Pub Date : 2019-06-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i1.1877
Siti Muazaroh, Subaidi Subaidi
Berbicara tentang manusia, tentu tidak cukup melihat dari sisi lahiriyah saja. Jauh lebih dari itu adalah sisi bathiniyahnya. Kedua wilayah ini sangat perlu diperhatikan guna mencapai kebahagian hakiki manusia yaitu dunia dan akhirat. Hal yang mendasar berkaitan dengan manusia adalah tentang kebutuhannya. Tulisan ini membahas bagaimana kebutuhan manusia menurut Maslow jika dilihat dari perspektif maqasid. Lebih lanjut akan dikomparasikan dengan pemikiran Al-ghozali yang sudah lebih dahulu ada. Hasilnya adalah Pertama, perbedaan paling mendasar antara kedua tokoh tersebut adalah tentang mana yang lebih dahulu dipenuhi (Maslow) atau mana yang harus dilindungi (Al-ghozali). Kedua, sesuai dengan basic penelitian Maslow yang berdasar pada rasio, empiric dan naluriah (ilmiah), bertepatan dengan kondisi pasca Perang Dunia II, Ia menekankan teorinya pada kebutuhan fisik manusia yang harus diutamakan dibanding kebutuhan lainnya. Sedangkan Al-ghozali dengan pendekatan tasawufnya, yang bersumber dari nash-rasio dengan latar belakang adanya krisis spiritual pada saat itu, menekankan perlindungan agama sebagai satu hal yang paling utama. Sebab, menurutnya, puncak dari maqasid syariah yang berupa maslahah adalah menjaga tujuan-tujuan syara’. Dalam hal ini adalah agama. Ketiga, Maslow menekankan puncak kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri yang lebih bersifat individual dan materialistik. Sedangkan Al-ghozali adalah maslaha am (Kesejahteraan umum). Terlepas dari beberapa perbedaan tersebut, Keduanya memiliki satu persamaan bahwa setiap manusia hakikatnya memiliki potensi dan nilai yang luhur untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik.
{"title":"KEBUTUHAN MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ABRAHAM MASLOW (TINJAUAN MAQASID SYARIAH)","authors":"Siti Muazaroh, Subaidi Subaidi","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i1.1877","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i1.1877","url":null,"abstract":"Berbicara tentang manusia, tentu tidak cukup melihat dari sisi lahiriyah saja. Jauh lebih dari itu adalah sisi bathiniyahnya. Kedua wilayah ini sangat perlu diperhatikan guna mencapai kebahagian hakiki manusia yaitu dunia dan akhirat. Hal yang mendasar berkaitan dengan manusia adalah tentang kebutuhannya. Tulisan ini membahas bagaimana kebutuhan manusia menurut Maslow jika dilihat dari perspektif maqasid. Lebih lanjut akan dikomparasikan dengan pemikiran Al-ghozali yang sudah lebih dahulu ada. Hasilnya adalah Pertama, perbedaan paling mendasar antara kedua tokoh tersebut adalah tentang mana yang lebih dahulu dipenuhi (Maslow) atau mana yang harus dilindungi (Al-ghozali). Kedua, sesuai dengan basic penelitian Maslow yang berdasar pada rasio, empiric dan naluriah (ilmiah), bertepatan dengan kondisi pasca Perang Dunia II, Ia menekankan teorinya pada kebutuhan fisik manusia yang harus diutamakan dibanding kebutuhan lainnya. Sedangkan Al-ghozali dengan pendekatan tasawufnya, yang bersumber dari nash-rasio dengan latar belakang adanya krisis spiritual pada saat itu, menekankan perlindungan agama sebagai satu hal yang paling utama. Sebab, menurutnya, puncak dari maqasid syariah yang berupa maslahah adalah menjaga tujuan-tujuan syara’. Dalam hal ini adalah agama. Ketiga, Maslow menekankan puncak kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri yang lebih bersifat individual dan materialistik. Sedangkan Al-ghozali adalah maslaha am (Kesejahteraan umum). Terlepas dari beberapa perbedaan tersebut, Keduanya memiliki satu persamaan bahwa setiap manusia hakikatnya memiliki potensi dan nilai yang luhur untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133530629","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-03-12DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i2.2862
N. Audina
Setiap kejahatan yang terjadi pasti akan menimbulkan kerugian terutama bagi pihak korban. Korban kejahatan khususnya korban pelanggaran HAM berat harus menanggung kerugian karena kejahatan yang diterimanya baik itu secara materiil maupun non materiil. Namun dalam penyelesaian perkara pidana banyak dari korban yang kurang mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan pelanggaran HAM dan merupakan hak dari seorang korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi baik itu dari ranah hukum nasional maupun internasional. Beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, misalnya KUHAP, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat. Adapun dalam hukum internasional terdapat beberapa instrument internasional yaitu Statuta Roma 1998, Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 9 (5), Piagam Afrika mengenai Hak Asasi Manusia dan Rakyat Pasal 21 (2). Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apa persamaan dan perbedaan konsep perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat dalam hukum nasional dan internasional serta apakah mekanisme perlindungan yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT (TINJAUAN HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL)","authors":"N. Audina","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i2.2862","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i2.2862","url":null,"abstract":"Setiap kejahatan yang terjadi pasti akan menimbulkan kerugian terutama bagi pihak korban. Korban kejahatan khususnya korban pelanggaran HAM berat harus menanggung kerugian karena kejahatan yang diterimanya baik itu secara materiil maupun non materiil. Namun dalam penyelesaian perkara pidana banyak dari korban yang kurang mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan pelanggaran HAM dan merupakan hak dari seorang korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi baik itu dari ranah hukum nasional maupun internasional. Beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, misalnya KUHAP, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat. Adapun dalam hukum internasional terdapat beberapa instrument internasional yaitu Statuta Roma 1998, Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 9 (5), Piagam Afrika mengenai Hak Asasi Manusia dan Rakyat Pasal 21 (2). Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apa persamaan dan perbedaan konsep perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat dalam hukum nasional dan internasional serta apakah mekanisme perlindungan yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. ","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134128541","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-30DOI: 10.14421/al-mazaahib.v6i2.2741
Udiyo Basuki
Ketentuan umum tentang pemerintahan daerah diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Penyelenggaraan otonomi daerah yang mendasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat berjalan dengan baik, jika diantaranya sumber keuangan daerah yang berasal dari Pendapatan Daerah cukup memadai. Sumber Pendapatan Daerah diantaranya berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Dengan mengedepankan optik yuridis, artikel ini hendak menyoroti upaya-upaya yang bisa dilakukan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
{"title":"Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah","authors":"Udiyo Basuki","doi":"10.14421/al-mazaahib.v6i2.2741","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v6i2.2741","url":null,"abstract":"Ketentuan umum tentang pemerintahan daerah diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Penyelenggaraan otonomi daerah yang mendasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat berjalan dengan baik, jika diantaranya sumber keuangan daerah yang berasal dari Pendapatan Daerah cukup memadai. Sumber Pendapatan Daerah diantaranya berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Dengan mengedepankan optik yuridis, artikel ini hendak menyoroti upaya-upaya yang bisa dilakukan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"35 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117235588","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v6i2.1539
Robby Kurniawan
Human rights, must be recognized, is a term that still debated in Islamic studies until now. This stems from the repetition statements: Human Rights (UDHR) are not born from the womb of Islam. This article attempts to find a way out of the complexity of the debate, with questions; How to build a conceptual relationship between sharia, as the concept of Islamic law, with Human Rights? The question about "relation" is more significant than "imposing" the concept of human rights on the concept of sharia. In order to create these relationships, the first thing to do is to realize that each term is a separate concept, which has its own basic deception as well. Instead, both have in common with each other. Such is the benefit and the essence of life. This point of commonality becomes a bridge that allows them to complement, and build, each other. This is where the maqasid shariah becomes inevitable in the study of Islam. Itbecomes the explanation of the connectedness of Islamic studies with other concept, in this case, Human Rights. The explanation aboutmaqasid shariah in this article is limited to the concept of maqasid Jasser Auda and Abdullahi Ahmad an-Naim. The first name is closely aligned in contemporary maqasid discourse with the system approach. While the second name, although not classified on the Maqasid figure, but has an important viewof the prospects of sharia progress.Auda offers optimization of cognition features; wholeness; openess; interelated hierarchy; multidimensionality, all of which are connected in purposefullness features. Along with that, an-Naim advocated an emphasis on the need for universal verses of Makkiyah adopted in Islamic law, other than Madaniyah. He also said, public reason is an important keyword that should not be forgotten by the law and policy formulator. In establishing the conceptual relationship between shariah and human rights, the concepts of Auda and an-Naim will be used to read three important aspects of sharia, namely, definition, source reading method, and ijtihad process to discover the truth of the law. The conclusion is that the conceptual relationship between the two can only be built by emphasizing three main points, they are 1) Changing the concept of sharia closed to the concept of open sharia with the discourse of contemporary; 2) Increase the sources of Islamic law which will be used by the Mujtahids, by input the human values as one of the things that must be considered and inspired in arrange legal products; 3) The sources of sharia should be read in such a way as to take into account the aspect of the human istidrak which cannot be detached from it.
