Abstract: In Indonesia, recently a movement to recognize customary forests (hutan adat) and the rights of indigenous peoples over forested areas has culminated. This momentum marked Indonesia's first recognition the traditional rights of indigenous peoples over their forests. This paper explains how the proposed to reserve the customary forest policy has been made and describe the journey as well of the implemention that policy. This scheme can help the struggle of indigenous peoples to show that the government can engage with social transformation from the bottom up. This study took the action research method from my experience working as a researcher to produce the target of agrarian reform and social forestry in Indonesia. This study takes the concept of a social construction framework to look the narrative ideas about reserving the customary forest in Indonesia. The results concluded with the problematic tabulation of data that can be formulated by conducting the reserve of the customary forest to implement the agenda of agrarian reform and social forestry in Indonesia.Keywords: Adat communities, Adat law, Customary Forest.Intisari: Di Indonesia, belakangan ini sebuah gerakan pengakuan hutan adat dan hak masyarakat hukum adat atas wilayah hutan memuncak. Momentum ini menandai pengakuan pertama kalinya Indonesia atas pengelolaan tradisional masyarakat hukum adat atas hutannya. Makalah ini ingin menjelaskan mengenai bagaimana usulan kebijakan pencadangan hutan adat dibuat serta perjalanan dalam mengimplementasikannya. Skema ini dapat membantu perjuangan masyarakat adat untuk menunjukkan bahwa pemerintah dapat terlibat dengan transformasi sosial dari bawah ke atas. Studi ini mengambil metode penelitian riset aksi dari pengalaman saya bekerja sebagai peneliti untuk menghasilkan sebuah target reforma agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia. Studi ini mengambil konsep kerangka konstruksi sosial untuk mencari ide naratif tentang pencadangan hutan adat di Indonesia. Hasil penelitian ini menjelaskan adanya tabulasi data dengan problematikanya yang dapat diformulasi dengan melakukan usulan pencadangan hutan adat dalam mewujudkan agenda reforma agraria dan perhutanan sosial di Indonesia.Kata kunci: Masyarakat adat, hukum adat, hutan adat.
{"title":"Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat di Indonesia","authors":"A. Wibowo","doi":"10.31292/JB.V5I1.317","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V5I1.317","url":null,"abstract":"Abstract: In Indonesia, recently a movement to recognize customary forests (hutan adat) and the rights of indigenous peoples over forested areas has culminated. This momentum marked Indonesia's first recognition the traditional rights of indigenous peoples over their forests. This paper explains how the proposed to reserve the customary forest policy has been made and describe the journey as well of the implemention that policy. This scheme can help the struggle of indigenous peoples to show that the government can engage with social transformation from the bottom up. This study took the action research method from my experience working as a researcher to produce the target of agrarian reform and social forestry in Indonesia. This study takes the concept of a social construction framework to look the narrative ideas about reserving the customary forest in Indonesia. The results concluded with the problematic tabulation of data that can be formulated by conducting the reserve of the customary forest to implement the agenda of agrarian reform and social forestry in Indonesia.Keywords: Adat communities, Adat law, Customary Forest.Intisari: Di Indonesia, belakangan ini sebuah gerakan pengakuan hutan adat dan hak masyarakat hukum adat atas wilayah hutan memuncak. Momentum ini menandai pengakuan pertama kalinya Indonesia atas pengelolaan tradisional masyarakat hukum adat atas hutannya. Makalah ini ingin menjelaskan mengenai bagaimana usulan kebijakan pencadangan hutan adat dibuat serta perjalanan dalam mengimplementasikannya. Skema ini dapat membantu perjuangan masyarakat adat untuk menunjukkan bahwa pemerintah dapat terlibat dengan transformasi sosial dari bawah ke atas. Studi ini mengambil metode penelitian riset aksi dari pengalaman saya bekerja sebagai peneliti untuk menghasilkan sebuah target reforma agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia. Studi ini mengambil konsep kerangka konstruksi sosial untuk mencari ide naratif tentang pencadangan hutan adat di Indonesia. Hasil penelitian ini menjelaskan adanya tabulasi data dengan problematikanya yang dapat diformulasi dengan melakukan usulan pencadangan hutan adat dalam mewujudkan agenda reforma agraria dan perhutanan sosial di Indonesia.Kata kunci: Masyarakat adat, hukum adat, hutan adat.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48791772","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Law, instead as the basis of national agrarian management, also as sources of agrarian conflict because of conflicted regulations. Many academic papers on agrarian conflicts have described the conflicts, as well as women’s narrative regarding the conflicts. This article explore the theoretical discourse during agrarian conflict to analyze women’s role on that case. This paper is written based on secondary data gathered from juridical normative research with analytical descriptive type. The research found that main legal theoretical discourses presented mostly in on agrarian conflicts literatures are legal positivism, politics of law, legal reality, natural law, sociological jurisprudence, legal pluralism, local wisdom, and eco-feminism. The role of women during agrarian conflicts is explained using eco-feminism theory, particularly as agent of change who actively fight for non-exploitative agrarian management based on their experience.Key words: women, agrarian conflict, eco-feminism.Intisari: Hukum, selain sebagai dasar penyelenggaraan agraria nasional juga menjadi sumber konflik agraria karena pengaturan yang tumpang tindih. Tulisan-tulisan akademik tentang konflik agraria tidak hanya menjelaskan tentang konflik yang berlangsung, tetapi juga menuliskan narasi perempuan dalam konflik tersebut. Tulisan ini menggali wacana-wacana teori yang muncul dalam konflik agraria untuk menganalisis peran perempuan dalam konflik agraria. Data sekunder dalam tulisan ini diperoleh dari penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Wacana-wacana teori yang muncul dalam konflik agraria adalah teori hukum positif, teori politik hukum, teori realitas hukum, teori hukum alam, sociological jurisprudence, pluralisme hukum, teori kearifan lokal, dan teori ekofeminisme. Teori yang menjelaskan peran perempuan dalam konflik agraria adalah teori ekofeminisme. Peran perempuan dalam konflik agraria adalah sebagai agen perubahan yang berperan secara aktif memperjuangkan pengelolaan agraria non-eksploitatif berdasarkan pengalaman masing-masing perempuan.Kata kunci: perempuan, konflik agraria, ekofeminisme.
