Pub Date : 2022-09-30DOI: 10.19087/imv.2022.11.5.701
Huda Hamdayu, I. Suartha, I. W. Batan, I. N. A. A. N. Sibang
Anjing Yorkshire terrier bernama Nunu, berjenis kelamin betina, berumur lima tahun, diperiksa di Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, dengan keluhan anjing kasus mengalami batuk kering dan keras, terdengar seperti suara bengek “goose-honking” selama lebih dari 30 hari, mulut lebih sering dibuka dengan lidah dijulurkan keluar, napas terlihat berat dan terdengar bunyi, anjing terkadang tampak lemas dan tidak bersemangat, serta terkadang sering mondar mandir. Anjing kasus memiliki riwayat batuk yang sebelumnya berlangsung sekitar satu minggu dan sembuh tanpa dilakukan pengobatan. Anjing kasus sering terlihat gelisah dan membuka mulut dengan lidah menjulur keluar, frekuensi makan dan minum berkurang. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan meliputi sinyalemen, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa anjing kasus mengalami kolaps trakea tingkat I, yang ditandai dengan adanya obstruksi pada trakea. Kolaps trakea merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui pada anjing ras kecil seperti Chihuahua, Lhasa apso, Maltese, Pomeranian, Pug, Shih tzu, Toy poodle dan Yorkshire. Penyakit ini mengganggu saluran pernapasan karena adanya penyempitan pada trakea. Manajemen medis yang dilakukan, terdiri dari penggantian penggunaan collar anjing dengan harness, pemberian dexamethasone sebagai obat kortikosteroid anti-inflamasi, theophylline sebagai bronkodilator, dan antibiotik doxycicline memberikan peningkatan pada tanda-tanda klinis anjing. Kondisi anjing kasus mengalami pemulihan satu minggu pasca terapi.
{"title":"Laporan Kasus: Kolaps Trakea Tingkat I pada Anjing Yorkshire Terrier","authors":"Huda Hamdayu, I. Suartha, I. W. Batan, I. N. A. A. N. Sibang","doi":"10.19087/imv.2022.11.5.701","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.5.701","url":null,"abstract":"Anjing Yorkshire terrier bernama Nunu, berjenis kelamin betina, berumur lima tahun, diperiksa di Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, dengan keluhan anjing kasus mengalami batuk kering dan keras, terdengar seperti suara bengek “goose-honking” selama lebih dari 30 hari, mulut lebih sering dibuka dengan lidah dijulurkan keluar, napas terlihat berat dan terdengar bunyi, anjing terkadang tampak lemas dan tidak bersemangat, serta terkadang sering mondar mandir. Anjing kasus memiliki riwayat batuk yang sebelumnya berlangsung sekitar satu minggu dan sembuh tanpa dilakukan pengobatan. Anjing kasus sering terlihat gelisah dan membuka mulut dengan lidah menjulur keluar, frekuensi makan dan minum berkurang. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan meliputi sinyalemen, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa anjing kasus mengalami kolaps trakea tingkat I, yang ditandai dengan adanya obstruksi pada trakea. Kolaps trakea merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui pada anjing ras kecil seperti Chihuahua, Lhasa apso, Maltese, Pomeranian, Pug, Shih tzu, Toy poodle dan Yorkshire. Penyakit ini mengganggu saluran pernapasan karena adanya penyempitan pada trakea. Manajemen medis yang dilakukan, terdiri dari penggantian penggunaan collar anjing dengan harness, pemberian dexamethasone sebagai obat kortikosteroid anti-inflamasi, theophylline sebagai bronkodilator, dan antibiotik doxycicline memberikan peningkatan pada tanda-tanda klinis anjing. Kondisi anjing kasus mengalami pemulihan satu minggu pasca terapi.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42586681","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-09-30DOI: 10.19087/imv.2022.11.5.692
Devita Vanessa Sukmawati Djara, I. G. Soma, I. M. P. Erawan
Bronkhopneumonia adalah peradangan pada daerah bronkhoalveolar sebagai akibat perluasan dari peradangan pada bronkus. Hewan kasus merupakan seekor anjing pomeranian jantan, berumur enam tahun, bobot badan 5,2 kg, dan rambut berwarna hitam dengan sebagian putih di daerah dada dan ujung-ujung kaki, dibawa ke Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana dengan keluhan memiliki kekeruhan pada kornea mata sebelah kanan. Anjing kasus menunjukkan gejala klinis batuk selama empat bulan dengan intensitas sekitar 10 kali/hari dan terjadi pada pagi hingga malam hari. Anjing dipelihara dengan cara dikandangkan dan terkadang dilepas di pekarangan rumah. Anjing dipelihara bersama dengan dua anjing lainnya yang dalam kondisi sehat. Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya pembengkakkan pada limfonodus mandibularis dan adanya respons batuk pada saat trakhea dipalpasi. Hasil pemeriksaan laboratorium berupa uji hematologi rutin menunjukkan anjing mengalami anemia normositik hiperkromik dan limfopenia. Pada pemeriksaan radiografi ditemukan ada perubahan opasitas (radiopaque) pada trakhea, bronkus, dan jaringan parenkim paru. Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan klinis dan penunjang, anjing kasus didiagnosis mengalami bronkhopneumonia. Penanganan dilakukan dengan pemberian metilprednisolon (1,2 mg/kg BB/hari, PO), klorfeniramin maleat (2 mg/ekor anjing, q12h, PO), serta perbaikan manajemen pemeliharaan dan kebersihan lingkungan tempat anjing. Setelah hari ke-7 masa pengobatan, kondisi anjing membaik.
