coba dikaji yaitu menelusuri pengaturan BOT di masa lalu, saat ini, dan yang akan datang. Melalui penelusuran tersebut diharapkan dapat membangun pengaturan BOT yang ideal di masa yang akan datang. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan undang-undang, konsep, dan perbandingan. Hasil penelitian menunjukan pengaturan BOT di masa lalu dimulai sejak adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan kemudian diperkenalkan lebih lanjut melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/KMK.04/1995 dengan istilah bangun guna serah. Peraturan di masa lalu hanya memperkenalkan istilah bangun tanpa memberikan penjelasan mekanisme. Pengaturan pada saat ini juga demikian, meskipun adanya tambahan penjelasan perjanjian BOT dan pelimpahan pengelolaan dengan skema BOT oleh Daerah. Bertolak dari penjelasan tersebut maka pengaturan BOT di masa yang akan datang harus sesuai dengan nilai hukum Pancasila. Nilai hukum ini akan dituang ke dalam peraturan yang memuat diantaranya ketentuan umum project BOT, keputusan kualifikasi penawaran dan penghargaan, evaluasi penawaran, negosiasi perjanjian, penghargaan dan penandatanganan perjanjian dan diakhir proyek terdapat monitoring. Bertolak dari hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa periodisasi pengaturan BOT dari masa lalu hingga saat ini selalu mengalami perubahan namun belum ada satupun pengaturan yang spesifik mengenai BOT. Oleh karenanya di masa yang akan di perlukan pengaturan yang spesifik mengenai pengaturan BOT dan semua aspek-aspek yang terdapat dalam BOT.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"119 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115317369","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pemasyarakatan merupakan lembaga pelaksana pidana penjara di Indonesia dilaksanakan menggunakan sistem pembinaan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengalami kepadatan hunian atau over population. Kondisi kelebihan hunian di dalam Lembaga Pemasyarakatan berakibat pada keterbatasan atau bahkan kekurangan berbagai fasilitas umum maupun fasilitas khusus yang disediakan dan diperuntukan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, keadaan tersebut dapat memicu terjadinya berbagai permsalahan dalam Lembaga Pemasyarakatan di kelas IIA Kabupaten Karawang. Dalam pemecahan permasalahan penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Karawang mengalami kelebihan hunian atau over population dari tahun 2000 hingga sampai saat ini, dengan jumlah 1,196 warga binaan atas 320 tahanan dan 876 narapidana, kejahatan yang terjadi didominasi oleh kasus Narkotika. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya mengurangi kelebihan penghuni dalam Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Karawang melakukan perlindungan hukum bagi Narapidana semaksimal mungkin sesuai dengan peraturan Hukum dan HAM dan Lapas Karawang melakukan penguraian narapidana ke Lapas Lain sekitas Kabupaten Karawang serta Kanwilkumham jabar akan melakukan pembangunan Lapas baru guna melindungi narapidana di lapas kelas II A kabupaten Karawang.
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NARAPIDANA YANG MENJADI KORBAN OVER POPULATION BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN","authors":"Margo Hadi Pura, Raden Yulia Kartika","doi":"10.32501/JHMB.V3I1.33","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V3I1.33","url":null,"abstract":"Pemasyarakatan merupakan lembaga pelaksana pidana penjara di Indonesia dilaksanakan menggunakan sistem pembinaan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengalami kepadatan hunian atau over population. Kondisi kelebihan hunian di dalam Lembaga Pemasyarakatan berakibat pada keterbatasan atau bahkan kekurangan berbagai fasilitas umum maupun fasilitas khusus yang disediakan dan diperuntukan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, keadaan tersebut dapat memicu terjadinya berbagai permsalahan dalam Lembaga Pemasyarakatan di kelas IIA Kabupaten Karawang. Dalam pemecahan permasalahan penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Karawang mengalami kelebihan hunian atau over population dari tahun 2000 hingga sampai saat ini, dengan jumlah 1,196 warga binaan atas 320 tahanan dan 876 narapidana, kejahatan yang terjadi didominasi oleh kasus Narkotika. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya mengurangi kelebihan penghuni dalam Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Karawang melakukan perlindungan hukum bagi Narapidana semaksimal mungkin sesuai dengan peraturan Hukum dan HAM dan Lapas Karawang melakukan penguraian narapidana ke Lapas Lain sekitas Kabupaten Karawang serta Kanwilkumham jabar akan melakukan pembangunan Lapas baru guna melindungi narapidana di lapas kelas II A kabupaten Karawang.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"23 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127626320","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia disamping sandang, pangan dan papan. Salah satu kesehatan yang perlu dijaga pada umumnya adalahorgan manusia. Perkembangan terapi di dunia kedokteran yang digunakan untuk melakukan perawatan yaitu transplantasi organ. Transplantasi organ adalah tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia kepada tubuh manusia lain atau tubuhnya sendiri. Tujuan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh adalah untuk kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan. Metode penelitian yang digunakan dengan menggunakan jenis penelitian normatif. Transplantasi orang bertujuan untuk nilai kemanusiaan tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan komersil pada tranplantasi organ. Hasil dari penelitian ini regulasi mengenai transplantasi organ belum memberikan kepastian hukum bagi pendonor dan resipien. Sehingga harus adanya peraturan yang jelas mencerminkan nilai kemanusiaan dan peraturan memberikan kepastian hukum bagi pendonor dan resipien.
