Sri Lestari, Satya Wydya Yenny, Gardenia Akhyar, Puridelko Kampar, Tri Ppaf, Lawrence M. Field, Holmes
Karsinoma sel basal (KSB/basalioma) adalah kanker kulit paling umum dan bersifat invasif lokal. Insiden mencapai 39%. Pajanan sinar UV adalah faktor risiko paling umum, banyak mengenai kepala dan leher, menimbulkan beban psikologis. Manajemen penatalaksanaan sangat penting, dipengaruhi berbagai faktor (usia, komorbiditas, sub-tipe, lokasi). Penatalaksanaan KSB di wajah dapat berbeda (alasan kosmetik). Subcutaneus bipedicle island flap merupakan salah satu design rekonstruksi defek setelah eksisi luas di wajah.Dilaporkan satu kasus KSB,laki-laki,41 tahun. Anamnesis: riwayat tahi lalat mudah berdarah sejak 12 tahun yang lalu, sering terpajan sinar matahari. Pasien mengobatinya namun keluhan tidak sembuh. Pemeriksaan fisik, status dermatologikus: tumor3cmx3cmx0,5cm di pipi kanan, dasar jaringan nekrotik dan eksudat kemerahan, tepi tidak rata, dinding meninggi, jaringan sekitar makula eritem,papul-papul teleangiektasis di pinggir(+), tidak melekat pada jaringan dibawahnya, perabaan keras seperti kawat (pinggir tumor). Diagnosis kerja KSB. Hasil histopatologi KSB tipe nodular. Telah dilakukan eksisi KSB yang besar dengan subcutaneus bipedicle island flap di pipi kanan. Dua bulan post operasi memberikan hasil baik. Tidak terdapat defek palpebra inferior.Kata kunci: karsinoma sel basal, tumescent solution, subcutaneus bipedicle island flap
{"title":"Eksisi Luas Dengan Subcutaneus Bipedicle Island Flap Pada Karsinoma Sel Basal Tipe Nodulo Ulserasi Dengan Anestesi Umum Dan Anestesi Lokal Tumescent","authors":"Sri Lestari, Satya Wydya Yenny, Gardenia Akhyar, Puridelko Kampar, Tri Ppaf, Lawrence M. Field, Holmes","doi":"10.33820/MDVI.V45I3.30","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I3.30","url":null,"abstract":"Karsinoma sel basal (KSB/basalioma) adalah kanker kulit paling umum dan bersifat invasif lokal. Insiden mencapai 39%. Pajanan sinar UV adalah faktor risiko paling umum, banyak mengenai kepala dan leher, menimbulkan beban psikologis. Manajemen penatalaksanaan sangat penting, dipengaruhi berbagai faktor (usia, komorbiditas, sub-tipe, lokasi). Penatalaksanaan KSB di wajah dapat berbeda (alasan kosmetik). Subcutaneus bipedicle island flap merupakan salah satu design rekonstruksi defek setelah eksisi luas di wajah.Dilaporkan satu kasus KSB,laki-laki,41 tahun. Anamnesis: riwayat tahi lalat mudah berdarah sejak 12 tahun yang lalu, sering terpajan sinar matahari. Pasien mengobatinya namun keluhan tidak sembuh. Pemeriksaan fisik, status dermatologikus: tumor3cmx3cmx0,5cm di pipi kanan, dasar jaringan nekrotik dan eksudat kemerahan, tepi tidak rata, dinding meninggi, jaringan sekitar makula eritem,papul-papul teleangiektasis di pinggir(+), tidak melekat pada jaringan dibawahnya, perabaan keras seperti kawat (pinggir tumor). Diagnosis kerja KSB. Hasil histopatologi KSB tipe nodular. Telah dilakukan eksisi KSB yang besar dengan subcutaneus bipedicle island flap di pipi kanan. Dua bulan post operasi memberikan hasil baik. Tidak terdapat defek palpebra inferior.Kata kunci: karsinoma sel basal, tumescent solution, subcutaneus bipedicle island flap","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"83 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"80349543","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nurdjannah J. Niode, Reymond Sondakh, Triomega F. X. Sengkey, Agung Nugroho
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4, sehingga terjadi defisiensi imunitas selular. Selain itu dapat menimbulkan berbagai gangguan termasuk kelainan mukokutan berupa penyakit infeksi dan non-infeksi serta proses neoplastik baik bentuk atipikal maupun tipikal yang berat dan rekalsitrans terhadap terapi.Telah dilakukan penelitian terhadap berbagai kelainan mukokutan dan infeksi menular seksual (IMS) pada pasien HIV-AIDS baru di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou, Manado mulai tahun 2014 hingga 2016. Penelitian dilakukan secara retrospektif. Semua kasus pasien HIV-AIDS dengan kelainan mukokutan dan IMS dicatat berdasar rekam medik.Dalam kurun waktu tersebut terdapat 284 kasus HIV dengan kelainan mukokutan dan IMS. Perbandingan laki-laki dan perempuan 2,6:1, terbanyak pada kelompok usia 25-44 tahun (61,62%) dan belum menikah (53,87%). Transmisi HIV terbanyak melalui hubungan seks heteroseksual (83,10%). Sekitar 54,58% subyek telah mendapat terapi antiretrovirus (ARV). Data hitung CD4 hanya terdapat pada 59,86% subyek dengan rentang antara 3 sampai dengan 649 sel/mm3. Kelainan terbanyak berupa kandidiasis oral (90,85%). Kebanyakan subyek dengan kelainan mukokutan dan IMS (73,53%) dengan hitung CD4 <200 sel/mm3.
