Pub Date : 2021-11-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.6.877
Barata Sultan Lubis, Ida Bagus Koman Ardana, S. Siswanto
Tepung belatung Hermetia illucens memiliki kandungan protein 37,31% dan lemak 39,05%, sehingga dapat digunakan sebagai pakan tambahan dalam ransum. Sebagai bahan yang kaya dengan protein dan lemak, belatung black soldier fly (BSF) baik pula hubungannya dengan pembentukan sel darah putih (leukosit). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui total leukosit dan diferensial leukosit ayam pedaging yang diberi tepung belatung sebagai pakan tambahan dalam ransum. Sebanyak 24 ekor ayam pedaging jantan digunakan dalam penelitian ini. Ayam pedaging dikelompokkan menjadi empat sesuai dengan perlakuan: perlakuan P0 (kontrol), perlakuan P1 (1% dari pakan komersial), perlakuan P2 (2% dari pakan komersial), dan perlakuan P3 (3% dari pakan komersial). Perlakuan diberikan mulai hari ke-14 sampai hari ke-35. Sampel darah diambil dari vena pectoralis sebanyak 3 mL pada hari ke-36. Jumlah leukosit dan diferensial leukosit dihitung menggunakan auto hematology analyzer. Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam satu arah. Hasil penelitian menunjukkan total leukosit 81,92-97,98×103/µL, persentase heterofil 28,50-37,50%, persentase eosinofil 0%, persentase basofil 0%, persentase limfosit 51,67-64,17%, dan persentase monosit 7,33-10,83%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung belatung ke dalam pakan komersial meningkatkan total leukosit, persentase limfosit, dan menekan persentase heterofil ayam pedaging.
{"title":"Total Leukosit dan Diferensial Leukosit Ayam Pedaging yang diberi Tepung Belatung sebagai Pakan Tambahan Ransum","authors":"Barata Sultan Lubis, Ida Bagus Koman Ardana, S. Siswanto","doi":"10.19087/imv.2021.10.6.877","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.6.877","url":null,"abstract":"Tepung belatung Hermetia illucens memiliki kandungan protein 37,31% dan lemak 39,05%, sehingga dapat digunakan sebagai pakan tambahan dalam ransum. Sebagai bahan yang kaya dengan protein dan lemak, belatung black soldier fly (BSF) baik pula hubungannya dengan pembentukan sel darah putih (leukosit). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui total leukosit dan diferensial leukosit ayam pedaging yang diberi tepung belatung sebagai pakan tambahan dalam ransum. Sebanyak 24 ekor ayam pedaging jantan digunakan dalam penelitian ini. Ayam pedaging dikelompokkan menjadi empat sesuai dengan perlakuan: perlakuan P0 (kontrol), perlakuan P1 (1% dari pakan komersial), perlakuan P2 (2% dari pakan komersial), dan perlakuan P3 (3% dari pakan komersial). Perlakuan diberikan mulai hari ke-14 sampai hari ke-35. Sampel darah diambil dari vena pectoralis sebanyak 3 mL pada hari ke-36. Jumlah leukosit dan diferensial leukosit dihitung menggunakan auto hematology analyzer. Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam satu arah. Hasil penelitian menunjukkan total leukosit 81,92-97,98×103/µL, persentase heterofil 28,50-37,50%, persentase eosinofil 0%, persentase basofil 0%, persentase limfosit 51,67-64,17%, dan persentase monosit 7,33-10,83%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung belatung ke dalam pakan komersial meningkatkan total leukosit, persentase limfosit, dan menekan persentase heterofil ayam pedaging.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46778539","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.6.908
Kadek Adya Arsa Wisana, I. M. Oka, Nyoman Adi Suratma
Gajah Sumatera merupakan satwa asli dari Pulau Sumatera yang keberadaan populasinya terancam punah. Gajah Sumatera rentan terhadap penyakit parasit seperti cacing, yang dapat hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis cacing Trematoda pada gajah sumatera di Bakas Elephant Tour dan Taro Elephant Safari Park, Bali. Sampel feses yang digunakan sebanyak 39 yang terdiri dari 8 sampel dari Bakas Elephant Tour dan 31 sampel dari Taro Elephant Safari Park. Identifikasi telur cacing dilakukan dengan pemeriksaan feses menggunakan metode Parfitt and Banks dengan modifikasi. Jenis cacing yang ditemukan berdasarkan hasil pemeriksaan feses adalah cacing kelas Trematoda yaitu Paramphistomum sp. dan Fasciola sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Trematoda pada gajah sumatera di Bakas Elephant Tour dan Taro Elephant Safari Park adalah 17,94%. Berdasarkan lokasinya, prevalensi di Bakas adalah 0% dan di Taro Elephant Safari Park adalah 22,58%.