{"title":"KEPASTIAN HUKUM TRANSPLANTASI ORGAN YANG MENCERMINKAN NILAI KEMANUSIAAN","authors":"Fauziah Rachmawati","doi":"10.32501/JHMB.V3I1.49","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V3I1.49","url":null,"abstract":"Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia disamping sandang, pangan dan papan. Salah satu kesehatan yang perlu dijaga pada umumnya adalahorgan manusia. Perkembangan terapi di dunia kedokteran yang digunakan untuk melakukan perawatan yaitu transplantasi organ. Transplantasi organ adalah tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia kepada tubuh manusia lain atau tubuhnya sendiri. Tujuan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh adalah untuk kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan. Metode penelitian yang digunakan dengan menggunakan jenis penelitian normatif. Transplantasi orang bertujuan untuk nilai kemanusiaan tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan komersil pada tranplantasi organ. Hasil dari penelitian ini regulasi mengenai transplantasi organ belum memberikan kepastian hukum bagi pendonor dan resipien. Sehingga harus adanya peraturan yang jelas mencerminkan nilai kemanusiaan dan peraturan memberikan kepastian hukum bagi pendonor dan resipien.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"92 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123027868","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar belakang didasari oleh diskriminasi hak pekerja yang ingin melangsungkan perkawinan dalam satu perusahaan namun dilarang oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Pasal 153 ayat (1) huruf f. Rumusan masalah yang diangkat ialah: (1). Bagaimanakah hak pekerja dalam satu perusahaan yang ingin melangsungkan perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017?; (2). Upaya apakah yang harus dilakukan oleh pihak pemberi kerja pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017?.Tujuan hasil kajian ini adalah: (1). menganalisis konsekuensi hukum dan hak kepada pekerja yang melakukan hubungan perkawinan dengan rekan kerja satu perusahaan; (2). Untuk mengedukasi pekerja untuk tidak takut diberhentikan oleh pelaku usaha karena melangsungkan perkawinan dengan rekan sekerja dalam satu perusahaan yang sama. Metode penelitian adalah yuridis normatif, penulis menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 terhadap UU Ketenagakerjaan, menggunakan analisis kualitatif dan menarik kesimpulan dari umum ke khusus.Hasil penelitian adalah (1). Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan hak asasi manusia oleh Mahkamah Konstitusi, dan pengusaha tidak dapat lagi memberhentikan pekerja yang akan melangsungkan perkawinan dengan teman di satu perusahaan yang sama; (2). Pemberi kerja wajib segera merubah Peraturan Perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dengan menyesuaikan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XV/2017 jika tidak diubah maka peraturan perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama adalah batal demi hukum (nietigheid vanrechtswege).Adapun saran penulis ialah (1). Pengusaha wajib mengubah Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama dengan menyesuaikan Putusan MK yang pada pokoknya tidak dapat memberhentikan pekerja yang menikah dengan rekan satu perusahaan; (2). Jika pengusaha/pemberi kerja khawatir kedua pekerja tersebut akan melakukan kolusi maka kedua pekerja tersebut sebaiknya ditempatkan di divisi pekerjaan yang berbeda.