{"title":"Kelainan Mukokutan dan Infeksi Menular Seksual Pada Pasien HIV-AIDS di RSUP Prof. DR. R. D. Kandou, Manado","authors":"Nurdjannah J. Niode, Reymond Sondakh, Triomega F. X. Sengkey, Agung Nugroho","doi":"10.33820/MDVI.V45I2.4","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I2.4","url":null,"abstract":"Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4, sehingga terjadi defisiensi imunitas selular. Selain itu dapat menimbulkan berbagai gangguan termasuk kelainan mukokutan berupa penyakit infeksi dan non-infeksi serta proses neoplastik baik bentuk atipikal maupun tipikal yang berat dan rekalsitrans terhadap terapi.Telah dilakukan penelitian terhadap berbagai kelainan mukokutan dan infeksi menular seksual (IMS) pada pasien HIV-AIDS baru di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou, Manado mulai tahun 2014 hingga 2016. Penelitian dilakukan secara retrospektif. Semua kasus pasien HIV-AIDS dengan kelainan mukokutan dan IMS dicatat berdasar rekam medik.Dalam kurun waktu tersebut terdapat 284 kasus HIV dengan kelainan mukokutan dan IMS. Perbandingan laki-laki dan perempuan 2,6:1, terbanyak pada kelompok usia 25-44 tahun (61,62%) dan belum menikah (53,87%). Transmisi HIV terbanyak melalui hubungan seks heteroseksual (83,10%). Sekitar 54,58% subyek telah mendapat terapi antiretrovirus (ARV). Data hitung CD4 hanya terdapat pada 59,86% subyek dengan rentang antara 3 sampai dengan 649 sel/mm3. Kelainan terbanyak berupa kandidiasis oral (90,85%). Kebanyakan subyek dengan kelainan mukokutan dan IMS (73,53%) dengan hitung CD4 <200 sel/mm3.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"4 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"79981252","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Beberapa dermatosis terjadi akibat ketidakseimbangan jalur imunologi. Imunomodulator dapat berfungsi sebagai imunostimulan atau imunosupresan. Pengobatan konvensional kelainan-kelainan inflamasi kulit umumnya menggunakan kortikosteroid topikal, tetapi penggunaan klinis terbatas oleh potensi efek samping lokal dan sistemik. Imunomodulator topikal yang terkini dikembangkan dan telah mendapat lisensi dari Food and Drug Administration (FDA) yaitu salap takrolimus dan krim pimekrolimus. Calcineurin inhibitor topikal dianggap sebagai alternatif pengganti kortikosteroid yang aman dan efektif, meskipun masih digolongkan dalam kategori C. Mekanisme kerja obat topikal tersebut dengan menghambat maturasi dan aktivasi sel T melalui kompleks protein sitolitik. Efek samping yang sering terjadi adalah efek lokal berupa pruritus atau rasa panas, tanpa menimbulkan efek sistemik. Kedua obat tersebut disetujui untuk pengobatan dermatitis atopik, namun dapat juga digunakan untuk kelainan-kelainan inflamasi kulit lainnya seperti psoriasis, vitiligo, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, liken planus, reaksi reversal dan pioderma gangrenosum. Obat topikal ini tidak menyebabkan atrofi kulit, telangiektasia, striae ataupun toksisitas sistemik.Kata Kunci: Calcineurin inhibitor topikal, takrolimus, pimekrolimus
{"title":"Calcineurin Inhibitor Topikal Dalam Bidang Dermatologi","authors":"Ninda Sari","doi":"10.33820/MDVI.V45I3.32","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I3.32","url":null,"abstract":"Beberapa dermatosis terjadi akibat ketidakseimbangan jalur imunologi. Imunomodulator dapat berfungsi sebagai imunostimulan atau imunosupresan. Pengobatan konvensional kelainan-kelainan inflamasi kulit umumnya menggunakan kortikosteroid topikal, tetapi penggunaan klinis terbatas oleh potensi efek samping lokal dan sistemik. Imunomodulator topikal yang terkini dikembangkan dan telah mendapat lisensi dari Food and Drug Administration (FDA) yaitu salap takrolimus dan krim pimekrolimus. Calcineurin inhibitor topikal dianggap sebagai alternatif pengganti kortikosteroid yang aman dan efektif, meskipun masih digolongkan dalam kategori C. Mekanisme kerja obat topikal tersebut dengan menghambat maturasi dan aktivasi sel T melalui kompleks protein sitolitik. Efek samping yang sering terjadi adalah efek lokal berupa pruritus atau rasa panas, tanpa menimbulkan efek sistemik. Kedua obat tersebut disetujui untuk pengobatan dermatitis