Pub Date : 2020-06-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v8i1.2215
Farichatul Azkiyah
Wakaf merupakan ibadah maliyah yang erat kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan umat. Selain itu merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi. Dalam sejarah, wakaf sangat memiliki peran yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang. Didalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar ra yang artinya: Dari Ibnu Umar ra. Berkata: “Bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah dari Khaibar, kemudian Umar ra menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata:“Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kerabat, hamba sahaya, fisabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazir) wakaf memakan dari hasilnya denan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim). Hadis diatas menjelaskan bahwa wakaf pertama kali di lakukan oleh Umar bin Khattab ra, lalu ulama fiqih menjadikan hadis ini sebagai ukuran atau tolok ukuran pelaksanaan wakaf, baik ketentuan harta benda yang bisa diwakafkan, pemanfaatannya serta pengelolaanya. Di berbagai negara Islam atau negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam seperti Saudi Arabia, Mesir, Yordania, Turki, Malaysia, Indonesia sudah ada aturan atau undang-undang sendiri yang mengatur tentang wakaf. Di indonesia sendiri ada Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Pada pasal 15 dan 16 menjelaskan bahwa harta benda hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah dan harta benda yang bisa diwakafkan terdiri dari benda tidak bergerak dan bergerak. Namun, berkembangnya zaman menjadikan pengelolaan wakaf menjadi sangat beragam seperti halnya yang ada di Pondok Modern Darussalam Gontor yang memiliki keunikan tersendiri dalam praktik wakaf. Gontor memasukkan wakaf diri (wakaf jiwa) sebagai sesuatu yang dapat diwakafkan yang mana wujud dari diri atau jiwa itu bisa sewaktuwaktu hilang dan memiliki batasan waktu. Pelaksanaan wakaf diri di Pondok Modern Darussalam Gontor sesuai dengan maqashid syari’ah yaitu mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudaratan, yang berupa pengabdian untuk kemaslahan dan memajukan pondok. Praktik wakaf diri ini didasari oleh pendapat mazhab Maliki yang membolehkan semua benda yang bernilai ekonomi untuk diwakafkan. Dalam hukum Islam ini dibolehkan karna sesuai dengan pendapat ulama dan tidak keluar dari syariat Islam. Sedangkan dalam hukum positif belum ada aturan tertulis yang membahas secara jelas tentang praktik wakaf diri.
Wakaf是一种与人民福利发展密切相关的虔诚崇拜。它是对社会经济的一种崇拜。从历史上看,wakaf在促进不同领域的社会福利方面发挥了重要作用。在伊本·乌玛拉(ibn Umar ra)的圣训中,他的意思是:伊本·乌玛拉(ibn Umar ra)。他说:“乌玛拉的朋友从Khaibar得到了一块地,然后乌玛拉去见上帝的使者,问他的问题,乌玛说:“上帝的使者,我在Khaibar得到了一块土地,我没有得到那么好的财产,你命令我做什么?”神的使者说:“你若愿意,就当耕种,耕种。”然后乌玛将土地管理的收益委托给了法基尔人、亲戚、萨哈亚仆人、fisabilillah、ibn sabil和他的客人。那些管理(纳齐尔)瓦卡夫的人并没有被禁止吃他们应得的东西,也没有被禁止通过积累财富来养活别人”(HR)。穆斯林)。Hadis解释说,waaf最初是由Umar bin Khattab ra执行的,然后fiqih牧师把这个Hadis作为一种衡量或衡量waaf的表现,包括可持有者的财产的规定和管理。在伊斯兰国家或穆斯林占多数的国家,如沙特阿拉伯、埃及、约旦、土耳其、马来西亚、印度尼西亚,关于瓦卡托有自己的法律或法规。在印度尼西亚,2004年有关于wakaf的第41条法律。第15章和第16章解释说,财产只能由wakif合法拥有和拥有,而可以由静止和静止的物质组成。然而,随着时间的推移,wakaf的管理变得非常多样化,就像现代Darussalam Gontor的小屋一样,他们在waaf的实践中有自己的独特性。Gontor将“灵魂的觉醒”作为一种可以原谅的东西,这种状态或灵魂的存在可能会随着时间的流逝而消失,并有一定的时间限制。现代Darussalam Gontor的表现与maqashid syari ah的表现一致这种自卑感是由马利基认为可以利用一切经济价值的东西来利用的。在伊斯兰法律中,这一法律是允许与神职人员意见一致,而不是脱离伊斯兰教。在积极的法律中,还没有明确讨论个人行为的书面规则。
