Abstrak Program corporate social responsibility (CSR) pada industri ekstraktif di Indonesia, yang praktiknya menjamur pada era pasca-Orde Baru, dapat bermakna sebagai salah satu sarana pembangunan komunitas lokal. Namun, berbagai bentuk programnya hingga saat ini yang bersifat unilateral cenderung problematic karena sering kali kurang mewakili harapan dan kebutuhan komunitas lokal. Studi-studi sebelumnya tentang CSR pada industri ekstraktif yang unilateral dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan substansinya, yaitu CSR sebagai bentuk karitatif dan mandat o ris. Studi ini menolak keduanya karena belum maksimal turut mengupayakan pembangunan komunitas lokal. Studi ini berargumen bahwa mencapai makna keadilan program CSR pada industri ekstraktif, sebagai salah satu sarana pembangunan komunitas lokal, adalah melalui kapabilitas relasional dan komitmen. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis studi kasus pada program CSR Perusahaan g eotermal di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia . Abstract Corporate Social Responsibility (CSR) programme in extractive industry in Indonesia, which grows rapidly on post-New Order era, can be seen as a mean to develop local community. However, the programme so far tends to be unilateral and leads to problematic because it is oftenly not representing the expectations and needs of local community. The previous studies about unilateral CSR in extractive industry, could be categorized into two types according to their substances. They are CSR as a form of charity and CSR as a form of mandatory. This study rejects both categories because they have not been maximal in the development of local community. This study argues that the meaning of justice in CSR programme in extractive industry, as a mean to develop local community, can be achieved through relational capability and commitment. This study uses qualitative approach and case study on the CSR programme of a g eothermal company in Sukabumi regency, West Java, Indonesia .
在后期的新秩序时代,印度尼西亚的抽油工企业社会责任计划(CSR)可以作为当地社区的发展工具之一,具有重要意义。然而,到目前为止,单边编程形式的问题往往是有问题的,因为它往往缺乏当地社区的希望和需要。过去对单边萃取工业的研究可以根据其实质和授权形式CSR分为两类。该研究拒绝了这两种方法,因为它们还没有为当地社区的发展做出最大贡献。这项研究认为,通过关系能力和承诺,实现CSR计划作为当地社区发展手段之一的公平意义是至关重要的。该研究采用了在印度尼西亚西爪哇省Sukabumi区CSR g eohot公司项目中的定性方法和案例研究类型。失败的企业社会责任(CSR)在印尼的跨国企业发展计划(在新秩序时代发展迅速)可以认为是发展当地社区的一种手段。However,这个程序的设计对于单边的存在和导致问题是如此的遥远,因为它几乎不代表当地社区的期望和需求。前三种极端工业中单边CSR的研究可能会将两种类型归类为两种物质。它们是慈善的形式,是权谋的形式。这项研究同时进行,因为它们在当地社区的发展中没有达到最大的分数。这项研究认为,在极端工业中存在的正义,也就是当地社区的发展,可以通过关系能力和委员会实现。这项关于CSR eobumi reprogretion公司g eobumi regency公司的高级研究和案例研究。
{"title":"Relational Capability and Commitment of Extractive Industry Corporate Social Responsibility (CSR) Programs: A Case Study on A Geothermal Company in Sukabumi Regency, West Java","authors":"Fiel Kautsar","doi":"10.7454/MJS.V23I1.8067","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I1.8067","url":null,"abstract":"Abstrak Program corporate social responsibility (CSR) pada industri ekstraktif di Indonesia, yang praktiknya menjamur pada era pasca-Orde Baru, dapat bermakna sebagai salah satu sarana pembangunan komunitas lokal. Namun, berbagai bentuk programnya hingga saat ini yang bersifat unilateral cenderung problematic karena sering kali kurang mewakili harapan dan kebutuhan komunitas lokal. Studi-studi sebelumnya tentang CSR pada industri ekstraktif yang unilateral dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan substansinya, yaitu CSR sebagai bentuk karitatif dan mandat o ris. Studi ini menolak keduanya karena belum maksimal turut mengupayakan pembangunan komunitas lokal. Studi ini berargumen bahwa mencapai makna keadilan program CSR pada industri ekstraktif, sebagai salah satu sarana pembangunan komunitas lokal, adalah melalui kapabilitas relasional dan komitmen. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis studi kasus pada program CSR Perusahaan g eotermal di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia . Abstract Corporate Social Responsibility (CSR) programme in extractive industry in Indonesia, which grows rapidly on post-New Order era, can be seen as a mean to develop local community. However, the programme so far tends to be unilateral and leads to problematic because it is oftenly not representing the expectations and needs of local community. The previous studies about unilateral CSR in extractive industry, could be categorized into two types according to their substances. They are CSR as a form of charity and CSR as a form of mandatory. This study rejects both categories because they have not been maximal in the development of local community. This study argues that the meaning of justice in CSR programme in extractive industry, as a mean to develop local community, can be achieved through relational capability and commitment. This study uses qualitative approach and case study on the CSR programme of a g eothermal company in Sukabumi regency, West Java, Indonesia .","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"23 1","pages":"51-77"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V23I1.8067","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47083338","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini membahas mengenai kontrol sosial keluarga pada anak pasca rehabilitasi narkoba. Anak yang keluar dari program rehabilitasi akan mengalami proses resosialisasi yaitu sosialisasi kembali pada lingkungan baru atau lingkungan lama yang ditinggalkannya. Studi sebelumnya menjelaskan bahwa dalam proses resosialisasi anak pasca rehabilitasi narkoba dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial dan keluarga. Proses resosialisasi yang berdampingan dengan kontrol sosial keluarga dapat mencegah terjadinya perilaku anak kembali menggunakan narkoba atau relapse . Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian ini mengambil data primer pada anak kategori usia (12-18 tahun), belum menikah, dan sudah pernah melaksanakan rehabilitasi narkoba. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara ikatan emosional dengan kontrol disiplin love-oriented . Ikatan emosional yang ditemukan dalam penelitian ini cenderung negatif dengan kontrol disiplin love-oriented sehingga mendorong perilaku anak kembali relapse . Lebih lanjut, hasil penelitian ini menunjukan bahwa bentuk metode disiplin yang digunakan orangtua dapat berimplikasi berbeda bagi setiap anak, sehingga tidak dapat ditentukan bentuk metode kontrol apa yang tepat dalam mengontrol perilaku anak.
{"title":"Social Control of the Family on Juvenile Post-Drug Rehabilitation Relapse Behavior","authors":"Diah Nur Eliza","doi":"10.7454/mjs.v23i1.7787","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v23i1.7787","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas mengenai kontrol sosial keluarga pada anak pasca rehabilitasi narkoba. Anak yang keluar dari program rehabilitasi akan mengalami proses resosialisasi yaitu sosialisasi kembali pada lingkungan baru atau lingkungan lama yang ditinggalkannya. Studi sebelumnya menjelaskan bahwa dalam proses resosialisasi anak pasca rehabilitasi narkoba dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial dan keluarga. Proses resosialisasi yang berdampingan dengan kontrol sosial keluarga dapat mencegah terjadinya perilaku anak kembali menggunakan narkoba atau relapse . Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian ini mengambil data primer pada anak kategori usia (12-18 tahun), belum menikah, dan sudah pernah melaksanakan rehabilitasi narkoba. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara ikatan emosional dengan kontrol disiplin love-oriented . Ikatan emosional yang ditemukan dalam penelitian ini cenderung negatif dengan kontrol disiplin love-oriented sehingga mendorong perilaku anak kembali relapse . Lebih lanjut, hasil penelitian ini menunjukan bahwa bentuk metode disiplin yang digunakan orangtua dapat berimplikasi berbeda bagi setiap anak, sehingga tidak dapat ditentukan bentuk metode kontrol apa yang tepat dalam mengontrol perilaku anak.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"23 1","pages":"101-122"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v23i1.7787","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42885712","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Pola asuh keluarga militer berimplikasi terhadap pola perilaku anak sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kajian. Kajian-kajian tersebut lebih banyak membahas mengenai pola asuh tanpa melihat adanya hubungan dengan perubahan struktur organisasi yang bersifat fundamental pada tubuh militer Indonesia pasca Reformasi. Karena itu, kajian ini kemudian membahas tentang perbedaan pola asuh yang diterapkan pada keluarga militer di era Orde Baru dan pasca Reformasi serta implikasinya terhadap pola perilaku anak. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa, sejalan dengan perubahan nilai-nilai di dalam tubuh militer Indonesia di masa Orde Baru dan pasca reformasi, terjadi juga perubahan pola asuh dalam keluarga anggota militer. Penelitian ini menggunakan kasus pada keluarga militer yang orang tuanya bergabung dengan militer pada era Orde Baru dan pasca Reformasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif di mana data dikumpulkan dengan wawancara mendalam padakeluarga militer era Orde Baru dan pasca Reformasiyang masing-masing keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang tinggal di Kota Depok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh pada keluarga militer Orde Baru dan pasca Reformasi berada pada ruang antara yang sifatnya demokratis dan otoriter. Pola asuh pada gilirannya juga berpengaruh pada pola perilaku anak-anak dalam keluarga militer. Penelitian ini juga mengemukakan faktor-faktor lain di luar pola asuh yang berkontribusi terhadap pola perilaku anak di dalam keluarga militer. Abstract The parenting patterns of military family has had a implication towards their children’s behavior as stated by several studies. Those studies discussed on the parenting patterns but few has associated it with the fundamental change of Indonesian military organization post Reformation era. Therefore, this study poladiscuss the difference of parenting pattern applied in the military family before (new order) and post Reformation and how the parenting has implication to the children’s behavior. The argument is based on that change of fundamental values in the Indonesian military in New Order and post Reformation era is aligned with the changing of parenting in the military family. Those changes most likelyhave indirectly affected the children’s behavior. In this study, we use the case of parents from the military family who joined military in the New Order and post Reformation. The method used in this study is qualitative method where data are gathered by conducting indepth interview with the respondents consist of father, mother and child from military families both from New Order era and post Reformation era who lived in Depok City. The result of the study shows that parenting style in the New Order and post Reformation military family is exist on the situation between democratic and authoritarian style. The child behaviors then influenced by these style of parenting. This article also explained the other factors besides parenting that influen
一些研究表明,军人家庭收养模式隐含着一种儿童行为模式。这些研究更多地讨论了培养模式,而没有发现与改革后印尼军队的根本组织变化有任何关系。因此,本研究讨论了新秩序时代和改革后军人家庭育儿模式的差异及其对儿童行为模式的影响。这是基于这样一种论点,即在新秩序成立时和改革后,印尼军事机构内部的价值观发生了变化,军人家庭的寄养模式也发生了变化。这项研究使用了父母在新秩序时代和改革开放后参军的军人家庭的案例。这项研究采用了定性方法,通过对新秩序时代军队和改革后军队的家庭进行深入采访来收集数据。每个家庭都由居住在德波克市的父亲、母亲和孩子组成。研究表明,新秩序军人家庭和后改革的培育模式处于民主与专制之间。父母的养育模式反过来也会影响军人家庭中孩子的行为。这项研究还揭示了寄养之外的其他因素,这些因素有助于军人家庭中儿童的行为模式。摘要几项研究表明,军人家庭的育儿模式对其子女的行为有影响。这些研究讨论了养育模式,但很少有人将其与宗教改革后印尼军事组织的根本变化联系起来。因此,本研究探讨了宗教改革前后军人家庭父母教养方式的差异,以及父母教养方式对子女行为的影响。这一论点是基于新秩序和后宗教改革时代印尼军队基本价值观的变化与军人家庭育儿方式的变化相一致。这些变化很可能间接地影响了孩子们的行为。在这项研究中,我们使用了来自军人家庭的父母的案例,他们在新秩序和宗教改革后参军。本研究中使用的方法是定性方法,通过对居住在德波克市的军人家庭的父亲、母亲和孩子进行深入访谈来收集数据。研究结果表明,新秩序和宗教改革后军人家庭的养育方式存在于民主与专制之间。孩子的行为会受到这些育儿方式的影响。这篇文章还解释了除了养育子女之外,影响军人子女行为的其他因素。Normal 0 false false IN X-NONE X-NONE
