Pub Date : 2022-12-20DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i2.2863
Farah Nur Anggraeni, M. Ibrahim
Mediasi merupakan proses penyelesaian suatu sengketa yang dibantu pihak ketiga melalui suatu perundingan atau pendekatan mufakat antara kedua belah pihak, dimana orang yang menjadi penengah suatu sengketa menurut Peraturan Mahkamah Agung PERMA disebut mediator. Dengan meningkatnya perceraian di Pengadilan Agama Wonosobo peran mediasi sangat dibutuhkan untuk mengurangi penumpukkan perkara. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran/efektifitas praktik mediasi dalam mengatasi jumlah perkara yang semakin meningkat, dan apakah praktik tersebut sudah sesuai dengan konsep hakam dan Hukum Islam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peran / efektifitas pelaksanaan mediasi di PA Wonosobo pada tahun 2012 masih kurang berhasil atau kurang maksimal. Hal tersebut disebabkan dua hal, baik dari aspek PA (hakim) maupun dari aspek para pihak yang berperkara. Dari aspek hakim dari sebelas hakim yang bertugas di PA Wonosobo hanya satu orang yang sudah mengikuti pelatihan mediasi (bersertifikat). Sedangkan dari para pihak yang berperkara yaitu banyaknya perkara verstek, serta para pihak yang belum memahami pentingnya mediasi disamping hal tersebut diperkuat oleh motifasi dari para pihak yang berperkara hanya untuk bercerai saja, disamping bila rumah tangganya diteruskan hanya mendatangkan kemadhorotan, sehingga perkara gugatan perceraian dikabulkan. Praktik mediasi di PA Wonosobo tahun 2012 tersebut sudah sesuai dengan konsep hakam dalam Hukum Islam.
{"title":"PERAN MEDIASI DALAM MENANGGULANGI ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA WONOSOBO TAHUN 2012","authors":"Farah Nur Anggraeni, M. Ibrahim","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i2.2863","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i2.2863","url":null,"abstract":"Mediasi merupakan proses penyelesaian suatu sengketa yang dibantu pihak ketiga melalui suatu perundingan atau pendekatan mufakat antara kedua belah pihak, dimana orang yang menjadi penengah suatu sengketa menurut Peraturan Mahkamah Agung PERMA disebut mediator. Dengan meningkatnya perceraian di Pengadilan Agama Wonosobo peran mediasi sangat dibutuhkan untuk mengurangi penumpukkan perkara. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran/efektifitas praktik mediasi dalam mengatasi jumlah perkara yang semakin meningkat, dan apakah praktik tersebut sudah sesuai dengan konsep hakam dan Hukum Islam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peran / efektifitas pelaksanaan mediasi di PA Wonosobo pada tahun 2012 masih kurang berhasil atau kurang maksimal. Hal tersebut disebabkan dua hal, baik dari aspek PA (hakim) maupun dari aspek para pihak yang berperkara. Dari aspek hakim dari sebelas hakim yang bertugas di PA Wonosobo hanya satu orang yang sudah mengikuti pelatihan mediasi (bersertifikat). Sedangkan dari para pihak yang berperkara yaitu banyaknya perkara verstek, serta para pihak yang belum memahami pentingnya mediasi disamping hal tersebut diperkuat oleh motifasi dari para pihak yang berperkara hanya untuk bercerai saja, disamping bila rumah tangganya diteruskan hanya mendatangkan kemadhorotan, sehingga perkara gugatan perceraian dikabulkan. Praktik mediasi di PA Wonosobo tahun 2012 tersebut sudah sesuai dengan konsep hakam dalam Hukum Islam. ","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126919691","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-20DOI: 10.14421/al-mazaahib.v2i2.2857
Akhmad Siddiq
Plurality creates friction which there are two poles; majority and minority. Relation both do not always go hand in hand, and often reaches the tension which, strangely, is supported by the legitimacy of the Islamic law itself. So, we need jurisprudence that offers contextualization, accommodating, flexible and prioritize the benefit principle. This jurisprudence models get touch of two charismatic of NU, namely KH. Sahal Mahfudh and KH. Ali Yafie. KH. Sahal Mahfudh reconstruction of mazhab’s patterns and make improvements to the existing jurisprudence concept. While KH. Ali Yafie interpreting verses of the Koran directly by incorporating sociological aspects into consideration. KH. Sahal Mahfudh’s approach emphasized maslahah mursalah and Ali Yafie which rests on the analysis of concrete implications kifayah obligatory on the ideal of majority-minority relations in Indonesia. According to both, the relation whatever to uphold human values are summarized in the maqasid al-Shari’ah. There is no reason to feuding let alone each other down though clearly different religion, and ideology. Friction friction happens to be completed if supported by an intense dialogue. This, according to Sahl Mahfudh a boarding duties and responsibilities. At this point, social jurisprudence exists as a social ethics guidelines that are not partial.