{"title":"WAKAF DIRI DI PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF","authors":"Farichatul Azkiyah","doi":"10.14421/al-mazaahib.v8i1.2215","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v8i1.2215","url":null,"abstract":"Wakaf merupakan ibadah maliyah yang erat kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan umat. Selain itu merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi. Dalam sejarah, wakaf sangat memiliki peran yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang. Didalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar ra yang artinya: Dari Ibnu Umar ra. Berkata: “Bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah dari Khaibar, kemudian Umar ra menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata:“Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kerabat, hamba sahaya, fisabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazir) wakaf memakan dari hasilnya denan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim). Hadis diatas menjelaskan bahwa wakaf pertama kali di lakukan oleh Umar bin Khattab ra, lalu ulama fiqih menjadikan hadis ini sebagai ukuran atau tolok ukuran pelaksanaan wakaf, baik ketentuan harta benda yang bisa diwakafkan, pemanfaatannya serta pengelolaanya. Di berbagai negara Islam atau negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam seperti Saudi Arabia, Mesir, Yordania, Turki, Malaysia, Indonesia sudah ada aturan atau undang-undang sendiri yang mengatur tentang wakaf. Di indonesia sendiri ada Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Pada pasal 15 dan 16 menjelaskan bahwa harta benda hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah dan harta benda yang bisa diwakafkan terdiri dari benda tidak bergerak dan bergerak. Namun, berkembangnya zaman menjadikan pengelolaan wakaf menjadi sangat beragam seperti halnya yang ada di Pondok Modern Darussalam Gontor yang memiliki keunikan tersendiri dalam praktik wakaf. Gontor memasukkan wakaf diri (wakaf jiwa) sebagai sesuatu yang dapat diwakafkan yang mana wujud dari diri atau jiwa itu bisa sewaktuwaktu hilang dan memiliki batasan waktu. Pelaksanaan wakaf diri di Pondok Modern Darussalam Gontor sesuai dengan maqashid syari’ah yaitu mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudaratan, yang berupa pengabdian untuk kemaslahan dan memajukan pondok. Praktik wakaf diri ini didasari oleh pendapat mazhab Maliki yang membolehkan semua benda yang bernilai ekonomi untuk diwakafkan. Dalam hukum Islam ini dibolehkan karna sesuai dengan pendapat ulama dan tidak keluar dari syariat Islam. Sedangkan dalam hukum positif belum ada aturan tertulis yang membahas secara jelas tentang praktik wakaf diri.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"41 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134366428","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-04-07DOI: 10.14421/al-mazaahib.v8i2.2218
Muhammad Ali Sahbana Hasibuan
Salat lima waktu merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh semua Muslim yang berakal dan baligh (baik laki-laki maupun perempuan). Salat adalah suatu ibadah yang terdiri dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Tentunya dalam melaksanakan salat itu tidak lepas dari ketentuan-ketentuan salat seperti syarat-syarat dan rukunnya. Dalam hadis HR. Ahmad, Tirmizi dan Abu Dawud disebutkan bahwa kunci salat adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir, dan tahlilnya (yang menghalalkan) adalah mengucapkan sala>m. Berkaitan dengan ucapan salam, ada perbedaan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, ada yang memakai wabarakatuh dan tanpa wabarakatuh. Sebagaimana dalam beberapa hadis disebutkan salah satunya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh HR. Abu Dawud bahwa pengucapan salam dalam salat adalah: “assalamu’alaikum warah matullah” kekanan dan “assalamu’alaikum warahmatullah” kekiri tanpa “wabarakatuh”. Begitu juga hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan yang lainya. Sedangkan hadis lain yang terdapat juga diriwayatkan oleh HR. Abu Dawud bahwa pengucapan salam dalam salat adalah “assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” ke arah kanan dan “assalamu’alaikum warahmatullah” ke arah kiri. Dari beberapa hadis-hadis yang berbeda tentang pembacaan salam dalam salat tersebut, maka tulisan ini berupaya untuk menjelaskan kualitas hadisnya baik dari segi sanad dan juga matan dengan menelaah lebih lanjut secara komprehensif, yang kemudian dihubungkan dengan teori ta’arud al-adillah.
