{"title":"Rasio Neutrofil Limfosit, Kesintasan Tiga Tahun Karsinoma Nasofaring Stadium Lokal Lanjut dan Lanjut","authors":"Rahmat Cahyanur, Hayatun Nufus, Cosphiadi Irawan","doi":"10.7454/jpdi.v8i3.618","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/jpdi.v8i3.618","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46828155","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
K. Husna, Novira Widajanti, Sri Sumarmi, Hadiq Firdaus
Pendahuluan. Indonesia adalah negara tropis, namun prevalensi defisiensi vitamin D pada wanita usia lanjut masih cukup tinggi dikarenakan kurang terpapar sinar matahari dan asupan vitamin D yang rendah. Beberapa penelitian melaporkan bahwa subjek pedesaan memiliki kadar 25(OH)D serum lebih tinggi dibandingkan dengan subjek perkotaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara skor paparan matahari dan asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada wanita usia lanjut di komunitas pedesaan. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross-sectional yang melibatkan wanita usia lanjut di dua Desa di Kecamatan Wonorejo dan Kraton Kabupaten Pasuruan, pada Bulan Juni 2020 saat musim kemarau. Skor paparan matahari dihitung menggunakan kuesioner skor paparan matahari. Asupan vitamin D didapatkan dari food recall 2 x 24 jam. Kadar 25(OH)D serum diukur menggunakan chemiluminescent immuno assay. Analisis statistik menggunakan uji korelasi Spearman dan Pearson. Hasil. Sebanyak 40 subjek penelitian yang merupakan wanita berusia 60-93 tahun (median usia 70 tahun) diikutsertakan pada penelitian ini. Median skor paparan matahari adalah 14 dan median durasi terpapar matahari 40 menit. Sebanyak 90% subjek menggunakan kemeja lengan panjang dan rok panjang, dan seluruh subjek tidak pernah menggunakan tabir surya. Rerata asupan vitamin D subjek 1,73 μg/hari (simpang baku [SB] 3,21 μg/hari) dan seluruh subjek memiliki asupan vitamin D kurang. Sumber utama asupan vitamin D adalah ikan (67,5%), terutama ikan air tawar. Rerata kadar 25(OH)D serum subjek 27,75 ng/mL (SB 13,25 ng/mL), dengan 30% subjek mengalami defisiensi vitamin D. Skor paparan matahari berkorelasi positif dengan kadar 25(OH)D serum (r=0,425; p=0,006). Tidak didapatkan korelasi signifikan antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum (p= 0,246). Simpulan. Didapatkan hubungan positif yang bermakna antara skor paparan matahari dengan kadar 25(OH)D serum, namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum. Kata Kunci: asupan vitamin D, kadar 25(OH)D serum, skor paparan matahari, wanita usia lanjut. Correlation of Sun Exposure Score and Vitamin D Intake with Serum 25(OH)D Levels in Older Women Introduction. Indonesia is a tropical country, but the prevalence of vitamin D deficiency in older women is high due to the lack of sun exposure and low vitamin D intake. Some previous studies have reported that people from rural areas have higher serum 25(OH)D levels compared to those from urban areas. This study was conducted to analyze the correlation between sun exposure score and vitamin D intake with serum 25(OH)D levels of older women from rural areas. Methods. This was an analytic cross-sectional study involving older women in two villages from Wonorejo and Kraton Districts, Pasuruan Regency, in June 2020 during the dry season. The sun exposure score was calculated using a sun exposure questionnaire, vitamin D intake was obtained usi
{"title":"Hubungan antara Skor Paparan Matahari dan Asupan Vitamin D dengan Kadar 25(OH)D Serum pada Wanita Usia Lanjut","authors":"K. Husna, Novira Widajanti, Sri Sumarmi, Hadiq Firdaus","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.516","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.516","url":null,"abstract":"Pendahuluan. Indonesia adalah negara tropis, namun prevalensi defisiensi vitamin D pada wanita usia lanjut masih cukup tinggi dikarenakan kurang terpapar sinar matahari dan asupan vitamin D yang rendah. Beberapa penelitian melaporkan bahwa subjek pedesaan memiliki kadar 25(OH)D serum lebih tinggi dibandingkan dengan subjek perkotaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara skor paparan matahari dan asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada wanita usia lanjut di komunitas pedesaan. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross-sectional yang melibatkan wanita usia lanjut di dua Desa di Kecamatan Wonorejo dan Kraton Kabupaten Pasuruan, pada Bulan Juni 2020 saat musim kemarau. Skor paparan matahari dihitung menggunakan kuesioner skor paparan matahari. Asupan vitamin D didapatkan dari food recall 2 x 24 jam. Kadar 25(OH)D serum diukur menggunakan chemiluminescent immuno assay. Analisis statistik menggunakan uji korelasi Spearman dan Pearson. Hasil. Sebanyak 40 subjek penelitian yang merupakan wanita berusia 60-93 tahun (median usia 70 tahun) diikutsertakan pada penelitian ini. Median skor paparan matahari adalah 14 dan median durasi terpapar matahari 40 menit. Sebanyak 90% subjek menggunakan kemeja lengan panjang dan rok panjang, dan seluruh subjek tidak pernah menggunakan tabir surya. Rerata asupan vitamin D subjek 1,73 μg/hari (simpang baku [SB] 3,21 μg/hari) dan seluruh subjek memiliki asupan vitamin D kurang. Sumber utama asupan vitamin D adalah ikan (67,5%), terutama ikan air tawar. Rerata kadar 25(OH)D serum subjek 27,75 ng/mL (SB 13,25 ng/mL), dengan 30% subjek mengalami defisiensi vitamin D. Skor paparan matahari berkorelasi positif dengan kadar 25(OH)D serum (r=0,425; p=0,006). Tidak didapatkan korelasi signifikan antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum (p= 0,246). Simpulan. Didapatkan hubungan positif yang bermakna antara skor paparan matahari dengan kadar 25(OH)D serum, namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum. Kata Kunci: asupan vitamin D, kadar 25(OH)D serum, skor paparan matahari, wanita usia lanjut. Correlation of Sun Exposure Score and Vitamin D Intake with Serum 25(OH)D Levels in Older Women Introduction. Indonesia is a tropical country, but the prevalence of vitamin D deficiency in older women is high due to the lack of sun exposure and low vitamin D intake. Some previous studies have reported that people from rural areas have higher serum 25(OH)D levels compared to those from urban areas. This study was conducted to analyze the correlation between sun exposure score and vitamin D intake with serum 25(OH)D levels of older women from rural areas. Methods. This was an analytic cross-sectional study involving older women in two villages from Wonorejo and Kraton Districts, Pasuruan Regency, in June 2020 during the dry season. The sun exposure score was calculated using a sun exposure questionnaire, vitamin D intake was obtained usi","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41837463","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Osteomielitis kaki DM merupakan komplikasi lanjut pada infeksi kaki DM yang dapat meningkatkan risiko amputasi. Sebuah kasus pada seorang perempuan berusia 50 tahun dengan luka pada ibu jari kaki kiri yang semakin membengkak disertai warna merah kebiruan dalam satu bulan. Pasien menunda