Abstract: Small island land resource management has specifc characteristic, differ from its main island, due to its geographical characteristic. Moreover, small Island is also vulnerable due to climate changes. Located on Sumenep District, East Java, Masalembu is one of the example of inhabited small island in Indonesia, represent the dynamic and land use management in small island area. This research use DPSIR (drivers, pressures, states, impacts, and responses) method to capture those dynamics. The results show that the dynamics of land use and utilization in Masalembu are described as follow: (i) land use and utilization activities are highly influenced by economic growth, climate change due to the fluctuation of marine products, and population growth; (ii) climate change, together with exploitation of marine resources, resulting the decrease of marine products, thus drive the population to start and to cultivate the land for improving their income. In the long run, land products from agriculture and farming sectors become competitive commodities beside fsheries; (iii) the absence of zonation, strategic, and action plans on land use and utilization control giving the consequences of unstructured, unplanned, and unsustainable land use and utilization.Intisari: Pengelolaan sumberdaya tanah di pulau kecil memiliki ciri khusus yang berbeda dengan pulau induk, terkait karakteristik geografsnya. Selain itu, pulau kecil juga memiliki kerentanan terhadap fenomena perubahan iklim. Masalembu, merupakan salah satu contoh dari ribuan pulau kecil berpenghuni di Indonesia yang dapat mewakili gambaran dinamika pengelolaan dan pemanfaatan lahan di wilayah pulau kecil. Penelitian ini menggunakan metode DPSIR (drivers, pressures, states, impacts, dan responses) untuk menangkap gambaran dinamika tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika penggunaan dan pemanfaatan lahan di Pulau Masalembu dapat dilihat sebagai berikut: (i) aktivitas penduduk atas tanah sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, perubahan iklim yang menyebabkan pasang surutnya hasil perikanan laut, dan pertumbuhan penduduk baik yang terjadi karena kelahiran maupun migrasi; (ii) perubahan iklim serta eksploitasi sumberdaya laut yang berlebihan sehingga tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat, menjadi faktor pendorong masyarakat untuk mulai memanfaatkan tanah sebagai alternatif penghasilan, yang kemudian beralih menjadi komoditas unggulan, serta (iii) tidak adanya rencana zonasi dan rencana strategis penggunaan dan pemanfaatan tanah membuat pola-pola penggunaan dan pemanfaatannya menjadi tidak terstruktur dan terencana, serta tidak memenuhi prinsip sustainability .
摘要:小岛屿土地资源管理具有特定的特点,不同于其主岛,主要是由于其地理特征。此外,小岛屿也容易受到气候变化的影响。Masalembu位于东爪哇Sumenep区,是印度尼西亚有人居住的小岛屿之一,代表了小岛屿地区的动态和土地利用管理。本研究使用DPSIR(驱动因素、压力、状态、影响和响应)方法来捕捉这些动态。结果表明:马萨勒姆布省土地利用动态特征如下:(1)土地利用活动受经济增长、海洋产品波动引起的气候变化和人口增长的高度影响;(二)气候变化加上对海洋资源的开发,导致海洋产品减少,从而促使人们开始开垦土地以提高收入。从长远来看,农业和农业部门的土地产品将成为除渔业以外的有竞争力的商品;(iii)缺乏土地使用和利用控制的分区、战略和行动计划,造成无结构、无计划和不可持续的土地使用和利用。中文:penelolaan sumberdaya tanah di pulau kecil memiliki ciri khusus yang berbeda dengan pulau induk, terkait karakteristik geografsnya。Selain itu, pulau kecil juga memiliki kerentanan, terhadap现象perubahan iklim。马来西亚,马来西亚,马来西亚,马来西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚Penelitian ini menggunakan方法DPSIR(驱动因素、压力、状态、影响和响应)[j]。(1)在全国范围内,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动,全国范围内的经济活动;(ii) perbahan iklim serta ekspploitya sumberdaya laut Yang berlebihan sehinga berlebihan sehinga dhaat lagi memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat untuk mulai menanfaatkan tanah sebagai alternatif penghasilan, Yang kemudian beralih menjadi komoditas ungulan, seri (iii) tidak adanya rencana zonasi danrencana strategis penggunaan danpmanfaatan tanah memapola -pola penggunaan danpmanfaatanya menjadi tidak terstrutur danterencana;在可持续性原则的基础上,建立纪念物。
