{"title":"KONSEP INSAN KAMIL AL JILI DALAM TAREKAT ASY-SYAHADATAIN","authors":"Karomah Karomah, Sumanta Sumanta, Bisri Bisri, Sitining Fatimah","doi":"10.24235/jy.v7i2.9348","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/jy.v7i2.9348","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41534458","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini bertujuan untuk menggali konsep sosialitas manusia dalam pemikiran Martin Buber dan berupaya melihat relvensi konsep tersebut terhadap nilai-nilai pancasila. Rumusan pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep sosialitas manusia dalam perspektif filsafat Martin Buber?, dan bagaimana relevansi konsep tersebut dalam kaitannya dengan nilai sila-sila pancasila?. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber datanya adalah kepustakaan seperti jurnal, buku dan dokumen lain yang relevan. Data dianalisa dengan metode hermeneutic yang terdiri dari unsur deskripsi dan interpretasi. Hasil penelitian menemukan (1) Martin Buber membagi relasi manusia menjadi tiag jenis yaitu, Aku-Itu, Aku-Dia dan Aku-Engkau. Relasi Aku-Engkau adalah model relasi yang tepat dalam pergaulan antar sesama karena dalam relasi jenis ini manusia saling mengadakan bukan sebaliknya. Relevansi konsep Martin Buber terhadap pancasila yaitu sebagai berikut: Pertama, Engkau bagi Martin Buber tidaknya hanya terbatas pada manusia namun juga mengacu kepada Tuhan. Konsep ini relevan dengan sila ketuhanan. Kedua, dalam relasi Aku-Engkau terefleksikan bahwa aku harus memperlakukan orang lain sebagaimana aku ingin diperlakukan. Kedua, dalam hal ini berlaku sila ke-2 yaitu anti dehumanisasi. Ketiga, Aku-Engkau sebagai pasangan yang saling mengadakan adalah berbeda dalam kesatuan dan bersatu dalam perbedaan (Sila ke-3). Keempat, dialog yang berorientasi pada sikap saling memahami, tanpa memaksakan kehendak pribadi, win-win solution, adalah nilai sila ke-4 pancasila yang juga terkandung dalam pemikiran Martin Buber. Kelima, relasi Aku-Engkau mensyaratkan manusia untuk adil, yang berarti memberikan apa yang menjadi haknya, tanpa diskriminatif.
{"title":"SOSIALITAS MANUSIA PERSPEKTIF MARTIN BUBER DAN RELEVANSINYA DENGAN NILAI-NILAI PANCASILA","authors":"M. Yunus","doi":"10.24235/JY.V7I1.7631","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.7631","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk menggali konsep sosialitas manusia dalam pemikiran Martin Buber dan berupaya melihat relvensi konsep tersebut terhadap nilai-nilai pancasila. Rumusan pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep sosialitas manusia dalam perspektif filsafat Martin Buber?, dan bagaimana relevansi konsep tersebut dalam kaitannya dengan nilai sila-sila pancasila?. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber datanya adalah kepustakaan seperti jurnal, buku dan dokumen lain yang relevan. Data dianalisa dengan metode hermeneutic yang terdiri dari unsur deskripsi dan interpretasi. Hasil penelitian menemukan (1) Martin Buber membagi relasi manusia menjadi tiag jenis yaitu, Aku-Itu, Aku-Dia dan Aku-Engkau. Relasi Aku-Engkau adalah model relasi yang tepat dalam pergaulan antar sesama karena dalam relasi jenis ini manusia saling mengadakan bukan sebaliknya. Relevansi konsep Martin Buber terhadap pancasila yaitu sebagai berikut: Pertama, Engkau bagi Martin Buber tidaknya hanya terbatas pada manusia namun juga mengacu kepada Tuhan. Konsep ini relevan dengan sila ketuhanan. Kedua, dalam relasi Aku-Engkau terefleksikan bahwa aku harus memperlakukan orang lain sebagaimana aku ingin diperlakukan. Kedua, dalam hal ini berlaku sila ke-2 yaitu anti dehumanisasi. Ketiga, Aku-Engkau sebagai pasangan yang saling mengadakan adalah berbeda dalam kesatuan dan bersatu dalam perbedaan (Sila ke-3). Keempat, dialog yang berorientasi pada sikap saling memahami, tanpa memaksakan kehendak pribadi, win-win solution, adalah nilai sila ke-4 pancasila yang juga terkandung dalam pemikiran Martin Buber. Kelima, relasi Aku-Engkau mensyaratkan manusia untuk adil, yang berarti memberikan apa yang menjadi haknya, tanpa diskriminatif.","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42885295","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Perkembangan filsafat yang terekam di belahan bumi dapat ditemukan berdasarkan kajian filosofis yang mendalam. Artikel ini bertujuan untuk mengupas sejarah filsafat barat yang sangat berpengaruh dalam pemikiran-pemikiran seluruh aspek kehidupan manusia. Kajian dimulai dari periode filsafat alam, filsafat klasik, zaman pertengahan, renaisans, filsafat modern, periode pencerahan, abad 19, dan abad 20. Selain itu, artikel juga sedikit mengupas implikasi filsafat barat dalam kehidupan secara personal-sosial, negara berdasarkan Pancasila, dan praktik layanan bimbingan dan konseling. Hasil analisis ditemukan bahwa setiap periode memiliki pemikiran oleh para tokoh-tokohnya yang dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi, serta jawaban untuk menjawab kebutuhan pada setiap periode. Akan tetapi hal yang sangat vital untuk dijaga bahwa bagaimanapun pemikiran yang diberlakukan pada masing-masing periode, Allah tidak dapat dilepaskan dari jiwa dan raga manusia.
