Pub Date : 2023-10-30DOI: 10.21580/walrev.2023.5.2.14414
Ahmad Jukari, Suud Sarim Karimullah, Muhajir Muhajir
This article aims to deepen the construction of general election regulations related to representation and identity politics. This research is non-doctrinal with a normative approach, using documentation studies and libraries as data sources. Research findings suggest that the electoral arrangement designs the holding of elections as a tool for preserving national identity and national interests. Although the Electoral Act does not accommodate political representation of a distinctly religious nature, its implementation involves special regulations, such as Special Autonomy for Papua Province, the Government of Aceh, and the Yogyakarta Special Territory Privileges. This regulation gives room for politics of representation based on patriotism, culture, and religion. Furthermore, the Election Act prohibits some campaign actions that could create political nuances of identity. This article is expected to contribute to a further understanding the political dynamics of representation and identity in the context of the Electoral Law in Indonesia.Artikel ini bertujuan untuk mendalami konstruksi pengaturan mengenai pemilihan umum terkait politik representasi dan politik identitas. Penelitian ini bersifat non-doktrinal dengan pendekatan normatif, menggunakan studi dokumentasi dan kepustakaan sebagai sumber data. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tentang Pemilu merancang penyelenggaraan pemilu sebagai alat untuk menjaga identitas nasional dan kepentingan nasional. Meskipun Undang-Undang Pemilu tidak mengakomodasi politik representasi yang bersifat kedaerahan, kesukuan, dan agama, implementasinya melibatkan regulasi khusus, seperti Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pemerintahan Aceh, dan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Regulasi khusus ini memberikan ruang untuk politik representasi berdasarkan kedaerahan, budaya, dan agama. Lebih lanjut, Undang-Undang Pemilu juga melarang sejumlah tindakan kampanye yang berpotensi menciptakan nuansa politik identitas. Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pemahaman lebih lanjut tentang dinamika politik representasi dan identitas dalam konteks Undang-Undang Pemilu di Indonesia.
本文旨在深化与代表权和身份政治相关的换届选举法规的构建。本研究以文献研究和图书馆为数据来源,采用非教条的规范方法。研究结果表明,选举安排将举行选举设计为维护国家认同和国家利益的工具。虽然《选举法》不包括具有明显宗教性质的政治代表,但其实施涉及到一些特殊的规定,如巴布亚省特别自治、亚齐政府和日惹特别领地特权。这一规定为基于爱国主义、文化和宗教的代表政治提供了空间。此外,《选举法》还禁止一些可能造成政治身份细微差别的竞选活动。本文希望有助于进一步了解印尼《选举法》背景下代表和身份的政治动态。该项目采用非直观的方式,通过规范、文献研究和数据总结来实现。该计划的目的是让人们认识到,对妇女的保护有助于提高妇女的民族认同感和民族自豪感。由于人民联盟(Undang-Undang Pemilu)可能会影响政治代表的政治、经济和社会地位,因此需要实施相关的法律法规,包括《巴布亚省法律法规》(Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua)、《亚齐省法律法规》(Pemerintahan Aceh)和《日惹省法律法规》(Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta)。日惹省的政治代表制度包括政治代表、政府代表和农业代表。目前,"全国妇女联盟"(Undang-Undang Pemilu)已建立了多个政治身份识别系统。这篇文章将为印尼的 "印尼人民联盟 "成员提供有关政治代表和身份认同的信息。
{"title":"Identity Politics in the Construction of Electoral Laws: A Qualitative Analysis","authors":"Ahmad Jukari, Suud Sarim Karimullah, Muhajir Muhajir","doi":"10.21580/walrev.2023.5.2.14414","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2023.5.2.14414","url":null,"abstract":"This article aims to deepen the construction of general election regulations related to representation and identity politics. This research is non-doctrinal with a normative approach, using documentation studies and libraries as data sources. Research findings suggest that the electoral arrangement designs the holding of elections as a tool for preserving national identity and national interests. Although the Electoral Act does not accommodate political representation of a distinctly religious nature, its implementation involves special regulations, such as Special Autonomy for Papua Province, the Government of Aceh, and the Yogyakarta Special Territory Privileges. This regulation gives room for politics of representation based on patriotism, culture, and religion. Furthermore, the Election Act prohibits some campaign actions that could create political nuances of identity. This article is expected to contribute to a further understanding the political dynamics of representation and identity in the context of the Electoral Law in Indonesia.Artikel ini bertujuan untuk mendalami konstruksi pengaturan mengenai pemilihan umum terkait politik representasi dan politik identitas. Penelitian ini bersifat non-doktrinal dengan pendekatan normatif, menggunakan studi dokumentasi dan kepustakaan sebagai sumber data. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tentang Pemilu merancang penyelenggaraan pemilu sebagai alat untuk menjaga identitas nasional dan kepentingan nasional. Meskipun Undang-Undang Pemilu tidak mengakomodasi politik representasi yang bersifat kedaerahan, kesukuan, dan agama, implementasinya melibatkan regulasi khusus, seperti Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pemerintahan Aceh, dan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Regulasi khusus ini memberikan ruang untuk politik representasi berdasarkan kedaerahan, budaya, dan agama. Lebih lanjut, Undang-Undang Pemilu juga melarang sejumlah tindakan kampanye yang berpotensi menciptakan nuansa politik identitas. Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pemahaman lebih lanjut tentang dinamika politik representasi dan identitas dalam konteks Undang-Undang Pemilu di Indonesia.","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"266 1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139310214","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-30DOI: 10.21580/walrev.2023.5.2.17560
Adhi Putra Satria, Eugenia Brandao
This article seeks to explore the meaning and purpose of the foundation of pure legal fiction, criticizing it. This article asks the fundamental question: Why should legal knowledge be understood? With arguments based on empirical facts and literature, the analysis concludes that the foundations of legal fiction become irrational when applied in social life, especially given the high quantitative complexity and legal language. Public understanding of the law is a source of ethics, customs, and empirical experience, requiring a contextual regulatory approach. Therefore, the fundamental change in the knowledge of the law that society expects to become optional provides a new foundation more in line with social reality. This articulation can contribute to positive legal thinking and broaden public insight into the role of law in everyday life.Artikel ini berupaya untuk mengeksplorasi makna dan tujuan dari asas fiksi hukum sembar memberikan kritik terhadapnya. Artikel ini mengajukan pertanyaan mendasar, yaitu mengapa pengetahuan hukum perlu dipahami? Dengan argumentasi yang didasarkan pada fakta empiris dan literatur, analisis menyimpulkan bahwa asas fiksi hukum menjadi tidak rasional ketika diterapkan dalam kehidupan sosial, terutama seiring dengan kompleksitas jumlah dan bahasa hukum yang tinggi. Pemahaman masyarakat terhadap hukum bersumber dari etika, kebiasaan, dan pengalaman empiris, memerlukan pendekatan regulasi yang kontekstual. Oleh karena itu, perubahan asas dari pengetahuan hukum yang diharapkan masyarakat menjadi tidak wajib, memberikan landasan baru yang lebih sesuai dengan realitas sosial. Artikulasi ini dapat memberikan sumbangan pada pemikiran hukum positifistik dan perluasan wawasan masyarakat terhadap peran hukum dalam kehidupan sehari-hari.
