Fillah Fithra Dieny, Nurmasari Widyastuti, Deny Yudi Fitranti, Choirun Nissa, Fahmy Arif Tsani, Firdananda Fikri Jauharany
Latar Belakang. Wanita usia subur (WUS) terutama di Indonesia saat ini menghadapi masalah gizi ganda yang kompleks. Obesitas merupakan salah satu masalah gizi yang paling banyak dialami oleh WUS. Anemia merupakan satu sisi lain dari masalah gizi ganda yang banyak dialami di negara berkembang. Obesitas diketahui memiliki hubungan dengan anemia pada WUS. Tujuan. Menganalisis status besi pada WUS pranikah dengan status gizi obesitas dan non obesitas. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross-sectional yang dilakukan pada 50 mahasiswi Universitas Diponegoro, Semarang. Subjek berusia 18-25 tahun dan dipilih dengan metode systematic random sampling. Subjek terdiri dari 25 mahasiswi obesitas dan 25 mahasiswi non obesitas. Status besi diukur melalui serum besi, serum Transferrin Saturation (TSAT), dan Total Iron Binding Capacity (TIBC). Status obesitas dilihat melalui pengukuran antropometri persen lemak tubuh. Uji T tidak berpasangan digunakan untuk mengetahui perbedaan status besi pada WUS pranikah obesitas dan non obesitas. Hasil. Ada perbedaan kadar serum besi (p=0,027), TIBC (p=0,034), dan TSAT (p=0,004) antara kelompok obesitas dan non obesitas. Kadar serum besi kelompok obesitas lebih rendah, ditunjukkan dengan rerata sebesar 83,99±20,66 μg/dl pada kelompok obesitas, sedangkan kelompok non obesitas sebesar 99,2±26,03 μg/dl. Kadar TIBC kelompok obesitas lebih tinggi dilihat dari reratanya sebesar 420,98±47,22 μg/dl, sedangkan kelompok non obesitas 389,94±53,35 μg/dl. Pengukuran TSAT menunjukkan kelompok obesitas memiliki kadar yang lebih rendah ditunjukkan dengan reratanya 20,13±5,27%, sedangkan kelompok non obesitas memiliki rerata sebesar 25,99±7,92%. Kesimpulan. Kelompok obesitas memiliki rata-rata kadar serum besi dan TSAT lebih rendah serta rata-rata kadar TIBC lebih tinggi.
{"title":"DEFISIENSI BESI PADA WANITA USIA SUBUR PRANIKAH OBESITAS","authors":"Fillah Fithra Dieny, Nurmasari Widyastuti, Deny Yudi Fitranti, Choirun Nissa, Fahmy Arif Tsani, Firdananda Fikri Jauharany","doi":"10.22435/MGMI.V10I2.599","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/MGMI.V10I2.599","url":null,"abstract":"Latar Belakang. Wanita usia subur (WUS) terutama di Indonesia saat ini menghadapi masalah gizi ganda yang kompleks. Obesitas merupakan salah satu masalah gizi yang paling banyak dialami oleh WUS. Anemia merupakan satu sisi lain dari masalah gizi ganda yang banyak dialami di negara berkembang. Obesitas diketahui memiliki hubungan dengan anemia pada WUS. Tujuan. Menganalisis status besi pada WUS pranikah dengan status gizi obesitas dan non obesitas. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross-sectional yang dilakukan pada 50 mahasiswi Universitas Diponegoro, Semarang. Subjek berusia 18-25 tahun dan dipilih dengan metode systematic random sampling. Subjek terdiri dari 25 mahasiswi obesitas dan 25 mahasiswi non obesitas. Status besi diukur melalui serum besi, serum Transferrin Saturation (TSAT), dan Total Iron Binding Capacity (TIBC). Status obesitas dilihat melalui pengukuran antropometri persen lemak tubuh. Uji T tidak berpasangan digunakan untuk mengetahui perbedaan status besi pada WUS pranikah obesitas dan non obesitas. Hasil. Ada perbedaan kadar serum besi (p=0,027), TIBC (p=0,034), dan TSAT (p=0,004) antara kelompok obesitas dan non obesitas. Kadar serum besi kelompok obesitas lebih rendah, ditunjukkan dengan rerata sebesar 83,99±20,66 μg/dl pada kelompok obesitas, sedangkan kelompok non obesitas sebesar 99,2±26,03 μg/dl. Kadar TIBC kelompok obesitas lebih tinggi dilihat dari reratanya sebesar 420,98±47,22 μg/dl, sedangkan kelompok non obesitas 389,94±53,35 μg/dl. Pengukuran TSAT menunjukkan kelompok obesitas memiliki kadar yang lebih rendah ditunjukkan dengan reratanya 20,13±5,27%, sedangkan kelompok non obesitas memiliki rerata sebesar 25,99±7,92%. Kesimpulan. Kelompok obesitas memiliki rata-rata kadar serum besi dan TSAT lebih rendah serta rata-rata kadar TIBC lebih tinggi.","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45471087","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-06-29DOI: 10.22435/MGMI.V10I2.1926
S. Riyanto, Diah Yunitawati, Nafisah Nur'aini
Latar Belakang. Pertumbuhan anak baru masuk sekolah dasar (6-8 tahun) di daerah endemik GAKI cenderung lebih buruk dibanding anak dengan usia sama di daerah non-endemik. Kekurangan asupan iodium dapat berdampak pada gangguan perkembangan fungsi kognitif anak. Kondisi stunting juga berdampak pada gangguan fungsi kognitif anak Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan fungsi tiroid dan kognitif siswa sekolah dasar yang mengalami stunting di daerah replete dan non replete GAKI. Metode. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Lokasi penelitian di Kabupaten Magelang yaitu Kecamatan Ngablak sebagai daerah replete GAKI dan Kota Mungkid sebagai daerah non replete. Jumlah minimal partisipan 28 siswa stunting dan 28 siswa dengan status gizi normal di masing-masing daerah. Hasil. Seluruh kelompok responden memiliki asupan iodium berlebih (median UIE ≥200 µg/L). Tidak terdapat perbedaan fungsi tiroid (TSH dan fT4) pada keempat kelompok responden (p>0,05). Terdapat perbedaan IQ dikeempat kelompok, dimana kelompok responden dengan tinggi badan normal di daerah non replete memiliki IQ paling tinggi (104±13,1). Kesimpulan. Fungsi tiroid siswa dalam kondisi normal. IQ siswa sekolah dasar dengan tinggi badan normal di daerah non replete GAKI lebih tinggi dibanding pada siswa stunting di daerah yang sama maupun siswa normal dan stunting di daerah replete GAKI.
