{"title":"Child Marriage in Indonesia: Practices, Politics, and Struggles","authors":"D. T. Pakasi","doi":"10.7454/MJS.V24I1.10956","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V24I1.10956","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49641938","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Jumlah kasus perundungan (bullying) yang tinggi di kalangan pelajar merupakan salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia. Studi-studi sebelumnya menyatakan bahwa status sosial ekonomi (SSE), modal sosial, etnisitas dan pola asuh merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya praktik perundungan di sekolah. Siswa dengan tingkat SSE rendah lebih sering menjadi korban perundungan dibandingkan siswa yang memiliki tingkat SSE tinggi. Begitupun dengan modal sosial, siswa yang memiliki tingkat popularitas rendah dan jaringan sosial yang lemah lebih rawan dirundung teman-temannya. Selain itu, seringkali korban perundungan juga merupakan siswa yang berasal dari etnis minoritas. Siswa yang menjadi korban perundungan juga berkaitan dengan didikan orang tua yang keras dan overprotective (melindungi secara berlebihan). Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif berupa survei dan teknik olah data regresi logistik biner, dalam artikel ini penulis hanya menggunakan dua variabel utama, yaitu SSE dan modal sosial, yang kemudian dilakukan analisis multisebab terhadap kedua variabel tersebut secara bersamaan untuk melihat faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi praktik perundungan di sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang memiliki modal sosial rendah 6 kali lebih berpotensi menjadi korban dibandingkan dengan siswa yang memiliki modal sosial tinggi. Sementara itu, variabel tingkat SSE dinyatakan tidak berkorelasi dengan viktimisasi perundungan di SMAN X di Karawang, Jawa Barat. Oleh karena itu, variabel modal sosial diketahui merupakan faktor yang lebih dominan sebagai penyebab terjadinya praktik perundungan dibandingkan dengan variabel tingkat SSE. Abstract The high number of bullying cases among students is one of the problems of education in Indonesia. Previous studies stated that socio economic status (SES), social capital, ethnicity and parenting were the factors leading to the practice of bullying in schools. Students with low SES levels more often fall victim to bullying compared to students who have high SES levels. Likewise, with social capital, students who have a low level of popularity and weak social networks are more vulnerable of bullying from their friends.In addition, victims of bullying are often students from ethnic minorities. Students who become victims of bullying also tend to have strict and overprotective parents. By using a quantitative approach in the form of a survey and binary logistic regression data processing technique, in this article the author uses two main variables, namely SES and social capital, which is then analysed using multicausal analysis simultaneously to observe the more dominant factors in influencing the practice of bullying at school. The results show that students who have low social capital are six times more likely to be victims than students who have high social capital.Meanwhile, the SES level variable is stated not to correlate with bullying in SMAN X in Karawang, West Java. Therefore, the
相比之下,学生之间的高欺凌案件数量是印尼教育问题之一。之前的研究表明,社会经济地位、社会资本、种族和教养是学校虐待行为的原因。低水平的学生比低水平的学生更容易受到虐待。与社会资本一样,受欢迎程度较低的学生和社交网络较弱的学生更容易被朋友虐待。此外,虐待受害者往往也是少数族裔学生。虐待的学生也与严厉、过度保护的父母的成长有关。通过量化方法的调查和二元物流分析技术,作者在这篇文章中只使用两个主要变量,即群体和社会资本,然后对这两个变量进行多动分析,以确定影响学校虐待行为的主导因素。结果表明,社会资本水平较低的学生比社会资本水平低6倍。与此同时,在西爪哇岛卡拉旺的斯曼X号上,变量SSE与viktishasi虐待没有关联。因此,已知的社会资本变量是造成虐待行为的主要因素,而不是群体水平的变量。忽视校园欺凌的高数字是印尼教育问题之一。前三种研究表明,社会经济地位、社会资本、经济资本和养育是导致校园欺凌行为的因素。学生的水平较低,更多的10级暴力倾向倾向于欺负有水平的学生。或许,拥有社会资本、社会网络低水平的学生,更容易从朋友那里欺凌弱小。总的来说,欺凌的受害者往往是少数几个学生。成为欺凌受害者的学生还面临着过度保护父母的问题。用a对quantitative进近in the form of a调查队和二进制logistic regression数据加工技巧,在这个文章《作家利用两个玩variables, namely SES和用multicausal分析(social capital,哪种是然后analysed simultaneously到天文dominant越factors实践》在influencing欺凌at school。结果显示,拥有低社会资本的学生往往比拥有高社会资本的学生更容易受害六倍。与此同时,在西爪哇Karawang的SMAN X中,异常水平的SES并不与欺凌相关。在此之前,社会资本的变化被认为是一个更有主见的因素,因为它导致了欺凌的行为。