{"title":"PEMIKIRAN FIKIH SOSIAL KH. SAHAL MAHFUDH DAN DAN KH. ALI YAFIE TENTANG RELASI MAYORITAS-MINORITAS DI INDONESIA","authors":"Akhmad Siddiq","doi":"10.14421/al-mazaahib.v2i2.2857","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v2i2.2857","url":null,"abstract":"Plurality creates friction which there are two poles; majority and minority. Relation both do not always go hand in hand, and often reaches the tension which, strangely, is supported by the legitimacy of the Islamic law itself. So, we need jurisprudence that offers contextualization, accommodating, flexible and prioritize the benefit principle. This jurisprudence models get touch of two charismatic of NU, namely KH. Sahal Mahfudh and KH. Ali Yafie. KH. Sahal Mahfudh reconstruction of mazhab’s patterns and make improvements to the existing jurisprudence concept. While KH. Ali Yafie interpreting verses of the Koran directly by incorporating sociological aspects into consideration. KH. Sahal Mahfudh’s approach emphasized maslahah mursalah and Ali Yafie which rests on the analysis of concrete implications kifayah obligatory on the ideal of majority-minority relations in Indonesia. According to both, the relation whatever to uphold human values are summarized in the maqasid al-Shari’ah. There is no reason to feuding let alone each other down though clearly different religion, and ideology. Friction friction happens to be completed if supported by an intense dialogue. This, according to Sahl Mahfudh a boarding duties and responsibilities. At this point, social jurisprudence exists as a social ethics guidelines that are not partial.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"57 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115167931","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-19DOI: 10.14421/al-mazaahib.v4i1.2855
Puthut Syahfaruddin
Judge is one of the important professions because it is one of the highest positions in Islam. This position is higher than that of the mufti because the judge's job is not just to pronounce the law but also to impose a sentence that results from the legal decision that must be implemented and obeyed. The purpose of this study is to explain, analyze, and evaluate the conditions and factors behind the differences of opinion between Imams Abu Hanifah and Ibn Hazm regarding the position of women serving as judges and to explain the legal istinbath used by the priests of that school. According to the type of research, this research is categorized as qualitative research (literary). The nature of the research used is descriptive-analysis-comparative, using a socio-historical approach and inductive thinking methods, so this research is expected to produce several useful scientific studies. The results of the author's analysis are the factors behind the difference of opinion between Imam Abu Hanifah and Ibn Hazm and differences in interpreting and understanding the texts. The similarities of opinion between the two regarding the position of female judges are that it is permissible for a woman to serve as a judge, and both of them do not make men an absolute requirement to become judges. Meanwhile, the difference of opinion between them is whether Imam Abu Hanifah limited the authority of female judges to civil matters, in contrast to Ibn Hazm, who allowed women to serve as judges.