{"title":"MENGUPAS SEJARAH FILSAFAT ILMU DI BARAT DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN","authors":"R. Hidayat, Muya Barida, Fattah Hanurawan","doi":"10.24235/JY.V7I1.7639","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.7639","url":null,"abstract":"Perkembangan filsafat yang terekam di belahan bumi dapat ditemukan berdasarkan kajian filosofis yang mendalam. Artikel ini bertujuan untuk mengupas sejarah filsafat barat yang sangat berpengaruh dalam pemikiran-pemikiran seluruh aspek kehidupan manusia. Kajian dimulai dari periode filsafat alam, filsafat klasik, zaman pertengahan, renaisans, filsafat modern, periode pencerahan, abad 19, dan abad 20. Selain itu, artikel juga sedikit mengupas implikasi filsafat barat dalam kehidupan secara personal-sosial, negara berdasarkan Pancasila, dan praktik layanan bimbingan dan konseling. Hasil analisis ditemukan bahwa setiap periode memiliki pemikiran oleh para tokoh-tokohnya yang dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi, serta jawaban untuk menjawab kebutuhan pada setiap periode. Akan tetapi hal yang sangat vital untuk dijaga bahwa bagaimanapun pemikiran yang diberlakukan pada masing-masing periode, Allah tidak dapat dilepaskan dari jiwa dan raga manusia.","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43419416","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Hadis merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam. Nabi Muhammad saw. menyampaikan hadis kepada para sahabat sebagai salah satu pewaris Nabi, dengan jumlah yang cukup banyak dan tentunya memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Tidak semua para sahabat Nabi juga dapat menghadiri majlis pada saat Nabi menyampaikan suatu hadis. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya redaksi hadis yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Artikel ini bertujuan menganalisis hadis Nabi tentang wabah dengan teori generative transformative yang diusung oleh Noam Chomsky. Dalam artikel ini penulis memaparkan dua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad dengan redaksi yang hampir sama, namun jika dilihat secara seksama ada beberapa redaksi hadis yang berbeda, baik berupa ziyadah/addition maupun ihlal/replacement.