{"title":"Diskursus Teori Tentang Peran Perempuan dalam Konflik Agraria","authors":"Sartika Intaning Pradhani","doi":"10.31292/JB.V5I1.320","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V5I1.320","url":null,"abstract":"Abstract: Law, instead as the basis of national agrarian management, also as sources of agrarian conflict because of conflicted regulations. Many academic papers on agrarian conflicts have described the conflicts, as well as women’s narrative regarding the conflicts. This article explore the theoretical discourse during agrarian conflict to analyze women’s role on that case. This paper is written based on secondary data gathered from juridical normative research with analytical descriptive type. The research found that main legal theoretical discourses presented mostly in on agrarian conflicts literatures are legal positivism, politics of law, legal reality, natural law, sociological jurisprudence, legal pluralism, local wisdom, and eco-feminism. The role of women during agrarian conflicts is explained using eco-feminism theory, particularly as agent of change who actively fight for non-exploitative agrarian management based on their experience.Key words: women, agrarian conflict, eco-feminism.Intisari: Hukum, selain sebagai dasar penyelenggaraan agraria nasional juga menjadi sumber konflik agraria karena pengaturan yang tumpang tindih. Tulisan-tulisan akademik tentang konflik agraria tidak hanya menjelaskan tentang konflik yang berlangsung, tetapi juga menuliskan narasi perempuan dalam konflik tersebut. Tulisan ini menggali wacana-wacana teori yang muncul dalam konflik agraria untuk menganalisis peran perempuan dalam konflik agraria. Data sekunder dalam tulisan ini diperoleh dari penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Wacana-wacana teori yang muncul dalam konflik agraria adalah teori hukum positif, teori politik hukum, teori realitas hukum, teori hukum alam, sociological jurisprudence, pluralisme hukum, teori kearifan lokal, dan teori ekofeminisme. Teori yang menjelaskan peran perempuan dalam konflik agraria adalah teori ekofeminisme. Peran perempuan dalam konflik agraria adalah sebagai agen perubahan yang berperan secara aktif memperjuangkan pengelolaan agraria non-eksploitatif berdasarkan pengalaman masing-masing perempuan.Kata kunci: perempuan, konflik agraria, ekofeminisme.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46311542","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Opinions that perceive villages (desa) as solid entity, traditional, reservoir of labor and foodcrops, have been intensively criticized. On the contrary, villages are filled with social-political tension, class difference, and became areas where large conflicts in history also took place. This article develops the second argument, which tries to trace agrarian transformation through history: from the colonial period, independence and the New Order. By presenting a case study in South Malang, East Java, this article aim to show that village dynamics are controlled by patronage relation, where agrarian policies only benefited certain groups in the village. Historical analysis also shows how patronage relation persisted, although the state had changed. Violence that occurred in regime change did not necessarily transform the patronage relation in the village, instead strengthened it through the formation of new alliances. Agrarian policies that are going to be developed in the present should notice this power relation. The question of ‘who gets what’ should be continuously raised by agrarian studies experts and policy makers.Keywords: patronage relation, clientelism, class inequality, 1965 violence, colonial plantation, Malang-East JavaIntisari: Pandangan yang melihat desa sebagai entitas solid, tradisional, reservoir tenaga kerja dan pangan, telah banyak dikritik. Sebaliknya, desa dipenuhi dengan ketegangan sosial-politik, perbedaan kelas dan area dimana konflik-konflik besar dalam sejarah juga terjadi. Artikel ini mengembangkan pandangan kedua, dan berusaha menelusuri perubahan agraria dari masa ke masa: periode kolonial, kemerdekaan dan Orde Baru. Dengan mengambil studi kasus di Malang Selatan, Jawa Timur, artikel ini menunjukkan bahwa dinamika desa dikuasai oleh relasi patronase, sehingga kebijakan-kebijakan agraria hanya menguntungkan kelompok tertentu di desa. Analisa historis juga memperlihatkan bagaimana relasi patronase terus bertahan, meskipun negara (dalam hal ini sistem pemerintahan) telah berubah. Kekerasan yang terjadi dalam perubahan-perubahan rezim tidak mengubah relasi patron di tingkat desa, namun justru memperkuatnya dengan memunculkan aliansi-aliansi baru. Kebijakan-kebijakan agraria yang akan diambil pada masa kini seyogyanya memperhatikan relasi kuasa tersebut, sehingga pertanyaan ‘siapa mendapat apa’ harus kerap dikedepankan oleh para pegiat studi agraria dan para pengambil kebijakan.Kata kunci: relasi patronase, klientelisme, ketimpangan kelas, kekerasan 1965, perkebunan kolonial, Malang-Jawa Timur
{"title":"Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase dalam Lintasan Sejarah: Menelusuri Sejarah Perubahan Agraria di Malang Selatan","authors":"G. Leksana","doi":"10.31292/JB.V5I1.319","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V5I1.319","url":null,"abstract":"Abstract: Opinions that perceive villages (desa) as solid entity, traditional, reservoir of labor and foodcrops, have been intensively criticized. On the contrary, villages are filled with social-political tension, class difference, and became areas where large conflicts in history also took place. This article develops the second argument, which tries to trace agrarian transformation through history: from the colonial period, independence and the New Order. By presenting a case study in South Malang, East Java, this article aim to show that village dynamics are controlled by patronage relation, where agrarian policies only benefited certain groups in the village. Historical analysis also shows how patronage relation persisted, although the state had changed. Violence that occurred in regime change did not necessarily transform the patronage relation in the village, instead strengthened it through the formation of new alliances. Agrarian policies that are going to be developed in the present should notice this power relation. The question of ‘who gets what’ should be continuously raised by agrarian studies experts and policy makers.Keywords: patronage relation, clientelism, class inequality, 1965 violence, colonial plantation, Malang-East JavaIntisari: Pandangan yang melihat desa sebagai entitas solid, tradisional, reservoir tenaga kerja dan pangan, telah banyak dikritik. Sebaliknya, desa dipenuhi dengan ketegangan sosial-politik, perbedaan kelas dan area dimana konflik-konflik besar dalam sejarah juga terjadi. Artikel ini mengembangkan pandangan kedua, dan berusaha menelusuri perubahan agraria dari masa ke masa: periode kolonial, kemerdekaan dan Orde Baru. Dengan