人权,必须得到承认,是一个直到现在仍在伊斯兰研究中争论的术语。这源于一再重复的声明:人权不是从伊斯兰教的子宫中诞生的。这篇文章试图找到一种方法来摆脱争论的复杂性,用问题;如何在伊斯兰教法这一概念与人权之间建立一种概念关系?关于“关系”的问题比将人权概念“强加”于伊斯兰教法的概念更为重要。为了建立这些关系,首先要做的是认识到每个术语都是一个独立的概念,它也有自己的基本欺骗。相反,两者之间有共同之处。这就是生命的好处和本质。这一点的共性成为一个桥梁,使他们能够相互补充和建立。这就是在研究伊斯兰教时,麦加德教法不可避免的地方。它解释了伊斯兰研究与其他概念的联系,在这种情况下,是人权。本文对maqasid shariah的解释仅限于maqasid Jasser Auda和Abdullahi Ahmad an-Naim的概念。在当代马卡西德话语中,第一个名字与系统方法密切相关。而第二个名字,虽然没有被归类为马卡西德的人物,但却对伊斯兰教法进步的前景有着重要的看法。奥迪提供了认知功能的优化;整体性;开放;interelated层次结构;多维度,所有这些都是有目的性的。与此同时,安-纳伊姆主张强调在伊斯兰法律中采用麦基耶的普遍经文的必要性,而不是Madaniyah。他还表示:“公共理性是制定法律和政策的人不能忘记的重要关键词。”在建立伊斯兰教法与人权之间的概念关系时,将使用Auda和an-Naim的概念来解读伊斯兰教法的三个重要方面,即定义、来源阅读方法和发现法律真理的伊智提哈德过程。本文的结论是,要构建二者的概念关系,必须强调三点:1)用当代话语将封闭的伊斯兰教法概念转变为开放的伊斯兰教法概念;2)增加伊斯兰教法的来源,这将被圣战者使用,通过输入人类价值作为必须考虑和启发安排法律产品的事情之一;3)伊斯兰教法的来源应该以这样一种方式来解读,即考虑到人类文明不能与之分离的方面。
{"title":"MAQASID SYARIAH DAN PEMBANGUNAN HAK ASASI MANUSIA","authors":"Robby Kurniawan","doi":"10.14421/al-mazaahib.v6i2.1539","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v6i2.1539","url":null,"abstract":"Human rights, must be recognized, is a term that still debated in Islamic studies until now. This stems from the repetition statements: Human Rights (UDHR) are not born from the womb of Islam. This article attempts to find a way out of the complexity of the debate, with questions; How to build a conceptual relationship between sharia, as the concept of Islamic law, with Human Rights? The question about \"relation\" is more significant than \"imposing\" the concept of human rights on the concept of sharia. In order to create these relationships, the first thing to do is to realize that each term is a separate concept, which has its own basic deception as well. Instead, both have in common with each other. Such is the benefit and the essence of life. This point of commonality becomes a bridge that allows them to complement, and build, each other. This is where the maqasid shariah becomes inevitable in the study of Islam. Itbecomes the explanation of the connectedness of Islamic studies with other concept, in this case, Human Rights. The explanation aboutmaqasid shariah in this article is limited to the concept of maqasid Jasser Auda and Abdullahi Ahmad an-Naim. The first name is closely aligned in contemporary maqasid discourse with the system approach. While the second name, although not classified on the Maqasid figure, but has an important viewof the prospects of sharia progress.Auda offers optimization of cognition features; wholeness; openess; interelated hierarchy; multidimensionality, all of which are connected in purposefullness features. Along with that, an-Naim advocated an emphasis on the need for universal verses of Makkiyah adopted in Islamic law, other than Madaniyah. He also said, public reason is an important keyword that should not be forgotten by the law and policy formulator. In establishing the conceptual relationship between shariah and human rights, the concepts of Auda and an-Naim will be used to read three important aspects of sharia, namely, definition, source reading method, and ijtihad process to discover the truth of the law. The conclusion is that the conceptual relationship between the two can only be built by emphasizing three main points, they are 1) Changing the concept of sharia closed to the concept of open sharia with the discourse of contemporary; 2) Increase the sources of Islamic law which will be used by the Mujtahids, by input the human values as one of the things that must be considered and inspired in arrange legal products; 3) The sources of sharia should be read in such a way as to take into account the aspect of the human istidrak which cannot be detached from it.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"25 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133806365","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v6i2.1483
Gilang Kresnanda Annas