{"title":"TELAAH TA’ARUD AL-ADILLAH ATAS HADIS-HADIS TENTANG PEMBACAAN SALAM DALAM SALAT YANG MEMAKAI WABARAKATUH DAN TANPA WABARAKATUH","authors":"Muhammad Ali Sahbana Hasibuan","doi":"10.14421/al-mazaahib.v8i2.2218","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v8i2.2218","url":null,"abstract":"Salat lima waktu merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh semua Muslim yang berakal dan baligh (baik laki-laki maupun perempuan). Salat adalah suatu ibadah yang terdiri dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Tentunya dalam melaksanakan salat itu tidak lepas dari ketentuan-ketentuan salat seperti syarat-syarat dan rukunnya. Dalam hadis HR. Ahmad, Tirmizi dan Abu Dawud disebutkan bahwa kunci salat adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir, dan tahlilnya (yang menghalalkan) adalah mengucapkan sala>m. Berkaitan dengan ucapan salam, ada perbedaan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, ada yang memakai wabarakatuh dan tanpa wabarakatuh. Sebagaimana dalam beberapa hadis disebutkan salah satunya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh HR. Abu Dawud bahwa pengucapan salam dalam salat adalah: “assalamu’alaikum warah matullah” kekanan dan “assalamu’alaikum warahmatullah” kekiri tanpa “wabarakatuh”. Begitu juga hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan yang lainya. Sedangkan hadis lain yang terdapat juga diriwayatkan oleh HR. Abu Dawud bahwa pengucapan salam dalam salat adalah “assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” ke arah kanan dan “assalamu’alaikum warahmatullah” ke arah kiri. Dari beberapa hadis-hadis yang berbeda tentang pembacaan salam dalam salat tersebut, maka tulisan ini berupaya untuk menjelaskan kualitas hadisnya baik dari segi sanad dan juga matan dengan menelaah lebih lanjut secara komprehensif, yang kemudian dihubungkan dengan teori ta’arud al-adillah.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"65 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-04-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131259881","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-12-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i2.2138
A. Halim, E. Kosasih
Orang-orang Bugis-Makassar terikat oleh sistem norma dan aturan adatyang disebut dengan panngadereng. Ade’ yang merupakan unsur bagiandari panngadereng secara khusus terdiri dari ade’ akkalabinengeng(norma mengenai hal-ihwal perkawinan dan hubungan kekerabatan).Salah satu di antara ade’ akkalabinengeng adalah adanya tradisi do’imenrek atau balanca dalam perkawinan masyarakat Bugis. Praktik do’imenrek yang ada pada masyarakat Bugis Soppeng dilatarbelakangi olehfaktor sejarah yang menjungjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya daripara leluhur mereka sehingga sampai saat ini dianggap sebagai kearifanlokal. Dalam tradisi perkawinan suku Bugis Soppeng, mahar yangmerupakan salah satu ketentuan dalam hukum perkawinan Islam, dalammasyarakat suku Bugis disebut sompa. Sompa ini sepenuhnya menjadihak-milik pengantin wanita sebagai wujud penghormatan pengantin priakepada pengantin wanita. Meskipun ketentuan do’i menrek-balancahanya berdasarkan tradisi masyarakat Suku Bugis tetapi kedudukannyasama dengan mahar (sompa) yaitu sama-sama mengikat. Dari perspektifteori ‘Urf, termasuk dalam kategori ‘Urf Shahih karena sesuai dengankaidah fiqhi “al-‘Adatu Muhakkamatun”, sedangkan dalam perspektif appangngadereng, do’wi menrek adalah ade’ akkalabinengeng yangdibebankan kepada mempelai pria merupakan ukuran keseriusan dankekayaan mempelai laki-lak karena besarnya jumlah uang belanja ataudo’i Menrek merupakan media utama bagi masyarakat Bugis untukmenunjukkan posisinya dalam Masyarakat, bahkan termasuk dalamkategori pengejawantahan nilai-nilai siri’.
{"title":"TRADISI PENETAPAN DO’I MENREK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT SUKU BUGIS SOPPENG (ANALISIS TEORI ‘URF DAN APPANNGADERENG DALAM HUKUM ADAT SUKU BUGIS)","authors":"A. Halim, E. Kosasih","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i2.2138","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i2.2138","url":null,"abstract":"Orang-orang Bugis-Makassar terikat oleh sistem norma dan aturan adatyang disebut dengan panngadereng. Ade’ yang merupakan unsur bagiandari panngadereng secara khusus terdiri dari ade’ akkalabinengeng(norma mengenai hal-ihwal perkawinan dan hubungan kekerabatan).Salah satu di antara ade’ akkalabinengeng adalah adanya tradisi do’imenrek atau balanca dalam perkawinan masyarakat Bugis. Praktik do’imenrek yang ada pada masyarakat Bugis Soppeng dilatarbelakangi olehfaktor sejarah yang menjungjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya daripara leluhur mereka sehingga sampai saat ini dianggap sebagai kearifanlokal. Dalam tradisi perkawinan suku Bugis Soppeng, mahar yangmerupakan salah satu ketentuan dalam