berobat karena pandemi COVID-19. Pasien merupakan penderita DM dan hipertensi sejak 20 tahun dan tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sausage toe digiti I pedis sinistra dengan luka 4 x 4 cm disertai sekret purulen, probe to bone (PTB) positif. Pemeriksaan penunjang menunjukan adanya leukositosis, peningkatan laju endap darah (LED) dan c-reactive protein (CRP), gula darah sewaktu (GDS) 415 mg/dL, dan HbA1c 13,1%, disertai destruksi dan fragmentasi os phalang digiti 1 pedis sinistra. Karena menolak tindakan operasi minor, kemudian dilakukan perawatan luka dengan membuang serpihan tulang yang terinfeksi secara teratur dan pemberian antibiotik intravena (IV) selama 4 minggu. Untuk pengendalian gula darah, diberikan insulin IV kontinyu dan dilanjutkan pemberian insulin basal bolus subkutan. Kemudian dilanjutkan rawat jalan dengan pemberian antibiotik oral. Setelah tujuh minggu, menifestasi klinis infeksi membaik, luas luka mengecil, dan antibiotik dihentikan, namun perawatan luka tetap dilanjutkan. Kendali metabolik disertai pemberian antibiotik jangka panjang dan perawatan luka pada kaki diabetes dengan osteomielitis dapat digunakan sebagai alternatif selain tindakan operatif. Kata Kunci: Osteomielitis kaki DM, terapi non-operatif Non-Operative Management of Diabetic Foot Osteomyelitis: A Case Report Diabetic foot osteomyelitis is an advanced complication of diabetic foot infection which can increase the risk of amputation. This report discusses a case of a 50-year-old female with a wound on the thumb of her left foot that became more swollen with a bluish red color within one month. The patient delayed her treatment due to the COVID-19 pandemic. She has had diabetes and hypertension for 20 years which is uncontrolled. Physical examination showed a sausage toe digiti 1 left pedis with wound 4 x 2 cm with purulent discharge, Probe to Bone (PTB) positive. Laboratory and x-ray examination showed leukocytosis, increased erythrocyte sedimentation rate (ESR) and c-reactive protein (CRP), glucose level 415 mg/dL, and HbA1c 13.1%, with destruction and fragmentation in first toe bone of the left foot. Because she refused minor surgery, the wound was treated regularly by removing infected bone fragments and giving intravenous (IV) antibiotics for four weeks. For glucose level control, continuous IV insulin was given with subcutaneous basal-bolus insulin, then continued by outpatient care with oral antibiotics. After seven weeks, manifestations of infection improved, the wound area was reduced, and antibiotics were discontinued, but wound care was continued. Metabolic control along with long-term antibiotics and wound care for diabetic foot osteomyelitis can be us
DM脚骨学是DM脚感染的进一步并发症,可能会增加截肢风险。这是一名50岁女性的病例,她的左大脚趾受伤,一个月后肿胀,全身发红。他因COVID-19大流行而推迟治疗。该患者自20岁以来一直是DM和高血压患者,目前还没有得到控制。在体检中,我们发现sausage toe digdis I sinistra伤口为4×4厘米,伴有seret purulen探头(PTB)阳性。资料来源检查显示白血病、血小板血小板(LED)和c-反应蛋白(CRP)、血小板蛋白(GDS) 415毫克/dL、HbA1c 13.1%,以及os - phadis digns 1 . pedis sinistra。治疗方法包括定期切除受感染的骨头碎片和静脉注射抗生素4周。为了控制血糖,注射胰岛素,继续注射皮下玄武体胰岛素。然后接受口服抗生素治疗。经过7周的临床注射,感染减少,伤口减少,抗生素停止,但治疗仍在继续。代谢控制以及长期抗生素治疗糖尿病腿上的伤口和骨髓炎可作为一种替代手术。关键字:DM足骨分析,非外科的非腿性非腿性治疗:一份糖尿病足部骨质疏松的高级报告,这可以增加截肢风险。这份报告列出了一个50岁的女人的案例,她的左拇指上留下了一枚伤痕,每个月都涂着红色。病人把她的治疗推迟到COVID-19大流行。她有20年的糖尿病和高血压,这是无法控制的。物理爆破显示一种固定的脚趾,伤势严重,4×2厘米,腹部光电,探针检测检测为阳性。实验室和x光缩减减,可再生蛋白和c反应率增加,葡萄糖浓度为415 mg/dL, HbA1c .1%,从一根脚趾骨的破坏和碎片开始。因为她拒绝了小手术,伤是枉regularly由《消除骨fragments和给予注射(IV)感染抗生素为4周。对于葡萄糖水平控制,持续注射胰岛素是通过体外注射胰岛素来注射的,然后通过口腔抗生素治疗继续进行。感染之七周之后,manifestations改良,伤了这片区域是reduced和抗生素是discontinued,但伤护理是场所。跟着Metabolic控制抗生素给索马里和伤了脚osteomyelitis care for后就可以成为美国过去一个另类到外科手术。
{"title":"Terapi Non-Operatif pada Osteomielitis Kaki Diabetes Melitus (DM): Laporan Kasus","authors":"Em Yunir, Yully Astika Nugrahayning Aziza","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.471","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.471","url":null,"abstract":"Osteomielitis kaki DM merupakan komplikasi lanjut pada infeksi kaki DM yang dapat meningkatkan risiko amputasi. Sebuah kasus pada seorang perempuan berusia 50 tahun dengan luka pada ibu jari kaki kiri yang semakin membengkak disertai warna merah kebiruan dalam satu bulan. Pasien menunda berobat karena pandemi COVID-19. Pasien merupakan penderita DM dan hipertensi sejak 20 tahun dan tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sausage toe digiti I pedis sinistra dengan luka 4 x 4 cm disertai sekret purulen, probe to bone (PTB) positif. Pemeriksaan penunjang menunjukan adanya leukositosis, peningkatan laju endap darah (LED) dan c-reactive protein (CRP), gula darah sewaktu (GDS) 415 mg/dL, dan HbA1c 13,1%, disertai destruksi dan fragmentasi os phalang digiti 1 pedis sinistra. Karena menolak tindakan operasi minor, kemudian dilakukan perawatan luka dengan membuang serpihan tulang yang terinfeksi secara teratur dan pemberian antibiotik intravena (IV) selama 4 minggu. Untuk pengendalian gula darah, diberikan insulin IV kontinyu dan dilanjutkan pemberian insulin basal bolus subkutan. Kemudian dilanjutkan rawat jalan dengan pemberian antibiotik oral. Setelah tujuh minggu, menifestasi klinis infeksi membaik, luas luka mengecil, dan antibiotik dihentikan, namun perawatan luka tetap dilanjutkan. Kendali metabolik disertai pemberian antibiotik jangka panjang dan perawatan luka pada kaki diabetes dengan osteomielitis dapat digunakan sebagai alternatif selain tindakan operatif. Kata Kunci: Osteomielitis kaki DM, terapi non-operatif Non-Operative Management of Diabetic Foot Osteomyelitis: A Case Report Diabetic foot osteomyelitis is an advanced complication of diabetic foot infection which can increase the risk of amputation. This report discusses a case of a 50-year-old female with a wound on the thumb of her left foot that became more swollen with a bluish red color within one month. The patient delayed her treatment due to the COVID-19 pandemic. She has had diabetes and hypertension for 20 years which is uncontrolled. Physical examination showed a sausage toe digiti 1 left pedis with wound 4 x 2 cm with purulent discharge, Probe to Bone (PTB) positive. Laboratory and x-ray examination showed leukocytosis, increased erythrocyte sedimentation rate (ESR) and c-reactive protein (CRP), glucose level 415 mg/dL, and HbA1c 13.1%, with destruction and fragmentation in first toe bone of the left foot. Because she refused minor surgery, the wound was treated regularly by removing infected bone fragments and giving intravenous (IV) antibiotics for four weeks. For glucose level control, continuous IV insulin was given with subcutaneous basal-bolus insulin, then continued by outpatient care with oral antibiotics. After seven weeks, manifestations of infection improved, the wound area was reduced, and antibiotics were discontinued, but wound care was continued. Metabolic control along with long-term antibiotics and wound care for diabetic foot osteomyelitis can be us","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44099714","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Farissa Luthfia, Wismandari Wisnu, Dicky L. Tahapary, Pringgodigdo Nugroho