{"title":"Kedudukan Hakim Perempuan Perspektif Abu Hanifah dan Ibn Hazm","authors":"Puthut Syahfaruddin","doi":"10.14421/al-mazaahib.v4i1.2855","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v4i1.2855","url":null,"abstract":"Judge is one of the important professions because it is one of the highest positions in Islam. This position is higher than that of the mufti because the judge's job is not just to pronounce the law but also to impose a sentence that results from the legal decision that must be implemented and obeyed. The purpose of this study is to explain, analyze, and evaluate the conditions and factors behind the differences of opinion between Imams Abu Hanifah and Ibn Hazm regarding the position of women serving as judges and to explain the legal istinbath used by the priests of that school. According to the type of research, this research is categorized as qualitative research (literary). The nature of the research used is descriptive-analysis-comparative, using a socio-historical approach and inductive thinking methods, so this research is expected to produce several useful scientific studies. The results of the author's analysis are the factors behind the difference of opinion between Imam Abu Hanifah and Ibn Hazm and differences in interpreting and understanding the texts. The similarities of opinion between the two regarding the position of female judges are that it is permissible for a woman to serve as a judge, and both of them do not make men an absolute requirement to become judges. Meanwhile, the difference of opinion between them is whether Imam Abu Hanifah limited the authority of female judges to civil matters, in contrast to Ibn Hazm, who allowed women to serve as judges.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"18 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116042166","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-16DOI: 10.14421/al-mazaahib.v4i1.2846
Badruzzaman Badruzzaman
In Indonesia, labor is one of the drivers of economic life and is a resource that is quite abundant. Economic conditions that are less attractive in their own country and incomes that are quite large and appear more attractive in destination countries have become triggers for international labor mobility. And the destination of most Indonesian workers is Saudi Arabia. As a developed country and a recipient of workers from Indonesia, it is not necessarily supported by progress in legal protection for migrant workers working in Saudi Arabia. Even though in the end Saudi Arabia was represented by the Ministry of Manpower and had issued Labor Laws and Regulations. This article is a library research approach that is used is normative-juridical. The authors compare the concept of legal protection for migrant workers in Saudi Arabia according to Indonesian Law and Saudi Arabian Law. Based on the results of the research that has been done, it can be concluded that Law Number 13 of 2003 concerning Manpower and Law Number 39 of 2004 concerning the Placement and Protection of Overseas Workers, as well as the King's Decree No. (A/91) Basic Law of Governance and in the Labor Law issued by the Ministry of Manpower of Saudi Arabia No. M/51. It is a form of guarantee that the Government of Indonesia and the Government of Saudi Arabia provide legal protection for Indonesian Migrant Workers working in Saudi Arabia. The similarities in the concept of legal protection for migrant workers between the governments of Indonesia and Saudi Arabia are both clearly stated in the laws and regulations of the two countries. The difference from the concept of legal protection for migrant workers lies in the handling process/field. In addition to the different legal basis, it is also difficult for Indonesian migrant workers to obtain definite legal protection for each case they experience. Saudi Arabia uses Islamic law or Sharia law as the legal basis so that the rules are set differently, so that the handling of the legal protection process for migrant workers is still weak.