hukum perkawinan Islam, dalammasyarakat suku Bugis disebut sompa. Sompa ini sepenuhnya menjadihak-milik pengantin wanita sebagai wujud penghormatan pengantin priakepada pengantin wanita. Meskipun ketentuan do’i menrek-balancahanya berdasarkan tradisi masyarakat Suku Bugis tetapi kedudukannyasama dengan mahar (sompa) yaitu sama-sama mengikat. Dari perspektifteori ‘Urf, termasuk dalam kategori ‘Urf Shahih karena sesuai dengankaidah fiqhi “al-‘Adatu Muhakkamatun”, sedangkan dalam perspektif appangngadereng, do’wi menrek adalah ade’ akkalabinengeng yangdibebankan kepada mempelai pria merupakan ukuran keseriusan dankekayaan mempelai laki-lak karena besarnya jumlah uang belanja ataudo’i Menrek merupakan media utama bagi masyarakat Bugis untukmenunjukkan posisinya dalam Masyarakat, bahkan termasuk dalamkategori pengejawantahan nilai-nilai siri’.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129072829","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-12-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i2.1882
Nurdhin Baroroh, Nike Rosdiyanti
Gangguan mental kepribadian antisosial merupakan pola pengalaman dan perilaku tidak wajar yang berhubungan dengan pikiran, perasaan, hubungan pribadi, dan pengendalian dorongan keinginan. Individu yang mengalami gangguan kepribadian antisosial disebut juga dengan sosiopat. Mereka tidak memiliki rasa bersalah dan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan termasuk bila perbuatan tersebut merugikan orang lain, sebab mereka ini kurang memiliki pertimbangan akal. Sementara itu suatu tindak pidana bisa dilakukan oleh siapapun tanpa memandang pelakunya termasuk di sini mereka yang mengalami gangguan kepribadian antisosial. Artikel ini bermaksud melihat aspek pertanggungjawaban, penerapan sanksi dan atau peniadaan sanksi bagi penderita gangguan mental kategori kepribadian antisosial yang melakukan tindak pidana, dalam pandangan hukum positif dan hukum Islam.
{"title":"STATUS PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA BAGI PENDERITA GANGGUAN MENTAL KATEGORI KEPRIBADIAN ANTISOSIAL PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM","authors":"Nurdhin Baroroh, Nike Rosdiyanti","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i2.1882","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i2.1882","url":null,"abstract":"Gangguan mental kepribadian antisosial merupakan pola pengalaman dan perilaku tidak wajar yang berhubungan dengan pikiran, perasaan, hubungan pribadi, dan pengendalian dorongan keinginan. Individu yang mengalami gangguan kepribadian antisosial disebut juga dengan sosiopat. Mereka tidak memiliki rasa bersalah dan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan termasuk bila perbuatan tersebut merugikan orang lain, sebab mereka ini kurang memiliki pertimbangan akal. Sementara itu suatu tindak pidana bisa dilakukan oleh siapapun tanpa memandang pelakunya termasuk di sini mereka yang mengalami gangguan kepribadian antisosial. Artikel ini bermaksud melihat aspek pertanggungjawaban, penerapan sanksi dan atau peniadaan sanksi bagi penderita gangguan mental kategori kepribadian antisosial yang melakukan tindak pidana, dalam pandangan hukum positif dan hukum Islam.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132537907","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-12-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i2.1880
A. Sulaeman
Seperti yang telah diketahui, Natal merupakan perayaan yang dilakukan oleh umat kristiani untuk memperingati kelahiran Isa al-Masih yang dilakukan setiap tanggal 25 Desember. Perayaan ini sering menimbulkan perdebatan di antara organisasi atau komunitas muslim. Pendapat pro kontra tentang mengucapkan selamat hari natal pun muncul dikalangan para pemikir dan tokoh Islam kontemporer, seperti halnya Yusuf alQardhawi dan Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin. Menurut al-Qaradhawi tidak ada larang tersendiri baik itu atas nama lembaga ataupun diri sendiri untuk mengucapkan selamat hari Natal atau yang lainnya kepada umat non-muslim, terlebih lagi al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk berlaku baik kepada umat non-muslim yang tidka berbuat dzalim kepada umat Islam. Sedangkan Syaikh Utsaimin mengharamkannya karena perbuatan demikian itu ditakutkan membuat senang kaum kuffar dan menyebabkan mereka semakin kuat, selain itu juga beliau menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan itu terkandung pengakuan dan kerelaan terhadap simbol-simbol kekufuran. AlQaradhawi menggunakan kajian tafsir tematik dan metode istishlahi dalam mengistinabtkan permasalahan ini, juga menggunakan penalaran kebahasaan secara dalalah nash. Syaikh Utsaimin juga menggunakan kajian tafsir tematik, hanya saja beliau menggunakan metode lain dalam beristinbath yakni menggunakan metode mafhum mukhalafah dengan penalaran kebahasaan secara dzahir.
