Studi mengenai Video Blog (Vlog) sebelumnya cenderung melihat komersialisasi Vlog sebagai imbas dari budaya partisipatif dan interaksi penonton dengan pembuat video blog ( V logger). Berbeda dengan studi sebelumnya, studi ini melihat komersialisasi vlog berdampak pada terlibatnya pekerja imaterial di dalam rantai produksi. Argumentasi tulisan ini yakni komersialisasi Vlog memunculkan kelompok pekerja imaterial, yakni kelompok pekerja vlogger dan kelompok non-vlogger. Kedua kelompok pekerja tersebut memiliki relasi yang timpang, dengan kelompok pekerja non-vlogger berada pada posisi yang lebih rentan. Keadaan tersebut terjadi akibat timpangnya relasi masing – masing kelompok pekerja (vlogger dan non-vlogger) terhadap korporasi. Oleh karena itu, bentuk kerentanan terhadap kedua kelompok pekerja tersebut cenderung berbeda. Melalui metode kualitatif dengan wawancara mendalam, observasi, dan data sekunder , artikel ini menemukan bahwa relasi yang timpang antara pekerja non-vlogger dengan korporasi menyebabkan kondisi ketiadaan : perlindungan terhadap pemberhentian kerja, naiknya pendapatan, pembatasan jam kerja, menambah keterampilan, kesempatan untuk berserikat, serta perlindungan terhadap pendapatan melalui ketidakjelasan kontrak kerja.
{"title":"Kerentanan Pekerja Imaterial dalam Industri Komersialisasi Vlog","authors":"Ayu Laras Pratitis","doi":"10.7454/mjs.v22i2.7769","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v22i2.7769","url":null,"abstract":"Studi mengenai Video Blog (Vlog) sebelumnya cenderung melihat komersialisasi Vlog sebagai imbas dari budaya partisipatif dan interaksi penonton dengan pembuat video blog ( V logger). Berbeda dengan studi sebelumnya, studi ini melihat komersialisasi vlog berdampak pada terlibatnya pekerja imaterial di dalam rantai produksi. Argumentasi tulisan ini yakni komersialisasi Vlog memunculkan kelompok pekerja imaterial, yakni kelompok pekerja vlogger dan kelompok non-vlogger. Kedua kelompok pekerja tersebut memiliki relasi yang timpang, dengan kelompok pekerja non-vlogger berada pada posisi yang lebih rentan. Keadaan tersebut terjadi akibat timpangnya relasi masing – masing kelompok pekerja (vlogger dan non-vlogger) terhadap korporasi. Oleh karena itu, bentuk kerentanan terhadap kedua kelompok pekerja tersebut cenderung berbeda. Melalui metode kualitatif dengan wawancara mendalam, observasi, dan data sekunder , artikel ini menemukan bahwa relasi yang timpang antara pekerja non-vlogger dengan korporasi menyebabkan kondisi ketiadaan : perlindungan terhadap pemberhentian kerja, naiknya pendapatan, pembatasan jam kerja, menambah keterampilan, kesempatan untuk berserikat, serta perlindungan terhadap pendapatan melalui ketidakjelasan kontrak kerja.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"185-234"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v22i2.7769","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46238647","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku kekerasan pada seseorang disebabkan oleh dua hal yaitu keluarga ( family effect ) atau lingkungan ketetanggaan ( neighborhood effect ). Praktik-praktik dalam keluarga seperti kekerasan yang dilakukan orang tua menentukan kecenderungan anak untuk berprilaku agresif atau tidak. Pada sisi lain, dalam konteks lingkungan komunitas ketetanggaan dengan kondisi yang buruk (padat, kumuh, miskin) munculnya kekerasan secara langsung disebabkan oleh pengaruh buruk lingkungan tersebut. Hubunganantara lingkungan ketetanggaan yang buruk, peran keluarga dan proses terbentuknya perilaku kekerasanbelum banyak dijelaskan. Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana peran keluarga danmekanisme kontrol keluarga dalam mendukung atau mengurangi perilaku kekerasan serta keterlibatan anak pada kekerasan kolektif (tawuran) di lingkungan sosial ketetanggaandengan kondisi yang buruk.Penelitian inidilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian dilakukan di sebuah komunitas miskin rawan konflik di Jakarta. Peneliti mengambil data primer pada keluarga yang memiliki anak dalam kategori pemuda (16-30 tahun), belum menikah serta terlibat dalam kasus kekerasan. Peneliti juga menggunakan data pendukung dari hasil penelitian sebelumnya dan studi lain yang relevan. Many researches conclude that violence is caused by two reasons, both of which are family effect and neighborhood effect. In a family practice, violence is done by parents determines the tendency of aggressive behavior in children. In neighborhood environment with bad living conditions (populous, dirty, and poor health), violence isdirectly caused by adverse environmental effects. The relation between poor neighborhood context, role of family, and formation process of violent behavior is not explained well. This paper explains how role of family and family control mechanism can increase or reduce violent behavior and child's involvement against collective violence (brawl) in poor neighborhood condition. This research uses qualitative methods in a conflict society at Jakarta. Researcher takes primary data on family with offspring in youth category (16-30 years old), single, and involved in violence case. Researcher also uses the supporting data from earlier research and other relevant studies.