{"title":"Laporan Kasus: Pengobatan Bronkhopneumonia pada Anjing Pomeranian dengan Methylprednisolone dan Klorfeniramine maleat","authors":"Devita Vanessa Sukmawati Djara, I. G. Soma, I. M. P. Erawan","doi":"10.19087/imv.2022.11.5.692","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.5.692","url":null,"abstract":"Bronkhopneumonia adalah peradangan pada daerah bronkhoalveolar sebagai akibat perluasan dari peradangan pada bronkus. Hewan kasus merupakan seekor anjing pomeranian jantan, berumur enam tahun, bobot badan 5,2 kg, dan rambut berwarna hitam dengan sebagian putih di daerah dada dan ujung-ujung kaki, dibawa ke Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana dengan keluhan memiliki kekeruhan pada kornea mata sebelah kanan. Anjing kasus menunjukkan gejala klinis batuk selama empat bulan dengan intensitas sekitar 10 kali/hari dan terjadi pada pagi hingga malam hari. Anjing dipelihara dengan cara dikandangkan dan terkadang dilepas di pekarangan rumah. Anjing dipelihara bersama dengan dua anjing lainnya yang dalam kondisi sehat. Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya pembengkakkan pada limfonodus mandibularis dan adanya respons batuk pada saat trakhea dipalpasi. Hasil pemeriksaan laboratorium berupa uji hematologi rutin menunjukkan anjing mengalami anemia normositik hiperkromik dan limfopenia. Pada pemeriksaan radiografi ditemukan ada perubahan opasitas (radiopaque) pada trakhea, bronkus, dan jaringan parenkim paru. Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan klinis dan penunjang, anjing kasus didiagnosis mengalami bronkhopneumonia. Penanganan dilakukan dengan pemberian metilprednisolon (1,2 mg/kg BB/hari, PO), klorfeniramin maleat (2 mg/ekor anjing, q12h, PO), serta perbaikan manajemen pemeliharaan dan kebersihan lingkungan tempat anjing. Setelah hari ke-7 masa pengobatan, kondisi anjing membaik.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45577527","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-09-30DOI: 10.19087/imv.2022.11.5.744
Nurmauliah Syaharuddin, S. Widyastuti, I. W. Batan, Andi Fidiah Fasirah Jafar
Urolithiasis adalah pembentukan batu ginjal atau kristal dalam sistem urinari. Penyakit ini terjadi karena komposisi pakan yang tidak sehat dan ketidakseimbangan nutrisi. Tujuan pemeriksaan pada kucing kasus adalah untuk mengetahui gangguan saluran kemih yang menyebabkan kesulitan urinasi pada kucing kasus. Temuan klinis dari pemeriksaan yaitu kucing kesulitan dalam urinasi dengan volume urin yang sedikit serta rasa nyeri dan tidak nyaman saat dilakukan palpasi di bagian hipogastrium medial (vesika urinaria). Saat diperhatikan, kucing mengalami hematuria saat berkemih. Pemeriksaan laboratorium berupa uji sedimentasi urin dan uji dipstick untuk mengetahui endapan kristal pada urin kucing kasus ditemukan endapan kristal struvit dan nilai pH urin sebesar 8,0 serta positif ada darah. Pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan USG dilakukan untuk melihat gambaran vesika urinaria ditemukan tampakan hyperechoic. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan bahwa kucing kasus didiagnosis urolithiasis hemoragi. Terapi kausatif dilakukan dengan pemberian ekstrak Desmodium styracifolium 3 mg/kg BB PO q48h, terapi simtomatik dengan pemberian antiradang dan antinyeri Meloxicam 0,3 mg/kg BB PO q12h, dan terapi antibiotik dengan pemberian Ciprofloxacin 5 mg/kg BB q12h serta anjuran pemberian pakan untuk kucing penderita gangguan saluran kemih. Kucing kasus menjalani rawat jalan sesuai permintaan pemilik dan sebelum dipulangkan dipastikan kucing dalam keadaan baik dan dalam kondisi sadar setelah anestesi untuk keperluan pemasangan kateter.