{"title":"Understanding the Nature of Legal Knowledge: In-Depth Critique of the Legal Fiction Principle","authors":"Adhi Putra Satria, Eugenia Brandao","doi":"10.21580/walrev.2023.5.2.17560","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2023.5.2.17560","url":null,"abstract":"This article seeks to explore the meaning and purpose of the foundation of pure legal fiction, criticizing it. This article asks the fundamental question: Why should legal knowledge be understood? With arguments based on empirical facts and literature, the analysis concludes that the foundations of legal fiction become irrational when applied in social life, especially given the high quantitative complexity and legal language. Public understanding of the law is a source of ethics, customs, and empirical experience, requiring a contextual regulatory approach. Therefore, the fundamental change in the knowledge of the law that society expects to become optional provides a new foundation more in line with social reality. This articulation can contribute to positive legal thinking and broaden public insight into the role of law in everyday life.Artikel ini berupaya untuk mengeksplorasi makna dan tujuan dari asas fiksi hukum sembar memberikan kritik terhadapnya. Artikel ini mengajukan pertanyaan mendasar, yaitu mengapa pengetahuan hukum perlu dipahami? Dengan argumentasi yang didasarkan pada fakta empiris dan literatur, analisis menyimpulkan bahwa asas fiksi hukum menjadi tidak rasional ketika diterapkan dalam kehidupan sosial, terutama seiring dengan kompleksitas jumlah dan bahasa hukum yang tinggi. Pemahaman masyarakat terhadap hukum bersumber dari etika, kebiasaan, dan pengalaman empiris, memerlukan pendekatan regulasi yang kontekstual. Oleh karena itu, perubahan asas dari pengetahuan hukum yang diharapkan masyarakat menjadi tidak wajib, memberikan landasan baru yang lebih sesuai dengan realitas sosial. Artikulasi ini dapat memberikan sumbangan pada pemikiran hukum positifistik dan perluasan wawasan masyarakat terhadap peran hukum dalam kehidupan sehari-hari.","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"8 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139310664","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-30DOI: 10.21580/walrev.2023.5.2.13555
Maryamul Chumairo' Al Ma'shumiyyah
The crime of rape remains a crucial issue in Indonesia. The formulation of the rape offence regulated in Article 285 of the Criminal Code has several weaknesses. It is considered no longer in line with current legal developments, leading to suboptimal handling of rape cases. This research further analyzes the problematic formulation of the crime of rape in various laws and regulations, especially in the Criminal Code, and the reformulation and redefinition of rape in the new Criminal Code using the Feminist Legal Theory approach. This is a doctrinal study utilizing a literature review. The results indicate that the formulation in Article 285 of the Criminal Code has weaknesses, including issues related to the scope of rape, the conventional interpretation of intercourse, and limitation to a specific gender. Rape is closely linked to gender relations' inequality, placing female rape victims at risk of victimization from various parties. Therefore, it is essential to shape laws with a gender perspective.Tindak pidana perkosaan masih menjadi permasalahan krusial di Indonesia. Formulasi delik perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki sejumlah kelemahan dan dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum, sehingga penanganan kasus perkosaan tidak optimal. Penelitian ini mengkaji lebih lanjut mengenai problematika formulasi tindak pidana perkosaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya dalam KUHP, serta reformulasi dan redefinisi perkosaan dalam pembahasan KUHP baru dengan menggunakan pendekatan Feminist Legal Theory. Penelitian ini bersifat doktrinal dan menggunakan studi pustaka. Hasilnya menunjukkan bahwa formulasi dalam Pasal 285 KUHP memiliki kelemahan, seperti ruang lingkup perkosaan, pemaknaan konvensional tentang persetubuhan, dan keterbatasan pada satu gender tertentu. Perkosaan terkait erat dengan ketidaksetaraan dalam relasi gender, yang membuat perempuan korban perkosaan rentan terhadap viktimisasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penting untuk membentuk hukum yang berperspektif gender.
{"title":"Unveiling the Issues: Feminist Legal Theory's Critique on Rape Formulation in Indonesia","authors":"Maryamul Chumairo' Al Ma'shumiyyah","doi":"10.21580/walrev.2023.5.2.13555","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2023.5.2.13555","url":null,"abstract":"The crime of rape remains a crucial issue in Indonesia. The formulation of the rape offence regulated in Article 285 of the Criminal Code has several weaknesses. It is considered no longer in line with current legal developments, leading to suboptimal handling of rape cases. This research further analyzes the problematic formulation of the crime of rape in various laws and regulations, especially in the Criminal Code, and the reformulation and redefinition of rape in the new Criminal Code using the Feminist Legal Theory approach. This is a doctrinal study utilizing a literature review. The results indicate that the formulation in Article 285 of the Criminal Code has weaknesses, including issues related to the scope of rape, the conventional interpretation of intercourse, and limitation to a specific gender. Rape is closely linked to gender relations' inequality, placing female rape victims at risk of victimization from various parties. Therefore, it is essential to shape laws with a gender perspective.Tindak pidana perkosaan masih menjadi permasalahan krusial di Indonesia. Formulasi delik perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki sejumlah kelemahan dan dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum, sehingga penanganan kasus perkosaan tidak optimal. Penelitian ini mengkaji lebih lanjut mengenai problematika formulasi tindak pidana perkosaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya dalam KUHP, serta reformulasi dan redefinisi perkosaan dalam pembahasan KUHP baru dengan menggunakan pendekatan Feminist Legal Theory. Penelitian ini bersifat doktrinal dan menggunakan studi pustaka. Hasilnya menunjukkan bahwa formulasi dalam Pasal 285 KUHP memiliki kelemahan, seperti ruang lingkup perkosaan, pemaknaan konvensional tentang persetubuhan, dan keterbatasan pada satu gender tertentu. Perkosaan terkait erat dengan ketidaksetaraan dalam relasi gender, yang membuat perempuan korban perkosaan rentan terhadap viktimisasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penting untuk membentuk hukum yang berperspektif gender.","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"83 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139311102","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-30DOI: 10.21580/walrev.2023.5.2.14123
Arlis Arlis
The study aims to discover the idea of legal intensity in the context of the harmonization of God's rule into Constitutional Law. The method used is qualitative. The results showed that the idea of legal intensity in the context of harmonising God's rule into Constitutional Law is necessary. The harmonization is in line with the theory of the purpose of the law for the benefit of servants in the world and the hereafter. Constitutional law during the Prophet Muhammad SAW is the best example. The legal intensity regulates how to achieve a better life, specifically constitutionality. When the country's laws are of superior quality, then Allah Swt will prosper the country. The provisions in Article 29 Paragraph 1 of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 state that the state based on the One True God in substance contains the principle of tawhid by God's rules. Students' views on harmonising God's rule into Indonesian Constitutional Law generally agree with the idea of legal intensity. The idea of legal intensity among them has universal criteria: the path of God Almighty's rule, sincerity, gratitude, bound by promises to God, with God, fitrah, quality of law, scientific responsibility, Adat basandi syara' syara' basandi kitabullah syara' mangato adat mamakai. Students agreed because the idea of legal intensity was very good and influential in realizing the state's goals.Penelitian bertujuan untuk menemukan gagasan intensitas hukum dalam konteks harmonisasi aturan Tuhan ke dalam Hukum Tata Negara. Metode yang digunakan adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gagasan intensitas hukum dalam konteks harmonisasi aturan Tuhan ke dalam Hukum Tata Negara sangat diperlukan. Harmonisasi tersebut sejalan dengan teori tujuan hukum untuk kesejahteraan hamba di dunia dan akhirat. Hukum tata negara pada masa Rasulullah SAW merupakan contoh terbaik. Intensitas hukum mengatur cara mencapai kehidupan yang lebih baik, khususnya tentang konstitusionalitas. Ketika hukum negara berkualitas unggul, maka Allah Swt akan memberkahi negara tersebut. Ketentuan dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa secara substansi mengandung prinsip tauhid oleh aturan Tuhan. Pandangan mahasiswa tentang harmonisasi aturan Tuhan ke dalam Hukum Tata Negara Indonesia umumnya setuju dengan gagasan intensitas hukum. Gagasan intensitas hukum di antara mereka memiliki kriteria universal: jalur aturan Tuhan Yang Maha Esa, ikhlas, syukur, terikat oleh janji kepada Tuhan, bersama Tuhan, fitrah, mutu hukum, tanggung jawab ilmiah, Adat basandi syara' syara' basandi kitabullah syara' mangato adat mamakai. Mahasiswa setuju karena gagasan intensitas hukum sangat bagus dan berpengaruh dalam mewujudkan tujuan negara.