{"title":"Socio-Economic Status and Social Capital: A Multicausal Analysis of Bullying Among Highschool Students in Karawang, West Java","authors":"Hendri Wicaksono","doi":"10.7454/MJS.V24I1.10134","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V24I1.10134","url":null,"abstract":"Abstrak Jumlah kasus perundungan (bullying) yang tinggi di kalangan pelajar merupakan salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia. Studi-studi sebelumnya menyatakan bahwa status sosial ekonomi (SSE), modal sosial, etnisitas dan pola asuh merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya praktik perundungan di sekolah. Siswa dengan tingkat SSE rendah lebih sering menjadi korban perundungan dibandingkan siswa yang memiliki tingkat SSE tinggi. Begitupun dengan modal sosial, siswa yang memiliki tingkat popularitas rendah dan jaringan sosial yang lemah lebih rawan dirundung teman-temannya. Selain itu, seringkali korban perundungan juga merupakan siswa yang berasal dari etnis minoritas. Siswa yang menjadi korban perundungan juga berkaitan dengan didikan orang tua yang keras dan overprotective (melindungi secara berlebihan). Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif berupa survei dan teknik olah data regresi logistik biner, dalam artikel ini penulis hanya menggunakan dua variabel utama, yaitu SSE dan modal sosial, yang kemudian dilakukan analisis multisebab terhadap kedua variabel tersebut secara bersamaan untuk melihat faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi praktik perundungan di sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang memiliki modal sosial rendah 6 kali lebih berpotensi menjadi korban dibandingkan dengan siswa yang memiliki modal sosial tinggi. Sementara itu, variabel tingkat SSE dinyatakan tidak berkorelasi dengan viktimisasi perundungan di SMAN X di Karawang, Jawa Barat. Oleh karena itu, variabel modal sosial diketahui merupakan faktor yang lebih dominan sebagai penyebab terjadinya praktik perundungan dibandingkan dengan variabel tingkat SSE. Abstract The high number of bullying cases among students is one of the problems of education in Indonesia. Previous studies stated that socio economic status (SES), social capital, ethnicity and parenting were the factors leading to the practice of bullying in schools. Students with low SES levels more often fall victim to bullying compared to students who have high SES levels. Likewise, with social capital, students who have a low level of popularity and weak social networks are more vulnerable of bullying from their friends.In addition, victims of bullying are often students from ethnic minorities. Students who become victims of bullying also tend to have strict and overprotective parents. By using a quantitative approach in the form of a survey and binary logistic regression data processing technique, in this article the author uses two main variables, namely SES and social capital, which is then analysed using multicausal analysis simultaneously to observe the more dominant factors in influencing the practice of bullying at school. The results show that students who have low social capital are six times more likely to be victims than students who have high social capital.Meanwhile, the SES level variable is stated not to correlate with bullying in SMAN X in Karawang, West Java. Therefore, the ","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V24I1.10134","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48568713","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Bersama dengan agama Hindu dan budaya, adat dianggap sebagai karakteristik yang kuat untuk menggambarkan kadar kebalian (jati diri) orang Bali. Adat muncul sebagai kontrol bagi munculnya masalah-masalah sosial, agama, dan budaya. Pada praktiknya adat juga menunjukkan dominasi yang kuat untuk mendisiplinkan masyarakatnya untuk selalu patuh pada regulasi negara. Namun, wacana tentang adat juga memberikan gambaran bagaimana adat dapat digunakan sebagai strategi pembeda dalam praktik-praktik adat keseharian. Mengambil studi etnografi di Tenganan Pegringsingan, suatu komunitas di dalam pustaka kolonial sering disebut dengan Bali Aga, artikel ini menginvestigasi bagaimana adat dibentuk dan digunakan untuk mendefinisikan identitas dan mereposisi diri mereka dalam wacana dominan Bali selatan. Artikel ini menantang asumsi umum yang menyebutkan bahwa pasca-Reformasi, gerakan kebangkitan adat dilakukan untuk mencapai pengakuan dan mendapatkan proteksi dari negara. Artikel ini justru menunjukkan bahwa gerakan adat yang ada di Bali cenderung keluar dari pakem gerakan adat internasional. Gerakan adat yang dibangun tidak memiliki korelasi dengan gerakan masyarakat adat global. Artikel ini berargumentasi bahwa orang Tenganan hanya memanfaatkan strategi identifikasi diri untuk menegaskan perbedaan posisi kelompok mereka di Bali. Abstract Along with Hinduism ( agama ) and culture ( budaya ), adat is recognized as a strong characteristic to describe the level of kebalian . Adat appears as a control for the emergence of social, religious, and cultural problems. In practice, it also shows a strong dominance to discipline members of community to adhere to state regulations. However, the discourse on adat also provides an