{"title":"FUNGSI TIROID DAN KOGNITIF SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN STUNTING DI DAERAH REPLETE DAN NON REPLETE GAKI","authors":"S. Riyanto, Diah Yunitawati, Nafisah Nur'aini","doi":"10.22435/MGMI.V10I2.1926","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/MGMI.V10I2.1926","url":null,"abstract":"Latar Belakang. Pertumbuhan anak baru masuk sekolah dasar (6-8 tahun) di daerah endemik GAKI cenderung lebih buruk dibanding anak dengan usia sama di daerah non-endemik. Kekurangan asupan iodium dapat berdampak pada gangguan perkembangan fungsi kognitif anak. Kondisi stunting juga berdampak pada gangguan fungsi kognitif anak Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan fungsi tiroid dan kognitif siswa sekolah dasar yang mengalami stunting di daerah replete dan non replete GAKI. Metode. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Lokasi penelitian di Kabupaten Magelang yaitu Kecamatan Ngablak sebagai daerah replete GAKI dan Kota Mungkid sebagai daerah non replete. Jumlah minimal partisipan 28 siswa stunting dan 28 siswa dengan status gizi normal di masing-masing daerah. Hasil. Seluruh kelompok responden memiliki asupan iodium berlebih (median UIE ≥200 µg/L). Tidak terdapat perbedaan fungsi tiroid (TSH dan fT4) pada keempat kelompok responden (p>0,05). Terdapat perbedaan IQ dikeempat kelompok, dimana kelompok responden dengan tinggi badan normal di daerah non replete memiliki IQ paling tinggi (104±13,1). Kesimpulan. Fungsi tiroid siswa dalam kondisi normal. IQ siswa sekolah dasar dengan tinggi badan normal di daerah non replete GAKI lebih tinggi dibanding pada siswa stunting di daerah yang sama maupun siswa normal dan stunting di daerah replete GAKI.","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":"10 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41249037","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-06-29DOI: 10.22435/MGMI.V10I2.1384
Putri Bungsu Machmud, R. D. Hatma, A. Syafiq
Background. Anemia in pregnancy is an essential problem due to affect to not only the mother’s life but also to baby’s life. An iron deficiency causes about 75 percent of anemia during pregnancy. Objective. This study aimed to identify risk factors for iron deficiency among pregnant women and determine the possible link between iron status and tannin levels associated with tea consumption. Method. The population-based cross-sectional studies were conducted from secondary data of previous thesis-research in 2013, “Pengaruh Kadar Tanin pada Teh Celup terhadap Anemia Gizi Besi (AGB) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012”. The study population consisted of 94 randomly selected pregnant women. The inclusion criteria were pregnant women who participated in the previous study and have a complete antenatal care record. Demographic data were collected, including data on age, working status, gestational stage, time since last pregnancy, and parity. The information included nutritional variables, such as iron supplements, nutritional status, and iron intake. Also, data for tannin level grouped as low, medium, and high based on the frequency of daily tea consumption and tea-making habits. The linear model analysis was used to determine the influence of tea consumption on serum ferritin levels. Results. The results showed that time since last pregnancy (<2 years), parity (more than two children), reduced consumption of foods containing heme, and levels of tannin consumption (low, medium, or high) were predictors of iron-deficiency anemia. The results also suggested that tannin levels were inversely proportional to serum ferritin levels. Conclusion. Pregnant women who consumed tea with a low tannin level had the highest serum ferritin levels, whereas those who drank tea with medium and high tannin levels had the lowest serum ferritin levels.