Pendahuluan. Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular dengan peningkatan low density lipoprotein sebagai mekanisme utama terjadinya aterosklerosis. PCSK9 adalah regulator reseptor LDL utama sehingga kaitannya dengan aterosklerosis saat ini sedang banyak diteliti. Beberapa studi mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 telah tersedia namun bersifat inkonsisten. Untuk itu, telaah penelitian ini dilakukan untuk menelaah lebih lanjut mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 secara sistematis. Metode. Penelitian ini berbentuk telaah sistematis yang telah didaftarkan di PROSPERO. Penelusuran pustaka sesuai panduan PRISMA dilakukan pada tanggal 18 Juli – 02 September 2020. Setelah dilakukan penilaian risiko bias dengan Newcastle Ottawa scale, kemudian dilakukan telaah naratif pada pustaka yang didapatkan oleh dua penilai independen. Hasil. Didapatkan empat studi yang relevan dengan total subjek 430. Tiga studi memiliki kategori kualitas tinggi sementara satu studi dengan kualitas sedang. Hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 didapatkan pada studi oleh Guo, dkk. dengan nilai OR: 1,12 (IK 95% 1,041 – 1,204), p: 0,002 dan studi oleh Ma, dkk. dengan p<0,05. Sementara dua studi lainnya melaporkan tidak ada hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2. Cheng, dkk. melaporkan nilai β: 1,08 (IK 95% -0,59 -2,75) dan Xie, dkk. melaporkan nilai p=0,334 (IK 95% -18 – 10). Simpulan. Belum ada bukti yang cukup untuk menjelaskan hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 sehingga dibutuhkan penelitian primer yang bersifat longitudinal. Kata Kunci: Aterosklerosis, DM tipe 2, PCSK9 Association of Proprotein Convertase Kexin/Type 9 with Atherosclerosis in People with Type 2 Diabetes Mellitus: a Systematic Review Introduction. Type 2 diabetes melitus is the leading cause of cardiovascular event with high level of low-density lipoprotein as the main predictor marker of atherosclerosis. PCSK9 plays a role in LDL-receptor regulation, its association with atherosclerosis had been investigated but the result is inconsistent. This study aimed to examine the association between PCSK9 level and atherosclerosis in people with type 2 diabetes. Methods. A systematic review was done in July 18 – September 02, 2020 and registered in PROSPERO. Risk of bias of each study was analyzed with Newcastle Ottawa scale tools. Studies involved in this systematic review then narratively analyzed by two independent reviewers. Results. There are 430 subjects involved from 4 studies. Guo, et al. reported that there was a significant association between PCSK9 level with atherosclerosis in type 2 diabetes melitus (OR: 1.12 (CI 95% 1.041 – 1.204), p: 0.002), those association was also reported by Ma, et al. with p value <0.05. While a different result came from Xie, et al. (p: 0.334 (CI 95% -18 –
{"title":"Hubungan Kadar Proprotein Convertase Kexin/Type 9 (PCSK9) dengan Aterosklerosis pada Penyandang Diabetes Melitus Tipe 2: Sebuah Telaah Sistematis","authors":"Farissa Luthfia, Wismandari Wisnu, Dicky L. Tahapary, Pringgodigdo Nugroho","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.456","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.456","url":null,"abstract":"Pendahuluan. Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular dengan peningkatan low density lipoprotein sebagai mekanisme utama terjadinya aterosklerosis. PCSK9 adalah regulator reseptor LDL utama sehingga kaitannya dengan aterosklerosis saat ini sedang banyak diteliti. Beberapa studi mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 telah tersedia namun bersifat inkonsisten. Untuk itu, telaah penelitian ini dilakukan untuk menelaah lebih lanjut mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 secara sistematis. Metode. Penelitian ini berbentuk telaah sistematis yang telah didaftarkan di PROSPERO. Penelusuran pustaka sesuai panduan PRISMA dilakukan pada tanggal 18 Juli – 02 September 2020. Setelah dilakukan penilaian risiko bias dengan Newcastle Ottawa scale, kemudian dilakukan telaah naratif pada pustaka yang didapatkan oleh dua penilai independen. Hasil. Didapatkan empat studi yang relevan dengan total subjek 430. Tiga studi memiliki kategori kualitas tinggi sementara satu studi dengan kualitas sedang. Hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 didapatkan pada studi oleh Guo, dkk. dengan nilai OR: 1,12 (IK 95% 1,041 – 1,204), p: 0,002 dan studi oleh Ma, dkk. dengan p<0,05. Sementara dua studi lainnya melaporkan tidak ada hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2. Cheng, dkk. melaporkan nilai β: 1,08 (IK 95% -0,59 -2,75) dan Xie, dkk. melaporkan nilai p=0,334 (IK 95% -18 – 10). Simpulan. Belum ada bukti yang cukup untuk menjelaskan hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 sehingga dibutuhkan penelitian primer yang bersifat longitudinal. Kata Kunci: Aterosklerosis, DM tipe 2, PCSK9 Association of Proprotein Convertase Kexin/Type 9 with Atherosclerosis in People with Type 2 Diabetes Mellitus: a Systematic Review Introduction. Type 2 diabetes melitus is the leading cause of cardiovascular event with high level of low-density lipoprotein as the main predictor marker of atherosclerosis. PCSK9 plays a role in LDL-receptor regulation, its association with atherosclerosis had been investigated but the result is inconsistent. This study aimed to examine the association between PCSK9 level and atherosclerosis in people with type 2 diabetes. Methods. A systematic review was done in July 18 – September 02, 2020 and registered in PROSPERO. Risk of bias of each study was analyzed with Newcastle Ottawa scale tools. Studies involved in this systematic review then narratively analyzed by two independent reviewers. Results. There are 430 subjects involved from 4 studies. Guo, et al. reported that there was a significant association between PCSK9 level with atherosclerosis in type 2 diabetes melitus (OR: 1.12 (CI 95% 1.041 – 1.204), p: 0.002), those association was also reported by Ma, et al. with p value <0.05. While a different result came from Xie, et al. (p: 0.334 (CI 95% -18 –","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44820024","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pendahuluan. Adanya polimorfisme gen angiotensin converting enzyme (ACE) diduga berperan terhadap penyakit kardiovaskular, termasuk coronary slow flow phenomenon (CSFP). Polimorfisme gen ACE juga merupakan faktor penting dalam peningkatan kadar angiotensin II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh polimorfisme insersi/delesi (I/D) 287 bp alu repetitive sequence pada intron 16 gen ACE dan kadar angiotensin II terhadap CSFP di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Metode. Studi kasus kontrol dimulai dari Juli 2019 sampai Juli 2020 di RSMH Palembang dengan masing-masing 32 subjek pada kelompok kasus (pasien CSFP) dan kontrol (non-CSF). Penelitian ini menggunakan sepasang primer dan satu kali PCR untuk deteksi polimorfisme I/D gen ACE. Analisis genetik dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Hasil. Dari 32 subjek kelompok CSFP, didapatkan