atopik, namun dapat juga digunakan untuk kelainan-kelainan inflamasi kulit lainnya seperti psoriasis, vitiligo, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, liken planus, reaksi reversal dan pioderma gangrenosum. Obat topikal ini tidak menyebabkan atrofi kulit, telangiektasia, striae ataupun toksisitas sistemik.Kata Kunci: Calcineurin inhibitor topikal, takrolimus, pimekrolimus","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"33 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86913182","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Psoriasis adalah suatu penyakit kulit kronis yang secara klasik ditandai oleh daerah kulit memerah dan menebal, ditutupi skuama keperakan. Etiopatogenesisnya kompleks, melibatkan faktor genetik, imunologik dan lingkungan. Kemungkinan adanya kontribusi neuroendokrin pada patogenesis psoriasis cukup menarik perhatian. Kortisol merupakan salah satu profil neuroendokrin yang berinteraksi dengan banyak jalur dalam mencetuskan psoriasis, antara lain regulasi kompartemen epidermis, modulasi respons imun, dan stres.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar kortisol dalam serum antara pasien psoriasis vulgaris dengan bukan pasien psoriasis vulgaris, menggunakan rancangan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang. Penelitian dilakukan sejak bulan Juni sampai Oktober 2016 di RSUP H. Adam Malik Medan. Kadar kortisol dalam serum subyek diperiksa dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Digunakan uji T-independen untuk menilai perbandingan kadar kortisol dalam serum antara kedua kelompok.Selama 5 bulan penelitian didapatkan 40 subyek penelitian yang terdiri atas 20 pasien psoriasis vulgaris dan 20 bukan pasien psoriasis vulgaris. Ditemukan kadar rerata kortisol yang lebih rendah dalam serum pasien psoriasis vulgaris (7,185 5,04 g/dL) dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris (10,390 3,74 g/dL) yang bermakna secara statistik (p<0,05).Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada nilai rerata kadar kortisol dalam serum antara pasien psoriasis vulgaris dengan bukan pasien psoriasis vulgaris.
{"title":"Perbandingan Kadar Kortisol Dalam Serum Pasien Psoriasis Vulgaris Dengan Bukan Pasien Psoriasis Vulgaris","authors":"D. Putri, E. Effendy, I. D. Roesyanto","doi":"10.33820/MDVI.V45I2.11","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I2.11","url":null,"abstract":"Psoriasis adalah suatu penyakit kulit kronis yang secara klasik ditandai oleh daerah kulit memerah dan menebal, ditutupi skuama keperakan. Etiopatogenesisnya kompleks, melibatkan faktor genetik, imunologik dan lingkungan. Kemungkinan adanya kontribusi neuroendokrin pada patogenesis psoriasis cukup menarik perhatian. Kortisol merupakan salah satu profil neuroendokrin yang berinteraksi dengan banyak jalur dalam mencetuskan psoriasis, antara lain regulasi kompartemen epidermis, modulasi respons imun, dan stres.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar kortisol dalam serum antara pasien psoriasis vulgaris dengan bukan pasien psoriasis vulgaris, menggunakan rancangan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang. Penelitian dilakukan sejak bulan Juni sampai Oktober 2016 di RSUP H. Adam Malik Medan. Kadar kortisol dalam serum subyek diperiksa dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Digunakan uji T-independen untuk menilai perbandingan kadar kortisol dalam serum antara kedua kelompok.Selama 5 bulan penelitian didapatkan 40 subyek penelitian yang terdiri atas 20 pasien psoriasis vulgaris dan 20 bukan pasien psoriasis vulgaris. Ditemukan kadar rerata kortisol yang lebih rendah dalam serum pasien psoriasis vulgaris (7,185 5,04 g/dL) dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris (10,390 3,74 g/dL) yang bermakna secara statistik (p<0,05).Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada nilai rerata kadar kortisol dalam serum antara pasien psoriasis vulgaris dengan bukan pasien psoriasis vulgaris.