{"title":"Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia Perspektif Hukum Indonesia dan Saudi Arabia","authors":"Badruzzaman Badruzzaman","doi":"10.14421/al-mazaahib.v4i1.2846","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v4i1.2846","url":null,"abstract":"In Indonesia, labor is one of the drivers of economic life and is a resource that is quite abundant. Economic conditions that are less attractive in their own country and incomes that are quite large and appear more attractive in destination countries have become triggers for international labor mobility. And the destination of most Indonesian workers is Saudi Arabia. As a developed country and a recipient of workers from Indonesia, it is not necessarily supported by progress in legal protection for migrant workers working in Saudi Arabia. Even though in the end Saudi Arabia was represented by the Ministry of Manpower and had issued Labor Laws and Regulations. This article is a library research approach that is used is normative-juridical. The authors compare the concept of legal protection for migrant workers in Saudi Arabia according to Indonesian Law and Saudi Arabian Law. Based on the results of the research that has been done, it can be concluded that Law Number 13 of 2003 concerning Manpower and Law Number 39 of 2004 concerning the Placement and Protection of Overseas Workers, as well as the King's Decree No. (A/91) Basic Law of Governance and in the Labor Law issued by the Ministry of Manpower of Saudi Arabia No. M/51. It is a form of guarantee that the Government of Indonesia and the Government of Saudi Arabia provide legal protection for Indonesian Migrant Workers working in Saudi Arabia. The similarities in the concept of legal protection for migrant workers between the governments of Indonesia and Saudi Arabia are both clearly stated in the laws and regulations of the two countries. The difference from the concept of legal protection for migrant workers lies in the handling process/field. In addition to the different legal basis, it is also difficult for Indonesian migrant workers to obtain definite legal protection for each case they experience. Saudi Arabia uses Islamic law or Sharia law as the legal basis so that the rules are set differently, so that the handling of the legal protection process for migrant workers is still weak.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131066838","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-15DOI: 10.14421/al-mazaahib.v4i1.2844
Diana Sitatul Atiq
The Sultanate of Yogyakarta is the legal heir to the Islamic Mataram kingdom with a royal government system that still exists today. In the system of royal government, a Sultan (king) has the highest absolute authority, both in the form of prohibitions and orders. This research is a field research using the interview method with Nahdlatul Ulama activists (PWNU Yogyakarta) and Muhammadiyah activists (PWM Yogyakarta). This research is descriptive analytic in nature, namely an attempt to describe and collect data related to the removal of the title Khalifatullah, then an analysis of the data is carried out based on existing theories in Islamic law. The results showed that Nahdlatul Ulama activists refused to abolish the Khalifatullah title on the grounds that the Khalifatullah title contains al-'urf, and the Khalifatullah title has become a legitimacy and recognition that the line of power in the Palace is based on male offspring. Whereas Muhammadiyah activists refused to abolish the title on the grounds that they were in the leadership of the Keraton, the tradition of changing power was to adhere to a patriarchal system, and the title Khalifatullah was an affirmation that men were the ones who had the right to inherit the leadership of the Keraton. According to the author's analysis, Nahdlatul Ulama activists use the Ijtihad Jamâ'i method, namely in extracting and making decisions related to their rejection of the abolition of the Khalifatullah title by practicing qawa'id ushuliyyâh and qawa'id fiqhiyyâh and through deliberations and in-depth discussions by gathering people who understand the the problems, namely the clergy, government experts and the royal family of the palace. Whereas Muhammadiyah activists use the Al-Ijtihâd al-Istislahi method, which is more based on the illat or benefits obtained.