illustration of how adat can be used as a differentiating strategy in everyday customary practices. In performing an ethnographic study in Tenganan Pegringsingan, a community that in colonial literature is referred as “Bali Aga”, this article investigates how adat is shaped and deployed by various actors to define their identity and reposition themselves in the dominant discourse of southern Bali. This article challenges the general assumption that after the Reformation, the adat revival movement was carried out to achieve recognition and gain protection from the state. This article instead shows that the indigenous movement in Bali tend to come out of the grip of the global indigenous movement. The movement that was constructed does not correlate with the global indigenous movement. The article argues that the Tenganan people only used self-identification strategies to emphasize the differences in their group's position in Bali.
{"title":"Self-Identification and Repositioning of the Tengananese in the Discourse of Adat Community in Bali","authors":"I. W. Suyadnya","doi":"10.7454/MJS.V24I1.10183","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V24I1.10183","url":null,"abstract":"Abstrak Bersama dengan agama Hindu dan budaya, adat dianggap sebagai karakteristik yang kuat untuk menggambarkan kadar kebalian (jati diri) orang Bali. Adat muncul sebagai kontrol bagi munculnya masalah-masalah sosial, agama, dan budaya. Pada praktiknya adat juga menunjukkan dominasi yang kuat untuk mendisiplinkan masyarakatnya untuk selalu patuh pada regulasi negara. Namun, wacana tentang adat juga memberikan gambaran bagaimana adat dapat digunakan sebagai strategi pembeda dalam praktik-praktik adat keseharian. Mengambil studi etnografi di Tenganan Pegringsingan, suatu komunitas di dalam pustaka kolonial sering disebut dengan Bali Aga, artikel ini menginvestigasi bagaimana adat dibentuk dan digunakan untuk mendefinisikan identitas dan mereposisi diri mereka dalam wacana dominan Bali selatan. Artikel ini menantang asumsi umum yang menyebutkan bahwa pasca-Reformasi, gerakan kebangkitan adat dilakukan untuk mencapai pengakuan dan mendapatkan proteksi dari negara. Artikel ini justru menunjukkan bahwa gerakan adat yang ada di Bali cenderung keluar dari pakem gerakan adat internasional. Gerakan adat yang dibangun tidak memiliki korelasi dengan gerakan masyarakat adat global. Artikel ini berargumentasi bahwa orang Tenganan hanya memanfaatkan strategi identifikasi diri untuk menegaskan perbedaan posisi kelompok mereka di Bali. Abstract Along with Hinduism ( agama ) and culture ( budaya ), adat is recognized as a strong characteristic to describe the level of kebalian . Adat appears as a control for the emergence of social, religious, and cultural problems. In practice, it also shows a strong dominance to discipline members of community to adhere to state regulations. However, the discourse on adat also provides an illustration of how adat can be used as a differentiating strategy in everyday customary practices. In performing an ethnographic study in Tenganan Pegringsingan, a community that in colonial literature is referred as “Bali Aga”, this article investigates how adat is shaped and deployed by various actors to define their identity and reposition themselves in the dominant discourse of southern Bali. This article challenges the general assumption that after the Reformation, the adat revival movement was carried out to achieve recognition and gain protection from the state. This article instead shows that the indigenous movement in Bali tend to come out of the grip of the global indigenous movement. The movement that was constructed does not correlate with the global indigenous movement. The article argues that the Tenganan people only used self-identification strategies to emphasize the differences in their group's position in Bali.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"7 4","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V24I1.10183","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41301756","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Selama ini sebagian besar peneliti mengatakan bahwa sejumlah otoritas keagamaan baru mendukung konservatisme keagamaan. Tulisan ini menunjukkan bahwa otoritas keagamaan lama juga menjadi kekuatan pendorong konservatisme Islam dan politik identitas di Priangan Timur Jawa Barat, terutama gerakan Darul Islam. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menarasikan transformasi gagasan Negara Islam (Dahrul Islam) menjadi Negaran Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah, yang sedang berlangsung di daerah Priangan Timur. Pada tahun 2016, pendukung gagasan ini merupakan kelompok yang paling bersemangat dalam aksi 212 di Jakarta. Artikel ini berdasarkan dari penelitian kualitatif penulis dengan menggunakan metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka, observasi, dan wawancara terhadap pimpinan pesantren di Tasikmalaya dan Ciamis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa gerakan keagamaan di Priangan Timur berperan signifikan dalam mendukung populisme Islam pada tingkat nasional. Argumentasi yang dibangun adalah bahwa beberapa pesantren atau organisasi keagamaan tradisional mendukung konservatisme keagamaan yang berlanjut di era politik identitas. Abstract Much recent research state that a number of new religious authorities support religious conservatism. This paper shows that the old religious authorities also became the driving force of Islamic conservatism and identity politics in East Priangan, West Java, especially those historically tied to the Darul Islam movement. The paper aims to narrate the transformation of the idea of Islamic State (Darul Islam) into the Sharia-compliant Republic of Indonesia, which is taking place in the East Priangan region. In 2016, supporters of this idea were among the most enthusiastic participants of the 212 rallies in Jakarta. This article uses qualitative research by using the data collection methods of literature study, observation, and interviews to heads of pesantrens in Tasikmalaya and Ciamis. The results of this study show that religious movements in East Priangan play a significant role in supporting Islamic populism at the national level. The argument is that some traditional pesantren or religious organizations support religious conservatism that continues in the era of identity politics.
{"title":"Gone but Not Forgotten: The Transformation of the Idea of Islamic State through Traditional Religious Authorities","authors":"C. Pamungkas","doi":"10.7454/MJS.V23I2.9229","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I2.9229","url":null,"abstract":"Abstrak Selama ini sebagian besar peneliti mengatakan bahwa sejumlah otoritas keagamaan baru mendukung konservatisme keagamaan. Tulisan ini menunjukkan bahwa otoritas keagamaan lama juga menjadi kekuatan pendorong konservatisme Islam dan politik identitas di Priangan Timur Jawa Barat, terutama gerakan Darul Islam. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menarasikan transformasi gagasan Negara Islam (Dahrul Islam) menjadi Negaran Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah, yang sedang berlangsung di daerah Priangan Timur. Pada tahun 2016, pendukung gagasan ini merupakan kelompok yang paling bersemangat dalam aksi 212 di Jakarta. Artikel ini berdasarkan dari penelitian kualitatif penulis dengan menggunakan metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka, observasi, dan wawancara terhadap pimpinan pesantren di Tasikmalaya dan Ciamis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa gerakan keagamaan di Priangan Timur berperan signifikan dalam mendukung populisme Islam pada tingkat nasional. Argumentasi yang dibangun adalah bahwa beberapa pesantren atau organisasi keagamaan tradisional mendukung konservatisme keagamaan yang berlanjut di era politik identitas. Abstract Much recent research state that a number of new religious authorities support religious conservatism. This paper shows that the old religious authorities also became the driving force of Islamic conservatism and identity politics in East Priangan, West Java, especially those historically tied to the Darul Islam movement. The paper aims to narrate the transformation of the idea of Islamic State (Darul Islam) into the Sharia-compliant Republic of Indonesia, which is taking place in the East Priangan region. In 2016, supporters of this idea were among the most enthusiastic participants of the 212 rallies in Jakarta. This article uses qualitative research by using the data collection methods of literature study, observation, and interviews to heads of pesantrens in Tasikmalaya and Ciamis. The results of this study show that religious movements in East Priangan play a significant role in supporting Islamic populism at the national level. The argument is that some traditional pesantren or religious organizations support religious conservatism that continues in the era of identity politics.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V23I2.9229","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44299513","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak CSR ( Corporate Social Responsibility ) merupakan kewajiban sosial yang harus dijalankan oleh perusahaan yang berdiri di Indonesia berdasarkan berbagai undang-undang yang berlaku. Namun dalam pelaksanaannya program-program CSR yang diterapkan berbeda di tiap perusahaan, tergantung pada pemaknaan perusahaan terhadap konsep CSR. Hal ini berdampak pada implementasi program CSR dan modal sosial yang nantinya terbangun antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Penelitian terdahulu, lebih banyak membahas mengenai evaluasi program CSR, namun belum menunjukkan dampak lebih lanjut dari hasil evaluasi program tersebut.Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi program CSR yang baik akan berdampak pada terbangunnya modal sosial yang baik pula. Implementasi program yang baik terlihat dari terpenuhinya tahapan implementasi program. Modal sosial dianggap penting dalam implementasi program karena melalui modal sosial perusahaan memperoleh penerimaan dari masyarakat lokal dan pemerintah daerah, yang dapat membantu mempermudah jalannya bisnis perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai keberhasilan penerapan program CSR dan terbentuknya modal sosial. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam serta observasi. Abstract CSR (Corporate Social Responsibility) is a social obligation that must be run by a company established in Indonesia based on the various laws applicable. However, in practice CSR programs are implemented differently in each company, depending on the meaning of the concept of CSR companies. This has an impact on the implementation of CSR programs and social capital that will be built between the company and local communities. The previous study, more discussion regarding the evaluation of CSR programs, but has yet to show the further impact of the results of the evaluation of the program. This study shows that the implementation of good CSR program will have an impact on the establishment of good social capital as well. good program implementation seen from the fulfilled of the stages of program implementation. Social capital is important for program implementation because through a social capital company which receives acceptance from local communities and local governments, which can help ease the business enterprise. This study uses qualitative methods to gain a better understanding of the successful implementation of CSR programs and the formation of social capital. Data collection is done through in-depth interviews as well as observation
{"title":"The Forming of Social Capital between Corporation and Community through the Implementation of CSR Programs: Case Study of An Offshore Oil and Gas Company in North Jakarta","authors":"Dwi Anisa Febrianti","doi":"10.7454/MJS.V23I2.8189","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I2.8189","url":null,"abstract":"Abstrak CSR ( Corporate Social Responsibility ) merupakan kewajiban sosial yang harus dijalankan oleh perusahaan yang berdiri di Indonesia berdasarkan berbagai undang-undang yang berlaku. Namun dalam pelaksanaannya program-program CSR yang diterapkan berbeda di tiap perusahaan, tergantung pada pemaknaan perusahaan terhadap konsep CSR. Hal ini berdampak pada implementasi program CSR dan modal sosial yang nantinya terbangun antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Penelitian terdahulu, lebih banyak membahas mengenai evaluasi program CSR, namun belum menunjukkan dampak lebih lanjut dari hasil evaluasi program tersebut.Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi program CSR yang baik akan berdampak pada terbangunnya modal sosial yang baik pula. Implementasi program yang baik terlihat dari terpenuhinya tahapan implementasi program. Modal sosial dianggap penting dalam implementasi program karena melalui modal sosial perusahaan memperoleh penerimaan dari masyarakat lokal dan pemerintah daerah, yang dapat membantu mempermudah jalannya bisnis perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai keberhasilan penerapan program CSR dan terbentuknya modal sosial. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam serta observasi. Abstract CSR (Corporate Social Responsibility) is a social obligation that must be run by a company established in Indonesia based on the various laws applicable. However, in practice CSR programs are implemented differently in each company, depending on the meaning of the concept of CSR companies. This has an impact on the implementation of CSR programs and social capital that will be built between the company and local communities. The previous study, more discussion regarding the evaluation of CSR programs, but has yet to show the further impact of the results of the evaluation of the program. This study shows that the implementation of good CSR program will have an impact on the establishment of good social capital as well. good program implementation seen from the fulfilled of the stages of program implementation. Social capital