Abstract: Pattern of cultural ecological adaptation of the three group of society in Jambi is considered diverse. The background of this study is the occurrence of traditional cultifation practice, known as shifting cultivation, in Jambi. The first purpose of this study is to analyze pattern of adaptation of Talang Mamak, Malay and Javanese community by the existence of industrial economy of rubber plantation. Secondly, this study aims to analyze economic stability in livelihood system of the three community groups. This research use qualitative and quantitative methods. Data collection technique use in-depth interview, observation and survey of livelihood system. The results show that adaptation of cultural ecology of Talang Mamak and Java , even though based on forest ecosystem, but Talang Mamak shows the pattern of hunting and gathering. On the other hand, migrants from Java worked in the forest as loggers. The differences of adaptation method from each community show the process to achieve different stability of livelihood. Livelihood stability of Malay migrants is better than the other two, shown by incomes and degree of resilience that considered as better than the other groups. This condition caused by the adaptability of the households to the environment is higher, specifically on the range of available jobsAbstrak: Pola adaptasi ekologi budaya ketiga komunitas menunjukkan keragaman dalam proses pencarian penghidupan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya budidaya tanam pertanian tradisional atau pertanian ladang berpindah. Tujuan penelitian ini adalah Pertama, untuk menganalisis pola adaptasi komunitas Talang Mamak, komunitas Melayu dan Pendatang Jawa terhadap sistem ekonomi industrial perkebunan karet. Kedua, Untuk menganalisis tentang stabilitas ekonomi dalam sistem mata pencaharian tiga komunitas. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara mendalam, observasi dan survey tentang sistem penghidupan tiga komunitas. Hasilnya menunjukkan bahwa adaptasi ekologi budaya dari Talang Mamak dan Pendatang Jawa sekalipun berbasis pada ekosistem hutan, namun Talang Mamak menunjukkan cara bernafkah hunting and gathering. Di lain pihak, Pendatang Jawa bekerja di hutan sebagai pembalak kayu. Perbedaan cara beradapatasi dari tiap kelompok masyarakat menunjukkan proses menuju kestabilan nafkah yang berbeda. Stabilitas ekonomi rumahtangga Pendatang Melayu dilihat dari struktur pendapatan dan tingkat kelentingannya jauh lebih baik dibandingkan dua kelompok masyarakat yang lain. Hal ini karena daya adaptasi rumah tangga tersebut terhadap lingkungan lebih tinggi terutama dalam ragam pekerjaan yang lebih banyak.
摘要:占壁三种社会群体的文化生态适应模式被认为是多样化的。本研究的背景是占碑地区传统耕作方式的发生,即轮作耕作。本研究的第一个目的是分析塔朗马马族、马来族和爪哇族社区对橡胶种植园工业经济的适应模式。其次,本研究旨在分析三个社区群体生计系统的经济稳定性。本研究采用定性与定量相结合的方法。数据收集技术采用深度访谈、观察和调查的生计系统。结果表明,塔朗马马克文化生态的适应是以森林生态系统为基础的,但塔朗马马克文化生态表现为狩猎和采集模式。另一方面,来自爪哇的移民在森林里从事伐木工作。各社区适应方式的差异体现了实现生计稳定的不同过程。马来移民的生计稳定性比其他两个群体好,表现在收入和适应能力上,被认为比其他群体好。这种情况是由于家庭对环境的适应性较高,特别是在可获得的工作范围上。摘要:Pola adaptasi ekologi budaya ketiga komunitas menunjukkan keragaman dalam proses pencarian penghidupan。Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya budidaya tanam pertanian传统的atau pertanian ladang berpindah。Tujuan penelitian ini adalah Pertama, untuk menganalis pola adaptasi komunitas Talang Mamak, komunitas Melayu dan Pendatang Jawa terhadap系统经济工业perkebuan karet。中国经济发展与稳定的关系。Penelitian menggunakan方法Penelitian定性与定量。科学数据,观测和调查数据系统,科学数据。Hasilnya menunjukkan bawa adaptasi ekologi budaya dari Talang Mamak dan Pendatang Jawa sekalipun berbasis pada ekosystem hutan, namun Talang Mamak menunjukkan cara bernafkah狩猎和采集。我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。Perbedaan cara beradapatasi dari tiap kelompok masyarakat menunjukkan promenuju kestabilan nafkah yang berbeda。稳定,经济,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定,经济稳定。Hal ini karena daya adaptasi rumah tangga tersebut terhadap lingkungan lebih tinggi terutama dalam ragam pekerjaan yang lebih banyak。
{"title":"Pola Adaptasi Ekologi Budaya Tiga Komunitas di Jambi","authors":"Nana Kristiawan","doi":"10.31292/JB.V3I2.124","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V3I2.124","url":null,"abstract":"Abstract: Pattern of cultural ecological adaptation of the three group of society in Jambi is considered diverse. The background of this study is the occurrence of traditional cultifation practice, known as shifting cultivation, in Jambi. The first purpose of this study is to analyze pattern of adaptation of Talang Mamak, Malay and Javanese community by the existence of industrial economy of rubber plantation. Secondly, this study aims to analyze economic stability in livelihood system of the three community groups. This research use qualitative and quantitative methods. Data collection technique use in-depth interview, observation and survey of livelihood system. The results show that adaptation of cultural ecology of Talang Mamak and Java , even though based on forest ecosystem, but Talang Mamak shows the pattern of hunting and gathering. On the other hand, migrants from Java worked in the forest as loggers. The differences of adaptation method from each community show the process to achieve different stability of livelihood. Livelihood stability of Malay migrants is better than the other two, shown by incomes and degree of resilience that considered as better than the other groups. This condition caused by the adaptability of the households to the environment is higher, specifically on the range of available jobsAbstrak: Pola adaptasi ekologi budaya ketiga komunitas menunjukkan keragaman dalam proses pencarian penghidupan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya budidaya tanam pertanian tradisional atau pertanian ladang berpindah. Tujuan penelitian ini adalah Pertama, untuk menganalisis pola adaptasi komunitas Talang Mamak, komunitas Melayu dan Pendatang Jawa terhadap sistem ekonomi industrial perkebunan karet. Kedua, Untuk menganalisis tentang stabilitas ekonomi dalam sistem mata pencaharian tiga komunitas. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara mendalam, observasi dan survey tentang sistem penghidupan tiga komunitas. Hasilnya menunjukkan bahwa adaptasi ekologi budaya dari Talang Mamak dan Pendatang Jawa sekalipun berbasis pada ekosistem hutan, namun Talang Mamak menunjukkan cara bernafkah hunting and gathering. Di lain pihak, Pendatang Jawa bekerja di hutan sebagai pembalak kayu. Perbedaan cara beradapatasi dari tiap kelompok masyarakat menunjukkan proses menuju kestabilan nafkah yang berbeda. Stabilitas ekonomi rumahtangga Pendatang Melayu dilihat dari struktur pendapatan dan tingkat kelentingannya jauh lebih baik dibandingkan dua kelompok masyarakat yang lain. Hal ini karena daya adaptasi rumah tangga tersebut terhadap lingkungan lebih tinggi terutama dalam ragam pekerjaan yang lebih banyak. ","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" 9","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41251952","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
T. Setiawan, M. HaidarAdi, Yames Yames Pakniany, I. R. Mutiar
Abstract: Generally, this paper describe the disintegration of agricultural institution in urban periphery area in Kabupaten Bogor, as a result of the increasing of conversion of agricultural land into non-agricultural area. The study was implemented in Desa Babakan, which characterized by the existence of changing of farmlands. The method used was mixmethod, by combining quantitative and qualitative method. Quantitative and qualitative data collections were conducted simultaneously, and then being analyzed as qualitative sing NVivo and quantitative using Spearman Rank correlation using SPSS. The result shows that shifting land use in Desa Babakan influenced by internal and external factors. Moreover, the change of land use affected on the disintegration of agricultural institutions, that statistically shown by the correlation between land use change and agricultural institutions in the area. Intisari: Tulisan ini secara umum hendak memaparkan terjadinya peluruhan kelembagaan pertanian di wilayah periphery perkotaan, tepatnya di Kabupaten Bogor sebagai dampak dari meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Studi ini dilakukan di Desa Babakan, yang memiliki karakteristik persawahan yang sedang berubah. Metode yang digunakan adalah mixmethod, dengan menggabungkan metode kuantitatif dan didukung metode kualitatif. Pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif dilakukan secara simultan, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan dengan NVivo dan analisis kuantitatif korelasi Spearman Rank dengan SPSS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan di Desa Babakan dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Selanjutnya, perubahan yang terjadi pada lahan telah berdampak pada peluruhan kelembagaan pertanian yang secara statistik juga ditunjukkan dengan adanya korelasi antara antara perubahan lahan dengan kelembagaan pertanian di desa tersebut.
摘要:从总体上讲,本文描述了Kabupaten茂物城市边缘地区农业制度的解体,这是由于农用地向非农区转化的增加所导致的。该研究在Desa Babakan实施,其特点是存在耕地变化。方法采用定量与定性相结合的混合法。同时进行定量和定性数据收集,然后使用SPSS软件进行定性分析(NVivo)和定量分析(Spearman Rank correlation)。结果表明:巴巴坎地区土地利用的转移受到内外因素的影响。此外,土地利用变化对农业制度的解体也有影响,这一点在统计上可以从土地利用变化与农业制度的相关关系中得到体现。Intisari: Tulisan ini secara umum hendak memaparkan terjadinya peluruhan kelembagaan pertanian di wilayah periphery perkotaan, tepatnya di Kabupaten Bogor sebagai dampak dari脑膜炎katnya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian。学得好,学得好,学得好,学得好,学得好。阳法迪古纳坎法阿达拉混合法,登干法孟加朋坎法定量,登干法狄都孔法定性。人口数据质量分析、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计、人口统计。Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alih funsi lahan di Desa Babakan dipengaruhi oleh factor for internal maupun factor for eksternal。秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁,秘鲁。
{"title":"Peluruhan Kelembagaan Pertanian di Wilayah Periphery Perkotaan","authors":"T. Setiawan, M. HaidarAdi, Yames Yames Pakniany, I. R. Mutiar","doi":"10.31292/JB.V3I2.128","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V3I2.128","url":null,"abstract":"Abstract: Generally, this paper describe the disintegration of agricultural institution in urban periphery area in Kabupaten Bogor, as a result of the increasing of conversion of agricultural land into non-agricultural area. The study was implemented in Desa Babakan, which characterized by the existence of changing of farmlands. The method used was mixmethod, by combining quantitative and qualitative method. Quantitative and qualitative data collections were conducted simultaneously, and then being analyzed as qualitative sing NVivo and quantitative using Spearman Rank correlation using SPSS. The result shows that shifting land use in Desa Babakan influenced by internal and external factors. Moreover, the change of land use affected on the disintegration of agricultural institutions, that statistically shown by the correlation between land use change and agricultural institutions in the area. Intisari: Tulisan ini secara umum hendak memaparkan terjadinya peluruhan kelembagaan pertanian di wilayah periphery perkotaan, tepatnya di Kabupaten Bogor sebagai dampak dari meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Studi ini dilakukan di Desa Babakan, yang memiliki karakteristik persawahan yang