{"title":"The Concept of Legal Intensity: Harmonizing God’s Rule within Constitutional Law","authors":"Arlis Arlis","doi":"10.21580/walrev.2023.5.2.14123","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2023.5.2.14123","url":null,"abstract":"The study aims to discover the idea of legal intensity in the context of the harmonization of God's rule into Constitutional Law. The method used is qualitative. The results showed that the idea of legal intensity in the context of harmonising God's rule into Constitutional Law is necessary. The harmonization is in line with the theory of the purpose of the law for the benefit of servants in the world and the hereafter. Constitutional law during the Prophet Muhammad SAW is the best example. The legal intensity regulates how to achieve a better life, specifically constitutionality. When the country's laws are of superior quality, then Allah Swt will prosper the country. The provisions in Article 29 Paragraph 1 of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 state that the state based on the One True God in substance contains the principle of tawhid by God's rules. Students' views on harmonising God's rule into Indonesian Constitutional Law generally agree with the idea of legal intensity. The idea of legal intensity among them has universal criteria: the path of God Almighty's rule, sincerity, gratitude, bound by promises to God, with God, fitrah, quality of law, scientific responsibility, Adat basandi syara' syara' basandi kitabullah syara' mangato adat mamakai. Students agreed because the idea of legal intensity was very good and influential in realizing the state's goals.Penelitian bertujuan untuk menemukan gagasan intensitas hukum dalam konteks harmonisasi aturan Tuhan ke dalam Hukum Tata Negara. Metode yang digunakan adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gagasan intensitas hukum dalam konteks harmonisasi aturan Tuhan ke dalam Hukum Tata Negara sangat diperlukan. Harmonisasi tersebut sejalan dengan teori tujuan hukum untuk kesejahteraan hamba di dunia dan akhirat. Hukum tata negara pada masa Rasulullah SAW merupakan contoh terbaik. Intensitas hukum mengatur cara mencapai kehidupan yang lebih baik, khususnya tentang konstitusionalitas. Ketika hukum negara berkualitas unggul, maka Allah Swt akan memberkahi negara tersebut. Ketentuan dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa secara substansi mengandung prinsip tauhid oleh aturan Tuhan. Pandangan mahasiswa tentang harmonisasi aturan Tuhan ke dalam Hukum Tata Negara Indonesia umumnya setuju dengan gagasan intensitas hukum. Gagasan intensitas hukum di antara mereka memiliki kriteria universal: jalur aturan Tuhan Yang Maha Esa, ikhlas, syukur, terikat oleh janji kepada Tuhan, bersama Tuhan, fitrah, mutu hukum, tanggung jawab ilmiah, Adat basandi syara' syara' basandi kitabullah syara' mangato adat mamakai. Mahasiswa setuju karena gagasan intensitas hukum sangat bagus dan berpengaruh dalam mewujudkan tujuan negara.","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"92 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139310449","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-30DOI: 10.21580/walrev.2023.5.2.14728
Devi Riyanti, Adhi Budi Susilo, Ahmad Shamsul Abd Aziz
Notaris, a specialized position appointed by the state, must adhere to the law in its activities. An institution is responsible for implementing and overseeing notaries in a specific region (district/city) to ensure that notaries do not violate their duties. Thus, establishing a Regional Supervisory Council is essential to act as the vanguard in conducting guidance and supervision of notaries. The research methodology employed is juridical-empirical, with a descriptive analysis specification. The findings reveal that the role of the Regional Supervisory Council in guiding and overseeing notaries in Semarang Regency is based on Ministerial Regulations and decisions, and its actions are grounded in the Notary Law, specifically Article 70 of Law No. 2 of 2014, an amendment to Law No. 30 of 2004 concerning the Position of Notary Public. Challenges faced by the Regional Supervisory Council for Notaries in executing its authority are twofold. Internally, there are constraints related to minimal budgeting, limited supporting facilities, and the busy schedules of each official. Externally, challenges include several notaries lacking permanent offices, the coexistence of signboards for Land Deed Officials with notaries, which should be separate, and the disorganized arrangement of notarial protocols.Notaris merupakan jabatan khusus dari negara dituntut untuk tunduk pada undang-undang dalam kegiatannya, terdapat suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban dalam melaksanakan dan pengawasan notaris di daerah (Kabupaten/kota) agar notaris tidak melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatanya maka perlu adanya Majelis Pengawas Daerah sebagai garda depan dalam melaksanakan Pembinaan dan Pengawasan terhadap notaris Metode dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, spesifikasi yang digunakan bersifat deskritif analisis (1). Hasilnya, peran Majelis Pengawas Daerah dalam pembinaan dan pengawasan notaris di wilayah Kabupaten Semarang dalam menjalankan tugas mengacu pada Peraturan Menteri, keputusan menteri dan untuk dasar tindakannya mengacu pada undang-undang jabatan notaris pada Pasal 70 Undang-Undang No 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Kendala yang di hadapi oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris dalam melaksanakan kewenangannya. bersifat intern meliputi: anggaran yang minim, sarana penunjang yang terbatas dan kesibukan masing-masing pengurus. lalu yang bersifat ekstern adalah beberapa Notaris yang belum mempunyai kantor tetap,Masih terdapat papan nama Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan Notaris, yang seharusnya tandanya dipisah dan protokol notaris yang tidak tertata rapi
{"title":"Legal Analysis of the Role of the Regional Assembly in the Monitoring of Notaries After Amendment of Law No. 2/2014","authors":"Devi Riyanti, Adhi Budi Susilo, Ahmad Shamsul Abd Aziz","doi":"10.21580/walrev.2023.5.2.14728","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2023.5.2.14728","url":null,"abstract":"Notaris, a specialized position appointed by the state, must adhere to the law in its activities. An institution is responsible for implementing and overseeing notaries in a specific region (district/city) to ensure that notaries do not violate their duties. Thus, establishing a Regional Supervisory Council is essential to act as the vanguard in conducting guidance and supervision of notaries. The research methodology employed is juridical-empirical, with a descriptive analysis specification. The findings reveal that the role of the Regional Supervisory Council in guiding and overseeing notaries in Semarang Regency is based on Ministerial Regulations and decisions, and its actions are grounded in the Notary Law, specifically Article 70 of Law No. 2 of 2014, an amendment to Law No. 30 of 2004 concerning the Position of Notary Public. Challenges faced by the Regional Supervisory Council for Notaries in executing its authority are twofold. Internally, there are constraints related to minimal budgeting, limited supporting facilities, and the busy schedules of each official. Externally, challenges include several notaries lacking permanent offices, the coexistence of signboards for Land Deed Officials with notaries, which should be separate, and the disorganized arrangement of notarial protocols.Notaris merupakan jabatan khusus dari negara dituntut untuk tunduk pada undang-undang dalam kegiatannya, terdapat suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban dalam melaksanakan dan pengawasan notaris di daerah (Kabupaten/kota) agar notaris tidak melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatanya maka perlu adanya Majelis Pengawas Daerah sebagai garda depan dalam melaksanakan Pembinaan dan Pengawasan terhadap notaris Metode dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, spesifikasi yang digunakan bersifat deskritif analisis (1). Hasilnya, peran Majelis Pengawas Daerah dalam pembinaan dan pengawasan notaris di wilayah Kabupaten Semarang dalam menjalankan tugas mengacu pada Peraturan Menteri, keputusan menteri dan untuk dasar tindakannya mengacu pada undang-undang jabatan notaris pada Pasal 70 Undang-Undang No 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Kendala yang di hadapi oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris dalam melaksanakan kewenangannya. bersifat intern meliputi: anggaran yang minim, sarana penunjang yang terbatas dan kesibukan masing-masing pengurus. lalu yang bersifat ekstern adalah beberapa Notaris yang belum mempunyai kantor tetap,Masih terdapat papan nama Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan Notaris, yang seharusnya tandanya dipisah dan protokol notaris yang tidak tertata rapi","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"108 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139311191","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-31DOI: 10.21580/walrev.2022.4.2.13520