{"title":"DINAMIKA DAN TANTANGAN PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH DI WILAYAH PULAU KECIL","authors":"Sukmo Pinuji, M. A. Suhattanto, T. Arianto","doi":"10.31292/jb.v4i1.218","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.218","url":null,"abstract":"Abstract: Small island land resource management has specifc characteristic, differ from its main island, due to its geographical characteristic. Moreover, small Island is also vulnerable due to climate changes. Located on Sumenep District, East Java, Masalembu is one of the example of inhabited small island in Indonesia, represent the dynamic and land use management in small island area. This research use DPSIR (drivers, pressures, states, impacts, and responses) method to capture those dynamics. The results show that the dynamics of land use and utilization in Masalembu are described as follow: (i) land use and utilization activities are highly influenced by economic growth, climate change due to the fluctuation of marine products, and population growth; (ii) climate change, together with exploitation of marine resources, resulting the decrease of marine products, thus drive the population to start and to cultivate the land for improving their income. In the long run, land products from agriculture and farming sectors become competitive commodities beside fsheries; (iii) the absence of zonation, strategic, and action plans on land use and utilization control giving the consequences of unstructured, unplanned, and unsustainable land use and utilization.Intisari: Pengelolaan sumberdaya tanah di pulau kecil memiliki ciri khusus yang berbeda dengan pulau induk, terkait karakteristik geografsnya. Selain itu, pulau kecil juga memiliki kerentanan terhadap fenomena perubahan iklim. Masalembu, merupakan salah satu contoh dari ribuan pulau kecil berpenghuni di Indonesia yang dapat mewakili gambaran dinamika pengelolaan dan pemanfaatan lahan di wilayah pulau kecil. Penelitian ini menggunakan metode DPSIR (drivers, pressures, states, impacts, dan responses) untuk menangkap gambaran dinamika tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika penggunaan dan pemanfaatan lahan di Pulau Masalembu dapat dilihat sebagai berikut: (i) aktivitas penduduk atas tanah sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, perubahan iklim yang menyebabkan pasang surutnya hasil perikanan laut, dan pertumbuhan penduduk baik yang terjadi karena kelahiran maupun migrasi; (ii) perubahan iklim serta eksploitasi sumberdaya laut yang berlebihan sehingga tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat, menjadi faktor pendorong masyarakat untuk mulai memanfaatkan tanah sebagai alternatif penghasilan, yang kemudian beralih menjadi komoditas unggulan, serta (iii) tidak adanya rencana zonasi dan rencana strategis penggunaan dan pemanfaatan tanah membuat pola-pola penggunaan dan pemanfaatannya menjadi tidak terstruktur dan terencana, serta tidak memenuhi prinsip sustainability .","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43878410","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice feld called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern feld rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fre disaster in 2015. The research was done a year after forest fre 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swiddenagriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, frst, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean ofpeasant exclusion.Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimanaproyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metodeetnograf yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untuk pengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terusmenyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gap yang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudahada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani.