sedang berubah. Metode yang digunakan adalah mixmethod, dengan menggabungkan metode kuantitatif dan didukung metode kualitatif. Pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif dilakukan secara simultan, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan dengan NVivo dan analisis kuantitatif korelasi Spearman Rank dengan SPSS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan di Desa Babakan dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Selanjutnya, perubahan yang terjadi pada lahan telah berdampak pada peluruhan kelembagaan pertanian yang secara statistik juga ditunjukkan dengan adanya korelasi antara antara perubahan lahan dengan kelembagaan pertanian di desa tersebut. ","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47415986","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Konflik antara masyarakat dan PT Semen Indonesia (SI) di Rembang, Jawa Tengah sampai saat ini terus berlangsung. Perlawanan rakyat bersama jaringan aktivis untuk menolak pendirian pabrik semen di atas lahan pertanian terus dilakukan dengan beragam metode aksi. Dari mulai demonstrasi ke pembuat kebijakan, mendirikan tenda sekaligus memblokir kawasan konflik, hingga aksi pasung semen di depan Istana Negara.
{"title":"Mendistorsi Hegemoni dan Anti-Esensialisme: Analisa “Mitos Tambang untuk Kesejahteraan” dalam Kerangkeng Liberalisme","authors":"Arif Novianto","doi":"10.31292/JB.V3I2.132","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V3I2.132","url":null,"abstract":"Konflik antara masyarakat dan PT Semen Indonesia (SI) di Rembang, Jawa Tengah sampai saat ini terus berlangsung. Perlawanan rakyat bersama jaringan aktivis untuk menolak pendirian pabrik semen di atas lahan pertanian terus dilakukan dengan beragam metode aksi. Dari mulai demonstrasi ke pembuat kebijakan, mendirikan tenda sekaligus memblokir kawasan konflik, hingga aksi pasung semen di depan Istana Negara.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42397333","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: The judiciary plays an important role in settling land disputes, nonetheless, the function of the judiciary is still part of the complexity of land/agrarian issues. Settlement of land issues through the General Court, State Administrative Court (TUN) and/or Religious Court is considered not to guarantee legal certainty. The authority of different judicial bodies in the settlement of land cases must be understood on the basis of their respective legal issues. Administrative court authority to adjudicate land disputes with administrative dimensionsIntisari: Badan peradilan memegang peranan penting dalam penyelesaian permasalahan pertanahan, namun selama ini fungsi badan peradilan masih menjadi bagian dari kompleksitas permasalahan pertanahan/agraria. Penyelesaian permasalahan pertanahan melalui Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dan/atau Peradilan Agama dianggap tidak menjamin kepastian hukum. Kewenangan badan peradilan yang berbeda-beda dalam penyelesaian kasus pertanahan tentunya harus dipahami berdasarkan permasalahan hukumnya masing-masing. Kewenangan Peratun adalah mengadili sengketa pertanahan yang berdimensi administrasi
{"title":"Esensi Sengketa Administrasi Pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara","authors":"E. Simanjuntak","doi":"10.31292/jb.v3i2.123","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v3i2.123","url":null,"abstract":"Abstract: The judiciary plays an important role in settling land disputes, nonetheless, the function of the judiciary is still part of the complexity of land/agrarian issues. Settlement of land issues through the General Court, State Administrative Court (TUN) and/or Religious Court is considered not to guarantee legal certainty. The authority of different judicial bodies in the settlement of land cases must be understood on the basis of their respective legal issues. Administrative court authority to adjudicate land disputes with administrative dimensionsIntisari: Badan peradilan memegang peranan penting dalam penyelesaian permasalahan pertanahan, namun selama ini fungsi badan peradilan masih menjadi bagian dari kompleksitas permasalahan pertanahan/agraria. Penyelesaian permasalahan pertanahan melalui Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dan/atau Peradilan Agama dianggap tidak menjamin kepastian hukum. Kewenangan badan peradilan yang berbeda-beda dalam penyelesaian kasus pertanahan tentunya harus dipahami berdasarkan permasalahan hukumnya masing-masing. Kewenangan Peratun adalah mengadili sengketa pertanahan yang berdimensi administrasi","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42200879","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract:The article shows a theoretical debate on the consequence of decentralization policy and Community Driven Development (CDD) especially in relation to the way capitalism develop. The decentralization policy reshapes local government bureaucracy more responsive and accountable toward people’s needs, and the CDD facilitate rural and urban communities to manage collectively efforts to eradicating their poverty condition. Both are promoted by neo-institutionalist thinking in the World Bank and Civil Society within the same interlocking direction. Furthermore, I explicate critiques toward theory and practice of decentralization policy and CDD, launched by Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li, and Frederich Rawski. I connect those with the theorization of the ways capitalism develop as articulated by Paul Cammack, Michael Perelman, Massimo de Angelis and David Harvey. I argue that the presence of space of struggle, contestation and