Anak merupakan anugrah dari Tuhan YME, yang didalamnya melekat harkat dan martabat sebagai sosok manusia yang seutuhnya. Setiap anak dalam masa pertumbuhannya harus mendapatkan pemenuhan akan hak-hak yang melekat pada dirinya dan mendapatkan perlindungan hukum. Sebagai Negara hukum, pemerintah melalui keppres Nomor 36 Tahun 1990 telah memberikan ruang gerak yang lebih dalam proses perlindungan terhadap hak-hak anak. Namun pada kennyataanya masalah perlindungan anak masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pemenuhan akan hak-haknya dan tidak mendapatkan keadilan khususnya menyangkut perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus berdasar pada “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pelaksanaan perlindungan hukum kepada anak yang berhadapan dengan hukum memiliki prinsip “the best Interest for the child” yang bermakna bahwa setiap tindakan/keputusan yang hendak diambil maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Apabila perlu diberikan sanksi maka penjatuhan sanksi yang tepat dengan didukung melalui proses penyelesaian sebagaian perkara anak diarahkan dengan pengembangan diversi dan restorative justice Konsep diversi dan restorative justice merupakan sebuah cara baru untuk menghindarkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk keluar dari Sistem Peradilan Pidana. Diversi dan restorative justice dapat dilakukan dengan syarat bahwa perbuatan tersebut diancam dengan pidana dibawah 7 Tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK","authors":"Gilang Kresnanda Annas","doi":"10.14421/al-mazaahib.v6i2.1483","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v6i2.1483","url":null,"abstract":"Anak merupakan anugrah dari Tuhan YME, yang didalamnya melekat harkat dan martabat sebagai sosok manusia yang seutuhnya. Setiap anak dalam masa pertumbuhannya harus mendapatkan pemenuhan akan hak-hak yang melekat pada dirinya dan mendapatkan perlindungan hukum. Sebagai Negara hukum, pemerintah melalui keppres Nomor 36 Tahun 1990 telah memberikan ruang gerak yang lebih dalam proses perlindungan terhadap hak-hak anak. Namun pada kennyataanya masalah perlindungan anak masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pemenuhan akan hak-haknya dan tidak mendapatkan keadilan khususnya menyangkut perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus berdasar pada “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pelaksanaan perlindungan hukum kepada anak yang berhadapan dengan hukum memiliki prinsip “the best Interest for the child” yang bermakna bahwa setiap tindakan/keputusan yang hendak diambil maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Apabila perlu diberikan sanksi maka penjatuhan sanksi yang tepat dengan didukung melalui proses penyelesaian sebagaian perkara anak diarahkan dengan pengembangan diversi dan restorative justice Konsep diversi dan restorative justice merupakan sebuah cara baru untuk menghindarkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk keluar dari Sistem Peradilan Pidana. Diversi dan restorative justice dapat dilakukan dengan syarat bahwa perbuatan tersebut diancam dengan pidana dibawah 7 Tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"35 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125244563","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v6i2.1555
A. Halim
Wasiat wajibah in Article 209 of KHI which is different from the wasiat wajibah existing in other Islamic countries as stated above, in the perspective of ushul fiqh (istihsan) does not violate the provisions of Islamic inheritance law because adopted children and adoptive parents remain positioned not as heirs. The right’s granting to them through a wasiat wajibah that does not exceed 1/3 solely to accommodate local wisdom and to maintain the sense of justice of Indonesian Islamic society. The reconstruction of wasiat wajibah by the Supreme Court to resolve new cases confronted to them by applying the legislative approach with the legal discovery method that is grammatical interpretation method, teleological/sociological interpretation, and argumentum per analogium/analogy in the perspective of ushul fiqh do not violate lugawiyah and ma'nawiyah rules. This reconstruction is very necessary to ensure the certainty and unity of law in accordance with the conditions of the needs and legal awareness of Muslims in Indonesia.