{"title":"Parenting and Military Children’s Behavior: Preliminary Finding in Military Family of New Order Era and Reformation","authors":"Ruri Dindasari Fatimah, B. Yulianto","doi":"10.7454/MJS.V23I1.7793","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I1.7793","url":null,"abstract":"Abstrak Pola asuh keluarga militer berimplikasi terhadap pola perilaku anak sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kajian. Kajian-kajian tersebut lebih banyak membahas mengenai pola asuh tanpa melihat adanya hubungan dengan perubahan struktur organisasi yang bersifat fundamental pada tubuh militer Indonesia pasca Reformasi. Karena itu, kajian ini kemudian membahas tentang perbedaan pola asuh yang diterapkan pada keluarga militer di era Orde Baru dan pasca Reformasi serta implikasinya terhadap pola perilaku anak. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa, sejalan dengan perubahan nilai-nilai di dalam tubuh militer Indonesia di masa Orde Baru dan pasca reformasi, terjadi juga perubahan pola asuh dalam keluarga anggota militer. Penelitian ini menggunakan kasus pada keluarga militer yang orang tuanya bergabung dengan militer pada era Orde Baru dan pasca Reformasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif di mana data dikumpulkan dengan wawancara mendalam padakeluarga militer era Orde Baru dan pasca Reformasiyang masing-masing keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang tinggal di Kota Depok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh pada keluarga militer Orde Baru dan pasca Reformasi berada pada ruang antara yang sifatnya demokratis dan otoriter. Pola asuh pada gilirannya juga berpengaruh pada pola perilaku anak-anak dalam keluarga militer. Penelitian ini juga mengemukakan faktor-faktor lain di luar pola asuh yang berkontribusi terhadap pola perilaku anak di dalam keluarga militer. Abstract The parenting patterns of military family has had a implication towards their children’s behavior as stated by several studies. Those studies discussed on the parenting patterns but few has associated it with the fundamental change of Indonesian military organization post Reformation era. Therefore, this study poladiscuss the difference of parenting pattern applied in the military family before (new order) and post Reformation and how the parenting has implication to the children’s behavior. The argument is based on that change of fundamental values in the Indonesian military in New Order and post Reformation era is aligned with the changing of parenting in the military family. Those changes most likelyhave indirectly affected the children’s behavior. In this study, we use the case of parents from the military family who joined military in the New Order and post Reformation. The method used in this study is qualitative method where data are gathered by conducting indepth interview with the respondents consist of father, mother and child from military families both from New Order era and post Reformation era who lived in Depok City. The result of the study shows that parenting style in the New Order and post Reformation military family is exist on the situation between democratic and authoritarian style. The child behaviors then influenced by these style of parenting. This article also explained the other factors besides parenting that influen","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"23 1","pages":"31-49"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V23I1.7793","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43469600","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Volunteerism and the Illusion of Civil Society’s Resurgence","authors":"Hurriyah Hurriyah","doi":"10.7454/MJS.V23I1.9194","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I1.9194","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"23 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V23I1.9194","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"71341358","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Religious intolerance is spreading within the Indonesian institution of education. Previous studies have shown that the growth of intolerance is due to the state’s regulation and pedagogical apparatus. In contrast to the previous studies, I argue that the intolerance is related to hidden curriculum applied by the institution of education. Normatively, the hidden curriculum contains the value of religious tolerance. However, factually, the author found that there are practices of intolerance , through the formal and informal spheres in the school’s structure , within the hidden curriculum. This article applies a qualitative approach with a mixed method research strategy to analyze data collected from students, teachers, and alumnis through field observation, in-depth interview, and survey.