negotiation open the possibility for multiple forces to participate, or refuse to participate, to reshape the practice of decentralization and CDD, and furthermore the forces dialectically are reshaped because of their struggle, contestation and negotiation.Intisari: Artikel ini mengemukakan debat teori dari konsekuensi kebijakan desentralasi dan Pembangunan Berbasis Masyarakat (CDD) terutama dalam hubungannya dengan bagaimana kapitalisme berkembang. Kebijakan desentralisasi telah membentuk pemerintah lokal menjadi lebih responsif dan akuntabel terhadap kebutuhan masyarakat, dan CDD telah memfasilitasi komunitas perkotaan maupun perdesaan untuk secara kolektif berusaha mengatasi kondisi kemiskinannya. Selanjutnya, penulis mengutarakan kritik terhadap teori dan praktik kebijakan desentralisasi dan CDD, yang dikemukakan oleh Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li dan Frederich Rawski. Penulis juga menghubungkan teori tersebut dengan teorisasi tentang bagaimana kapitalisme berkembang seperti yang dikemukakan oleh Paul Cammack, Michael Perelman, Massimo de Angelis dan David Harvey. Penulis berpendapat bahwa keberadaan ruang pertarungan, kontestasi dan negosiasi membuka kemungkinan untuk berbagai kekuatan untuk berpartisipasi, atau menolak untuk berpartisipasi, untuk membentuk kembali praktik desentralisasi dan CDD, dan selanjutnya kekuatan dialektika dibentuk kembali karena usaha, kontestasi dan negosiasi mereka.
摘要:本文对权力下放政策和社区驱动发展(CDD)的后果,特别是与资本主义发展方式有关的后果进行了理论辩论。权力下放政策重塑了地方政府官僚机构,使其对人民的需求更加敏感和负责,CDD促进了农村和城市社区的集体管理,以消除他们的贫困状况。两者都是由世界银行和民间社会的新制度主义思想在同一个相互关联的方向上推动的。此外,我还阐述了韦迪·哈迪兹、托比·卡罗尔、塔妮娅·李和弗雷德里克·罗斯基对权力下放政策和CDD理论和实践的批评。我将这些与保罗·卡马克、迈克尔·佩雷尔曼、马西莫·德·安吉利斯和大卫·哈维所阐述的资本主义发展方式的理论联系起来。我认为,斗争、争论和谈判空间的存在为多种力量的参与或拒绝参与打开了重塑权力下放和CDD实践的可能性,而且这些力量因其斗争、争论、谈判而辩证地被重塑。Intisari:这篇文章提出了一场关于去中心化政策和社区发展(CDD)后果的理论辩论,特别是与资本主义如何发展的关系。分权政策使地方政府对社会需求更加敏感和负责,CDD促进了城市社区或对克服贫困的集体努力的宽恕。其次,作者对韦迪·哈迪兹、托比·卡罗尔、塔妮娅·李和弗雷德里克·罗斯基提出的分权政策和CDD的理论和实践进行了批判。作者还将这一理论与Paul Cammack、Michael Perelman、Massimo de Angelis和David Harvey所说的资本主义如何演变的理论联系起来。作者认为,战场、竞争和谈判的存在为各种力量参与或拒绝参与、重建权力下放实践和CDD,以及因其努力、竞争和协商而重建的辩证权力打开了可能性。
{"title":"MENINJAU KEMBALI TEORISASI MENGENAI DESENTRALISASI, COMMUNITY DRIVEN DEVELOPMENT, DAN KAPITALISASI AGRARIA","authors":"Noer Fauzi Rachman","doi":"10.31292/JB.V4I1.212","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V4I1.212","url":null,"abstract":"Abstract:The article shows a theoretical debate on the consequence of decentralization policy and Community Driven Development (CDD) especially in relation to the way capitalism develop. The decentralization policy reshapes local government bureaucracy more responsive and accountable toward people’s needs, and the CDD facilitate rural and urban communities to manage collectively efforts to eradicating their poverty condition. Both are promoted by neo-institutionalist thinking in the World Bank and Civil Society within the same interlocking direction. Furthermore, I explicate critiques toward theory and practice of decentralization policy and CDD, launched by Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li, and Frederich Rawski. I connect those with the theorization of the ways capitalism develop as articulated by Paul Cammack, Michael Perelman, Massimo de Angelis and David Harvey. I argue that the presence of space of struggle, contestation and negotiation open the possibility for multiple forces to participate, or refuse to participate, to reshape the practice of decentralization and CDD, and furthermore the forces dialectically are reshaped because of their struggle, contestation and negotiation.Intisari: Artikel ini mengemukakan debat teori dari konsekuensi kebijakan desentralasi dan Pembangunan Berbasis Masyarakat (CDD) terutama dalam hubungannya dengan bagaimana kapitalisme berkembang. Kebijakan desentralisasi telah membentuk pemerintah lokal menjadi lebih responsif dan akuntabel terhadap kebutuhan masyarakat, dan CDD telah memfasilitasi komunitas perkotaan maupun perdesaan untuk secara kolektif berusaha mengatasi kondisi kemiskinannya. Selanjutnya, penulis mengutarakan kritik terhadap teori dan praktik kebijakan desentralisasi dan CDD, yang dikemukakan oleh Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li dan Frederich Rawski. Penulis juga menghubungkan teori tersebut dengan teorisasi tentang bagaimana kapitalisme berkembang seperti yang dikemukakan oleh Paul Cammack, Michael Perelman, Massimo de Angelis dan David Harvey. Penulis berpendapat bahwa keberadaan ruang pertarungan, kontestasi dan negosiasi membuka kemungkinan untuk berbagai kekuatan untuk berpartisipasi, atau menolak untuk berpartisipasi, untuk membentuk kembali praktik desentralisasi dan CDD, dan selanjutnya kekuatan dialektika dibentuk kembali karena usaha, kontestasi dan negosiasi mereka.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47017694","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice field called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern field rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fire disaster in 2015. The research was done a year after forest fire 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swidden agriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, first, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean of peasant exclusion.Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimana proyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metode etnografi yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untukpengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gapyang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudah ada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani.
