Sel germinal merupakan salah satu sumber sel yang masih bersifat totipotensi dan berperan dalam pembentukan organisme baru. Morfologi dan ekspresi protein pada sel germinal bersifat dinamis bergantung pada umur dan tahap perkembangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perubahan morfologi dan ekspresi protein sebagai marka sel germinal jantan pada fetus umur 13,5 hari pascakawin (days post coital/ dpc) dan anak mencit umur lima hari pascalahir. Hasil Rigi kelamin dan testis diisolasi dari mencit umur 13,5 dpc dan 5 hari. Jaringan kemudian dipreparasi histologi rutin, dan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE), sedangkan untuk mengidentifikasi keberadaan protein Dazl, Vasa dan Oct4, jaringan diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia menunjukkan morfologi sel germinal jantan pada fetus mencit umur 13,5 dpc dan anak mencit umur lima hari pascalahir sama-sama berbentuk bulat oval. Namun, sel germinal jantan pada mencit umur lima hari pascalahir berukuran lebih besar, jumlah yang lebih sedikit dan terletak jauh dari membran basal. Pada sel germinal jantan umur 13,5 dpc menunjukkan positif lemah terhadap antibodi Oct 4 dan DAZL serta positif kuat terhadap antibodi Vasa. Pada umur lima hari, sel germinal jantan menunjukkan positif kuat terhadap antibodi Oct-4 dan DAZL, serta positif lemah terhadap antibodi Vasa. Simpulan dari penelitian ini adalah morfologi dan ekspresi marka sel germinal dipengaruhi oleh tahapan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel germinal. Vasa dapat digunakan sebagai marka untuk sel germinal umur 13,5 dpc dan DAZL sebagai marka untuk sel germinal umur lima hari pascalahir.
{"title":"Perbedaan Morfologi dan Ekspresi Dazl dan Vasa pada Sel Germinal Fetus dan Anak Mencit Jantan","authors":"Wahono Esthi Prasetyaningtyas, Ni Wayan Kurniani Karja, Mokhamad Fahrudin, Kusdiantoro Mohamad, Srihadi Agungpriyono","doi":"10.19087/jveteriner.2023.24.1.49","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2023.24.1.49","url":null,"abstract":"Sel germinal merupakan salah satu sumber sel yang masih bersifat totipotensi dan berperan dalam pembentukan organisme baru. Morfologi dan ekspresi protein pada sel germinal bersifat dinamis bergantung pada umur dan tahap perkembangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perubahan morfologi dan ekspresi protein sebagai marka sel germinal jantan pada fetus umur 13,5 hari pascakawin (days post coital/ dpc) dan anak mencit umur lima hari pascalahir. Hasil Rigi kelamin dan testis diisolasi dari mencit umur 13,5 dpc dan 5 hari. Jaringan kemudian dipreparasi histologi rutin, dan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE), sedangkan untuk mengidentifikasi keberadaan protein Dazl, Vasa dan Oct4, jaringan diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia menunjukkan morfologi sel germinal jantan pada fetus mencit umur 13,5 dpc dan anak mencit umur lima hari pascalahir sama-sama berbentuk bulat oval. Namun, sel germinal jantan pada mencit umur lima hari pascalahir berukuran lebih besar, jumlah yang lebih sedikit dan terletak jauh dari membran basal. Pada sel germinal jantan umur 13,5 dpc menunjukkan positif lemah terhadap antibodi Oct 4 dan DAZL serta positif kuat terhadap antibodi Vasa. Pada umur lima hari, sel germinal jantan menunjukkan positif kuat terhadap antibodi Oct-4 dan DAZL, serta positif lemah terhadap antibodi Vasa. Simpulan dari penelitian ini adalah morfologi dan ekspresi marka sel germinal dipengaruhi oleh tahapan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel germinal. Vasa dapat digunakan sebagai marka untuk sel germinal umur 13,5 dpc dan DAZL sebagai marka untuk sel germinal umur lima hari pascalahir.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135950937","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ikan asin merupakan produk olahan ikan dengan pemberian garam. Pengolahan ikan asin yang dilakukan secara tradisional dengan penjemuran di ruang terbuka menyebabkan banyak serangga yang hinggap sehingga menimbulkan kontaminasi serta kerusakan pada produk perikanan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keanekaragaman jenis serangga pengganggu pada pengolahan ikan asin, mengukur kelimpahan nisbi dan dominasinya. Koleksi sampel dilakukan menggunakan tangguk serangga untuk serangga terbang, dan secara manual dilakukan pada permukaan ikan dengan menggunakan pinset atau kapas bertangkai yang telah dibasahi alkohol. Berdasarkan hasil koleksi dengan menggunakan tangguk serangga didapatkan 223 lalat. Serangga terbang yang ditemukan pada proses penjemuran ikan asin adalah dua species lalat hijau (Calliphoridae) yaitu Chrysomya megacephala dan C. rufifacies, dua species Muscidae yakni Musca domestica dan M. conducens dan species Sarcophaga yaitu Sarcophaga haemorrhoidalis. Selain itu, terdapat satu jenis tungau Lardoglypus sp. Kelimpahan nisbi tertinggi adalah C. megacephala (51,12%) diikuti M. domestica (31,83%), M. conduncens (6,27%) C. rufifacies (5,85%), dan S. haemorrhoidalis (4,93%).