背景。妊娠期贫血是一个重要的问题,不仅影响到母亲的生命,也会影响到婴儿的生命。约75%的孕期贫血是由缺铁引起的。目标。这项研究旨在确定孕妇缺铁的危险因素,并确定铁状态和单宁水平之间可能存在的联系。方法。基于人群的横断面研究是根据2013年之前的论文研究的二手数据进行的,“Pengaruh Kadar Tanin pada Teh Celup terhadap Anemia Gizi Besi (AGB) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup kabupten Bogor Tahun 2012”。研究人群包括94名随机选择的孕妇。纳入标准是参加过先前研究并有完整产前护理记录的孕妇。收集人口统计数据,包括年龄、工作状况、妊娠期、上次怀孕时间和胎次。这些信息包括营养变量,如铁补充剂、营养状况和铁摄入量。此外,根据日常饮茶的频率和泡茶习惯,单宁水平的数据分为低、中、高三种。采用线性模型分析确定饮茶量对血清铁蛋白水平的影响。结果。结果显示,上一次怀孕的时间(<2年)、胎次(超过两个孩子)、含血红素食物的摄入量减少以及单宁消耗水平(低、中、高)是缺铁性贫血的预测因素。结果还表明,单宁水平与血清铁蛋白水平成反比。结论。饮用低单宁茶的孕妇血清铁蛋白水平最高,而饮用中高单宁茶的孕妇血清铁蛋白水平最低。
{"title":"TEA CONSUMPTION AND IRON-DEFICIENCY ANEMIA AMONG PREGNANT WOMAN IN BOGOR DISTRICT, INDONESIA","authors":"Putri Bungsu Machmud, R. D. Hatma, A. Syafiq","doi":"10.22435/MGMI.V10I2.1384","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/MGMI.V10I2.1384","url":null,"abstract":"Background. Anemia in pregnancy is an essential problem due to affect to not only the mother’s life but also to baby’s life. An iron deficiency causes about 75 percent of anemia during pregnancy. Objective. This study aimed to identify risk factors for iron deficiency among pregnant women and determine the possible link between iron status and tannin levels associated with tea consumption. Method. The population-based cross-sectional studies were conducted from secondary data of previous thesis-research in 2013, “Pengaruh Kadar Tanin pada Teh Celup terhadap Anemia Gizi Besi (AGB) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012”. The study population consisted of 94 randomly selected pregnant women. The inclusion criteria were pregnant women who participated in the previous study and have a complete antenatal care record. Demographic data were collected, including data on age, working status, gestational stage, time since last pregnancy, and parity. The information included nutritional variables, such as iron supplements, nutritional status, and iron intake. Also, data for tannin level grouped as low, medium, and high based on the frequency of daily tea consumption and tea-making habits. The linear model analysis was used to determine the influence of tea consumption on serum ferritin levels. Results. The results showed that time since last pregnancy (<2 years), parity (more than two children), reduced consumption of foods containing heme, and levels of tannin consumption (low, medium, or high) were predictors of iron-deficiency anemia. The results also suggested that tannin levels were inversely proportional to serum ferritin levels. Conclusion. Pregnant women who consumed tea with a low tannin level had the highest serum ferritin levels, whereas those who drank tea with medium and high tannin levels had the lowest serum ferritin levels.","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43046005","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-06-29DOI: 10.22435/MGMI.V10I2.1365
D. Astuti, Aryu Candra, Deny Yudi Fitranti
Latar Belakang. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung hingga alveoli dan berlangsung selama tidak lebih dari 14 hari. Pemberian suplementasi seng dan zat besi dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyakit infeksi. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian suplementasi zat besi dan seng terhadap frekuensi ISPA pada balita. Metode. Penelitian ini menggunakan desain Randomized Controlled Trial (RCT). Sebanyak 40 balita berusia 2-5 tahun yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol (mendapat sirup biasa), kelompok suplementasi seng (mendapat suplemen seng 10 mg/hari), kelompok suplementasi zat besi (mendapat suplemen zat besi 7,5 mg/hari), dan kelompok suplementasi seng dan zat besi (mendapat suplemen seng 10 mg/hari dan zat besi 7,5 mg/hari) selama 6 minggu. Pengumpulan data frekuensi ISPA dilakukan setiap akhir minggu dengan anemnesis dan pemeriksaan fisik. Data dianalisis menggunakan uji One Way ANOVA dan Kruskal Wallis. Hasil. Berdasarkan skor tanda gejala, kelompok yang memiliki nilai skor tanda gejala paling rendah ada pada kelompok suplementasi seng dan zat besi. Sedangkan berdasarkan skor durasi ISPA, kelompok yang memiliki durasi ISPA terpendek terdapat pada kelompok suplementasi seng dengan skor 1,22 ± 0,50. Rerata frekuensi ISPA paling rendah terdapat pada kelompok suplementasi zat besi dengan angka 1,67 ± 0,86. Tidak terdapat perbedaan rerata frekuensi, skor tanda gejala, durasi, serta tingkat keparahan ISPA yang signifikan antar keempat kelompok (p>0,05). Kesimpulan. Pemberian suplementasi seng sebanyak 10 mg/hari dan zat besi sebanyak 7,5 mg/hari tidak berpengaruh pada frekuensi ISPA balita.
{"title":"PENGARUH SUPLEMENTASI ZAT BESI DAN SENG TERHADAP FREKUENSI ISPA PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN","authors":"D. Astuti, Aryu Candra, Deny Yudi Fitranti","doi":"10.22435/MGMI.V10I2.1365","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/MGMI.V10I2.1365","url":null,"abstract":"Latar Belakang. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung hingga alveoli dan berlangsung selama tidak lebih dari 14 hari. Pemberian suplementasi seng dan zat besi dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyakit infeksi. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian suplementasi zat besi dan seng terhadap frekuensi ISPA pada balita. Metode. Penelitian ini menggunakan desain Randomized Controlled Trial (RCT). Sebanyak 40 balita berusia 2-5 tahun yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol (mendapat sirup biasa), kelompok suplementasi seng (mendapat suplemen seng 10 mg/hari), kelompok suplementasi zat besi (mendapat suplemen zat besi 7,5 mg/hari), dan kelompok suplementasi seng dan zat besi (mendapat suplemen seng 10 mg/hari dan zat besi 7,5 mg/hari) selama 6 minggu. Pengumpulan data frekuensi ISPA dilakukan setiap akhir minggu dengan anemnesis dan pemeriksaan fisik. Data dianalisis menggunakan uji One Way ANOVA dan Kruskal Wallis. Hasil. Berdasarkan skor tanda gejala, kelompok yang memiliki nilai skor tanda gejala paling rendah ada pada kelompok suplementasi seng dan zat besi. Sedangkan berdasarkan skor durasi ISPA, kelompok yang memiliki durasi ISPA terpendek terdapat pada kelompok suplementasi seng dengan skor 1,22 ± 0,50. Rerata frekuensi ISPA paling rendah terdapat pada kelompok suplementasi zat besi dengan angka 1,67 ± 0,86. Tidak terdapat perbedaan rerata frekuensi, skor tanda gejala, durasi, serta tingkat keparahan ISPA yang signifikan antar keempat kelompok (p>0,05). Kesimpulan. Pemberian suplementasi seng sebanyak 10 mg/hari dan zat besi sebanyak 7,5 mg/hari tidak berpengaruh pada frekuensi ISPA balita.","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48226035","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Paramitha W.N. Marlina, Raden Roro Dwi Agustine Maulianti, Maria Meylan Yuliany Fernandez
Latar Belakang. Masa balita merupakan periode emas pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kebanyakan masalah gizi yang terjadi saat ini akibat tidak seimbangnya asupan makanan yang dikonsumsi oleh balita baik secara makro maupun mikro. Perlu dikembangkan biskuit Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) berbahan pangan lokal yang dapat memenuhi kebutuhan gizi mikro. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formulasi, menguji daya simpan, menganalisis kandungan zat gizi, dan menguji penerimaan konsumen dari biskuit yang dikembangkan, yaitu; berbasis campuran tepung terigu (TT), tepung ubi jalar ungu (TUJU), tepung kacang merah (TKM), dan tepung wijen (TW) sebagai alternatif produk MPASI. Metode. Desain penelitian adalah studi eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian dilakukan pada Mei-Juli 2017 di Laboratorium Gizi Kuliner STIK Sint Carolus dan Saraswati Indo Genetech, Bogor. Tahapan penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu perancangan formula produk MPASI, analisis kandungan zat gizi dan uji daya simpan produk, serta analisis organoleptik dan penentuan produk terpilih. Data dianalisis menggunakan uji Kruskall Wallis untuk mengetahui perbedaan yang dimiliki oleh tiap produk yang dihasilkan. Hasil. Formulasi penambahan maksimal didapat dari tepung wijen dan tepung kacang merah sebesar 7,5 persen. Produk biskuit yang terpilih oleh 51,35 persen panelis adalah biskuit F367 dengan komposisi TT 30 persen, TUJU 60 persen, TKM 2,5 persen, dan TW 7,5 persen. Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap warna, rasa, dan mutu tekstur dengan p-value ≤0,05. Hasil analisis kandungan zat gizi biskuit MPASI F367 seperti kadar abu, protein dan karbohidrat, fosfor, dan energi sudah memenuhi standar SNI 01-7111.2-2005. Daya simpan produk berlangsung selama 42 hari dengan mutu kerenyahan tergolong cukup renyah. Kesimpulan. Formulasi terpilih adalah F367 yang terdiri dari TT 30 persen, TUJU 60 persen, TKM 2,5 persen, dan TW 7,5 persen sebagai produk MPASI. Produk F367 ini dapat menjadi alternatif produk MPASI.
背景这则新闻是人类成长和发展的黄金时期。目前出现的大多数Gizmo问题都是由于宏观或微观新闻消费的食物摄入不平衡造成的。妈妈的奶水饼干(MPASI)需要开发出来,而不是当地的食物,以满足微吉兹的需求。目标本研究的目的是开发配方,测试储存能力,分析gizi的含量,并测试消费者对开发饼干的接受程度,即;基于烤面粉(TT)、紫色稻草粉(TUJU)、红豆粉(TKM)和葡萄酒粉(TW)的混合物作为MPASI的替代产品。方法研究设计是一项随机设计(RAL)的实验研究。这项研究于2017年5月至7月在茂物的Gizi Kuliner实验室STIK Sint Carolus和Saraswati Indo-Genetech进行。研究阶段包括三个阶段:MPASI产品配方的设计、gizi物质含量的分析和产品储存能力的测试,以及感官分析和选定产品的确定。使用Kruskall-Wallis测试分析数据,以确定每种产品产生的差异。后果葡萄粉和花生粉的最大添加量为7.5%。51.35%的面板选择的饼干产品是F367饼干,TT为30%,U.S.为60%,TKM为2.5%,TW为7.5%。p值[UNK]≤0,05时,对颜色、味道和质地静音有显著影响。MPASI F367饼干洗碗机的灰分、蛋白质和碳水化合物、磷、能量等含量分析结果符合SNI标准01-7111.2-2005。该产品的储存能力可持续42天,羊肉的满意度相当低。结论。所选配方为F367,作为MPASI产品,其由TT 30%、U.S.60%、TKM 2.5%和TW 7.5%组成。该F367产品可以是MPASI的替代产品。
{"title":"PENGEMBANGAN BISKUIT MPASI BERBAHAN DASAR BERBAGAI MACAM TEPUNG SEBAGAI PRODUK INOVASI MPASI","authors":"Paramitha W.N. Marlina, Raden Roro Dwi Agustine Maulianti, Maria Meylan Yuliany Fernandez","doi":"10.22435/MGMI.V10I1.587","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/MGMI.V10I1.587","url":null,"abstract":"Latar Belakang. Masa balita merupakan periode emas pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kebanyakan masalah gizi yang terjadi saat ini akibat tidak seimbangnya asupan makanan yang dikonsumsi oleh balita baik secara makro maupun mikro. Perlu dikembangkan biskuit Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) berbahan pangan lokal yang dapat memenuhi kebutuhan gizi mikro. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formulasi, menguji daya simpan, menganalisis kandungan zat gizi, dan menguji penerimaan konsumen dari biskuit yang dikembangkan, yaitu; berbasis campuran tepung terigu (TT), tepung ubi jalar ungu (TUJU), tepung kacang merah (TKM), dan tepung wijen (TW) sebagai alternatif produk MPASI. Metode. Desain penelitian adalah studi eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian dilakukan pada Mei-Juli 2017 di Laboratorium Gizi Kuliner STIK Sint Carolus dan Saraswati Indo Genetech, Bogor. Tahapan penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu perancangan formula produk MPASI, analisis kandungan zat gizi dan uji daya simpan produk, serta analisis organoleptik dan penentuan produk terpilih. Data dianalisis menggunakan uji Kruskall Wallis untuk mengetahui perbedaan yang dimiliki oleh tiap produk yang dihasilkan. Hasil. Formulasi penambahan maksimal didapat dari tepung wijen dan tepung kacang merah sebesar 7,5 persen. Produk biskuit yang terpilih oleh 51,35 persen panelis adalah biskuit F367 dengan komposisi TT 30 persen, TUJU 60 persen, TKM 2,5 persen, dan TW 7,5 persen. Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap warna, rasa, dan mutu tekstur dengan p-value ≤0,05. Hasil analisis kandungan zat gizi biskuit MPASI F367 seperti kadar abu, protein dan karbohidrat, fosfor, dan energi sudah memenuhi standar SNI 01-7111.2-2005. Daya simpan produk berlangsung selama 42 hari dengan mutu kerenyahan tergolong cukup renyah. Kesimpulan. Formulasi terpilih adalah F367 yang terdiri dari TT 30 persen, TUJU 60 persen, TKM 2,5 persen, dan TW 7,5 persen sebagai produk MPASI. Produk F367 ini dapat menjadi alternatif produk MPASI.","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48420859","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-31DOI: 10.22435/mgmi.v10i1.1053
Risqa Novita
Latar Belakang. Penderita Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) meningkat setiap tahun. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi penderita TGT di wilayah perkotaan Indonesia sebesar 29,9 persen. Penderita TGT dapat berkembang menjadi Diabetes Mellitus (DM) tipe 2, sehingga pencegahan dari TGT menjadi DM tipe 2 sangat penting. Selenium dapat mencegah DM tipe 2 karena bersifat sebagai antioksidan dan berperan dalam metabolisme glukosa. Tujuan. Untuk mengkaji selenium dalam makanan yang dapat dikonsumsi oleh penderita TGT agar tidak menjadi DM tipe 2. Metode. Tulisan ini merupakan kajian dari literatur-literatur yang ada di Google Scholar, Pubmed dan Elsevier dengan pencarian menggunakan kata kunci Selenium, TGT dan DM tipe 2. Hasil. Berdasarkan hasil dari penelusuran literatur, didapatkan hasil bahwa selenium dalam makanan dapat digunakan untuk penderita TGT jika sesuai dosis yang disarankan. Kesimpulan. Selenium dapat dikonsumsi oleh penderita TGT agar tidak menjadi DM tipe 2 sebagai upaya pencegahan agar penderita TGT tidak menjadi DM tipe 2, sebesar 200 µg per hari selama enam minggu dan Selenium yang baik dikonsumsi berbentuk organik yang berasal dari sayuran hijau, sereal, produk hewani dan kacang-kacangan.
{"title":"KONSUMSI SELENIUM UNTUK MENCEGAH PENDERITA TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU MENJADI DIABETES MELLITUS TIPE 2","authors":"Risqa Novita","doi":"10.22435/mgmi.v10i1.1053","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/mgmi.v10i1.1053","url":null,"abstract":"Latar Belakang. Penderita Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) meningkat setiap tahun. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi penderita TGT di wilayah perkotaan Indonesia sebesar 29,9 persen. Penderita TGT dapat berkembang menjadi Diabetes Mellitus (DM) tipe 2, sehingga pencegahan dari TGT menjadi DM tipe 2 sangat penting. Selenium dapat mencegah DM tipe 2 karena bersifat sebagai antioksidan dan berperan dalam metabolisme glukosa. Tujuan. Untuk mengkaji selenium dalam makanan yang dapat dikonsumsi oleh penderita TGT agar tidak menjadi DM tipe 2. Metode. Tulisan ini merupakan kajian dari literatur-literatur yang ada di Google Scholar, Pubmed dan Elsevier dengan pencarian menggunakan kata kunci Selenium, TGT dan DM tipe 2. Hasil. Berdasarkan hasil dari penelusuran literatur, didapatkan hasil bahwa selenium dalam makanan dapat digunakan untuk penderita TGT jika sesuai dosis yang disarankan. Kesimpulan. Selenium dapat dikonsumsi oleh penderita TGT agar tidak menjadi DM tipe 2 sebagai upaya pencegahan agar penderita TGT tidak menjadi DM tipe 2, sebesar 200 µg per hari selama enam minggu dan Selenium yang baik dikonsumsi berbentuk organik yang berasal dari sayuran hijau, sereal, produk hewani dan kacang-kacangan.","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41397271","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-30DOI: 10.22435/MGMI.V10I1.1062
Ayatun Fil Ilmi, D. Utari
Latar belakang. Premenstrual syndrome (PMS) merupakan kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi, yang dialami wanita pada 7-14 hari sebelum mentruasi akibat perubahan hormonal yang berhubungan dengan siklus ovulasi. Gejala yang sering dirasakan adalah perubahan mood, nyeri sendi atau otot, dan nyeri perut. PMS pada remaja putri dapat mengganggu aktivitas dan konsentrasi belajar. Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan gejala premenstrual syndrome pada mahasiswi Universitas Indonesia. Metode. Desain studi dalam penelitian ini adalah cross sectional dengan consecutive sampling technique. Sampel penelitian berjumlah 130 mahasiswi yang berasal dari S1 reguler Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Departemen Arsitek Fakultas Teknik angkatan 2015/2016. Variabel yang diteliti terdiri dari gejala premenstrual syndrome, tingkat stres, aktivitas fisik, asupan gizi mikro (piridoksin, vitamin D, kalsium dan magnesium), pola tidur, dan status gizi. Hasil. Hasil penelitian menunjukan sebanyak 36,9 persen mahasiswi mengalami gejala PMS sedang hingga berat. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres (p=0,001), asupan piridoksin (p=0,003), asupan magnesium (p=0,044), pola tidur (p=0,006) dengan gejala premenstrual syndrome. Faktor yang paling dominan mempengaruhi gejala PMS adalah pola tidur (OR=3,580). Mahasiswi dengan pola tidur yang buruk berisiko mengalami premenstrual syndrome 3,580 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswi yang memiliki pola tidur yang baik. Kesimpulan. Disarankan pihak kampus dapat memberikan promosi kesehatan yang berhubungan dengan gejala premenstrual syndrome, pentingnya pola tidur yang baik dan cukup, pengendalian stres, dan pentingnya asupan gizi mikro.