{"title":"Religious Tolerance in the Hidden Curriculum","authors":"K. Kurniawan","doi":"10.7454/mjs.v23i1.7841","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v23i1.7841","url":null,"abstract":"Religious intolerance is spreading within the Indonesian institution of education. Previous studies have shown that the growth of intolerance is due to the state’s regulation and pedagogical apparatus. In contrast to the previous studies, I argue that the intolerance is related to hidden curriculum applied by the institution of education. Normatively, the hidden curriculum contains the value of religious tolerance. However, factually, the author found that there are practices of intolerance , through the formal and informal spheres in the school’s structure , within the hidden curriculum. This article applies a qualitative approach with a mixed method research strategy to analyze data collected from students, teachers, and alumnis through field observation, in-depth interview, and survey.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"23 1","pages":"1-30"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v23i1.7841","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48801107","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This article aims to see how’s dark skin people perceive the color of their skin either it’s beautiful or ugly . Up until now, being beautiful categorized as those with fair skin, including Indonesian. This is important to be seen because how you represent yourself related to your identity − who you are or how do you want to be seen . Either they are confident with their skin or not, it is their way of self representation which they got from identity negotiation . But, among dark skin people there always be people who confidently represents their identity against the beauty discourse or counter-discourse . Previous literature reviews show there are two reason can cause counter-discourse: recognition and negotiation. Recognition is an act actor does to fight the mainstream discourse, meanwhile negotiation is about negotiating about what they have. My argument here is women can counter the discourse because of negotiation, they have free choice and body autonomy. Also, they have power to counter the discourse by bargaining power. This article uses qualitative research with in-depth interview towards nine female informants with spesific range of age: 16 – 24 because those ages are ages with huge internet usage . Skin tone classification for informant selection is based on Fitzpatrick skin type scale . Research findings show seven from nine informants have done counter the beauty discourse. Informants also explained how their personality or skills could be their bargaining power which made them easier to counter the beauty discourse. Beside that, informant also have done negotiate their identity from accepted the beauty discourse about desirable skin tones, into counter it. The process did not come out of the blue, but also it need both internal and external factors role. Internal factor is self-consciousness about beauty itself while external factors from family, peer or media socialization.
{"title":"Self Representation Among Dark Skin People Concerning Discourse of Beauty","authors":"Hasty Larasati","doi":"10.7454/MJS.V23I1.8342","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I1.8342","url":null,"abstract":"This article aims to see how’s dark skin people perceive the color of their skin either it’s beautiful or ugly . Up until now, being beautiful categorized as those with fair skin, including Indonesian. This is important to be seen because how you represent yourself related to your identity − who you are or how do you want to be seen . Either they are confident with their skin or not, it is their way of self representation which they got from identity negotiation . But, among dark skin people there always be people who confidently represents their identity against the beauty discourse or counter-discourse . Previous literature reviews show there are two reason can cause counter-discourse: recognition and negotiation. Recognition is an act actor does to fight the mainstream discourse, meanwhile negotiation is about negotiating about what they have. My argument here is women can counter the discourse because of negotiation, they have free choice and body autonomy. Also, they have power to counter the discourse by bargaining power. This article uses qualitative research with in-depth interview towards nine female informants with spesific range of age: 16 – 24 because those ages are ages with huge internet usage . Skin tone classification for informant selection is based on Fitzpatrick skin type scale . Research findings show seven from nine informants have done counter the beauty discourse. Informants also explained how their personality or skills could be their bargaining power which made them easier to counter the beauty discourse. Beside that, informant also have done negotiate their identity from accepted the beauty discourse about desirable skin tones, into counter it. The process did not come out of the blue, but also it need both internal and external factors role. Internal factor is self-consciousness about beauty itself while external factors from family, peer or media socialization.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"23 1","pages":"79-99"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V23I1.8342","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47765817","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pondok pesantren di Indonesia saat ini cenderung mengalami perubahan dari pesantren tradisional menjadi pesantren modern. Pesantren modern biasanya menggunakan label Islamic Modern Boarding School yang terlihat menerapkan biaya yang mahal, hal ini berbeda dengan biaya pada pondok pesantren tradisional. Berdasarkan studi literatur sebelumnya ditemukan bahwa terdapat kompetisi dan komersialisasi pada lembaga pendidikan Islam. Sehingga ada beberapa pondok pesantren yang memberikan opsi biaya asrama. Penulis berargumen dengan berkembangnya masyarakat muslim kelas menengah di perkotaan mendorong komersialisasi dalam pendidikan Islam. Meskipun melakukan komersialisasi, sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren modern masih menganggap modal spiritual sebagai hal yang penting. Pondok pesantren modern dapat berperan sebagai agen sosialisasi dalam menciptakan identitas para santri menjadi muslim modern. Pada artikel ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder dari pondok pesantren serta beberapa penelitian sebelumnya yang sejenis. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Adzkar Pamulang.