咸鱼是一种经过盐处理的产品。传统上,露天腌制的咸鱼处理导致许多昆虫栖息,对渔业产品造成污染和破坏。这项研究的目的是确定咸鱼加工厂中各种入侵昆虫的多样性,衡量尼斯比的丰富性和主导地位。样本收集是用昆虫为苍蝇服务的,并通过酒精浸湿的镊子或茎棉签手动在鱼的表面进行。根据对昆虫粪便的收集,发现了223只苍蝇。在咸鱼的腌制过程中发现的会飞的昆虫是两种绿蝇(Calliphoridae),即Chrysomya megacephala和C. rufifaes,两种贻贝科,即Musca家蝇和M. conducens,以及Sarcophaga,也就是虾虾。此外,有一种Lardoglypus sp,最丰富的nisbi是C. megacephala(51.12%),然后是家蝇(31.3%),M. conduncens (3.3.3%), M. ruficies (6.27%), M. ruficies (5.85%), haemorrholis S(4.93%)。
{"title":"Keanekaragaman Jenis Serangga Pengganggu Pada Pengolahan Ikan Asin di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan","authors":"Andi Atikah Khairana, Susi Soviana, Supriyono Supriyono","doi":"10.19087/jveteriner.2023.24.1.13","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2023.24.1.13","url":null,"abstract":"Ikan asin merupakan produk olahan ikan dengan pemberian garam. Pengolahan ikan asin yang dilakukan secara tradisional dengan penjemuran di ruang terbuka menyebabkan banyak serangga yang hinggap sehingga menimbulkan kontaminasi serta kerusakan pada produk perikanan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keanekaragaman jenis serangga pengganggu pada pengolahan ikan asin, mengukur kelimpahan nisbi dan dominasinya. Koleksi sampel dilakukan menggunakan tangguk serangga untuk serangga terbang, dan secara manual dilakukan pada permukaan ikan dengan menggunakan pinset atau kapas bertangkai yang telah dibasahi alkohol. Berdasarkan hasil koleksi dengan menggunakan tangguk serangga didapatkan 223 lalat. Serangga terbang yang ditemukan pada proses penjemuran ikan asin adalah dua species lalat hijau (Calliphoridae) yaitu Chrysomya megacephala dan C. rufifacies, dua species Muscidae yakni Musca domestica dan M. conducens dan species Sarcophaga yaitu Sarcophaga haemorrhoidalis. Selain itu, terdapat satu jenis tungau Lardoglypus sp. Kelimpahan nisbi tertinggi adalah C. megacephala (51,12%) diikuti M. domestica (31,83%), M. conduncens (6,27%) C. rufifacies (5,85%), dan S. haemorrhoidalis (4,93%).","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":"21 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135950938","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penanganan pascamati/postmortem dilakukan terhadap lumba-lumba fraser yang terdampar perairan Selat Sunda, Pandeglang, Banten. Semula lumba-lumba fraser ini ditemukan dalam kondisi hidup tetapi tidak dapat bertahan dan beberapa saat kemudian mati. Informasi mengenai kondisi lumba-lumba fraser yang terdampar di wilayah Indonesia masih sangat terbatas. Makalah ini mengulas gambaran patologi pada lumba-lumba fraser yang terdampar tunggal di Banten. Sampel organ berupa hati, paru-paru, ginjal, limpa, jantung, lambung, usus dan kulit diambil untuk pengamatan patologis makroskopis dan mikroskopis. Pada kulit lumba-lumba fraser teramati adanya lesi antropogenik. Organ hati mengalami hepatitis kronis disertai lipidosis, sedangkan ginjal mengalami kongesti, degenerasi, glomerulonefritis, fibrosis dan metaplasia. Pada paru-paru teramati mineralisasi, bronchiolitis, edema, kongesti dan hemoragi. Limpa mengalami perubahan warna dengan bercak-bercak kuning kecoklatan yang secara mikroskopis merupakan deposit pigmen. Kongesti, degenerasi dan myocarditis teramati pada jantung. Lambung terisi cairan berwarna coklat kehijauan tanpa padatan pakan maupun benda asing. Pada lambung teramati nodul parasit Pholeter gastrophilus dengan lesi spesifik gastritis fibrogranuloma dan pada usus mengalami kongesti, nekrosis dan enteritis tanpa disertai perubahan makroskopis. Lumba-lumba fraser tersebut dalam kondisi sakit sebelum terdampar dan mati.