A. Noor, Ali Maskur
The rapidly growing information technology-based co-financing service (LPBBTI) in Indonesia requires a forceful legal basis for the parties involved in information technology-based financial services. As a rule-of-law country, Indonesia must make the rule of law the commander in chief and guide behavior. This research seeks to find the legal basis of LPBBTI in the laws and regulations of Indonesia, which is carried out by document study and uses a statute approach. The data obtained were then analyzed qualitatively. This research did not find any legal basis for LPBBTI in the law, but there are several laws related to LPBBTI, such as the Civil Code and Law No. 11 of 2008. The legal basis for LPBBTI specifically only exists in the Financial Services Authority Regulation No. 10/POJK.05/2022 and No. 13/POJK.02/2018.Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang berkembang pesat di Indonesia memerlukan landasan hukum kuat sebagai panduan para pihak yang terlibat dalam layanan keuangan berbasis teknologi informasi tersebut. Indonesia sebagai penganut negara hukum harus menjadikan hukum sebagi panglima dan pedoman dalam bertingkah laku. Penelitian ini berusaha menemukan landasan hukum LPBBTI dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilakukan dengan studi dokumen dan menggunakan pendekatan statute. Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif. Penelitian ini tidak menemukan landasan hukum LPBBTI dalam undang-undang tetapi ada beberapa undang-undang yang terkait dengan LPBBTI seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No. 11 tahun 2008. Dasar Hukum LPBBTI terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 10/POJK.05/2022 dan No. 13/POJK.02/2018.
印度尼西亚快速增长的基于信息技术的联合融资服务(LPBBTI)需要为参与基于信息技术的金融服务的各方提供强有力的法律依据。作为一个法治国家,印尼必须以法治为总指挥,以法治为行为导向。本研究试图在印度尼西亚的法律法规中找到LPBBTI的法律依据,采用文献研究和成文法的方法进行。然后对获得的数据进行定性分析。本研究并没有在法律上找到任何关于LPBBTI的法律依据,但有几部法律与LPBBTI相关,如民法典和2008年第11号法。LPBBTI的法律依据仅具体存在于金融服务管理局条例第10/POJK中。5/2022及13/POJK.02/2018号。Layanan Pendanaan Bersama Berbasis各种Informasi (LPBBTI)杨berkembang pesat di印尼memerlukan landasan hukum夸sebagai panduan对位pihak杨terlibat dalam Layanan keuangan Berbasis各种Informasi于。印度尼西亚语:sebagi penganut negara hukum harus menjadikan hukum sebagi panglima dan pedoman dalam bertingkah laku。Penelitian ini berusaha menemukan landasan hukum lbbti dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚数据阳对数据进行了分析和定性。Penelitian ini tidak menemukan landasan hukum lbbti dalam undang undang tetapi ada beberapa undang undang yang terkait dengan lbbti seperti Kitab undang undang hukum Perdata dan undang undang undang No. 11, tahun 2008。达沙胡库姆lbbti terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 10/POJK。5/2022第13段/POJK.02/2018。
{"title":"The Legal Basis of Information Technology Based Cofinancing Services in Indonesia","authors":"A. Noor, Ali Maskur","doi":"10.21580/walrev.2022.4.2.13520","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2022.4.2.13520","url":null,"abstract":"The rapidly growing information technology-based co-financing service (LPBBTI) in Indonesia requires a forceful legal basis for the parties involved in information technology-based financial services. As a rule-of-law country, Indonesia must make the rule of law the commander in chief and guide behavior. This research seeks to find the legal basis of LPBBTI in the laws and regulations of Indonesia, which is carried out by document study and uses a statute approach. The data obtained were then analyzed qualitatively. This research did not find any legal basis for LPBBTI in the law, but there are several laws related to LPBBTI, such as the Civil Code and Law No. 11 of 2008. The legal basis for LPBBTI specifically only exists in the Financial Services Authority Regulation No. 10/POJK.05/2022 and No. 13/POJK.02/2018.Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang berkembang pesat di Indonesia memerlukan landasan hukum kuat sebagai panduan para pihak yang terlibat dalam layanan keuangan berbasis teknologi informasi tersebut. Indonesia sebagai penganut negara hukum harus menjadikan hukum sebagi panglima dan pedoman dalam bertingkah laku. Penelitian ini berusaha menemukan landasan hukum LPBBTI dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilakukan dengan studi dokumen dan menggunakan pendekatan statute. Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif. Penelitian ini tidak menemukan landasan hukum LPBBTI dalam undang-undang tetapi ada beberapa undang-undang yang terkait dengan LPBBTI seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No. 11 tahun 2008. Dasar Hukum LPBBTI terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 10/POJK.05/2022 dan No. 13/POJK.02/2018.","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"50 13","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"113990460","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-30DOI: 10.21580/walrev.2022.4.2.15418
Ja'far Baehaqi, Nur Khoirin
Replacement of waqf land is a problematic issue. This study aims to find answers to problems regarding mechanisms and procedures for replacing waqf land affected by the Semarang-Demak Toll Road project as well as an analysis from the point of view of fiqh and law. With research on normative law/doctrinal law as optical and field data as a basis for analysis, this research finds that the many stages taken and the involvement of many parties in the process of replacing waqf land is an effort and legal engineering to guarantee benefit, both in the form of immortality of waqf land and designation. Engineering carried out is an act/action that is not prohibited according to sharia. Therefore, engineering to replace waqf land is permissible and legal. Legal engineering, as stated in various laws and regulations, is a manifestation of functional legal instrumentation. Various laws and regulations, especially the Waqf Law and its implementing regulations have become a means of achieving development goals. In fact, the Waqf Law, unlike other laws and regulations, is able to penetrate so deeply in reaching theological matters. This is reasonable because the Waqf Law is nothing but the result of the positivization of Islamic law/fiqhPenggantian tanah wakaf merupakan masalah yang problematik. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas permasalahan mengenai mekanisme dan prosedur penggantian tanah wakaf yang terkena proyek Jalan Tol Semarang-Demak serta analisis dari sudut pandang fikih dan hukum. Dengan penelitian terhadap hukum normatif/doktrin hukum sebagai optik dan data lapangan sebagai dasar analisis, penelitian ini menemukan bahwa banyaknya tahapan yang ditempuh dan keterlibatan banyak pihak dalam proses penggantian tanah wakaf merupakan upaya dan rekayasa hukum untuk menjamin kemanfaatan, baik berupa keabadian tanah wakaf maupun peruntukannya. Rekayasa yang dilakukan merupakan perbuatan/perbuatan yang tidak dilarang menurut syariah. Oleh karena itu, rekayasa untuk menggantikan tanah wakaf diperbolehkan dan sah. Rekayasa hukum, sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, merupakan perwujudan dari instrumentasi hukum fungsional. Berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya UU Wakaf dan peraturan pelaksanaannya telah menjadi sarana pencapaian tujuan pembangunan. Padahal, UU Wakaf, tidak seperti peraturan perundang-undangan lainnya, mampu menembus begitu dalam hingga menyentuh persoalan teologis. Hal ini wajar karena UU Wakaf tidak lain merupakan hasil positivisasi hukum/fiqh Islam.