背景。月经前综合症(PMS)是生理、心理和情感症状的汇集,妇女在实现排卵性荷尔蒙变化前7-14天所经历的。常见的症状是情绪变化、关节或肌肉疼痛和腹痛。年轻女性的性病会干扰活动和学习注意力。目标。本研究的目的是确定印尼大学生月经前综合症症状的主要因素。方法。本研究的设计研究采用了结论性技术。研究样本来自公共卫生学院和工程学院(school of public health)的普通学士学位和工程部(archculture of engineschool of engineschool),共130名学生。受研究的变量包括月经前症状、压力水平、体育活动、微营养摄入(piridoksin、维生素D、钙和镁)、睡眠模式和营养状况。结果。调查显示,多达36.9%的大学生有中度到严重的经前综合症症状。压力水平(p= 0.001)、piridoksin摄入量(p= 0.003)、镁摄入量(p= 0.044)、睡眠模式(p= 0.006)与月经前综合症症状有显著关系。影响经前综合症症状的主要因素是睡眠模式(或= 3.580)。睡眠模式不佳的学生患经期前综合症的风险是有规律睡眠模式的学生的3580倍。结论。建议校方可以提供与月经前症状相关的健康促进,适当的睡眠模式的重要性,压力控制,以及微营养摄入的重要性。
{"title":"FAKTOR DOMINAN PREMENSTRUAL SYNDROME PADA MAHASISWI (STUDI PADA MAHASISWI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT DAN DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS INDONESIA)","authors":"Ayatun Fil Ilmi, D. Utari","doi":"10.22435/MGMI.V10I1.1062","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/MGMI.V10I1.1062","url":null,"abstract":"Latar belakang. Premenstrual syndrome (PMS) merupakan kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi, yang dialami wanita pada 7-14 hari sebelum mentruasi akibat perubahan hormonal yang berhubungan dengan siklus ovulasi. Gejala yang sering dirasakan adalah perubahan mood, nyeri sendi atau otot, dan nyeri perut. PMS pada remaja putri dapat mengganggu aktivitas dan konsentrasi belajar. Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan gejala premenstrual syndrome pada mahasiswi Universitas Indonesia. Metode. Desain studi dalam penelitian ini adalah cross sectional dengan consecutive sampling technique. Sampel penelitian berjumlah 130 mahasiswi yang berasal dari S1 reguler Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Departemen Arsitek Fakultas Teknik angkatan 2015/2016. Variabel yang diteliti terdiri dari gejala premenstrual syndrome, tingkat stres, aktivitas fisik, asupan gizi mikro (piridoksin, vitamin D, kalsium dan magnesium), pola tidur, dan status gizi. Hasil. Hasil penelitian menunjukan sebanyak 36,9 persen mahasiswi mengalami gejala PMS sedang hingga berat. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres (p=0,001), asupan piridoksin (p=0,003), asupan magnesium (p=0,044), pola tidur (p=0,006) dengan gejala premenstrual syndrome. Faktor yang paling dominan mempengaruhi gejala PMS adalah pola tidur (OR=3,580). Mahasiswi dengan pola tidur yang buruk berisiko mengalami premenstrual syndrome 3,580 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswi yang memiliki pola tidur yang baik. Kesimpulan. Disarankan pihak kampus dapat memberikan promosi kesehatan yang berhubungan dengan gejala premenstrual syndrome, pentingnya pola tidur yang baik dan cukup, pengendalian stres, dan pentingnya asupan gizi mikro.","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48688036","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-30DOI: 10.22435/mgmi.v10i1.1004
T. Hidayat, Alfien Susbiantonny
Latar belakang. Terdapat hubungan yang kompleks antara penyakit tiroid, berat badan, dan metabolisme. Hipotiroidisme dan obesitas merupakan dua keadaan yang secara umum sering dikaitkan. Namun demikian, perubahan aksis hipotalamus-pituitari-tiroid (HPT) dan kadar hormon tiroid perifer dilaporkan bertentangan dengan efek hormon tiroid pada nafsu makan. Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh hipotiroid terhadap berat badan dan konsumsi pakan pada tikus jantan galur Wistar. Metode. Dua belas tikus Wistar jantan dengan berat rata-rata 200-250 g dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok diberikan PTU 54 mg/kgbb/hari secara oral selama 14 hari untuk menginduksi hipotiroid dan 1 kelompok kontrol diberikan akuades secara oral. Tikus ditimbang setiap minggu dan konsumsi pakan diamati setiap hari. Kadar TSH dan FT4 serum diperiksa pada akhir penelitian. Hasil. Berat badan kelompok hipotiroid (245,05 ± 11,685) lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan kontrol (220,01 ± 8,338) (p<0,05), konsumsi pakan kelompok hipotiroid (15,80 ± 2,348) lebih rendah bermakna dibandingkan dengan kontrol (18,94 ± 0,911) (p<0,05). Kadar FT4 serum berhubungan negatif secara bermakna dengan berat badan (r=-0,608, p<0,05), dan berhubungan positif dengan konsumsi pakan (r=0,550, p=0,064). Kadar TSH serum secara bermakna berhubungan positif dengan berat badan (r=0,849, p<0,01) dan secara bermakna berhubungan negatif dengan konsumsi pakan (r=-0,739, p<0,01). Kesimpulan. Hipotiroid meningkatkan berat badan dan menurunkan konsumsi pakan pada tikus jantan galur Wistar. Kadar FT4 rendah berhubungan dengan peningkatan berat badan. Kadar TSH tinggi berhubungan dengan peningkatan berat badan dan penurunan konsumsi pakan.