{"title":"Jenis Cacing dan Prevalensi Infeksi Trematoda pada Gajah Sumatera di Tempat Penangkaran Desa Bakas dan Desa Taro, Bali","authors":"Kadek Adya Arsa Wisana, I. M. Oka, Nyoman Adi Suratma","doi":"10.19087/imv.2021.10.6.908","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.6.908","url":null,"abstract":"Gajah Sumatera merupakan satwa asli dari Pulau Sumatera yang keberadaan populasinya terancam punah. Gajah Sumatera rentan terhadap penyakit parasit seperti cacing, yang dapat hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis cacing Trematoda pada gajah sumatera di Bakas Elephant Tour dan Taro Elephant Safari Park, Bali. Sampel feses yang digunakan sebanyak 39 yang terdiri dari 8 sampel dari Bakas Elephant Tour dan 31 sampel dari Taro Elephant Safari Park. Identifikasi telur cacing dilakukan dengan pemeriksaan feses menggunakan metode Parfitt and Banks dengan modifikasi. Jenis cacing yang ditemukan berdasarkan hasil pemeriksaan feses adalah cacing kelas Trematoda yaitu Paramphistomum sp. dan Fasciola sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Trematoda pada gajah sumatera di Bakas Elephant Tour dan Taro Elephant Safari Park adalah 17,94%. Berdasarkan lokasinya, prevalensi di Bakas adalah 0% dan di Taro Elephant Safari Park adalah 22,58%.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48944017","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.6.830
G. Kencana, Tri Komala Sari, Dhyana Ayu Manggala Wijaya, I. Suartha, A. Kendran
Flu burung atau Avian influenza (AI) merupakan penyakit viral akut yang sudah tersebar luas di seluruh dunia, dan saat ini bersifat endemik di Indonesia. Avian Influenza digolongkan penyakit menular strategis prioritas karena bersifat zoonosis berbahaya yang dapat menyerang unggas dan mamalia maupun manusia. Unggas yang diternakkan secara massal lebih rentan terserang avian influenza, seperti ayam petelur, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dengan vaksinasi. Virus avian influenza mudah mengalami mutasi sehingga tidak dapat dikenali oleh antibodi yang sudah ada di dalam tubuh unggas, oleh karena itu perlu untuk selalu dilakukan pengembangan vaksin, contohnya adalah vaksin avian influenza subtipe H5N1. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah vaksin AI-H5N1 isolat dari Bali dapat digunakan pada peternakan ayam komersial dengan melihat kemamampuannya menekan shedding virus. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil 20 sampel swab kloaka secara acak dari 40 ekor ayam petelur yang sudah divaksin Avian Influenza subtipe H5N1 isolat dari Bali. Sampel swab selanjutnya diinokulasikan pada telur ayam berembrio melalui ruang alantois, diinkubasi dalam inkubator suhu 370C. Setelah 2-3 hari pascainokulasi, cairan alantois dipanen dan dilakukan uji HA/HI. Hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukannya shedding virus vaksin AI-H5N1 isolat dari Bali, ditandai dari semua sampel swab yang diambil pada periode 1-4 minggu pascavaksinasi menunjukkan hasil negatif pada uji HA.