{"title":"Sabda Raja Sultan Hamengku Buwono X Menurut Aktivis PWNU Yogyakarta Dan Aktivis PWM Yogyakarta: Studi Analisis Terhadap Penghapusan Gelar Khalifatullah","authors":"Diana Sitatul Atiq","doi":"10.14421/al-mazaahib.v4i1.2844","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v4i1.2844","url":null,"abstract":"The Sultanate of Yogyakarta is the legal heir to the Islamic Mataram kingdom with a royal government system that still exists today. In the system of royal government, a Sultan (king) has the highest absolute authority, both in the form of prohibitions and orders. This research is a field research using the interview method with Nahdlatul Ulama activists (PWNU Yogyakarta) and Muhammadiyah activists (PWM Yogyakarta). This research is descriptive analytic in nature, namely an attempt to describe and collect data related to the removal of the title Khalifatullah, then an analysis of the data is carried out based on existing theories in Islamic law. The results showed that Nahdlatul Ulama activists refused to abolish the Khalifatullah title on the grounds that the Khalifatullah title contains al-'urf, and the Khalifatullah title has become a legitimacy and recognition that the line of power in the Palace is based on male offspring. Whereas Muhammadiyah activists refused to abolish the title on the grounds that they were in the leadership of the Keraton, the tradition of changing power was to adhere to a patriarchal system, and the title Khalifatullah was an affirmation that men were the ones who had the right to inherit the leadership of the Keraton. According to the author's analysis, Nahdlatul Ulama activists use the Ijtihad Jamâ'i method, namely in extracting and making decisions related to their rejection of the abolition of the Khalifatullah title by practicing qawa'id ushuliyyâh and qawa'id fiqhiyyâh and through deliberations and in-depth discussions by gathering people who understand the the problems, namely the clergy, government experts and the royal family of the palace. Whereas Muhammadiyah activists use the Al-Ijtihâd al-Istislahi method, which is more based on the illat or benefits obtained.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132573819","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-14DOI: 10.14421/al-mazaahib.v6i1.1533
Sony Falamsyah
Memperbincangkan masalah negara dan pemerintahan dalam pandangan Islam merupakan suatu yang menarik. Dikatakan menarik, karena setiap komunitas Islam mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan politik serta kemampuan menafsirkan teks yang berbeda. Perbedaan latar belakang telah melahirkan cara pandang atas teks yang juga berbeda. Meskipun teks yang dirujuk oleh masing-masing kelompok Islam itu sama al-Qur’an dan Sunnah, namun cara menafsirkan teks itu bergantung pada orientasi sosial politik dari pihak yang melakukan penafsiran. Hal ini juga terjadi kepada tokoh tatanegara Mohammad Natsir yang dengan gigih memperjuangan agar negara dan pemerintahan dapat menerapkan konsep pemerintahan Islam. Berdasarkan hasil dari penelitian, Mohammad Natsir memandang bahwa umat Islam boleh mencontoh sistem-sistem pemerintahan yang ada di negara- negara lain seperti Inggris, Finlandia, Jepang bahkan Rusia, selama sistem-sistem itu dapat mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh Islam. Jadi dalam demokrasi Islam, perumusan kebijakan politik, ekonomi, dan lain-lainnya haruslah mengacu kepada aturan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
{"title":"PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR TENTANG PEMERINTAHAN ISLAM","authors":"Sony Falamsyah","doi":"10.14421/al-mazaahib.v6i1.1533","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v6i1.1533","url":null,"abstract":"Memperbincangkan masalah negara dan pemerintahan dalam pandangan Islam merupakan suatu yang menarik. Dikatakan menarik, karena setiap komunitas Islam mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan politik serta kemampuan menafsirkan teks yang berbeda. Perbedaan latar belakang telah melahirkan cara pandang atas teks yang juga berbeda. Meskipun teks yang dirujuk oleh masing-masing kelompok Islam itu sama al-Qur’an dan Sunnah, namun cara menafsirkan teks itu bergantung pada orientasi sosial politik dari pihak yang melakukan penafsiran. Hal ini juga terjadi kepada tokoh tatanegara Mohammad Natsir yang dengan gigih memperjuangan agar negara dan pemerintahan dapat menerapkan konsep pemerintahan Islam. Berdasarkan hasil dari penelitian, Mohammad Natsir memandang bahwa umat Islam boleh mencontoh sistem-sistem pemerintahan yang ada di negara- negara lain seperti Inggris, Finlandia, Jepang bahkan Rusia, selama sistem-sistem itu dapat mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh Islam. Jadi dalam demokrasi Islam, perumusan kebijakan politik, ekonomi, dan lain-lainnya haruslah mengacu kepada aturan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"54 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122391284","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-12DOI: 10.14421/al-mazaahib.v3i2.2838
Shalahuddin Shalahuddin
Dalam sejarahnya yang panjang, hukum Islam selalu berdialog dan berdialektika dengan realitas zamannya. Hal itu bisa dilihat dari kenyataan bahwa nabi, para sahabat, dan juga para ulama (fuqaha) selalu berusaha (berijtihad) untuk merespons dan mencarikan solusi bagi setiap persoalan hukum yang dihadapi oleh umatnya. Bahkan terdapat fakta bahwa sebagian ayat-ayat hukum juga diturunkan dalam konteks merespons atau memberi jawabatan atas suatu persoalan yang muncul atau dihadapi oleh nabi dan umatnya. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidaklah statis (berjalan di tempat), melainkan dinamis dan bahkan progresif dalam merespons tuntutan zaman. Progresivitas hukum Islam juga tampak dari kenyataan bahwa para pemikir hukum Islam begitu peka dan responsif terhadap persoalan yang muncul di tengah-tengah umatnya. Mereka telah berusaha secara sungguh-sungguh (berijtihad) untuk menggali kandungan Al-Qur’an dan as-Sunnah demi menjawab problematika yang dihadapi umat. Untuk tujuan itu, tidak jarang dari mereka (para fuqaha) yang kemudian merumuskan metodologi penggalian hukum dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Artikel ini hendak mendiskusikan gagasan dari salah seorang pemikir muslim progresif asal Sudan, Mahmoud Muhammad Thaha, yang boleh dibilang sangat brilian, namun sekaligus kontroversial. Artikel ini akan difokuskan pada teori Naskh yang digagas oleh Muhammad Thaha tersebut bagi pembaruan hukum Islam di dunia modern.