{"title":"Pondok Pesantren Modern di Perkotaan: Studi Kasus Pondok Pesantren Al – Adzkar Tangerang Selatan","authors":"Rahmati Astuti","doi":"10.7454/MJS.V22I2.6873","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V22I2.6873","url":null,"abstract":"Pondok pesantren di Indonesia saat ini cenderung mengalami perubahan dari pesantren tradisional menjadi pesantren modern. Pesantren modern biasanya menggunakan label Islamic Modern Boarding School yang terlihat menerapkan biaya yang mahal, hal ini berbeda dengan biaya pada pondok pesantren tradisional. Berdasarkan studi literatur sebelumnya ditemukan bahwa terdapat kompetisi dan komersialisasi pada lembaga pendidikan Islam. Sehingga ada beberapa pondok pesantren yang memberikan opsi biaya asrama. Penulis berargumen dengan berkembangnya masyarakat muslim kelas menengah di perkotaan mendorong komersialisasi dalam pendidikan Islam. Meskipun melakukan komersialisasi, sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren modern masih menganggap modal spiritual sebagai hal yang penting. Pondok pesantren modern dapat berperan sebagai agen sosialisasi dalam menciptakan identitas para santri menjadi muslim modern. Pada artikel ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder dari pondok pesantren serta beberapa penelitian sebelumnya yang sejenis. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Adzkar Pamulang.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"257-279"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V22I2.6873","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42608445","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Tulisan ini menjelaskan hubungan antara pendidikan tinggi d an mobilitas sosial di Indonesia. Ada beberapa kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial, salah satunya yang relevan adalah kerangka konseptual Inequality of Educational Opportunity (IEO) dan Inequality of Social Opp o rtunity (ISO) yang dikemukakan oleh Raymond Boudon. Hasil analisis menjelaskan bahwa hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial di Indonesia ternyata dipengaruhi oleh faktor lainnya, yakni ketimpangan sosial-ekonomi dan disparitas geografi dan kultural. Semakin rendah ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akan berdampak pada semakin meningkatnya akses masyarakat ke pendidikan tinggi dan pada gilirannya akan mendorong terjadinya mobilitas sosial vertikal. Abstract This paper explains the link between higher education and social mobility in Indonesia. There are several theoretical frameworks talking about the link between higher education and social mobility and the relevant theory of them is Raymond Boudon’s Inequality of Educational Opportunity (IEO) dan Inequality of Social Opp o rtunity (ISO) . The results reveal that the link between higher education and social mobility in Indonesia is influenced by other factors: inequality of social-economy and geograpfy and cultural disparities. Furthermore, the more decreasing inequality in the society, the more people can go to higher education and in turn will promote upward social mobility. Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:8.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;}