{"title":"Shedding Virus Vaksin Flu Burung Subtipe (H5N1) Isolat Dari Bali Tidak Ditemukan Pascavaksinasi Ayam Petelur","authors":"G. Kencana, Tri Komala Sari, Dhyana Ayu Manggala Wijaya, I. Suartha, A. Kendran","doi":"10.19087/imv.2021.10.6.830","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.6.830","url":null,"abstract":"Flu burung atau Avian influenza (AI) merupakan penyakit viral akut yang sudah tersebar luas di seluruh dunia, dan saat ini bersifat endemik di Indonesia. Avian Influenza digolongkan penyakit menular strategis prioritas karena bersifat zoonosis berbahaya yang dapat menyerang unggas dan mamalia maupun manusia. Unggas yang diternakkan secara massal lebih rentan terserang avian influenza, seperti ayam petelur, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dengan vaksinasi. Virus avian influenza mudah mengalami mutasi sehingga tidak dapat dikenali oleh antibodi yang sudah ada di dalam tubuh unggas, oleh karena itu perlu untuk selalu dilakukan pengembangan vaksin, contohnya adalah vaksin avian influenza subtipe H5N1. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah vaksin AI-H5N1 isolat dari Bali dapat digunakan pada peternakan ayam komersial dengan melihat kemamampuannya menekan shedding virus. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil 20 sampel swab kloaka secara acak dari 40 ekor ayam petelur yang sudah divaksin Avian Influenza subtipe H5N1 isolat dari Bali. Sampel swab selanjutnya diinokulasikan pada telur ayam berembrio melalui ruang alantois, diinkubasi dalam inkubator suhu 370C. Setelah 2-3 hari pascainokulasi, cairan alantois dipanen dan dilakukan uji HA/HI. Hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukannya shedding virus vaksin AI-H5N1 isolat dari Bali, ditandai dari semua sampel swab yang diambil pada periode 1-4 minggu pascavaksinasi menunjukkan hasil negatif pada uji HA.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45433304","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.6.842
Ananda Agung Dextra Heparandita, A. A. G. O. Dharmayudha, Iwan Harjono Utama, I. Suartha, L. M. Sudimartini
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi madu trigona cair dan kapsul terhadap kadar gula darah anjing penderita dermatitis. Menggunakan 14 ekor anjing lokal bali jantan dan betina berumur 2-6 bulan yang dibagi menjadi tiga perlakuan, yakni kontrol, madu trigona cair 5 mL/ekor/hari dan madu trigona kapsul 110mg/ekor/hari. Variabel yang diamati adalah kadar gula darah. Kadar gula darah diukur menggunakan glukometer yang kemudian dianalisis pada minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 5. Rancangan yang digunakan berupa rancangan acak lengkap (RAL) pola berjenjang. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan uji sidik ragam model split plot in time. Berdasarkan hasil penelitian, rerata kadar gula darah anjing penderita dermatitis dengan perlakuan kontrol yaitu 71,36±9,00 mg/dL. Rerata kadar gula darah anjing penderita dermatitis setelah perlakuan madu trigona cair yaitu 72,83±17,12 mg/dL dan rerata kadar gula darah anjing penderita dermatitis setelah perlakuan madu trigona kapsul yaitu 82,85±4,31 mg/dL. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara kadar gula darah dari perlakuan kontrol, perlakuan yang diberi madu trigona cair 5 mL/ekor/hari dan perlakuan yang diberi madu trigona kapsul 0,1 mg/ekor/hari.
{"title":"Suplementasi Madu Trigona Tidak Meningkatkan Kadar Gula Darah Anjing Penderita Dermatitis","authors":"Ananda Agung Dextra Heparandita, A. A. G. O. Dharmayudha, Iwan Harjono Utama, I. Suartha, L. M. Sudimartini","doi":"10.19087/imv.2021.10.6.842","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.6.842","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi madu trigona cair dan kapsul terhadap kadar gula darah anjing penderita dermatitis. Menggunakan 14 ekor anjing lokal bali jantan dan betina berumur 2-6 bulan yang dibagi menjadi tiga perlakuan, yakni kontrol, madu trigona cair 5 mL/ekor/hari dan madu trigona kapsul 110mg/ekor/hari. Variabel yang diamati adalah kadar gula darah. Kadar gula darah diukur menggunakan glukometer yang kemudian dianalisis pada minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 5. Rancangan yang digunakan berupa rancangan acak lengkap (RAL) pola berjenjang. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan uji sidik ragam model split plot in time. Berdasarkan hasil penelitian, rerata kadar gula darah anjing penderita dermatitis dengan perlakuan kontrol yaitu 71,36±9,00 mg/dL. Rerata kadar gula darah anjing penderita dermatitis setelah perlakuan madu trigona cair yaitu 72,83±17,12 mg/dL dan rerata kadar gula darah anjing penderita dermatitis setelah perlakuan madu trigona kapsul yaitu 82,85±4,31 mg/dL. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara kadar gula darah dari perlakuan kontrol, perlakuan yang diberi madu trigona cair 5 mL/ekor/hari dan perlakuan yang diberi madu trigona kapsul 0,1 mg/ekor/hari.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49348396","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.6.936
Sri Wahyuningsih, I. W. Batan, I. M. P. Erawan, I. Putra
Asites merupakan penumpukan cairan yang berlebihan pada cavum abdomen. Seekor anjing ras beagle bernama Buddy, umur 1 tahun 8 bulan, jenis kelamin jantan, bobot 13,2 kg dibawa ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana pada tanggal 9 Oktober 2020 dengan keluhan abdomen membesar sejak dua hari sebelumnya, lesu, nafsu makan menurun. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan anjing kasus terlihat lesu, saat berjalan terlihat terengah-engah, abdomen membesar, mukosa mulut pucat, capillary refill time (CRT) lebih dari 2 detik. Pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan radiografi yang menunjukkan adanya penumpukan cairan pada rongga abdomen dan di luar peritoneum, jantung berbentuk bulat dan terlihat radiopaq, apex jantung tidak terlihat dan pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) menunjukkan anjing kasus mengalami anemia mikrositik, hiperkromik, limfositosis, dan penurunan jumlah granulosit. Anjing didiagnosis mengalami asites yang dicurigai berkaitan dengan gangguan pada jantung. Pengobatan yang diberikan pada anjing kasus yaitu antibiotik yang mengandung amoxicilin dan clavunamate potassium (dosis 13,75 mg/kgBB) dua kali sehari selama tujuh hari, furosemide (dosis 0,5 mg/kgBB) dua kali sehari selama tujuh hari, dan digoxin (0,011 mg/kgBB) satu kali sehari selama delapan hari. Setelah 11 hari perawatan anjing kasus sudah sangat membaik, tidak menunjukkan gejala sebelumnya seperti abdomen yang membesar, lesu dan nafsu makan yang menurun. Pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan fungsi hati dan EKG, disarankan untuk mengetahui penyebab asites anjing kasus secara pasti.