{"title":"Laporan Kasus: Penanganan Urolithiasis Hemoragi pada Kucing Domestik Rambut Pendek dengan Pemberian Ekstrak Desmodium styracifolium","authors":"Nurmauliah Syaharuddin, S. Widyastuti, I. W. Batan, Andi Fidiah Fasirah Jafar","doi":"10.19087/imv.2022.11.5.744","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.5.744","url":null,"abstract":"Urolithiasis adalah pembentukan batu ginjal atau kristal dalam sistem urinari. Penyakit ini terjadi karena komposisi pakan yang tidak sehat dan ketidakseimbangan nutrisi. Tujuan pemeriksaan pada kucing kasus adalah untuk mengetahui gangguan saluran kemih yang menyebabkan kesulitan urinasi pada kucing kasus. Temuan klinis dari pemeriksaan yaitu kucing kesulitan dalam urinasi dengan volume urin yang sedikit serta rasa nyeri dan tidak nyaman saat dilakukan palpasi di bagian hipogastrium medial (vesika urinaria). Saat diperhatikan, kucing mengalami hematuria saat berkemih. Pemeriksaan laboratorium berupa uji sedimentasi urin dan uji dipstick untuk mengetahui endapan kristal pada urin kucing kasus ditemukan endapan kristal struvit dan nilai pH urin sebesar 8,0 serta positif ada darah. Pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan USG dilakukan untuk melihat gambaran vesika urinaria ditemukan tampakan hyperechoic. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan bahwa kucing kasus didiagnosis urolithiasis hemoragi. Terapi kausatif dilakukan dengan pemberian ekstrak Desmodium styracifolium 3 mg/kg BB PO q48h, terapi simtomatik dengan pemberian antiradang dan antinyeri Meloxicam 0,3 mg/kg BB PO q12h, dan terapi antibiotik dengan pemberian Ciprofloxacin 5 mg/kg BB q12h serta anjuran pemberian pakan untuk kucing penderita gangguan saluran kemih. Kucing kasus menjalani rawat jalan sesuai permintaan pemilik dan sebelum dipulangkan dipastikan kucing dalam keadaan baik dan dalam kondisi sadar setelah anestesi untuk keperluan pemasangan kateter.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48141244","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-09-30DOI: 10.19087/imv.2022.11.5.731
Aloysiana Margaretha, Marissa Divia Dayanti, Kevin Tri Tama, I. Batan
A female crossbreed dog, estimated to be four years old with a bodyweight of 9.5 kg was diagnosed with a transmissible venereal tumor (TVT). Cytological examination showed the shape of lymphocytic and plasmacytic cells which are consistent with the transmissible venereal tumor cell findings. Treatment was done by en bloc ovariohysterectomy, surgical excision of the tumor mass, and chemotherapy using vincristine sulfate. During the surgery, it was found that apart from being infected with TVT, the dog was also observed with pyometra and found to be pregnant. The dog had one puppy with a birth defect (cleft lip and palate) and died a few hours later. Postoperatively, dogs were given a combination of dexamethasone and diphenhydramine (0.2 mg/kg BW and 4 mg/kg BW intramuscularly/IM) and antibiotic cefotaxime (22 mg/kg q12h IM). Two days after the surgery the dog showed an improvement in its condition, oral drugs began to be administered and injection drugs were stopped. Treatment was continued with the administration of antibiotic cefadroxil (22 mg/kg BW q12h per orally/PO) and metronidazole (15 mg/kg q12h PO) for five days along with the administration of multivitamin Nutrilite Double X-Phytonutrient® one capsule/day for seven days. A week after surgery the dog was sent home without additional medication. The dog is scheduled for chemotherapy the following week.
{"title":"Concomitant Occurrence of Transmissible Venereal Tumor, Pyometra, and Pregnancy with Cleft Lip and Palate in a Crossbreed Bitch: A Case Report","authors":"Aloysiana Margaretha, Marissa Divia Dayanti, Kevin Tri Tama, I. Batan","doi":"10.19087/imv.2022.11.5.731","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.5.731","url":null,"abstract":"A female crossbreed dog, estimated to be four years old with a bodyweight of 9.5 kg was diagnosed with a transmissible venereal tumor (TVT). Cytological examination showed the shape of lymphocytic and plasmacytic cells which are consistent with the transmissible venereal tumor cell findings. Treatment was done by en bloc ovariohysterectomy, surgical excision of the tumor mass, and chemotherapy using vincristine sulfate. During the surgery, it was found that apart from being infected with TVT, the dog was also observed with pyometra and found to be pregnant. The dog had one puppy with a birth defect (cleft lip and palate) and died a few hours later. Postoperatively, dogs were given a combination of dexamethasone and diphenhydramine (0.2 mg/kg BW and 4 mg/kg BW intramuscularly/IM) and antibiotic cefotaxime (22 mg/kg q12h IM). Two days after the surgery the dog showed an improvement in its condition, oral drugs began to be administered and injection drugs were stopped. Treatment was continued with the administration of antibiotic cefadroxil (22 mg/kg BW q12h per orally/PO) and metronidazole (15 mg/kg q12h PO) for five days along with the administration of multivitamin Nutrilite Double X-Phytonutrient® one capsule/day for seven days. A week after surgery the dog was sent home without additional medication. The dog is scheduled for chemotherapy the following week.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41402151","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-09-30DOI: 10.19087/imv.2022.11.5.710
Baiq Rista Kumalasari, I. W. Batan, Made Suma Antara
Anjing domestik bernama Pino, jenis kelamin jantan, berumur enam tahun, bobot badan 3,9 kg, dan rambut berwarna cokelat, dibawa ke Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Berdasarkan tanda klinis yang terlihat, anjing mengalami eritema pada kulit, krusta, alopesia pada daerah daun telinga, leher, kaki depan, dan kaki belakang. Status praesens menunjukkan suhu tubuh mengalami peningkatan yaitu 40,5°C. Pemeriksaan kerokan kulit tidak ditemukan adanya parasit atau spora jamur. Sedangkan hasil dari pemeriksaan sitologi didapatkan Curvularia. Hasil pemeriksaan darah yaitu limfositosis dan anemia mikrositik normokromik. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan klinis dan laboratoris, dapat disimpulkan bahwa anjing kasus didiagnosis mengalami dermatofitosis. Diberikan terapi kausatif dengan ketoconazole 10-12 mg/kg BB PO q12h, dan terapi suportif pemberian vitamin B kompleks. Kondisi anjing kasus semakin membaik dengan ditandai tumbuhnya rambut pada bagian tubuh yang mengalami alopesia setelah dilakukan terapi selama lima hari. Curvularia adalah genus Pleosporalean monophyletic dengan banyak jenis spesies, termasuk jenis fitopatogenik, jamur patogen pada hewan dan manusia. Curvularia juga menyebabkan phaeohyphomycosis yang mana ditemukan pada invertebrata, vertebrata berdarah dingin, burung, dan spesies mamalia termasuk ruminansia, kuda, anjing, kucing dan manusia. Tujuan dilakukan pemeriksaan pada anjing kasus adalah untuk mengetahui agen penyakit yang menyebabkan terjadinya banyak lesi pada kulit anjing tersebut.