摘要:泥炭地已被广泛认为是国有森林机制创造闲置土地的对象。它引发了一个大规模的开发项目,比如一个名为“Cetak Sawah”的灌溉稻田。通过关注“Cetak Sawah”,我们可以了解到开发项目如何包含现代稻田系统的固有假设,以克服大规模恶化的泥炭地,特别是自2015年森林火灾以来。该研究是在2015年森林火灾一年后通过人种学方法完成的,该方法包括2016年2月至2016年12月期间的居住和几次访问。收集到的数据表明,“Cetak Sawah”成为泥炭地治理的技术官僚方法。国家没有控制棕榈油工业的扩张,而是不断地指责以前的农业系统,即所谓的Sonor (swidden agriculture),这种农业系统很容易被认为是破坏泥炭生态系统的主要因素,因为它的土地准备燃烧的做法。这里有两个缺口,第一,“Cetak Sawah”是通过否定现存的社会分化而提出的。第二,“Cetak Sawah”将被预测为农民排斥的代名词。Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai目标menciptakan tanah terlantar melalumekanisme hutan Negara。Hal ini memningpembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai“Cetak sawah”。《中国日报》,《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》等。Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui气象学家yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun 2016年2月- 2016年12月。数据yang dikumpulkan menunjukkan bahwa“Cetak Sawah”menjadi pendekatan teknokratis untukpengelolaan lahan gambut。Di采样控制ekspansindustri kelpa saet, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang serkeal sebagai Sonor, yang serketis sebagai因子为utama dari rusaknya ekosystem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan。Ada dua gapyang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari不同点是社会yang sudah Ada。Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani。
{"title":"SONOR DAN BIAS “CETAK SAWAH” DI LAHAN GAMBUT","authors":"Ciptaningrat Larastiti","doi":"10.31292/jb.v4i1.216","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.216","url":null,"abstract":"Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice field called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern field rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fire disaster in 2015. The research was done a year after forest fire 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swidden agriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, first, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean of peasant exclusion.Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimana proyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metode etnografi yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untukpengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gapyang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudah ada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani. ","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42850088","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Discussion of agrarian reform is interesting especially on its factual implementation that is fully dynamics and not just a promise to redistribute nine million hectares of land. The existing concept needs to be reevaluated and re-discussed. Reorganizing inequality of land redistribution requires compatible and comprehensive rules. This paper uses a case study approach, giving an overview of the challenges to be addressed in order to implement agrarian reform properly. Cross-ministries coordination is inevitable, since in real practice access reform cannot be implemented linearly but requires holistic and systematic integrations with other ministries. Intisari: Diskusi reforma agraria memang menarik terlebih implementasi faktualnya yang penuh dinamika tidak sekedar janji untuk meredistribusi sembilan juta hektar. Konsep yang ada perlu diperdebatkan kembali. Menata ulang ketimpangan dalam redistribusi tanah butuh aturan yang kompatibel dan komprehensif. Tulisan ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk memberikan gambaran kendala dan tantangan yang harus diurai agar hutang negara dalam reforma agraria menjadi sebuah kebijakan yang terimplementasi secara tepat. Sinergi dengan lintas kementerian mutlak diperlukan sebab secara nyata akses reform tidak bisa bergerak secara linier tetapi memerlukan integrasi yang holistik dan sistematis dengan kementerian lain.