在其悠久的历史中,伊斯兰法律一直与当时的现实进行对话和辩论。这一点可以从先知、朋友和学者(福卡哈)总是试图(作出)回应和解决他的人民所面临的每一个法律问题。甚至律法的一些经文也是这样写的,是为了回应或回答先知和他的子民所面临或面临的问题。这表明,伊斯兰法律并不是静止的,而是动态的,甚至是进步的,对时代的要求作出反应。Progresivitas伊斯兰法律事实似乎也从伊斯兰法律思想家如此敏感和敏感的问题出现在百姓中间。他们努力挖掘古兰经和阿斯那的内容,以解决人民所面临的问题。为此,他们(福卡哈)想出了从古兰经和阿斯-逊尼派中提取法律方法。这篇文章讨论了苏丹进步穆斯林思想家之一马哈茂德·穆罕默德·塔哈(Mahmoud Muhammad Thaha)的想法,他可以说非常聪明,但也有争议。本文将集中在Naskh的理论,即由迈德·穆罕默德Thaha伊斯兰法律在现代世界的更新。
{"title":"TEORI NASKH MAHMOUD MUHAMMAD TAHA DAN SUMBANGSIHNYA BAGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI DUNIA MODERN","authors":"Shalahuddin Shalahuddin","doi":"10.14421/al-mazaahib.v3i2.2838","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v3i2.2838","url":null,"abstract":"Dalam sejarahnya yang panjang, hukum Islam selalu berdialog dan berdialektika dengan realitas zamannya. Hal itu bisa dilihat dari kenyataan bahwa nabi, para sahabat, dan juga para ulama (fuqaha) selalu berusaha (berijtihad) untuk merespons dan mencarikan solusi bagi setiap persoalan hukum yang dihadapi oleh umatnya. Bahkan terdapat fakta bahwa sebagian ayat-ayat hukum juga diturunkan dalam konteks merespons atau memberi jawabatan atas suatu persoalan yang muncul atau dihadapi oleh nabi dan umatnya. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidaklah statis (berjalan di tempat), melainkan dinamis dan bahkan progresif dalam merespons tuntutan zaman. Progresivitas hukum Islam juga tampak dari kenyataan bahwa para pemikir hukum Islam begitu peka dan responsif terhadap persoalan yang muncul di tengah-tengah umatnya. Mereka telah berusaha secara sungguh-sungguh (berijtihad) untuk menggali kandungan Al-Qur’an dan as-Sunnah demi menjawab problematika yang dihadapi umat. Untuk tujuan itu, tidak jarang dari mereka (para fuqaha) yang kemudian merumuskan metodologi penggalian hukum dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Artikel ini hendak mendiskusikan gagasan dari salah seorang pemikir muslim progresif asal Sudan, Mahmoud Muhammad Thaha, yang boleh dibilang sangat brilian, namun sekaligus kontroversial. Artikel ini akan difokuskan pada teori Naskh yang digagas oleh Muhammad Thaha tersebut bagi pembaruan hukum Islam di dunia modern.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125123073","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-12DOI: 10.14421/al-mazaahib.v3i2.2834
A. B. Solissa
Tulisan ini membahas tentang pernikahan dan relasi kedudukan suami istri di Maluku terutama dalam Keluarga Muslim di Jazirah Leihitu dan Kecamatan Sirimau Maluku, ditinjau dari segi pendidikan, adat dan agama. Penelitian ini dihasilkan bahwa pendidikan, adat dan agama dalam masyarakat muslim Maluku terutama di daerah Jazirah Leihitu dan Sirimau saling memberikan pengaruhnya terhadap adat perkawinan dan relasi dalam keluarga. Tingkat pendidikan menjadi varian dalam penentuan jumlah biaya atau harta perkawinan yang harus diberikan oleh calon mempelai laki-laki dan keluarganya kepada pihak mempelai perempuan. Pluralitas adat di Sirimau yang merupakan wilayah Ambon Kota, juga mempengaruhi adat perkawinan dan relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga, walaupun adat Maluku asli yang masih harus tetap diindahkan oleh para pendatang. Adapun agama dalam adat perkawinan dan relasi keluarga di masyarakat Maluku ini juga memiliki pengaruhnya walaupun sedikit, di mana ternyata adat tetap lebih dominan. Misalnya konsep harta atau biaya perkawinan lebih dominan daripada mahar, waris adat yang membagi warisan dnegan system mayorat patrelenial juga masih kental di masyarakat.
