Marina Rimadhani, M. Listiawan, Sawitri, Willy Sandhika
Vitiligo adalah kelainan depigmentasi yang didapat dan umum ditemui, ditandai dengan bercak putih susu pada kulit, rambut dan mukosa akibat kerusakan melanosit secara selektif. Jumlah melanosit yang berkurang pada vitiligo digambarkan secara jelas oleh pemeriksaan imunohistokimia protein S100. Mekanisme yang terlibat dalam disfungsi melanosit pada epidermis vitiligo hanya sedikit yang diketahui. Penelitian sebelumnya menunjukkan peran microphthalmia-associated transcription factor (MITF) pada vitiligo dan dapat mengakibatkan disfungsi dan atau kehilangan melanosit. MITF memiliki fungsi diferensiasi melanoblas menjadi melanosit. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi ekspresi MITF dan jumlah melanosit pada vitiligo dibandingkan non-vitiligo. Metode penelitian ini merupakan penelitian potong lintang observasional analitik pada pasien vitiligo sebagai subjek di unit rawat jalan kulit dan kelamin RSUD Dr. Soetomo. Subjek penelitian dikumpulkan secara consecutive sampling dengan jumlah sampel 18 pasien vitiligo dan 10 pasien non vitiligo, data dianalisis secara statistik. Penurunan ekspresi MITF dan jumlah melanosit yang diperiksa dengan antibodi S100 pada pasien vitiligo dibandingkan kulit non-vitiligo berbeda bermakna (p< 0,001) secara statistik maupun klinis. MITF berperan dalam patogenesis vitiligo. Imunohistokimia MITF dan pemeriksaan S100 dapat bermanfaat sebagai indikator keberhasilan terapi.Kata Kunci : MITF, S100, Vitiligo
{"title":"EKSPRESI MICROPHTALMIA ASSOCIATED-TRANSCRIPTION FACTOR (MITF) DAN PROTEIN S100 PADA VITILIGO","authors":"Marina Rimadhani, M. Listiawan, Sawitri, Willy Sandhika","doi":"10.33820/MDVI.V46I1.46","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V46I1.46","url":null,"abstract":"Vitiligo adalah kelainan depigmentasi yang didapat dan umum ditemui, ditandai dengan bercak putih susu pada kulit, rambut dan mukosa akibat kerusakan melanosit secara selektif. Jumlah melanosit yang berkurang pada vitiligo digambarkan secara jelas oleh pemeriksaan imunohistokimia protein S100. Mekanisme yang terlibat dalam disfungsi melanosit pada epidermis vitiligo hanya sedikit yang diketahui. Penelitian sebelumnya menunjukkan peran microphthalmia-associated transcription factor (MITF) pada vitiligo dan dapat mengakibatkan disfungsi dan atau kehilangan melanosit. MITF memiliki fungsi diferensiasi melanoblas menjadi melanosit. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi ekspresi MITF dan jumlah melanosit pada vitiligo dibandingkan non-vitiligo. Metode penelitian ini merupakan penelitian potong lintang observasional analitik pada pasien vitiligo sebagai subjek di unit rawat jalan kulit dan kelamin RSUD Dr. Soetomo. Subjek penelitian dikumpulkan secara consecutive sampling dengan jumlah sampel 18 pasien vitiligo dan 10 pasien non vitiligo, data dianalisis secara statistik. Penurunan ekspresi MITF dan jumlah melanosit yang diperiksa dengan antibodi S100 pada pasien vitiligo dibandingkan kulit non-vitiligo berbeda bermakna (p< 0,001) secara statistik maupun klinis. MITF berperan dalam patogenesis vitiligo. Imunohistokimia MITF dan pemeriksaan S100 dapat bermanfaat sebagai indikator keberhasilan terapi.Kata Kunci : MITF, S100, Vitiligo","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"15 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"74923919","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kista epidermoid merupakan salah satu tumor kista jinak yang dilapisi epitel skuamosa dan berisi keratin. Secara klinis memberi gambaran khas berupa nodus sewarna kulit atau kekuningan dan tidak nyeri, dengan pungtum sentral pada folikel pilosebasea. Kista epidermoid terinflamasi sering salah diagnosis sebagai granuloma piogenik. Dilaporkan satu kasus anak perempuan dengan kista epidermoid terinflamasi yang menyerupai granuloma piogenik.Seorang anak perempuan berusia 11 tahun, dibawa berobat dengan keluhan benjolan merah di pipi kanan yang bertambah besar sejak 2 bulan lalu. Permukaan lesi licin dan tidak nyeri. Riwayat trauma tidak diketahui. Pada pemeriksaan di regio maksilaris dekstra ditemukan tumor eritematosa-livid, bulat, soliter, 1x1x0,5 cm, dengan pungtum sentral. Dilakukan shave eksisi dilanjutkan bedah listrik dengan modalitas koagulasi. Hasil pemeriksaan histopatologik menunjukkan