distribusi genotip II pada 17 subjek (53,1%), genotip ID pada 14 subjek (43,8%), dan genotip DD pada 1 subjek (3,1 %). Sementara dari 32 subjek kelompok non-CSF, didapatkan distribusi genotip II pada 11 subjek (34,4%), genotip ID pada 13 subjek (42,2%), dan genotip DD pada 9 subjek (14,1%). Nilai median kadar angiotensin II pada kelompok CSFP 58 pg/mL dan pada kelompok Non-CSF 32,8 pg/mL. Hasil analisis menunjukkan terdapat pengaruh kadar angiotensin II terhadap kejadian CSFP (p=0,001). Analisis lebih lanjut menunjukkan adanya korelasi kadar angiotensin II dengan polimorfisme I/D 287 bp alu repetitive sequence pada intron 16 gen ace (p=0,030, r=0,822). Simpulan. Terdapat korelasi antara polimorfisme I/D 287 bp alu repetitive sequence pada intron 16 gen ACE dan kadar angiotensin II terhadap kejadian coronary slow flow phenomenon di Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Kata Kunci: Angiotensin II, CSFP, polimorfisme gen ACE The Effect of Angiotensin-Converting Enzyme Gene Polymorphism and Angiotensin II Levels in Coronary Slow Flow Phenomenon at Mohammad Hoesin General Hospital Palembang Introduction. The presence of ACE gene polymorphism is expected to have a role in cardiovascular diseases, including coronary slow flow phenomenon (CSFP). Angiotensin converting enzyme (ACE) gene polymorphism also plays an essential role in increasing angiotensin II levels. Therefore, this study aimed to analyze the effect of angiotensin-converting enzyme gene polymorphism and angiotensin II levels in the coronary slow flow phenomenon in Mohammad Hoesin General Hospital Palembang. Methods. This case-control study was started from July 2019 to July 2020 at RSMH Palembang with 32 subjects for each case (CSFP patients) and the control group (non-CSF patients). This study used a pair of primers and one-timed PCR to detect ACE gene polymorphism. Genetic analysis was carried out in the Biotechnology Laboratory Faculty of Medicine, Universitas Sriwijaya. Statistical analysis was performed using the Spearman correlation t
彭达胡安。血管紧张素转换酶(ACE)的一个重要组成部分对心血管疾病,包括冠状动脉慢流现象(CSFP)的治疗无效。ACE引起的脊髓灰质炎也是血管紧张素II升高的重要原因。这项研究的目的是通过在第16代ACE内含子和血管紧张素II对RSUP Mohammad Hoesin Palembang博士的CSFP的重复序列中获得287bp的插入/缺失(I/D)多态性。Metode。从2019年7月到2020年7月,在RSMH Palembang进行了控制研究,在控制层(CSFP)和控制层(非CSF)上进行了32次测试。本研究采用分离引物和一次PCR检测ACE的I/D基因多态性。在斯里维贾亚大学生物技术实验室进行基因分析。收集的数据与Spearman的相关数据一致。Hasil。在CSFP的32个亚型中,II基因分布在17个亚型(53.1%),ID基因分布在14个亚型上(43.8%),DD基因分布在1个亚型下(3.1%)。在32名非CSF患者中,II基因分布在11名患者(34.4%),ID基因分布在13名患者(42.2%),DD基因分布在9名患者(14,1%)。CSFP瘢痕疙瘩血管紧张素II的中位数为58 pg/mL,非CSF瘢痕疙瘩为32.8 pg/mL。分析结果表明,血管紧张素II对CSFP的影响程度较高(p=0.001)。更确切的分析表明,血管紧张素II的释放与第16代内含子上287个碱基重复序列的多态性I/D有关(p=0.030,r=0822)。辛普兰。在Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang博士的研究中,在第16代ACE内含子和血管紧张素II的重复序列中发现了287个碱基的多态性I/D,从而消除了冠状动脉慢流现象。Kata Kunci:血管紧张素II,CSFP,血管紧张素转换酶基因多态性和血管紧张素Ⅱ水平在Mohammad Hoesin综合医院巨港介绍的冠状动脉慢流现象中的影响。ACE基因多态性的存在有望在心血管疾病中发挥作用,包括冠状动脉慢流现象(CSFP)。血管紧张素转换酶(ACE)基因多态性在提高血管紧张素II水平方面也起着重要作用。因此,本研究旨在分析血管紧张素转换酶基因多态性和血管紧张素II水平在巴望Mohammad Hoesin综合医院冠状动脉慢流现象中的影响。方法。这项病例对照研究于2019年7月至2020年7月在巨港RSMH开始,每个病例有32名受试者(CSFP患者)和对照组(非CSF患者)。本研究采用一对引物和一次聚合酶链式反应检测ACE基因多态性。基因分析在斯里维贾亚大学生物技术实验室医学院进行。使用Spearman相关检验进行统计分析。后果CSFP组中有17名受试者具有II基因型(53.1%),14名受试人员具有ID基因型(43.8%),1名受试人具有DD基因型(3.1%)。在非CSFP组中,有11名受试者具有II基因型(34.4%),13名受试人具有ID基因型(42.2%),9名受试人员具有DD基因型(14.1%)。CSFP组和非CSF组的血管紧张素II水平的中位值分别为58 pg/mL和32.8 pg/mL。分析结果表明,血管紧张素II水平对CSFP的发生率有影响(p=0.001)。进一步分析表明,血管紧缩素II水平与内含子16 ACE基因I/D287bp alu重复序列多态性之间存在相关性(p=0.030,r=0.822)。在Mohammad Hoesin综合医院Palembang的冠状动脉慢流现象中,内含子16 ACE基因的I/D287bp alu重复序列多态性与血管紧张素II水平之间存在相关性。
{"title":"Pengaruh Polimorfisme I/D Gen Angiotensin Converting Enzyme dan Kadar Angiotensin II terhadap Coronary Slow Flow Phenomenon di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang","authors":"Arlis Karlina, Taufik Indrajaya, Ali Ghanie, Erwin Sukandi, Ferry Usnizar, Syamsu Indra, Rukiah Chodilawati, Imran Saleh, Mgs. Irsan Saleh","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.477","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.477","url":null,"abstract":"Pendahuluan. Adanya polimorfisme gen angiotensin converting enzyme (ACE) diduga berperan terhadap penyakit kardiovaskular, termasuk coronary slow flow phenomenon (CSFP). Polimorfisme gen ACE juga merupakan faktor penting dalam peningkatan kadar angiotensin II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh polimorfisme insersi/delesi (I/D) 287 bp alu repetitive sequence pada intron 16 gen ACE dan kadar angiotensin II terhadap CSFP di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Metode. Studi kasus kontrol dimulai dari Juli 2019 sampai Juli 2020 di RSMH Palembang dengan masing-masing 32 subjek pada kelompok kasus (pasien CSFP) dan kontrol (non-CSF). Penelitian ini menggunakan sepasang primer dan satu kali PCR untuk deteksi polimorfisme I/D gen ACE. Analisis genetik dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Hasil. Dari 32 subjek kelompok CSFP, didapatkan distribusi genotip II pada 17 subjek (53,1%), genotip ID pada 14 subjek (43,8%), dan genotip DD pada 1 subjek (3,1 %). Sementara dari 32 subjek kelompok non-CSF, didapatkan distribusi genotip II pada 11 subjek (34,4%), genotip ID pada 13 subjek (42,2%), dan genotip DD pada 9 subjek (14,1%). Nilai median kadar angiotensin II pada kelompok CSFP 58 pg/mL dan pada kelompok Non-CSF 32,8 pg/mL. Hasil analisis menunjukkan terdapat pengaruh kadar angiotensin II terhadap kejadian CSFP (p=0,001). Analisis lebih lanjut menunjukkan adanya korelasi kadar angiotensin II dengan polimorfisme I/D 287 bp alu repetitive sequence pada intron 16 gen ace (p=0,030, r=0,822). Simpulan. Terdapat korelasi antara polimorfisme I/D 287 bp alu repetitive sequence pada intron 16 gen ACE dan kadar angiotensin II terhadap kejadian coronary slow flow phenomenon di Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Kata Kunci: Angiotensin II, CSFP, polimorfisme gen ACE The Effect of Angiotensin-Converting Enzyme Gene Polymorphism and Angiotensin II Levels in Coronary Slow Flow Phenomenon at Mohammad Hoesin General Hospital Palembang Introduction. The presence of ACE gene polymorphism is expected to have a role in cardiovascular diseases, including coronary slow flow phenomenon (CSFP). Angiotensin converting enzyme (ACE) gene polymorphism also plays an essential role in increasing angiotensin II levels. Therefore, this study aimed to analyze the effect of angiotensin-converting enzyme gene polymorphism and angiotensin II levels in the coronary slow flow phenomenon in Mohammad Hoesin General Hospital Palembang. Methods. This case-control study was started from July 2019 to July 2020 at RSMH Palembang with 32 subjects for each case (CSFP patients) and the control group (non-CSF patients). This study used a pair of primers and one-timed PCR to detect ACE gene polymorphism. Genetic analysis was carried out in the Biotechnology Laboratory Faculty of Medicine, Universitas Sriwijaya. Statistical analysis was performed using the Spearman correlation t","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45547333","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Desty Gusti Sari, Rizka Humardewayanti Asdie, Heni Retnowulan