{"title":"PENGARUH HIPOTIROID TERHADAP BERAT BADAN DAN KONSUMSI PAKAN PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR","authors":"T. Hidayat, Alfien Susbiantonny","doi":"10.22435/mgmi.v10i1.1004","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/mgmi.v10i1.1004","url":null,"abstract":"Latar belakang. Terdapat hubungan yang kompleks antara penyakit tiroid, berat badan, dan metabolisme. Hipotiroidisme dan obesitas merupakan dua keadaan yang secara umum sering dikaitkan. Namun demikian, perubahan aksis hipotalamus-pituitari-tiroid (HPT) dan kadar hormon tiroid perifer dilaporkan bertentangan dengan efek hormon tiroid pada nafsu makan. Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh hipotiroid terhadap berat badan dan konsumsi pakan pada tikus jantan galur Wistar. Metode. Dua belas tikus Wistar jantan dengan berat rata-rata 200-250 g dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok diberikan PTU 54 mg/kgbb/hari secara oral selama 14 hari untuk menginduksi hipotiroid dan 1 kelompok kontrol diberikan akuades secara oral. Tikus ditimbang setiap minggu dan konsumsi pakan diamati setiap hari. Kadar TSH dan FT4 serum diperiksa pada akhir penelitian. Hasil. Berat badan kelompok hipotiroid (245,05 ± 11,685) lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan kontrol (220,01 ± 8,338) (p<0,05), konsumsi pakan kelompok hipotiroid (15,80 ± 2,348) lebih rendah bermakna dibandingkan dengan kontrol (18,94 ± 0,911) (p<0,05). Kadar FT4 serum berhubungan negatif secara bermakna dengan berat badan (r=-0,608, p<0,05), dan berhubungan positif dengan konsumsi pakan (r=0,550, p=0,064). Kadar TSH serum secara bermakna berhubungan positif dengan berat badan (r=0,849, p<0,01) dan secara bermakna berhubungan negatif dengan konsumsi pakan (r=-0,739, p<0,01). Kesimpulan. Hipotiroid meningkatkan berat badan dan menurunkan konsumsi pakan pada tikus jantan galur Wistar. Kadar FT4 rendah berhubungan dengan peningkatan berat badan. Kadar TSH tinggi berhubungan dengan peningkatan berat badan dan penurunan konsumsi pakan.","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49345347","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar belakang. Anemia merupakan tahap akhir defisiensi zat besi. Kekurangan zat besi pada siklus 270 hari pertama kehidupan dapat membawa dampak buruk pada periode kehidupan selanjutnya. WHO merekomendasikan seluruh wanita hamil agar mendapatkan suplementasi zat besi. Namun, faktanya prevalensi anemia masih tinggi pada kelompok ibu hamil. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kejadian anemia pada 270 hari pertama kehidupan dan usia ibu terhadap berat bayi lahir. Metode. Penelitian dilaksanakan di tiga Puskesmas di Sukoharjo, Indonesia pada Febuari-April 2018. Pemilihan tiga Puskesmas dilakukan secara purposive sampling dengan jumlah populasi 670 ibu. Sebanyak 129 ibu terpilih, subjek merupakan ibu yang memiliki balita (12-24 bulan). Subjek diwawancara menggunakan kuesioner sosio demografi, sedangkan data anemia didapat dari buku KIA. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik untuk mengetahui faktor yang paling berhubungan dengan berat bayi lahir. Penentuan rasio menggunakan Confidence Interval (CI) 95% untuk menentukan kekuatan hubungan. Nilai p <0.05 digunakan untuk menyatakan signifikansi statistik. Hasil. Dari 129 ibu, sebanyak 100 (77,5%) mengalami anemia pada siklus 0-90 hari; 83 (64,3%) pada siklus 91-180 hari; 123 (95,3%) pada siklus 181-270 hari; dan 73 (56,6%) memiliki usia risiko kehamilan. Hasil uji regresi logistik, anemia pada siklus 0-90 hari dan 91-180 hari tidak ada hubungan yang bermakna dengan berat bayi lahir (p>0.05), sedangkan anemia pada siklus 181-270 hari (p=0.01;OR=6.14) dan usia risiko kehamilan (p=0.03;OR=2.81) berhubungan dengan berat bayi lahir. Kekurangan zat besi pada siklus 181-270 hari pertama kehidupan dan usia ibu hamil yang rentan berkontribusi pada berat lahir bayi. Kesimpulan. Probabilitas ibu anemia pada siklus 181-270 hari pertama kehidupan dan memiliki usia risiko kehamilan dalam melahirkan bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebesar 7,63%.