kista epidermoid dilapisi epitel skuamosa kompleks berkeratin dengan lumen berisi massa keratin.Kista epidermoid terinflamasi jarang dijumpai. Gambaran histopatologis menunjukkan kista dilapisi epitel skuamosa berlapis dengan lapisan granular utuh berisi massa keratin. Kista epidermoid terinflamasi diduga akibat trauma yang memicu respons inflamasi dan jaringan granulasi sehingga terbentuk granuloma piogenik.Granuloma piogenik dapat terjadi pada lesi kista epidermoid akibat trauma. Pada kasus dengan gambaran klinis menyerupai granuloma piogenik, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti. Kata kunci: Kista epidermoid dengan inflamasi, granuloma piogenik, gambaran klinis, histopatologis
{"title":"Kista Epidermoid Terinflamasi Yang Menyerupai Granuloma Piogenik Pada Anak","authors":"Widyastuti, Yulia Farida Yahya","doi":"10.33820/MDVI.V45I1.12","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I1.12","url":null,"abstract":"Kista epidermoid merupakan salah satu tumor kista jinak yang dilapisi epitel skuamosa dan berisi keratin. Secara klinis memberi gambaran khas berupa nodus sewarna kulit atau kekuningan dan tidak nyeri, dengan pungtum sentral pada folikel pilosebasea. Kista epidermoid terinflamasi sering salah diagnosis sebagai granuloma piogenik. Dilaporkan satu kasus anak perempuan dengan kista epidermoid terinflamasi yang menyerupai granuloma piogenik.Seorang anak perempuan berusia 11 tahun, dibawa berobat dengan keluhan benjolan merah di pipi kanan yang bertambah besar sejak 2 bulan lalu. Permukaan lesi licin dan tidak nyeri. Riwayat trauma tidak diketahui. Pada pemeriksaan di regio maksilaris dekstra ditemukan tumor eritematosa-livid, bulat, soliter, 1x1x0,5 cm, dengan pungtum sentral. Dilakukan shave eksisi dilanjutkan bedah listrik dengan modalitas koagulasi. Hasil pemeriksaan histopatologik menunjukkan kista epidermoid dilapisi epitel skuamosa kompleks berkeratin dengan lumen berisi massa keratin.Kista epidermoid terinflamasi jarang dijumpai. Gambaran histopatologis menunjukkan kista dilapisi epitel skuamosa berlapis dengan lapisan granular utuh berisi massa keratin. Kista epidermoid terinflamasi diduga akibat trauma yang memicu respons inflamasi dan jaringan granulasi sehingga terbentuk granuloma piogenik.Granuloma piogenik dapat terjadi pada lesi kista epidermoid akibat trauma. Pada kasus dengan gambaran klinis menyerupai granuloma piogenik, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti. Kata kunci: Kista epidermoid dengan inflamasi, granuloma piogenik, gambaran klinis, histopatologis","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"174 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"74092070","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang dapat mengancam jiwa. umumnya disebabkan karena efek simpang obat, ditandai dengan kulit kemerahan dan epidermolisis, disertai dengan konjungtivitis dan keterlibatan mukosa orifisium baik oral, genital maupun perianus. Tatalaksana NET hingga sekarang masih merupakan masalah. Banyak pasien dikelola secara konservatif dan membutuhkan waktu perawatan yang sangat lama. Sebaliknya pada sebagian pasien dikelola seperti pasien luka bakar yang pada umumnya memerlukan debridement agar luka sembuh dengan segera. Namun untuk beberapa alasan, debridement masih diperdebatan dalam tata laksana NET.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peranan debridement dalam pengelolaan NET dari sudut pandang lama rawat inap pasien di RSUD Prof.dr. Margono Soekarjo pada tahun 2005 – 2015.Pada penelitian ini dilakukan analisis retrospektif data yang didapat dari catatan medis pasien NET yang dirawat pada tahun 2005 – 2015. Data yang diambil meliputi persentase luas permukaan tubuh yang terlibat, dan lama rawat inap. Analisis dilakukan dengan menggunakan t-test.Dua puluh tujuh pasien dengan diagnosis NET, baik yang dilakukan debridement maupun tidak, diikutsertakan dalam penelitian ini. Pada pasien NET dengan luas permukaan tubuh yang terlibat sebesar 30-50%, lama rawat inap pasien yang dilakukan debridement lebih singkat secara bermakna (p=0,032) dibandingkan dengan pasien yang tidak dilakukan debridement. Sedangkan pada pasien dengan luas permukaan yang terlibat sebesar 50-80% secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna di antara keduanya (p=0,121), meskipun pasien yang dilakukan debridement lama rawat inapnya lebih singkat.Debridement dapat mengurangi lama rawat inap pada tata laksana NET. Tidak hanya mengurangi lama rawat inap tetapi juga memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien dan mengurangi risiko indeksi sekunder. Dapat diusulkan debridement sebagai salah satu protokol tata laksana pasien NET. Kata kunci: nekrolisis epidermal toksik, debridement, lama rawat inap