Pendahuluan. Pneumonia nosokomial merupakan salah satu penyabab mortalitas dan morbiditas terbesar. Red cell distribution width (RDW) dihubungkan dengan kematian pada pasien syok sepsis dan community acquired pneumonia (CAP). Namun, sedikit diketahui mengenai efek peningkatan RDW dengan kematian pasien hospital-acquired pneumonia (HAP), terutama pada populasi lansia yang memiliki prognosis lebih buruk. Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbandingan proporsi pasien HAP lansia dan dewasa yang memiliki peningkatan nilai RDW serta hubungan peningkatan nilai RDW dengan peningkatan risiko mortalitas selama perawatan di rumah sakit. Metode. Penelitian menggunakan metode potong lintang dan kohort retrospektif. Subjek penelitian adalah pasien rawat inap terdiagnosis HAP di RSUP Dr. Sardjito periode Maret 2014 hingga Maret 2015 yang dipilih dengan metode konsekutif. Data dikumpulkan menggunakan data rekam medis yang kemudian dianalisis dengan menggunakan uji chi-square dan regresi logistik. Hasil. Terdapat 106 pasien HAP yang memenuhi kriteria pemilihan sampel. Pasien yang hidup berjumlah 64 orang (64,15%) sedangkan pasien yang meninggal berjumlah 38 orang (35,84%). Median nilai RDW adalah 15,3% (rentang 11,4-29,8%). Tidak didapatkan perbedaan proporsi antara pasien HAP dewasa dan lansia dengan peningkatan nilai RDW (p=0,331). Faktor yang memengaruhi peningkatan RDW pada pasien HAP adalah hemoglobin (p<0,001; RR 5,617 (IK 95% 2,294-13,756)) dan trombosit (p=0,002; RR 4,471 (IK 95% 1,720-11,625). Terdapat perbedaan proporsi antara peningkatan nilai RDW dengan mortalitas pasien HAP (p=0,043). Namun, peningkatan nilai RDW tidak memengaruhi peningkatan mortalitas pasien HAP. Mortalitas pasien HAP dipengaruhi oleh komorbid sepsis (p<0,001; RR 7,121 (IK 95% 2,599-19,509)) dan angka leukosit yang tinggi (p=0,031; RR=3,077 (IK 95% 1,108-8,546)). Simpulan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan nilai RDW pada kelompok lansia dan dewasa. Studi ini juga tidak mendapati hubungan yang signifikan antara peningkatan nilai RDW dengan risiko mortalitas pasien HAP selama perawatan di rumah sakit. Namun demikian, studi ini mendapati faktor-faktor lain yang memengaruhi peningkatan nilai RDW yaitu kadar hemoglobin dan trombosit pasien, sementara faktor yang memengaruhi mortalitas pasien HAP adalah komorbid sepsis dan kadar leukosit yang tinggi. Kata Kunci: Dewasa, hospital-acquired pneumonia (HAP), lansia, mortalitas, red cell distribution width (RDW) Comparison of Red Cell Distribution Width Values towards Mortality in Adult and Elderly Hospital-Acquired Pneumonia Patients in Dr. Sardjito Hospital Introduction. Hospital-acquired pneumonia (HAP) is a major cause of morbidity and mortality. Red cell distribution width (RDW) is associated with mortality in patients with septic shock and community-acquired pneumonia (CAP). However, little is known about the effect of elevation of RDW value on mortality in HAP patients, especially in the elderly population
{"title":"Perbandingan Nilai Red Cell Distribution Width terhadap Mortalitas pada Pasien Hospital-Acquired Pneumonia Lansia dan Dewasa","authors":"Desty Gusti Sari, Rizka Humardewayanti Asdie, Heni Retnowulan","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.389","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.389","url":null,"abstract":"Pendahuluan. Pneumonia nosokomial merupakan salah satu penyabab mortalitas dan morbiditas terbesar. Red cell distribution width (RDW) dihubungkan dengan kematian pada pasien syok sepsis dan community acquired pneumonia (CAP). Namun, sedikit diketahui mengenai efek peningkatan RDW dengan kematian pasien hospital-acquired pneumonia (HAP), terutama pada populasi lansia yang memiliki prognosis lebih buruk. Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbandingan proporsi pasien HAP lansia dan dewasa yang memiliki peningkatan nilai RDW serta hubungan peningkatan nilai RDW dengan peningkatan risiko mortalitas selama perawatan di rumah sakit. Metode. Penelitian menggunakan metode potong lintang dan kohort retrospektif. Subjek penelitian adalah pasien rawat inap terdiagnosis HAP di RSUP Dr. Sardjito periode Maret 2014 hingga Maret 2015 yang dipilih dengan metode konsekutif. Data dikumpulkan menggunakan data rekam medis yang kemudian dianalisis dengan menggunakan uji chi-square dan regresi logistik. Hasil. Terdapat 106 pasien HAP yang memenuhi kriteria pemilihan sampel. Pasien yang hidup berjumlah 64 orang (64,15%) sedangkan pasien yang meninggal berjumlah 38 orang (35,84%). Median nilai RDW adalah 15,3% (rentang 11,4-29,8%). Tidak didapatkan perbedaan proporsi antara pasien HAP dewasa dan lansia dengan peningkatan nilai RDW (p=0,331). Faktor yang memengaruhi peningkatan RDW pada pasien HAP adalah hemoglobin (p<0,001; RR 5,617 (IK 95% 2,294-13,756)) dan trombosit (p=0,002; RR 4,471 (IK 95% 1,720-11,625). Terdapat perbedaan proporsi antara peningkatan nilai RDW dengan mortalitas pasien HAP (p=0,043). Namun, peningkatan nilai RDW tidak memengaruhi peningkatan mortalitas pasien HAP. Mortalitas pasien HAP dipengaruhi oleh komorbid sepsis (p<0,001; RR 7,121 (IK 95% 2,599-19,509)) dan angka leukosit yang tinggi (p=0,031; RR=3,077 (IK 95% 1,108-8,546)). Simpulan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan nilai RDW pada kelompok lansia dan dewasa. Studi ini juga tidak mendapati hubungan yang signifikan antara peningkatan nilai RDW dengan risiko mortalitas pasien HAP selama perawatan di rumah sakit. Namun demikian, studi ini mendapati faktor-faktor lain yang memengaruhi peningkatan nilai RDW yaitu kadar hemoglobin dan trombosit pasien, sementara faktor yang memengaruhi mortalitas pasien HAP adalah komorbid sepsis dan kadar leukosit yang tinggi. Kata Kunci: Dewasa, hospital-acquired pneumonia (HAP), lansia, mortalitas, red cell distribution width (RDW) Comparison of Red Cell Distribution Width Values towards Mortality in Adult and Elderly Hospital-Acquired Pneumonia Patients in Dr. Sardjito Hospital Introduction. Hospital-acquired pneumonia (HAP) is a major cause of morbidity and mortality. Red cell distribution width (RDW) is associated with mortality in patients with septic shock and community-acquired pneumonia (CAP). However, little is known about the effect of elevation of RDW value on mortality in HAP patients, especially in the elderly population","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42411383","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sejak elektrokardiografi (EKG) dibawa ke perhatian klinisi oleh Einthoven sampai dengan saat ini, EKG masih merupakan modalitas yang tidak dapat dipisahkan dalam penilaian sistem kardiovaskular. Namun, pemeriksaan yang sederhana dan tidak invasif ini, tidak selalu mudah untuk diintepretasikan. Hasil yang tergambar di kertas EKG tidak murni dipengaruhi jaringan otot jantung saja, namun dipengaruhi juga oleh jaringan tubuh lain yang terdapat di antara jantung dan lokasi dimana elektroda diletakkan. Dengan demikian, hal ini juga harus dipertimbangkan dalam menginterpretasikan hasil EKG.