{"title":"PERLINDUNGAN HAK PEKERJA DALAM SATU PERUSAHAAN UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017","authors":"Rizky P.P. Karo Karo, E. Sukardi, Sri Purnama","doi":"10.32501/JHMB.V3I1.36","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V3I1.36","url":null,"abstract":"Latar belakang didasari oleh diskriminasi hak pekerja yang ingin melangsungkan perkawinan dalam satu perusahaan namun dilarang oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Pasal 153 ayat (1) huruf f. Rumusan masalah yang diangkat ialah: (1). Bagaimanakah hak pekerja dalam satu perusahaan yang ingin melangsungkan perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017?; (2). Upaya apakah yang harus dilakukan oleh pihak pemberi kerja pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017?.Tujuan hasil kajian ini adalah: (1). menganalisis konsekuensi hukum dan hak kepada pekerja yang melakukan hubungan perkawinan dengan rekan kerja satu perusahaan; (2). Untuk mengedukasi pekerja untuk tidak takut diberhentikan oleh pelaku usaha karena melangsungkan perkawinan dengan rekan sekerja dalam satu perusahaan yang sama. Metode penelitian adalah yuridis normatif, penulis menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 terhadap UU Ketenagakerjaan, menggunakan analisis kualitatif dan menarik kesimpulan dari umum ke khusus.Hasil penelitian adalah (1). Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan hak asasi manusia oleh Mahkamah Konstitusi, dan pengusaha tidak dapat lagi memberhentikan pekerja yang akan melangsungkan perkawinan dengan teman di satu perusahaan yang sama; (2). Pemberi kerja wajib segera merubah Peraturan Perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dengan menyesuaikan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XV/2017 jika tidak diubah maka peraturan perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama adalah batal demi hukum (nietigheid vanrechtswege).Adapun saran penulis ialah (1). Pengusaha wajib mengubah Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama dengan menyesuaikan Putusan MK yang pada pokoknya tidak dapat memberhentikan pekerja yang menikah dengan rekan satu perusahaan; (2). Jika pengusaha/pemberi kerja khawatir kedua pekerja tersebut akan melakukan kolusi maka kedua pekerja tersebut sebaiknya ditempatkan di divisi pekerjaan yang berbeda.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"41 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123454485","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
UUD 1945 menjunjung tinggi persamaan kedudukan di depan hukum, termasuk dalam hal pemenuhan hak atas Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin. Secara normatif pengaturan Bantuan Hukum dimuat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, salah satu implementasinya adalah penyelenggaraan Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini akan mengkaji mengapa akses keadilan melalui Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat belum terpenuhi. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolegal (sociolegal research) dengan jenis data kualitatif yang bersumber dari data primer melalui wawancara mendalam dengan Kepala Sub Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Barat serta anggota dan paralegal Pemberi Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi; dan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat masih sangat minim dimana keseluruhan hanya berjumlah 5 (lima) Pemberi Bantuan Hukum dan hanya tersebar di 4 (empat) daerah kabupaten/kota sementara keseluruhan daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat berjumlah 14 (empat belas) daerah kabupaten/kota. Dengan minimnya keberadaan Pemberi Bantuan Hukum ini sementara kebutuhan masyarakat miskin untuk mendapatkan pendampingan dalam menghadapi perkara hukum akan mustahil dapat terwujud dengan maksimal. Pada akhirnya, masyarakat miskin di Provinsi Kalimantan Barat dalam mengakses keadilan menjadi terbatas.