{"title":"Peran Debridement Dalam Manajemen Nekrolisis Epidermal Toksik Pada Pasien Rawat Inap Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Tahun 2005-2015: Studi Retrospektif","authors":"Ismiralda Oke Putranti, Citra Primanita, A. Fawzy","doi":"10.33820/MDVI.V45I3.26","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I3.26","url":null,"abstract":"Nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang dapat mengancam jiwa. umumnya disebabkan karena efek simpang obat, ditandai dengan kulit kemerahan dan epidermolisis, disertai dengan konjungtivitis dan keterlibatan mukosa orifisium baik oral, genital maupun perianus. Tatalaksana NET hingga sekarang masih merupakan masalah. Banyak pasien dikelola secara konservatif dan membutuhkan waktu perawatan yang sangat lama. Sebaliknya pada sebagian pasien dikelola seperti pasien luka bakar yang pada umumnya memerlukan debridement agar luka sembuh dengan segera. Namun untuk beberapa alasan, debridement masih diperdebatan dalam tata laksana NET.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peranan debridement dalam pengelolaan NET dari sudut pandang lama rawat inap pasien di RSUD Prof.dr. Margono Soekarjo pada tahun 2005 – 2015.Pada penelitian ini dilakukan analisis retrospektif data yang didapat dari catatan medis pasien NET yang dirawat pada tahun 2005 – 2015. Data yang diambil meliputi persentase luas permukaan tubuh yang terlibat, dan lama rawat inap. Analisis dilakukan dengan menggunakan t-test.Dua puluh tujuh pasien dengan diagnosis NET, baik yang dilakukan debridement maupun tidak, diikutsertakan dalam penelitian ini. Pada pasien NET dengan luas permukaan tubuh yang terlibat sebesar 30-50%, lama rawat inap pasien yang dilakukan debridement lebih singkat secara bermakna (p=0,032) dibandingkan dengan pasien yang tidak dilakukan debridement. Sedangkan pada pasien dengan luas permukaan yang terlibat sebesar 50-80% secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna di antara keduanya (p=0,121), meskipun pasien yang dilakukan debridement lama rawat inapnya lebih singkat.Debridement dapat mengurangi lama rawat inap pada tata laksana NET. Tidak hanya mengurangi lama rawat inap tetapi juga memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien dan mengurangi risiko indeksi sekunder. Dapat diusulkan debridement sebagai salah satu protokol tata laksana pasien NET. Kata kunci: nekrolisis epidermal toksik, debridement, lama rawat inap","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"25 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"78182591","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sri Linuwih Menaldi, Rosdeni Arifin, T. Gondhowiardjo
Keterlibatan mata pada penyakit kusta sering terjadi dan masih merupakan masalah kesehatan yang serius, namun hanya sedikit data yang dipublikasikan. Kelainan mata akibat penyakit kusta dapat menyebabkan kebutaan dan termasuk cacat tingkat dua yang dapat mengganggu produktivitas pasien kusta setelah kecacatan pada ekstremitasnya. Kelainan mata ekstraokuler yang dapat terjadi berupa madarosis dan lagoftalmos, yang mudah didiagnosis oleh petugas kesehatan atau dokter yang bukan dokter spesialis mata. Komplikasi intraokuler yang dapat menyebabkan kebutaan secara langsung adalah katarak, uveitis, dan glaukoma. Tujuan survei pendahuluan ini adalah untuk mendapatkan data komplikasi pada mata akibat infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae), dan untuk digunakan sebagai acuan penelitian lebih lanjut. Hasil survei yang dilakukan di pemukiman sekitar wilayah RS Sitanala Tangerang, ditemukan kelainan katarak menduduki prevalensi tertinggi yaitu 24,68%, diikuti oleh uveitis dengan prevalensi 23,41% dan 13,92% ditemukan uveitis bilateral. Pemeriksaan kelainan mata seyogianya dilakukan oleh dokter spesialis mata yang kompeten di bidangnya. Dengan demikian tata laksana kasus kusta dapat dilakukan terintegrasi, sehingga kebutaan dapat dicegah lebih dini.