更换机场用地是一个有问题的问题。本研究旨在找出三宝朗-德马克收费公路项目所影响的土地置换机制和程序问题的答案,并从法律和法律的角度进行分析。本研究以规范法/教理法研究为光,以现场资料为分析依据,发现土地置换过程中所经历的多个阶段和多方参与是一项保障利益的努力和法律工程,无论是以土地不朽的形式还是以指定的形式。根据伊斯兰教法,进行工程是一种不被禁止的行为。因此,用工程替代荒地是允许和合法的。法律工程,如各种法律法规所述,是功能性法律工具的表现形式。各种法律法规,特别是Waqf法及其实施条例,已经成为实现发展目标的手段。事实上,与其他法律和法规不同,Waqf法能够深入到神学问题上。这是合理的,因为伊斯兰教法只不过是伊斯兰教法实证化的结果/fiqhPenggantian tanah wakaf merupakan masalah yang problematik。Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas permasalahan menmenukan mekanisme,但检察官penggtian tanah wakakan是一名检察官,他是一名检察官。Dengan penelitian terhadap hukum normatif/doktrin hukum sebagai optik danan数据分析,penelitian ini menemukan bahwa banaknya tahapan yang ditempuh dan keterlibatan banyak pihak dalam proprom penggtian tanah wakaf merupakan upaya danrekayasa hukum untuk menjamin kmanfaatan, baik berupa keabadian tanah wakaf maupun peruntukannya。Rekayasa yang dilakukan merupakan perbuatan/perbuatan yang tidak dilarang menurut syariah。Oleh karena itu, rekayasa untuk menggantikan tanah wakaf diperbolehkan dan sah。Rekayasa hukum, sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, merupakan perwujudan dari instrumentasi hukum funsional。Berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya UU Wakaf dan peraturan pelaksanaannya telah menjadi sarana penapaian tujuan penbangunan。Padahal, UU Wakaf, tidak seperti peraturan perundang-undangan lainnya, mampu menembus开始dalam ingga menenten,个人技术。halini wajar karena UU Wakaf tidak lain merupakan hasil positivisasi hukum/伊斯兰教。
{"title":"Review of Fiqh and Statutory Law Concerning Wakaf Land Exchange Affected in the Semarang - Demak Toll Road Project","authors":"Ja'far Baehaqi, Nur Khoirin","doi":"10.21580/walrev.2022.4.2.15418","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2022.4.2.15418","url":null,"abstract":"Replacement of waqf land is a problematic issue. This study aims to find answers to problems regarding mechanisms and procedures for replacing waqf land affected by the Semarang-Demak Toll Road project as well as an analysis from the point of view of fiqh and law. With research on normative law/doctrinal law as optical and field data as a basis for analysis, this research finds that the many stages taken and the involvement of many parties in the process of replacing waqf land is an effort and legal engineering to guarantee benefit, both in the form of immortality of waqf land and designation. Engineering carried out is an act/action that is not prohibited according to sharia. Therefore, engineering to replace waqf land is permissible and legal. Legal engineering, as stated in various laws and regulations, is a manifestation of functional legal instrumentation. Various laws and regulations, especially the Waqf Law and its implementing regulations have become a means of achieving development goals. In fact, the Waqf Law, unlike other laws and regulations, is able to penetrate so deeply in reaching theological matters. This is reasonable because the Waqf Law is nothing but the result of the positivization of Islamic law/fiqhPenggantian tanah wakaf merupakan masalah yang problematik. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas permasalahan mengenai mekanisme dan prosedur penggantian tanah wakaf yang terkena proyek Jalan Tol Semarang-Demak serta analisis dari sudut pandang fikih dan hukum. Dengan penelitian terhadap hukum normatif/doktrin hukum sebagai optik dan data lapangan sebagai dasar analisis, penelitian ini menemukan bahwa banyaknya tahapan yang ditempuh dan keterlibatan banyak pihak dalam proses penggantian tanah wakaf merupakan upaya dan rekayasa hukum untuk menjamin kemanfaatan, baik berupa keabadian tanah wakaf maupun peruntukannya. Rekayasa yang dilakukan merupakan perbuatan/perbuatan yang tidak dilarang menurut syariah. Oleh karena itu, rekayasa untuk menggantikan tanah wakaf diperbolehkan dan sah. Rekayasa hukum, sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, merupakan perwujudan dari instrumentasi hukum fungsional. Berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya UU Wakaf dan peraturan pelaksanaannya telah menjadi sarana pencapaian tujuan pembangunan. Padahal, UU Wakaf, tidak seperti peraturan perundang-undangan lainnya, mampu menembus begitu dalam hingga menyentuh persoalan teologis. Hal ini wajar karena UU Wakaf tidak lain merupakan hasil positivisasi hukum/fiqh Islam.","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"113 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124745908","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-10-31DOI: 10.21580/walrev.2022.4.2.13407
Najichah Najichah
No law is perfect as well as in the Marriage Law, there are many criticisms of the articles in the UUUP which are considered not to follow the spirit of family law reform. Many articles are considered discriminatory, have multiple interpretations, and do not provide legal justice. The proposed revision of the contents of the UUP began during the Reformation period, but the debate just ended. Amid the impasse in 2003 the Constitutional Court (MK) was born as one of the judicial institutions in Indonesia through the amendment of the 1945 Constitution. The birth of the Constitutional Court gave fresh air to groups who felt that their constitutional rights were violated by Marriage Law No.1 of 1975. This research is a descriptive-analytic library research, the problem approach used is a normative-juridical approach. The results of the study found that the Constitutional Court acted as an interpreter, and reinforcer changed Islamic family law, and even made a new Islamic family law using the glasses of the constitution. Based on the decision of the Constitutional Court which is final and binding, the Constitutional Court's decision functions as a negative legislator and a positive legislator as in Decision No.46/PUU-VIII/2010, Decision No.69/PUU-XIII/2015 and Decision No.22/PUU- XV/2017. In addition, the Constitutional Court also provides interpretation and strengthening of Islamic family law as stated in decision No.68/PUU/XII/2014. Based on the four decisions of the Constitutional Court, the Constitutional Court has an important and effective role in reforming Islamic family law in Indonesia.Undang-undang tidak ada yang sempurna begitu pula dalam UU Perkawinan, banyak kritisi tentang pasal-pasal dalam UUP yang dianggap tidak sesuai dengan semangat pembaharuan hukum keluarga. Banyak pasal yang dianggap diskriminatif, multitafsir dan tidak memberikan keadilan hukum. Sesungguhnya usulan revisi terhadap isi UUP sudah mulai pada masa Reformasi, namun perdebatan tersebut berhent begitu saja. Di tengah kebuntuan tersebut pada tahun 2003 Mahkamah Konstitusi (MK) lahir sebagai salah satu lembaga yudisial di Indonesia melalui amandemen UUD45. Lahirnya MK memberikan angin segar bagi kelompok yang merasa hak-hak konstitusi dilanggar dengan adanya UU Perkawinan No.1 tahun 1975. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (library research) bersifat deskriptif-analitik, pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-yuridis. Hasil penelitian menemukan MK berperan sebagai penafsir, penguat, mengubah hukum keluarga Islam bahkan membuat hukum keluarga Islam yang baru dengan mengunakan kacamata kontitusi. Berdasarkan putusan MK yang bersifat final and binding maka putusan MK berfungsi sebagai negatif legislator dan postitif legislator sebagaimana dalam putusan Putusan No.46/PUU-VIII/2010, Putusan No.69/PUU-XIII/2015 dan Putusan No.22/PUU-XV/2017. Selain itu MK juga memberikan penafsiran dan penguatan hukum keluarga Islam sebagaimana dalam putus