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"50 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88535575","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Eczema coxsackium merupakan spektrum hand, foot, and mouth disease (HFMD) yang disebabkan oleh coxsackievirus A6 (CVA6). Terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara para klinisi mengenai definisi eczema coxsackium hingga saat ini, sehingga data epidemiologi penyakit sulit didapatkan. Telah dipublikasikan beberapa laporan mengenai kasus endemik HFMD yang disebabkan oleh CVA6 di Amerika Serikat (AS), New Zealand, beberapa negara di Eropa, dan Asia. Beberapa klinisi sering mengkaitkan penyakit ini dengan kejadian dermatitis atopik, meskipun hal tersebut belum ada penjelasannya. Patogenesis eczema coxsackium hingga saat ini belum diketahui dengan pasti. Manifestasi klinis yang timbul sangat bervariasi, lebih berat, dan luas, baik pada lesi kulit maupun mukosa dibandingkan dengan HFMD pada umumnya, sehingga lebih dikenal sebagai HFMD atipikal. Penegakan diagnosis eczema coxsackium tidak mudah karena dapat menyerupai penyakit lain dan harus dapat dibuktikan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh CVA6. Prinsip tatalaksana adalah rehidrasi. Prognosis eczema coxsackium adalah baik dan jarang menimbulkan komplikasi yang serius. Kata kunci: eczema coxsackium, coxsackievirus A6, HFMD atipikal
{"title":"Eczema Coxsackium: Bentuk Atipikal Hand, Foot, And Mouth Disease Yang Disebabkan Oleh Coxsackievirus A6","authors":"A. Adelia, W. Budianti, E. Effendy","doi":"10.33820/MDVI.V45I1.17","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I1.17","url":null,"abstract":"Eczema coxsackium merupakan spektrum hand, foot, and mouth disease (HFMD) yang disebabkan oleh coxsackievirus A6 (CVA6). Terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara para klinisi mengenai definisi eczema coxsackium hingga saat ini, sehingga data epidemiologi penyakit sulit didapatkan. Telah dipublikasikan beberapa laporan mengenai kasus endemik HFMD yang disebabkan oleh CVA6 di Amerika Serikat (AS), New Zealand, beberapa negara di Eropa, dan Asia. Beberapa klinisi sering mengkaitkan penyakit ini dengan kejadian dermatitis atopik, meskipun hal tersebut belum ada penjelasannya. Patogenesis eczema coxsackium hingga saat ini belum diketahui dengan pasti. Manifestasi klinis yang timbul sangat bervariasi, lebih berat, dan luas, baik pada lesi kulit maupun mukosa dibandingkan dengan HFMD pada umumnya, sehingga lebih dikenal sebagai HFMD atipikal. Penegakan diagnosis eczema coxsackium tidak mudah karena dapat menyerupai penyakit lain dan harus dapat dibuktikan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh CVA6. Prinsip tatalaksana adalah rehidrasi. Prognosis eczema coxsackium adalah baik dan jarang menimbulkan komplikasi yang serius. Kata kunci: eczema coxsackium, coxsackievirus A6, HFMD atipikal","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"40 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82291839","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Infeksi endogen genitalia wanita merupakan infeksi yang disebabkan oleh perubahan keseimbangan bakteri endogen vagina, termasuk bacterial vaginosis (BV) dan kandidiasis vulvovaginalis (KVV). Keduanya menyebabkan angka kejadian dan rekurensi yang tinggi, dan regimen terapi standar menunjukkan efektivitas yang bervariasi. Akhir-akhir ini Lactobacillus sebagai probiotik sering digunakan untuk terapi dan pencegahan rekurensi pada BV dan KVV. Lactobacillus merupakan flora normal dominan pada vagina, yang mampu menghasilkan asam laktat untuk menjaga pH normal, menghasilkan substansi antimikroba, menempel pada sel epitel vagina, dan menghambat pertumbuhan mikroba patogen. Penelitian menunjukkan efektivitas yang bervariasi dalam penggunaan Lactobacillus pada BV dan KVV, baik dalam bentuk sediaan oral ataupun intravagina. Lactobacillus efektif digunakan dalam pencegahan rekurensi BV, dan sebaiknya digunakan sebagai kombinasi bersama terapi antibiotika standar. Penelitian in vitro mendukung efektivitas Lactobacillus dalam inhibisi Candida, namun dibutuhkan lebih banyak penelitian klinis yang baik untuk dapat menjelaskan lebih lanjut efektivitas dan keamanan Lactobacillus untuk terapi KVV.Kata kunci: Lactobacillus, Bacterial Vaginosis, Kandidiasis Vulvovaginalis, rekurensi
