Abstrak Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE Kelompok keagamaan Ahmadiyah telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1920-an. Kelompok ini terbagi menjadi dua subkelompok yang berbeda, yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Setelah masa reformasi, komunitas JAI dihadapkan pada situasi yang kurang menguntungkan. Fatwa Kesesatan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1980 membuat posisi kelompok ini semakin sulit. Pemerintah pascareformasi bahkan seakan memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada kelompok-kelompok Islam dominan anti-Ahmadiyah untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok ini. Komunitas-komunitas JAI di berbagai daerah di Indonesia mengalami diskriminasi dan kekerasan, seperti penutupan masjid, penyerangan, dan pengusiran. Menyikapi hal ini, JAI yang memiliki dasar ajaran Islam yang damai mengembangkan pendekatan-pendekatan kultural yang bersifat persuasif agar mereka dapat bertahan dan selanjutnya diterima oleh masyarakat luas. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis JAI sebagai gerakan sosial baru berdasarkan pendekatan kultural yang dikembangkannya untuk dapat mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat. Upaya ini selanjutnya mencerminkan terjadinya kebangkitan identitas kolektif yang juga menjadi ciri dari gerakan ini. Abstract Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE The Ahmadiyya religious group has been present in Indonesia since the 1920s. The religious group is divided into two different subgroups, namely Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) and Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) . In the reform era, the JAI community has to face a less favorable situation. The Heresy Fatwa issued by Majelis Ulama Indonesia (MUI) in 1980 had put this group into an even more difficult position. The reform era government seemed to give a greater opportunity for anti-Ahmadiyya dominant Islamic groups to commit violence towards this group. JAI communities in various areas experienced various forms of discrimination and violence, such as the closure of mosques, assaults, and expulsions. Dealing with this situation, JAI, with their belief of peaceful Islam, tried to develop persuasive cultural approaches to survive and subsequently to be accepted by the society. This article aims to analyze JAI as a new social movement based on their cultural approaches to maintain their existence in the society. These efforts reflect the occurrence of the revival of collective identity, which also becomes the characteristic of this movement.
{"title":"Towards Peaceful Islam: Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) as A New Social Movement","authors":"Nuurul Fajari Fadhillah","doi":"10.7454/mjs.v22i1.7034","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v22i1.7034","url":null,"abstract":"Abstrak Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE Kelompok keagamaan Ahmadiyah telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1920-an. Kelompok ini terbagi menjadi dua subkelompok yang berbeda, yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Setelah masa reformasi, komunitas JAI dihadapkan pada situasi yang kurang menguntungkan. Fatwa Kesesatan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1980 membuat posisi kelompok ini semakin sulit. Pemerintah pascareformasi bahkan seakan memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada kelompok-kelompok Islam dominan anti-Ahmadiyah untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok ini. Komunitas-komunitas JAI di berbagai daerah di Indonesia mengalami diskriminasi dan kekerasan, seperti penutupan masjid, penyerangan, dan pengusiran. Menyikapi hal ini, JAI yang memiliki dasar ajaran Islam yang damai mengembangkan pendekatan-pendekatan kultural yang bersifat persuasif agar mereka dapat bertahan dan selanjutnya diterima oleh masyarakat luas. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis JAI sebagai gerakan sosial baru berdasarkan pendekatan kultural yang dikembangkannya untuk dapat mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat. Upaya ini selanjutnya mencerminkan terjadinya kebangkitan identitas kolektif yang juga menjadi ciri dari gerakan ini. Abstract Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE The Ahmadiyya religious group has been present in Indonesia since the 1920s. The religious group is divided into two different subgroups, namely Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) and Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) . In the reform era, the JAI community has to face a less favorable situation. The Heresy Fatwa issued by Majelis Ulama Indonesia (MUI) in 1980 had put this group into an even more difficult position. The