这篇摘要解释了印尼高等教育与社会流动性之间的关系。有一些概念框架可以用来解释高等教育与社会流动之间的关系,其中一个相关的概念框架是Raymond Boudon提出的教育机会不平等和社会机会不平等的概念框架。分析解释说,印度尼西亚高等教育与社会流动性之间的关系受到其他因素的影响,即社会经济失衡以及地理和文化差异。社会上发生的低收入现象将增加公众接受高等教育的机会,进而刺激垂直社会流动。摘要本文解释了印尼高等教育与社会流动性之间的联系。关于高等教育与社会流动之间的联系,有几个理论框架,其中相关的理论是Raymond Boudon的教育机会不平等和社会机会不平等。研究结果表明,印尼高等教育与社会流动性之间的联系受到其他因素的影响:社会经济和地理位置的不平等以及文化差异。此外,社会中的不平等现象越是减少,就有越多的人可以接受高等教育,从而促进社会向上流动。Normal 0 false false IN X-NONE X-NONE/*样式定义*/table。MsoNormal。mso填充alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;mso对位边距顶部:0cm;mso对位边距右侧:0cm;mso段落边距底部:8.0pt;mso对位左边距:0cm;线高:107%;0mso分页:寡妇孤儿;字体大小:11.0pt。font-family:“Calibri”,“sans-serif”;mso-ascii font-family:Calibri。mso-ascii主题字体:小拉丁文。mso-hansi font-family:Calibri。mso-hansi主题字体:小拉丁文。mso-bidi字体家族:“Times New Roman”;mso-bidi主题字体:minor bidi。mso-fareast语言:EN-US;}
{"title":"Memahami Peran Pendidikan Tinggi terhadap Mobilitas Sosial di Indonesia","authors":"M. H. Arifin","doi":"10.7454/MJS.V22I2.7697","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V22I2.7697","url":null,"abstract":"Abstrak Tulisan ini menjelaskan hubungan antara pendidikan tinggi d an mobilitas sosial di Indonesia. Ada beberapa kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial, salah satunya yang relevan adalah kerangka konseptual Inequality of Educational Opportunity (IEO) dan Inequality of Social Opp o rtunity (ISO) yang dikemukakan oleh Raymond Boudon. Hasil analisis menjelaskan bahwa hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial di Indonesia ternyata dipengaruhi oleh faktor lainnya, yakni ketimpangan sosial-ekonomi dan disparitas geografi dan kultural. Semakin rendah ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akan berdampak pada semakin meningkatnya akses masyarakat ke pendidikan tinggi dan pada gilirannya akan mendorong terjadinya mobilitas sosial vertikal. Abstract This paper explains the link between higher education and social mobility in Indonesia. There are several theoretical frameworks talking about the link between higher education and social mobility and the relevant theory of them is Raymond Boudon’s Inequality of Educational Opportunity (IEO) dan Inequality of Social Opp o rtunity (ISO) . The results reveal that the link between higher education and social mobility in Indonesia is influenced by other factors: inequality of social-economy and geograpfy and cultural disparities. Furthermore, the more decreasing inequality in the society, the more people can go to higher education and in turn will promote upward social mobility. Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ \u0000 table.MsoNormalTable \u0000 {mso-style-name:\"Table Normal\"; \u0000 mso-tstyle-rowband-size:0; \u0000 mso-tstyle-colband-size:0; \u0000 mso-style-noshow:yes; \u0000 mso-style-priority:99; \u0000 mso-style-parent:\"\"; \u0000 mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; \u0000 mso-para-margin-top:0cm; \u0000 mso-para-margin-right:0cm; \u0000 mso-para-margin-bottom:8.0pt; \u0000 mso-para-margin-left:0cm; \u0000 line-height:107%; \u0000 mso-pagination:widow-orphan; \u0000 font-size:11.0pt; \u0000 font-family:\"Calibri\",\"sans-serif\"; \u0000 mso-ascii-font-family:Calibri; \u0000 mso-ascii-theme-font:minor-latin; \u0000 mso-hansi-font-family:Calibri; \u0000 mso-hansi-theme-font:minor-latin; \u0000 mso-bidi-font-family:\"Times New Roman\"; \u0000 mso-bidi-theme-font:minor-bidi; \u0000 mso-fareast-language:EN-US;}","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"139-158"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V22I2.7697","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42358486","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}