{"title":"PERMASALAHAN AKSES KEADILAN MELALUI PEMBERI BANTUAN HUKUM DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT","authors":"Rini Setiawati","doi":"10.32501/JHMB.V3I1.45","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V3I1.45","url":null,"abstract":"UUD 1945 menjunjung tinggi persamaan kedudukan di depan hukum, termasuk dalam hal pemenuhan hak atas Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin. Secara normatif pengaturan Bantuan Hukum dimuat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, salah satu implementasinya adalah penyelenggaraan Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini akan mengkaji mengapa akses keadilan melalui Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat belum terpenuhi. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolegal (sociolegal research) dengan jenis data kualitatif yang bersumber dari data primer melalui wawancara mendalam dengan Kepala Sub Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Barat serta anggota dan paralegal Pemberi Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi; dan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat masih sangat minim dimana keseluruhan hanya berjumlah 5 (lima) Pemberi Bantuan Hukum dan hanya tersebar di 4 (empat) daerah kabupaten/kota sementara keseluruhan daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat berjumlah 14 (empat belas) daerah kabupaten/kota. Dengan minimnya keberadaan Pemberi Bantuan Hukum ini sementara kebutuhan masyarakat miskin untuk mendapatkan pendampingan dalam menghadapi perkara hukum akan mustahil dapat terwujud dengan maksimal. Pada akhirnya, masyarakat miskin di Provinsi Kalimantan Barat dalam mengakses keadilan menjadi terbatas.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"204 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116504341","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Peraturan yang berlaku di dalam pesawat penerbangan dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hal-hal apa saja yang harus dan tidak boleh dilakukan ketika berada dalam pesawat penerbangan. Peraturan yang sudah ada ini tak terlepas dari pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di dalam pesawat. Kasus penumpang yang tidak mematuhi aturan atau dikenal dengan unruly passenger merupakan sebuah contoh pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di dalam pesawat. Konvensi Tokyo 1963 menjadi jawaban dalam mengatasi kasus unruly passenger tersebut. Namun, kandungan dari Konvensi Tokyo 1963 pada kenyataannya belum mampu menangani seluruh masalah terkait unruly passenger. Melihat hal tersebut, ICAO mengamandemen Konvensi Tokyo 1963 untuk memperkuat dasar hukum bagi maskapai dalam menangani kasus unruly passenger, hingga akhirnya menghasilkan Protocol to Amend the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft atau dikenal sebagai Protokol Montreal 2014. Keberadaan Konvensi Tokyo 1963 dan Protokol Montreal 2014 ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan terkait unruly passenger dalam dunia penerbangan.
{"title":"EFEKTIFITAS APLIKASI KONVENSI TOKYO 1963 DAN PROTOKOL MONTREAL 2014 TERHADAP UNRULY PASSENGER CASE DALAM DUNIA PENERBAGANGAN","authors":"Aditya Kurniawijaya, Emmy Latifah","doi":"10.32501/JHMB.V3I1.27","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V3I1.27","url":null,"abstract":"Peraturan yang berlaku di dalam pesawat penerbangan dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hal-hal apa saja yang harus dan tidak boleh dilakukan ketika berada dalam pesawat penerbangan. Peraturan yang sudah ada ini tak terlepas dari pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di dalam pesawat. Kasus penumpang yang tidak mematuhi aturan atau dikenal dengan unruly passenger merupakan sebuah contoh pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di dalam pesawat. Konvensi Tokyo 1963 menjadi jawaban dalam mengatasi kasus unruly passenger tersebut. Namun, kandungan dari Konvensi Tokyo 1963 pada kenyataannya belum mampu menangani seluruh masalah terkait unruly passenger. Melihat hal tersebut, ICAO mengamandemen Konvensi Tokyo 1963 untuk memperkuat dasar hukum bagi maskapai dalam menangani kasus unruly passenger, hingga akhirnya menghasilkan Protocol to Amend the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft atau dikenal sebagai Protokol Montreal 2014. Keberadaan Konvensi Tokyo 1963 dan Protokol Montreal 2014 ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan terkait unruly passenger dalam dunia penerbangan.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"55 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123234275","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945, dimana salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus hasil pemilihan umum. Penyelenggaraan pemilihan umum berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan dalam rangka memilih anggota DPR-RI, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah. Pengaturan yang sumir terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus hasil pemilihan umum menjadi persoalan karena pemilihan umum berdasarkan rezim pengaturannya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pemilihan umum pada rezim pertama yaitu pemilihan umum dalam rangka memilih DPR-RI, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 dan pemilihan umum pada rezim kedua dalam rangka memilih kepala daerah 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pembagian rezim pemilihan umum dan pengaturan yang sumir terhadap kewenangan memutus hasil pemilihan umum berdampak pada apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili semua rezim Pemilu atau hanya Pemilu pada rezim pertama saja. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian normatif karena menggunakan data sekunder atau data kepustakaan yaitu buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, dengan metode pengolahan data adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis data bersifat deduktif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada).
