Perjanjian adalah hal penting yang harus dilakukan dalam bidang persaingan bisnis, tolok ukur validitas perjanjian menjadi penting ketika pelaku bisnis membuat berbagai macam perjanjian yang tidak sesuai dengan asas serta aturan yang terkandung dalam Burgerlijk Wetboek(BW), sehingga pelaku usaha mendalilkan bahwa tidak ada kesepakatan di antara mereka karena tidak ada unsur "setuju" di antara para pelaku bisnis yang menjadi syarat utama dalam validitas perjanjian di dalam BW. Dalam hal demikian, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sebagai suatu lembaga penegak hukum memiliki peran yang sangat penting di dalamnya, dengan kewenangan KPPU dapat menjebak pelaku usaha. Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitan normatif dan pendektan peraturan perundang-undangan (statue approach) serta Pendektan Konseptual ( Conceptual Approach). Sehingga dengan penelitian ini KPPU dapat mengkategorikan perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh pelaku bisnis sebagai perjanjian berdasarkan pembagian bukti yang dapat dilakukan oleh KPPU seperti bukti keras dan bukti langsung dan dengan berbagi berbagai pendekatan yang dimiliki KPPU seperti penerapan konsep praktik bersama .
{"title":"ANALISA YURIDIS KONSEP PERJANJIAN DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA","authors":"Ratna Maya Permatasari Anggraeni Basuki, Nia Yustisia Agni, Ary Kukuh Rismoyo","doi":"10.35586/jyur.v7i2.1648","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/jyur.v7i2.1648","url":null,"abstract":"Perjanjian adalah hal penting yang harus dilakukan dalam bidang persaingan bisnis, tolok ukur validitas perjanjian menjadi penting ketika pelaku bisnis membuat berbagai macam perjanjian yang tidak sesuai dengan asas serta aturan yang terkandung dalam Burgerlijk Wetboek(BW), sehingga pelaku usaha mendalilkan bahwa tidak ada kesepakatan di antara mereka karena tidak ada unsur \"setuju\" di antara para pelaku bisnis yang menjadi syarat utama dalam validitas perjanjian di dalam BW. Dalam hal demikian, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sebagai suatu lembaga penegak hukum memiliki peran yang sangat penting di dalamnya, dengan kewenangan KPPU dapat menjebak pelaku usaha. Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitan normatif dan pendektan peraturan perundang-undangan (statue approach) serta Pendektan Konseptual ( Conceptual Approach). Sehingga dengan penelitian ini KPPU dapat mengkategorikan perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh pelaku bisnis sebagai perjanjian berdasarkan pembagian bukti yang dapat dilakukan oleh KPPU seperti bukti keras dan bukti langsung dan dengan berbagi berbagai pendekatan yang dimiliki KPPU seperti penerapan konsep praktik bersama .","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"127 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116331012","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Arbitrase merupakan salah satu bentuk cara penyelesaian sengketa perdata yang timbul dari pelaksanaan suatu perjanjian diantara para pihak. Sengketa pardata dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) jika dalam perjanjian yang dibaut oleh para pihak tercantum klausula pilihan jika terjadi sengketa akan diselesaikan melalui BANI. Putusan BANI harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang terikat dalam perjanjian, dan jika putusan tidak dilaksanakan secara sukarela maka akan dilakukan eksekusi oleh Pengadilan Negeri. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan pengkajian terhadap data sekunder seperti perundang-undangan, putusan, serta bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyelesaian sengketa perdata melalui BANI terdiri dari 3 (tiga) tahapan yaitu pra persidangan, masa persidangan dan pasca persidangan. Dalam implementasinya putusan BANI memiliki kekuatan eksekutorial apabila putusan arbitrase tersebut telah didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Meskipun BANI merupakan lembaga arbitrase institusional namun dalam prinsipnya penetapan perintah pelaksanaan eksekusi tetap dilakukan oleh Pengadilan Negeri karena BANI bukanlah badan peradilan sehingga tidak memiliki perangkat jurusita, serta tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi. Sebaiknya putusan BANI bisa dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik baik dan secara sukarela tanpa harus melibatkan Pengadilan Negeri untuk melakukan eksekusi.