{"title":"TEORI GENERATIF TRANSFORMATIF NOAM CHOMSKY (STUDI ATAS HADIS NABI TENTANG WABAH)","authors":"M. Yusuf, Dian Aulia Nengrum","doi":"10.24235/JY.V7I1.8216","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.8216","url":null,"abstract":"Hadis merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam. Nabi Muhammad saw. menyampaikan hadis kepada para sahabat sebagai salah satu pewaris Nabi, dengan jumlah yang cukup banyak dan tentunya memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Tidak semua para sahabat Nabi juga dapat menghadiri majlis pada saat Nabi menyampaikan suatu hadis. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya redaksi hadis yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Artikel ini bertujuan menganalisis hadis Nabi tentang wabah dengan teori generative transformative yang diusung oleh Noam Chomsky. Dalam artikel ini penulis memaparkan dua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad dengan redaksi yang hampir sama, namun jika dilihat secara seksama ada beberapa redaksi hadis yang berbeda, baik berupa ziyadah/addition maupun ihlal/replacement.","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48627738","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
ABSTRAK: Kitab tradisional yang menjadi kekayaan intelektual dunia pesantren sungguh teramat banyak. Kemampuan literatur dunia pesantren sangat teruji, terbukti dengan munculnya banyak kitab kajian di dunia pesantren. Khazanah ilmu di dunia pesantren, menjadi topik tersendiri yang menarik untuk dikaji. Kitab Tanbihul Muta’allim adalah salah satu kitab yang produk pesantren yang dikaji di berbagai pondok. Kitab dengan focus kajian pada kegiatan belajar mengajar ini adalah salah satu pedoman di dalam kegiatan belajar dan mengajar di pondok pesantren. Ruang lingkup kajian dititik beratkan pada adab / etika yang harus dimiliki oleh guru dan murid. Hubungan di antara keduanya di atur sedemikian rupa dengan tujuan akan menghasilkan produk pesantren (santri) yang memiliki kekayaan akhlak, sebagai sabagai salah satu indicator keberhasilan Pendidikan pesantren. Melihat fenomena munculnya tindak kekerasan siswa terhadap guru, maka sangat perlu penataan secara sistemik di dalam mendefinikan ulang hubungan antara guru dan murid. Oleh karena itu, pembelajaran di pondok pesantren, sangat mengedepankan akhlak, sehingga tidak jarang kita melihat begitu mencoloknya penanaman akhlak dibanding dengan Lembaga formal. Kajian hermeneutika ini, diharapkan mampu membedah aspek nilai dan impact dari kitab tanbihul mutaallim tersebut. Kata kunci: etik, Hubungan guru-murid, dan penanaman.
{"title":"KAJIAN HERMENEUTIKA INTERPRETASI AL-ADAB FII MAJLISI AT-TA’ALLUMI KITAB TANBIHUL MUTA’ALLIM KARYA KH. AHMAD MAISUR SINDI ATTURSIDY (Analisis Etik, Moral Dan Akhlak Di Dalam Majelis Pembelajaran)","authors":"S. Hidayat, W. Abdul","doi":"10.24235/JY.V7I1.7813","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.7813","url":null,"abstract":"ABSTRAK: Kitab tradisional yang menjadi kekayaan intelektual dunia pesantren sungguh teramat banyak. Kemampuan literatur dunia pesantren sangat teruji, terbukti dengan munculnya banyak kitab kajian di dunia pesantren. Khazanah ilmu di dunia pesantren, menjadi topik tersendiri yang menarik untuk dikaji. Kitab Tanbihul Muta’allim adalah salah satu kitab yang produk pesantren yang dikaji di berbagai pondok. Kitab dengan focus kajian pada kegiatan belajar mengajar ini adalah salah satu pedoman di dalam kegiatan belajar dan mengajar di pondok pesantren. Ruang lingkup kajian dititik beratkan pada adab / etika yang harus dimiliki oleh guru dan murid. Hubungan di antara keduanya di atur sedemikian rupa dengan tujuan akan menghasilkan produk pesantren (santri) yang memiliki kekayaan akhlak, sebagai sabagai salah satu indicator keberhasilan Pendidikan pesantren. Melihat fenomena munculnya tindak kekerasan siswa terhadap guru, maka sangat perlu penataan secara sistemik di dalam mendefinikan ulang hubungan antara guru dan murid. Oleh karena itu, pembelajaran di pondok pesantren, sangat mengedepankan akhlak, sehingga tidak jarang kita melihat begitu mencoloknya penanaman akhlak dibanding dengan Lembaga formal. Kajian hermeneutika ini, diharapkan mampu membedah aspek nilai dan impact dari kitab tanbihul mutaallim tersebut. Kata kunci: etik, Hubungan guru-murid, dan penanaman.","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46006775","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Ritual kliwonan merupakan tradisi yang dilakukan tarekat Asy-Syahadatain secara turun temurun, selain kegiatan pengajian dan tawasulan. Ritual kliwonan dilaksanan setiap satu bulan sekali yaitu pada hari Kamis yang bertepatan malam Jum’at kliwon. Penelitian ini selain menekankan pada “Bagaimana proses ritual kliwonan tarekat Asy Syahadatain, juga menggali tentang apa makna dari ritual kliwonan tersebut bagi jamaah Asy-Syahadatain”. Tujuan penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan proses namun juga tentang makna dari ritual kliwonannya. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan fenomenologi. Adapun penelitian ini merujuk pada hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. Pada penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori Emile Durkheim mengenai konsep agama. Konsep Durkheim mengenai agama, pun tidak terlepas dari gagasannya tentang agama sebagai bagian dari fakta sosial. Maksudnya Durkheim mempunyai pandangan bahwa “fakta sosial” jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Teori-teori yang dikemukakan Durkheim tentang agama mengenai Upacara Agama (Ritual). Totem merupakan simbol yang paling mudah dikenali oleh suku kelompok, totem merupakan lambang dari suku: perasaan-perasaan yang dibangkitkan oleh adanya kolektifitas yang menghubungkan diri dengan totem tersebut. Hasil penelitian ini menerangkan bahwa pada awalnya Abah Umar selaku guru mursyid dan pendiri awal tarekat Asy-Syahadatain melaksanakan pengajian rutin tiap malam jumat. Namun setelah beliau wafat, kemudian digantilah oleh penerusnya menjadi Kliwonan, namun pengajian mingguan tiap malam jumat tetap berjalan. Kliwonan dimulai dari ba’da Dzuhur yaitu sholat Dzuhur berjama’ah, wirid, ceramah, ziarah, kemudian dilanjut dengan sholat Ashar berjama’ah, pengajian. Makna daripada kliwonan tersebut ialah untuk selalu mengenang Guru mursyid Abah Umar dengan senantiasa menghidupkan dan meneruskan ajaran Asy-Syahadatain yang dibawakan oleh Abah Umar dalam mencapai upaya menuju jalan kepada Allah.
{"title":"MAKNA RITUAL KLIWONAN TAREKAT ASY SYAHADATAIN DI DESA PANGURAGAN WETAN KECAMATAN PANGURAGAN KABUPATEN CIREBON","authors":"Bisri Bisri, Sandra Yulia","doi":"10.24235/JY.V7I1.7888","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.7888","url":null,"abstract":"Abstrak Ritual kliwonan merupakan tradisi yang dilakukan tarekat Asy-Syahadatain secara turun temurun, selain kegiatan pengajian dan tawasulan. Ritual kliwonan dilaksanan setiap satu bulan sekali yaitu pada hari Kamis yang bertepatan malam Jum’at kliwon. Penelitian ini selain menekankan pada “Bagaimana proses ritual kliwonan tarekat Asy Syahadatain, juga menggali tentang apa makna dari ritual kliwonan tersebut bagi jamaah Asy-Syahadatain”. Tujuan penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan proses namun juga tentang makna dari ritual kliwonannya. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan fenomenologi. Adapun penelitian ini merujuk pada hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. Pada penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori Emile Durkheim mengenai konsep agama. Konsep Durkheim mengenai agama, pun tidak terlepas dari gagasannya tentang agama sebagai bagian dari fakta sosial. Maksudnya Durkheim mempunyai pandangan bahwa “fakta sosial” jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Teori-teori yang dikemukakan Durkheim tentang agama mengenai Upacara Agama (Ritual). Totem merupakan simbol yang paling mudah dikenali oleh suku kelompok, totem merupakan lambang dari suku: perasaan-perasaan yang dibangkitkan oleh adanya kolektifitas yang menghubungkan diri dengan totem tersebut. Hasil penelitian ini menerangkan bahwa pada awalnya Abah Umar selaku guru mursyid dan pendiri awal tarekat Asy-Syahadatain melaksanakan pengajian rutin tiap malam jumat. Namun setelah beliau wafat, kemudian digantilah oleh penerusnya menjadi Kliwonan, namun pengajian mingguan tiap malam jumat tetap berjalan. Kliwonan dimulai dari ba’da Dzuhur yaitu sholat Dzuhur berjama’ah, wirid, ceramah, ziarah, kemudian dilanjut dengan sholat Ashar berjama’ah, pengajian. Makna daripada kliwonan tersebut ialah untuk selalu mengenang Guru mursyid Abah Umar dengan senantiasa menghidupkan dan meneruskan ajaran Asy-Syahadatain yang dibawakan oleh Abah Umar dalam mencapai upaya menuju jalan kepada Allah.","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43454373","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Raudlatul Banat Islamic Boarding School has routine activities in the form of recitation of dzikir R ā tib Al- ‘ A ṭṭā s, which contains three elements, namely selected verses of the Qur ’ an, prayer of the prophet, and prayer of choice. This study uses descriptive qualitative methods with the type of research Field Research and Library Research. The result of the research in this paper can reveal that the mujahadah tradition of reciting dzikir R ā tib Al- ‘ A ṭṭā s is a socio-religious practice that developed in Raudlatul Banat Islamic Boarding School. The activity is carried out routinely every Wednesday night, which is the routine of Abah Hud bin Yahya during his lifetime with senior clerics and Kyais in the hall of Raudlatul Banat Islamic Boarding School. After Abah Hud died, the routine was continued by his son, namely H. Syarif Ahmad Tholib Yahya. Meanwhile, the routines of the santri were held on the Sunday night of the evening at the Raudlatul Banat Islamic Boarding School. The significance of the mujahadah tradition is the reading of the remembrance of R ā tib Al-‘A ṭṭā s at Raudlatul Banat Islamic Boarding School based on the sociology theory of Karl Mannheim knowledge there are three categories of meaning obtained, namely the objective meaning as the family routines of Abah Syarif Hud bin Yahya and santri, Expressive meaning as practice that draws closer to God and the form of obedience to the teacher, as well as the meaning of the documentary as a whole culture. Then some of the transformations felt by the perpetrators include a calmer heart, facilitated all his affairs by Allah SWT, launched his sustenance, granted all his desirer, and protected from all vices..