摘要:关于土地改革的讨论很有趣,尤其是它的实际实施,它是完全动态的,而不仅仅是重新分配900万公顷土地的承诺。现有的概念需要重新评价和重新讨论。调整土地再分配的不平等需要兼容和全面的规则。本文采用案例研究的方法,概述了正确实施土地改革所面临的挑战。跨部门协调是不可避免的,因为在实际实践中,准入改革不能线性实施,而需要与其他部门进行整体和系统的整合。摘要:讨论农业改革与农业发展的关系、农业改革与农业发展的关系、农业改革与农业发展的关系、农业改革与农业发展的关系。康普杨ada perlu diperdebatkan kembali。Menata ulang ketimpangan dalam再分配业务tanah,但aturan yang kompatibel dan综合。图里萨尼,孟古纳坎,彭德加坎研究,kasus untuk成员,甘巴兰,肯达拉,丹丹丹,杨,harus diurai, agar, hutang, negara, dalam,改革,农业,menjadi, sebuah, kebijakan,杨,执行,secara, tepat。中国经济发展与改革,中国经济发展与改革,中国经济发展与改革,中国经济发展与改革,中国经济发展与改革,中国经济发展与改革,中国经济发展与改革。
{"title":"HUTANG NEGARA DALAM REFORMA AGRARIA STUDI IMPLEMENTASI MANDAT 9 JUTA HEKTAR TANAH INDONESIA","authors":"Arditya Wicaksono, Yudha Purbawa","doi":"10.31292/jb.v4i1.214","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.214","url":null,"abstract":"Abstract: Discussion of agrarian reform is interesting especially on its factual implementation that is fully dynamics and not just a promise to redistribute nine million hectares of land. The existing concept needs to be reevaluated and re-discussed. Reorganizing inequality of land redistribution requires compatible and comprehensive rules. This paper uses a case study approach, giving an overview of the challenges to be addressed in order to implement agrarian reform properly. Cross-ministries coordination is inevitable, since in real practice access reform cannot be implemented linearly but requires holistic and systematic integrations with other ministries. Intisari: Diskusi reforma agraria memang menarik terlebih implementasi faktualnya yang penuh dinamika tidak sekedar janji untuk meredistribusi sembilan juta hektar. Konsep yang ada perlu diperdebatkan kembali. Menata ulang ketimpangan dalam redistribusi tanah butuh aturan yang kompatibel dan komprehensif. Tulisan ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk memberikan gambaran kendala dan tantangan yang harus diurai agar hutang negara dalam reforma agraria menjadi sebuah kebijakan yang terimplementasi secara tepat. Sinergi dengan lintas kementerian mutlak diperlukan sebab secara nyata akses reform tidak bisa bergerak secara linier tetapi memerlukan integrasi yang holistik dan sistematis dengan kementerian lain.","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45204831","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrack :We cannot have Love without Lovers”, kalimat ini muncul di salah satu kritik Edward Palmer Thompson dalam bukunya yang fenomenal: The Making of The English Working Class (Thompson, 1963: 9). Bagi Thompson, kalimat tadi menganalogikan bahwa akan tidak adil apabila menulis sejarah tanpa menulis “pengalaman” manusia, sebab berarti menghilangkan pelaku/ agency dari takdir materialnya. Dalam hal ini, rupanya sejarah buruh di Inggris kala itu kerap ditulis oleh para sejarawan ekonomi tanpa kehadiran buruh, artinya sekedar menjelaskan buruh sebagai kelompok tenaga kerja maupun data-data statistik belaka. Keresahan terhadap determinisme structure dalam kajian sejarah ekonomi yang memarginalisasi agency, menjadi alibi yang juga mengilhami antologi sejarah pengalaman krisis dalam buku ini. Lebih jauh, kedua editornya: Benjamin White dan Peter Boomgaard menyebut bahwa bunga rampai ini berhasrat menjadi Etnografi-Sejarah Komparatif tentang Krisis Ekonomi Indonesia (hlm. viii), kendati diakui keduanya bahwa penelitian yang terhimpun masih belum bisa menjawab banyak pertanyaan yang diajukan (hlm. 330), bahkan adanya keterbatasan atau kesulitan data statistik (hlm. 116). Meleset sampai
{"title":"KRISIS DEMI KRISIS DI INDONESIA: MELAMPAUI KEGAGALAN DAN KEMUJURAN","authors":"Adhi Pandoyo","doi":"10.31292/jb.v4i1.219","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.219","url":null,"abstract":"Abstrack :We cannot have Love without Lovers”, kalimat ini muncul di salah satu kritik Edward Palmer Thompson dalam bukunya yang fenomenal: The Making of The English Working Class (Thompson, 1963: 9). Bagi Thompson, kalimat tadi menganalogikan bahwa akan tidak adil apabila menulis sejarah tanpa menulis “pengalaman” manusia, sebab berarti menghilangkan pelaku/ agency dari takdir materialnya. Dalam hal ini, rupanya sejarah buruh di Inggris kala itu kerap ditulis oleh para sejarawan ekonomi tanpa kehadiran buruh, artinya sekedar menjelaskan buruh sebagai kelompok tenaga kerja maupun data-data statistik belaka. Keresahan terhadap determinisme structure dalam kajian sejarah ekonomi yang memarginalisasi agency, menjadi alibi yang juga mengilhami antologi sejarah pengalaman krisis dalam buku ini. Lebih jauh, kedua editornya: Benjamin White dan Peter Boomgaard menyebut bahwa bunga rampai ini berhasrat menjadi Etnografi-Sejarah Komparatif tentang Krisis Ekonomi Indonesia (hlm. viii), kendati diakui keduanya bahwa penelitian yang terhimpun masih belum bisa menjawab banyak pertanyaan yang diajukan (hlm. 330), bahkan adanya keterbatasan atau kesulitan data statistik (hlm. 116). Meleset sampai","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45469297","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak: This paper aims to examine the potential problems of Complete Systematic Land Registration (PTSL) as the government's priority agenda to establish land registration throughout Indonesia. This study uses a normative legal research approach by analyzing the legislation related to land registration, especially PP. 24 of 1997 concerning Land Registration and Ministerial Regulation ATR/Ka. BPN No. 12 of 2017 as amended by Ministerial Regulation No. 6 of 2018. The potential of this problem relates to the issue of tax and income tax payable, human resources, facilities and infrastructure, issues absentee land, maximum excess of land ownership, abandoned land, announcement of physical and juridical data, and problems of application of the principles of contradictoire delimitation. The potential of this problem is described and is given alternative solutions on the implementation of PTSL. Alternative solution is by strengthening the regulation of PTSL in the form of Government Parliament (PP), either by revising PP. 24 of 1997 and by forming a separate PP on PTSL by clarifying the outlined problems.Intisari: Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji potensi permasalahan pendaftaran sistematik