mengambil studi kasus di Malang Selatan, Jawa Timur, artikel ini menunjukkan bahwa dinamika desa dikuasai oleh relasi patronase, sehingga kebijakan-kebijakan agraria hanya menguntungkan kelompok tertentu di desa. Analisa historis juga memperlihatkan bagaimana relasi patronase terus bertahan, meskipun negara (dalam hal ini sistem pemerintahan) telah berubah. Kekerasan yang terjadi dalam perubahan-perubahan rezim tidak mengubah relasi patron di tingkat desa, namun justru memperkuatnya dengan memunculkan aliansi-aliansi baru. Kebijakan-kebijakan agraria yang akan diambil pada masa kini seyogyanya memperhatikan relasi kuasa tersebut, sehingga pertanyaan ‘siapa mendapat apa’ harus kerap dikedepankan oleh para pegiat studi agraria dan para pengambil kebijakan.Kata kunci: relasi patronase, klientelisme, ketimpangan kelas, kekerasan 1965, perkebunan kolonial, Malang-Jawa Timur","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46078934","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dwi Wulan Pujiriyani, Endriatmo Soetarto, Dwi Andreas Santosa, I. Agusta
Abstract: Population density is a serious problem for the existence of the peasant community and its agricultural landscape. In this situation, deagrarianization becomes a necessity because the economies scale of farming are becoming smaller and not profitable for peasants. This paper aims to analyze the community's strategy in maintaining its agrarian landscape. Data for this study were obtained through community case study method. Live in strategy is done for 2.5 months to deepen understanding at the community. The results showed that the peasant community was actively defend not to get out from agriculture. Expansion by increasing land ownership and reducing population numbers are the two main strategies. This strategy allows the ratio of agrarian landscape and agrarian density not to make the younger generation lose the opportunity to own agricultural land. Optimism to increase ownership of agricultural land for the younger generation is done by buying agricultural land from those who are not interested in pursuing agriculture.Keywords: land ownership, agriculture, deagrarianization, community strategyIntisari: Kepadatan penduduk merupakan masalah serius bagi eksistensi komunitas petani dan bentang agrarianya. Dalam situasi serupa ini, deagrarianisasi menjadi sebuah keniscayaan karena skala ekonomi usaha tani menjadi semakin kecil dan tidak menguntungkan bagi petani. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis strategi komunitas dalam mempertahankan bentang agrarianya. Data untuk penelitian ini diperoleh melalui metode studi kasus komunitas. Pendalaman di tingkat komunitas dilakukan dengan live in selama 2,5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas petani secara aktif berstrategi untuk tidak keluar dari pertanian. Ekspansi dengan menambah kepemilikan lahan dan mengurangi jumlah populasi merupakan dua strategi yang utama. Strategi ini memungkinkan rasio bentang agraria dan kepadatan agraris tidak membuat generasi yang lebih muda kehilangan kesempatan untuk memiliki lahan pertanian. Optimisme menambah kepemilikan lahan pertanian bagi generasi yang lebih muda dilakukan dengan cara membeli lahan pertanian dari mereka yang sudah tidak berminat menekuni pertanian.Kata Kunci: kepemilikan lahan, pertanian, deagrarianisasi, strategi komunitas
{"title":"Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris, dan Ketersediaan Lahan pada Komunitas Petani","authors":"Dwi Wulan Pujiriyani, Endriatmo Soetarto, Dwi Andreas Santosa, I. Agusta","doi":"10.31292/JB.V5I1.318","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V5I1.318","url":null,"abstract":"Abstract: Population density is a serious problem for the existence of the peasant community and its agricultural landscape. In this situation, deagrarianization becomes a necessity because the economies scale of farming are becoming smaller and not profitable for peasants. This paper aims to analyze the community's strategy in maintaining its agrarian landscape. Data for this study were obtained through community case study method. Live in strategy is done for 2.5 months to deepen understanding at the community. The results showed that the peasant community was actively defend not to get out from agriculture. Expansion by increasing land ownership and reducing population numbers are the two main strategies. This strategy allows the ratio of agrarian landscape and agrarian density not to make the younger generation lose the opportunity to own agricultural land. Optimism to increase ownership of agricultural land for the younger generation is done by buying agricultural land from those who are not interested in pursuing agriculture.Keywords: land ownership, agriculture, deagrarianization, community strategyIntisari: Kepadatan penduduk merupakan masalah serius bagi eksistensi komunitas petani dan bentang agrarianya. Dalam situasi serupa ini, deagrarianisasi menjadi sebuah keniscayaan karena skala ekonomi usaha tani menjadi semakin kecil dan tidak menguntungkan bagi petani. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis strategi komunitas dalam mempertahankan bentang agrarianya. Data untuk penelitian ini diperoleh melalui metode studi kasus komunitas. Pendalaman di tingkat komunitas dilakukan dengan live in selama 2,5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas petani secara aktif berstrategi untuk tidak keluar dari pertanian. Ekspansi dengan menambah kepemilikan lahan dan mengurangi jumlah populasi merupakan dua strategi yang utama. Strategi ini memungkinkan rasio bentang agraria dan kepadatan agraris tidak membuat generasi yang lebih muda kehilangan kesempatan untuk memiliki lahan pertanian. Optimisme menambah kepemilikan lahan pertanian bagi generasi yang lebih muda dilakukan dengan cara membeli lahan pertanian dari mereka yang sudah tidak berminat menekuni pertanian.Kata Kunci: kepemilikan lahan, pertanian, deagrarianisasi, strategi komunitas","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42206592","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: The government continuously strives to carry out land registration in all Indonesianregions to ensure legal certainty. By the government initiatives, the completion of land registrationthroughout Indonesia is planned to be completed in 2024 through the Complete Systematic LandRegistration (PTSL) program. In its implementation, the number and speed of achievement ofregistered land parcels among Land Off ices are different. Based on this fact, it is very important toconduct a research on what factors that affect the achievement/realization of the Complete Systematic Land Registration (PTSL) signif icantly. The method that was used in this research was aquantitative approach, and the data was processed by using multiple regression tests to get thesignif icant simultaneously influential factors. The factors that had a signif icant effect simultaneously are : the number of human resources