{"title":"Dispersi Gelombang QT","authors":"S. Salim","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.609","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.609","url":null,"abstract":"Sejak elektrokardiografi (EKG) dibawa ke perhatian klinisi oleh Einthoven sampai dengan saat ini, EKG masih merupakan modalitas yang tidak dapat dipisahkan dalam penilaian sistem kardiovaskular. Namun, pemeriksaan yang sederhana dan tidak invasif ini, tidak selalu mudah untuk diintepretasikan. Hasil yang tergambar di kertas EKG tidak murni dipengaruhi jaringan otot jantung saja, namun dipengaruhi juga oleh jaringan tubuh lain yang terdapat di antara jantung dan lokasi dimana elektroda diletakkan. Dengan demikian, hal ini juga harus dipertimbangkan dalam menginterpretasikan hasil EKG.","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45841320","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pendahuluan. Hipertensi adalah penyakit kronis yang menyebabkan 1 dari setiap 7 kematian. Tekanan darah yang terkontrol akan mengurangi komplikasi hipertensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tekanan darah terkendali. Metode. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasional dengan desain studi potong lintang untuk menganalisis faktor tekanan darah yang terkendali. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi di poliklinik penyakit dalam RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode accidental sampling. Faktor tingkat kepatuhan pasien diukur menggunakan kuesioner Morisky medication adherence scale-8 (MMAS-8). Faktor tingkat stres diukur dengan menggunakan kuesioner DASS-42. Faktor dukungan keluarga dinilai menggunakan kuesioner dukungan keluarga yang mengacu pada Friedman dan House, sedangkan data tingkat pengetahuan tentang hipertensi dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner adopsi Guttman. Analisis data dilakukan dengan uji chi-square dan regresi logistik. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan hanya 16,7% dari 96 responden yang mengontrol tekanan darah. Pada pasien dengan tekanan darah terkendali, faktor golongan antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah calcium channel blocker (18,6%, RP=0,73, p=0,51), faktor monoterapi antihipertensi (21,7%, RP=2,17, p=0,15), faktor tingkat pengetahuan tinggi (21,3%, RP=2,11, p=0,16), faktor kepatuhan baik (22,1%, RP=6,18, p=0,14), faktor stres normal (16,2%, RP=3,78, p=1,00), dan dukungan keluarga yang tinggi (23,2%, RP=10,8, p=0,053). Simpulan. Pada penelitian ini tidak didapatkan faktor yang dapat menjadi prediktor tekanan darah yang terkendali di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Kata Kunci: Faktor tekanan darah yang terkendali, hipertensi Controlled Blood Pressure Factors in Hypertension Patients at Arifin Achmad Hospital, Riau Province: Cross Sectional Study Introduction. Hypertension is a chronic disease that causes 1 in every 7 deaths. Controlled blood pressure will reduce the complication of hypertension. The aim of this study was to determine the factors that influence controlled blood pressure. Methods.This research was conduct by using an observational method with a cross-sectional study design to analyze factors for controlled blood pressure. The population of this research was all of the hypertension patients at the internal medicine polyclinic in Arifin Achmad Hospital Riau Province. The sample was selected using accidental sampling method. Patient adherence level factor was measured using the Morisky medication adherence scale-8 (MMAS-8) questionnaire. The stress level factor was measured using the DASS-42 questionnaire. The family support factor was assessed using a family support questionnaire that refers to Friedman and House, while the level of knowledge was measured with the Guttman adoption questionnaire. Data analysis was performed by using chi-square and logistic regress
引言。高血压是一种慢性疾病,每7人中就有1人死亡。适度的血压可以减少高血压并发症。这项研究的目的是确定影响血压的因素。方法。这项研究是通过通过切割纬度设计的观察方法来分析受控制的血压因素来完成的。本研究的人口是廖内阿奇马省临床疾病中的所有高血压患者。采样技术采用采样方法。患者合规系数是用莫里斯基医疗adherence sca8 (msm -8)的问卷测量的。应力因子水平是用run -42进行问卷调查来衡量的。家庭支持因素可以用一份涉及弗里德曼和豪斯的家庭支持问卷来衡量,而通过Guttman收养问卷来收集有关高血压的知识水平数据。数据分析是通过chi-square测试和物流回归进行的。结果。调查显示,只有167%的受访者控制着血压。病人的血压控制,最常用的抗高血压类因素是钙通道阻滞剂(18,6% RP = 0.73, p = 0,51),因式分解单一疗法抗高血压(21,7% RP = 2,17, p = 0,15)、高知识水平因素(21,3% RP = 2,11, p = 0,16),因式分解好(22,1%顺服,RP = 6,18, p = 0,14)、正常压力因素(16,2% RP = 3.78, p = 1),这么高的家庭支持(23,2% RP = 10,8, p = 0.053)。结。在这项研究中,没有发现可以控制血压的因素。关键词:受控制的血压因素、高血压控制的血液压力因素、廖内省阿利鳍Achmad医院的事实事实:交叉研究简介。高血压是一种慢性疾病,每7人就有1人患有高血压。控制血液压力会降低高血压的计算标准。这次研究的目的是确定影响血液压力的因素。方法。这项研究依靠的是一种用交叉研究方法来分析分析病因来控制血液压力的观察方法。这项研究的人口都是廖内省阿利芬亚奇马医院内科多发性药物的结果。这些样本采用意外采样方法进行分类。病人adherence的治疗方法是采用莫里斯基医疗adherence第八阶问题。压力等级用的是das- 42提问。家庭支持因素是依靠家庭支持问题,而知识水平是由Guttman提出的问题。数据分析是通过使用chi-square和物流测试进行的。Results。从分析来看,96人中只有16.7%的人受到血液压力的控制。和controlled血压力,在病人最常见的antihypertensive集团因子以前是钙通道阻滞剂(18 . 6%,RP = 0。73,p = 0 . 51), antihypertensive monotherapy因子(21 . 7%,RP = 2 . 17, p = 0 . 15),高知识水平因子(21 . 3%,RP = 2 . 11, p = 0。16),祝adherence因子(22)1%,RP = 6。18,p = 0 . 14),正常压力因子(16。2%,RP = 3 . 78, p = 1点)和高中家庭支持(23 . 2%,RP = 8, p = 0.053) 10。历史性。在这项研究中,没有任何因素是可以预测的