{"title":"Laporan Kasus: Pembesaran Jantung pada Anjing Beagle Jantan Disertai dengan Asites","authors":"Sri Wahyuningsih, I. W. Batan, I. M. P. Erawan, I. Putra","doi":"10.19087/imv.2021.10.6.936","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.6.936","url":null,"abstract":"Asites merupakan penumpukan cairan yang berlebihan pada cavum abdomen. Seekor anjing ras beagle bernama Buddy, umur 1 tahun 8 bulan, jenis kelamin jantan, bobot 13,2 kg dibawa ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana pada tanggal 9 Oktober 2020 dengan keluhan abdomen membesar sejak dua hari sebelumnya, lesu, nafsu makan menurun. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan anjing kasus terlihat lesu, saat berjalan terlihat terengah-engah, abdomen membesar, mukosa mulut pucat, capillary refill time (CRT) lebih dari 2 detik. Pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan radiografi yang menunjukkan adanya penumpukan cairan pada rongga abdomen dan di luar peritoneum, jantung berbentuk bulat dan terlihat radiopaq, apex jantung tidak terlihat dan pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) menunjukkan anjing kasus mengalami anemia mikrositik, hiperkromik, limfositosis, dan penurunan jumlah granulosit. Anjing didiagnosis mengalami asites yang dicurigai berkaitan dengan gangguan pada jantung. Pengobatan yang diberikan pada anjing kasus yaitu antibiotik yang mengandung amoxicilin dan clavunamate potassium (dosis 13,75 mg/kgBB) dua kali sehari selama tujuh hari, furosemide (dosis 0,5 mg/kgBB) dua kali sehari selama tujuh hari, dan digoxin (0,011 mg/kgBB) satu kali sehari selama delapan hari. Setelah 11 hari perawatan anjing kasus sudah sangat membaik, tidak menunjukkan gejala sebelumnya seperti abdomen yang membesar, lesu dan nafsu makan yang menurun. Pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan fungsi hati dan EKG, disarankan untuk mengetahui penyebab asites anjing kasus secara pasti.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49462945","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.6.869
Kurniawan Cahyo Utomo, I. N. Sulabda, Hamong Suharsono
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin dalam darah broiler setelah diberi pakan tambahan tepung belatung Black Soldier Fly (Hemetia illucens). Objek penelitian adalah broiler (Gallus domesticus) galur CP 707 sebanyak 24 ekor yang dipelihara mulai dari Day Old Chick (DOC) dan mulai diberi perlakuan pada umur 14-35 hari. Broiler dikelompokkan menjadi empat perlakuan yaitu: perlakuan kontrol tanpa pemberian tepung belatung (P0); perlakuan dengan penambahan tepung belatung 1% dalam pakan (P1); perlakuan dengan penambahan tepung belatung 2% dalam pakan (P2); dan perlakuan dengan penambahan tepung belatung 3% dalam pakan (P3). Variabel yang diamati adalah kadar BUN dan kreatinin darah broiler dengan pengambilan sampel darah melalui vena Pectoralis externa, kemudian dimasukkan ke dalam tabung vacutainer Serum Separator Tube (SST) non-EDTA dan sampel darah diperiksa menggunakan alat photometer 5010 di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali. Hasil menunjukkan rata-rata kadar BUN ayam pedaging P0, P1, P2, P3 berturut-turut adalah 3,10 mg/dL, 2,83 mg/dL, 3,62 mg/dL, 3,98 mg/dL. Rata-rata kadar kreatinin ayam pedaging P0, P1, P2, P3 berturut-turut adalah 0,68 mg/dL, 0,68 mg/dL, 0,70 mg/dL, 0,70 mg/dL. Data BUN dan kreatinin dianalisis dengan uji sidik ragam dan menunjukkan hasil bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar BUN dan kreatinin darah broiler sehingga pemberian tepung belatung dalam pakan komersil masih relatif aman.