{"title":"Prevalensi Kelainan Mata Pada Pasien Kusta di Suatu Wilayah Pemukiman Kusta di Tangerang","authors":"Sri Linuwih Menaldi, Rosdeni Arifin, T. Gondhowiardjo","doi":"10.33820/MDVI.V45I2.13","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I2.13","url":null,"abstract":"Keterlibatan mata pada penyakit kusta sering terjadi dan masih merupakan masalah kesehatan yang serius, namun hanya sedikit data yang dipublikasikan. Kelainan mata akibat penyakit kusta dapat menyebabkan kebutaan dan termasuk cacat tingkat dua yang dapat mengganggu produktivitas pasien kusta setelah kecacatan pada ekstremitasnya. Kelainan mata ekstraokuler yang dapat terjadi berupa madarosis dan lagoftalmos, yang mudah didiagnosis oleh petugas kesehatan atau dokter yang bukan dokter spesialis mata. Komplikasi intraokuler yang dapat menyebabkan kebutaan secara langsung adalah katarak, uveitis, dan glaukoma. Tujuan survei pendahuluan ini adalah untuk mendapatkan data komplikasi pada mata akibat infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae), dan untuk digunakan sebagai acuan penelitian lebih lanjut. Hasil survei yang dilakukan di pemukiman sekitar wilayah RS Sitanala Tangerang, ditemukan kelainan katarak menduduki prevalensi tertinggi yaitu 24,68%, diikuti oleh uveitis dengan prevalensi 23,41% dan 13,92% ditemukan uveitis bilateral. Pemeriksaan kelainan mata seyogianya dilakukan oleh dokter spesialis mata yang kompeten di bidangnya. Dengan demikian tata laksana kasus kusta dapat dilakukan terintegrasi, sehingga kebutaan dapat dicegah lebih dini.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"27 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"73669156","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pada tatalaksana kasus erupsi obat alergik (EOA), identifikasi obat penyebab merupakan langkah utama untuk mencegah pajanan ulang terhadap obat yang menyebabkan EOA. Sebagian besar kasus EOA sulit menentukan obat penyebabnya, sehingga dibutuhkan uji provokasi beberapa obat yang diduga sebagai obat penyebab.Uji provokasi oral merupakan baku emas untuk menentukan obat penyebab, namun merupakan kontraindikasi pada kasus EOA berat. Uji tempel, tusuk, dan intradermal merupakan metode in vivo yang relatif lebih aman digunakan untuk identifikasi obat penyebab, walaupun terdapat beberapa keterbatasan. Dasar pemilihan uji kulit adalah berdasarkan patomekanisme dan manifestasi klinis EOA, diduga paling sering dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas Coombs dan Gel tipe I dan IV. Uji tempel dapat bermanfaat pada kasus EOA tipe maku lopapular dan fixed drug eruption, sedangkan uji tusuk dapat bermanfaat untuk tipe urtikaria dan angioedema. Untuk mendapatkan hasil uji yang sahih, perlu diperhatikan konsentrasi alergen obat dan vehikulum yang digunakan, serta persyaratan uji. Indikasi uji tempel pada kasus EOA semakin meningkat, tetapi terdapat variasi antar pusat layanan dan belum ada panduan yang di sepakati bersama.Kata kunci:erupsi obat alergik, identifikasi obat, uji kulit
{"title":"Peran Dan Prosedur Uji Kulit Untuk Identifikasi Penyebab Pada Kasus Reaksi Simpang Obat","authors":"Windy Keumala Budianti, Pandu Pradana, Mutiara Ramadhiani","doi":"10.33820/MDVI.V45I3.34","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I3.34","url":null,"abstract":"Pada tatalaksana kasus erupsi obat alergik (EOA), identifikasi obat penyebab merupakan langkah utama untuk mencegah pajanan ulang terhadap obat yang menyebabkan EOA. Sebagian besar kasus EOA sulit menentukan obat penyebabnya, sehingga dibutuhkan uji provokasi beberapa obat yang diduga sebagai obat penyebab.Uji provokasi oral merupakan baku emas untuk menentukan obat penyebab, namun merupakan kontraindikasi pada kasus EOA berat. Uji tempel, tusuk, dan intradermal merupakan metode in vivo yang relatif lebih aman digunakan untuk identifikasi obat penyebab, walaupun terdapat beberapa keterbatasan. Dasar pemilihan uji kulit adalah berdasarkan patomekanisme dan manifestasi klinis EOA, diduga paling sering dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas Coombs dan Gel tipe I dan