{"title":"IMPLEMENTASI EKSEKUSI PUTUSAN BANI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA","authors":"Heru Suyanto, Heru Sugiyono, Ilvana Oktalia","doi":"10.35586/jyur.v7i2.2101","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/jyur.v7i2.2101","url":null,"abstract":"Arbitrase merupakan salah satu bentuk cara penyelesaian sengketa perdata yang timbul dari pelaksanaan suatu perjanjian diantara para pihak. Sengketa pardata dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) jika dalam perjanjian yang dibaut oleh para pihak tercantum klausula pilihan jika terjadi sengketa akan diselesaikan melalui BANI. Putusan BANI harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang terikat dalam perjanjian, dan jika putusan tidak dilaksanakan secara sukarela maka akan dilakukan eksekusi oleh Pengadilan Negeri. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan pengkajian terhadap data sekunder seperti perundang-undangan, putusan, serta bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyelesaian sengketa perdata melalui BANI terdiri dari 3 (tiga) tahapan yaitu pra persidangan, masa persidangan dan pasca persidangan. Dalam implementasinya putusan BANI memiliki kekuatan eksekutorial apabila putusan arbitrase tersebut telah didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Meskipun BANI merupakan lembaga arbitrase institusional namun dalam prinsipnya penetapan perintah pelaksanaan eksekusi tetap dilakukan oleh Pengadilan Negeri karena BANI bukanlah badan peradilan sehingga tidak memiliki perangkat jurusita, serta tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi. Sebaiknya putusan BANI bisa dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik baik dan secara sukarela tanpa harus melibatkan Pengadilan Negeri untuk melakukan eksekusi.","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126379343","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Keberadaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara berbeda dengan undang-undang kepegawaian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada adanya pegawai pemerintahan lain selain PNS, yaitu Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Apabila kita kaitkan dengan bentuk pengangkatan PPPK adalah dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu, maka secara tersirat kedudukan PPPK adalah pegawai pemerintah yang memiliki kekuatan hukum pada perjanjian kerja. Perjanjian kerja bagi PPPK merupakan pengikat hubungan hukum antara pegawai pemerintahan Non-PNS dengan instansi pemerintah yang mempekerjakannya. Perjanjian kerja tersebut berakibat hukum lahirnya hubungan hukum keperdataan. Mengikatnya hubungan hukum keperdataan ditunjukkan melalui kesepakatan kedua pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian berimplikasi terhadap perlindungan hukum hak-hak pekerja. Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Mengingat pentingnya hal-hal tersebut diatas, Penulis mengkaji dengan metode yuridis normative tentang pelaksanaan pengangkatan PPPK berdasarkan Undang-Undang ASN dan pengangkatan PPPK yang memberikan perlindungan hukum bagi calon pegawai pemerintah di institusi perguruan tinggi. Analisa permasalahan dikaitkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga dapat menggambarkan tentang pelaksanaan pengangkatan PPPK di institusi perguruan tinggi dapat memberikan perlindungan hukum.