{"title":"Peran Lactobacillus Pada Managemen Infeksi Endogen Genitalia Wanita","authors":"Nadia Wirantari, A. Hidayati","doi":"10.33820/MDVI.V45I2.22","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I2.22","url":null,"abstract":"Infeksi endogen genitalia wanita merupakan infeksi yang disebabkan oleh perubahan keseimbangan bakteri endogen vagina, termasuk bacterial vaginosis (BV) dan kandidiasis vulvovaginalis (KVV). Keduanya menyebabkan angka kejadian dan rekurensi yang tinggi, dan regimen terapi standar menunjukkan efektivitas yang bervariasi. Akhir-akhir ini Lactobacillus sebagai probiotik sering digunakan untuk terapi dan pencegahan rekurensi pada BV dan KVV. Lactobacillus merupakan flora normal dominan pada vagina, yang mampu menghasilkan asam laktat untuk menjaga pH normal, menghasilkan substansi antimikroba, menempel pada sel epitel vagina, dan menghambat pertumbuhan mikroba patogen. Penelitian menunjukkan efektivitas yang bervariasi dalam penggunaan Lactobacillus pada BV dan KVV, baik dalam bentuk sediaan oral ataupun intravagina. Lactobacillus efektif digunakan dalam pencegahan rekurensi BV, dan sebaiknya digunakan sebagai kombinasi bersama terapi antibiotika standar. Penelitian in vitro mendukung efektivitas Lactobacillus dalam inhibisi Candida, namun dibutuhkan lebih banyak penelitian klinis yang baik untuk dapat menjelaskan lebih lanjut efektivitas dan keamanan Lactobacillus untuk terapi KVV.Kata kunci: Lactobacillus, Bacterial Vaginosis, Kandidiasis Vulvovaginalis, rekurensi","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"99 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86103890","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Rianyta, Purwantyastuti, Sri Linuwih Menaldi, Larisa Paramitha
Kortikosteroid sistemik memiliki peranan paling luas di antara semua antiinflamasi dan imunosupresif. Penggunaannya di berbagai bidang kedokteran, termasuk dermatologi, banyak menghasilkan perbaikan klinis yang bermakna. Di sisi lain, pengaruh kortikosteroid terhadap sebagian besar sistem organ, terutama bila diberikan dalam dosis tinggi jangka panjang, berpotensi menghasilkan efek samping serius, meliputi gangguan neuropsikiatrik, kelainan mata, penyakit kardiovaskular, dislipidemia, hiperkoagulabilitas, gangguan gastrointestinal, hiperglikemia, gangguan cairan-elektrolit, kelainan kulit, lipodistrofi, miopati, osteoporosis, infeksi akibat imunosupresi, supresi tumbuh-kembang anak, serta supresi sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Optimalisasi penggunaan kortikosteroid berdasarkan sifat farmakologiknya, yakni pemilihan preparat, rejimen dosis, interval serta waktu dan lama pemberian, metode tapering off, potensi interaksi obat, skrining dan pemantauan efek samping serta reaksi hipersensitivitas, juga pemahaman akan fenomena resistensi, kemungkinan timbul dampak buruk dapat dibatasi, sehingga peranan obat ini sebagai pilihan terapi bagi klinisi dapat dipertahankan. Kata kunci: kortikosteroid sistemik, penggunaan klinis, efek samping, farmakologi
{"title":"Kortikosteroid Sistemik: Aspek Farmakologi Dan Penggunaan Klinis Di Bidang Dermatologi","authors":"Rianyta, Purwantyastuti, Sri Linuwih Menaldi, Larisa Paramitha","doi":"10.33820/MDVI.V45I3.33","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I3.33","url":null,"abstract":"Kortikosteroid sistemik memiliki peranan paling luas di antara semua antiinflamasi dan imunosupresif. Penggunaannya di berbagai bidang kedokteran, termasuk dermatologi, banyak menghasilkan perbaikan klinis yang bermakna. Di sisi lain, pengaruh kortikosteroid terhadap sebagian besar sistem organ, terutama bila diberikan dalam dosis tinggi jangka panjang, berpotensi menghasilkan efek samping serius, meliputi gangguan neuropsikiatrik, kelainan mata, penyakit kardiovaskular, dislipidemia, hiperkoagulabilitas, gangguan gastrointestinal, hiperglikemia, gangguan cairan-elektrolit, kelainan kulit, lipodistrofi, miopati, osteoporosis, infeksi akibat imunosupresi, supresi tumbuh-kembang anak, serta supresi sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Optimalisasi penggunaan kortikosteroid berdasarkan sifat farmakologiknya, yakni pemilihan preparat, rejimen dosis, interval serta waktu dan lama pemberian, metode tapering off, potensi interaksi obat, skrining dan pemantauan efek samping serta reaksi hipersensitivitas, juga pemahaman akan fenomena resistensi, kemungkinan timbul dampak buruk dapat dibatasi, sehingga peranan obat ini sebagai pilihan terapi bagi klinisi dapat dipertahankan. Kata kunci: kortikosteroid sistemik, penggunaan klinis, efek samping, farmakologi","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"24 Suppl 2 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"73062414","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Stella Sjambali, S. Rahmayani, Y. Wirohadidjojo, Retno Danarti