{"title":"Kontrol Sosial Keluarga dan Kekerasan Kolektif: Studi Kasus Keterlibatan Pemuda dalam Tawuran Warga di Johar Baru, Jakarta Pusat","authors":"Dwi Sembodo Aji","doi":"10.7454/MJS.V22I2.7759","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V22I2.7759","url":null,"abstract":"Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku kekerasan pada seseorang disebabkan oleh dua hal yaitu keluarga ( family effect ) atau lingkungan ketetanggaan ( neighborhood effect ). Praktik-praktik dalam keluarga seperti kekerasan yang dilakukan orang tua menentukan kecenderungan anak untuk berprilaku agresif atau tidak. Pada sisi lain, dalam konteks lingkungan komunitas ketetanggaan dengan kondisi yang buruk (padat, kumuh, miskin) munculnya kekerasan secara langsung disebabkan oleh pengaruh buruk lingkungan tersebut. Hubunganantara lingkungan ketetanggaan yang buruk, peran keluarga dan proses terbentuknya perilaku kekerasanbelum banyak dijelaskan. Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana peran keluarga danmekanisme kontrol keluarga dalam mendukung atau mengurangi perilaku kekerasan serta keterlibatan anak pada kekerasan kolektif (tawuran) di lingkungan sosial ketetanggaandengan kondisi yang buruk.Penelitian inidilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian dilakukan di sebuah komunitas miskin rawan konflik di Jakarta. Peneliti mengambil data primer pada keluarga yang memiliki anak dalam kategori pemuda (16-30 tahun), belum menikah serta terlibat dalam kasus kekerasan. Peneliti juga menggunakan data pendukung dari hasil penelitian sebelumnya dan studi lain yang relevan. Many researches conclude that violence is caused by two reasons, both of which are family effect and neighborhood effect. In a family practice, violence is done by parents determines the tendency of aggressive behavior in children. In neighborhood environment with bad living conditions (populous, dirty, and poor health), violence isdirectly caused by adverse environmental effects. The relation between poor neighborhood context, role of family, and formation process of violent behavior is not explained well. This paper explains how role of family and family control mechanism can increase or reduce violent behavior and child's involvement against collective violence (brawl) in poor neighborhood condition. This research uses qualitative methods in a conflict society at Jakarta. Researcher takes primary data on family with offspring in youth category (16-30 years old), single, and involved in violence case. Researcher also uses the supporting data from earlier research and other relevant studies.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"159-184"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V22I2.7759","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49170015","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
0 0 1 120 685 unpad 5 1 804 14.0 96 Normal 0 false false false EN-US JA X-NONE Big Businesses’ intrusion into the Indonesian independent music scene does not harm the authenticity of the independent musicians’s wlrks as long as creative autonomy still can be maintained. It is important to maintain creative autonomy to make sure that songs produced by these independent musicians remain political and reflective—represent the quality of a high culture. The commodification of Indonesian independent music scene by tobacco companies is an interesting phenomena to be explored because it condraticts the ideology of independent music scene—that is the Do it Yourself (DIY) attitude. The scene actors within the scene compromise the presence of sponsors because they are able to fulfill the scene’s material needs. This lets what Hesmondhalgh calls cultural commodification possible.