如你所知,圣诞节是基督教每年12月25日庆祝耶稣基督诞辰的节日。它经常在穆斯林组织或社区之间引发辩论。与约瑟夫·阿尔卡尔达维(Yusuf alQardhawi)和穆罕默德·伊本·谢赫·阿尔赫塞明(shaikh Ibn Ibn al-Utsaimin)一样,现代伊斯兰思想家和圣贤也出现了关于祝圣诞节快乐的强烈观点。根据al-Qaradhawi的说法,任何人都不禁止自己代表该机构或自己向非穆斯林说圣诞快乐或其他任何东西,更不用说al-Qaradhawi也建议善待非穆斯林然而,Utsaimin国王谴责这样的行为,担心会使库法尔人高兴,并使他们变得更强大,他还说,在这种情况下,宽恕和服从权威的象征。AlQaradhawi在解决问题时使用tysir和istishlahi审查中使用的语言推理。Utsaimin Syaikh也使用了主题翻译研究,只是他使用了berstinbath的另一种方法,即mufhum mukhalafah的语言推理。
{"title":"HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL MENURUT YUSUF AL- QARADHAWI DAN SYAIKH MUHAMMAD IBN SHALEH AL- UTSAIMIN","authors":"A. Sulaeman","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i2.1880","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i2.1880","url":null,"abstract":"Seperti yang telah diketahui, Natal merupakan perayaan yang dilakukan oleh umat kristiani untuk memperingati kelahiran Isa al-Masih yang dilakukan setiap tanggal 25 Desember. Perayaan ini sering menimbulkan perdebatan di antara organisasi atau komunitas muslim. Pendapat pro kontra tentang mengucapkan selamat hari natal pun muncul dikalangan para pemikir dan tokoh Islam kontemporer, seperti halnya Yusuf alQardhawi dan Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin. Menurut al-Qaradhawi tidak ada larang tersendiri baik itu atas nama lembaga ataupun diri sendiri untuk mengucapkan selamat hari Natal atau yang lainnya kepada umat non-muslim, terlebih lagi al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk berlaku baik kepada umat non-muslim yang tidka berbuat dzalim kepada umat Islam. Sedangkan Syaikh Utsaimin mengharamkannya karena perbuatan demikian itu ditakutkan membuat senang kaum kuffar dan menyebabkan mereka semakin kuat, selain itu juga beliau menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan itu terkandung pengakuan dan kerelaan terhadap simbol-simbol kekufuran. AlQaradhawi menggunakan kajian tafsir tematik dan metode istishlahi dalam mengistinabtkan permasalahan ini, juga menggunakan penalaran kebahasaan secara dalalah nash. Syaikh Utsaimin juga menggunakan kajian tafsir tematik, hanya saja beliau menggunakan metode lain dalam beristinbath yakni menggunakan metode mafhum mukhalafah dengan penalaran kebahasaan secara dzahir.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126626301","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-12-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i2.1881
Muhammad Akbar Eka Pradana
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kasus pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau yang ditolak gugatan perdata kasasinya pada akhir tahun 2018 lalu oleh Mahkamah Agung (MA) dengan menghukum korporasi tersebut untuk bertanggung jawab mengganti kerugian dan pemulihan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan sebesar Rp. 1 triliyun lebih. Hal ini dianggap wajar sebab kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup telah membawa kerugian tidak hanya di bidang materi, tetapi juga kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa, maupun di bidang sosial. Pertanggungjawaban perdata korporasi di bidang lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Prinsip yang digunakan adalah prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Sedangkan dalam Islam, penegakan hukum atas pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan dilakukan dengan pendekatan maqasid asy-syari’ah. Prinsip pertanggungjawaban dalam perdata Islam, yang menyebabkan ganti kerugian (dhaman) adalah karena adanya maslahah yang hilang dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang mana perbuatan tersebut dilakukan karena perbuatan melawan hukum (dhaman al-‘udwan) atau wanprestasi (dhaman al-‘aqd). Penelitian ini menghasilkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam hukum positif dan hukum Islam sama-sama berorientasi pada kemaslahatan dan mencegah daripada kemafsadatan. Selain itu, persamaannya terletak pada pengertian korporasi, dan konsep pertanggungjawaban perdata. Sedangkan perbedaannya terletak pada prinsip pertanggungjawaban, penentuan besaran ganti kerugian, dan sumber hukumnya.