{"title":"TINJAUAN TERHADAP KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)","authors":"Budimansyah Budimansyah","doi":"10.32501/jhmb.v2i2.28","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/jhmb.v2i2.28","url":null,"abstract":"Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945, dimana salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus hasil pemilihan umum. Penyelenggaraan pemilihan umum berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan dalam rangka memilih anggota DPR-RI, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah. Pengaturan yang sumir terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus hasil pemilihan umum menjadi persoalan karena pemilihan umum berdasarkan rezim pengaturannya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pemilihan umum pada rezim pertama yaitu pemilihan umum dalam rangka memilih DPR-RI, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 dan pemilihan umum pada rezim kedua dalam rangka memilih kepala daerah 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pembagian rezim pemilihan umum dan pengaturan yang sumir terhadap kewenangan memutus hasil pemilihan umum berdampak pada apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili semua rezim Pemilu atau hanya Pemilu pada rezim pertama saja. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian normatif karena menggunakan data sekunder atau data kepustakaan yaitu buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, dengan metode pengolahan data adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis data bersifat deduktif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada).","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"46 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123528880","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Mediasi sebagai salah satu Alternatif Dispute Resolution (ADR) sebagai cara menyelesaikan sengketa yang humanis dan berkeadilan. Humanis karena masalah keputusan (kesepakatan damai) menjadi otoritas para pihak yang bersengketa dan menjaga hubungan baik. Adil karena masing-masing pihak menegosiasikan opsi jalan keluar atas solusi gagas dan outputnya win-win. Oleh akurat, tepat sengketa secara langsung dan orang beralih ke mediasi. Peraturan Mahkamah Agung PerMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadiilan telah memadukan mediasi dalam sistem beracara di pengadilan. Setiap perkara perdata harus dilucuti dulu dulu melalui cara mediasi. Setiap putusan hakim yang tidak melalui cara mediasi terlebih dahulu, maka putusan dianggap batal demi hukum. Tulisan ini membahas tentang efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan agama di Pulau Jawa, karena perkara perceraian adalah perkara yang disingkat rangking tertinggi di Pengadilan Agama. Adapun fokus kajiannya adalah implementasi mediasi perkara perceraian, standar mediasi perkara perceraian dan respon masyarakat berperkara terhadap upaya damai yang dilaksanakan oleh Mediator Non Hakim.
{"title":"EFEKTIFITAS PERAN MEDIATOR NON HAKIM DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PULAU JAWA","authors":"Dessy Sunarsi, Yuherman Yuherman, S. Sumiyati","doi":"10.32501/JHMB.V2I2.32","DOIUrl":"https://doi.org/10.32501/JHMB.V2I2.32","url":null,"abstract":"Mediasi sebagai salah satu Alternatif Dispute Resolution (ADR) sebagai cara menyelesaikan sengketa yang humanis dan berkeadilan. Humanis karena masalah keputusan (kesepakatan damai) menjadi otoritas para pihak yang bersengketa dan menjaga hubungan baik. Adil karena masing-masing pihak menegosiasikan opsi jalan keluar atas solusi gagas dan outputnya win-win. Oleh akurat, tepat sengketa secara langsung dan orang beralih ke mediasi. Peraturan Mahkamah Agung PerMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadiilan telah memadukan mediasi dalam sistem beracara di pengadilan. Setiap perkara perdata harus dilucuti dulu dulu melalui cara mediasi. Setiap putusan hakim yang tidak melalui cara mediasi terlebih dahulu, maka putusan dianggap batal demi hukum. Tulisan ini membahas tentang efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan agama di Pulau Jawa, karena perkara perceraian adalah perkara yang disingkat rangking tertinggi di Pengadilan Agama. Adapun fokus kajiannya adalah implementasi mediasi perkara perceraian, standar mediasi perkara perceraian dan respon masyarakat berperkara terhadap upaya damai yang dilaksanakan oleh Mediator Non Hakim.","PeriodicalId":302840,"journal":{"name":"JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI","volume":"73 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127278509","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}