{"title":"WASIAT WAJIBAH DAN PERKEMBANGAN PENERAPANNYADALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG","authors":"A. Halim","doi":"10.14421/al-mazaahib.v6i2.1555","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v6i2.1555","url":null,"abstract":"Wasiat wajibah in Article 209 of KHI which is different from the wasiat wajibah existing in other Islamic countries as stated above, in the perspective of ushul fiqh (istihsan) does not violate the provisions of Islamic inheritance law because adopted children and adoptive parents remain positioned not as heirs. The right’s granting to them through a wasiat wajibah that does not exceed 1/3 solely to accommodate local wisdom and to maintain the sense of justice of Indonesian Islamic society. The reconstruction of wasiat wajibah by the Supreme Court to resolve new cases confronted to them by applying the legislative approach with the legal discovery method that is grammatical interpretation method, teleological/sociological interpretation, and argumentum per analogium/analogy in the perspective of ushul fiqh do not violate lugawiyah and ma'nawiyah rules. This reconstruction is very necessary to ensure the certainty and unity of law in accordance with the conditions of the needs and legal awareness of Muslims in Indonesia.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"7 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125922475","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-10-09DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i1.1878
Ali Fikri
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki fatwa yang berbeda terkait dengan qada salat untuk orang meninggal. Menurut fatwa Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, qada salat untuk orang meninggal itu boleh dikerjakan oleh orang lain, apabila masih ada hubungan famili atau izin famili. Apabila qada itu telah dikerjakan, maka tidak boleh dikerjakan lagi. Lain halnya dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah, dalam fatwanya yaitu qada salat untuk orang meninggal tidak dibenarkan untuk dilakukan. Ada beberapa dalil yang digunakan oleh Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang masih umum, namun sudah dikhususkan oleh dalil-dalil lainnya. Istinbat hukum dari kedua ormas tersebut hasilnya berbeda, namun sesuai dengan kaidah fiqh yang dikemukakan ulama Hanafiyyah yaitu “mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari pada meninggalkan salah satu diantaranya”. Dengan demikian, dalil dari Istinbat hukum oleh kedua ormas tersebut hasilnya boleh diamalkan.
{"title":"HUKUM QADA SALAT UNTUK ORANG MENINGGAL (STUDI KOMPARATIF FATWA LAJNAH BAHTSUL MASAIL NAHDLATUL ULAMA DAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH)","authors":"Ali Fikri","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i1.1878","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i1.1878","url":null,"abstract":"Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki fatwa yang berbeda terkait dengan qada salat untuk orang meninggal. Menurut fatwa Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, qada salat untuk orang meninggal itu boleh dikerjakan oleh orang lain, apabila masih ada hubungan famili atau izin famili. Apabila qada itu telah dikerjakan, maka tidak boleh dikerjakan lagi. Lain halnya dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah, dalam fatwanya yaitu qada salat untuk orang meninggal tidak dibenarkan untuk dilakukan. Ada beberapa dalil yang digunakan oleh Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang masih umum, namun sudah dikhususkan oleh dalil-dalil lainnya. Istinbat hukum dari kedua ormas tersebut hasilnya berbeda, namun sesuai dengan kaidah fiqh yang dikemukakan ulama Hanafiyyah yaitu “mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari pada meninggalkan salah satu diantaranya”. Dengan demikian, dalil dari Istinbat hukum oleh kedua ormas tersebut hasilnya boleh diamalkan.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129552038","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-08-20DOI: 10.14421/al-mazaahib.v7i1.2204
H. Rosidah