{"title":"Histopatologi Lumba-Lumba Fraser (Lagenodelphis hosei) yang Terdampar di Pandeglang, Banten","authors":"Ratna Amalia Kurniasih, Nanda Radhitia Prasetiawan","doi":"10.19087/jveteriner.2023.24.1.83","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2023.24.1.83","url":null,"abstract":"Penanganan pascamati/postmortem dilakukan terhadap lumba-lumba fraser yang terdampar perairan Selat Sunda, Pandeglang, Banten. Semula lumba-lumba fraser ini ditemukan dalam kondisi hidup tetapi tidak dapat bertahan dan beberapa saat kemudian mati. Informasi mengenai kondisi lumba-lumba fraser yang terdampar di wilayah Indonesia masih sangat terbatas. Makalah ini mengulas gambaran patologi pada lumba-lumba fraser yang terdampar tunggal di Banten. Sampel organ berupa hati, paru-paru, ginjal, limpa, jantung, lambung, usus dan kulit diambil untuk pengamatan patologis makroskopis dan mikroskopis. Pada kulit lumba-lumba fraser teramati adanya lesi antropogenik. Organ hati mengalami hepatitis kronis disertai lipidosis, sedangkan ginjal mengalami kongesti, degenerasi, glomerulonefritis, fibrosis dan metaplasia. Pada paru-paru teramati mineralisasi, bronchiolitis, edema, kongesti dan hemoragi. Limpa mengalami perubahan warna dengan bercak-bercak kuning kecoklatan yang secara mikroskopis merupakan deposit pigmen. Kongesti, degenerasi dan myocarditis teramati pada jantung. Lambung terisi cairan berwarna coklat kehijauan tanpa padatan pakan maupun benda asing. Pada lambung teramati nodul parasit Pholeter gastrophilus dengan lesi spesifik gastritis fibrogranuloma dan pada usus mengalami kongesti, nekrosis dan enteritis tanpa disertai perubahan makroskopis. Lumba-lumba fraser tersebut dalam kondisi sakit sebelum terdampar dan mati.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":"21 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135950779","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-03-31DOI: 10.19087/jveteriner.2023.24.1.63
Henni Vanda, Ahmad Khairi Abadi, Muhammad Hambal, Farida Athaillah, Wahyu Eka Sari, Frengki Frengki, Daniel Daniel
Ascaridiasis caused by roundworm Ascaridia galli is one of important diseases in poultry industry in Indonesia. This disease can affect economic losses in the form of death, growth retardation, reduced egg production as well as trigger for secondary viral or bacteria infections. Control of this nematode requires a good strategy to avoid the risk of anthelmintic resistance, one of which is the use of herbal medicine such as black cumin seed (Nigella sativa). This study was aimed to determine the level of motility and mortality time of A. galli after treated with black cumin seed extract in vitro. In this study, black cumin seed was extracted using ethanol 96%, and then diluted to 15% (P1), 25% (P2), and 45% (P3) concentration. Pyrantel pamoate preparation was used as positive control (C1), and carboxymethyl cellulose (CMC) solution as negative control (C0). Observations were carried out every 15 minutes until all the treatment worms died. The results revealed that the motility and mortality time of A. galli were significantly different in some treatment groups. The mortality time of group C0, C1 , P1, P2, and P3 were 2592, 801, 1557, 1350, and 612 minutes, respectively. 45% of black cumin seed extract had the ability to decrease worm motility, and it showed the shortest mortality time compared to other treatment groups. It can be concluded that ethanolic extract of black cumin seeds had potential anthelmintics property on A. galli worms.