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK) DALAM KONSEP PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DI INSTITUSI PERGURUAN TINGGI","authors":"D. Ramadhani, I. Joesoef","doi":"10.35586/jyur.v7i1.1308","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/jyur.v7i1.1308","url":null,"abstract":"Keberadaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara berbeda dengan undang-undang kepegawaian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada adanya pegawai pemerintahan lain selain PNS, yaitu Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Apabila kita kaitkan dengan bentuk pengangkatan PPPK adalah dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu, maka secara tersirat kedudukan PPPK adalah pegawai pemerintah yang memiliki kekuatan hukum pada perjanjian kerja. Perjanjian kerja bagi PPPK merupakan pengikat hubungan hukum antara pegawai pemerintahan Non-PNS dengan instansi pemerintah yang mempekerjakannya. Perjanjian kerja tersebut berakibat hukum lahirnya hubungan hukum keperdataan. Mengikatnya hubungan hukum keperdataan ditunjukkan melalui kesepakatan kedua pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian berimplikasi terhadap perlindungan hukum hak-hak pekerja. Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Mengingat pentingnya hal-hal tersebut diatas, Penulis mengkaji dengan metode yuridis normative tentang pelaksanaan pengangkatan PPPK berdasarkan Undang-Undang ASN dan pengangkatan PPPK yang memberikan perlindungan hukum bagi calon pegawai pemerintah di institusi perguruan tinggi. Analisa permasalahan dikaitkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga dapat menggambarkan tentang pelaksanaan pengangkatan PPPK di institusi perguruan tinggi dapat memberikan perlindungan hukum.","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131831342","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penegakan hukum merupakan suatu keharusan yang dijalankan negara dalam melindungi warganya, karena penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya adalah bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana diwujudkan melalui suatu kebijakan hukum yang merupakan bagian dari politik hukum nasional. Hal ini melibatkan berbagai unsur dalam negara, mulai dari pembuat undang-undang, aparat penegak hukum, sampai warga negara. Fokus pembahasan makalah ini adalah bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap penanggulangan kejahatan, dan faktor apakah yang dapat menunjang penerapan kebijakan penegakan hukum pidana terhadap penanggulangan kejahatan. Pembahasan makalah ini terdiri dari empat poin utama, yaitu kebijakan penegakan hukum, faktor perundang-undangan, faktor penegak hukum, dan faktor budaya hukum masyarakat. Kajian ini berkesimpulan bahwa kebijakan penegakan hukum pidana dapat dimulai dengan pembentukan produk hukum yang tepat dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Adapun kendala yang dihadapi penegakan hukum dapat bersumber dari perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat.
{"title":"KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA","authors":"Vivi Ariyanti","doi":"10.35586/jyur.v6i2.789","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/jyur.v6i2.789","url":null,"abstract":"Penegakan hukum merupakan suatu keharusan yang dijalankan negara dalam melindungi warganya, karena penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya adalah bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana diwujudkan melalui suatu kebijakan hukum yang merupakan bagian dari politik hukum nasional. Hal ini melibatkan berbagai unsur dalam negara, mulai dari pembuat undang-undang, aparat penegak hukum, sampai warga negara. Fokus pembahasan makalah ini adalah bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap penanggulangan kejahatan, dan faktor apakah yang dapat menunjang penerapan kebijakan penegakan hukum pidana terhadap penanggulangan kejahatan. Pembahasan makalah ini terdiri dari empat poin utama, yaitu kebijakan penegakan hukum, faktor perundang-undangan, faktor penegak hukum, dan faktor budaya hukum masyarakat. Kajian ini berkesimpulan bahwa kebijakan penegakan hukum pidana dapat dimulai dengan pembentukan produk hukum yang tepat dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Adapun kendala yang dihadapi penegakan hukum dapat bersumber dari perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat.","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"13 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131676765","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga harus mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 10 Undang-Undnag Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan,pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban,pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pelayanan bimbingan rohani.Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui penelitian hukum normatif. Penelitian normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, khususnya yang dalam hal ini berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA","authors":"S. Sulastri, Satino Satino, W. YulianaYuli","doi":"10.35586/jyur.v6i2.1309","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/jyur.v6i2.1309","url":null,"abstract":"Istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga harus mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 10 Undang-Undnag Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan,pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban,pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pelayanan bimbingan rohani.Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui penelitian hukum normatif. Penelitian normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, khususnya yang dalam hal ini berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. ","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123836296","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-07-22DOI: 10.24090/yinyang.v14i1.2859
Anifatul Kiftiyah
Perempuan sering menjadi sorotan dalam masyarakat, dimana perempuan dipandang sebagai makhluk kedua. Patriarki adalah budaya dimana posisi laki-laki dianggap kedudukannya lebih mulia dari kedudukan perempuan. Islam sendiri menghendaki adanya kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, misal di bidang politik. Terdapat dua ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam agar melakukan musyawarah (QS. al-Syura: 38 dan QS. Ali ‘Imran: 159). Pada tahun 1998, kaum perempuan mulai berani menyuarakan pendapatnya. Muculnya gerakan-gerakan yang menyuarakan kesetaraan kedudukan antara kaum laki-laki dan perempuan. Dalam ranah politik contohnya adalah adanya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Indonesia telah mengakomodir peran perempuan dalam politik, sebagaimana diamanatkan UU No. 2 tahun 2008 dan UU No. 7 tahun 2017. Meskipun demikian dalam realitanya justru berbanding terbalik, keterlibatan perempuan dalam bidang politik sebagai anggota legislatif belum terlaksana secara maksimal. Penilitian ini membahas tentang peran perempuan dalam politik kebangsaan dengan metode analisis historis, sebuah analisis yang berdasarkan pada sejarah yang telah terjadi.