{"title":"PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA KORPORASI DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus: Kebakaran Hutan dan Lahan PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau)","authors":"Muhammad Akbar Eka Pradana","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i2.1881","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i2.1881","url":null,"abstract":"Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kasus pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau yang ditolak gugatan perdata kasasinya pada akhir tahun 2018 lalu oleh Mahkamah Agung (MA) dengan menghukum korporasi tersebut untuk bertanggung jawab mengganti kerugian dan pemulihan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan sebesar Rp. 1 triliyun lebih. Hal ini dianggap wajar sebab kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup telah membawa kerugian tidak hanya di bidang materi, tetapi juga kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa, maupun di bidang sosial. Pertanggungjawaban perdata korporasi di bidang lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Prinsip yang digunakan adalah prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Sedangkan dalam Islam, penegakan hukum atas pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan dilakukan dengan pendekatan maqasid asy-syari’ah. Prinsip pertanggungjawaban dalam perdata Islam, yang menyebabkan ganti kerugian (dhaman) adalah karena adanya maslahah yang hilang dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang mana perbuatan tersebut dilakukan karena perbuatan melawan hukum (dhaman al-‘udwan) atau wanprestasi (dhaman al-‘aqd). Penelitian ini menghasilkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam hukum positif dan hukum Islam sama-sama berorientasi pada kemaslahatan dan mencegah daripada kemafsadatan. Selain itu, persamaannya terletak pada pengertian korporasi, dan konsep pertanggungjawaban perdata. Sedangkan perbedaannya terletak pada prinsip pertanggungjawaban, penentuan besaran ganti kerugian, dan sumber hukumnya.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"82 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124991055","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-12-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i2.2205
Roikhatul Maghfiroh
Keutuhan sebuah rumah tangga dan kerukunan pasangan suami istri adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Hal-halyang dapat menyebabkan keretakan rumah tangga salah satunya yaitu kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang harus dihindari olehsemua pihak, baik oleh anggota keluarga, masyarakat, pengemuka agama, bahkan pemerintah. Mengingat pentingnya perlindungan kekerasan dalam rumah tangga, tidak ironis jika terdapat peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hukum Islam memandang bahwa kekerasan seksual dapat dijadikan sebagai alasan pengajuan perceraian karena terdapat unsur pemaksaan dan tidak menjalankan Mu’asyaroh bi al-Ma’ruf, sedangkan menurut hukum positif berpendapat bahwa berlaku sewenang-wenang saja dapat dijadikan alasan pengajuan perceraian apalagi sampai melakukan kekerasan seksual secara paksa.
{"title":"KEKERASAN SEKSUAL (PEMERKOSAAN) DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF","authors":"Roikhatul Maghfiroh","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i2.2205","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i2.2205","url":null,"abstract":"Keutuhan sebuah rumah tangga dan kerukunan pasangan suami istri adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Hal-halyang dapat menyebabkan keretakan rumah tangga salah satunya yaitu kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang harus dihindari olehsemua pihak, baik oleh anggota keluarga, masyarakat, pengemuka agama, bahkan pemerintah. Mengingat pentingnya perlindungan kekerasan dalam rumah tangga, tidak ironis jika terdapat peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hukum Islam memandang bahwa kekerasan seksual dapat dijadikan sebagai alasan pengajuan perceraian karena terdapat unsur pemaksaan dan tidak menjalankan Mu’asyaroh bi al-Ma’ruf, sedangkan menurut hukum positif berpendapat bahwa berlaku sewenang-wenang saja dapat dijadikan alasan pengajuan perceraian apalagi sampai melakukan kekerasan seksual secara paksa.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"53 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131986618","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i1.1802
Shohibul Adhkar
Distribution of inheritance which is mean all the property of parents to all heirs, particularly children, it becomes an important part. Refer to the basic part of the inheritance law that has been written clearly in the Qur'an. But the fact in Sedayu Village Kec. Turen Kab. Malang which prefer to use consensus way or kinship deliberation. The aims of this study. First, to find out why Sedayu people uses consensus way in distributing inheritance. Second, To know the models of the distribution of inheritance in the community of Sedayu Village Kec. Turen. The method used in this research is Empirical Law or Social Law research with qualitative descriptive approach. While the data are extracted in the form of primary data derived from interviews and documentation of the informant, informant and respondent on the practitioner of inheritance distribution using consensus. To answer what are the fundamental reasons for consensus and how it is distributed. In this research, the researcher find the result of phenomenon data of the inheritance distribution that exist in the community of sedayu village. First, the fundamental reason they use consensus in the distribution of inheritance, to prevent conflicts when inheritance is distributed. Because for them the main family unity. The second reason with the consensus of the division of inheritance is more just and equitable without discrimination as in the inheritance of Islam. Secondly, the distribution model of the inheritance they use as well as the grant given to all the heirs in this case is the biological child, testament and inheritance they use are not in accordance with the Shari'a. Rather they equally share the heirs as in the grant. Based on the results of the research, it is concluded the reason for the village community using consensus in the division of inheritance is to overcome the conflicts which occurred during the division of inheritance, to keep the family together and with the consensus to be equally divided. The model used is not much different from the existing system in the Shari'a. But not in accordance with the Shari'a.