{"title":"Faktor Tekanan Darah yang Terkendali pada Pasien Hipertensi di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau: Studi Potong Lintang","authors":"D. P. Nugraha, Eka Bebasari","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.571","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.571","url":null,"abstract":"Pendahuluan. Hipertensi adalah penyakit kronis yang menyebabkan 1 dari setiap 7 kematian. Tekanan darah yang terkontrol akan mengurangi komplikasi hipertensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tekanan darah terkendali. Metode. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasional dengan desain studi potong lintang untuk menganalisis faktor tekanan darah yang terkendali. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi di poliklinik penyakit dalam RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode accidental sampling. Faktor tingkat kepatuhan pasien diukur menggunakan kuesioner Morisky medication adherence scale-8 (MMAS-8). Faktor tingkat stres diukur dengan menggunakan kuesioner DASS-42. Faktor dukungan keluarga dinilai menggunakan kuesioner dukungan keluarga yang mengacu pada Friedman dan House, sedangkan data tingkat pengetahuan tentang hipertensi dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner adopsi Guttman. Analisis data dilakukan dengan uji chi-square dan regresi logistik. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan hanya 16,7% dari 96 responden yang mengontrol tekanan darah. Pada pasien dengan tekanan darah terkendali, faktor golongan antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah calcium channel blocker (18,6%, RP=0,73, p=0,51), faktor monoterapi antihipertensi (21,7%, RP=2,17, p=0,15), faktor tingkat pengetahuan tinggi (21,3%, RP=2,11, p=0,16), faktor kepatuhan baik (22,1%, RP=6,18, p=0,14), faktor stres normal (16,2%, RP=3,78, p=1,00), dan dukungan keluarga yang tinggi (23,2%, RP=10,8, p=0,053). Simpulan. Pada penelitian ini tidak didapatkan faktor yang dapat menjadi prediktor tekanan darah yang terkendali di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Kata Kunci: Faktor tekanan darah yang terkendali, hipertensi Controlled Blood Pressure Factors in Hypertension Patients at Arifin Achmad Hospital, Riau Province: Cross Sectional Study Introduction. Hypertension is a chronic disease that causes 1 in every 7 deaths. Controlled blood pressure will reduce the complication of hypertension. The aim of this study was to determine the factors that influence controlled blood pressure. Methods.This research was conduct by using an observational method with a cross-sectional study design to analyze factors for controlled blood pressure. The population of this research was all of the hypertension patients at the internal medicine polyclinic in Arifin Achmad Hospital Riau Province. The sample was selected using accidental sampling method. Patient adherence level factor was measured using the Morisky medication adherence scale-8 (MMAS-8) questionnaire. The stress level factor was measured using the DASS-42 questionnaire. The family support factor was assessed using a family support questionnaire that refers to Friedman and House, while the level of knowledge was measured with the Guttman adoption questionnaire. Data analysis was performed by using chi-square and logistic regress","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42312176","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kejadian infeksi Clostridium difficile (ICD) di rumah sakit telah menjadi ancaman global karena angka insidennya semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Infeksi nosokomial ini berkaitan erat dengan penggunaan antibiotik di layanan kesehatan dan lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut. Penggunaan antibiotik dapat memicu kolonisasi dan ICD melalui proses disbiosis mikrobiota saluran cerna serta interaksi sistem imun innate di saluran cerna. Manifestasi ICD pun sangat beragam, mulai dari diare ringan hingga nekrosis mukosa usus yang dapat bersifat fulminan. Mengingat tidak seluruh kolonisasi dapat menjadi infeksi, maka pemeriksaan penunjang, seperti kultur toksigenik, deteksi asam nukleat, dan uji imunologik feses, hanya direkomendasikan pada kasus simtomatik. Dalam hal tata laksana, upaya kendali dan pencegahan infeksi, termasuk penggunaan antibiotik secara rasional, menjadi hal yang penting. Selain penggunaan antibiotik untuk eradikasi bakteri, prosedur pembedahan perlu dipertimbangkan pada kasus fulminan. Alternatif lain yang telah tersedia untuk kasus ICD rekurens, antara lain transplantasi mikrobiota fekal, penggunaan antibodi antitoksin, serta beberapa antibiotik baru. Kata Kunci: Clostridium difficile, diare, nosokomial, penggunaan rasional antibiotik Current Clinical Approach of Nosocomial Clostridium difficile Infection Hospital-acquired Clostridium difficile infection (CDI) has become one of the global threats because the incidence has increased in recent decades. This nosocomial infection is closely related to antibiotic use in health services and is commonly found in the elderly. Antibiotics can promote colonization and CDI by intestinal microbiota dysbiosis and complex innate immune system activation. The manifestation also has a wide spectrum, ranging from mild diarrhea to fulminant colonic mucosal necrosis. Given that not all colonized subjects will be infected, further investigations such as toxigenic culture, nucleic-acid detection, and stool immunologic tests are only useful in symptomatic cases. In all CDI cases, an effort to control and prevent infections, including rational use of antibiotics, is warranted. Besides the use of antibiotics to eradicate the bacteria, surgery is often indicated in fulminant cases—another novel therapy for recurrent CDI as follows fecal microbiota transplantation, antitoxin antibody, and novel antibiotics.