reform era government seemed to give a greater opportunity for anti-Ahmadiyya dominant Islamic groups to commit violence towards this group. JAI communities in various areas experienced various forms of discrimination and violence, such as the closure of mosques, assaults, and expulsions. Dealing with this situation, JAI, with their belief of peaceful Islam, tried to develop persuasive cultural approaches to survive and subsequently to be accepted by the society. This article aims to analyze JAI as a new social movement based on their cultural approaches to maintain their existence in the society. These efforts reflect the occurrence of the revival of collective identity, which also becomes the characteristic of this movement.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"22 1","pages":"35-52"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v22i1.7034","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44643549","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Pusat komunitas adalah ruang publik bagi komunitas untuk melakukan aktivitas sosial, berinteraksi, rekreasi, dan menyalurkan hobinya yang dalam beberapa kasus dapat menanggulangi permasalahan sosial. Beberapa kajian membahas aspek fungsional pusat komunitas dari segi pelayanan sosial karena manfaat fungsionalnya, tetapi pembahasan mengenai pusat komunitas tidak dapat dilihat dari pelayanan sosial saja. Tulisan ini melihat pusat komunitas, melalui studi kasus RPTRA Kenanga, Cideng, Jakarta Pusat, memiliki aspek disfungsional yang menimbulkan eksklusivitas melalui kontestasi memori kolektif antara Pemerintah dan Masyarakat. Dengan menggunakan kerangka analisis yang mengacu pada konsep ruang publik dan memori kolektif, tulisan ini melihat perubahan sebelum adanya pusat komunitas yang berupa kepemilikan privat dan setelah adanya pusat komunitas yang membentuk memori kolektif baru berupa kepemilikan publik. Dari studi kasus di RPTRA Kenanga, tulisan ini menunjukkan bahwa pembentukan memori kolektif baru menyebabkan kontestasi memori kolektif antara negara (pemerintah provinsi DKI Jakarta)dan masyarakat (warga sekitar RPTRA Kenanga) yang kemudian menimbulkan eksklusivitas di ruang publik tersebut. Abstract Community center is a public space for the community that has a function for social activities, such as recreation and interaction, which in particular cases may diminish social problems. This study want to examines community center as Public Space and its memory collective to see the relevance of the theory and its significance to urban policy. The method of this article is qualitative using case study of Children-Friendly Integrated Public Space-Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kenanga, Cideng, Central Jakarta. This article argues there has been a dysfunctional aspect that results in exclusiveness through collective memory contestation between the Government and Local Community. The study find that other than the changes from private property to public property, the establishment of RPTRA Kenanga creates new collective memory that has resulted in collective memory contestation between the government of DKI Jakarta and the local people, which led exclusivity in the public space.
{"title":"Pusat Komunitas dan Kontestasi Memori Kolektif: Studi Kasus Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kenanga di Cideng, Jakarta Pusat","authors":"Riena Juliannisa Surayuda","doi":"10.7454/MJS.V21I2.5097","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V21I2.5097","url":null,"abstract":"Abstrak Pusat komunitas adalah ruang publik bagi komunitas untuk melakukan aktivitas sosial, berinteraksi, rekreasi, dan menyalurkan hobinya yang dalam beberapa kasus dapat menanggulangi permasalahan sosial. Beberapa kajian membahas aspek fungsional pusat komunitas dari segi pelayanan sosial karena manfaat fungsionalnya, tetapi pembahasan mengenai pusat komunitas tidak dapat dilihat dari pelayanan sosial saja. Tulisan ini melihat pusat komunitas, melalui studi kasus RPTRA Kenanga, Cideng, Jakarta Pusat, memiliki aspek disfungsional yang menimbulkan eksklusivitas melalui kontestasi memori kolektif antara Pemerintah dan Masyarakat. Dengan menggunakan kerangka analisis yang mengacu pada konsep ruang publik dan memori kolektif, tulisan ini melihat perubahan sebelum adanya pusat komunitas yang berupa kepemilikan privat dan setelah adanya pusat komunitas yang membentuk memori kolektif baru berupa kepemilikan publik. Dari studi kasus di RPTRA Kenanga, tulisan ini menunjukkan bahwa pembentukan memori kolektif baru menyebabkan kontestasi memori kolektif antara negara (pemerintah provinsi DKI Jakarta)dan masyarakat (warga sekitar RPTRA Kenanga) yang kemudian menimbulkan eksklusivitas di ruang publik tersebut. Abstract Community center is a public space