{"title":"Black Cumin Seed Extract Decrease Motility and Shortening Mortality Time of Ascaridia galli Worm In Vitro","authors":"Henni Vanda, Ahmad Khairi Abadi, Muhammad Hambal, Farida Athaillah, Wahyu Eka Sari, Frengki Frengki, Daniel Daniel","doi":"10.19087/jveteriner.2023.24.1.63","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2023.24.1.63","url":null,"abstract":"Ascaridiasis caused by roundworm Ascaridia galli is one of important diseases in poultry industry in Indonesia. This disease can affect economic losses in the form of death, growth retardation, reduced egg production as well as trigger for secondary viral or bacteria infections. Control of this nematode requires a good strategy to avoid the risk of anthelmintic resistance, one of which is the use of herbal medicine such as black cumin seed (Nigella sativa). This study was aimed to determine the level of motility and mortality time of A. galli after treated with black cumin seed extract in vitro. In this study, black cumin seed was extracted using ethanol 96%, and then diluted to 15% (P1), 25% (P2), and 45% (P3) concentration. Pyrantel pamoate preparation was used as positive control (C1), and carboxymethyl cellulose (CMC) solution as negative control (C0). Observations were carried out every 15 minutes until all the treatment worms died. The results revealed that the motility and mortality time of A. galli were significantly different in some treatment groups. The mortality time of group C0, C1 , P1, P2, and P3 were 2592, 801, 1557, 1350, and 612 minutes, respectively. 45% of black cumin seed extract had the ability to decrease worm motility, and it showed the shortest mortality time compared to other treatment groups. It can be concluded that ethanolic extract of black cumin seeds had potential anthelmintics property on A. galli worms.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":"78 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135950785","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-03-31DOI: 10.19087/jveteriner.2023.24.1.122
Virita Rossa Pratiwi, Yasmi Purnamasari Kuntana, Ruly Budiono, Desak Made Malini, Joko Kusmoro
Dexamethasone is a corticosteroid drug belong to glucocorticoid group. Dexamethasone is immunosuppressant and anti-inflammatory in various inflammatory conditions. Side effects of its use can cause cell apoptosis in various organs such as the spleen. The immunosuppressant effect of dexamethasone can reduce and inhibit peripheral lymphocytes and macrophages until the death of lymphoid cells in the white pulps of the spleen. The simultaneous effect of administering chicken shank gelatin and noni has the potential to improve the structure of the spleen. This study was aimed to prove and obtain effective and safe dose of chicken shank gelatin and noni on the spleens of rats exposed to dexamethasone. The research was carried out experimentally in the laboratory with a completely randomized design (CRD). A total of 25 heads male rats were grouped into five treatments and each treatment consist of five repetitions. There was a treatment group P1 as a negative control, P2 as a positive control (dexamethasone 5 mg/kg BW), P3-P5 (dexamethasone 5 mg/kg + gelatin 1.585 mg/kg + noni simplicia 50; 112; 250 mg/kg BW). The results of the study showed an increase in the area of white pulps and a decrease in the percentage of necrotic cells in the spleen, however, it did not increase the relative weight of the spleen and serum albumin levels (P>0.05). In conclusion, the effective and safe dose for the spleen organs of rats exposed to dexamethasone is 250 mg/kg BW.
{"title":"Noni simplistic effect with Chicken Shank Gelatin Film on White Rat Spleen Exposed to Dexamethasone","authors":"Virita Rossa Pratiwi, Yasmi Purnamasari Kuntana, Ruly Budiono, Desak Made Malini, Joko Kusmoro","doi":"10.19087/jveteriner.2023.24.1.122","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2023.24.1.122","url":null,"abstract":"Dexamethasone is a corticosteroid drug belong to glucocorticoid group. Dexamethasone is immunosuppressant and anti-inflammatory in various inflammatory conditions. Side effects of its use can cause cell apoptosis in various organs such as the spleen. The immunosuppressant effect of dexamethasone can reduce and inhibit peripheral lymphocytes and macrophages until the death of lymphoid cells in the white pulps of the spleen. The simultaneous effect of administering chicken shank gelatin and noni has the potential to improve the structure of the spleen. This study was aimed to prove and obtain effective and safe dose of chicken shank gelatin and noni on the spleens of rats exposed to dexamethasone. The research was carried out experimentally in the laboratory with a completely randomized design (CRD). A total of 25 heads male rats were grouped into five treatments and each treatment consist of five repetitions. There was a treatment group P1 as a negative control, P2 as a positive control (dexamethasone 5 mg/kg BW), P3-P5 (dexamethasone 5 mg/kg + gelatin 1.585 mg/kg + noni simplicia 50; 112; 250 mg/kg BW). The results of the study showed an increase in the area of white pulps and a decrease in the percentage of necrotic cells in the spleen, however, it did not increase the relative weight of the spleen and serum albumin levels (P>0.05). In conclusion, the effective and safe dose for the spleen organs of rats exposed to dexamethasone is 250 mg/kg BW.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":"357 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135950626","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-03-31DOI: 10.19087/jveteriner.2023.24.1.1