Sujud merupakan salah satu rukun salat, dimana rukun merupakan bagian penting dari salat itu sendiri dan keabsahan salat bergantung padanya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tata cara sujud, disini ada beberapa perbedaan, yaitu ada beberapa hadis yang saling bertentangan. Penulis membahas hadis yang terdapat dalam Sunan Abu Dawud, yaitu hadis tentang mendahulukan tangan atau lutut saat sujud. Problematika yang penulis bahas dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis ta’arud al-adillah terhadap hubungan dua hadis tentang mendahulukan tangan atau mendahulukan lutut saat sujud. Karena realita di masyarakat, masih banyak yang belum mengetahui tentang manakah diantara kedua hadis itu yang kualitas hadisnya lebih unggul. Selain itu, kebanyakan masyarakat mempraktekannya mengikuti sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh orang tuanya, atau mereka hanya taqlid saja. Terkait hal perbedaan tentang tata cara sujud ini, terkadang antara yang satu dengan yang lainnya terjadi persilihan sehingga saling menyalahkan. Untuk menjawab pokok permasalahan diatas maka penulis menggunakan penelitian kepustakaan ( Library Research) yaitu menganalisis muatan literatur-literatur yang terkait dengan perbandingan antara hubungan dua hadis tentang tata cara sujud antara mendahulukan tangan atau mendahulukan lutut. Sifat penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif analisis komparatif, yaitu penulis menggambarkan secara jelas dan terperinci tentang hubungan dua hadis antara mendahulukan tangan atau mendahulukan lutut ketika melakukan sujud, kemudian menganalisisnya. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa teori ta’arud al-adillah yaitu tinjauan tentang konsep ushul fiqh yang menggambarkan adanya pertentangan dua dalil yang sama-sama kuat derajatnya. Adapun cara penyelesaian ta’arud al-adillah ada empat cara yang dapat ditempuh, yaitu: pertama, jam’u wa attaufiq (mengkompromikan kedua dalil), kedua, tarjih (memilih dari dua dalil yang lebih kuat derajatnya), ketiga, Nasakh, yaitu dengan cara meneliti mana diantara dua dalil itu yang lebih dahulu datang, dan keempat, tasaquth dalilain (meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil lain yang lebih rendah kualitasnya). Dari beberapa cara penyelesaian ta’arud al-adillah tersebut, di sini penulis menggukan cara jam’u wa at-taufiq serta tarjih dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Alasan menggunakan cara jam’u wa at-taufiq, karena mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan/mengabaikan dalil yang lainnya. Alasan menggunakan tarjih, karena hadis yang mendahulukan tangan derajatnya lebih unggul dibanding dengan hadis yang mendahulukan lutut. Kedua hadis tersebut merupakan hadis yang maqbul, yaitu hadis yang dapat diterima sebagai hujjah dan dapat diamalkan. Hadis mendahulukan tangan lebih dimenangkan karena ia merupakan hadis yang memiliki kualitas s}ahih ligairihi, sedangkan hadis tentang mendahulukan lutut berstatus hasan ligairihi. Jika dilihat dari segi ilmu ulumul hadis, ke
敬礼是一种祈祷,这种祈祷本身是祈祷的重要组成部分,祈祷的合法性取决于它。在执行朝拜仪式方面,有一些不同,也有一些相互冲突的圣训。作者讨论了在苏南阿布杜尔的圣训中发现的圣训,该圣训指的是跪着的手或膝盖。作者在本研究中讨论的问题是,如何分析两个圣像之间的关系,即手的位置或膝盖的位置。由于当今社会的现实,许多人仍然不知道这两种圣训中哪一种是圣训的最高品质。此外,大多数社会要么遵循父母教给他们的东西,要么选择定居。至于这些鞠躬仪式的不同之处,有时两者之间会发生冲突,导致相互指责。为了回答上述问题,作者使用图书馆研究的方法是分析相关文献的内容,比较手和膝盖之间的低头仪式关系。作者使用的研究性质是比较分析的描述性分析,作者清楚而详细地描述了一个人在低头时把手放在膝盖之间的两种仪式之间的关系,然后分析它。根据这项研究,我们可以得出结论,塔阿德·阿达拉的理论是乌什尔·菲克赫的概念概述了两项同样强大的论点的对比。至于结算方式ta 'arud al-adillah有四个点的方式,即:第一,才能到达'u wa attaufiq(第二定理),妥协,tarjih(选择的两个定理,更强大的区域),第三,Nasakh方式,即先那个定理之间的研究哪里来,第四,tasaquth dalilain(第二离开并寻找另一个定理,定理,较低的质量)。在塔阿德·阿拉的几个解决方案中,这位作者在这里提出了几个小时的方法来解决这个问题。使用当时的方法使用第二个命理学总比抛弃其他命理学好使用塔尔吉的原因是,圣训的手比拜尔的手更优越。这两个圣训都是maqbul的圣训,也就是可以接受为hujjah和正式化的圣训。Hadis把更多的手放在第一位,因为他是一个拥有ligairihi品质的圣训,而圣训则是把哈桑的膝盖放在ligairihi地位的圣训。从乌勒穆·哈迪斯的科学观点来看,阿里希·利加利希比哈桑·利加利希的圣训要高得多。