{"title":"DISTRIBUSI “WARISAN” MENGGUNAKAN MUFAKAT PERSPEKTIF MANAJEMEN KONFLIK: Studi di Masyarakat Desa Sedayu Kec. Turen Kab. Malang","authors":"Shohibul Adhkar","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i1.1802","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i1.1802","url":null,"abstract":"Distribution of inheritance which is mean all the property of parents to all heirs, particularly children, it becomes an important part. Refer to the basic part of the inheritance law that has been written clearly in the Qur'an. But the fact in Sedayu Village Kec. Turen Kab. Malang which prefer to use consensus way or kinship deliberation. The aims of this study. First, to find out why Sedayu people uses consensus way in distributing inheritance. Second, To know the models of the distribution of inheritance in the community of Sedayu Village Kec. Turen. The method used in this research is Empirical Law or Social Law research with qualitative descriptive approach. While the data are extracted in the form of primary data derived from interviews and documentation of the informant, informant and respondent on the practitioner of inheritance distribution using consensus. To answer what are the fundamental reasons for consensus and how it is distributed. In this research, the researcher find the result of phenomenon data of the inheritance distribution that exist in the community of sedayu village. First, the fundamental reason they use consensus in the distribution of inheritance, to prevent conflicts when inheritance is distributed. Because for them the main family unity. The second reason with the consensus of the division of inheritance is more just and equitable without discrimination as in the inheritance of Islam. Secondly, the distribution model of the inheritance they use as well as the grant given to all the heirs in this case is the biological child, testament and inheritance they use are not in accordance with the Shari'a. Rather they equally share the heirs as in the grant. Based on the results of the research, it is concluded the reason for the village community using consensus in the division of inheritance is to overcome the conflicts which occurred during the division of inheritance, to keep the family together and with the consensus to be equally divided. The model used is not much different from the existing system in the Shari'a. But not in accordance with the Shari'a.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124095188","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-06-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i1.1876
Sihabullah Muzaki
Di era digitalisasi, manusia modern dimanjakan oleh teknologi dalam melakukan segala keseharianya. Termasuk terus berkembangnya arus informasi yang cepat silih berganti bahkan terbukannya kran modernisasi, kini dunia komunikasi mengalami genjotan liberalisasi, karenanya manusia dituntut untuk bersikap bijak dalam menyerap dan bersikap. Sebab, iklim globalisasi memiliki dua dimensi yang saling bertentangan, di satu sisi menawarkan kemudahan, namun pada sisi lain media informasi bisa merobek sekat-sekat harmoni hubungan sosial antar sesama jika salah menyikapinya. Kajian dalam tulisan ini menggunakan perspektif fiqh dalam membaca peradaban modern dibidang teknologi informasi melalui metode induktif dan analisis sintetik. Sumber data di peroleh dari berbagai referensi terkait topik bahasan. Kajian ini menemukan hal penting antara lain, bagi penyaji informasi diharapkan dalam pemberitaanya bersikap netral, faktual, impartial, proporsional, dan independen. Adapun bagi penikmat berita, umat Islam khususnya, dituntut untuk memilih antara mengambil sikap diam atas derasnya informasi yang jauh dari ideologi jurnalisme profetik atau berperan aktif dalam membendung serta merespond pesan-pesan berita yang bernuansa hoax dan provokatif.
{"title":"NUANSA FIQH MEDIA (Pandangan Jurisprudensi Hukum Islam Terkait Dominasi Dan Hegemoni Informasi)","authors":"Sihabullah Muzaki","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i1.1876","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i1.1876","url":null,"abstract":"Di era digitalisasi, manusia modern dimanjakan oleh teknologi dalam melakukan segala keseharianya. Termasuk terus berkembangnya arus informasi yang cepat silih berganti bahkan terbukannya kran modernisasi, kini dunia komunikasi mengalami genjotan liberalisasi, karenanya manusia dituntut untuk bersikap bijak dalam menyerap dan bersikap. Sebab, iklim globalisasi memiliki dua dimensi yang saling bertentangan, di satu sisi menawarkan kemudahan, namun pada sisi lain media informasi bisa merobek sekat-sekat harmoni hubungan sosial antar sesama jika salah menyikapinya. Kajian dalam tulisan ini menggunakan perspektif fiqh dalam membaca peradaban modern dibidang teknologi informasi melalui metode induktif dan analisis sintetik. Sumber data di peroleh dari berbagai referensi terkait topik bahasan. Kajian ini menemukan hal penting antara lain, bagi penyaji informasi diharapkan dalam pemberitaanya bersikap netral, faktual, impartial, proporsional, dan independen. Adapun bagi penikmat berita, umat Islam khususnya, dituntut untuk memilih antara mengambil sikap diam atas derasnya informasi yang jauh dari ideologi jurnalisme profetik atau berperan aktif dalam membendung serta merespond pesan-pesan berita yang bernuansa hoax dan provokatif.