Maria Fatima Palupi, Siti Khomariyah, Nurhidayah Nurhidayah, Anna Miftahul Jannah Nurrohmani, Novida Ariyani, Indriyana Indriyana
Resistansi antibiotik merupakan ancaman global yang sangat nyata. Salah satu penyebab meningkatnya kasus resistansi pada manusia adalah penyebaran bakteri ataupun materi genetik resistan dari hewan ke manusia. Penyebaran materi genetik resistan melalui plasmid semakin meningkatkan risiko penyebaran resistansi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen resistan kuinolon yang berada dalam plasmid yaitu qnrA, qnrB dan qnrS pada Escherichia coli. Isolat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 74 isolat E. coli patogen resistan kuinolon berasal dari arsip Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang diisolasi dari usap kloaka ayam petelur pada tahun 2022. Arsip bakteri E. coli yang digunakan adalah patogen serta resistan terhadap salah satu atau lebih antibiotik kuinolon yaitu siprofloksasin, enrofloksasin, norfloksasin, flumekuin dan marbofloksasin. Uji deteksi gen diuji qnrA, qnrB dan qnrS dilakukan dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Berdasarkan hasil uji PCR, gen qnrA ditemukan pada 39 isolat, gen qrnB ditemukan pada 15 isolat dan gen qnrS ditemukan pada 32 isolat. Adapun rinciannya sebagai berikut sebanyak memiliki 32 isolat (42,24%) memiliki gen qnrA saja, lima isolat (6,76%) memiliki gen qnrB saja, 25 isolat (33,78%) memiliki gen qnrS saja, lima isolat (6,76%) memiliki gen qnrA serta qnrB, dua isolat (2,70%) memiliki gen qnrA serta qnrS, dan lima isolat (6,76%) memiliki gen qnrB serta qnrS. Hasil uji ini menunjukkan bahwa semua isolat E. coli yang diuji memiliki minimal satu jenis gen resistan kuinolon yang terdapat dalam plasmid. Keberadaan gen resistan dalam plasmid di E. coli asal hewan produksi menunjukkan bahwa risiko penyebaran sifat resistansi kuinolon padai peternakan ayam petelur cukup tinggi.
{"title":"Deteksi Gen Resistan Kuinolon qnrA, qnrB, dan qnrS pada Escherichia Coli Patogen Resistan Kuinolon dari Ayam Petelur","authors":"Maria Fatima Palupi, Siti Khomariyah, Nurhidayah Nurhidayah, Anna Miftahul Jannah Nurrohmani, Novida Ariyani, Indriyana Indriyana","doi":"10.19087/jveteriner.2023.24.1.1","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2023.24.1.1","url":null,"abstract":"Resistansi antibiotik merupakan ancaman global yang sangat nyata. Salah satu penyebab meningkatnya kasus resistansi pada manusia adalah penyebaran bakteri ataupun materi genetik resistan dari hewan ke manusia. Penyebaran materi genetik resistan melalui plasmid semakin meningkatkan risiko penyebaran resistansi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen resistan kuinolon yang berada dalam plasmid yaitu qnrA, qnrB dan qnrS pada Escherichia coli. Isolat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 74 isolat E. coli patogen resistan kuinolon berasal dari arsip Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang diisolasi dari usap kloaka ayam petelur pada tahun 2022. Arsip bakteri E. coli yang digunakan adalah patogen serta resistan terhadap salah satu atau lebih antibiotik kuinolon yaitu siprofloksasin, enrofloksasin, norfloksasin, flumekuin dan marbofloksasin. Uji deteksi gen diuji qnrA, qnrB dan qnrS dilakukan dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Berdasarkan hasil uji PCR, gen qnrA ditemukan pada 39 isolat, gen qrnB ditemukan pada 15 isolat dan gen qnrS ditemukan pada 32 isolat. Adapun rinciannya sebagai berikut sebanyak memiliki 32 isolat (42,24%) memiliki gen qnrA saja, lima isolat (6,76%) memiliki gen qnrB saja, 25 isolat (33,78%) memiliki gen qnrS saja, lima isolat (6,76%) memiliki gen qnrA serta qnrB, dua isolat (2,70%) memiliki gen qnrA serta qnrS, dan lima isolat (6,76%) memiliki gen qnrB serta qnrS. Hasil uji ini menunjukkan bahwa semua isolat E. coli yang diuji memiliki minimal satu jenis gen resistan kuinolon yang terdapat dalam plasmid. Keberadaan gen resistan dalam plasmid di E. coli asal hewan produksi menunjukkan bahwa risiko penyebaran sifat resistansi kuinolon padai peternakan ayam petelur cukup tinggi.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":"98 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135950777","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-03-31DOI: 10.19087/jveteriner.2023.24.1.40
Tiltje Andretha Ransaleleh, F. M. M. Bapuli, S. C. Rimbing, Martha Kawatu, Indah Wahyuni