0 0 1 120 685 unpad 5 1 804 14.0 96 Normal 0 false false EN-US JA X-NONE Big Businesses入侵印尼独立音乐界,只要仍能保持创作自主性,就不会损害独立音乐人作品的真实性。重要的是要保持创作的自主权,以确保这些独立音乐家创作的歌曲保持政治性和反思性,代表一种高级文化的品质。烟草公司将印尼独立音乐场景商品化是一个值得探索的有趣现象,因为它反映了独立音乐场景的意识形态——即DIY态度。场景中的场景演员会妥协赞助商的存在,因为他们能够满足场景的素材需求。这使得赫斯蒙达尔所说的文化商品化成为可能。
{"title":"Menegosiasi Otentisitas: Kancah Musik Independen Indonesia dalam Konteks Komodifikasi oleh Perusahaan Rokok","authors":"Adam Bagaskara","doi":"10.7454/mjs.v22i2.7850","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v22i2.7850","url":null,"abstract":"0 0 1 120 685 unpad 5 1 804 14.0 96 Normal 0 false false false EN-US JA X-NONE Big Businesses’ intrusion into the Indonesian independent music scene does not harm the authenticity of the independent musicians’s wlrks as long as creative autonomy still can be maintained. It is important to maintain creative autonomy to make sure that songs produced by these independent musicians remain political and reflective—represent the quality of a high culture. The commodification of Indonesian independent music scene by tobacco companies is an interesting phenomena to be explored because it condraticts the ideology of independent music scene—that is the Do it Yourself (DIY) attitude. The scene actors within the scene compromise the presence of sponsors because they are able to fulfill the scene’s material needs. This lets what Hesmondhalgh calls cultural commodification possible.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"235-255"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44406401","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial","authors":"K. Kurniawan","doi":"10.7454/MJS.V22I2.8245","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V22I2.8245","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"281-285"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47218311","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Untuk menjadi pemenang pada kontestasi politik elektoral, para kandidat kepala daerah harus memiliki kekuatan politik yang kuat. Kekuatan politik ini dapat berasal dari berbagai mesin politik, diantaranya institusi pesantren yang memiliki jaringan sosial di masyarakat. Pertanyaan artikel ini yaitu mengapa pesantren dapat menjadi basis massa politik elektoral di suatu daerah dan bagaimana mekanisme keterlibatannya. Penulis memakai konsep religio-politik untuk melihat keterlibatan pesantren pada politik elektoral dan konsep jaringan sosial sebagai kerangka analisa mekanisme keterlibatannya. Objek penelitian artikel ini adalah kasus Pilkada tahun 2011 dan 2016 di Kabupaten Tasikmalaya karena penulis melihat adanya peran dari jaringan sosial institusi pesantren sebagai kekuatan politik. Penulis berargumentasi bahwa kemenangan Uu Ruzhanul Ulum – Ade Sugianto pada Pilkada tahun 2011 dan 2016 merupakan hasil dari kekuatan politik jaringan sosial pesantren bernama Himpunan Alumni Miftahul Huda (Hamida). Kebaruan konsep artikel ini ialah kekuatan politik dapat berasal dari jaringan informal yang berintegrasi dengan jaringan formal. Teknik pengumpulan data penelitian ini bersifat kualitatif melalui snowball indepth-interview .