lengkap (PTSL) sebagai agenda prioritas pemerintah untuk menyelengarakan pendaftaran tanah seluruh Indonesia. Kajian ini mengunakan pendekatan penelitian hukum normatif dengan cara menganalisis peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah, khususnya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN No. 12 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan Permen No. 6 Tahun 2018. Potensi permasalahan ini berkaitan dengan masalah biaya Pajak PPh dan BPHTB terhutang, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, permasalahan tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar, masalah pengumuman data fisik dan data yuridis, serta masalah penerapan asas kontradiktur delimitasi. Potensi masalah ini di diskripsikan dan diberikan aternatif solusi dalam pelaksanaan percepatan PTSL. Aternatif solusinya adalah dengan cara memperkuat regulasi PTSL dalam bentuk Paraturan Pemerintah (PP) baik dengan cara merevisi PP No. 24 Tahun 1997 maupun dengan membentuk PP tersendiri mengenai PTSL yang pada pokoknya pengaturan isi-nya salah satunya memperjelas permasalahan-permasalahan yang diuraikan diatas.
{"title":"POTENSI PERMASALAHAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP (PTSL)","authors":"Dian Aries Mujiburohman","doi":"10.31292/JB.V4I1.217","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V4I1.217","url":null,"abstract":"Abstrak: This paper aims to examine the potential problems of Complete Systematic Land Registration (PTSL) as the government's priority agenda to establish land registration throughout Indonesia. This study uses a normative legal research approach by analyzing the legislation related to land registration, especially PP. 24 of 1997 concerning Land Registration and Ministerial Regulation ATR/Ka. BPN No. 12 of 2017 as amended by Ministerial Regulation No. 6 of 2018. The potential of this problem relates to the issue of tax and income tax payable, human resources, facilities and infrastructure, issues absentee land, maximum excess of land ownership, abandoned land, announcement of physical and juridical data, and problems of application of the principles of contradictoire delimitation. The potential of this problem is described and is given alternative solutions on the implementation of PTSL. Alternative solution is by strengthening the regulation of PTSL in the form of Government Parliament (PP), either by revising PP. 24 of 1997 and by forming a separate PP on PTSL by clarifying the outlined problems.Intisari: Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji potensi permasalahan pendaftaran sistematik lengkap (PTSL) sebagai agenda prioritas pemerintah untuk menyelengarakan pendaftaran tanah seluruh Indonesia. Kajian ini mengunakan pendekatan penelitian hukum normatif dengan cara menganalisis peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah, khususnya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN No. 12 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan Permen No. 6 Tahun 2018. Potensi permasalahan ini berkaitan dengan masalah biaya Pajak PPh dan BPHTB terhutang, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, permasalahan tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar, masalah pengumuman data fisik dan data yuridis, serta masalah penerapan asas kontradiktur delimitasi. Potensi masalah ini di diskripsikan dan diberikan aternatif solusi dalam pelaksanaan percepatan PTSL. Aternatif solusinya adalah dengan cara memperkuat regulasi PTSL dalam bentuk Paraturan Pemerintah (PP) baik dengan cara merevisi PP No. 24 Tahun 1997 maupun dengan membentuk PP tersendiri mengenai PTSL yang pada pokoknya pengaturan isi-nya salah satunya memperjelas permasalahan-permasalahan yang diuraikan diatas. ","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41829685","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Identification and regulation of abandoned land needs to be intensified, to contribute identification of Objects of Agrarian Reform (TORA). Mapping of potential abandoned land carried out by the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency (ATR/BPN) was considered not optimally implemented if compared between the setting targets with the achievements each year. Utilization of google earth imagery and Geographic Information System (GE and GIS) is expected accelerate mapping of potentialabandoned land. Google earth image was used to interpret land cover as the basis to identify land use. Land cover classification was done using supervised classification with maximum likelihood algorithm. The results showed that google earth image and GIS were able to present existing land use, and able to identifyland that has not been used as the permit rights granted. The result of interpretation and GIS analysis was expected to be used as tool to identify potential abandoned land, as the basis to regulate, accelerate and control abandoned land in Indonesia.Intisari: Identifikasi dan penertiban tanah terlantar perlu dilakukan secara intensif, salah satunya untuk memberikan sumbangan bagi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Pemetaan potensi tanah terlantar yang dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) selama ini dirasa belum optimal apabila dibandingkan antara target yang ditetapkan dengan capaian setiap tahunnya. Pemanfaatan citra google earth dan Sistem Informasi Geografi diharapkan dapat membantu pekerjaanpemetaan potensi dan identifikasi tanah terlantar. Data yang digunakan adalah citra google earth untuk interpretasi tutupan tanah sebagai dasar untuk menentukan penggunaan tanah. Klasifikasi tutupan tanah pada penelitian ini menggunakan klasifikasi terselia (supervised) dengan algoritma maxsimum likelihood. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan citra google earth dan SIG mampu menyajikan data penggunaan tanah eksisting terbaru, dan mampu mengidentifikasi tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai arahan dalam izin hak yang diberikan. Hasil interpretasi dan analisis dengan SIG ini diharapkan dapat digunakan sebagai identifikasi obyek potensi tanah terlantar untuk kemudian dijadikan sebagai dasar dalam kegiatan penertiban tanah terlantar sehingga dapat membantu percepatan penertiban tanah terlantar di Indonesia.