摘要:泥炭地已被广泛认为是国有森林机制创造闲置土地的对象。它引发了一个大规模的开发项目,比如一个名为“Cetak Sawah”的灌溉稻田。通过关注“Cetak Sawah”,我们可以了解到开发项目如何包含现代稻田系统的固有假设,以克服大规模恶化的泥炭地,特别是自2015年森林火灾以来。该研究是在2015年森林大火一年后通过人种学方法完成的,该方法包括2016年2月至2016年12月期间的居住和几次访问。收集到的数据表明,“Cetak Sawah”成为泥炭地治理的技术官僚方法。国家没有控制棕榈油工业的扩张,而是不断地指责以前的农业系统,即所谓的Sonor (swiddenagriculture),由于其土地准备的燃烧做法,很容易被认为是破坏泥炭生态系统的主要因素。这里有两个缺口,第一,“Cetak Sawah”是通过否定现存的社会分化而提出的。第二,“Cetak Sawah”将被预测为农民排斥的代名词。Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai目标menciptakan tanah terlantar melalumekanisme hutan Negara。Hal ini memningpembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai“Cetak sawah”。《中国日报》,《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》等。Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metodeetnograf yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun 2016年2月- 2016年12月。数据yang dikumpulkan menunjukkan bahwa“Cetak Sawah”menjadi pendekatan teknokratis untuk penelolaan lahan gambut。Di采样控制ekspansindustri kelapsaet, Negara juga terusmenyalahkan pertanian lahanberpindah yang serkeal sebagai Sonor, yang serketis sebagai因子为utama dari rusaknya ekosystem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan。Ada dua gap yang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari differentials social yang sudahada。Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani。
{"title":"SONOR DAN BIAS \"CETAK SAWAH\" DI LAHAN GAMBUT","authors":"Ciptaningrat Larastiti","doi":"10.31292/jb.v4i1.208","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.208","url":null,"abstract":"Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice feld called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern feld rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fre disaster in 2015. The research was done a year after forest fre 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swiddenagriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, frst, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean ofpeasant exclusion.Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimanaproyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metodeetnograf yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untuk pengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terusmenyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gap yang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudahada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41624780","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pada edisi kali ini, Jurnal Bhumi menghadirkan 8 (delapan) artikel terpilih. Artikel pertama adalah karangan Noer Fauzi Rachman (2018) yang menyediakan debat teori pembangunan dan perluasan kapitalisme, termasuk di dalamnya melalui kebijakan desentralisasi/otonomi daerah dan efeknya. Telaah teori ini bermanfaat di dalam memahami hubungan antara pemisahan ruang, tanah, tenaga kerja, dan reproduksi kapital.
{"title":"Pengantar Redaksi","authors":"Ahmad Nashih Luthfi","doi":"10.31292/jb.v4i1.221","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.221","url":null,"abstract":"Pada edisi kali ini, Jurnal Bhumi menghadirkan 8 (delapan) artikel terpilih. Artikel pertama adalah karangan Noer Fauzi Rachman (2018) yang menyediakan debat teori pembangunan dan perluasan kapitalisme, termasuk di dalamnya melalui kebijakan desentralisasi/otonomi daerah dan efeknya. Telaah teori ini bermanfaat di dalam memahami hubungan antara pemisahan ruang, tanah, tenaga kerja, dan reproduksi kapital.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43727261","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: The article shows a theoretical debate on the consequence of decentralization policy and Community Driven Development (CDD) especially in relation to the way capitalism develop. The decentralization policy reshapes local government bureaucracy more responsive and accountable toward people’s needs, and the CDD facilitate rural and urban communities to manage collectively efforts to eradicating their poverty condition. Both are promoted by neo-institutionalist thinking in the World Bank and Civil Society within the same interlocking direction. Furthermore, I explicate critiques toward theory and practice of decentralization policy and CDD, launched by Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li, and Frederich Rawski. I connect those with the theorization of the ways capitalism develop as articulated by Paul Cammack, Michael Perelman, Massimo de Angelis and David Harvey. I argue that the presence of space of struggle, contestation and negotiation open the possibility for multiple forces to participate, or refuse to participate, to reshape the practice of decentralization and CDD, and furthermore the forces dialectically are reshaped because of their struggle, contestation and negotiation.Intisari: Artikel ini mengemukakan debat teori dari konsekuensi kebijakan desentralasi dan Pembangunan Berbasis Masyarakat (CDD) terutama dalam hubungannya dengan bagaimana kapitalisme berkembang. Kebijakan desentralisasi telah membentuk pemerintah lokal menjadi lebih responsif dan akuntabel terhadap kebutuhan masyarakat, dan CDD telah memfasilitasi komunitas perkotaan maupun perdesaan untuk secara kolektif berusaha mengatasi kondisi kemiskinannya. Selanjutnya, penulis mengutarakan kritik terhadap teori dan praktik kebijakan desentralisasi dan CDD, yang dikemukakan oleh Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li dan Frederich Rawski. Penulis juga menghubungkan teori tersebut dengan teorisasi tentang bagaimana kapitalisme berkembang seperti yang dikemukakan oleh Paul Cammack, Michael Perelman, Massimo de Angelis dan David Harvey. Penulis berpendapat bahwa keberadaan ruang pertarungan, kontestasi dan negosiasi membuka kemungkinan untuk berbagai kekuatan untuk berpartisipasi, atau menolak untuk berpartisipasi, untuk membentuk kembali praktik desentralisasi dan CDD, dan selanjutnya kekuatan dialektika dibentuk kembali karena usaha, kontestasi dan negosiasi mereka.