{"title":"PENELITIAN ANEMIA PADA SIKLUS 270 HARI PERTAMA KEHIDUPAN DAN USIA IBU DENGAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH","authors":"R. Aini, D. Tamtomo, Diffah Hanim","doi":"10.22435/MGMI.V10I1.589","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/MGMI.V10I1.589","url":null,"abstract":"Latar belakang. Anemia merupakan tahap akhir defisiensi zat besi. Kekurangan zat besi pada siklus 270 hari pertama kehidupan dapat membawa dampak buruk pada periode kehidupan selanjutnya. WHO merekomendasikan seluruh wanita hamil agar mendapatkan suplementasi zat besi. Namun, faktanya prevalensi anemia masih tinggi pada kelompok ibu hamil. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kejadian anemia pada 270 hari pertama kehidupan dan usia ibu terhadap berat bayi lahir. Metode. Penelitian dilaksanakan di tiga Puskesmas di Sukoharjo, Indonesia pada Febuari-April 2018. Pemilihan tiga Puskesmas dilakukan secara purposive sampling dengan jumlah populasi 670 ibu. Sebanyak 129 ibu terpilih, subjek merupakan ibu yang memiliki balita (12-24 bulan). Subjek diwawancara menggunakan kuesioner sosio demografi, sedangkan data anemia didapat dari buku KIA. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik untuk mengetahui faktor yang paling berhubungan dengan berat bayi lahir. Penentuan rasio menggunakan Confidence Interval (CI) 95% untuk menentukan kekuatan hubungan. Nilai p <0.05 digunakan untuk menyatakan signifikansi statistik. Hasil. Dari 129 ibu, sebanyak 100 (77,5%) mengalami anemia pada siklus 0-90 hari; 83 (64,3%) pada siklus 91-180 hari; 123 (95,3%) pada siklus 181-270 hari; dan 73 (56,6%) memiliki usia risiko kehamilan. Hasil uji regresi logistik, anemia pada siklus 0-90 hari dan 91-180 hari tidak ada hubungan yang bermakna dengan berat bayi lahir (p>0.05), sedangkan anemia pada siklus 181-270 hari (p=0.01;OR=6.14) dan usia risiko kehamilan (p=0.03;OR=2.81) berhubungan dengan berat bayi lahir. Kekurangan zat besi pada siklus 181-270 hari pertama kehidupan dan usia ibu hamil yang rentan berkontribusi pada berat lahir bayi. Kesimpulan. Probabilitas ibu anemia pada siklus 181-270 hari pertama kehidupan dan memiliki usia risiko kehamilan dalam melahirkan bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebesar 7,63%. ","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":"62 6","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41310536","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Waisaktini Margareth, S. Hadisaputro, Ani Margawati
Latar Belakang. Peningkatan jumlah kasus infeksi HIV anak di Indonesia paralel dengan peningkatan persentase transmisi penularan AIDS dari ibu ke anaknya, dari 3 persen (2013) menjadi 4,6 persen (2015). Salah satu tujuan pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada kasus HIV anak adalah untuk meningkatkan jumlah sel T-CD4+. Semakin berat stadium klinisnya akan menurunkan kadar CD4+. Pemberian suplementasi zat gizi mikro dapat meningkatkan status gizi penderita HIV anak yang menjalani pengobatan ARV. Tujuan. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan asupan seng, vitamin A, dan stadium klinis infeksi HIV terhadap status gizi dan jumlah CD4+ pada kasus HIV anak di Kota dan Kabupaten Semarang. Metode. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Subjek penelitian adalah anak yang menderita HIV berumur 1-14 tahun sebanyak 31 subjek. Data yang dikumpulkan meliputi data tinggi badan (TB), berat badan (BB), asupan zat gizi yang diperoleh dengan metode food recall 2x24 jam. Jumlah CD4+ diukur melalui pemeriksaan darah subjek. Data dianalisis menggunakan uji chi-square dan regresi logistik untuk menghitung Prevalence Rasio (PR). Hasil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan seng memberikan risiko bermakna terhadap kejadian berat badan rendah (PR=3,020; p=0,029; CI=1,043-8,739). Asupan vitamin A memberikan risiko bermakna terhadap rendahnya kadar CD4+ (PR=3,036; p=0,021; CI=1,211-7,608 dan PR=2,8; p=0,018; CI=1,331-5,891). Stadium klinis tingkat sedang memberikan risiko bermakna terhadap rendahnya kadar CD4+ rendah (PR=8,211; p = 0,004; CI=1,227-54,962). Probabilitas jumlah CD4+ rendah ketika penderita pada stadium klinis infeksi HIV berat sebesar 14,3 persen. Kesimpulan. Stadium klinis sedang-berat meningkatkan risiko terjadinya penurunan jumlah CD4+ di dalam sel-T (<500sel/mm3).
{"title":"HUBUNGAN ASUPAN SENG, VITAMIN A, DAN STADIUM KLINIS TERHADAP STATUS GIZI DAN JUMLAH CD4+ PADA ANAK TERINFEKSI HIV DI WILAYAH KOTA DAN KABUPATEN SEMARANG","authors":"Waisaktini Margareth, S. Hadisaputro, Ani Margawati","doi":"10.22435/mgmi.v10i1.594","DOIUrl":"https://doi.org/10.22435/mgmi.v10i1.594","url":null,"abstract":"Latar Belakang. Peningkatan jumlah kasus infeksi HIV anak di Indonesia paralel dengan peningkatan persentase transmisi penularan AIDS dari ibu ke anaknya, dari 3 persen (2013) menjadi 4,6 persen (2015). Salah satu tujuan pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada kasus HIV anak adalah untuk meningkatkan jumlah sel T-CD4+. Semakin berat stadium klinisnya akan menurunkan kadar CD4+. Pemberian suplementasi zat gizi mikro dapat meningkatkan status gizi penderita HIV anak yang menjalani pengobatan ARV. Tujuan. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan asupan seng, vitamin A, dan stadium klinis infeksi HIV terhadap status gizi dan jumlah CD4+ pada kasus HIV anak di Kota dan Kabupaten Semarang. Metode. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Subjek penelitian adalah anak yang menderita HIV berumur 1-14 tahun sebanyak 31 subjek. Data yang dikumpulkan meliputi data tinggi badan (TB), berat badan (BB), asupan zat gizi yang diperoleh dengan metode food recall 2x24 jam. Jumlah CD4+ diukur melalui pemeriksaan darah subjek. Data dianalisis menggunakan uji chi-square dan regresi logistik untuk menghitung Prevalence Rasio (PR). Hasil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan seng memberikan risiko bermakna terhadap kejadian berat badan rendah (PR=3,020; p=0,029; CI=1,043-8,739). Asupan vitamin A memberikan risiko bermakna terhadap rendahnya kadar CD4+ (PR=3,036; p=0,021; CI=1,211-7,608 dan PR=2,8; p=0,018; CI=1,331-5,891). Stadium klinis tingkat sedang memberikan risiko bermakna terhadap rendahnya kadar CD4+ rendah (PR=8,211; p = 0,004; CI=1,227-54,962). Probabilitas jumlah CD4+ rendah ketika penderita pada stadium klinis infeksi HIV berat sebesar 14,3 persen. Kesimpulan. Stadium klinis sedang-berat meningkatkan risiko terjadinya penurunan jumlah CD4+ di dalam sel-T (<500sel/mm3).","PeriodicalId":31976,"journal":{"name":"Media Gizi Mikro Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44625905","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}