Nevus melanositik kongenital (NMK) atau giant congenital melanocytic nevus merupakan nevus yang muncul saat lahir atau timbul beberapa minggu pertama kehidupan. Lesi dengan ukuran besar dapat menimbulkan masalah psikososial dan meningkatkan risiko melanoma maligna (MM). Bila didapatkan di daerah kepala dan leher disertai nevus satelit perlu dipikirkan kemungkinan neurokutaneus melanosis (NM). Data rekam medis poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2009-Desember 2017 didapatkan 12 kasus NMK luas. Pada makalah ini dilaporkan seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang sejak lahir didapatkan bercak hiperpigmentasi-keabuan, sebagian disertai hipertrikosis, multipel, berukuran 10 cm hingga >20 cm pada telinga kiri hingga leher kiri dan tengkuk, serta bokong. Sejak usia 2 tahun muncul lesi berukuran lebih kecil berupa makula hingga bercak hiperpigmentasi multipel di wajah, kedua lengan, tungkai, punggung, telapak kaki, dan punggung kaki. Tidak terdapat perubahan ukuran lesi yang cepat, kejang, nyeri kepala, maupun muntah berulang. Pada pemeriksaan computed electroenchepalograph (CEEG) dan brain mapping (BM) tidak ditemukan gelombang epileptiform, namun ditemukan perlambatan difus background activity, oleh karena itu disarankan pemeriksaan CT-scan kepala. Pasien ini didiagnosis nevus melanositik kongenital luas. Nevus melanositik kongenital luas dapat meningkatkan risiko terjadinya MM dan bila berlokasi di sepanjang aksis posterior disertai lesi satelit berisiko berkembangnya NM, yaitu sindrom dengan proliferasi melanosit pada sistem saraf pusat disertai NMK. Pada kasus ini tidak didapatkan gejala NM secara klinis namun pelacakan untuk NM dan observasi terhadap MM perlu dilakukan.Kata kunci: nevus melanositik kongenital luas, neurokutaneus melanosis
{"title":"Nevus Melanositik Kongenital Luas Laporan Kasus Dan Telaah Literatur","authors":"Stella Sjambali, S. Rahmayani, Y. Wirohadidjojo, Retno Danarti","doi":"10.33820/MDVI.V45I3.28","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I3.28","url":null,"abstract":"Nevus melanositik kongenital (NMK) atau giant congenital melanocytic nevus merupakan nevus yang muncul saat lahir atau timbul beberapa minggu pertama kehidupan. Lesi dengan ukuran besar dapat menimbulkan masalah psikososial dan meningkatkan risiko melanoma maligna (MM). Bila didapatkan di daerah kepala dan leher disertai nevus satelit perlu dipikirkan kemungkinan neurokutaneus melanosis (NM). Data rekam medis poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2009-Desember 2017 didapatkan 12 kasus NMK luas. Pada makalah ini dilaporkan seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang sejak lahir didapatkan bercak hiperpigmentasi-keabuan, sebagian disertai hipertrikosis, multipel, berukuran 10 cm hingga >20 cm pada telinga kiri hingga leher kiri dan tengkuk, serta bokong. Sejak usia 2 tahun muncul lesi berukuran lebih kecil berupa makula hingga bercak hiperpigmentasi multipel di wajah, kedua lengan, tungkai, punggung, telapak kaki, dan punggung kaki. Tidak terdapat perubahan ukuran lesi yang cepat, kejang, nyeri kepala, maupun muntah berulang. Pada pemeriksaan computed electroenchepalograph (CEEG) dan brain mapping (BM) tidak ditemukan gelombang epileptiform, namun ditemukan perlambatan difus background activity, oleh karena itu disarankan pemeriksaan CT-scan kepala. Pasien ini didiagnosis nevus melanositik kongenital luas. Nevus melanositik kongenital luas dapat meningkatkan risiko terjadinya MM dan bila berlokasi di sepanjang aksis posterior disertai lesi satelit berisiko berkembangnya NM, yaitu sindrom dengan proliferasi melanosit pada sistem saraf pusat