involved in PTSL, the number of juridical data collectors that are involved, the number of computers used in PTSL, the number of available theodolite,the number of available GPS, and less than 3%-slope of the area. Optimization of these factors canbe done by optimizing the human resources involved in the PTSL team through participatory mapping, computer support tools, the use of measuring instruments in various slopes, and strengthening PTSL perceptions and innovations Intisari: Pemerintah secara terus menerus berusaha melaksanakan pendaftaran tanah di seluruhwilayah negara Indonesia untuk menjamin kepastian hukum. Atas prakarsa pemerintah, penyelesaianpendaftaran tanah di seluruh Indonesia direncanakan akan selesai pada tahun 2024 melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Dalam pelaksanaannya, jumlah dan kecepatancapaian bidang terdaftar antara satu Kantor Pertanahan dengan kantor lainnya berbeda. Berdasarkanuraian tersebut, sangat penting untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor–faktor apasaja yang berpengaruh secara signifikan terhadap capaian/realisasi PTSL. Metode yang digunakanadalah pendekatan kuantitatif dan data diolah dengan menggunakan uji regresi berganda untukmendapatkan faktor yang signifikan berpengaruh secara bersamaan/simultan. Faktor-faktor yangberpengaruh signif ikan secara simultan terhadap pelaksanaan PTSL adalah: jumlah SDM yangdilibatkan dalam Tim PTSL, jumlah petugas pengumpul data yuridis, jumlah komputer, jumlah alatukur teodholit, jumlah alat ukur GPS, dan kemiringan wilayah kurang dari 3%. Optimalisasi faktorfaktor tersebut dapat dilakukan dengan optimalisasi sumberdaya manusia yang terlibat tim PTSLmelalui pemetaan partisipatif, alat penunjang komputer, penggunaan alat ukur dalam berbagaikemiringan lereng, dan penguatan persepsi dan inovasi PTSL
{"title":"Optimalisasi Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap","authors":"Septina Marryanti, Yudha Purbawa","doi":"10.31292/JB.V4I2.278","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V4I2.278","url":null,"abstract":"Abstract: The government continuously strives to carry out land registration in all Indonesianregions to ensure legal certainty. By the government initiatives, the completion of land registrationthroughout Indonesia is planned to be completed in 2024 through the Complete Systematic LandRegistration (PTSL) program. In its implementation, the number and speed of achievement ofregistered land parcels among Land Off ices are different. Based on this fact, it is very important toconduct a research on what factors that affect the achievement/realization of the Complete Systematic Land Registration (PTSL) signif icantly. The method that was used in this research was aquantitative approach, and the data was processed by using multiple regression tests to get thesignif icant simultaneously influential factors. The factors that had a signif icant effect simultaneously are : the number of human resources involved in PTSL, the number of juridical data collectors that are involved, the number of computers used in PTSL, the number of available theodolite,the number of available GPS, and less than 3%-slope of the area. Optimization of these factors canbe done by optimizing the human resources involved in the PTSL team through participatory mapping, computer support tools, the use of measuring instruments in various slopes, and strengthening PTSL perceptions and innovations Intisari: Pemerintah secara terus menerus berusaha melaksanakan pendaftaran tanah di seluruhwilayah negara Indonesia untuk menjamin kepastian hukum. Atas prakarsa pemerintah, penyelesaianpendaftaran tanah di seluruh Indonesia direncanakan akan selesai pada tahun 2024 melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Dalam pelaksanaannya, jumlah dan kecepatancapaian bidang terdaftar antara satu Kantor Pertanahan dengan kantor lainnya berbeda. Berdasarkanuraian tersebut, sangat penting untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor–faktor apasaja yang berpengaruh secara signifikan terhadap capaian/realisasi PTSL. Metode yang digunakanadalah pendekatan kuantitatif dan data diolah dengan menggunakan uji regresi berganda untukmendapatkan faktor yang signifikan berpengaruh secara bersamaan/simultan. Faktor-faktor yangberpengaruh signif ikan secara simultan terhadap pelaksanaan PTSL adalah: jumlah SDM yangdilibatkan dalam Tim PTSL, jumlah petugas pengumpul data yuridis, jumlah komputer, jumlah alatukur teodholit, jumlah alat ukur GPS, dan kemiringan wilayah kurang dari 3%. Optimalisasi faktorfaktor tersebut dapat dilakukan dengan optimalisasi sumberdaya manusia yang terlibat tim PTSLmelalui pemetaan partisipatif, alat penunjang komputer, penggunaan alat ukur dalam berbagaikemiringan lereng, dan penguatan persepsi dan inovasi PTSL","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43630108","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: ORS is a GNSS station operating continuously for 24 hours. It is also used as a reference for determining a, both asa real time and as post-processing. Cors in BPN RI is known as Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP). BPN RI has notyet optimized the use JRSP to reconstruct parcel boundaries. The research is aimed at examine the JRSP in reconstructingparcel boundaries. The analysis on lateral displacement tolerance and the difference on the area of parcles was based ontechnical guidance of PMNA/KBPN No. 3 of 1997 and the t test using the level of significance of ( )=5%. The resultswere:1)The reconstruction of parcels using JSRP can be done by firstly implementing the coordinate transfer and the mostaccurate Helmert coordinate transfer method using a posteriori variance of ( ) = 1.143020313; 2) The lateral transformationand the difference on parcel areas using JRSP suited the tolerance and the result of the t test did not show anysignificance level of ( ) = 5% .Keywords: reconstruction, parcel boundaries, JRSPAbstrak: CORS merupakan stasiun GNSS yang beroperasi secara kontinyu selama 24 jam sebagai acuan penentuan posisi, baiksecara real time maupun post-processing. CORS di BPN RI dikenal sebagai Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP). BPN RIbelum mengoptimalkan pelaksanaan rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP. Tujuan dalam penelitian ini adalahuntuk menguji JRSP dalam pelaksanaan rekonstruksi batas bidang tanah. Analisis terhadap toleransi pergeseran lateral danperbedaan luas bidang tanah hasil rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP berdasarkan Juknis PMNA/KBPN No 3tahun 1997 dan uji t dengan taraf signifikansi ( )=5%. Hasil penelitian ini adalah : 1)Rekonstruksi batas bidang tanah tanahmenggunakan JRSP dapat di laksanakan dengan terlebih dahulu melaksanakan transformasi koordinat dan metode transformasikoordinat yang paling teliti adalah metode Helmert dengan varian posteriori ( ) = 1.143020313; 2)Pergeseran lateral danperbedaan luas bidang tanah hasil rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP memenuhi syarat toleransi dan dari uji tdengan taraf signifikansi ( ) = 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan.Kata Kunci: Rekonstruksi, Batas Bidang Tanah , JRSP