for the community that has a function for social activities, such as recreation and interaction, which in particular cases may diminish social problems. This study want to examines community center as Public Space and its memory collective to see the relevance of the theory and its significance to urban policy. The method of this article is qualitative using case study of Children-Friendly Integrated Public Space-Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kenanga, Cideng, Central Jakarta. This article argues there has been a dysfunctional aspect that results in exclusiveness through collective memory contestation between the Government and Local Community. The study find that other than the changes from private property to public property, the establishment of RPTRA Kenanga creates new collective memory that has resulted in collective memory contestation between the government of DKI Jakarta and the local people, which led exclusivity in the public space.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"21 1","pages":"233-261"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-02-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V21I2.5097","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48416506","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Konsumsi daging anjing merupakan sebuah kebiasaan umum dalam beberapa dekade terakhir dan telah menjadi simbol bagi beberapa kelompok masyarakat di seluruh dunia. Dogs Are Not Food (DANF) adalah sebuah gerakan sosial yang ditujukan untuk menghapuskan konsumsi daging anjing. Gerakan ini diinisiasi oleh beberapa organisasi hak asasi satwa di Indonesia. Kampanye tersebut menjadi kontradiksi tersendiri: mengapa organisasi-organisasi tersebut melarang konsumsi daging anjing namun tetap mengonsumsi daging satwa lain? Bertolak dari konsep analisis framing, tulisan ini menggunakan observasi partisipatoris dan wawancara mendalam dengan informan-informan yang mengidentifikasi dirinya sebagai aktivis satwa dan/atau pendukung gerakan DANF. Berbeda dengan studi-studi sebelumnya yang cenderung mengkritik gerakan DANF, tulisan ini memberikan sebuah penjelasan sosiologis mengenai fungsi anjing dalam masyarakat dan menganalisis framing gerakan DANF. Tulisan ini berargumen bahwa framing yang digunakan oleh gerakan DANF bertujuan untuk “memanusiakan” satwa. Oleh karena itu, pelarangan konsumsi daging anjing menjadi tujuan gerakan DANF. Abstract The consumption of dog meat has been a common practice in the past few decades and a symbol for certain groups all around the world. Dogs Are Not Food (DANF) is a new social movement aimed to ban dog meat consumption, initiated by several animal rights organizations in Indonesia. The campaign seems to be self-contradictory: why ban the consumption of dog meat while still allowing the consumption of meat from other animals? Drawing on framing analysis, this article uses participant observation and in-depth interview with some self-identified animal activists and/or supporters of DANF. In contrast to previous studies, which are too critical of DANF, this article gives a sociological explanation on the functions of dogs in society and analysis of DANF’s framing. I argue that the framing used by the movement attempts to humanize non-human animals. Banning consumption of dog meat, therefore, is the goal of the DANF campaign.
{"title":"Humanizing the Non-Human Animal: the Framing Analysis of Dogs' Rights Movement in Indonesia","authors":"Prisilia Resolute","doi":"10.7454/mjs.v21i2.5073","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v21i2.5073","url":null,"abstract":"Abstrak Konsumsi daging anjing merupakan sebuah kebiasaan umum dalam beberapa dekade terakhir dan telah menjadi simbol bagi beberapa kelompok masyarakat di seluruh dunia. Dogs Are Not Food (DANF) adalah sebuah gerakan sosial yang ditujukan untuk menghapuskan konsumsi daging anjing. Gerakan ini diinisiasi oleh beberapa organisasi hak asasi satwa di Indonesia. Kampanye tersebut menjadi kontradiksi tersendiri: mengapa organisasi-organisasi tersebut melarang konsumsi daging anjing namun tetap mengonsumsi daging satwa lain? Bertolak dari konsep analisis framing, tulisan ini menggunakan observasi partisipatoris dan wawancara mendalam dengan informan-informan yang mengidentifikasi dirinya sebagai aktivis satwa dan/atau pendukung gerakan DANF. Berbeda dengan studi-studi sebelumnya yang cenderung mengkritik gerakan DANF, tulisan ini memberikan sebuah penjelasan sosiologis mengenai fungsi anjing dalam masyarakat dan menganalisis framing gerakan DANF. Tulisan ini berargumen bahwa framing yang digunakan oleh gerakan DANF bertujuan untuk “memanusiakan” satwa. Oleh karena itu, pelarangan konsumsi daging anjing menjadi tujuan gerakan DANF. Abstract The consumption of dog