{"title":"Kadar Nitrogen Urea Darah dan Kreatinin Ayam Pedaging yang Diberikan Tambahan Tepung Belatung Lalat Hitam dalam Pakan Komersial","authors":"Kurniawan Cahyo Utomo, I. N. Sulabda, Hamong Suharsono","doi":"10.19087/imv.2021.10.6.869","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.6.869","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin dalam darah broiler setelah diberi pakan tambahan tepung belatung Black Soldier Fly (Hemetia illucens). Objek penelitian adalah broiler (Gallus domesticus) galur CP 707 sebanyak 24 ekor yang dipelihara mulai dari Day Old Chick (DOC) dan mulai diberi perlakuan pada umur 14-35 hari. Broiler dikelompokkan menjadi empat perlakuan yaitu: perlakuan kontrol tanpa pemberian tepung belatung (P0); perlakuan dengan penambahan tepung belatung 1% dalam pakan (P1); perlakuan dengan penambahan tepung belatung 2% dalam pakan (P2); dan perlakuan dengan penambahan tepung belatung 3% dalam pakan (P3). Variabel yang diamati adalah kadar BUN dan kreatinin darah broiler dengan pengambilan sampel darah melalui vena Pectoralis externa, kemudian dimasukkan ke dalam tabung vacutainer Serum Separator Tube (SST) non-EDTA dan sampel darah diperiksa menggunakan alat photometer 5010 di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali. Hasil menunjukkan rata-rata kadar BUN ayam pedaging P0, P1, P2, P3 berturut-turut adalah 3,10 mg/dL, 2,83 mg/dL, 3,62 mg/dL, 3,98 mg/dL. Rata-rata kadar kreatinin ayam pedaging P0, P1, P2, P3 berturut-turut adalah 0,68 mg/dL, 0,68 mg/dL, 0,70 mg/dL, 0,70 mg/dL. Data BUN dan kreatinin dianalisis dengan uji sidik ragam dan menunjukkan hasil bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar BUN dan kreatinin darah broiler sehingga pemberian tepung belatung dalam pakan komersil masih relatif aman.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47754344","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.6.917
Nelci Elisabeth Bolla, I. K. Suarjana, K. T. P. Gelgel
Penyakit saluran pernapasan pada babi dikenal dengan nama porcine respiratory disease complex (PRDC). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai agen penyakit antara lain bakteri, virus, dan parasit atau gabungan agen tersebut sehingga dikenal sebagai multi microbial disease. Klebsiella sp. merupakan salah satu bakteri yang berpotensi patogen menyebabkan terjadinya PRDC pada babi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri Klebsiella sp. yang berpotensi patogen pada saluran pernapasan atas babi penderita PRDC. Penelitian ini menggunakan sampel swab rongga hidung babi yang menunjukkan gejala klinis penyakit saluran pernapasan atas dengan jumlah 21 sampel yang berasal dari Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan. Isolasi Klebsiella sp. dilakukan pada media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) dan Sheep Blood Agar (SBA). Identifikasi bakteri selanjutnya dilakukan dengan pewarnaan Gram, uji katalase, uji oksidase, Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfide Indole Motility (SIM), Methyl Red Voges Proskauer (MRVP), Simmon Citrate Agar (SCA) dan uji gula-gula seperti sukrosa, laktosa, glukosa, dan manitol. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung Eppendorf, cotton swab, cool box, masker, hands glove, cawan petri, hot plate, magnetic stirrer, inkubator, autoclave, osse, laminar air flow, bunsen, gelas beker, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, objek gelas, mikroskop, kertas label, timbangan digital, aluminium foil, kamera, gunting dan alat tulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 21 sampel yang diisolasi, tiga sampel menunjukkan hasil positif bakteri Klebsiella sp. dengan kemungkinan spesies yaitu K. Pneumoniae. Dapat disimpulkan bahwa ditemukan bakteri Klebsiella sp. pada saluran pernapasan atas babi penderita PRDC sebanyak 14% (tiga dari 21 sampel) yang berasal dari Kabupaten Badung.