摘要:本文对权力下放政策和社区驱动发展(CDD)的后果,特别是与资本主义发展方式有关的后果进行了理论辩论。权力下放政策重塑了地方政府官僚机构,使其对人民的需求更加敏感和负责,CDD促进了农村和城市社区共同管理消除贫困状况的努力。两者都是由世界银行和民间社会的新制度主义思想在同一个相互关联的方向上推动的。此外,我还阐述了韦迪·哈迪兹、托比·卡罗尔、塔妮娅·李和弗雷德里克·罗斯基对权力下放政策和CDD理论和实践的批评。我将这些与保罗·卡马克、迈克尔·佩雷尔曼、马西莫·德·安吉利斯和大卫·哈维所阐述的资本主义发展方式的理论联系起来。我认为,斗争、争论和谈判空间的存在为多种力量的参与或拒绝参与打开了重塑权力下放和CDD实践的可能性,而且这些力量因其斗争、争论、谈判而辩证地被重塑。Intisari:这篇文章提出了一场关于去中心化政策和社区发展(CDD)后果的理论辩论,特别是与资本主义如何发展的关系。分权政策使地方政府对社会需求更加敏感和负责,CDD促进了城市社区或对克服贫困的集体努力的宽恕。其次,作者对韦迪·哈迪兹、托比·卡罗尔、塔妮娅·李和弗雷德里克·罗斯基提出的分权政策和CDD的理论和实践进行了批判。作者还将这一理论与Paul Cammack、Michael Perelman、Massimo de Angelis和David Harvey所说的资本主义如何演变的理论联系起来。作者认为,战场、竞争和谈判的存在为各种力量参与或拒绝参与、重建权力下放实践和CDD,以及因其努力、竞争和协商而重建的辩证权力打开了可能性。
{"title":"MENINJAU KEMBALI TEORISASI MENGENAL DESENTRALISASI, COMMUNITY DRIVEN DELEVOPMENT, DAN KAPITALISASI AGRARIA","authors":"Noer Fauzi Rachman","doi":"10.31292/jb.v4i1.213","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.213","url":null,"abstract":"Abstract: The article shows a theoretical debate on the consequence of decentralization policy and Community Driven Development (CDD) especially in relation to the way capitalism develop. The decentralization policy reshapes local government bureaucracy more responsive and accountable toward people’s needs, and the CDD facilitate rural and urban communities to manage collectively efforts to eradicating their poverty condition. Both are promoted by neo-institutionalist thinking in the World Bank and Civil Society within the same interlocking direction. Furthermore, I explicate critiques toward theory and practice of decentralization policy and CDD, launched by Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li, and Frederich Rawski. I connect those with the theorization of the ways capitalism develop as articulated by Paul Cammack, Michael Perelman, Massimo de Angelis and David Harvey. I argue that the presence of space of struggle, contestation and negotiation open the possibility for multiple forces to participate, or refuse to participate, to reshape the practice of decentralization and CDD, and furthermore the forces dialectically are reshaped because of their struggle, contestation and negotiation.Intisari: Artikel ini mengemukakan debat teori dari konsekuensi kebijakan desentralasi dan Pembangunan Berbasis Masyarakat (CDD) terutama dalam hubungannya dengan bagaimana kapitalisme berkembang. Kebijakan desentralisasi telah membentuk pemerintah lokal menjadi lebih responsif dan akuntabel terhadap kebutuhan masyarakat, dan CDD telah memfasilitasi komunitas perkotaan maupun perdesaan untuk secara kolektif berusaha mengatasi kondisi kemiskinannya. Selanjutnya, penulis mengutarakan kritik terhadap teori dan praktik kebijakan desentralisasi dan CDD, yang dikemukakan oleh Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li dan Frederich Rawski. Penulis juga menghubungkan teori tersebut dengan teorisasi tentang bagaimana kapitalisme berkembang seperti yang dikemukakan oleh Paul Cammack, Michael Perelman, Massimo de Angelis dan David Harvey. Penulis berpendapat bahwa keberadaan ruang pertarungan, kontestasi dan negosiasi membuka kemungkinan untuk berbagai kekuatan untuk berpartisipasi, atau menolak untuk berpartisipasi, untuk membentuk kembali praktik desentralisasi dan CDD, dan selanjutnya kekuatan dialektika dibentuk kembali karena usaha, kontestasi dan negosiasi mereka.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43241724","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak: This paper aims to examine the potential problems of Complete Systematic Land Registration (PTSL) as the government's priority agenda to establish land registration throughout Indonesia. This study uses a normative legal research approach by analyzing the legislation related to land registration, especially PP. 24 of 1997 concerning Land Registration and Ministerial Regulation ATR/Ka. BPN No. 12 of 2017 as amended by Ministerial Regulation No. 6 of 2018. The potential of this problem relates to the issue of tax and income tax payable, human resources, facilities and infrastructure, issues absentee land, maximumexcess of land ownership, abandoned land, announcement of physical and juridical data, and problems of application of the principles of contradictoire delimitation. The potential of this problem is described and is given alternative solutions on the implementation of PTSL. Alternative solution is by strengthening the regulation