is important for program implementation because through a social capital company which receives acceptance from local communities and local governments, which can help ease the business enterprise. This study uses qualitative methods to gain a better understanding of the successful implementation of CSR programs and the formation of social capital. Data collection is done through in-depth interviews as well as observation","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45564476","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"The Allure of Violence in Social Media","authors":"Geger Riyanto","doi":"10.7454/mjs.v23i2.9816","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v23i2.9816","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v23i2.9816","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42147145","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Repositioning Social Development in The Border Area","authors":"Dicky Rachmawan, Annisa Meutia Ratri","doi":"10.7454/MJS.V23I2.9217","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I2.9217","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V23I2.9217","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47570338","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Gagasan pembangunan desa pasca otoritarian dipandang sebagai transformasi pembangunan desa, karena tidak lagi menempatkan desa sebagai objek pembangunan yang ditandai adanya tuntutan penyusunan instrumen pembangunan desa. Namun secara praktik, instrumen pembangunan tersebut ternyata tidak mengakomodasi perbaikan produktivitas pertanian dan peternakan di Kampung Pasir Angling Desa Suntenjaya Kabupaten Bandung Barat. Sebab, petani-peternak tidak memiliki kapasitas pengetahuan dengan daya dukung tatanan administratif untuk menghendaki arah perbaikan. Pada kenyataannya, mekanisme musyawarah dusun secara tersirat diarahkan untuk menghendaki perbaikan dari negara. Dengan menggunakan perspektif pembangunan kritis, penelitian ini berpandangan bahwa transformasi pembangunan desa dapat berlaku apabila tidak terbatas pada perubahan strategi kebijakan publik, melainkan melingkupi perubahan sosial di berbagai sektor kehidupan masyarakat desa. Berangkat dari hal itu, penelitian ini menarasikan pendekatan dan bentuk pemberdayaan petani-peternak Yayasan Walungan dalam rangka menemu kenali transformasi pembangunan desa. Penelitian ini berargumen bahwa t ransformasi pembangunan desa—yang memiliki karakteristik pemberdayaan—dapat tercapai apabila terdapat penempatan elemen masyarakat sipil sebagai pihak yang menginisiasi artikulasi kebutuhan dan mengaktifkan kesadaran petani-peternak dalam praktik pembangunan desa. Gagasan mengenai artikulasi, dalam penelitian ini, diupayakan melalui perbaikan relasi yang bersifat egaliter, aktivitas kolektif, dan pengorganisasian masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualititatif dalam mendeskripsikan pemberdayaan petani-peternak di Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kabupaten Bandung Barat. Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE The idea of post-authoritarian rural development is seen as the transformation of rural development, since it no longer places the village as an object of development characterized by the demand for the preparation of rural development instruments. However, in practice, the development instrument did not accommodate the improvement of agricultural and livestock productivity in Kampung Pasir Angling Desa Suntenjaya Kabupaten Bandung Barat . Since, farmers do not have the capacity of knowledge with the carrying capacity of the administrative order to require direction of improvement. In fact, the mechanism of deliberations of the hamlet is implicitly aimed at seeking improvement from the state. Using a critical development perspective, the study argues that village development transformation may apply if not limited to changes in public policy strategies, but rather to social change in various sectors of village life. Departing from that, this research narrates approach and form of the community development of farmer-breeder that initiated by Yayasan Walungan in order to find the transformation of village development. This study proposes arguments that the transformation o