任何法律都不像《婚姻法》那样完美,对于统一党提出的条款有很多批评,认为这些条款没有遵循家庭法改革的精神。许多条款被认为是歧视性的,有多种解释,没有提供法律公正。统一党内容的修改从改革时期就开始了,但争论刚刚结束。在2003年的僵局中,宪法法院(MK)作为印度尼西亚的司法机构之一,通过修改1945年宪法而诞生。宪法法院的诞生给那些认为自己的宪法权利受到1975年第1号《婚姻法》侵犯的团体带来了新鲜空气。本研究是一项描述性分析图书馆研究,使用的问题方法是一种规范-法律方法。研究结果发现,宪法法院扮演了解释者和强化者的角色,改变了伊斯兰家庭法,甚至戴着宪法的眼镜制定了新的伊斯兰家庭法。宪法法院的决定以具有最终约束力的宪法法院决定为基础,在第46/PUU- viii /2010号决定、第69/PUU- xiii /2015号决定和第22/PUU- XV/2017号决定中发挥消极立法者和积极立法者的作用。此外,宪法法院还解释和加强第68/PUU/XII/2014号决定所述的伊斯兰家庭法。根据宪法法院的四项裁决,宪法法院在改革印度尼西亚伊斯兰家庭法方面发挥了重要而有效的作用。Undang-undang tidak ada yang sempurna begitu pula dalam UU Perkawinan, banyak kritisi tentenp -pasal dalam UUP yang dianggap tidak sesuai dengan semangat penbaharan hukum keluarga。Banyak pasal yang dianggap disk犯罪人,多事务dan tiak成员keadian hukum。Sesungguhnya usulan revisi terhadap is UUP sudah mulai pada masa Reformasi, namun perdebatan,但随后开始saja。2003年,马来西亚宪法(MK)颁布了一项法令,规定了印尼宪法和宪法的基本原则。国会议员拉希尼亚·安金·西格·基隆波克·扬·梅拉斯·哈克克·康提斯·迪格尔·邓加斯·阿丹尼亚,1975年1月1日。图书馆研究,图书馆研究,图书馆研究,图书馆研究,图书馆研究,图书馆研究,图书馆研究,图书馆研究。Hasil penelitian menemukan MK berperan sebagai penafsir,企鹅,mengubah hukum keluarga Islam bahkan membuat hukum keluarga Islam yang baru dengan mengunakan kacamata kontitusi。Berdasarkan putusan MK yang bersifat最终并具有约束力的maka putusan MK berfungsi sebagai负立法委员和正立法委员sebagaimana dalam putusan putusan第46/PUU-VIII/2010, putusan第69/PUU-XIII/2015和putusan第22/PUU-XV/2017。Selain itu MK juga memberikan penafsiran dan penguatan hukum keluarga Islam sebagaimana dalam putusan No.68/PUU/XII/2014。Berdasarkan empat putusan MK maka MK mempunyai peranan yang penting dan efektif dalam pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia。
{"title":"Reconstruction of Islamic Family Law in Indonesia Through Constitutional Court Decisions","authors":"Najichah Najichah","doi":"10.21580/walrev.2022.4.2.13407","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2022.4.2.13407","url":null,"abstract":"No law is perfect as well as in the Marriage Law, there are many criticisms of the articles in the UUUP which are considered not to follow the spirit of family law reform. Many articles are considered discriminatory, have multiple interpretations, and do not provide legal justice. The proposed revision of the contents of the UUP began during the Reformation period, but the debate just ended. Amid the impasse in 2003 the Constitutional Court (MK) was born as one of the judicial institutions in Indonesia through the amendment of the 1945 Constitution. The birth of the Constitutional Court gave fresh air to groups who felt that their constitutional rights were violated by Marriage Law No.1 of 1975. This research is a descriptive-analytic library research, the problem approach used is a normative-juridical approach. The results of the study found that the Constitutional Court acted as an interpreter, and reinforcer changed Islamic family law, and even made a new Islamic family law using the glasses of the constitution. Based on the decision of the Constitutional Court which is final and binding, the Constitutional Court's decision functions as a negative legislator and a positive legislator as in Decision No.46/PUU-VIII/2010, Decision No.69/PUU-XIII/2015 and Decision No.22/PUU- XV/2017. In addition, the Constitutional Court also provides interpretation and strengthening of Islamic family law as stated in decision No.68/PUU/XII/2014. Based on the four decisions of the Constitutional Court, the Constitutional Court has an important and effective role in reforming Islamic family law in Indonesia.Undang-undang tidak ada yang sempurna begitu pula dalam UU Perkawinan, banyak kritisi tentang pasal-pasal dalam UUP yang dianggap tidak sesuai dengan semangat pembaharuan hukum keluarga. Banyak pasal yang dianggap diskriminatif, multitafsir dan tidak memberikan keadilan hukum. Sesungguhnya usulan revisi terhadap isi UUP sudah mulai pada masa Reformasi, namun perdebatan tersebut berhent begitu saja. Di tengah kebuntuan tersebut pada tahun 2003 Mahkamah Konstitusi (MK) lahir sebagai salah satu lembaga yudisial di Indonesia melalui amandemen UUD45. Lahirnya MK memberikan angin segar bagi kelompok yang merasa hak-hak konstitusi dilanggar dengan adanya UU Perkawinan No.1 tahun 1975. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (library research) bersifat deskriptif-analitik, pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-yuridis. Hasil penelitian menemukan MK berperan sebagai penafsir, penguat, mengubah hukum keluarga Islam bahkan membuat hukum keluarga Islam yang baru dengan mengunakan kacamata kontitusi. Berdasarkan putusan MK yang bersifat final and binding maka putusan MK berfungsi sebagai negatif legislator dan postitif legislator sebagaimana dalam putusan Putusan No.46/PUU-VIII/2010, Putusan No.69/PUU-XIII/2015 dan Putusan No.22/PUU-XV/2017. Selain itu MK juga memberikan penafsiran dan penguatan hukum keluarga Islam sebagaimana dalam putus","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"28 8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134091749","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-10-31DOI: 10.21580/walrev.2022.4.2.13244
Yayan Muhammad Royani