of PTSL in the form of Government Parliament (PP), either by revising PP. 24 of 1997 and by forming a separate PP on PTSL by clarifying the outlined problems . Intisari: Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji potensi permasalahan pendaftaran sistematik lengkap (PTSL) sebagai agenda prioritas pemerintah untuk menyelengarakan pendaftaran tanah seluruh Indonesia. Kajian ini mengunakan pendekatan penelitian hukum normatif dengan cara menganalisis peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah, khususnya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN No. 12 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan Permen No. 6 Tahun 2018. Potensi permasalahan ini berkaitan dengan masalah biaya Pajak PPh dan BPHTB terhutang, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, permasalahan tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar, masalah pengumuman data fsik dan data yuridis, serta masalah penerapan asas kontradiktur delimitasi. Potensi masalah ini di diskripsikan dan diberikan aternatif solusi dalam pelaksanaan percepatan PTSL. Aternatif solusinya adalah dengan cara memperkuat regulasi PTSL dalam bentuk Paraturan Pemerintah (PP) baik dengan cara merevisi PP No. 24 Tahun 1997 maupun dengan membentuk PP tersendiri mengenai PTSL yang pada pokoknya pengaturan isi-nya salah satunya memperjelas permasalahan-permasalahan yang diuraikan diatas.
{"title":"POTENSI PERMASALAHAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK (PTSL)","authors":"Dian Aries Mujiburohman","doi":"10.31292/jb.v4i1.209","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.209","url":null,"abstract":"Abstrak: This paper aims to examine the potential problems of Complete Systematic Land Registration (PTSL) as the government's priority agenda to establish land registration throughout Indonesia. This study uses a normative legal research approach by analyzing the legislation related to land registration, especially PP. 24 of 1997 concerning Land Registration and Ministerial Regulation ATR/Ka. BPN No. 12 of 2017 as amended by Ministerial Regulation No. 6 of 2018. The potential of this problem relates to the issue of tax and income tax payable, human resources, facilities and infrastructure, issues absentee land, maximumexcess of land ownership, abandoned land, announcement of physical and juridical data, and problems of application of the principles of contradictoire delimitation. The potential of this problem is described and is given alternative solutions on the implementation of PTSL. Alternative solution is by strengthening the regulation of PTSL in the form of Government Parliament (PP), either by revising PP. 24 of 1997 and by forming a separate PP on PTSL by clarifying the outlined problems . Intisari: Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji potensi permasalahan pendaftaran sistematik lengkap (PTSL) sebagai agenda prioritas pemerintah untuk menyelengarakan pendaftaran tanah seluruh Indonesia. Kajian ini mengunakan pendekatan penelitian hukum normatif dengan cara menganalisis peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah, khususnya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN No. 12 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan Permen No. 6 Tahun 2018. Potensi permasalahan ini berkaitan dengan masalah biaya Pajak PPh dan BPHTB terhutang, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, permasalahan tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar, masalah pengumuman data fsik dan data yuridis, serta masalah penerapan asas kontradiktur delimitasi. Potensi masalah ini di diskripsikan dan diberikan aternatif solusi dalam pelaksanaan percepatan PTSL. Aternatif solusinya adalah dengan cara memperkuat regulasi PTSL dalam bentuk Paraturan Pemerintah (PP) baik dengan cara merevisi PP No. 24 Tahun 1997 maupun dengan membentuk PP tersendiri mengenai PTSL yang pada pokoknya pengaturan isi-nya salah satunya memperjelas permasalahan-permasalahan yang diuraikan diatas.