家养狗皮诺,男性,六岁,体重3.9公斤,棕色头发,被带到乌达亚纳大学兽医兽医学院的疾病科学实验室。从可视的临床标记来看,狗的皮肤、甲壳类动物、耳垂、脖子、前腿和后腿区域的脱毛。praesens状态显示增长的体温即40,5°C。皮肤结痂检查没有寄生虫或真菌孢子。而细胞学检查的结果是Curvularia。血检结果包括淋巴细胞疾病和诺莫克铬微细胞性贫血。根据分析、身体检查、临床检查和实验室,可以得出结论,狗被诊断为皮肤病。与ketoconazole 10-12 mg/kg BB PO q12h以及复杂维生素B的支持疗法进行治疗。经过五天的治疗,这只狗的病情有所好转。Curvularia是一种多物种的单菌属,包括植物病原、动物和人类的真菌病原体。Curvularia还导致了在无脊椎动物、冷血脊椎动物、鸟类和哺乳动物包括ruminansia、horse、狗、猫和人类等动物中发现的黄疸。对狗病例进行检查的目的是确定引起狗皮病变的病原体。
{"title":"Laporan Kasus: Dermatofitosis Karena Infeksi Kapang Curvularia pada Anjing Persilangan","authors":"Baiq Rista Kumalasari, I. W. Batan, Made Suma Antara","doi":"10.19087/imv.2022.11.5.710","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.5.710","url":null,"abstract":"Anjing domestik bernama Pino, jenis kelamin jantan, berumur enam tahun, bobot badan 3,9 kg, dan rambut berwarna cokelat, dibawa ke Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Berdasarkan tanda klinis yang terlihat, anjing mengalami eritema pada kulit, krusta, alopesia pada daerah daun telinga, leher, kaki depan, dan kaki belakang. Status praesens menunjukkan suhu tubuh mengalami peningkatan yaitu 40,5°C. Pemeriksaan kerokan kulit tidak ditemukan adanya parasit atau spora jamur. Sedangkan hasil dari pemeriksaan sitologi didapatkan Curvularia. Hasil pemeriksaan darah yaitu limfositosis dan anemia mikrositik normokromik. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan klinis dan laboratoris, dapat disimpulkan bahwa anjing kasus didiagnosis mengalami dermatofitosis. Diberikan terapi kausatif dengan ketoconazole 10-12 mg/kg BB PO q12h, dan terapi suportif pemberian vitamin B kompleks. Kondisi anjing kasus semakin membaik dengan ditandai tumbuhnya rambut pada bagian tubuh yang mengalami alopesia setelah dilakukan terapi selama lima hari. Curvularia adalah genus Pleosporalean monophyletic dengan banyak jenis spesies, termasuk jenis fitopatogenik, jamur patogen pada hewan dan manusia. Curvularia juga menyebabkan phaeohyphomycosis yang mana ditemukan pada invertebrata, vertebrata berdarah dingin, burung, dan spesies mamalia termasuk ruminansia, kuda, anjing, kucing dan manusia. Tujuan dilakukan pemeriksaan pada anjing kasus adalah untuk mengetahui agen penyakit yang menyebabkan terjadinya banyak lesi pada kulit anjing tersebut.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44210273","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-09-30DOI: 10.19087/imv.2022.11.5.682
Andi Ainun Asmal, I. M. P. Erawan, I. Suartha
Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan adanya tinja yang keras yang menyebabkan defekasi atau buang air besar menjadi jarang bahkan tidak ada. Kucing ras domestik bernama Fino berjenis kelamin jantan, berumur satu tahun, bobot badan 3,98 kg dan warna rambut hitam loreng dibawa oleh pemilik ke klinik hewan Sahabat Satwa Celebes (SSC) Makassar. Kucing kasus sudah tiga hari tidak defekasi sebelum dilakukan pemeriksaan dan sehari sebelum diperiksa nafsu makannya menurun. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan peningkatan frekuensi respirasi di atas rentang normal, palpasi pada saluran pencernaan menunjukkan adanya reaksi rasa sakit, bagian abdomen terasa tegang, dan adanya massa padat pada saluran pencernaan. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) ditemukan adanya beberapa massa bulat padat pada usus dengan gambaran hyperechoic. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan USG dapat disimpulkan bahwa kucing kasus didiagnosis mengalami konstipasi dengan prognosis fausta. Terapi simptomatik dilakukan dengan memberikan gliserin sejumlah 3 mL dengan cara memasukkannya ke dalam rektum, terapi kausatif dilakukan dengan penggantian pakan dengan memberikan pakan tinggi serat (Royal Canin®) dan pengobatan suportif dengan pemberian vitamin penambah nafsu makan (Nutri Plus Gel®) satu ruas jari sekali sehari. Kondisi kucing kasus setelah seminggu menjalani perawatan menunjukkan perkembangan yang sangat baik ditandai dengan defekasi lancar, kondisi feses normal dan tidak adanya konstipasi berulang.