摘要:需要加强对撂荒土地的识别和调控,为土地改革目标的识别做出贡献。如果将每年设定的目标与取得的成就进行比较,认为农业事务和空间规划部/国家土地局(ATR/BPN)进行的潜在废弃土地测绘没有得到最佳执行。利用谷歌地球图像和地理信息系统(GE和GIS)有望加速潜在撂荒地的测绘。利用谷歌地球图像解译土地覆被,作为确定土地利用的依据。采用最大似然监督分类算法进行土地覆盖分类。结果表明,谷歌地球图像和GIS能够显示现有的土地利用情况,并能够识别未被用作许可权利的土地。解译和GIS分析的结果有望作为识别潜在撂荒土地的工具,作为印度尼西亚调控、加速和控制撂荒土地的依据。英文:Identifikasi dan penertiban tanah terlantar perlu dilakukan secara intensif, salah satunya untuk成员,sumbangan bagi tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)。Pemetaan potensi tanah terlantar yang dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) selama ini dirasa belum最佳能力,dibandingkan antara目标yang ditetapkan dengan队长seppap tahunya。摘要/ abstract摘要/ abstract摘要/ abstract摘要/ abstract摘要/ abstract数据yang digunakan adalah citra谷歌地球数据解释tutupan tanah sebagai dasar untuk menentukan penggunaan tanah。最大似然(有监督)登干算法。Hasil penelitian menunjukkan bahwa pmanfaatan citra谷歌earth dan SIG mampu menyajikan data penggunaan tanah eksistingterbaru, dan mampu mengidentifikasi tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai arahan dalam izin hak yang diberikan。Hasil解释和分析,dengan SIG ini diharapkan dapat digunakan sebagai identifii obyek potensi tanah terlantar untuk kemudian dijadikan sebagai dasar dalam kegiatan penertiban tanah terlantar seingga dapat membantu percepatan penertiban tanah terlantar di Indonesia。
{"title":"APLIKASI CITRA SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERCEPATAN IDENTIFIKASI TANAH TERLANTAR","authors":"Westi Utami, I. Artika, Aziz Arisanto","doi":"10.31292/JB.V4I1.215","DOIUrl":"https://doi.org/10.31292/JB.V4I1.215","url":null,"abstract":"Abstract: Identification and regulation of abandoned land needs to be intensified, to contribute identification of Objects of Agrarian Reform (TORA). Mapping of potential abandoned land carried out by the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency (ATR/BPN) was considered not optimally implemented if compared between the setting targets with the achievements each year. Utilization of google earth imagery and Geographic Information System (GE and GIS) is expected accelerate mapping of potentialabandoned land. Google earth image was used to interpret land cover as the basis to identify land use. Land cover classification was done using supervised classification with maximum likelihood algorithm. The results showed that google earth image and GIS were able to present existing land use, and able to identifyland that has not been used as the permit rights granted. The result of interpretation and GIS analysis was expected to be used as tool to identify potential abandoned land, as the basis to regulate, accelerate and control abandoned land in Indonesia.Intisari: Identifikasi dan penertiban tanah terlantar perlu dilakukan secara intensif, salah satunya untuk memberikan sumbangan bagi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Pemetaan potensi tanah terlantar yang dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) selama ini dirasa belum optimal apabila dibandingkan antara target yang ditetapkan dengan capaian setiap tahunnya. Pemanfaatan citra google earth dan Sistem Informasi Geografi diharapkan dapat membantu pekerjaanpemetaan potensi dan identifikasi tanah terlantar. Data yang digunakan adalah citra google earth untuk interpretasi tutupan tanah sebagai dasar untuk menentukan penggunaan tanah. Klasifikasi tutupan tanah pada penelitian ini menggunakan klasifikasi terselia (supervised) dengan algoritma maxsimum likelihood. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan citra google earth dan SIG mampu menyajikan data penggunaan tanah eksisting terbaru, dan mampu mengidentifikasi tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai arahan dalam izin hak yang diberikan. Hasil interpretasi dan analisis dengan SIG ini diharapkan dapat digunakan sebagai identifikasi obyek potensi tanah terlantar untuk kemudian dijadikan sebagai dasar dalam kegiatan penertiban tanah terlantar sehingga dapat membantu percepatan penertiban tanah terlantar di Indonesia. ","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47913338","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}