{"title":"Isolasi dan Identifikasi Klebsiella sp. Asal Rongga Hidung Babi Penderita Porcine Respiratory Disease Complex","authors":"Nelci Elisabeth Bolla, I. K. Suarjana, K. T. P. Gelgel","doi":"10.19087/imv.2021.10.6.917","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.6.917","url":null,"abstract":"Penyakit saluran pernapasan pada babi dikenal dengan nama porcine respiratory disease complex (PRDC). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai agen penyakit antara lain bakteri, virus, dan parasit atau gabungan agen tersebut sehingga dikenal sebagai multi microbial disease. Klebsiella sp. merupakan salah satu bakteri yang berpotensi patogen menyebabkan terjadinya PRDC pada babi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri Klebsiella sp. yang berpotensi patogen pada saluran pernapasan atas babi penderita PRDC. Penelitian ini menggunakan sampel swab rongga hidung babi yang menunjukkan gejala klinis penyakit saluran pernapasan atas dengan jumlah 21 sampel yang berasal dari Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan. Isolasi Klebsiella sp. dilakukan pada media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) dan Sheep Blood Agar (SBA). Identifikasi bakteri selanjutnya dilakukan dengan pewarnaan Gram, uji katalase, uji oksidase, Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfide Indole Motility (SIM), Methyl Red Voges Proskauer (MRVP), Simmon Citrate Agar (SCA) dan uji gula-gula seperti sukrosa, laktosa, glukosa, dan manitol. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung Eppendorf, cotton swab, cool box, masker, hands glove, cawan petri, hot plate, magnetic stirrer, inkubator, autoclave, osse, laminar air flow, bunsen, gelas beker, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, objek gelas, mikroskop, kertas label, timbangan digital, aluminium foil, kamera, gunting dan alat tulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 21 sampel yang diisolasi, tiga sampel menunjukkan hasil positif bakteri Klebsiella sp. dengan kemungkinan spesies yaitu K. Pneumoniae. Dapat disimpulkan bahwa ditemukan bakteri Klebsiella sp. pada saluran pernapasan atas babi penderita PRDC sebanyak 14% (tiga dari 21 sampel) yang berasal dari Kabupaten Badung.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48692182","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.6.861
Pandu Adjie Pamungkas, I. Apsari, S. Widyastuti
Ternak kambing digemari peternak karena manajemen pemeliharaannya relatif mudah dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung. Kota Denpasar diketahui sebagai salah satu daerah yang sedang mengembangkan peternakan kambing. Ternak kambing harus didukung oleh sistem pemeliharaan yang memadai karena kambing dapat diserang oleh berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh Eimeria spp. Terdapat beberapa faktor risiko yang memengaruhi prevalensi Eimeria spp. diantaranya: umur, jenis kelamin, ras serta sistem perkandangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Eimeria spp. pada kambing yang dipelihara di Kota Denpasar serta kaitannya dengan faktor risiko. Sampel yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 150 sampel berupa feses yang diambil dari 210 kambing yang dipelihara di kota Denpasar. Metode pemeriksaan feses yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode apung dan data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji chi-square. Pada penelitian ini umur kambing dibagi menjadi umur muda (?1 tahun) dan umur dewasa (>1 tahun), jenis kelamin dibagi menjadi jantan dan betina, ras kambing dibagi menjadi etawa, peranakan etawa dan kacang dan sistem perkandangan yang digunakan adalah kandang beralaskan tanah dan kandang panggung. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi Eimeria spp. pada kambing yang dipelihara di Kota Denpasar adalah sebesar 92,7%.