{"title":"REKONSTRUKSI BATAS BIDANG TANAH MENGGUNAKAN JARINGAN REFERENSI SATELIT PERTANAHAN","authors":"Kariyono Kariyono, E. Wahyono, Tanjung Nugroho","doi":"10.31292/jb.v1i1.45","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v1i1.45","url":null,"abstract":"Abstract: ORS is a GNSS station operating continuously for 24 hours. It is also used as a reference for determining a, both asa real time and as post-processing. Cors in BPN RI is known as Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP). BPN RI has notyet optimized the use JRSP to reconstruct parcel boundaries. The research is aimed at examine the JRSP in reconstructingparcel boundaries. The analysis on lateral displacement tolerance and the difference on the area of parcles was based ontechnical guidance of PMNA/KBPN No. 3 of 1997 and the t test using the level of significance of ( )=5%. The resultswere:1)The reconstruction of parcels using JSRP can be done by firstly implementing the coordinate transfer and the mostaccurate Helmert coordinate transfer method using a posteriori variance of ( ) = 1.143020313; 2) The lateral transformationand the difference on parcel areas using JRSP suited the tolerance and the result of the t test did not show anysignificance level of ( ) = 5% .Keywords: reconstruction, parcel boundaries, JRSPAbstrak: CORS merupakan stasiun GNSS yang beroperasi secara kontinyu selama 24 jam sebagai acuan penentuan posisi, baiksecara real time maupun post-processing. CORS di BPN RI dikenal sebagai Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP). BPN RIbelum mengoptimalkan pelaksanaan rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP. Tujuan dalam penelitian ini adalahuntuk menguji JRSP dalam pelaksanaan rekonstruksi batas bidang tanah. Analisis terhadap toleransi pergeseran lateral danperbedaan luas bidang tanah hasil rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP berdasarkan Juknis PMNA/KBPN No 3tahun 1997 dan uji t dengan taraf signifikansi ( )=5%. Hasil penelitian ini adalah : 1)Rekonstruksi batas bidang tanah tanahmenggunakan JRSP dapat di laksanakan dengan terlebih dahulu melaksanakan transformasi koordinat dan metode transformasikoordinat yang paling teliti adalah metode Helmert dengan varian posteriori ( ) = 1.143020313; 2)Pergeseran lateral danperbedaan luas bidang tanah hasil rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP memenuhi syarat toleransi dan dari uji tdengan taraf signifikansi ( ) = 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan.Kata Kunci: Rekonstruksi, Batas Bidang Tanah , JRSP","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49438661","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Historiographically, there is false understanding that the 1960’s landreform in Indonesia was only supported by communism party, and religion-based parties were on the opposite sides, ideologically and sociologically. This article contradicts the simplification of the understanding of the history by pointed out that Nahdlatul Ulama supported the policy of land reform. The support was within the framework of the creation of justice, as well as the understanding that private land ownership is respected in Islam, as part of the goal in enforcing syari’at: to keep the possessions of the umat (hifdhul maal). Not only on the implementation, Pertanu also defend and fight for the peasants when they were expelled, and their lands were taken over (counter-landreform) post 1965. Based on the archived of ANRI and local military documents, this article record the institutional history of Pertanu and its struggle to defent the peasants after 1965, and the dynamic of the implementation of land reform and its backflow in Banyuwangi, East Java. The description of historical experiences of this peasant organization is equipped by contextual reflection and its revitalization on current era when facing contemporary agrarian issues. Intisari: Secara historiografis berkembang pemahaman yang keliru bahwa landreform era 1960-an di Indonesia hanya didukung oleh partai berpaham komunisme. Sedangkan partai berbasiskan agama, berada pada pihak yang berseberangan, baik secara ideologis maupun sosiologis. Artikel ini membantah simplifikasi pemahaman sejarah tersebut dengan menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama mendukung kebijakan landreform. Dukungan itu dalam kerangka penciptaan keadilan sekaligus pemahaman bahwa kepemilikan tanah pribadi dihormati di dalam Islam, sebab merupakan bagian dari tujuan penegakan syari’at: menjaga harta benda umat (hifdhul maal). Tidak hanya pada tahap pelaksanaan, Pertanu bahkan juga membela dan memperjuangkan kaum tani tatkala mereka diusir dan diambil-alih tanahnya kembali (counter-landreform) pasca 1965. Berdasarkan arsip dari ANRI dan dokumen militer daerah, artikel ini merekam sejarah kelembagaan Pertanu dan perjuangannya dalam membela kaum tani pasca 1965, serta dinamika pelaksanaan landreform dan arus baliknya yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Uraian pengalaman sejarah perjalanan organisasi tani ini dilengkapi dengan refleksi kontekstualitasi dan revitalisasinya pada era saat ini tetkala berhadapan dengan masalah-masalah agraria kontemporer.
[摘要]从史学角度看,有一种错误的认识,认为印尼20世纪60年代的土地改革只得到共产党的支持,而宗教政党在意识形态和社会学上处于对立状态。本文通过指出Nahdlatul Ulama支持土地改革政策,反驳了对历史认识的简单化。这种支持是在创造正义的框架内,以及在伊斯兰教中尊重私人土地所有权的理解,作为执行伊斯兰教法目标的一部分:保留umat (hifdhul maal)的财产。不仅在执行上,Pertanu在农民被驱逐时也捍卫和争取农民,他们的土地在1965年后被接管(反土地改革)。本文以ANRI的档案资料和当地的军事文献为基础,记录了Pertanu的制度历史和1965年后的农民保护斗争,以及在东爪哇Banyuwangi实施土地改革的动态和倒退。对这一农民组织历史经验的描述,在面对当代的农业问题时,具有语境反思和对当前时代的振兴。印尼语:Secara history grafis berkembang pemahaman yang keliru bahwa土地改革时代1960- and di Indonesia hanya didukung oleh partai berpaham komisme。Sedangkan partai berbasiskan agama, berada padhak yang berseberangan, baik secara ideology maupun physiology。Artikel ini membantah简化了kasi pemahaman sejarah tersebut dengan menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama mendukung kebijakan土地改革。Dukungan itu dalam kerangka penciptaan keadilan keadilan sekaligus pemahaman bahwa kepemilikan tanah pribadi dihormati di dalam Islam, sebab merupakan bagian dari tujuan penegakan syari 'at: menjaga harta benda umat (hifdhul maal)。反土地改革,Pertanu bahkan juga membela dan memperjuangkan kaum tani tatkala mereka diusir dan diambili -alih tanahnya kembali, pasca 1965。在1965年,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上,在土地改革上。印尼农业发展组织:印尼农业发展组织:印尼农业发展组织:印尼农业发展组织:印尼农业发展组织:印尼农业发展组织:印尼农业发展组织:印尼农业发展组织:印尼农业发展组织