Raudlatul Banat伊斯兰寄宿学校有背诵dzikir Rātib Al-‘A的日常活动ṭṭās,包含三个元素,即《古兰经》的精选诗句、先知的祈祷和选择的祈祷。本研究采用描述性定性研究方法,研究类型为田野调查和图书馆调查。本文的研究结果可以揭示穆贾哈达背诵dzikir Rātib Al-ṭṭās是在Raudlatul Banat伊斯兰寄宿学校发展起来的一种社会宗教实践。这项活动每周三晚上例行进行,这是Abah Hud bin Yahya一生中与高级神职人员和Kyais在Raudlatul Banat伊斯兰寄宿学校大厅的例行活动。Abah Hud去世后,他的儿子H.Syarif Ahmad Tholib Yahya继续进行这项工作。与此同时,圣特里的日常活动于当晚的周日晚上在Raudlatul Banat伊斯兰寄宿学校举行。穆贾哈达传统的意义在于阅读对Rātib Al-'A的纪念ṭṭ在Raudlatul Banat伊斯兰寄宿学校,基于Karl Mannheim知识的社会学理论,获得了三类意义,即作为Abah Syarif Hud bin Yahya和santri的家庭惯例的客观意义,作为更接近上帝的实践和服从老师的形式的表达意义,以及纪录片作为一种整体文化的意义。然后,犯罪者感受到的一些转变包括一颗更平静的心,安拉SWT为他所有的事务提供了便利,开始了他的生计,给予了他所有的渴望,并保护他免受所有的罪恶。。
{"title":"TRADISI MUJAHADAH PEMBACAAN DZIKIR RATIB AL-‘ATTAS DI PONDOK PESANTREN RAUDLATUL BANAT CIREBON: STUDI LIVING QUR’AN","authors":"Nurkholidah Nurkholidah, Achmad Lutfi, Wati Herningsih","doi":"10.24235/JY.V7I1.8354","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.8354","url":null,"abstract":"Raudlatul Banat Islamic Boarding School has routine activities in the form of recitation of dzikir R ā tib Al- ‘ A ṭṭā s, which contains three elements, namely selected verses of the Qur ’ an, prayer of the prophet, and prayer of choice. This study uses descriptive qualitative methods with the type of research Field Research and Library Research. The result of the research in this paper can reveal that the mujahadah tradition of reciting dzikir R ā tib Al- ‘ A ṭṭā s is a socio-religious practice that developed in Raudlatul Banat Islamic Boarding School. The activity is carried out routinely every Wednesday night, which is the routine of Abah Hud bin Yahya during his lifetime with senior clerics and Kyais in the hall of Raudlatul Banat Islamic Boarding School. After Abah Hud died, the routine was continued by his son, namely H. Syarif Ahmad Tholib Yahya. Meanwhile, the routines of the santri were held on the Sunday night of the evening at the Raudlatul Banat Islamic Boarding School. The significance of the mujahadah tradition is the reading of the remembrance of R ā tib Al-‘A ṭṭā s at Raudlatul Banat Islamic Boarding School based on the sociology theory of Karl Mannheim knowledge there are three categories of meaning obtained, namely the objective meaning as the family routines of Abah Syarif Hud bin Yahya and santri, Expressive meaning as practice that draws closer to God and the form of obedience to the teacher, as well as the meaning of the documentary as a whole culture. Then some of the transformations felt by the perpetrators include a calmer heart, facilitated all his affairs by Allah SWT, launched his sustenance, granted all his desirer, and protected from all vices..","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43690818","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Agung Bayuseto, Asep Pahmi, Denden Matin Dayyin, Ghina Raudhatul Jannah, Icha Agustina