The position of the victim in the criminal justice system is not considered as a subject or object. These problems are inseparable from the understanding that criminal law only regulates the relationship between the state and individuals. Positive laws governing the position of victims are contained in the Criminal Code and Criminal Procedure Code as well as regulations outside the criminal justice system. The regulation is very limited to the victim as a legal object, not a determinant. In the perspective of Islamic law, the position of the victim is regulated in the crime of qisas and takzir. Victims get the right to determine punishment for criminals by implementing qisas, forgiveness or diyat. In the takzir crime, the ruler or judge can determine to compensate the victim as a forgiving or reducing crime. This research is a normative juridical research with a comparative approach. The results of the study indicate that there are similarities and differences in the regulation regarding the position of victims in positive law and Islamic law. Equality lies in the types of rights received by victims in the form of material compensation, compensation, restitution and rehabilitation except in takzir in the form of a decision to marry a rape victim. The difference lies in the position of the victim in positive law which does not include the victim as part of the criminal justice system, while in Islamic law as in qisas, the victim is an inseparable part of the criminal justice system.Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana tidak dianggap sebagai subjek ataupun objek. Permasalahan tersebut tidak terlepas dari pemahaman bahwa hukum pidana hanya mengatur hubungan antara negara dan individu. Hukum positif yang mengatur tentang kedudukan korban terdapat dalam KUHP dan KUHAP serta regulasi di luar sistem peradilan pidana. Pengaturannya sangat terbatas kepada korban sebagai objek hukum bukan penentu. Dalam perspektif hukum Islam kedudukan korban diatur dalam tindak pidana qisas dan takzir. Korban mendapatkan hak sebagai penentu hukuman bagi pelaku tindak pidana dengan pelaksanaan qisas, pemaafan atau diyat. Pada tindak pidana takzir penguasa atau hakim dapat menentukan mengganti kerugian korban sebagai pemaaf atau pengurang tindak pidana. Penelitian merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan pengaturan tentang kedudukan korban dalam hukum positif maupun hukum Islam. Persamaan terletak pada jenis hak yang diterima korban berupa pengganti kerugian materi, konpensasi, restitusi dan rehabilitasi kecuali dalam takzir berupa putusan untuk menikahi seorang korban perkosaan. Perbedaan terletak pada kedudukan korban dalam hukum positif yang tidak memasukan korban bagian dalam sistem peradilan pidana, sedangkan dalam hukum Islam sebagaimana qisas, korban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana
受害者在刑事司法系统中的地位不被视为主体或客体。这些问题都离不开刑法只规范国家与个人关系的认识。《刑法》和《刑事诉讼法》以及刑事司法系统以外的条例载有关于受害者地位的实在法。这一规定非常局限于将受害者作为法律客体,而不是决定因素。从伊斯兰教法的角度来看,在qisas罪和takzir罪中,受害人的地位是有规定的。受害者有权通过实施qisas、宽恕或日记来决定对罪犯的惩罚。在takzir犯罪中,统治者或法官可以将对受害人的补偿确定为宽恕或减轻犯罪。本研究是一项采用比较方法的规范法学研究。研究结果表明,实在法和伊斯兰法对受害者地位的规定既有相似之处,也有不同之处。平等在于受害者以物质补偿、赔偿、恢复原状和康复的形式获得的权利类型,但以决定与强奸受害者结婚的形式获得的权利类型除外。不同之处在于受害者在成文法中的地位,成文法不包括受害者作为刑事司法制度的一部分,而在伊斯兰法中,受害者是刑事司法制度不可分割的一部分。Kedudukan korban dalam系统peradilan pidana tidak dianggap sebagai主体ataupun客体。Permasalahan tersebut tidak terlepas dari pemahaman bahwa hukum pidana hanya mengatur hubungan antara negara dan个人。Hukum positive yang mengatur tentang kedudukan korban terdapat dalam KUHP dan KUHAP serta regulas di system peradilan pidana。Pengaturannya sangat terbatas kepaas korban sebagai objek hukum bukan pentu。达拉姆透视伊斯兰教kedudukan korban diatur Dalam tindak pidana qisas dan takzir。Korban mendapatkan hak sebagai penentu hukuman bagi pelaku tindak pidana dengan pelaksanaan qisas, pemaafan atau diya。企鹅,企鹅,企鹅,企鹅,企鹅,企鹅,企鹅,企鹅,企鹅,企鹅,企鹅,企鹅Penelitian merupakan Penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan。Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan danperbedaan pengaturan tenttantankedudukan korban dalam hukum积极的maupun hukum伊斯兰教。这句话的意思是:“我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。”Perbedaan terletak pada kedudukan korban dalam hukum positif yang tidak memasukan korban bagian dalam system peradilan pidana, sedangkan dalam hukum Islam sebagaimana qisas, korban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari system peradilan pidana
{"title":"Relevance of the Position of the Victims in Indonesian Positive Law and Islamic Criminal Law","authors":"Yayan Muhammad Royani","doi":"10.21580/walrev.2022.4.2.13244","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2022.4.2.13244","url":null,"abstract":"The position of the victim in the criminal justice system is not considered as a subject or object. These problems are inseparable from the understanding that criminal law only regulates the relationship between the state and individuals. Positive laws governing the position of victims are contained in the Criminal Code and Criminal Procedure Code as well as regulations outside the criminal justice system. The regulation is very limited to the victim as a legal object, not a determinant. In the perspective of Islamic law, the position of the victim is regulated in the crime of qisas and takzir. Victims get the right to determine punishment for criminals by implementing qisas, forgiveness or diyat. In the takzir crime, the ruler or judge can determine to compensate the victim as a forgiving or reducing crime. This research is a normative juridical research with a comparative approach. The results of the study indicate that there are similarities and differences in the regulation regarding the position of victims in positive law and Islamic law. Equality lies in the types of rights received by victims in the form of material compensation, compensation, restitution and rehabilitation except in takzir in the form of a decision to marry a rape victim. The difference lies in the position of the victim in positive law which does not include the victim as part of the criminal justice system, while in Islamic law as in qisas, the victim is an inseparable part of the criminal justice system.Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana tidak dianggap sebagai subjek ataupun objek. Permasalahan tersebut tidak terlepas dari pemahaman bahwa hukum pidana hanya mengatur hubungan antara negara dan individu. Hukum positif yang mengatur tentang kedudukan korban terdapat dalam KUHP dan KUHAP serta regulasi di luar sistem peradilan pidana. Pengaturannya sangat terbatas kepada korban sebagai objek hukum bukan penentu. Dalam perspektif hukum Islam kedudukan korban diatur dalam tindak pidana qisas dan takzir. Korban mendapatkan hak sebagai penentu hukuman bagi pelaku tindak pidana dengan pelaksanaan qisas, pemaafan atau diyat. Pada tindak pidana takzir penguasa atau hakim dapat menentukan mengganti kerugian korban sebagai pemaaf atau pengurang tindak pidana. Penelitian merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan pengaturan tentang kedudukan korban dalam hukum positif maupun hukum Islam. Persamaan terletak pada jenis hak yang diterima korban berupa pengganti kerugian materi, konpensasi, restitusi dan rehabilitasi kecuali dalam takzir berupa putusan untuk menikahi seorang korban perkosaan. Perbedaan terletak pada kedudukan korban dalam hukum positif yang tidak memasukan korban bagian dalam sistem peradilan pidana, sedangkan dalam hukum Islam sebagaimana qisas, korban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"84 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115238373","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-10-31DOI: 10.21580/walrev.2022.4.2.13093