{"title":"Laporan Kasus: Keberhasilan Penanganan Konstipasi pada Kucing Peliharaan dengan Pemberian Pakan Tinggi Serat","authors":"Andi Ainun Asmal, I. M. P. Erawan, I. Suartha","doi":"10.19087/imv.2022.11.5.682","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.5.682","url":null,"abstract":"Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan adanya tinja yang keras yang menyebabkan defekasi atau buang air besar menjadi jarang bahkan tidak ada. Kucing ras domestik bernama Fino berjenis kelamin jantan, berumur satu tahun, bobot badan 3,98 kg dan warna rambut hitam loreng dibawa oleh pemilik ke klinik hewan Sahabat Satwa Celebes (SSC) Makassar. Kucing kasus sudah tiga hari tidak defekasi sebelum dilakukan pemeriksaan dan sehari sebelum diperiksa nafsu makannya menurun. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan peningkatan frekuensi respirasi di atas rentang normal, palpasi pada saluran pencernaan menunjukkan adanya reaksi rasa sakit, bagian abdomen terasa tegang, dan adanya massa padat pada saluran pencernaan. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) ditemukan adanya beberapa massa bulat padat pada usus dengan gambaran hyperechoic. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan USG dapat disimpulkan bahwa kucing kasus didiagnosis mengalami konstipasi dengan prognosis fausta. Terapi simptomatik dilakukan dengan memberikan gliserin sejumlah 3 mL dengan cara memasukkannya ke dalam rektum, terapi kausatif dilakukan dengan penggantian pakan dengan memberikan pakan tinggi serat (Royal Canin®) dan pengobatan suportif dengan pemberian vitamin penambah nafsu makan (Nutri Plus Gel®) satu ruas jari sekali sehari. Kondisi kucing kasus setelah seminggu menjalani perawatan menunjukkan perkembangan yang sangat baik ditandai dengan defekasi lancar, kondisi feses normal dan tidak adanya konstipasi berulang.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48922263","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-09-30DOI: 10.19087/imv.2022.11.5.720
Ida Kurnia, I. G. Soma, I. W. Batan
Curvularia adalah famili Pleosporaceae dengan banyak jenis atau spesies termasuk jenis fitopatogenik, yaitu jamur patogen pada hewan dan manusia. Hewan kasus adalah anjing peranakan Pomeranian berjenis kelamin jantan, berumur enam tahun, dan memiliki bobot badan 4,96 kg. Berdasarkan hasil anamnesis, anjing mengalami gatal-gatal dan rambut rontok yang telah berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Pada pemeriksaan fisik, anjing mengalami alopesia hampir pada seluruh tubuh dan eritema pada bagian kaki. Pemeriksaan sitologi dengan metode tape skin test ditemukan Curvularia spp., sedangkan hasil pemeriksaan darah menunjukkan anjing kasus mengalami anemia normositik hiperkromik, leukositosis, dan limfositosis. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa anjing kasus didiagnosis menderita dermatofitosis akibat infeksi Curvularia spp. Terapi yang diberikan yaitu terapi kausatif dengan antijamur griseofulvin dengan dosis 25 mg/kg BB secara per oral satu kali sehari selama 14 hari dan pemberian sabun sulfur yang dimandikan dua kali seminggu selama satu bulan. Kemudian pemberian antibiotik cephalexin dengan dosis 22 mg/kg BB secara per oral dua kali sehari selama enam hari dan terapi suportif diberikan minyak ikan secara per oral satu kapsul sehari selama 30 hari. Anjing kasus setelah diterapi 30 hari menunjukkan hasil yang baik, sebagian besar tubuh anjing sudah ditumbuhi rambut, serta kulit anjing sudah tidak mengalami eritema dan pruritus
{"title":"Laporan Kasus: Dermatofitosis Kronis Akibat Infeksi Kapang Curvularia spp. pada Anjing Peranakan Pomeranian","authors":"Ida Kurnia, I. G. Soma, I. W. Batan","doi":"10.19087/imv.2022.11.5.720","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.5.720","url":null,"abstract":"Curvularia adalah famili Pleosporaceae dengan banyak jenis atau spesies termasuk jenis fitopatogenik, yaitu jamur patogen pada hewan dan manusia. Hewan kasus adalah anjing peranakan Pomeranian berjenis kelamin jantan, berumur enam tahun, dan memiliki bobot badan 4,96 kg. Berdasarkan hasil anamnesis, anjing mengalami gatal-gatal dan rambut rontok yang telah berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Pada pemeriksaan fisik, anjing mengalami alopesia hampir pada seluruh tubuh dan eritema pada bagian kaki. Pemeriksaan sitologi dengan metode tape skin test ditemukan Curvularia spp., sedangkan hasil pemeriksaan darah menunjukkan anjing kasus mengalami anemia normositik hiperkromik, leukositosis, dan limfositosis. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa anjing kasus didiagnosis menderita dermatofitosis akibat infeksi Curvularia spp. Terapi yang diberikan yaitu terapi kausatif dengan antijamur griseofulvin dengan dosis 25 mg/kg BB secara per oral satu kali sehari selama 14 hari dan pemberian sabun sulfur yang dimandikan dua kali seminggu selama satu bulan. Kemudian pemberian antibiotik cephalexin dengan dosis 22 mg/kg BB secara per oral dua kali sehari selama enam hari dan terapi suportif diberikan minyak ikan secara per oral satu kapsul sehari selama 30 hari. Anjing kasus setelah diterapi 30 hari menunjukkan hasil yang baik, sebagian besar tubuh anjing sudah ditumbuhi rambut, serta kulit anjing sudah tidak mengalami eritema dan pruritus","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47387645","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-07-31DOI: 10.19087/imv.2022.11.4.541
I. G. A. M. Sosiawan, S. Widyastuti, Putu Devi Devi Jayanti
Skabies merupakan infeksi penyakit kulit oleh ektoparasit jenis tungau (mite) yaitu Sarcoptes spp. Tungau Sarcoptes spp. menginfeksi kulit induk semang dengan cara membuat terowongan pada lapisan epidermis yang akan menyebaban rasa gatal. Akibat kekebalan seluler yang lemah, garukan yang intens, dan adanya luka karena infeksi skabies akan dengan mudah diikuti oleh infeksi sekunder dari jamur. Jamur culvularia adalah genus Pleosporalean monophyletic dengan banyak jenis spesies, termasuk jenis fitopatogenik (jamur patogen pada hewan dan manusia) juga dapat menyebabkan phaeohyphomycosis. Studi kasus ini dilakukkan pada seekor anjing lokal bernama Ciko, betina, umur 2,5 bulan dengan berat 2 kg mengalami masalah kulit berupa alopesia di seluruh tubuh, ulser telinga kiri, krusta pada kedua telinga, wajah dan punggung. Eritema pada abdomen, ekor, kaki depan dan belakang dan juga scale pada punggung. Masalah kulit telah berlangsung selama satu bulan sebelum dilakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan metode superf icial skin scraping ditemukan tungau Sarcoptes spp. dan hasil pemeriksaan jamur dengan menggunakan selotip (tape) ditemukan jamur culvularia tipe konidia atipikal. Infeksi jamak atau lebih dari satu agen penyakit (multiple infestation) pada kasus penyakit kulit umumnya bisa terjadi dan dibuktikan pada kasus ini. Untuk hasil pemeriksaan darah menunjukkan anjing mengalami anemia mikrositik normokromik, limfositosis, dan neutropenia. Anjing kasus didiagnosis terinfeksi skabies dengan infeksi sekunder jamur culvularia tipe konida atipikal. Pengobatan dilakukan dengan pemberian ivermectin 0,04 mL, diphenhydramine HCl 0,2 mL, fish oil satu kapsul setiap hari, amitraz 1 mL untuk 100 mL air dan sabun belerang atau sulfur. Penanganan yang telah dilakukan selama 14 hari menunjukkan kondisi anjing mengalami perbaikan ditandai dengan mulai tumbuhnya rambut anjing yang sebelumnya mengalami alopesia, tidak tercium lagi bau tengik dari tubuhnya, sudah jarang menggaruk dan hilangnya ulser, krusta, dan scale pada bagian tubuhnya
{"title":"Laporan Kasus: Infeksi Tungau Skabies pada Anjing Kacang dengan Ikutan Jamur Culvularia","authors":"I. G. A. M. Sosiawan, S. Widyastuti, Putu Devi Devi Jayanti","doi":"10.19087/imv.2022.11.4.541","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.4.541","url":null,"abstract":"Skabies merupakan infeksi penyakit kulit oleh ektoparasit jenis tungau (mite) yaitu Sarcoptes spp. Tungau Sarcoptes spp. menginfeksi kulit induk semang dengan cara membuat terowongan pada lapisan epidermis yang akan menyebaban rasa gatal. Akibat kekebalan seluler yang lemah, garukan yang intens, dan adanya luka karena infeksi skabies akan dengan mudah diikuti oleh infeksi sekunder dari jamur. Jamur culvularia adalah genus Pleosporalean monophyletic dengan banyak jenis spesies, termasuk jenis fitopatogenik (jamur patogen pada hewan dan manusia) juga dapat menyebabkan phaeohyphomycosis. Studi kasus ini dilakukkan pada seekor anjing lokal bernama Ciko, betina, umur 2,5 bulan dengan berat 2 kg mengalami masalah kulit berupa alopesia di seluruh tubuh, ulser telinga kiri, krusta pada kedua telinga, wajah dan punggung. Eritema pada abdomen, ekor, kaki depan dan belakang dan juga scale pada punggung. Masalah kulit telah berlangsung selama satu bulan sebelum dilakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan metode superf icial skin scraping ditemukan tungau Sarcoptes spp. dan hasil pemeriksaan jamur dengan menggunakan selotip (tape) ditemukan jamur culvularia