meat has been a common practice in the past few decades and a symbol for certain groups all around the world. Dogs Are Not Food (DANF) is a new social movement aimed to ban dog meat consumption, initiated by several animal rights organizations in Indonesia. The campaign seems to be self-contradictory: why ban the consumption of dog meat while still allowing the consumption of meat from other animals? Drawing on framing analysis, this article uses participant observation and in-depth interview with some self-identified animal activists and/or supporters of DANF. In contrast to previous studies, which are too critical of DANF, this article gives a sociological explanation on the functions of dogs in society and analysis of DANF’s framing. I argue that the framing used by the movement attempts to humanize non-human animals. Banning consumption of dog meat, therefore, is the goal of the DANF campaign.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"21 1","pages":"149-172"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-02-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v21i2.5073","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47719422","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Rasisme dan Marginalisasi dalam Sejarah Sosiologi Amerika","authors":"Sutopo Oki Rahadianto","doi":"10.7454/MJS.V21I2.5970","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V21I2.5970","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"21 1","pages":"285-290"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-02-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V21I2.5970","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46502112","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan persoalan kemiskinan di Flores dari perspektif ekonomi politik. Melalui penelitian kualitatif dengan tinjauan kepustakaan, artikel ini berargumentasi bahwa kemiskinan di Flores disebabkan oleh akumulasi melalui perampasan yang berkaitan dengan tiga hal pokok, yakni sejarah penjajahan yang panjang, ketimpangan agraria, dan depolitisasi massa rakyat. Penjajahan yang panjang telah menyebabkan perubahan struktur pemerintahan dan agraria demi akumulasi melalui perampasan. Ketimpangan agraria mempermudah proses akumulasi melalui perampasan. Dengan hanya mengandalkan perlawanan spontan yang tak terorganisir, proses akumulasi melalui perampasan tak terbendung dan terus mengeskalasi hingga saatini. Abstract This article aims to explain the poverty in Flores by using a political economy perspective. Through qualitative research methodology by review of literatures, this article opines that poverty in the region is caused by the accumulation by dispossession through three main areas, namely the long colonial history, agrarian inequality, and the de-politicization of the masses. The long history of colonization has led to the change of the system of administration and the agrarian structure for the sake of the accumulation by dispossession. The agrarian inequalities facilitate the process of accumulation by dispossession. Just by relying on unorganized spontaneous resistances, the accumulation by dispossession is unstoppable and keeps escalating till today.
{"title":"Akumulasi Melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores","authors":"Emilianus Yakob Sese Tolo","doi":"10.7454/mjs.v21i2.5478","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v21i2.5478","url":null,"abstract":"Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan persoalan kemiskinan di Flores dari perspektif ekonomi politik. Melalui penelitian kualitatif dengan tinjauan kepustakaan, artikel ini berargumentasi bahwa kemiskinan di Flores disebabkan oleh akumulasi melalui perampasan yang berkaitan dengan tiga hal pokok, yakni sejarah penjajahan yang panjang, ketimpangan agraria, dan depolitisasi massa rakyat. Penjajahan yang panjang telah menyebabkan perubahan struktur pemerintahan dan agraria demi akumulasi melalui perampasan. Ketimpangan agraria mempermudah proses akumulasi melalui perampasan. Dengan hanya mengandalkan perlawanan spontan yang tak terorganisir, proses akumulasi melalui perampasan tak terbendung dan terus mengeskalasi hingga saatini. Abstract This article aims to explain the poverty in Flores by using a political economy perspective. Through qualitative research methodology by review of literatures, this article opines that poverty in the region is caused by the accumulation by dispossession through three main areas, namely the long colonial history, agrarian inequality, and the de-politicization of the masses. The long history of colonization has led to the change of the system of administration and the agrarian structure for the sake of the accumulation by dispossession. The agrarian inequalities facilitate the process of accumulation by dispossession. Just by relying on unorganized spontaneous resistances, the accumulation by dispossession is unstoppable and keeps escalating till today.