{"title":"HUKUM MELAKUKAN SUJUD ANTARA MENDAHULUKAN TANGAN DAN MENDAHULUKAN LUTUT (TELAAH TA’ARUD AL-ADILLAH ATAS HADISHADIS TERKAIT)","authors":"H. Rosidah","doi":"10.14421/al-mazaahib.v7i1.2204","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v7i1.2204","url":null,"abstract":"Sujud merupakan salah satu rukun salat, dimana rukun merupakan bagian penting dari salat itu sendiri dan keabsahan salat bergantung padanya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tata cara sujud, disini ada beberapa perbedaan, yaitu ada beberapa hadis yang saling bertentangan. Penulis membahas hadis yang terdapat dalam Sunan Abu Dawud, yaitu hadis tentang mendahulukan tangan atau lutut saat sujud. Problematika yang penulis bahas dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis ta’arud al-adillah terhadap hubungan dua hadis tentang mendahulukan tangan atau mendahulukan lutut saat sujud. Karena realita di masyarakat, masih banyak yang belum mengetahui tentang manakah diantara kedua hadis itu yang kualitas hadisnya lebih unggul. Selain itu, kebanyakan masyarakat mempraktekannya mengikuti sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh orang tuanya, atau mereka hanya taqlid saja. Terkait hal perbedaan tentang tata cara sujud ini, terkadang antara yang satu dengan yang lainnya terjadi persilihan sehingga saling menyalahkan. Untuk menjawab pokok permasalahan diatas maka penulis menggunakan penelitian kepustakaan ( Library Research) yaitu menganalisis muatan literatur-literatur yang terkait dengan perbandingan antara hubungan dua hadis tentang tata cara sujud antara mendahulukan tangan atau mendahulukan lutut. Sifat penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif analisis komparatif, yaitu penulis menggambarkan secara jelas dan terperinci tentang hubungan dua hadis antara mendahulukan tangan atau mendahulukan lutut ketika melakukan sujud, kemudian menganalisisnya. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa teori ta’arud al-adillah yaitu tinjauan tentang konsep ushul fiqh yang menggambarkan adanya pertentangan dua dalil yang sama-sama kuat derajatnya. Adapun cara penyelesaian ta’arud al-adillah ada empat cara yang dapat ditempuh, yaitu: pertama, jam’u wa attaufiq (mengkompromikan kedua dalil), kedua, tarjih (memilih dari dua dalil yang lebih kuat derajatnya), ketiga, Nasakh, yaitu dengan cara meneliti mana diantara dua dalil itu yang lebih dahulu datang, dan keempat, tasaquth dalilain (meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil lain yang lebih rendah kualitasnya). Dari beberapa cara penyelesaian ta’arud al-adillah tersebut, di sini penulis menggukan cara jam’u wa at-taufiq serta tarjih dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Alasan menggunakan cara jam’u wa at-taufiq, karena mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan/mengabaikan dalil yang lainnya. Alasan menggunakan tarjih, karena hadis yang mendahulukan tangan derajatnya lebih unggul dibanding dengan hadis yang mendahulukan lutut. Kedua hadis tersebut merupakan hadis yang maqbul, yaitu hadis yang dapat diterima sebagai hujjah dan dapat diamalkan. Hadis mendahulukan tangan lebih dimenangkan karena ia merupakan hadis yang memiliki kualitas s}ahih ligairihi, sedangkan hadis tentang mendahulukan lutut berstatus hasan ligairihi. Jika dilihat dari segi ilmu ulumul hadis, ke","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131097294","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-06-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v6i1.1528
I. Agustin
Perkawinan dilaksanakan untuk membentuk keluarga yang kekal, bahagia dan sejahtera. Faktor psikologis maupun fisiologis dari masing-masing mempelai dapat mempengaruhi keberlangsungan rumah tangganya. Dengan demikian sangatlah perlu adanya pembatasan usia untuk melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu, kajian-kajian pembaharuan hukum keluarga di negara-negara Islam salah satunya membahas mengenai penentuan batas usia perkawinan. Indonesia mempunyai ketentuan mengenai batas usia perkawinan yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Sedangkan di Malaysia khususnya di wilayah persekutuan menetapkan batas usia perkawinan bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 16 tahun. Indonesia dan Malaysia merupakan negara di Asia Tenggara yang penduduknya mayoritas beragama Islam dan bermazhab Syafi’i. Artikel ini akan menelusuri latar belakang filosofis serta metode yang digunakan untuk menetapkan batas usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia.