IV. Uji tempel dapat bermanfaat pada kasus EOA tipe maku lopapular dan fixed drug eruption, sedangkan uji tusuk dapat bermanfaat untuk tipe urtikaria dan angioedema. Untuk mendapatkan hasil uji yang sahih, perlu diperhatikan konsentrasi alergen obat dan vehikulum yang digunakan, serta persyaratan uji. Indikasi uji tempel pada kasus EOA semakin meningkat, tetapi terdapat variasi antar pusat layanan dan belum ada panduan yang di sepakati bersama.Kata kunci:erupsi obat alergik, identifikasi obat, uji kulit","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"132 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86603302","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit, dengan dugaan kuat akibat pengaruh genetik. Psoriasis memiliki karakteristik berupa gangguan pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta keterlibatan agen biokimiawi, imunologik, kelainan vaskular, dan sistem saraf. Keterlibatan sistem saraf pada psoriasis salah satunya diperankan oleh brain-derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF telah dikenal luas berperan pada kondisi stres dan depresi, namun BDNF ternyata juga memilki peran menjaga homeostasis korneosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar BDNF dalam serum pasien psoriasis vulgaris dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris.Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 20 orang pasien psoriasis vulgaris (kasus) dan 20 orang bukan pasien psoriasis vulgaris (kontrol) ikut serta dalam penelitian ini. Pada seluruh subyek penelitian dilakukan pengambilan darah untuk dilakukan pemeriksaan kadar BDNF dalam serum dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Kadar BDNF serum yang diperoleh kemudian dinilai perbedaannya antara kelompok kasus dan kontrol dengan menggunakan uji-t independen.Hasil penelitian didapatkan kadar BDNF dalam serum pasien psoriasis vulgaris lebih rendah secara bermakna (852,99 ± 172,28 pg/ml) dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris (1202,37 ± 67,06 pg/ml) dengan nilai p<0,05. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar BDNF serum pasien dan bukan pasien psoriasis vulgaris. Kata Kunci: psoriasis vulgaris, brain-derived neurotrophic factor
{"title":"Perbandingan Kadar Brain – Derived Neurotrophic Factor Pasien Psoriasis Vulgaris Dan Bukan Pasien Psoriasis Vulgaris","authors":"Muhammad Sjahrir, E. Effendy, I. D. Roesyanto","doi":"10.33820/MDVI.V45I1.9","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I1.9","url":null,"abstract":"Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit, dengan dugaan kuat akibat pengaruh genetik. Psoriasis memiliki karakteristik berupa gangguan pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta keterlibatan agen biokimiawi, imunologik, kelainan vaskular, dan sistem saraf. Keterlibatan sistem saraf pada psoriasis salah satunya diperankan oleh brain-derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF telah dikenal luas berperan pada kondisi stres dan depresi, namun BDNF ternyata juga memilki peran menjaga homeostasis korneosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar BDNF dalam serum pasien psoriasis vulgaris dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris.Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 20 orang pasien psoriasis vulgaris (kasus) dan 20 orang bukan pasien psoriasis vulgaris (kontrol) ikut serta dalam penelitian ini. Pada seluruh subyek penelitian dilakukan pengambilan darah untuk dilakukan pemeriksaan kadar BDNF dalam serum dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Kadar BDNF serum yang diperoleh kemudian dinilai perbedaannya antara kelompok kasus dan kontrol dengan menggunakan uji-t independen.Hasil penelitian didapatkan kadar BDNF dalam serum pasien psoriasis vulgaris lebih rendah secara bermakna (852,99 ± 172,28 pg/ml) dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris (1202,37 ± 67,06 pg/ml) dengan nilai p<0,05. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar BDNF serum pasien dan bukan pasien psoriasis vulgaris. Kata Kunci: psoriasis vulgaris, brain-derived neurotrophic factor","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"5 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87450587","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