后权力时代的村庄发展理念被视为村庄发展的转变,因为它不再将村庄作为以农村发展工具设计需求为标志的建筑对象。然而,在实践中,这些发展工具并不能适应西部首都Suntenjaya村Sand村农业生产力和农业的提高。因为农民没有能力通过行政支持来寻求改善。事实上,死者的系统旅行机制是为了寻求国家的改进。本研究从批判性发展的角度出发,认为农村发展的转变可以发生在不局限于公共政策战略的变化,而是涵盖农村社会生活各个部门的社会变化的情况下。在此基础上,本研究吸引了瓦隆基金会农民解放的近似和形式,以期发现村庄发展的转型。这项研究表明,当民间社会作为一个政党,在农村发展实践中启动需求表达并激活农民意识时,就可以实现具有独立特征的农村发展转型。在这项研究中,表达的想法是通过改善平等主义关系、集体活动和社会组织来实现的。本研究采用定性研究的方法来描述西部首府孙腾贾亚村昂岭沙村农民的自由。Normal 0 false false IN X-NONE X-NONE后威权主义农村发展的理念被视为农村发展的转变,因为它不再将村庄作为发展对象,其特征是需要准备农村发展工具。然而,在实践中,发展文书没有考虑到万隆巴拉特县Kampung Pasir Angling Desa Suntenjaya农业和畜牧业生产力的提高。既然农民不具备知识的承载能力,就需要对行政命令进行方向性的改进。事实上,小村庄的审议机制隐含着寻求国家改进的目的。该研究从批判性发展的角度认为,村庄发展转型可能适用于公共政策战略的变化,也可能适用于村庄生活各个部门的社会变化。在此基础上,本研究叙述了亚桑·瓦伦甘倡导的农民饲养员社区发展的途径和形式,以寻求村庄发展的转型。本研究提出的论点是,当民间社会作为一方在农村发展实践中启动需求表达并激活农民饲养者意识时,就可以实现具有赋权特征的农村发展的转变。在这项研究中,通过平等的方式改善关系、集体活动和社区组织来尝试表达的想法。本研究采用定性研究方法描述了Kampung Pasir Angling、Desa Suntenjaya、Kabupaten Bandung West农民饲养者的社区发展。Normal 0 false false IN X-NONE X-NONE
{"title":"Transformation of Post-Authoritarian Rural Development in Indonesia: A Study of Farmer-Breeder Community Development in West Bandung Regency","authors":"Rahmalia Rifandini","doi":"10.7454/MJS.V23I2.9637","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I2.9637","url":null,"abstract":"Gagasan pembangunan desa pasca otoritarian dipandang sebagai transformasi pembangunan desa, karena tidak lagi menempatkan desa sebagai objek pembangunan yang ditandai adanya tuntutan penyusunan instrumen pembangunan desa. Namun secara praktik, instrumen pembangunan tersebut ternyata tidak mengakomodasi perbaikan produktivitas pertanian dan peternakan di Kampung Pasir Angling Desa Suntenjaya Kabupaten Bandung Barat. Sebab, petani-peternak tidak memiliki kapasitas pengetahuan dengan daya dukung tatanan administratif untuk menghendaki arah perbaikan. Pada kenyataannya, mekanisme musyawarah dusun secara tersirat diarahkan untuk menghendaki perbaikan dari negara. Dengan menggunakan perspektif pembangunan kritis, penelitian ini berpandangan bahwa transformasi pembangunan desa dapat berlaku apabila tidak terbatas pada perubahan strategi kebijakan publik, melainkan melingkupi perubahan sosial di berbagai sektor kehidupan masyarakat desa. Berangkat dari hal itu, penelitian ini menarasikan pendekatan dan bentuk pemberdayaan petani-peternak Yayasan Walungan dalam rangka menemu kenali transformasi pembangunan desa. Penelitian ini berargumen bahwa t ransformasi pembangunan desa—yang memiliki karakteristik pemberdayaan—dapat tercapai apabila terdapat penempatan elemen masyarakat sipil sebagai pihak yang menginisiasi artikulasi kebutuhan dan mengaktifkan kesadaran petani-peternak dalam praktik pembangunan desa. Gagasan mengenai artikulasi, dalam penelitian ini, diupayakan melalui perbaikan relasi yang bersifat egaliter, aktivitas kolektif, dan pengorganisasian masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualititatif dalam mendeskripsikan pemberdayaan petani-peternak di Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kabupaten Bandung Barat. Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE The idea of post-authoritarian rural development is seen as the transformation of rural development, since it no longer places the village as an object of development characterized by the demand for the preparation of rural development instruments. However, in practice, the development instrument did not accommodate the improvement of agricultural and livestock productivity in Kampung Pasir Angling Desa Suntenjaya Kabupaten Bandung Barat . Since, farmers do not have the capacity of knowledge with the carrying capacity of the administrative order to require direction of improvement. In fact, the mechanism of deliberations of the hamlet is implicitly aimed at seeking improvement from the state. Using a critical development perspective, the study argues that village development transformation may apply if not limited to changes in public policy strategies, but rather to social change in various sectors of village life. Departing from that, this research narrates approach and form of the community development of farmer-breeder that initiated by Yayasan Walungan in order to find the transformation of village development. This study proposes arguments that the transformation o","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V23I2.9637","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43201234","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This article discusses Indonesian welfare regime outlook by using citizenship framework. It is argued that transformation of Indonesian welfare regime from productivist characteristic to universalism has been disrupted by the discourse of communitarian citizenship and market citizenship that has become path-dependency of welfare configuration in contemporary Indonesia . This circumstance has become an endogenous factor that obstructs innovations and changes within an administrative body of universal social protection. By using evidences from Indonesia experiences , this article can be used to develop a further understanding on the complexity of relations between welfare provision and citizenship in the context of developing countries.