{"title":"Sejarah dan Revitalisasi Perjuangan Pertanian Nahdlatul Ulama Melawan Ketidakadilan Agraria","authors":"Ahmad Nashih Luthfi","doi":"10.31292/JB.V3I2.121","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V3I2.121","url":null,"abstract":"Abstract: Historiographically, there is false understanding that the 1960’s landreform in Indonesia was only supported by communism party, and religion-based parties were on the opposite sides, ideologically and sociologically. This article contradicts the simplification of the understanding of the history by pointed out that Nahdlatul Ulama supported the policy of land reform. The support was within the framework of the creation of justice, as well as the understanding that private land ownership is respected in Islam, as part of the goal in enforcing syari’at: to keep the possessions of the umat (hifdhul maal). Not only on the implementation, Pertanu also defend and fight for the peasants when they were expelled, and their lands were taken over (counter-landreform) post 1965. Based on the archived of ANRI and local military documents, this article record the institutional history of Pertanu and its struggle to defent the peasants after 1965, and the dynamic of the implementation of land reform and its backflow in Banyuwangi, East Java. The description of historical experiences of this peasant organization is equipped by contextual reflection and its revitalization on current era when facing contemporary agrarian issues. Intisari: Secara historiografis berkembang pemahaman yang keliru bahwa landreform era 1960-an di Indonesia hanya didukung oleh partai berpaham komunisme. Sedangkan partai berbasiskan agama, berada pada pihak yang berseberangan, baik secara ideologis maupun sosiologis. Artikel ini membantah simplifikasi pemahaman sejarah tersebut dengan menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama mendukung kebijakan landreform. Dukungan itu dalam kerangka penciptaan keadilan sekaligus pemahaman bahwa kepemilikan tanah pribadi dihormati di dalam Islam, sebab merupakan bagian dari tujuan penegakan syari’at: menjaga harta benda umat (hifdhul maal). Tidak hanya pada tahap pelaksanaan, Pertanu bahkan juga membela dan memperjuangkan kaum tani tatkala mereka diusir dan diambil-alih tanahnya kembali (counter-landreform) pasca 1965. Berdasarkan arsip dari ANRI dan dokumen militer daerah, artikel ini merekam sejarah kelembagaan Pertanu dan perjuangannya dalam membela kaum tani pasca 1965, serta dinamika pelaksanaan landreform dan arus baliknya yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Uraian pengalaman sejarah perjalanan organisasi tani ini dilengkapi dengan refleksi kontekstualitasi dan revitalisasinya pada era saat ini tetkala berhadapan dengan masalah-masalah agraria kontemporer.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48211016","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Westi Utami, Arga Yugan Ndaru, A. Widyastuti, I. M. A. Swardiana
Abstract: Oil palm plantation expansion through inappropriate land clearing usually trigger forest fire and peat land fire in Riau Province. The purpose of this paper is to find the method to reduce disaster risk through preventive activities, conducted by mapping the distribution of Cultivation Right, and was overlaid with the map of disaster risk and agrarian control through location permit and control of spatial planning. The method used to produce disaster-prone area map was quantitative scoring and weighting, using Composite Mapping Analysis (CMA) method based on the relationship between factors with the percentage of fire spot (hotspot). The results show that from the distribution of cultivation right based on the level of vulnerability in Riau Province, there are 45 location of cultivation right lies along very high-risk area of forest fire with the total area of 95.260,7 hectares (10,4%); most of the area, counted for 70,4% with the area of 647.140,3 hectares covering 143 Cultivation Right location, located on the vulnerable area of forest fire; while 19,2% of the total cultivation right area are in less vulnerable area, spreading over 25 Cultivation Right location. Intisari: Ekspansi perkebunan sawit melalui land clearing yang tidak tepat seringkali memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut di Provinsi Riau. Pengurangan resiko bencana melalui kegiatan preventif yaitu penyusunan peta sebaran HGU dioverlaykan dengan peta tingkat kerawanan bencana serta pengendalian pertanahan melalui ijin lokasi dan pengendalian melalui RTRW merupakan tujuan dari tulisan ini. Metode yang digunakan untuk menyusun peta kerawanan bencana adalah scoring dan pembobotan dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode Composite Mapping Analysis (CMA) berdasarkan hubungan setiap faktor terhadap persentase titik api (hotspot). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sebaran HGU berdasarkan tingkat kerawanan di Provinsi Riau sebanyak 45 lokasi HGU berada pada daerah sangat rawan bencana kebakaran dengan total luasan 95.260,7 ha (10,4%); sebagian besar yaitu 70,4% dengan luasan 647.160,3 ha dengan sebaran sebanyak 143 HGU berada pada kawasan ancaman rawan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan; sementara 19,2% dari total luasan HGU berada pada kategori kurang rawan yang tersebar pada 25 HGU.
{"title":"Pengurangan Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan Melalui Pemetaan HGU dan Pengendalian Pertanahan (Studi Kasus Provinsi Riau)","authors":"Westi Utami, Arga Yugan Ndaru, A. Widyastuti, I. M. A. Swardiana","doi":"10.31292/JB.V3I2.127","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V3I2.127","url":null,"abstract":"Abstract: Oil palm plantation expansion through inappropriate land clearing usually trigger forest fire and peat land fire in Riau Province. The purpose of this paper is to find the method to reduce disaster risk through preventive activities, conducted by mapping the distribution of Cultivation Right, and was overlaid with the map of disaster risk and agrarian control through location permit and control of spatial planning. The method used to produce disaster-prone area map was quantitative scoring and weighting, using Composite Mapping Analysis (CMA) method based on the relationship between factors with the percentage of fire spot (hotspot). The results show that from the distribution of cultivation right based on the level of vulnerability in Riau Province, there are 45 location of cultivation right lies along very high-risk area of forest fire with the total area of 95.260,7 hectares (10,4%); most of the area, counted for 70,4% with the area of 647.140,3 hectares covering 143 Cultivation Right location, located on the vulnerable area of forest fire; while 19,2% of the total cultivation right area are in less vulnerable area, spreading over 25 Cultivation Right location. Intisari: Ekspansi perkebunan sawit melalui land clearing yang tidak tepat seringkali memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut di Provinsi Riau. Pengurangan resiko bencana melalui kegiatan preventif yaitu penyusunan peta sebaran HGU dioverlaykan dengan peta tingkat kerawanan bencana serta pengendalian pertanahan melalui ijin lokasi dan pengendalian melalui RTRW merupakan tujuan dari tulisan ini. Metode yang digunakan untuk menyusun peta kerawanan bencana adalah scoring dan pembobotan dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode Composite Mapping Analysis (CMA) berdasarkan hubungan setiap faktor terhadap persentase titik api (hotspot). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sebaran HGU berdasarkan tingkat kerawanan di Provinsi Riau sebanyak 45 lokasi HGU berada pada daerah sangat rawan bencana kebakaran dengan total luasan 95.260,7 ha (10,4%); sebagian besar yaitu 70,4% dengan luasan 647.160,3 ha dengan sebaran sebanyak 143 HGU berada pada kawasan ancaman rawan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan; sementara 19,2% dari total luasan HGU berada pada kategori kurang rawan yang tersebar pada 25 HGU. ","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48189653","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Syofia Agustini, A. H. Dharmawan, Eka Intan Kumala Putri