J. Natasha, Prima Kartika Esti, Eka Komarasari, Baitur Rohmah
Hingga tahun 2013, Indonesia berada di urutan ketiga dunia untuk penyakit kusta. Angka kejadian reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) di RS Kusta Dr. Sitanala tahun 2015 adalah sebesar 17,22%. Reaksi ENL berat dapat disertai vaskulonekrotik.Laporan kasus ini bertujuan mengulas penggunaan pentoksifilin pada reaksi ENL serta melaporkan penggunaannya pada kasus ENL berat dengan lesi vaskulonekrotik pada pasien kusta lelaki, 29 tahun, dengan gizi kurang dan pengobatan tidak adekuat di RSK Dr. Sitanala. Penelusuran kepustakaan secara online menggunakan database elektronik, dan kata kunci erythema nodosum leprosum and pentoxifylline. Empat artikel terpilih ditelaah untuk menentukan apakah sahih dan dapat diterapkan pada pasien.Pentoksifilin memiliki efektivitas tidak hanya pada perbaikan klinis namun juga penurunan kadar TNF-α yang merupakan mediator inflamasi utama reaksi ENL. Pada reaksi ENL berat dengan vaskulonekrotik, efektivitas talidomid lebih unggul dibandingkan dengan pentoksifilin, namun pentoksifilin dapat menjadi obat alternatif yang baik dengan angka perbaikan hampir sama.Kata kunci: Eritema nodosum leprosum (ENL), pentoksifilin, kusta , vaskulonekrotik
{"title":"Penggunaan Pentoksifilin Pada Reaksi Eritema Nodosum Leprosum Berat Dengan Lesi Vaskulonekrotik: Sebuah laporan kasus berbasis bukti","authors":"J. Natasha, Prima Kartika Esti, Eka Komarasari, Baitur Rohmah","doi":"10.33820/MDVI.V45I2.19","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I2.19","url":null,"abstract":"Hingga tahun 2013, Indonesia berada di urutan ketiga dunia untuk penyakit kusta. Angka kejadian reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) di RS Kusta Dr. Sitanala tahun 2015 adalah sebesar 17,22%. Reaksi ENL berat dapat disertai vaskulonekrotik.Laporan kasus ini bertujuan mengulas penggunaan pentoksifilin pada reaksi ENL serta melaporkan penggunaannya pada kasus ENL berat dengan lesi vaskulonekrotik pada pasien kusta lelaki, 29 tahun, dengan gizi kurang dan pengobatan tidak adekuat di RSK Dr. Sitanala. Penelusuran kepustakaan secara online menggunakan database elektronik, dan kata kunci erythema nodosum leprosum and pentoxifylline. Empat artikel terpilih ditelaah untuk menentukan apakah sahih dan dapat diterapkan pada pasien.Pentoksifilin memiliki efektivitas tidak hanya pada perbaikan klinis namun juga penurunan kadar TNF-α yang merupakan mediator inflamasi utama reaksi ENL. Pada reaksi ENL berat dengan vaskulonekrotik, efektivitas talidomid lebih unggul dibandingkan dengan pentoksifilin, namun pentoksifilin dapat menjadi obat alternatif yang baik dengan angka perbaikan hampir sama.Kata kunci: Eritema nodosum leprosum (ENL), pentoksifilin, kusta , vaskulonekrotik","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"90606445","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Keterlibatan intraokular paling sering terjadi pada kusta lepromatosa, dan tidak pernah pada kustatuberkuloid. Tanda kelainan intraokular juga tidak umum didapati pada empat atau lima tahun pertamaperjalanan penyakit. Kelainan mata pada kusta terjadi akibat kerusakan saraf dan invasi basil secaralangsung. Komplikasi mata akibat kusta hanya terjadi pada segmen anterior dan adneksa mata. Lesi yangberpotensi menyebabkan kebutaan pada pasien kusta adalah lagoftalmus, hipoestesia kornea, iritis, skleritisdan atrofi iris. Riwayat atau sedang mengalami reaksi kusta tipe II dengan atau tanpa iritis, bercak di pipiatau infiltrasi difus di kulit wajah, pasien yang memiliki kecacatan tingkat I-II atau hanya pada mata, danadanya penyakit penyerta, misalnya diabetes melitus atau glaukoma juga menjadi faktor risiko terjadinyakebutaan pada pasien kusta. Komplikasi mata juga sering ditemukan pada pasien kusta yang baruterdiagnosis dan yang sedang menjalani pengobatan. Deteksi dini, pengobatan yang efektif danpengendalian reaksi yang tepat penting untuk menurunkan komplikasi mata pada pasien kusta.Kata kunci: kusta, kelainan mata, prevalensi, deteksi, pengobatan, pencegahan