{"title":"Mekanisme Religio-Politik Pesantren: Mobilisasi Jaringan Hamida dalam Politik Elektoral Tasikmalaya","authors":"S. Hasanudin","doi":"10.7454/MJS.V22I1.6797","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V22I1.6797","url":null,"abstract":"Untuk menjadi pemenang pada kontestasi politik elektoral, para kandidat kepala daerah harus memiliki kekuatan politik yang kuat. Kekuatan politik ini dapat berasal dari berbagai mesin politik, diantaranya institusi pesantren yang memiliki jaringan sosial di masyarakat. Pertanyaan artikel ini yaitu mengapa pesantren dapat menjadi basis massa politik elektoral di suatu daerah dan bagaimana mekanisme keterlibatannya. Penulis memakai konsep religio-politik untuk melihat keterlibatan pesantren pada politik elektoral dan konsep jaringan sosial sebagai kerangka analisa mekanisme keterlibatannya. Objek penelitian artikel ini adalah kasus Pilkada tahun 2011 dan 2016 di Kabupaten Tasikmalaya karena penulis melihat adanya peran dari jaringan sosial institusi pesantren sebagai kekuatan politik. Penulis berargumentasi bahwa kemenangan Uu Ruzhanul Ulum – Ade Sugianto pada Pilkada tahun 2011 dan 2016 merupakan hasil dari kekuatan politik jaringan sosial pesantren bernama Himpunan Alumni Miftahul Huda (Hamida). Kebaruan konsep artikel ini ialah kekuatan politik dapat berasal dari jaringan informal yang berintegrasi dengan jaringan formal. Teknik pengumpulan data penelitian ini bersifat kualitatif melalui snowball indepth-interview .","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"53-80"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V22I1.6797","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47398551","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Menjembatani Perspektif Budaya dan Perspektif Transisi dalam Kajian Kepemudaan","authors":"Sutopo Oki Rahadianto","doi":"10.7454/mjs.v22i1.8059","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v22i1.8059","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"133-138"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v22i1.8059","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42673506","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Saat ini, inovasi teknologi dan sains telah mencapai tahap pemodifikasian dan peningkatan kapasitas tubuh manusia. Teknologi ini bervariasi dari alat-alat prostetik, implan, operasi plastik, obat-obatan, rekayasa genetika, nanoteknologi, dan lain-lain. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keberadaan intervensi teknologi ini telah menciptakan budaya konsumer produk dan jasa modifikasi tubuh, salah satunya pada obat non-terapeutik. Namun dalam studi-studi mengenai produk dan jasa modifikasi tubuh, pembahasan mengenai kebebasan morfologis tidak dijelaskan lebih jauh dengan menggunakan perspektif budaya konsumer. Kebebasan morfologis adalah hak suatu individu untuk memodifikasi atau menolak pemodifikasian atas tubuh yang salah satunya diwujudkan melalui penggunaan atau konsumsi human enhancement technology (HET). Oleh karena itu, studi ini mengkaji kebebasan morfologis dalam budaya konsumer obat non-terapeutik dengan menggunakan salah satu perspektif budaya konsumer, yaitu „imajinasi, kesenangan, dan kepuasan konsumsi‟. Penelitian yang menggunakan metode studi kasus terhadap 9 (sembilan) orang pemuda berusia 16-30 tahun ini melahirkan beberapa argumen. Pertama, kebebasan morfologis bermula dari suatu kondisi yang disebut sebagai kesadaran morfologis. Ke-dua, pada konteks masyarakat konsumer Indonesia, kebebasan morfologis dijustifikasi oleh norma dan nilai agama yang dianut oleh individu. Ke-tiga, kebebasan morfologis mendorong pembentukan budaya konsumer obat non-terapeutik yang termanifestasi dalam suatu gaya hidup.
{"title":"Kebebasan Morfologis dalam Budaya Konsumen Human Enhancement Technology: Studi Kasus Budaya Konsumen Obat Non-Terapeutik pada Pemuda","authors":"Sony Matin Abdussalam","doi":"10.7454/MJS.V22I1.6801","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V22I1.6801","url":null,"abstract":"Saat ini, inovasi teknologi dan sains telah mencapai tahap pemodifikasian dan peningkatan kapasitas tubuh manusia. Teknologi ini bervariasi dari alat-alat prostetik, implan, operasi plastik, obat-obatan, rekayasa genetika, nanoteknologi, dan lain-lain. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keberadaan intervensi teknologi ini telah menciptakan budaya konsumer produk dan jasa modifikasi tubuh, salah satunya pada obat non-terapeutik. Namun dalam studi-studi mengenai produk dan jasa modifikasi tubuh, pembahasan mengenai kebebasan morfologis tidak dijelaskan lebih jauh dengan menggunakan perspektif budaya konsumer. Kebebasan morfologis adalah hak suatu individu untuk memodifikasi atau menolak pemodifikasian atas tubuh yang salah satunya diwujudkan melalui penggunaan atau konsumsi human enhancement technology (HET). Oleh karena itu, studi ini mengkaji kebebasan morfologis dalam budaya konsumer obat non-terapeutik dengan menggunakan salah satu perspektif budaya konsumer, yaitu „imajinasi, kesenangan, dan kepuasan konsumsi‟. Penelitian yang menggunakan metode studi kasus terhadap 9 (sembilan) orang pemuda berusia 16-30 tahun ini melahirkan beberapa argumen. Pertama, kebebasan morfologis bermula dari suatu kondisi yang disebut sebagai kesadaran morfologis. Ke-dua, pada konteks masyarakat konsumer Indonesia, kebebasan morfologis dijustifikasi oleh norma dan nilai agama yang dianut oleh individu. Ke-tiga, kebebasan morfologis mendorong pembentukan budaya konsumer obat non-terapeutik yang termanifestasi dalam suatu gaya hidup.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"105-131"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V22I1.6801","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47118947","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