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43519929","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: The objective of this study is to describe the pattern of land tenure and forms of livelihood diversification in rural area. By using qualitative approach, data was collected and presented descriptively. The results are as follows, first, land is an important production factors as capital and labor. Land in Kedungprimpen village is still closely linked to the livelihoods of its inhabitants. High level of dependence of the population on agricultural land is also closely related to the local community's view that underlies the social differentiation of the rich, ample and poor. Second, this fact further encourages households todeal with the crisis, undertake series of livelihood activities to meet their basic needs. The selection of diversified forms of livelihood is mainly based on rational reasons related to the types of resources that can be optimized. Generally, livelihood diversification in Kedungprimpen Village is on agricultural andnon-agricultural sectors. Agricultural sector includes land cultivation, sharecrop, rent, mortgage, and labor system. Non-agricultural sector includes trade, handicrafts production, stockbreeding, and carpentry.Keywords: pattern of land tenure, land tenure, land diversification, peasant
{"title":"POLA PENGUASAAN TANAH DAN DISTRIBUSI KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN JAWA TIMUR","authors":"Versanudin Hekmatyar, Fentiny Nugroho","doi":"10.31292/JB.V4I1.222","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V4I1.222","url":null,"abstract":"Abstract: The objective of this study is to describe the pattern of land tenure and forms of livelihood diversification in rural area. By using qualitative approach, data was collected and presented descriptively. The results are as follows, first, land is an important production factors as capital and labor. Land in Kedungprimpen village is still closely linked to the livelihoods of its inhabitants. High level of dependence of the population on agricultural land is also closely related to the local community's view that underlies the social differentiation of the rich, ample and poor. Second, this fact further encourages households todeal with the crisis, undertake series of livelihood activities to meet their basic needs. The selection of diversified forms of livelihood is mainly based on rational reasons related to the types of resources that can be optimized. Generally, livelihood diversification in Kedungprimpen Village is on agricultural andnon-agricultural sectors. Agricultural sector includes land cultivation, sharecrop, rent, mortgage, and labor system. Non-agricultural sector includes trade, handicrafts production, stockbreeding, and carpentry.Keywords: pattern of land tenure, land tenure, land diversification, peasant","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44973955","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: This paper explains how the community of Lempur Village living in the forest area have a high dependence with nature. The position of the community is considered to interfere with the conservation program, that they must accept losing access to the forest area that has become the state property (TNKS). The loss of access to forest resources, pushed them to be more protective with the land that already allocated to them by the local government. Their openness to migrants began to fade and they did not tolerate new migrants who cleared land, reinforced by the ancestors history to reinforce the concept of localization to see who has the right to access land in Lempur Village. Moreover, other form of their resistance is by reconstruct the myths, addressed to immigrants, corporations, and tourists. Intisari: Tulisan ini menjelaskan bagaimana masyarakat Desa Lempur yang tinggal berbatasan dengan hutan sangat menggantungkan hidupnya terhadap alam. Posisi masyarakat desa dianggap mengganggu program konservasi sehingga mereka harus menerima kehilangan akses di area hutan yang sudah menjadi milik negara (TNKS). Dengan hilangnya akses mereka terhadap sumber daya hutan yang kini dijadikan area konservasi, menuntut mereka untuk lebih protektif terhadap sisa lahan yang memang sudah diperuntukan bagi mereka oleh pemerintah daerah. Keterbukaan mereka terhadap pendatang mulai pudar dan tidak lagi dapat mentoleransi pendatang membuka lahan. Diperkuat dengan sejarah nenek moyang mereka untuk mengukuhkan konsep kelokalan guna melihat siapa yang memiliki hak untuk mengakses tanah di Desa Lempur ini. Selain itu bentuk lain dari perlawanan mereka ialah dengan merekonstruksi kembali mitos-mitos yang sangat kuat digaungkan kepada pendatang, baik imigran, perusahaan, maupun wisatawan.