{"title":"Welfare Regime Transformation in Indonesia: A Citizenship Debate","authors":"Tauchid Komara Yuda","doi":"10.7454/MJS.V23I2.8278","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V23I2.8278","url":null,"abstract":"This article discusses Indonesian welfare regime outlook by using citizenship framework. It is argued that transformation of Indonesian welfare regime from productivist characteristic to universalism has been disrupted by the discourse of communitarian citizenship and market citizenship that has become path-dependency of welfare configuration in contemporary Indonesia . This circumstance has become an endogenous factor that obstructs innovations and changes within an administrative body of universal social protection. By using evidences from Indonesia experiences , this article can be used to develop a further understanding on the complexity of relations between welfare provision and citizenship in the context of developing countries.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V23I2.8278","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44142352","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
In this article, patterns of sending Indonesian migrant workers through the cross-border between the Riau Islands, Indonesia and Johor, Malaysia are examined. These patterns have implications for transnational crimes of human smuggling and trafficking. A new pattern involving Indonesian migrant workers was revealed. The migrant workers enter and reside in the destination country legally and subsequently become illegal migrants because the employer or the company does not extend their contracts. This pattern differs from two other patterns that are commonly practiced and are well-known: legal entry and illegal stay, if migrant workers work in a destination country without working permits; and illegal entry and illegal stay, if migrant workers enter a destination country through illegal mediums and work there without valid documents. This finding enriches previous studies on patterns involved in people smuggling and human trafficking with emphasizes that Indonesian migrant workers’ vulnerability cannot be reduced to mere proceduralbureaucratic matters. This research employed the case study method. The primary data was collected by conducting in-depth interviews with Indonesian migrant workers who became victims of human trafficking as key informants.
{"title":"The Patterns of Human Trafficking on Indonesian Migrant Workers: Case Study of Riau Islands and Johor Border Crossing","authors":"Endro Sulaksono","doi":"10.7454/mjs.v23i2.6562","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v23i2.6562","url":null,"abstract":"In this article, patterns of sending Indonesian migrant workers through the cross-border between the Riau Islands, Indonesia and Johor, Malaysia are examined. These patterns have implications for transnational crimes of human smuggling and trafficking. A new pattern involving Indonesian migrant workers was revealed. The migrant workers enter and reside in the destination country legally and subsequently become illegal migrants because the employer or the company does not extend their contracts. This pattern differs from two other patterns that are commonly practiced and are well-known: legal entry and illegal stay, if migrant workers work in a destination country without working permits; and illegal entry and illegal stay, if migrant workers enter a destination country through illegal mediums and work there without valid documents. This finding enriches previous studies on patterns involved in people smuggling and human trafficking with emphasizes that Indonesian migrant workers’ vulnerability cannot be reduced to mere proceduralbureaucratic matters. This research employed the case study method. The primary data was collected by conducting in-depth interviews with Indonesian migrant workers who became victims of human trafficking as key informants.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v23i2.6562","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47554705","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}