{"title":"PEREMPUAN DALAM PARTISIPASI POLITIK DI INDONESIA","authors":"Anifatul Kiftiyah","doi":"10.24090/yinyang.v14i1.2859","DOIUrl":"https://doi.org/10.24090/yinyang.v14i1.2859","url":null,"abstract":"Perempuan sering menjadi sorotan dalam masyarakat, dimana perempuan dipandang sebagai makhluk kedua. Patriarki adalah budaya dimana posisi laki-laki dianggap kedudukannya lebih mulia dari kedudukan perempuan. Islam sendiri menghendaki adanya kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, misal di bidang politik. Terdapat dua ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam agar melakukan musyawarah (QS. al-Syura: 38 dan QS. Ali ‘Imran: 159). Pada tahun 1998, kaum perempuan mulai berani menyuarakan pendapatnya. Muculnya gerakan-gerakan yang menyuarakan kesetaraan kedudukan antara kaum laki-laki dan perempuan. Dalam ranah politik contohnya adalah adanya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Indonesia telah mengakomodir peran perempuan dalam politik, sebagaimana diamanatkan UU No. 2 tahun 2008 dan UU No. 7 tahun 2017. Meskipun demikian dalam realitanya justru berbanding terbalik, keterlibatan perempuan dalam bidang politik sebagai anggota legislatif belum terlaksana secara maksimal. Penilitian ini membahas tentang peran perempuan dalam politik kebangsaan dengan metode analisis historis, sebuah analisis yang berdasarkan pada sejarah yang telah terjadi. ","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"284 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131785988","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kepemilikan Tanah adalah bagian dari hak warga Negara dengan bukti yang sah yang diberikan oleh Negara kepada masyarakat yang dibuktikan dengan sebuah surat Sertifikat Tanah. Ketidakbenaran pada saat pembuatan surat bukti tanah/sertifikat bisa terjadi karena adanya unsur kesengajaan atau unsure penipuan (bedrog) dan atau paksaan (dwang), pada saat pembuatan data fisik ataupun data yuridis yang di dibukukan dalam buku tanah. Dengan dasar itu sertifikat yang dihasilkan dapat berakibat batal demi hukum. Maksud dari penelitian ini adalah 1. Untuk menganalisis Bagaimana Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Yang Tumpang Tindih yang berakibat kepada sertifikat ganda. 2. Untuk mengalisis bagaimana pertanggungjawaban BPN dalam penyelesaian sertifikat ganda dan Bagaimana Perlindungan Hukumknya. Penelitian ini yang dilakukan dengan metode penelitian yuridis normative dan pendekatan studi lapangan. Sengketa pertanahan merupakan konflik dua orang atau lebih untuk mempertahankan hak legal kepemilikannya dari masing-masing orang atau kelompok untuk mempertahankan kepentingannya obyek yang sama yang ada kaitannya dengan tanah atau yang ada didalam tanah maupun diatas tanah.