tipe konidia atipikal. Infeksi jamak atau lebih dari satu agen penyakit (multiple infestation) pada kasus penyakit kulit umumnya bisa terjadi dan dibuktikan pada kasus ini. Untuk hasil pemeriksaan darah menunjukkan anjing mengalami anemia mikrositik normokromik, limfositosis, dan neutropenia. Anjing kasus didiagnosis terinfeksi skabies dengan infeksi sekunder jamur culvularia tipe konida atipikal. Pengobatan dilakukan dengan pemberian ivermectin 0,04 mL, diphenhydramine HCl 0,2 mL, fish oil satu kapsul setiap hari, amitraz 1 mL untuk 100 mL air dan sabun belerang atau sulfur. Penanganan yang telah dilakukan selama 14 hari menunjukkan kondisi anjing mengalami perbaikan ditandai dengan mulai tumbuhnya rambut anjing yang sebelumnya mengalami alopesia, tidak tercium lagi bau tengik dari tubuhnya, sudah jarang menggaruk dan hilangnya ulser, krusta, dan scale pada bagian tubuhnya","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42770791","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-07-31DOI: 10.19087/imv.2022.11.4.493
Ninik Purwanti, I. N. Suartha, I. N. Suarsana
Anjing lokal Bali berjumlah 12 ekor mengalami gangguan kulit dengan skor keparahan lesi sedang. Anjing berumur antara 4-6 bulan berlokasi di Denpasar, Bali. Anjing kasus sering menggaruk tubuhnya, menjilati dan menggigit kakinya selama dua bulan terakhir. Hasil pemeriksaan laboratorium kerokan kulit dengan metode deep skin scraping tidak ditemukan adanya tungau. Kultur SDA (Saburent Dextrose Agar) untuk pemeriksaan jamur didapatkan hasil positif jamur Candida sp. Kultur bakteri dengan BA (Blood Agar) didapatkan hasil positif Staphylococcus sp. Dari delapan Kriteria Favrot, pemeriksaan sampel memenuhi lima kriteria yaitu 85% dengan spesifisitas 79%. Terapi yang digunakan yaitu madu trigona dengan sediaan segar dan sediaan kapsul. Sampel dua ekor diuji tanpa pemberian madu trigona, lima ekor diberikan terapi madu trigona sediaan segar 5 mlL/ekor/hari, dan lima ekor lainnya diberikan madu trigona sediaan kapsul 0,1 mg/ekor/hari selama empat4 minggu. Hasil pengamatan perubahan lesi makroskopik sebelum pemberian madu trigona (minggu ke-0) pada kedua belas anjing yaitu terlihat adanya lesi primer dan sekunder. Lesi primer yaitu nodul dan papula. Sedangkan lesi sekunder yaitu sisik, krusta, alopesia, eritema, hiperpigmentasi dan liksenifikasi. Kemudian minggu ke-4 setelah terapi dengan madu trigona, gejala pruritus sudah hilang dan lesi sekunder mulai berkurang, serta rambut sudah mulai tumbuh. Penggunaan terapi madu trigona sediaan segar dan kapsul pada anjing penderita dermatitis atopik dapat dinilai efektif dalam penyembuhan lesi yang ditandai dengan pengurangan nilai skoring lesi makroskopik pada kulit anjing.
{"title":"Laporan Kasus: Penyembuhan Lesi Makroskopik Anjing Kacang Penderita Dermatitis Atopik Pascaterapi Madu Trigona Selama 30 Hari","authors":"Ninik Purwanti, I. N. Suartha, I. N. Suarsana","doi":"10.19087/imv.2022.11.4.493","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.4.493","url":null,"abstract":"Anjing lokal Bali berjumlah 12 ekor mengalami gangguan kulit dengan skor keparahan lesi sedang. Anjing berumur antara 4-6 bulan berlokasi di Denpasar, Bali. Anjing kasus sering menggaruk tubuhnya, menjilati dan menggigit kakinya selama dua bulan terakhir. Hasil pemeriksaan laboratorium kerokan kulit dengan metode deep skin scraping tidak ditemukan adanya tungau. Kultur SDA (Saburent Dextrose Agar) untuk pemeriksaan jamur didapatkan hasil positif jamur Candida sp. Kultur bakteri dengan BA (Blood Agar) didapatkan hasil positif Staphylococcus sp. Dari delapan Kriteria Favrot, pemeriksaan sampel memenuhi lima kriteria yaitu 85% dengan spesifisitas 79%. Terapi yang digunakan yaitu madu trigona dengan sediaan segar dan sediaan kapsul. Sampel dua ekor diuji tanpa pemberian madu trigona, lima ekor diberikan terapi madu trigona sediaan segar 5 mlL/ekor/hari, dan lima ekor lainnya diberikan madu trigona sediaan kapsul 0,1 mg/ekor/hari selama empat4 minggu. Hasil pengamatan perubahan lesi makroskopik sebelum pemberian madu trigona (minggu ke-0) pada kedua belas anjing yaitu terlihat adanya lesi primer dan sekunder. Lesi primer yaitu nodul dan papula. Sedangkan lesi sekunder yaitu sisik, krusta, alopesia, eritema, hiperpigmentasi dan liksenifikasi. Kemudian minggu ke-4 setelah terapi dengan madu trigona, gejala pruritus sudah hilang dan lesi sekunder mulai berkurang, serta rambut sudah mulai tumbuh. Penggunaan terapi madu trigona sediaan segar dan kapsul pada anjing penderita dermatitis atopik dapat dinilai efektif dalam penyembuhan lesi yang ditandai dengan pengurangan nilai skoring lesi makroskopik pada kulit anjing.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46641497","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-07-31DOI: 10.19087/imv.2022.11.4.622