This research bases on the structure of science according to Imam Al Ghazali. Research method uses is qualitative through p Libraries and field studies with design thinking approach. The result and discussion of this research bases on science explanation, knowledge as human needs, and knowledge concept according to Imam Al Ghazali. Thus, the researcher conclude that knowledge is the most important in islamic. Therefore, knowledge is primary needs for human in particularly as a caliph. In addition, knowledge is the most important for human sustainability on earth. Keyword: Design Thinking, Structure, Science, Knowledge
{"title":"PENDEKATAN DESIGN THINKING DALAM MEMAHAMI STRUKTUR ILMU PENGETAHUAN MENURUT IMAM AL GHAZALI","authors":"Agung Bayuseto, Asep Pahmi, Denden Matin Dayyin, Ghina Raudhatul Jannah, Icha Agustina","doi":"10.24235/JY.V7I1.7881","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.7881","url":null,"abstract":"This research bases on the structure of science according to Imam Al Ghazali. Research method uses is qualitative through p Libraries and field studies with design thinking approach. The result and discussion of this research bases on science explanation, knowledge as human needs, and knowledge concept according to Imam Al Ghazali. Thus, the researcher conclude that knowledge is the most important in islamic. Therefore, knowledge is primary needs for human in particularly as a caliph. In addition, knowledge is the most important for human sustainability on earth. Keyword: Design Thinking, Structure, Science, Knowledge","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46818395","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana pandangan para mufassir sufi dalam menafsirkan m a ḥ abbah yang terdapat pada QS. Âli ‘Imrân ayat 31-32. Ma ḥ abbah yang sejak lama menjadi pembahasan dalam ilmu Tasawwuf juga menjadi perhatian serius para mufassir sufi. Ini dibuktikan dengan penjelasan mendalam tentang hal itu yang dilakukan mereka ketika menafsirkan QS. Âli ‘Imrân ayat 31-32. Dengan menggunkan kajian kepustakaan terhadap beberapa Tafsir Sufistik, dapat disimpulkan bahwa m a ḥ abbah secara umum merupakan kecondongan jiwa seorang hamba kepada Dhat yang Maha Sempurna. Ketika seorang hamba mampu meraih hakikat m a ḥ abba till âh , maka ia akan selalu taat terhadap semua yang diperintahkan Allah kepadanya tanpa adanya sedikitpun paksaan dalam dirinya. Karena sejatinya, konsekuensi dari m a ḥ abbah seorang hamba kepada Allah Swt. adalah ketaatan kepada Dhat yang dicintainya. This paper examines how the views of mufassir sufi interpreting m a ḥ abbah contained in QS. Âli ‘Imrân verses 31-32. Ma ḥ abbah, which has long been the subject of discussion in Sufism, has also become a serious concern of mufassir sufi. This is evidenced by depth explanation of what they did when interpreting the QS. Âli ‘Imrân verses 31-32. By using library research of several sufistic Interpretations, it can be concluded that m a ḥ abbah generally is inclination soul towards Allah, The Most Perfect One. When someone is able to achieve the essence of m a ḥ abba till âh, then he will always obey all Allah commanded without the slightest compulsion in him. In fact, the consequence of m a ḥ abbah to Allah Swt. is obedience to the Dhat he loves.