{"title":"PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH BERSERTIFIKAT GANDA","authors":"mulyadi mul, Satino","doi":"10.35586/JYUR.V6I1.398","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/JYUR.V6I1.398","url":null,"abstract":"Kepemilikan Tanah adalah bagian dari hak warga Negara dengan bukti yang sah yang diberikan oleh Negara kepada masyarakat yang dibuktikan dengan sebuah surat Sertifikat Tanah. Ketidakbenaran pada saat pembuatan surat bukti tanah/sertifikat bisa terjadi karena adanya unsur kesengajaan atau unsure penipuan (bedrog) dan atau paksaan (dwang), pada saat pembuatan data fisik ataupun data yuridis yang di dibukukan dalam buku tanah. Dengan dasar itu sertifikat yang dihasilkan dapat berakibat batal demi hukum. Maksud dari penelitian ini adalah 1. Untuk menganalisis Bagaimana Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Yang Tumpang Tindih yang berakibat kepada sertifikat ganda. 2. Untuk mengalisis bagaimana pertanggungjawaban BPN dalam penyelesaian sertifikat ganda dan Bagaimana Perlindungan Hukumknya. Penelitian ini yang dilakukan dengan metode penelitian yuridis normative dan pendekatan studi lapangan. Sengketa pertanahan merupakan konflik dua orang atau lebih untuk mempertahankan hak legal kepemilikannya dari masing-masing orang atau kelompok untuk mempertahankan kepentingannya obyek yang sama yang ada kaitannya dengan tanah atau yang ada didalam tanah maupun diatas tanah.","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131228020","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ditinjau dari optik hukum progresif. Mahkamah Konstitusi lewat putusannya telah membuat terobosan baru yang cukup kontroversial. Keberaniannya di dalam mencari kebenaran dan keadilan substantif telah menghantarkannya kepada upaya rule breaking terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan akademik tentang pertanyaan ada tidaknya semangat hukum progresif dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Dalam penelitian ini, teori utama yang digunakan adalah teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo dengan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan kasus digunakan penulis untuk memahami dan menguraikan alasan-alasan hukum (ratio decidendi) yang digunakan oleh hakim Mahkamah Konstitusi untuk sampai kepada putusannya. Sedangkan dengan pendekatan konseptual, penulis mencoba merujuk kepada pandangan-pandangan para ahli hukum untuk memahami secara benar dan komprehensif terhadap konsep hukum progresif. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah mencerminkan semangat hukum progresif.
{"title":"PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DALAM BINGKAI HUKUM PROGRESIF","authors":"Sarifudin Sarifudin, Kudrat Abdillah","doi":"10.35586/JYUR.V6I1.788","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/JYUR.V6I1.788","url":null,"abstract":"Tulisan ini mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ditinjau dari optik hukum progresif. Mahkamah Konstitusi lewat putusannya telah membuat terobosan baru yang cukup kontroversial. Keberaniannya di dalam mencari kebenaran dan keadilan substantif telah menghantarkannya kepada upaya rule breaking terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan akademik tentang pertanyaan ada tidaknya semangat hukum progresif dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Dalam penelitian ini, teori utama yang digunakan adalah teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo dengan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan kasus digunakan penulis untuk memahami dan menguraikan alasan-alasan hukum (ratio decidendi) yang digunakan oleh hakim Mahkamah Konstitusi untuk sampai kepada putusannya. Sedangkan dengan pendekatan konseptual, penulis mencoba merujuk kepada pandangan-pandangan para ahli hukum untuk memahami secara benar dan komprehensif terhadap konsep hukum progresif. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah mencerminkan semangat hukum progresif.","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128796791","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini berangkat dari kenyataan adanya gap antara norma hukum di bidang pangan, dengan kebijakan impor beras di Indonesia. Norma hukum yang mengamanatkan agar kebijakan ekspor pangan dilakukan ketika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi, dan impor dilakukan ketika kebutuhan dalam negeri mengalami kekurangan, kenyataannya justru dilakukan secara bersamaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia masih melakukan impor beras bersama-sama dengan kebijakan ekspor. Sepanjang Januari-Oktober 2017, impor beras Indonesia mencapai 256,56 ribu ton dengan nilai US$ 119,78 juta dan pada saat yang bersamaan pula, ekspor beras Indonesia sepanjang Januari-November 2017 mencapai 3,5 ribu ton dengan nilai US$ 3,25 juta. Penelitian ini sedikit banyak akan membahas mengenai permasalahan tersebut. Pembahasan utamanya akan melihat dari faktor-faktor apa yang sesungguhnya masih mengakibatkan dilakukannya impor beras di Indonesia dan berakibat pada ketidaksesuaian antara kebijakannya dengan norma hukum.