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penambahan bobot badan dan morfometri anak kalong/kelelawar Pteropus alecto pada umur yang berbeda. Anak kelelawar dilahirkan oleh induk yang telah dipelihara dalam kandang sejak tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi. Pengambilan data konsumsi pakan dilakukan setiap hari, penimbangan bobot badan dan morfometri dilakukan seminggu sekali. Lama pengambilan data 98 hari (14 minggu/3,5 bulan). Data yang diperoleh ditabulasi kemudian dianalisis secara deskrptif. Variabel yang diukur yaitu jumlah konsumsi buah, penambahan bobot badan dan morfometri. Hasil yang diperoleh untuk jumlah konsumsi buah P. alecto 1, 2 dan 3 secara berurutan yaitu 102.91 g/hari, 139.54 g/hari, 181.07 g/hari. Persentase konsumsi buah pepaya, pisang dan mangga secara berurutan yaitu P. alecto 1 sebesar 50,97%., 29,65%., 19,38%. P. alecto 2 sebesar 61,02%., 24,39%., 14,59%., dan P. alecto 3 sebesar 58,63%., 32,66%., 8,71%. Penambahan bobot badan masing masing sebesar 0.40 g/hari, 0.56 g/hari, dan 0.85g/hari. Penambahan ukuran morfometri kelelawar P. alecto 1 untuk panjang tubuh total, panjang badan, panjang kepala, panjang telinga, panjang lengan bawah sayap, panjang tibia dan lebar bentangan sayap secara berurutan sebesar 0,11 mm/hari., 0,08 mm/hari., 0,03 mm/hari., 0.02 mm/hari., 0,06 mm/hari., 0.03 mm/hari., 0,007mm/hari, P. alecto 2 sebesar 0.13 mm/hari, 0.04 mm/hari, 0.06 mm/hari, 0.02 mm/hari, 0.08 mm/hari, 0.04 mm/hari dan 0,12 mm/hari dan P. alecto 3 sebesar 0.33 mm/hari, 0.29 mm/hari, 0.04 mm/hari, 0.03 mm/hari, 0.15 mm/hari, 0.06 mm/hari dan 0.31 mm/hari. Berdasarkan pada penambahan bobot badan dan morfometri maka hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbedaan penambahan bobot badan, ukuran morfometri dan konsumsi kelelawar disebabkan oleh umur yang berbeda, dan penambahan bobot badan dan morfometri yang besar terjadi pada kelelawar P. alecto yang berumur dari 4,4 bulan hingga 7,7 bulan.
{"title":"Penambahan Bobot Badan dan Morfometrik Kalong Hitam (Pteropus alecto) pada Umur yang Berbeda","authors":"Tiltje Andretha Ransaleleh, F. M. M. Bapuli, S. C. Rimbing, Martha Kawatu, Indah Wahyuni","doi":"10.19087/jveteriner.2023.24.1.40","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2023.24.1.40","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penambahan bobot badan dan morfometri anak kalong/kelelawar Pteropus alecto pada umur yang berbeda. Anak kelelawar dilahirkan oleh induk yang telah dipelihara dalam kandang sejak tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi. Pengambilan data konsumsi pakan dilakukan setiap hari, penimbangan bobot badan dan morfometri dilakukan seminggu sekali. Lama pengambilan data 98 hari (14 minggu/3,5 bulan). Data yang diperoleh ditabulasi kemudian dianalisis secara deskrptif. Variabel yang diukur yaitu jumlah konsumsi buah, penambahan bobot badan dan morfometri. Hasil yang diperoleh untuk jumlah konsumsi buah P. alecto 1, 2 dan 3 secara berurutan yaitu 102.91 g/hari, 139.54 g/hari, 181.07 g/hari. Persentase konsumsi buah pepaya, pisang dan mangga secara berurutan yaitu P. alecto 1 sebesar 50,97%., 29,65%., 19,38%. P. alecto 2 sebesar 61,02%., 24,39%., 14,59%., dan P. alecto 3 sebesar 58,63%., 32,66%., 8,71%. Penambahan bobot badan masing masing sebesar 0.40 g/hari, 0.56 g/hari, dan 0.85g/hari. Penambahan ukuran morfometri kelelawar P. alecto 1 untuk panjang tubuh total, panjang badan, panjang kepala, panjang telinga, panjang lengan bawah sayap, panjang tibia dan lebar bentangan sayap secara berurutan sebesar 0,11 mm/hari., 0,08 mm/hari., 0,03 mm/hari., 0.02 mm/hari., 0,06 mm/hari., 0.03 mm/hari., 0,007mm/hari, P. alecto 2 sebesar 0.13 mm/hari, 0.04 mm/hari, 0.06 mm/hari, 0.02 mm/hari, 0.08 mm/hari, 0.04 mm/hari dan 0,12 mm/hari dan P. alecto 3 sebesar 0.33 mm/hari, 0.29 mm/hari, 0.04 mm/hari, 0.03 mm/hari, 0.15 mm/hari, 0.06 mm/hari dan 0.31 mm/hari. Berdasarkan pada penambahan bobot badan dan morfometri maka hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbedaan penambahan bobot badan, ukuran morfometri dan konsumsi kelelawar disebabkan oleh umur yang berbeda, dan penambahan bobot badan dan morfometri yang besar terjadi pada kelelawar P. alecto yang berumur dari 4,4 bulan hingga 7,7 bulan.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135950782","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-30DOI: 10.19087/jveteriner.2022.23.2.211
P. N. Govendan, Steven Dwi Purbantoro, E. Erika, Yedija Putra Kusuma Wardana Rumbay, A. Rompis
The study was aimed to identify bacteria associated with upper respiratory disorders in pythons. Epiglottis-tracheal swabs were collected aseptically from eight pythons (Malayopython reticulatus, Python bivittatus, and Python regius) with respiratory disorders. Common clinical signs were presented with frothy nasal discharge, nasal discharge, wheezing, mild coughing, crackle sound and star-gazing. Samples were cultured and sub-cultured on Blood Agar (BA) and MacConkey Agar (MCA). Colonies were identified by performing Gram staining, standard biochemical and phenotypic tests procedures. One colony was identified using API 20NE kit. Of all seven different colonies that were previously isolated, Neisseria sp., Escherichia coli, Staphylococcus sp., Klebsiella sp., and Burkholderia cepacia were identified. We suggest that bacterial infections among captive pythons could be closely related to the immune system because of the commensal flora becoming pathogenic.