{"title":"Pendekatan Klinis Terkini Infeksi Clostridium difficile Nosokomial","authors":"Frans Liwang, Robert Sinto","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.307","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.307","url":null,"abstract":"Kejadian infeksi Clostridium difficile (ICD) di rumah sakit telah menjadi ancaman global karena angka insidennya semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Infeksi nosokomial ini berkaitan erat dengan penggunaan antibiotik di layanan kesehatan dan lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut. Penggunaan antibiotik dapat memicu kolonisasi dan ICD melalui proses disbiosis mikrobiota saluran cerna serta interaksi sistem imun innate di saluran cerna. Manifestasi ICD pun sangat beragam, mulai dari diare ringan hingga nekrosis mukosa usus yang dapat bersifat fulminan. Mengingat tidak seluruh kolonisasi dapat menjadi infeksi, maka pemeriksaan penunjang, seperti kultur toksigenik, deteksi asam nukleat, dan uji imunologik feses, hanya direkomendasikan pada kasus simtomatik. Dalam hal tata laksana, upaya kendali dan pencegahan infeksi, termasuk penggunaan antibiotik secara rasional, menjadi hal yang penting. Selain penggunaan antibiotik untuk eradikasi bakteri, prosedur pembedahan perlu dipertimbangkan pada kasus fulminan. Alternatif lain yang telah tersedia untuk kasus ICD rekurens, antara lain transplantasi mikrobiota fekal, penggunaan antibodi antitoksin, serta beberapa antibiotik baru. Kata Kunci: Clostridium difficile, diare, nosokomial, penggunaan rasional antibiotik Current Clinical Approach of Nosocomial Clostridium difficile Infection Hospital-acquired Clostridium difficile infection (CDI) has become one of the global threats because the incidence has increased in recent decades. This nosocomial infection is closely related to antibiotic use in health services and is commonly found in the elderly. Antibiotics can promote colonization and CDI by intestinal microbiota dysbiosis and complex innate immune system activation. The manifestation also has a wide spectrum, ranging from mild diarrhea to fulminant colonic mucosal necrosis. Given that not all colonized subjects will be infected, further investigations such as toxigenic culture, nucleic-acid detection, and stool immunologic tests are only useful in symptomatic cases. In all CDI cases, an effort to control and prevent infections, including rational use of antibiotics, is warranted. Besides the use of antibiotics to eradicate the bacteria, surgery is often indicated in fulminant cases—another novel therapy for recurrent CDI as follows fecal microbiota transplantation, antitoxin antibody, and novel antibiotics.","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42533297","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Arief Pattiiha, M. Yamin, Aida Lydia, Murdani Abdullah
Pendahuluan. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama mortalitas pada pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis (HD). Penyebab penyakit kardiovaskular pada PGTA bersifat multifaktorial. Aritmia ventrikel telah terbukti sebagai penyebab utama kematian mendadak pasien HD. Salah satu parameter untuk menilai risiko aritmia pada pasien HD adalah dengan melihat dispersi QT dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG). Studi ini dilakukan untuk mengetahui proporsi pemanjangan dispersi QT predialisis pada pasien HD kronik dua kali seminggu dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode. Studi potong lintang dilakukan pada pasien HD berusia ≥18 tahun dan durasi HD ≥3 bulan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei – Juni 2019. Pemeriksaan EKG, ekokardiografi, dan pengambilan sampel darah dilakukan sebelum sesi HD. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi-square dan Fisher’s exact, dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik terhadap variabel bermakna. Hasil. Dari total 142 subjek, didapatkan usia rerata subjek 49 (simpang baku [SB] 15) tahun. Pemanjangan dispersi QT didapatkan pada 51 subjek (35,9%). Hasil analisis multivariat menunjukkan pemanjangan dispersi QT berhubungan signifikan dengan disfungsi sistolik (PR=1,875 (IK95% 1,234-2,848); p=0,006) dan hipertrofi ventrikel kiri (PR=2,361 (IK95% 1,032-5,40)3; p=0,0191). Adapun usia, diabetes melitus, hipokalemia, hipomagnesemia, dan disfungsi diastolik tidak berhubungan secara signifikan dengan pemanjangan dispersi QT (p>0,05). Simpulan. Proporsi pemanjangan dispersi QT predialisis pasien HD kronik dua kali seminggu di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yaitu 35,9% dan berhubungan dengan disfungsi sistolik dan hipertrofi ventrikel kiri. Kata Kunci: Dispersi QT, elektrokardiografi, ekokardiografi, hemodialisis Proportion of Pre-dialysis Prolonged QT Dispersion in Twice-Weekly Chronic Hemodialysis Patients and Its Associated Factors Introduction. Cardiovascular disease (CVD) is the common cause of mortality in end-stage renal disease (ESRD) patients undergoing hemodialysis (HD). Causes of CVD in ESRD patients are multifactorial. Ventricular arrhythmia is known as the leading cause of sudden death in dialysis patients. QT dispersion, which is measured from electrocardiography (ECG), is known as one of the parameters to assess the risk of arrhythmia in HD patients. This study aimed to determine the proportion of pre-dialysis prolonged QT dispersion in chronic twice-weekly HD patients and the associated factors. Methods. A cross-sectional study was conducted among HD patients age ≥18 years with dialysis duration of at least three months in Cipto Mangunkusumo Hospital during May–June 2019. Electrocardiography, echocardiography, and blood samples were taken before the dialysis session. Bivariate analysis using Chi-square and Fisher’s exact test was performed on each variable. Significant results were further analysed using logistic regression. Results. A total of 142 subje
{"title":"Proporsi Pemanjangan Dispersi QT Predialisis pada Pasien Hemodialisis Kronik Dua Kali Seminggu dan Faktor-Faktor yang Berhubungan","authors":"Arief Pattiiha, M. Yamin, Aida Lydia, Murdani Abdullah","doi":"10.7454/JPDI.V8I2.573","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/JPDI.V8I2.573","url":null,"abstract":"Pendahuluan. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama mortalitas pada pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis (HD). Penyebab penyakit kardiovaskular pada PGTA bersifat multifaktorial. Aritmia ventrikel telah terbukti sebagai penyebab utama kematian mendadak pasien HD. Salah satu parameter untuk menilai risiko aritmia pada pasien HD adalah dengan melihat dispersi QT dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG). Studi ini dilakukan untuk mengetahui proporsi pemanjangan dispersi QT predialisis pada pasien HD kronik dua kali seminggu dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode. Studi potong lintang dilakukan pada pasien HD berusia ≥18 tahun dan durasi HD ≥3 bulan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei – Juni 2019. Pemeriksaan EKG, ekokardiografi, dan pengambilan sampel darah dilakukan sebelum sesi HD. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi-square dan Fisher’s exact, dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik terhadap variabel bermakna. Hasil. Dari total 142 subjek, didapatkan usia rerata subjek 49 (simpang baku [SB] 15) tahun. Pemanjangan dispersi QT didapatkan pada 51 subjek (35,9%). Hasil analisis multivariat menunjukkan pemanjangan dispersi QT berhubungan signifikan dengan disfungsi sistolik (PR=1,875 (IK95% 1,234-2,848); p=0,006) dan hipertrofi ventrikel kiri (PR=2,361 (IK95% 1,032-5,40)3; p=0,0191). Adapun usia, diabetes melitus, hipokalemia, hipomagnesemia, dan disfungsi diastolik tidak berhubungan secara signifikan dengan pemanjangan dispersi QT (p>0,05). Simpulan. Proporsi pemanjangan dispersi QT predialisis pasien HD kronik dua kali seminggu di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yaitu 35,9% dan berhubungan dengan disfungsi sistolik dan hipertrofi ventrikel kiri. Kata Kunci: Dispersi QT, elektrokardiografi, ekokardiografi, hemodialisis Proportion of Pre-dialysis Prolonged QT Dispersion in Twice-Weekly Chronic Hemodialysis Patients and Its Associated Factors Introduction. Cardiovascular disease (CVD) is the common cause of mortality in end-stage renal disease (ESRD) patients undergoing hemodialysis (HD). Causes of CVD in ESRD patients are multifactorial. Ventricular arrhythmia is known as the leading cause of sudden death in dialysis patients. QT dispersion, which is measured from electrocardiography (ECG), is known as one of the parameters to assess the risk of arrhythmia in HD patients. This study aimed to determine the proportion of pre-dialysis prolonged QT dispersion in chronic twice-weekly HD patients and the associated factors. Methods. A cross-sectional study was conducted among HD patients age ≥18 years with dialysis duration of at least three months in Cipto Mangunkusumo Hospital during May–June 2019. Electrocardiography, echocardiography, and blood samples were taken before the dialysis session. Bivariate analysis using Chi-square and Fisher’s exact test was performed on each variable. Significant results were further analysed using logistic regression. Results. A total of 142 subje","PeriodicalId":32700,"journal":{"name":"Jurnal Penyakit Dalam Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41495544","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}