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125547930","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-06-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i1.1879
Fauziah Salamah
Ortodoksi Islam yang datang dari tanah Arab ke Indonesia berhadapan dengan budaya Jawa yang sudah mengakar dan mentradisi dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan dalam memahami pergumulan diantara keduanya supaya dapat mensikapinya secara tepat. Kearifan lokal dibutuhkan dalam menginteraksikan Islam sebagai agama dan budaya baru dalam masyarakat yang sudah lama hidup di dalam tradisi dan budayanya. Demikian pula untuk memahami Islam dalam konteks budaya Jawa, dibutuhkan kearifan aktor yang memiliki capital yang mumpuni di dalam field yang sesuai. KH. Ali Maksum adalah seorang tokoh yang mampu mengakomodir budaya-budaya Jawa dengan pemahamannya terhadap Islam sehingga tidak mengalami benturan yang merugikan kedua belah pihak. Dengan menggunakan pendekatan sosial Pierre Bourdieu, Penelitian ini mengkaji pemikiran KH. Ali Maksum dalam memahami dan mensikapi pergumulan ortodoksi Islam dan budaya Jawa. Beberapa pemikiran KH. Ali Maksum yang dapat dijadikan sebagai pendekatan alternatif dalam memahami dan mensikapi pergumulan ortodoksi Islam dan budaya Jawa adalah: dalam bidang keagamaan KH. Ali Maksum menggunakan pendekatan Manhaj Ushuli ulama’ mazhab, dalam bidang politik KH. Ali Maksum menggunakan pendekatan Revelational, dalam bidang sosial, KH. Ali Maksum menggunakan pendekatan Humanistik. Dengan demikian, pergumulan ortodoksi Islam dan budaya Jawa justru menunjukkan perkembangan Islam PERGUMULAN ORTODOKSI ISLAM DAN BUDAYA JAWA MENURUT KH. ALI MAKSUM Fauziah Salamahfauziahsalamah87@gmail.com Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta54 Fauziah Salamah, Pergumulan Ortodoksi Islam dan Budaya Jawa ... (53-72)dalam berbagai bidang, tidak hanya dalam bidang keagamaan, namun juga bidang politik dan sosial.
{"title":"PERGUMULAN ORTODOKSI ISLAM DAN BUDAYA JAWA MENURUT KH. ALI MAKSUM","authors":"Fauziah Salamah","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i1.1879","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i1.1879","url":null,"abstract":"Ortodoksi Islam yang datang dari tanah Arab ke Indonesia berhadapan dengan budaya Jawa yang sudah mengakar dan mentradisi dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan dalam memahami pergumulan diantara keduanya supaya dapat mensikapinya secara tepat. Kearifan lokal dibutuhkan dalam menginteraksikan Islam sebagai agama dan budaya baru dalam masyarakat yang sudah lama hidup di dalam tradisi dan budayanya. Demikian pula untuk memahami Islam dalam konteks budaya Jawa, dibutuhkan kearifan aktor yang memiliki capital yang mumpuni di dalam field yang sesuai. KH. Ali Maksum adalah seorang tokoh yang mampu mengakomodir budaya-budaya Jawa dengan pemahamannya terhadap Islam sehingga tidak mengalami benturan yang merugikan kedua belah pihak. Dengan menggunakan pendekatan sosial Pierre Bourdieu, Penelitian ini mengkaji pemikiran KH. Ali Maksum dalam memahami dan mensikapi pergumulan ortodoksi Islam dan budaya Jawa. Beberapa pemikiran KH. Ali Maksum yang dapat dijadikan sebagai pendekatan alternatif dalam memahami dan mensikapi pergumulan ortodoksi Islam dan budaya Jawa adalah: dalam bidang keagamaan KH. Ali Maksum menggunakan pendekatan Manhaj Ushuli ulama’ mazhab, dalam bidang politik KH. Ali Maksum menggunakan pendekatan Revelational, dalam bidang sosial, KH. Ali Maksum menggunakan pendekatan Humanistik. Dengan demikian, pergumulan ortodoksi Islam dan budaya Jawa justru menunjukkan perkembangan Islam PERGUMULAN ORTODOKSI ISLAM DAN BUDAYA JAWA MENURUT KH. ALI MAKSUM Fauziah Salamahfauziahsalamah87@gmail.com Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta54 Fauziah Salamah, Pergumulan Ortodoksi Islam dan Budaya Jawa ... (53-72)dalam berbagai bidang, tidak hanya dalam bidang keagamaan, namun juga bidang politik dan sosial.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"124 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121694215","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}