{"title":"Clinical Findings and Bacterial Identification in Eight Pythons with Respiratory Disorders in Bali","authors":"P. N. Govendan, Steven Dwi Purbantoro, E. Erika, Yedija Putra Kusuma Wardana Rumbay, A. Rompis","doi":"10.19087/jveteriner.2022.23.2.211","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2022.23.2.211","url":null,"abstract":"The study was aimed to identify bacteria associated with upper respiratory disorders in pythons. Epiglottis-tracheal swabs were collected aseptically from eight pythons (Malayopython reticulatus, Python bivittatus, and Python regius) with respiratory disorders. Common clinical signs were presented with frothy nasal discharge, nasal discharge, wheezing, mild coughing, crackle sound and star-gazing. Samples were cultured and sub-cultured on Blood Agar (BA) and MacConkey Agar (MCA). Colonies were identified by performing Gram staining, standard biochemical and phenotypic tests procedures. One colony was identified using API 20NE kit. Of all seven different colonies that were previously isolated, Neisseria sp., Escherichia coli, Staphylococcus sp., Klebsiella sp., and Burkholderia cepacia were identified. We suggest that bacterial infections among captive pythons could be closely related to the immune system because of the commensal flora becoming pathogenic.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44173974","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-30DOI: 10.19087/jveteriner.2022.23.2.265
Ziazan Bevina Athallah, A. M. Rosdianto, D. C. Budinuryanto
Kuda telah lama dikenal sebagai hewan yang memiliki fungsi ekonomi dan nilai budaya. Saat ini, minat dan permintaan terhadap tanaman berkhasiat obat untuk pengobatan etnoveteriner pada kuda semakin meningkat. Penggunaan herbal berpotensi mengobati dan mengatasi masalah kesehatan pada kuda, namun khasiat dan keamanannya belum jelas karena tahapan penelitian yang panjang untuk dikenal sebagai obat standar yang spesifik. Dalam penelitian ini, kami mengumpulkan sejumlah informasi ilmiah dari tinjauan sistematis untuk mengeksplorasi potensi herbal untuk menunjang kesehatan kuda. Ditemukan sejumlah 16 jenis tanaman yang berasal dari beberapa lokasi di dunia yang memiliki khasiat obat pada kuda dengan peran preventif dan promotive. Berbagai bagian dari tanaman Ashwaganda, Kapuk Gurun, Devil’s claw, Ginseng, Jahe, Bawang Putih, Rami, Echinacea, Evening Primrose, Lavender, Rose Hip, Aloe Vera, Kranberi, Sea Buckthorn, Avocado-Soy, Bunga Matahari, dan Temulawak telah digunakan sebagai bahan komplementer dan alternative pengobatan untuk mengatasi beberapa masalah kesehatan pada kuda. Karena adanya keterbatasan dalam sumber informasi, penulis menduga bahwa upaya preventif dan promotif belum menjadi perhatian utama untuk kesehatan kuda. Maka dalam hal ini, penulis mencoba menyampaikan beberapa yang diperoleh terkait dengan pemanfaatan tanaman berkhasiat obat sebagai alternatif dan pelengkap kesehatan kuda secara promotif dan preventif.