Abstract: Based on Minister of Environment and Forests No. P.83 About Social Forestry, which is “to reduce poverty, unemployment and inequality management/utilization of forest areas, it is necessary to establish Social Forestry activities through efforts to provide legal access for local communities with the goal to achieve social welfare and forest resources”. Forests not only provide the advantage of conservation for the environment, but also provide economic benefits for local communities. Not only wood, fruits and honey, other forest products can also be utilized. This research was conducted in Hutan Nagari Sungai Buluh, Padang Pariaman District, West Sumatra Province. The purpose of this research is to understand the management of Hutan Nagari Sungai Buluh. The method used was a combination of quantitative and qualitative approach using indepth interviews and literature studies. The results showed that the existence of Hutan Nagari Sungai Buluh provides benefits for the surrounding community living near the forest, economically, environmentally and sustainability of the forest. However, the future of Hutan Nagari Sungai still has challenge on its management. Center for community forest management (Lembaga Pengelola Hutan Nagari) should be able to involve community in planning process for the benefit of the community. Moreover, community education should be improved, since it has relationship with human resource to manage the forest. Intisari:Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.83 tentang Perhutanan Sosial yaitu “untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/ pemanfaatan kawasan hutan, maka diperlukan kegiatan Perhutanan Sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat dan sumberdaya hutan. Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Nagari Sungai Buluh, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh. Metode yang digunakan adalah kombinasi dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan adanya Hutan Nagari Sungai Buluh telah memberikan manfaat bagi masyarakat yang tinggal sekitar hutan baik secara ekonomi maupun secara lingkungan dan keberlanjutan dari hutan tersebut. Walaupun demikian, untuk kedepannya Hutan Nagari Sungai Buluh ini tetap memiliki tantangan dalam pengelolaanya. LPHN harus bisa mengikutsertakan masyarakat dalam hal melakukan perencanaan yang diterapkan untuk kepentingan masyarakat. Selain itu, juga perlu ditingkatkan pendidikan masyarakat karena ini berhubungan dengan sumberdaya manusia yang akan mengelola hutan tersebut.
摘要:根据环境和森林部长关于社会林业的第P.83号文件,该文件“为了减少贫困、失业和森林地区不平等的管理/利用,有必要通过努力为当地社区提供合法途径来开展社会林业活动,以实现社会福利和森林资源”。森林不仅为环境保护提供了优势,还为当地社区提供了经济利益。不仅木材、水果和蜂蜜,其他森林产品也可以利用。这项研究是在西苏门答腊省巴东Pariaman区的Hutan Nagari河Buluh进行的。本研究的目的是为了了解胡坦那加里Sungai Buluh的管理。所采用的方法是采用深入访谈和文献研究的定量和定性相结合的方法。结果表明,Hutan Nagari Sungai Buluh的存在为居住在森林附近的周围社区、经济、环境和森林的可持续性带来了好处。然而,湖滩长日阳光的未来仍然面临着管理上的挑战。社区森林管理中心(Lembaga Pengelola Hutan Nagari)应能够让社区参与规划过程,以造福社区。此外,由于社区教育与森林管理的人力资源有关,因此应该改进社区教育。〔UNK〕Intisari:根据环境和林业部长RI No。P.83关于社会林业“为了减少贫困、失业和森林地区管理/开发的不平衡,有必要通过努力为当地社区提供合法的机会来参与社会林业,这些社区的目的是为了公众和森林资源的福利。想办法管理那加里河森林。采用的方法是定量和定性相结合的方法,采用深入访谈和文献研究。研究表明,Nagari河森林使生活在森林周围的人们在经济和环境上以及森林建成后受益。然而,Nagari河森林的管理仍然面临挑战。LPHN必须能够让公众参与到为公众利益所必需的规划中。此外,公共教育需要加强,因为它涉及到管理森林的人力资源。
{"title":"Bentuk Pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh Kabupaten Padang Pariaman","authors":"Syofia Agustini, A. H. Dharmawan, Eka Intan Kumala Putri","doi":"10.31292/JB.V3I2.129","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V3I2.129","url":null,"abstract":"Abstract: Based on Minister of Environment and Forests No. P.83 About Social Forestry, which is “to reduce poverty, unemployment and inequality management/utilization of forest areas, it is necessary to establish Social Forestry activities through efforts to provide legal access for local communities with the goal to achieve social welfare and forest resources”. Forests not only provide the advantage of conservation for the environment, but also provide economic benefits for local communities. Not only wood, fruits and honey, other forest products can also be utilized. This research was conducted in Hutan Nagari Sungai Buluh, Padang Pariaman District, West Sumatra Province. The purpose of this research is to understand the management of Hutan Nagari Sungai Buluh. The method used was a combination of quantitative and qualitative approach using indepth interviews and literature studies. The results showed that the existence of Hutan Nagari Sungai Buluh provides benefits for the surrounding community living near the forest, economically, environmentally and sustainability of the forest. However, the future of Hutan Nagari Sungai still has challenge on its management. Center for community forest management (Lembaga Pengelola Hutan Nagari) should be able to involve community in planning process for the benefit of the community. Moreover, community education should be improved, since it has relationship with human resource to manage the forest. Intisari:Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.83 tentang Perhutanan Sosial yaitu “untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/ pemanfaatan kawasan hutan, maka diperlukan kegiatan Perhutanan Sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat dan sumberdaya hutan. Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Nagari Sungai Buluh, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh. Metode yang digunakan adalah kombinasi dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan adanya Hutan Nagari Sungai Buluh telah memberikan manfaat bagi masyarakat yang tinggal sekitar hutan baik secara ekonomi maupun secara lingkungan dan keberlanjutan dari hutan tersebut. Walaupun demikian, untuk kedepannya Hutan Nagari Sungai Buluh ini tetap memiliki tantangan dalam pengelolaanya. LPHN harus bisa mengikutsertakan masyarakat dalam hal melakukan perencanaan yang diterapkan untuk kepentingan masyarakat. Selain itu, juga perlu ditingkatkan pendidikan masyarakat karena ini berhubungan dengan sumberdaya manusia yang akan mengelola hutan tersebut. ","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44396894","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: This research aim to understand the implementation of the regulation of licensed cadaster surveyor in The Regional Office of National Land Agency of the North Sumatera Province on the acceleration of land registration. The research using qualitative method by describing the results of observation, interview and data of the implementation of accelerated land registration, specifically on the collectors of physical data (PULDASIK – Pengumpul Data Fisik) of the licensed cadastral surveyor, referring to the Regulation of The Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of National Land Agency Republic of Indonesia Nr. 33 year 2016 and the Regulation of The Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of National Land Agency Nr. 11 year 2017. The results show that: the implementation of the regulation of Licensed Cadastral Surveyor has not been fully implemented, caused by the limitation of: the number of KJSKB and SKB; ASK graduated from D1 PPK-STPN prefer to do apprenticeship so they did not interested in joining KJSKB, and the limitation of financial capability of the KJSKB/SKB. The implementation of the regulation of Licensed Cadastral Surveyor also inhibited by the requirements mentioned on the regulation itself. Moreover, the competency and quality of the SKB is noticed as above the standard, and have unprofessional work ethic. It is recommended to increase the acceptance of Licensed Cadastral Surveyor, and those who already passed the test should forming KJSKB and improve their professionalism by acquiring certificate of competence when they follow the examination to obtain the license. Intisari: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi regulasi tentang Surveyor Kadaster Berlisensi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara dalam percepatan pendaftaran tanah. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan dideskriptifkan berdasarkan pengamatan, interview, dan data pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah khusus pengumpul data fisik (PULDASIK) Surveyor Kadaster Berlisensi dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017. Diperoleh hasil bahwa implementasi regulasi tentang Surveyor Kadaster Berlisensi belum dijalankan sepenuhnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah KJSKB dan SKB, ASK lulusan D1 PPK-STPN lebih menyukai magang sehingga tidak mau bergabung dengan KJSKB dan keterbatasan modal keuangan yang dimiliki KJSKB/SKB. Pelaksanakan regulasi Surveyor Kadaster Berlisensi juga terhambat oleh persyaratan yang ada di dalam regulasi Surveyor Kadaster Berlisensi, kualitas kompetensi SKB rendah, serta sikap kerja tidak profesional. Maka untuk itu direkomendasikan meningkatkan jumlah penerimaan Surveyor Kadaster Berlisensi dan yang telah lulus ujian lisensi untuk s
摘要:本研究旨在了解北苏门答腊省国家土地管理局地区办公室执照地籍测量员关于加快土地登记的规定的实施情况。该研究采用定性方法,通过描述加速土地登记实施的观察、访谈和数据结果,特别是对持照地籍测量员的物理数据(PULDASIK–Pengumpul data Fisik)的采集者,-指2016年第33号印度尼西亚土地和空间规划部长/国家土地局局长条例和2017年第11号土地和空间计划部长/国家国土局局长条例。结果表明:《持照地籍测量师管理办法》的实施还没有完全落实,原因是:[UNK]ASK毕业于D1 PPK-STPN,更喜欢学徒制,因此他们对加入KJSKB不感兴趣,以及KJSKB/SKB的财务能力有限。许可地籍测量师条例的实施也受到条例本身所述要求的限制。此外,SKB的能力和质量被认为是高于标准的,并且具有不专业的职业道德。建议增加对持照地籍测量师的接受度,已经通过考试的人员应组成KJSKB,并在通过考试获得许可证时通过获得能力证书来提高专业水平。Intisari:本研究旨在了解北苏门答腊省国家农业局在加快土地登记过程中关于许可Kadaster调查的规定的执行情况。研究方法采用定性方法,-以及关于加速土地登记的特殊实物数据采集器(PULDASIC)Kadaster调查的实施数据,该调查获得了印度尼西亚共和国农业和农村部长/国家农业负责人2016年第33号和印度尼西亚共和国农业和农村部长和国家农业负责人为2017年第11号的许可。得出的结论是,关于许可的Kaaster调查的法规的实施尚未完全实施。这是因为KJSKB和SKB的数量有限,ASK的D1 PPK-STPN毕业生更喜欢实习,所以他们不想加入KJSKB,以及KJSKB/SKB拥有的财务资本限制。被许可方Kamaster调查法规中包含的条件、SKB能力低下和不专业的工作行为也阻碍了被许可方的Kamaster调查的实施。因此,建议增加已通过执照考试的持证Kaaster测量师的数量,立即组建KJSKB,并通过在执照考试时补充能力证书来提高持证Kaasteer测量师的专业水平。
{"title":"Implementasi Regulasi Tentang Surveyor Kadaster Berlisensi dalam Percepatan Pendaftaran Tanah di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara","authors":"E. Wahyono","doi":"10.31292/JB.V3I2.125","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V3I2.125","url":null,"abstract":"Abstract: This research aim to understand the implementation of the regulation of licensed cadaster surveyor in The Regional Office of National Land Agency of the North Sumatera Province on the acceleration of land registration. The research using qualitative method by describing the results of observation, interview and data of the implementation of accelerated land registration, specifically on the collectors of physical data (PULDASIK – Pengumpul Data Fisik) of the licensed cadastral surveyor, referring to the Regulation of The Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of National Land Agency Republic of Indonesia Nr. 33 year 2016 and the Regulation of The Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of National Land Agency Nr. 11 year 2017. The results show that: the implementation of the regulation of Licensed Cadastral Surveyor has not been fully implemented, caused by the limitation of: the number of KJSKB and SKB; ASK graduated from D1 PPK-STPN prefer to do apprenticeship so they did not interested in joining KJSKB, and the limitation of financial capability of the KJSKB/SKB. The implementation of the regulation of Licensed Cadastral Surveyor also inhibited by the requirements mentioned on the regulation itself. Moreover, the competency and quality of the SKB is noticed as above the standard, and have unprofessional work ethic. It is recommended to increase the acceptance of Licensed Cadastral Surveyor, and those who already passed the test should forming KJSKB and improve their professionalism by acquiring certificate of competence when they follow the examination to obtain the license. Intisari: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi regulasi tentang Surveyor Kadaster Berlisensi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara dalam percepatan pendaftaran tanah. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan dideskriptifkan berdasarkan pengamatan, interview, dan data pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah khusus pengumpul data fisik (PULDASIK) Surveyor Kadaster Berlisensi dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017. Diperoleh hasil bahwa implementasi regulasi tentang Surveyor Kadaster Berlisensi belum dijalankan sepenuhnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah KJSKB dan SKB, ASK lulusan D1 PPK-STPN lebih menyukai magang sehingga tidak mau bergabung dengan KJSKB dan keterbatasan modal keuangan yang dimiliki KJSKB/SKB. Pelaksanakan regulasi Surveyor Kadaster Berlisensi juga terhambat oleh persyaratan yang ada di dalam regulasi Surveyor Kadaster Berlisensi, kualitas kompetensi SKB rendah, serta sikap kerja tidak profesional. Maka untuk itu direkomendasikan meningkatkan jumlah penerimaan Surveyor Kadaster Berlisensi dan yang telah lulus ujian lisensi untuk s","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43200980","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}