disertai NMK. Pada kasus ini tidak didapatkan gejala NM secara klinis namun pelacakan untuk NM dan observasi terhadap MM perlu dilakukan.Kata kunci: nevus melanositik kongenital luas, neurokutaneus melanosis","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"86 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"79842312","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kelainan mukokutan sering dijumpai pada pasien HIV dengan bentuk kelainan yang bervariasi. Progresivitas HIV ditandai dengan penurunan jumlah CD4 dan munculnya manifestasi mukokutan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jumlah CD4 dengan manifestasi mukokutan pada pasien HIV.Dilakukan studi potong lintang berdasarkan rekam medis di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta selama periode Januari 2011-Desember 2015. Data meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko transmisi, manifestasi mukokutan dan jumlah CD4. Titik potong jumlah CD4 adalah 200 sel/mm3. Hubungan jumlah CD4 dengan manifestasi klinis dianalisis menggunakan tes Chi-square, dengan kemaknaan p< 0,05.Dijumpai 928 subyek HIV; 65,4% laki-laki, 34,5% perempuan. Rentang usia terbanyak 20-29 tahun (38,69%). Faktor risiko transmisi HIV terbanyak seks tidak aman (72%). Jumlah CD4 tertinggi 1.094 sel/mm3 dan terendah 1 sel/mm3. Ditemukan 306 kasus dengan manifestasi mukokutan. Manifestasi mukokutan terbanyak berupa infeksi jamur (40,4%) dengan jenis infeksi tersering adalah kandidiasis oral (33,8%); diikuti non-infeksi (28%) dengan jenis tertinggi erupsi obat (35,9%); persentase tumor kecil (0,5%) berupa sarkoma kaposi. Ditemukan kasus infeksi menular seksual (18,85%) dengan kasus terbanyak berupa kondilomata akuminata (49,3%). Analisis statistik menunjukkan hubungan bermakna antara jumlah CD4 dengan infeksi jamur (p:0.0001; OR 3,8; 95% CI 2,29 – 6,30), infeksi virus (p: 0,0031 OR 0,4; 95% CI 0,24–0,74 ) dan infeksi parasit (p: 0,043 OR 0,2; 95% CI 0,06 – 0,61). Infeksi jamur meningkat pada kondisi jumlah CD4 < 200 sel/mm3, sedangkan infeksi virus dan parasit meningkat pada kondisi CD4>200 sel/mm3.
{"title":"Hubungan Jumlah CD4 Dengan Manifestasi Mukokutan: Kajian Pada Pasien HIV di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta","authors":"Satiti Retno Pudjiati, Nadia Akita Dewi","doi":"10.33820/MDVI.V45I2.8","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I2.8","url":null,"abstract":"Kelainan mukokutan sering dijumpai pada pasien HIV dengan bentuk kelainan yang bervariasi. Progresivitas HIV ditandai dengan penurunan jumlah CD4 dan munculnya manifestasi mukokutan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jumlah CD4 dengan manifestasi mukokutan pada pasien HIV.Dilakukan studi potong lintang berdasarkan rekam medis di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta selama periode Januari 2011-Desember 2015. Data meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko transmisi, manifestasi mukokutan dan jumlah CD4. Titik potong jumlah CD4 adalah 200 sel/mm3. Hubungan jumlah CD4 dengan manifestasi klinis dianalisis menggunakan tes Chi-square, dengan kemaknaan p< 0,05.Dijumpai 928 subyek HIV; 65,4% laki-laki, 34,5% perempuan. Rentang usia terbanyak 20-29 tahun (38,69%). Faktor risiko transmisi HIV terbanyak seks tidak aman (72%). Jumlah CD4 tertinggi 1.094 sel/mm3 dan terendah 1 sel/mm3. Ditemukan 306 kasus dengan manifestasi mukokutan. Manifestasi mukokutan terbanyak berupa infeksi jamur (40,4%) dengan jenis infeksi tersering adalah kandidiasis oral (33,8%); diikuti non-infeksi (28%) dengan jenis tertinggi erupsi obat (35,9%); persentase tumor kecil (0,5%) berupa sarkoma kaposi. Ditemukan kasus infeksi menular seksual (18,85%) dengan kasus terbanyak berupa kondilomata akuminata (49,3%). Analisis statistik menunjukkan hubungan bermakna antara jumlah CD4 dengan infeksi jamur (p:0.0001; OR 3,8; 95% CI 2,29 – 6,30), infeksi virus (p: 0,0031 OR 0,4; 95% CI 0,24–0,74 ) dan infeksi parasit (p: 0,043 OR 0,2; 95% CI 0,06 – 0,61). Infeksi jamur meningkat pada kondisi jumlah CD4 < 200 sel/mm3, sedangkan infeksi virus dan parasit meningkat pada kondisi CD4>200 sel/mm3.