Dharma Audia Samsuri, I. G. Soma, Made Suma Antara
Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD) atau Infeksi Saluran Kencing (ISK) adalah penyakit pada saluran kemih bagian bawah pada kucing yang biasa ditandai dengan kesulitan urinasi,kesakitan, dan urinasi meningkat. Kucing kampung berjenis kelamin jantan, berumur satu tahun, berwarna loreng hitam, dengan bobot 3,9 kg dibawa ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Udayana dengan keluhan awal mengalami kesulitan urinasi. Tiga minggu kemudian keluhan kesulitan urinasi terjadi kembali disertai dengan muntah, dan kurang mau minum. Saat dilakukan pemeriksaan fisik secara inspeksi kucing terlihat normal dan waspada, saat pemeriksaan secara palpasi abdomen teraba kencang dan menunjukkan respons nyeri. Pada pemeriksaan darah lengkap menunjukkan bahwa kucing mengalami leukositosis. Hasil ultrasonografi didapatkan kantung kemih yang dipenuhi dengan urin sehingga terlihat membesar dan adanya peradangan yang terlihat hiperekoik. Hasil radiografi didapatkan kantung kemih yang terlihat besar namun batasannya tidak terlalu jelas dan organ ginjal yang terlihat membesar. Hasil pemeriksaan mikroskopis urin terlihat partikel kristal jenis struvit dan kalsium oksalat. Kucing didiagnosis mengalami feline idiopathic cystitis dengan prognosis fausta. Penanganan dilakukan dengan pemasangan kateter untuk mengeluarkan urin dan membersihkan kantung kemih menggunakan NaCl 0,9% yang disemprotkan melalui spuit. Terapi yang diberikan dengan pemberian antibiotik cefalexin sirup 1 mL/kg BB dua kali sehari PO, obat antiinflamasi dexamethasone 1 mg/kg BB dua kali sehari PO, dan obat herbal Batugin® sirup 2 mL/kg BB satu kali sehari PO. Setelah tujuh hari dilakukan pelepasan kateter, kucing mengalami perubahan setelah diberikan terapi selama tujuh hari ditandai dengan urinasi lancar dan tidak adanya rasa nyeri pada saat urinasi.
{"title":"Laporan Kasus: Radang Kantung Kemih Tanpa Penyebab yang Jelas pada Kucing Kampung","authors":"Dharma Audia Samsuri, I. G. Soma, Made Suma Antara","doi":"10.19087/imv.2022.11.4.622","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/imv.2022.11.4.622","url":null,"abstract":"Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD) atau Infeksi Saluran Kencing (ISK) adalah penyakit pada saluran kemih bagian bawah pada kucing yang biasa ditandai dengan kesulitan urinasi,kesakitan, dan urinasi meningkat. Kucing kampung berjenis kelamin jantan, berumur satu tahun, berwarna loreng hitam, dengan bobot 3,9 kg dibawa ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Udayana dengan keluhan awal mengalami kesulitan urinasi. Tiga minggu kemudian keluhan kesulitan urinasi terjadi kembali disertai dengan muntah, dan kurang mau minum. Saat dilakukan pemeriksaan fisik secara inspeksi kucing terlihat normal dan waspada, saat pemeriksaan secara palpasi abdomen teraba kencang dan menunjukkan respons nyeri. Pada pemeriksaan darah lengkap menunjukkan bahwa kucing mengalami leukositosis. Hasil ultrasonografi didapatkan kantung kemih yang dipenuhi dengan urin sehingga terlihat membesar dan adanya peradangan yang terlihat hiperekoik. Hasil radiografi didapatkan kantung kemih yang terlihat besar namun batasannya tidak terlalu jelas dan organ ginjal yang terlihat membesar. Hasil pemeriksaan mikroskopis urin terlihat partikel kristal jenis struvit dan kalsium oksalat. Kucing didiagnosis mengalami feline idiopathic cystitis dengan prognosis fausta. Penanganan dilakukan dengan pemasangan kateter untuk mengeluarkan urin dan membersihkan kantung kemih menggunakan NaCl 0,9% yang disemprotkan melalui spuit. Terapi yang diberikan dengan pemberian antibiotik cefalexin sirup 1 mL/kg BB dua kali sehari PO, obat antiinflamasi dexamethasone 1 mg/kg BB dua kali sehari PO, dan obat herbal Batugin® sirup 2 mL/kg BB satu kali sehari PO. Setelah tujuh hari dilakukan pelepasan kateter, kucing mengalami perubahan setelah diberikan terapi selama tujuh hari ditandai dengan urinasi lancar dan tidak adanya rasa nyeri pada saat urinasi.","PeriodicalId":13461,"journal":{"name":"Indonesia Medicus Veterinus","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41421600","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}