{"title":"Prevalensi Infeksi Eimeria spp. yang Tinggi pada Kambing yang Dipelihara di Kota Denpasar","authors":"Pandu Adjie Pamungkas, I. Apsari, S. Widyastuti","doi":"10.19087/imv.2021.10.6.861","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.6.861","url":null,"abstract":"Ternak kambing digemari peternak karena manajemen pemeliharaannya relatif mudah dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung. Kota Denpasar diketahui sebagai salah satu daerah yang sedang mengembangkan peternakan kambing. Ternak kambing harus didukung oleh sistem pemeliharaan yang memadai karena kambing dapat diserang oleh berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh Eimeria spp. Terdapat beberapa faktor risiko yang memengaruhi prevalensi Eimeria spp. diantaranya: umur, jenis kelamin, ras serta sistem perkandangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Eimeria spp. pada kambing yang dipelihara di Kota Denpasar serta kaitannya dengan faktor risiko. Sampel yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 150 sampel berupa feses yang diambil dari 210 kambing yang dipelihara di kota Denpasar. Metode pemeriksaan feses yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode apung dan data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji chi-square. Pada penelitian ini umur kambing dibagi menjadi umur muda (?1 tahun) dan umur dewasa (>1 tahun), jenis kelamin dibagi menjadi jantan dan betina, ras kambing dibagi menjadi etawa, peranakan etawa dan kacang dan sistem perkandangan yang digunakan adalah kandang beralaskan tanah dan kandang panggung. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi Eimeria spp. pada kambing yang dipelihara di Kota Denpasar adalah sebesar 92,7%.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46922093","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-09-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.5.701
I. Putra, K. Agustina, I. Sukada
Pengelolaan peternakan babi di Bali tidak lepas dari kendala yang dihadapi, salah satunya adalah menjangkitnya agen penyakit pada ternak babi. Dalam peternakan babi, Biosecurity merupakan aspek penting untuk mencegah penularan penyakit dalam peternakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penerapan biosecurity dan analisis faktor risiko kejadian babi sakit dan kematian babi pada peternakan babi di Kabupaten Gianyar. Sebanyak 40 peternak babi digunakan sebagai sampel. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan survey dan wawancara dengan peternak mengenai kejadian kesakitan dan kematian yang terjadi dalam bulan Maret sampai Agustus 2020. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif, untuk membandingkan data antara peternakan yang menerapkan dan tidak menerapkan biosecurity dilakukan analisis uji Chi-Square secara statistik menggunakan Statistical Product and Service Solutions versi 25 for windows. Sementara untuk analisis faktor risiko digunakan uji Odd ratio. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa peternakan yang menerapkan biosecurity mengalami sembilan kejadian kesakitan dan delapan kejadian kematian babi, sedangkan pada peternakan babi yang tidak menerapkan biosecurity diperoleh 18 kejadian kesakitan dan 17 kejadian kematian pada peternakan babi. Faktor risiko kemunculan kejadian kesakitan dan kematian pada peternakan babi adalah lokasi kandang dekat dengan pemukiman, menggunakan pakan sisa, tidak menggunakan pakaian khusus kandang, tidak melakukan disinfeksi pada kandang, dan akses tidak terbatas. Simpulan dari penelitian ini adalah penerapan biosecurity dapat mengurangi angka kejadian kesakitan dan kematian pada peternakan babi.
巴厘岛养猪场的管理并没有失控,其中之一就是饲养猪的病原体。在养猪业中,生物安全是防止疾病在农场传播的一个重要方面。本研究旨在找出Gianyar Kabupaten养猪场在生物安全应用方面的差异,并分析猪患病和死亡的风险因素。多达40名养猪户被用作样本。这项研究的数据收集是通过对2020年3月至8月期间发生的疼痛和死亡事件的农民进行调查和采访来完成的。所获得的数据以描述性的方式提供,以比较应用和未应用生物安全的农场之间的数据,该数据使用统计产品和服务解决方案版本25 for windows进行了卡方检验分析。而风险因素分析则采用比值比检验。这项研究的结果是,一个应用生物安全的养猪场遭受了9例疼痛和8例猪死亡,而一个不应用生物安保的养猪场在养猪场遭受18例疼痛和17例死亡。养猪场发生疼痛和死亡的风险因素是笼子的位置靠近定居点,使用残留衣物,不使用特殊的笼子衣物,不感染笼子,以及无限制进入。这项研究的结论是,生物安全应用可以减少养猪场的疼痛和死亡病例。