{"title":"Kelainan Mata Pada Pasien Kusta","authors":"Ninda Sari","doi":"10.33820/MDVI.V45I2.23","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I2.23","url":null,"abstract":"Keterlibatan intraokular paling sering terjadi pada kusta lepromatosa, dan tidak pernah pada kustatuberkuloid. Tanda kelainan intraokular juga tidak umum didapati pada empat atau lima tahun pertamaperjalanan penyakit. Kelainan mata pada kusta terjadi akibat kerusakan saraf dan invasi basil secaralangsung. Komplikasi mata akibat kusta hanya terjadi pada segmen anterior dan adneksa mata. Lesi yangberpotensi menyebabkan kebutaan pada pasien kusta adalah lagoftalmus, hipoestesia kornea, iritis, skleritisdan atrofi iris. Riwayat atau sedang mengalami reaksi kusta tipe II dengan atau tanpa iritis, bercak di pipiatau infiltrasi difus di kulit wajah, pasien yang memiliki kecacatan tingkat I-II atau hanya pada mata, danadanya penyakit penyerta, misalnya diabetes melitus atau glaukoma juga menjadi faktor risiko terjadinyakebutaan pada pasien kusta. Komplikasi mata juga sering ditemukan pada pasien kusta yang baruterdiagnosis dan yang sedang menjalani pengobatan. Deteksi dini, pengobatan yang efektif danpengendalian reaksi yang tepat penting untuk menurunkan komplikasi mata pada pasien kusta.Kata kunci: kusta, kelainan mata, prevalensi, deteksi, pengobatan, pencegahan","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"484 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"78123588","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Acrodermatitis continua of Hallopeau (ACH) merupakan kasus jarang, yang ditandai dengan erupsi pustular steril yang mengenai ujung jari tangan dan kaki. Pengobatan ACH sulit karena kondisinya yang rekalsitran. Berbagai terapi menggunakan obat topikal atau sistemik, secara tunggal atau kombinasi telah dicoba dengan hasil yang bervariasi. Seorang anak perempuan 10 tahun dengan ACH kuku keempat dan kelima jari tangan kanan dan kuku ketiga jari tangan kiri sejak 5 tahun sebelum berobat. Pengobatan awal dengan salep klobetasol propionat 0,05% saja gagal memperbaiki lesinya. Kombinasi dengan dapson 50 mg/hari menghasilkan perbaikan lesi akral dalam waktu empat minggu, namun terdapat efek samping anemia.Steroid topikal superpoten memiliki mekanisme kerja sebagai anti-inflamasi, anti-proliferasi, imunosupresif, dan vasokonstriksi, terutama jika digunakan secara oklusif, berguna untuk menghentikan pustulasi. Dapson menghambat kemotaksis neutrofil manusia melalui sistem transduksi sinyal protein G dan mengganggu migrasi kemotaktik neutrofil melalui supresi fungsi adhesi ke epidermis yang diperantarai oleh integrin. Hal tersebut menyebabkan supresi perekrutan neutrofil serta kurangnya influks neutrofil ke dalam dermis. Kombinasi salep klobetasol propionat 0,05% yang dioklusi dan dapson dianjurkan untuk ACH Kata kunci: Acrodermatitis continua of Hallopeau, klobetasol propionat, dapson
{"title":"Acrodermatitis Continua Of Hallopeau Yang Memberi Respons Baik Terhadap Terapi Kombinasi Salep Klobetasol Propionat 0,05% Dan Dapson","authors":"Yuli Megasasi, Herwinda Brahmanti, Yasmina Diah Kumala, Galih Manggala","doi":"10.33820/MDVI.V45I1.10","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/MDVI.V45I1.10","url":null,"abstract":"Acrodermatitis continua of Hallopeau (ACH) merupakan kasus jarang, yang ditandai dengan erupsi pustular steril yang mengenai ujung jari tangan dan kaki. Pengobatan ACH sulit karena kondisinya yang rekalsitran. Berbagai terapi menggunakan obat topikal atau sistemik, secara tunggal atau kombinasi telah dicoba dengan hasil yang bervariasi. Seorang anak perempuan 10 tahun dengan ACH kuku keempat dan kelima jari tangan kanan dan kuku ketiga jari tangan kiri sejak 5 tahun sebelum berobat. Pengobatan awal dengan salep klobetasol propionat 0,05% saja gagal memperbaiki lesinya. Kombinasi dengan dapson 50 mg/hari menghasilkan perbaikan lesi akral dalam waktu