{"title":"PERNIKAHAN DAN RELASI KEDUDUKAN SUAMI-ISTRI DI MALUKU, ANTARA ADAT, PENDIDIKAN, DAN AGAMA: STUDI KASUS TERHADAP KELUARGA MUSLIM DI JAZIRAH LEIHITU DAN KECAMATAN SIRIMAU MALUKU","authors":"A. B. Solissa","doi":"10.14421/al-mazaahib.v3i2.2834","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v3i2.2834","url":null,"abstract":"Tulisan ini membahas tentang pernikahan dan relasi kedudukan suami istri di Maluku terutama dalam Keluarga Muslim di Jazirah Leihitu dan Kecamatan Sirimau Maluku, ditinjau dari segi pendidikan, adat dan agama. Penelitian ini dihasilkan bahwa pendidikan, adat dan agama dalam masyarakat muslim Maluku terutama di daerah Jazirah Leihitu dan Sirimau saling memberikan pengaruhnya terhadap adat perkawinan dan relasi dalam keluarga. Tingkat pendidikan menjadi varian dalam penentuan jumlah biaya atau harta perkawinan yang harus diberikan oleh calon mempelai laki-laki dan keluarganya kepada pihak mempelai perempuan. Pluralitas adat di Sirimau yang merupakan wilayah Ambon Kota, juga mempengaruhi adat perkawinan dan relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga, walaupun adat Maluku asli yang masih harus tetap diindahkan oleh para pendatang. Adapun agama dalam adat perkawinan dan relasi keluarga di masyarakat Maluku ini juga memiliki pengaruhnya walaupun sedikit, di mana ternyata adat tetap lebih dominan. Misalnya konsep harta atau biaya perkawinan lebih dominan daripada mahar, waris adat yang membagi warisan dnegan system mayorat patrelenial juga masih kental di masyarakat.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"13 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115577308","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-12DOI: 10.14421/al-mazaahib.v3i2.2836
Fuad Zen
Data menyebutkan bahwa lebih dari satu juta wanita Indonesia melakukan aborsi setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut sekitar 50% berstatus belum menikah, 10%-21% di antaranya dilakukan oleh remaja, 8%-10% kegagalan KB, dan 2%-3% kehamilan yang tidak diinginkan oleh pasangan menikah. Kenyataan ini menunjukkan tingginya kebutuhan terhadap praktik aborsi dan beragamnya faktor penyebab aborsi. Pada umumya wanita melakukan aborsi karena disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya; dorongan ekonomi, adanya kekhawatiran bahwa janin dalam kandungan akan lahir dalam keadaan cacat, dorongan moral akibat hubungan biologis yang tidak memperhatikan moral dan agama, dan juga dorongan lingkungan. Di kalangan ulama fikih, berbeda pendapat mengenai kebolehan aborsi, bagi yang membolehkan, yakni sebelum peniupan ruh, dengan alasan, pada tahapan itu makhluk belum bernyawa. Sementara ulama yang tidak membolehkan, berpendapat sejak terjadi konsepsi (bertemunya sperma dan ovum), haram melakukan aborsi, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Pendapat yang disepakati fuqaha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (usia kehamilan empat bulan). Terlepas dari ulama yang membolehkan atau melarang, pada prinsipnya pengguguran kandungan itu haram. Meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan kehidupan janin. Tetapi untuk keadaan tertentu dengan sejumlah alasan tertentu yang dibenarkan secara medis dan syar’i, maka aborsi dapat dilakukan. Bagaimana dengan janin yang cacat, apakah kondisi tersebut dapat dijadikan alasan medis untuk melakukan aborsi?.Kemajuan ilmu kedokteran sekarang tidak diragukan, namun demikian, tidaklah dipandang akurat jika dokter membuat dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak) akan mengalami cacat—seperti buta, tuli, bisu—dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan digugurkannya kandungan. Dalam kenyataan banyak yang mengenal kelebihan para penyandang cacat ini. Namun demikian, pada fase 40 hari pertama, boleh digugurkan jika terdapat maslahat yang mendesak secara syari’at, atau untuk menghindari bahaya yang pasti terjadi. Di antaranya adalah jika janin ini dibiarkan hidup, akan cacat secara fisik dan membahayakan dirinya.