{"title":"PENETAPAN USIA PERKAWINAN DI INDONESIA DAN (WILAYAH PERSEKUTUAN) MALAYSIA Menelusri Latar Belakang Filosofis dan Metode yang Digunakan","authors":"I. Agustin","doi":"10.14421/al-mazaahib.v6i1.1528","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v6i1.1528","url":null,"abstract":"Perkawinan dilaksanakan untuk membentuk keluarga yang kekal, bahagia dan sejahtera. Faktor psikologis maupun fisiologis dari masing-masing mempelai dapat mempengaruhi keberlangsungan rumah tangganya. Dengan demikian sangatlah perlu adanya pembatasan usia untuk melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu, kajian-kajian pembaharuan hukum keluarga di negara-negara Islam salah satunya membahas mengenai penentuan batas usia perkawinan. Indonesia mempunyai ketentuan mengenai batas usia perkawinan yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Sedangkan di Malaysia khususnya di wilayah persekutuan menetapkan batas usia perkawinan bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 16 tahun. Indonesia dan Malaysia merupakan negara di Asia Tenggara yang penduduknya mayoritas beragama Islam dan bermazhab Syafi’i. Artikel ini akan menelusuri latar belakang filosofis serta metode yang digunakan untuk menetapkan batas usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"21 4","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114021514","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-06-01DOI: 10.14421/al-mazaahib.v6i1.1531
Muhammad Fikri Maulana
Problematika penentuan awal bulan Kamariah kerap menimbulkan perbedaan dalam penentuannya. Perbedaan penentuannya tidak hanya terjadi pada ormas besar yang ada di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, perbedaan juga muncul pada aliran-aliran tarekat yang diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia, salah satunya Tarekat Naqsabandiyah di Pauh, kota Padang dan Tarekat Naqsabandiyah di Babussalam, Langkat meski berasal dari satu tarekat yang sama. Perbedaan tempat, sejarah, dan guru-guru Tarekat Naqsabandiyah memberi pengaruh terhadap perbedaan metode yang digunakan oleh kedua tarekat di dua tempat berbeda ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Tarekat Naqsabandiyah Pauh, kota Padang dan Tarekat Naqsabandiyah Babussalam, Langkat dan metode pengambilan hukum yang digunakan dalam metode penentuan awal bulan Kamariah.
{"title":"PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH STUDI PERBANDINGAN TAREKAT NAQSABANDIYAH PAUH, KOTA PADANG DENGAN TAREKAT NAQSABANDIYAH BABUSSALAM, LANGKAT","authors":"Muhammad Fikri Maulana","doi":"10.14421/al-mazaahib.v6i1.1531","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v6i1.1531","url":null,"abstract":"Problematika penentuan awal bulan Kamariah kerap menimbulkan perbedaan dalam penentuannya. Perbedaan penentuannya tidak hanya terjadi pada ormas besar yang ada di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, perbedaan juga muncul pada aliran-aliran tarekat yang diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia, salah satunya Tarekat Naqsabandiyah di Pauh, kota Padang dan Tarekat Naqsabandiyah di Babussalam, Langkat meski berasal dari satu tarekat yang sama. Perbedaan tempat, sejarah, dan guru-guru Tarekat Naqsabandiyah memberi pengaruh terhadap perbedaan metode yang digunakan oleh kedua tarekat di dua tempat berbeda ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Tarekat Naqsabandiyah Pauh, kota Padang dan Tarekat Naqsabandiyah Babussalam, Langkat dan metode pengambilan hukum yang digunakan dalam metode penentuan awal bulan Kamariah.","PeriodicalId":375931,"journal":{"name":"Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131576434","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}