empat minggu, namun terdapat efek samping anemia.Steroid topikal superpoten memiliki mekanisme kerja sebagai anti-inflamasi, anti-proliferasi, imunosupresif, dan vasokonstriksi, terutama jika digunakan secara oklusif, berguna untuk menghentikan pustulasi. Dapson menghambat kemotaksis neutrofil manusia melalui sistem transduksi sinyal protein G dan mengganggu migrasi kemotaktik neutrofil melalui supresi fungsi adhesi ke epidermis yang diperantarai oleh integrin. Hal tersebut menyebabkan supresi perekrutan neutrofil serta kurangnya influks neutrofil ke dalam dermis. Kombinasi salep klobetasol propionat 0,05% yang dioklusi dan dapson dianjurkan untuk ACH Kata kunci: Acrodermatitis continua of Hallopeau, klobetasol propionat, dapson","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"173 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"74872003","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Peptida antimikrobial (PAM) merupakan kelompok peptida di permukaan sel epitel yang bersifat mikrobisidal dan sitolitik. Peptida ini berperan dalam respons imun bawaan, sebagai lini pertama dalam pertahanan terhadap infeksi dengan cara membunuh langsung bakteri, jamur, atau virus. Dua kelompok besar PAM yang terdapat pada manusia yaitu defensin dan katelisidin. Defensin diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu alfa, beta, dan teta defensin. Pada manusia, hanya terdapat satu tipe katelisidin yaitu human cathelicidin antimicrobial protein 18 (hCAP18), dengan LL-37 sebagai bentuk aktifnya. Tipe PAM lainnya pada manusia yaitu psoriasin, RNase 7, dan dermsidin. Mekanisme kerja PAM yaitu berikatan dengan membran sel mikroba dan membentuk sebuah celah, sehingga terjadi perubahan permeabilitas membran yang mengakibatkan sel mengalami lisis. Jumlah PAM akan meningkat saat terjadi infeksi dan inflamasi. Perubahan pola ekspresi PAM terdapat pada beberapa penyakit kulit yang mengalami inflamasi kronik misalnya psoriasis, dermatitis atopik, rosasea, akne vulgaris, hidradenitis supuratif, infeksi virus, dan lupus eritematosus sistemik. Hingga sat ini terus dikembangkan penelitian terhadap peranan PAM dalam bidang dermatologi. Beberapa jenis PAM yang saat ini tersedia di pasaran antara lain Plectasin®, Magainins®, Pexiganan®. Kata kunci: defensin, katelidisin, peptida antimikrobial
{"title":"Peptida Antimikrobial","authors":"H. Gunawan, Rm Rendy Ariezal Effendi","doi":"10.33820/mdvi.v45i1.18","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v45i1.18","url":null,"abstract":" Peptida antimikrobial (PAM) merupakan kelompok peptida di permukaan sel epitel yang bersifat mikrobisidal dan sitolitik. Peptida ini berperan dalam respons imun bawaan, sebagai lini pertama dalam pertahanan terhadap infeksi dengan cara membunuh langsung bakteri, jamur, atau virus. Dua kelompok besar PAM yang terdapat pada manusia yaitu defensin dan katelisidin. Defensin diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu alfa, beta, dan teta defensin. Pada manusia, hanya terdapat satu tipe katelisidin yaitu human cathelicidin antimicrobial protein 18 (hCAP18), dengan LL-37 sebagai bentuk aktifnya. Tipe PAM lainnya pada manusia yaitu psoriasin, RNase 7, dan dermsidin. Mekanisme kerja PAM yaitu berikatan dengan membran sel mikroba dan membentuk sebuah celah, sehingga terjadi perubahan permeabilitas membran yang mengakibatkan sel mengalami lisis. Jumlah PAM akan meningkat saat terjadi infeksi dan inflamasi. Perubahan pola ekspresi PAM terdapat pada beberapa penyakit kulit yang mengalami inflamasi kronik misalnya psoriasis, dermatitis atopik, rosasea, akne vulgaris, hidradenitis supuratif, infeksi virus, dan lupus eritematosus sistemik. Hingga sat ini terus dikembangkan penelitian terhadap peranan PAM dalam bidang dermatologi. Beberapa jenis PAM yang saat ini tersedia di pasaran antara lain Plectasin®, Magainins®, Pexiganan®. Kata kunci: defensin, katelidisin, peptida antimikrobial","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"4 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82847256","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}