摘要:本文阐述了生活在森林地区的伦普尔村社区对自然的高度依赖。社区的立场被认为是对保护计划的干扰,他们必须接受失去进入已成为国家财产(TNKS)的森林地区的机会。失去了获取森林资源的途径,促使他们更加保护当地政府已经分配给他们的土地。他们对移民的开放态度开始消退,他们不容忍新移民开垦土地,通过祖先的历史来强化本地化的概念,看看谁有权获得伦普尔村的土地。此外,他们抵抗的另一种形式是重构神话,针对移民、企业和游客。意大利语:tusisan ini menjelaskan bagaimana masyarakat Desa Lempur yang tinggal berbatasan dengan hutan sangat mengganttung kan hidupnya terhadap alam。西藏自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区自治区。登安hilangnya akses mereka terhadap sumddaya hutan yang kini dijadikan地区konservasi, menuntuka untuk lebih protektif terhadap sisa lahan yang memang sudah diperuntukan bagi mereka oleh peremintah daerah。ketterbukaan mereka terhadap pendatang mulai pudar dantidak lagi dapat mentoleris pendatang membuka lahan。我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。Selain i bentuk lain dari perlawanan mereka ialah dengan merekonstruksi kembali mitos-mitos yang sangat kuat digaungkan kepada pendatang, baik移民,perusahan, maupun wisatawan。
{"title":"Konstruksi Mitos dan Kelokalan Sebagai Alat Eksklusi (Akses Masyarakat Lokal dan Imigran Terhadap SDA di Desa Lempur Kerinci-Jambi)","authors":"Dara Kartika Rahma","doi":"10.31292/JB.V3I2.122","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V3I2.122","url":null,"abstract":"Abstract: This paper explains how the community of Lempur Village living in the forest area have a high dependence with nature. The position of the community is considered to interfere with the conservation program, that they must accept losing access to the forest area that has become the state property (TNKS). The loss of access to forest resources, pushed them to be more protective with the land that already allocated to them by the local government. Their openness to migrants began to fade and they did not tolerate new migrants who cleared land, reinforced by the ancestors history to reinforce the concept of localization to see who has the right to access land in Lempur Village. Moreover, other form of their resistance is by reconstruct the myths, addressed to immigrants, corporations, and tourists. Intisari: Tulisan ini menjelaskan bagaimana masyarakat Desa Lempur yang tinggal berbatasan dengan hutan sangat menggantungkan hidupnya terhadap alam. Posisi masyarakat desa dianggap mengganggu program konservasi sehingga mereka harus menerima kehilangan akses di area hutan yang sudah menjadi milik negara (TNKS). Dengan hilangnya akses mereka terhadap sumber daya hutan yang kini dijadikan area konservasi, menuntut mereka untuk lebih protektif terhadap sisa lahan yang memang sudah diperuntukan bagi mereka oleh pemerintah daerah. Keterbukaan mereka terhadap pendatang mulai pudar dan tidak lagi dapat mentoleransi pendatang membuka lahan. Diperkuat dengan sejarah nenek moyang mereka untuk mengukuhkan konsep kelokalan guna melihat siapa yang memiliki hak untuk mengakses tanah di Desa Lempur ini. Selain itu bentuk lain dari perlawanan mereka ialah dengan merekonstruksi kembali mitos-mitos yang sangat kuat digaungkan kepada pendatang, baik imigran, perusahaan, maupun wisatawan.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-04-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42197079","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}