本文回顾关于解释的苏菲mufassir如何看待m aḥabbah在于q的。阿里·伊姆兰31-32节。妈ḥabbah很久的Tasawwuf科学的讨论也成为苏菲mufassir们认真关注。这在他们对QS的解释中得到了充分的证明。阿里·伊姆兰31-32节。通过对一些解释Sufistik用文学研究,可以得出结论,m aḥabbah总的来说是一个灵魂眯着眼对Dhat全能完美的仆人。当仆人能够抓住本质m aḥabba直到啊,那么他将永远服从上帝所吩咐的一切中一点也没有强迫自己。因为真,m aḥ的后果abbah向全能的上帝的仆人。这是对他所爱的人的服从。苏菲的景色》这篇文章examines如何mufassir interpreting m aḥabbah有趣在QS。阿里·伊姆兰·维塞斯31-32。妈ḥabbah科目》,哪有长一直在Sufism受到质疑,也成为了a苏菲mufassir的严重关注。这被他们在解释QS时所做的工作所证明。阿里·伊姆兰·维塞斯31-32。由利用图书馆研究的好几个sufistic Interpretations,它可以成为结论这就是m aḥabbah generally inclination灵魂向上帝,是最完美的一号。当有人is able to为m aḥabba之精华,直到啊,然后他将永远听从上帝commanded without the slightest强迫在他的一切。事实上,《m aḥ产生了abbah向全能的上帝。他爱的是服从。
{"title":"MAḤABBAH DALAM PERSPEKTIF TAFSIR SUFISTIK (Kajian Terhadap Qur’an Surat Âli ‘Imrân Ayat 31-32)","authors":"Muhamad Zaenal Muttaqin","doi":"10.24235/JY.V7I1.8323","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.8323","url":null,"abstract":"Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana pandangan para mufassir sufi dalam menafsirkan m a ḥ abbah yang terdapat pada QS. Âli ‘Imrân ayat 31-32. Ma ḥ abbah yang sejak lama menjadi pembahasan dalam ilmu Tasawwuf juga menjadi perhatian serius para mufassir sufi. Ini dibuktikan dengan penjelasan mendalam tentang hal itu yang dilakukan mereka ketika menafsirkan QS. Âli ‘Imrân ayat 31-32. Dengan menggunkan kajian kepustakaan terhadap beberapa Tafsir Sufistik, dapat disimpulkan bahwa m a ḥ abbah secara umum merupakan kecondongan jiwa seorang hamba kepada Dhat yang Maha Sempurna. Ketika seorang hamba mampu meraih hakikat m a ḥ abba till âh , maka ia akan selalu taat terhadap semua yang diperintahkan Allah kepadanya tanpa adanya sedikitpun paksaan dalam dirinya. Karena sejatinya, konsekuensi dari m a ḥ abbah seorang hamba kepada Allah Swt. adalah ketaatan kepada Dhat yang dicintainya. This paper examines how the views of mufassir sufi interpreting m a ḥ abbah contained in QS. Âli ‘Imrân verses 31-32. Ma ḥ abbah, which has long been the subject of discussion in Sufism, has also become a serious concern of mufassir sufi. This is evidenced by depth explanation of what they did when interpreting the QS. Âli ‘Imrân verses 31-32. By using library research of several sufistic Interpretations, it can be concluded that m a ḥ abbah generally is inclination soul towards Allah, The Most Perfect One. When someone is able to achieve the essence of m a ḥ abba till âh, then he will always obey all Allah commanded without the slightest compulsion in him. In fact, the consequence of m a ḥ abbah to Allah Swt. is obedience to the Dhat he loves.","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45730083","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini bertujuan untuk melacak pengaruh ajaran dan doktrin tasawuf Islam terhadap konsep pemikiran sulh-I kull yang digagas oleh sultan kerajaan Mughal ke-3, Jalaluddin Muhammad Akbar pondasi dari kebijakan politik-keagamaannya selama ia berkuasa. Akbar tidak saja dikenal karena prestasi militernya yang besar karena semakin memperluas pengaruh kesultanan Mughal di India, tetapi juga karena pemikiran-pemikiran dan kebijakan keagamaannya yang kontroversial. Melalui sulh-I kull, Akbar meyakini bahwa rakyatnya tidak perlu diperlakukan secara berbeda hanya karena perbedaan etnisitas dan agama. Akbar memandang bahwa umat Muslim dan Hindu, juga umat lainnya di India, tidak berhak memonopoli kebenaran dan berbuat zalim kepada orang lain karena alasan perbedaan agama. Untuk memahami bagaimana Akbar menyerap ajaran-ajaran dan doktrin tasawuf falsafi, tulisan ini menggunakan teori konstruktivisme yang memandang