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"7 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86975782","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Psoriasis disertai penyakit bulosa autoimun yang terjadi pada satu orang sangat jarang terjadi. Diduga terdapat peranan plasminogenactivator, predisposisi genetik, atau faktor pencetus infeksi dalam patogenesis psoriasis yang disertai pemfigus foliaseus. Metotreksat dilaporkan efektif sebagai terapi psoriasis pustulosa dan azatioprin sebagai terapi penyakit bulosa autoimun menimbulkan efek samping yang lebih dapat ditoleransi.Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun dengan diagnosis psoriasis pustulosa generalisata disertai pemfigus foliaseus. Selain gambaran klinis, diagnosis psoriasis pustulosa ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis, sedangkan diagnosis pemfigus foliaseus ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologis dan direct immunofluorescence (DIF). Pasien diterapi dengan kombinasi metotreksat 3x5 mg/minggu dan azatioprin 2x100 mg/hari. Setelah dua minggu mendapat terapi kombinasi, terjadi perbaikan klinis dan tidak ditemukan lesi baru. Psoriasis dan penyakit bulosa autoimun pada satu orang sulit terapinya karena penggunaan dan penghentian kortikosteroid sistemik dapat mencetuskan psoriasis pustulosa. Pada pasien ini, dipilih metotreksat sebagai terapi psoriasis pustulosa generalisata karena efektivitasnya baik dan tersedia di Indonesia. Azatioprin diberikan untuk terapi pemfigus foliaseus atas pertimbangan efek samping yang jarang terjadi dibandingkan obat imunosupresan lainnya. Dilaporkan satu pasien usia 38 tahun dengan psoriasis pustulosa generalisata disertai pemfigus foliaseus yang mendapatkan terapi kombinasi metotreksat 3x5 mg/minggu dan azatioprin 2x100 mg/hari. Perbaikan klinis didapatkan setelah dua minggu pengobatan. Kata kunci: azatioprin, metotreksat, pemfigus foliaseus, psoriasis pustulosa generalisata
{"title":"Psoriasis Pustulosa Generalisata Dan Pemfigus Foliaseus Pada Seorang Pasien Yang Diterapi Dengan Kombinasi Metotreksat Dan Azatioprin","authors":"Yola Fadilla, Dian Febrina, Nia Srie Haryati, Oki Suwarsa, Hartati Purbo Darmadji","doi":"10.33820/MDVI.V45I1.15","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I1.15","url":null,"abstract":"Psoriasis disertai penyakit bulosa autoimun yang terjadi pada satu orang sangat jarang terjadi. Diduga terdapat peranan plasminogenactivator, predisposisi genetik, atau faktor pencetus infeksi dalam patogenesis psoriasis yang disertai pemfigus foliaseus. Metotreksat dilaporkan efektif sebagai terapi psoriasis pustulosa dan azatioprin sebagai terapi penyakit bulosa autoimun menimbulkan efek samping yang lebih dapat ditoleransi.Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun dengan diagnosis psoriasis pustulosa generalisata disertai pemfigus foliaseus. Selain gambaran klinis, diagnosis psoriasis pustulosa ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis, sedangkan diagnosis pemfigus foliaseus ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologis dan direct immunofluorescence (DIF). Pasien diterapi dengan kombinasi metotreksat 3x5 mg/minggu dan azatioprin 2x100 mg/hari. Setelah dua minggu mendapat terapi kombinasi, terjadi perbaikan klinis dan tidak ditemukan lesi baru. Psoriasis dan penyakit bulosa autoimun pada satu orang sulit terapinya karena penggunaan dan penghentian kortikosteroid sistemik dapat mencetuskan psoriasis pustulosa. Pada pasien ini, dipilih metotreksat sebagai terapi psoriasis pustulosa generalisata karena efektivitasnya baik dan tersedia di Indonesia. Azatioprin diberikan untuk terapi pemfigus foliaseus atas pertimbangan efek samping yang jarang terjadi dibandingkan obat imunosupresan lainnya. Dilaporkan satu pasien usia 38 tahun dengan psoriasis pustulosa generalisata disertai pemfigus foliaseus yang mendapatkan terapi kombinasi metotreksat 3x5 mg/minggu dan azatioprin 2x100 mg/hari. Perbaikan klinis didapatkan setelah dua minggu pengobatan. Kata kunci: azatioprin, metotreksat, pemfigus foliaseus, psoriasis pustulosa generalisata","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"73 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"84395443","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}