{"title":"Penerapan Biosecurity Dapat Menekan Angka Kejadian Kesakitan dan Kematian pada Peternakan Babi di Gianyar, Bali","authors":"I. Putra, K. Agustina, I. Sukada","doi":"10.19087/imv.2021.10.5.701","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.5.701","url":null,"abstract":"Pengelolaan peternakan babi di Bali tidak lepas dari kendala yang dihadapi, salah satunya adalah menjangkitnya agen penyakit pada ternak babi. Dalam peternakan babi, Biosecurity merupakan aspek penting untuk mencegah penularan penyakit dalam peternakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penerapan biosecurity dan analisis faktor risiko kejadian babi sakit dan kematian babi pada peternakan babi di Kabupaten Gianyar. Sebanyak 40 peternak babi digunakan sebagai sampel. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan survey dan wawancara dengan peternak mengenai kejadian kesakitan dan kematian yang terjadi dalam bulan Maret sampai Agustus 2020. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif, untuk membandingkan data antara peternakan yang menerapkan dan tidak menerapkan biosecurity dilakukan analisis uji Chi-Square secara statistik menggunakan Statistical Product and Service Solutions versi 25 for windows. Sementara untuk analisis faktor risiko digunakan uji Odd ratio. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa peternakan yang menerapkan biosecurity mengalami sembilan kejadian kesakitan dan delapan kejadian kematian babi, sedangkan pada peternakan babi yang tidak menerapkan biosecurity diperoleh 18 kejadian kesakitan dan 17 kejadian kematian pada peternakan babi. Faktor risiko kemunculan kejadian kesakitan dan kematian pada peternakan babi adalah lokasi kandang dekat dengan pemukiman, menggunakan pakan sisa, tidak menggunakan pakaian khusus kandang, tidak melakukan disinfeksi pada kandang, dan akses tidak terbatas. Simpulan dari penelitian ini adalah penerapan biosecurity dapat mengurangi angka kejadian kesakitan dan kematian pada peternakan babi.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45090625","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-09-30DOI: 10.19087/imv.2021.10.5.748
Ni Komang Ade Juliantari, D. Laksmi, Wayan Bebas
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jarak beranak (calving interval) pada sapi bali menurut tingkat paritas dan body condition score. Total sampel yang digunakan adalah sebanyak 62 sampel. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, mencari rata-rata calving interval dan dibedakan berdasarkan body condition score. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beragam nilai calving interval. Jika dilihat dari body condition score 2, rata-rata 15,33 ± 0,94 bulan, 13 ± 1 bulan, 14 bulan, 15 bulan, hingga 16,5 ± 0,5 bulan, semakin tua sapi yang diternakkan maka semakin lama kemunculan estrus postpartum sehingga makin panjang juga periode calving intervalnya. Pada body condition score 3, rata-rata 12,91 ± 1,65 bulan, 12,87 ± 1,65 bulan, 12,5 ± 0,5 bulan, 13,25 ± 0,43 bulan, dan 14 bulan. Faktor penyebab panjangnya calving interval dapat dilihat dari segi ternak, peternak, maupun inseminator. Segi ternak yang mempengaruhi yaitu kesehatan ternak. Segi peternak yang mempengaruhi adalah deteksi birahi, pemeliharaan ternak, dan penyapihan yang dilakukan. Segi inseminator adalah prosedur pelaksanaan dan kualitas semen. Hal ini sangat penting karena jika sapi yang diternakkan mengalami faktor-faktor yang disebutkan maka akan mempengaruhi daripada nilai calving interval yang berakibat pada penurunan pendapatan peternak karena jumlah anak yang dihasilkan akan berkurang selama masa produktif.
{"title":"Jarak Beranak Sapi Bali pada Kelompok-kelompok Ternak di Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Hewan Sobangan, Mengwi, Badung, Bali","authors":"Ni Komang Ade Juliantari, D. Laksmi, Wayan Bebas","doi":"10.19087/imv.2021.10.5.748","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.5.748","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jarak beranak (calving interval) pada sapi bali menurut tingkat paritas dan body condition score. Total sampel yang digunakan adalah sebanyak 62 sampel. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, mencari rata-rata calving interval dan dibedakan berdasarkan body condition score. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beragam nilai calving interval. Jika dilihat dari body condition score 2, rata-rata 15,33 ± 0,94 bulan, 13 ± 1 bulan, 14 bulan, 15 bulan, hingga 16,5 ± 0,5 bulan, semakin tua sapi yang diternakkan maka semakin lama kemunculan estrus postpartum sehingga makin panjang juga periode calving intervalnya. Pada body condition score 3, rata-rata 12,91 ± 1,65 bulan, 12,87 ± 1,65 bulan, 12,5 ± 0,5 bulan, 13,25 ± 0,43 bulan, dan 14 bulan. Faktor penyebab panjangnya calving interval dapat dilihat dari segi ternak, peternak, maupun inseminator. Segi ternak yang mempengaruhi yaitu kesehatan ternak. Segi peternak yang mempengaruhi adalah deteksi birahi, pemeliharaan ternak, dan penyapihan yang dilakukan. Segi inseminator adalah prosedur pelaksanaan dan kualitas semen. Hal ini sangat penting karena jika sapi yang diternakkan mengalami faktor-faktor yang disebutkan maka akan mempengaruhi daripada nilai calving interval yang berakibat pada penurunan pendapatan peternak karena jumlah anak yang dihasilkan akan berkurang selama masa produktif.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43639387","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}