bahwa pengetahuan seseorang bisa didapat melalui konstruksi pemikiran yang ia serap dari pengalaman langsung dan pemikiran yang sudah ada. Menggunakan studi pustaka sebagai metode, tulisan ini menemukan kesamaan antara substansi sulh-I kull milik Akbar dan ajaran universal dan egaliter yang diwariskan oleh para tokoh sufi falsafi, khususnya yang terejawantah dalam doktrin wahdah al-wujud. Tulisan ini menemukan bahwa meskipun secara tidak langsung Akbar membaca karya-karya sufi terdahulu, Akbar menyerapnya melalui internalisasi ajaran itu yang ia dapatkan melalui diskusi dan dialog dengan banyak tokoh sufi di masanya. Akbar juga melakukan perenungan-perenungan saat berziarah ke makam ulama-ulama sufi yang berasal dari tarekat Chishtiyah yang memang mewarisi doktrin wahdah al-wujud di wilayah India. Kata Kunci: Sulh-I Kull, Tasawuf Falsafi, Sultan Akbar
这篇文章旨在追踪伊斯兰教tasawuf的教义和教义对穆格哈尔第三国的苏丹贾拉鲁丁·穆罕默德·阿克巴尔(jalain Muhammad Akbar)在位期间政治宗教政策的基础所产生的苏丹库尔思想的影响。阿克巴不仅因为在印度莫卧儿王朝的势力不断扩大而闻名,而且还因为他的宗教思想和政策有争议。通过sulh-I kull, Akbar认为他的人民不需要因为种族和宗教差异而受到不同的对待。阿克巴认为,穆斯林、印度教徒和其他印度人没有权利因为宗教差异而垄断真理和对他人犯下暴行。为了理解阿克巴是如何吸收tasawuf falsafi的教义和教义的,这篇论文采用了一种建设性理论,认为一个人的知识可以通过他从直接经验和现有经验中吸收的构建来获得。利用对书库的研究作为一种方法,这篇文章发现了阿克巴尔的硫i kull物质与苏菲·法尔萨菲的普遍教义和由苏菲·法尔萨菲人继承的平等主义之间的相似之处,尤其是那些在瓦达·艾尔-存在教义中受到保护的人。这篇文章发现,尽管阿克巴偶然阅读了他早期的苏菲派作品,但阿克巴通过与他那个时代的许多苏菲派人士的讨论和对话,吸收了这一教义。阿克巴还在朝圣之旅中沉思着来自印度地区tarekat Chishtiyah的utal甜食。关键词:Sulh-I Kull, Tasawuf Falsafi, Sultan Akbar
{"title":"PENGARUH TASAWUF ISLAM DALAM KONSEP KEDAMAIAN UNIVERSAL (SULH-I KULL) SULTAN MUGHAL JALALUDDIN AKBAR","authors":"Gumilar Irfanullah","doi":"10.24235/JY.V7I1.8364","DOIUrl":"https://doi.org/10.24235/JY.V7I1.8364","url":null,"abstract":"Tulisan ini bertujuan untuk melacak pengaruh ajaran dan doktrin tasawuf Islam terhadap konsep pemikiran sulh-I kull yang digagas oleh sultan kerajaan Mughal ke-3, Jalaluddin Muhammad Akbar pondasi dari kebijakan politik-keagamaannya selama ia berkuasa. Akbar tidak saja dikenal karena prestasi militernya yang besar karena semakin memperluas pengaruh kesultanan Mughal di India, tetapi juga karena pemikiran-pemikiran dan kebijakan keagamaannya yang kontroversial. Melalui sulh-I kull, Akbar meyakini bahwa rakyatnya tidak perlu diperlakukan secara berbeda hanya karena perbedaan etnisitas dan agama. Akbar memandang bahwa umat Muslim dan Hindu, juga umat lainnya di India, tidak berhak memonopoli kebenaran dan berbuat zalim kepada orang lain karena alasan perbedaan agama. Untuk memahami bagaimana Akbar menyerap ajaran-ajaran dan doktrin tasawuf falsafi, tulisan ini menggunakan teori konstruktivisme yang memandang bahwa pengetahuan seseorang bisa didapat melalui konstruksi pemikiran yang ia serap dari pengalaman langsung dan pemikiran yang sudah ada. Menggunakan studi pustaka sebagai metode, tulisan ini menemukan kesamaan antara substansi sulh-I kull milik Akbar dan ajaran universal dan egaliter yang diwariskan oleh para tokoh sufi falsafi, khususnya yang terejawantah dalam doktrin wahdah al-wujud. Tulisan ini menemukan bahwa meskipun secara tidak langsung Akbar membaca karya-karya sufi terdahulu, Akbar menyerapnya melalui internalisasi ajaran itu yang ia dapatkan melalui diskusi dan dialog dengan banyak tokoh sufi di masanya. Akbar juga melakukan perenungan-perenungan saat berziarah ke makam ulama-ulama sufi yang berasal dari tarekat Chishtiyah yang memang mewarisi doktrin wahdah al-wujud di wilayah India. Kata Kunci: Sulh-I Kull, Tasawuf Falsafi, Sultan Akbar","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46746380","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}