{"title":"Kajian Pustaka: Pemanfaatan Simplisia dan Sediaan Galenik Sebagai Bahan Fitofarmaka dan Herbal Terstandar untuk Kesehatan Promotif dan Preventif Kuda","authors":"Ziazan Bevina Athallah, A. M. Rosdianto, D. C. Budinuryanto","doi":"10.19087/jveteriner.2022.23.2.265","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2022.23.2.265","url":null,"abstract":"Kuda telah lama dikenal sebagai hewan yang memiliki fungsi ekonomi dan nilai budaya. Saat ini, minat dan permintaan terhadap tanaman berkhasiat obat untuk pengobatan etnoveteriner pada kuda semakin meningkat. Penggunaan herbal berpotensi mengobati dan mengatasi masalah kesehatan pada kuda, namun khasiat dan keamanannya belum jelas karena tahapan penelitian yang panjang untuk dikenal sebagai obat standar yang spesifik. Dalam penelitian ini, kami mengumpulkan sejumlah informasi ilmiah dari tinjauan sistematis untuk mengeksplorasi potensi herbal untuk menunjang kesehatan kuda. Ditemukan sejumlah 16 jenis tanaman yang berasal dari beberapa lokasi di dunia yang memiliki khasiat obat pada kuda dengan peran preventif dan promotive. Berbagai bagian dari tanaman Ashwaganda, Kapuk Gurun, Devil’s claw, Ginseng, Jahe, Bawang Putih, Rami, Echinacea, Evening Primrose, Lavender, Rose Hip, Aloe Vera, Kranberi, Sea Buckthorn, Avocado-Soy, Bunga Matahari, dan Temulawak telah digunakan sebagai bahan komplementer dan alternative pengobatan untuk mengatasi beberapa masalah kesehatan pada kuda. Karena adanya keterbatasan dalam sumber informasi, penulis menduga bahwa upaya preventif dan promotif belum menjadi perhatian utama untuk kesehatan kuda. Maka dalam hal ini, penulis mencoba menyampaikan beberapa yang diperoleh terkait dengan pemanfaatan tanaman berkhasiat obat sebagai alternatif dan pelengkap kesehatan kuda secara promotif dan preventif.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46972528","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-30DOI: 10.19087/jveteriner.2022.23.2.195
M. M. Sol'uf, M. Krova, S. M. Makandolu
A study was conducted in the Amfoang Region, Kupang Regency with the aim of knowing the amount of cash income and the factors that influence the cash income of beef cattle farmers with different maintenance systems in the Amfoang Region, Kupang Regency. Sampling is done in stages. The first and second stages, namely the determination of two sub-districts and four sample villages, were carried out purposively with the consideration that the two sub-districts and four villages had the largest and smallest beef cattle populations and represented the highlands and lowlands in the Amfoang area. The third stage is the determination of 40 non-proportional random sample farmers in each rearing system. The analytical method used is multiple linear regression. The results showed that cash income in the tie system is 61,93% higher than in the loose grazing system. In the tie system, the cash income obtained by farmers is Rp11.646.824,95 or Rp8.088.072,88 per unit of livestock. In the loose grazing system,cash income is Rp7.157.250 or Rp5.818.902,44 per unit of livestock. Factors which has a real relationship to cash income of beef cattle business both in the tie system and in the loose grazing system, namely the number of cattle sold and the cost of feed. The factor that has the most significant effect on cash income in both the tie system and the loose system is the number of cattle sold. Therefore, to increase the cash income of farmers, the number of livestock sold must be increased.
{"title":"Jumlah Ternak Sapi Potong yang Dijual dan Biaya Pakan Memengaruhi Pendapatan Tunai Peternak di Kawasan Amfuang Kabupaten Kupang","authors":"M. M. Sol'uf, M. Krova, S. M. Makandolu","doi":"10.19087/jveteriner.2022.23.2.195","DOIUrl":"https://doi.org/10.19087/jveteriner.2022.23.2.195","url":null,"abstract":"A study was conducted in the Amfoang Region, Kupang Regency with the aim of knowing the amount of cash income and the factors that influence the cash income of beef cattle farmers with different maintenance systems in the Amfoang Region, Kupang Regency. Sampling is done in stages. The first and second stages, namely the determination of two sub-districts and four sample villages, were carried out purposively with the consideration that the two sub-districts and four villages had the largest and smallest beef cattle populations and represented the highlands and lowlands in the Amfoang area. The third stage is the determination of 40 non-proportional random sample farmers in each rearing system. The analytical method used is multiple linear regression. The results showed that cash income in the tie system is 61,93% higher than in the loose grazing system. In the tie system, the cash income obtained by farmers is Rp11.646.824,95 or Rp8.088.072,88 per unit of livestock. In the loose grazing system,cash income is Rp7.157.250 or Rp5.818.902,44 per unit of livestock. Factors which has a real relationship to cash income of beef cattle business both in the tie system and in the loose grazing system, namely the number of cattle sold and the cost of feed. The factor that has the most significant effect on cash income in both the tie system and the loose system is the number of cattle sold. Therefore, to increase the cash income of farmers, the number of livestock sold must be increased.","PeriodicalId":17749,"journal":{"name":"Jurnal Veteriner","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43297940","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}