{"title":"KEBIJAKAN IMPOR BERAS DI INDONESIA: SUATU PENDEKATAN EKONOMIKA DAN HUKUM","authors":"M. Alan","doi":"10.35586/JYUR.V6I1.792","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/JYUR.V6I1.792","url":null,"abstract":"Penelitian ini berangkat dari kenyataan adanya gap antara norma hukum di bidang pangan, dengan kebijakan impor beras di Indonesia. Norma hukum yang mengamanatkan agar kebijakan ekspor pangan dilakukan ketika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi, dan impor dilakukan ketika kebutuhan dalam negeri mengalami kekurangan, kenyataannya justru dilakukan secara bersamaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia masih melakukan impor beras bersama-sama dengan kebijakan ekspor. Sepanjang Januari-Oktober 2017, impor beras Indonesia mencapai 256,56 ribu ton dengan nilai US$ 119,78 juta dan pada saat yang bersamaan pula, ekspor beras Indonesia sepanjang Januari-November 2017 mencapai 3,5 ribu ton dengan nilai US$ 3,25 juta. Penelitian ini sedikit banyak akan membahas mengenai permasalahan tersebut. Pembahasan utamanya akan melihat dari faktor-faktor apa yang sesungguhnya masih mengakibatkan dilakukannya impor beras di Indonesia dan berakibat pada ketidaksesuaian antara kebijakannya dengan norma hukum.","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"130 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121739988","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Perusahaan angkutan berbasis online dalam layanan jasa pengiriman barang yang berperan sebagai pelaku usaha dalam menjalankan usahanya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang sesuai dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Adapun upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang telah dirugikan akibat kehilangan barang yaitu melalui jalur non litigasi atau di luar pengadilan yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen karena melalui jalur ini konsumen dapat menyelesaikan sengketanya dengan waktu yang relatif cepat, biaya hemat, dan kerahasiaan konsumen terjamin. Selain itu apabila jalur non litigasi gagal dilakukan dapat dilakukan upaya penyelesaian melalui litigasi atau melalui pengadilan.
{"title":"PERTANGGUNGJAWABAN ANGKUTAN BERBASIS ONLINE TERHADAP KEHILANGAN BARANG KONSUMEN DALAM JASA PENGIRIMAN BARANG","authors":"Marcella Agustia Lestari, Andriyanto Adhi Nugroho","doi":"10.35586/JYUR.V6I1.808","DOIUrl":"https://doi.org/10.35586/JYUR.V6I1.808","url":null,"abstract":"Perusahaan angkutan berbasis online dalam layanan jasa pengiriman barang yang berperan sebagai pelaku usaha dalam menjalankan usahanya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang sesuai dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Adapun upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang telah dirugikan akibat kehilangan barang yaitu melalui jalur non litigasi atau di luar pengadilan yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen karena melalui jalur ini konsumen dapat menyelesaikan sengketanya dengan waktu yang relatif cepat, biaya hemat, dan kerahasiaan konsumen terjamin. Selain itu apabila jalur non litigasi gagal dilakukan dapat dilakukan upaya penyelesaian melalui litigasi atau melalui pengadilan.","PeriodicalId":429205,"journal":{"name":"Jurnal Yuridis","volume":"78 5","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131654128","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}