EVELINE 15.00 Jilbab or veil is a special cloth in Islam religion, particularly for women. The users are increased significantly in a recent decade in Indonesia. Not to mention also the issue about using of veil in higher education is important in which the discourse about religion is getting easier for being spread by Islamic activists. This article attempts to explain that the phenomenon of differentiation about variation of using veil that occur in campuses is because the differentiation of legitimation from the variation group in Islam itself; Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), and Salafi. The main argument from this article is that jilbab or veil being used because the context of teology or a form of commitment to the religion which being manifestated in each of the groups. Jilbab is eventually not only being used because of the commitment in teology, but also because of the conformity that is done by a person, so that she can be accepted socially by each variation groups that has been mentioned. Research method that being used is qualitative research which tries to understand the meaning of the social reality that happened, and it is supported by photo study. Subjects of this case study are women students in the University of Indonesia who are using veil to campus. The study depicts the variation of using jilbab or veil in higher education as it becomes symbol from the variation in Islam ( HTI, Salafi, and Tarbiyah ) which also conduct collective identity. The implication is that there is social boundaries from one group to other groups which suffered contestation, yet there is no serious conflict between them as the individuals inside those groups are already being educated.
伊芙琳15:00吉尔巴布或面纱是伊斯兰教的一种特殊布料,特别适合妇女使用。近十年来,印度尼西亚的用户显著增加。更不用说在高等教育中使用面纱的问题也很重要,因为关于宗教的话语越来越容易被伊斯兰激进分子传播。本文试图解释校园中出现的面纱使用变异的分化现象是由于伊斯兰教本身的变异群体的合法性的分化;Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)和Salafi。这篇文章的主要论点是,使用吉尔巴布或面纱是因为神学背景或对宗教的承诺形式,这在每个群体中都有所体现。吉尔巴布最终不仅因为在神学上的承诺而被使用,还因为一个人所做的一致性,所以她可以被社会上提到的每一个不同的群体所接受。所使用的研究方法是定性研究,试图理解所发生的社会现实的意义,并以照片研究为支撑。本案例研究的对象是印度尼西亚大学使用面纱进入校园的女学生。该研究描述了在高等教育中使用吉尔巴布或面纱的变化,因为它成为伊斯兰教(HTI, Salafi和Tarbiyah)变化的象征,这些变化也进行了集体认同。这意味着,一个群体与其他群体之间存在社会界限,这些群体之间存在争议,但它们之间没有严重的冲突,因为这些群体中的个人已经接受了教育。
{"title":"Jilbab sebagai Representasi Simbolik Mahasiswi Muslim di Universitas Indonesia","authors":"Eveline Ramadhini","doi":"10.7454/mjs.v22i1.6835","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v22i1.6835","url":null,"abstract":"EVELINE 15.00 Jilbab or veil is a special cloth in Islam religion, particularly for women. The users are increased significantly in a recent decade in Indonesia. Not to mention also the issue about using of veil in higher education is important in which the discourse about religion is getting easier for being spread by Islamic activists. This article attempts to explain that the phenomenon of differentiation about variation of using veil that occur in campuses is because the differentiation of legitimation from the variation group in Islam itself; Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), and Salafi. The main argument from this article is that jilbab or veil being used because the context of teology or a form of commitment to the religion which being manifestated in each of the groups. Jilbab is eventually not only being used because of the commitment in teology, but also because of the conformity that is done by a person, so that she can be accepted socially by each variation groups that has been mentioned. Research method that being used is qualitative research which tries to understand the meaning of the social reality that happened, and it is supported by photo study. Subjects of this case study are women students in the University of Indonesia who are using veil to campus. The study depicts the variation of using jilbab or veil in higher education as it becomes symbol from the variation in Islam ( HTI, Salafi, and Tarbiyah ) which also conduct collective identity. The implication is that there is social boundaries from one group to other groups which suffered contestation, yet there is no serious conflict between them as the individuals inside those groups are already being educated.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"81-103"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v22i1.6835","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47448707","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}