Inka Sahira, M. Rosyid
Massive cases of animal abuse occur and are left unchecked, requiring more attention. This article aims to analyze cases of dog abuse in the perspective of positive law in Indonesia and Islamic criminal law. This article is qualitative with a normative juridical legal research method and is presented descriptively. Field case data were obtained through interviews with dog lover’s communities, police, and former dog slaughterers in Yogyakarta. This article finds that the criminal act of molesting dogs at slaughterhouses in Yogyakarta has fulfilled the criminal element of violating Law no. 41 of 2014 concerning Amendments to Law No. 18 of 2009 concerning Livestock and Animal Health and Government Regulation no. 95 of 2012 concerning Veterinary Public Health and Animal Welfare. Mistreatment of dogs has fulfilled the elements of an act called jarīmah and is subject to ta'zīr whose punishment provisions are the authority of the government. So that according to both perspectives, animal abuse is a criminal act and deserves punishment. The omission of the case proves that the law is not implemented properly. This article recommends all parties to participate in guarding and monitoring the welfare and safety of animals from acts of abuse.Kasus penganiayaan hewan yang massif terjadi dan terbiarkan, membutuhkan perhatian lebih. Artikel ini bertujuan untuk mengalisis kasus penganiayaan anjing dalam perspektif hukum positif di Indonesia dan hukum pidana Islam. Artikel ini bersifat kualitatif dengan metode penelitian hukum yuridis normatif dan disajikan secara deskriptif. Data kasus lapangan didapatkan melalui wawancara dengan komunitas pecinta anjing, Polsek Pundong, dan mantan jagal anjing di Yogyakarta. Artikel ini menemukan bahwa tindak pidana penganiayaan anjing di rumah jagal di Yogyakarta telah memenuhi unsur pidana melanggar UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan PP No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Penganiayaan anjing telah memenuhi unsur-unsur suatu perbuatan disebut jarīmah dan dikenakan ta’zīr yang ketentuan hukumannya menjadi wewenang pemerintah. Sehingga menurut kedua perspektif, tindakan penganiayaan hewan merupakan tindakan pidana dan layak mendapatkan hukuman. Pembiaran kasus membuktikan bahwa hukum tidak terlaksana dengan baik. Artikel ini merekemondasikan kepada semua pihak untuk ikut serta mengawal dan mengawasi kesejahteraan dan keamanan hewan dari tindakan penganiayaan.
大量虐待动物的案件时有发生,却没有得到制止,需要更多的关注。本文旨在从印度尼西亚实在法和伊斯兰刑法的角度分析虐狗案件。本文采用规范的司法法学研究方法,定性地进行描述。实地案例数据是通过采访日惹的爱狗者社区、警察和前狗屠宰者获得的。本文认为,日惹市屠宰场猥亵狗的犯罪行为已经满足了违反第2号法的犯罪要件。2014年第41号法令,涉及对2009年第18号关于牲畜和动物健康的法律和政府条例的修正。关于兽医公共卫生和动物福利的2012年第95号法令。虐待狗已经满足了一种被称为jarj ā mah的行为的要素,并受到其惩罚条款是政府权威的法律的约束。因此,根据两种观点,虐待动物是一种犯罪行为,应该受到惩罚。案件的遗漏证明法律没有得到适当的执行。本文建议各方参与保护和监督动物的福利和安全,防止虐待行为。Kasus penganiayaan河万阳地块terjadi danterbiarkan, membutuhkan perhatibih。阿蒂克尔,我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国。本文提出了一种定性登登法,可用于分析、分析、评价和评价。数据kasus lapangan didapatkan melalui wawancara dengan komunitas pecinta, Polsek punong, dan mantan jagal anjing di Yogyakarta。Artikel ini menemukan bahwa tindak pidana penganiayaan anjing di rumah jagal di日惹telah memenuhi unsur pidana melanggar UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan PP No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat退伍军人dan kesejahaan Hewan。彭加尼亚安-安京-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省-安省。从我的角度来看,我想知道,我想知道,我想知道,我想知道。Pembiaran kasus membuktikan bahwa hukum tidak terlaksana dengan baik。我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是,我想说的是。
{"title":"Animal Abuse in the Perspective of Positive Legal and Islamic Criminal Law","authors":"Inka Sahira, M. Rosyid","doi":"10.21580/walrev.2022.4.2.13093","DOIUrl":"https://doi.org/10.21580/walrev.2022.4.2.13093","url":null,"abstract":"Massive cases of animal abuse occur and are left unchecked, requiring more attention. This article aims to analyze cases of dog abuse in the perspective of positive law in Indonesia and Islamic criminal law. This article is qualitative with a normative juridical legal research method and is presented descriptively. Field case data were obtained through interviews with dog lover’s communities, police, and former dog slaughterers in Yogyakarta. This article finds that the criminal act of molesting dogs at slaughterhouses in Yogyakarta has fulfilled the criminal element of violating Law no. 41 of 2014 concerning Amendments to Law No. 18 of 2009 concerning Livestock and Animal Health and Government Regulation no. 95 of 2012 concerning Veterinary Public Health and Animal Welfare. Mistreatment of dogs has fulfilled the elements of an act called jarīmah and is subject to ta'zīr whose punishment provisions are the authority of the government. So that according to both perspectives, animal abuse is a criminal act and deserves punishment. The omission of the case proves that the law is not implemented properly. This article recommends all parties to participate in guarding and monitoring the welfare and safety of animals from acts of abuse.Kasus penganiayaan hewan yang massif terjadi dan terbiarkan, membutuhkan perhatian lebih. Artikel ini bertujuan untuk mengalisis kasus penganiayaan anjing dalam perspektif hukum positif di Indonesia dan hukum pidana Islam. Artikel ini bersifat kualitatif dengan metode penelitian hukum yuridis normatif dan disajikan secara deskriptif. Data kasus lapangan didapatkan melalui wawancara dengan komunitas pecinta anjing, Polsek Pundong, dan mantan jagal anjing di Yogyakarta. Artikel ini menemukan bahwa tindak pidana penganiayaan anjing di rumah jagal di Yogyakarta telah memenuhi unsur pidana melanggar UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan PP No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Penganiayaan anjing telah memenuhi unsur-unsur suatu perbuatan disebut jarīmah dan dikenakan ta’zīr yang ketentuan hukumannya menjadi wewenang pemerintah. Sehingga menurut kedua perspektif, tindakan penganiayaan hewan merupakan tindakan pidana dan layak mendapatkan hukuman. Pembiaran kasus membuktikan bahwa hukum tidak terlaksana dengan baik. Artikel ini merekemondasikan kepada semua pihak untuk ikut serta mengawal dan mengawasi kesejahteraan dan keamanan hewan dari tindakan penganiayaan.","PeriodicalId":255287,"journal":{"name":"Walisongo Law Review (Walrev)","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128299903","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}