{"title":"HUKUM ISLAM TENTANG ABORSI TERHADAP JANIN YANG DIKETAHUI CACAT","authors":"Fuad Zen","doi":"10.14421/al-mazaahib.v3i2.2836","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v3i2.2836","url":null,"abstract":"Data menyebutkan bahwa lebih dari satu juta wanita Indonesia melakukan aborsi setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut sekitar 50% berstatus belum menikah, 10%-21% di antaranya dilakukan oleh remaja, 8%-10% kegagalan KB, dan 2%-3% kehamilan yang tidak diinginkan oleh pasangan menikah. Kenyataan ini menunjukkan tingginya kebutuhan terhadap praktik aborsi dan beragamnya faktor penyebab aborsi. Pada umumya wanita melakukan aborsi karena disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya; dorongan ekonomi, adanya kekhawatiran bahwa janin dalam kandungan akan lahir dalam keadaan cacat, dorongan moral akibat hubungan biologis yang tidak memperhatikan moral dan agama, dan juga dorongan lingkungan. Di kalangan ulama fikih, berbeda pendapat mengenai kebolehan aborsi, bagi yang membolehkan, yakni sebelum peniupan ruh, dengan alasan, pada tahapan itu makhluk belum bernyawa. Sementara ulama yang tidak membolehkan, berpendapat sejak terjadi konsepsi (bertemunya sperma dan ovum), haram melakukan aborsi, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Pendapat yang disepakati fuqaha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (usia kehamilan empat bulan). Terlepas dari ulama yang membolehkan atau melarang, pada prinsipnya pengguguran kandungan itu haram. Meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan kehidupan janin. Tetapi untuk keadaan tertentu dengan sejumlah alasan tertentu yang dibenarkan secara medis dan syar’i, maka aborsi dapat dilakukan. Bagaimana dengan janin yang cacat, apakah kondisi tersebut dapat dijadikan alasan medis untuk melakukan aborsi?.Kemajuan ilmu kedokteran sekarang tidak diragukan, namun demikian, tidaklah dipandang akurat jika dokter membuat dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak) akan mengalami cacat—seperti buta, tuli, bisu—dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan digugurkannya kandungan. Dalam kenyataan banyak yang mengenal kelebihan para penyandang cacat ini. Namun demikian, pada fase 40 hari pertama, boleh digugurkan jika terdapat maslahat yang mendesak secara syari’at, atau untuk menghindari bahaya yang pasti terjadi. Di antaranya adalah jika janin ini dibiarkan hidup, akan cacat secara fisik dan membahayakan dirinya.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126115450","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-12-12DOI: 10.14421/al-mazaahib.v3i2.2833
A. Halim, M. Hamsin
Sejak Pemerintah Belanda membagi rakyat Hindia Belanda menjadi tiga golongan yaitu golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan golongan Eropa, golongan pribumi, dan golongan Timur Asing, maka sejak itu pula Hukum Perdata yang berlaku pada setiap golongan berbeda-beda. Dalam bidang perkawinan misalnya, masing-masing golongan memiliki hukum perkawinan sendiri. sehingga hukum perkawinan yang berlaku di masyarakat bersifat pluralistis. Akibatnya, kesenjangan antar system hukum tidak bisa dihindari. Undang- Undang Perkawinan lahir sebagai upaya untuk meminimalisir kesenjangan hukum tersebut, namun kenyataannya, sekalipun sudah berlaku selama kurang lebih tiga dasawarsa kesenjangan hukum di bidang perkawinan masih banyak terjadi salah satunya adalah prnikahan di bawah umur. Tulisan ini bertujuan menjelaskan mengapa masih terjadi kesenjangan antara ketentuan perkawinan di bawah umur dalam Fikih Munakahat dan UUP dan menawarkan resolusi penyelesaian dengan menggunakan teori legal system LM. Friedman, alternative kebijakan yang diintrodusir oleh Soetandyo Wignjosoebroto dan teori harmonisasi hukum yang diintrodusir oleh L.M. Gandhi.
{"title":"KESENJANGAN ANTARA KETENTUAN PERNIKHAN DI BAWAH UMUR DALAM FIKIH MUNAKAHAT DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN","authors":"A. Halim, M. Hamsin","doi":"10.14421/al-mazaahib.v3i2.2833","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v3i2.2833","url":null,"abstract":"Sejak Pemerintah Belanda membagi rakyat Hindia Belanda menjadi tiga golongan yaitu golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan golongan Eropa, golongan pribumi, dan golongan Timur Asing, maka sejak itu pula Hukum Perdata yang berlaku pada setiap golongan berbeda-beda. Dalam bidang perkawinan misalnya, masing-masing golongan memiliki hukum perkawinan sendiri. sehingga hukum perkawinan yang berlaku di masyarakat bersifat pluralistis. Akibatnya, kesenjangan antar system hukum tidak bisa dihindari. Undang- Undang Perkawinan lahir sebagai upaya untuk meminimalisir kesenjangan hukum tersebut, namun kenyataannya, sekalipun sudah berlaku selama kurang lebih tiga dasawarsa kesenjangan hukum di bidang perkawinan masih banyak terjadi salah satunya adalah prnikahan di bawah umur. Tulisan ini bertujuan menjelaskan mengapa masih terjadi kesenjangan antara ketentuan perkawinan di bawah umur dalam Fikih Munakahat dan UUP dan menawarkan resolusi penyelesaian dengan menggunakan teori legal system LM. Friedman, alternative kebijakan yang diintrodusir oleh Soetandyo Wignjosoebroto dan teori harmonisasi hukum yang diintrodusir oleh L.M. Gandhi.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123780852","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}