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"21 1","pages":"173-204"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-02-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v21i2.5478","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46599269","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Tulisan ini membahas resistensi masyarakat lokal terhadap rencana tambang oleh perusahaan ekstraktif yang difokuskan pada studi konflik untuk melihat apakah konflik ini berkembang menjadi sebuah gerakan sosial atau tidak. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus di Nagari III Koto, Sumatera Barat. Tulisan ini menunjukkan terdapat tujuh variabel yang menjadi sebab resistensi. Norma dan aturan adat menjadi variabel yang sangat penting sebagai sebab resistensi sekaligus sebagai penentu bentuk resistensi yang dilakukan. Sedikitnya ada tujuh bentuk resistensi yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat hingga tujuan resistensi itu dapat tercapai. Selain menjadi sebab dan menentukan bentuk, keberadaan adat dengan legalitas yang tinggi ternyata juga digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan resistensi oleh masyarakat. Berdasarkan bentuk-bentuk resistensi yang teridentifikasi, dapat disimpulkan bahwa perlawanan masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana tambang Bukit Batubasi merupakan suatu gerakan sosial. Abstract This article discusses the resistance in local societies against mining corporate. This study focuses on conflict approach which is seen if it can be a social movement or not. This study uses the qualitative approach with case study held in Nagari III Koto, West Sumatera. This article shows us that there are seven variables which being the cause of resistance. Norms and custom’s tradition are the most important in determining the forms of resistance. At least there are seven forms of resistance which did by actors in the region until it achieved. Highly legal tradition can be used as a tool to reach the goals of resistance in society. Based on such forms of those resistances, it could be concluded that the resistances of the people in Nagari III Koto are social movement.
摘要本文讨论了当地社会对一家采掘公司采矿计划的抵制,重点是冲突研究,以了解这场冲突是否演变成一场社会运动。它采用定性方法对苏门答腊岛西部Nagari III市的案例进行研究。这篇文章表明,有七个变量是由阻力引起的。Norma和自定义规则在决定阻力形式的同时,也成为阻力的重要变量。在达到抵抗目的之前,有关行动者至少有七种形式的抵抗。具有高度合法性的习俗的存在,不仅是一种原因和决定形式,而且也是实现社会反抗目的的工具。根据已确定的抵抗形式,可以得出结论,那加里三世市对巴图巴西山矿山计划的抵抗是一场社会运动。摘要本文讨论了地方社会对矿业公司的抵制。这项研究的重点是冲突方法,看看它是否可以是一场社会运动。本研究采用定性方法,在西苏门答腊岛的Nagari III Koto进行案例研究。这篇文章告诉我们,有七个变量是阻力的原因。规范和习俗的传统是决定抵抗形式的最重要因素。至少有七种形式的抵抗是该地区行动者所做的,直到它实现为止。高度合法的传统可以被用作实现社会抵抗目标的工具。基于这些反抗的形式,可以得出结论,长里三世古藤人民的反抗是社会运动。
{"title":"Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat Nagari III Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat, terhadap Rencana Tambang Bukit Batubasi","authors":"Yulisa Fringka","doi":"10.7454/mjs.v21i2.4670","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/mjs.v21i2.4670","url":null,"abstract":"Abstrak Tulisan ini membahas resistensi masyarakat lokal terhadap rencana tambang oleh perusahaan ekstraktif yang difokuskan pada studi konflik untuk melihat apakah konflik ini berkembang menjadi sebuah gerakan sosial atau tidak. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus di Nagari III Koto, Sumatera Barat. Tulisan ini menunjukkan terdapat tujuh variabel yang menjadi sebab resistensi. Norma dan aturan adat menjadi variabel yang sangat penting sebagai sebab resistensi sekaligus sebagai penentu bentuk resistensi yang dilakukan. Sedikitnya ada tujuh bentuk resistensi yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat hingga tujuan resistensi itu dapat tercapai. Selain menjadi sebab dan menentukan bentuk, keberadaan adat dengan legalitas yang tinggi ternyata juga digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan resistensi oleh masyarakat. Berdasarkan bentuk-bentuk resistensi yang teridentifikasi, dapat disimpulkan bahwa perlawanan masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana tambang Bukit Batubasi merupakan suatu gerakan sosial. Abstract This article discusses the resistance in local societies against mining corporate. This study focuses on conflict approach which is seen if it can be a social movement or not. This study uses the qualitative approach with case study held in Nagari III Koto, West Sumatera. This article shows us that there are seven variables which being the cause of resistance. Norms and custom’s tradition are the most important in determining the forms of resistance. At least there are seven forms of resistance which did by actors in the region until it achieved. Highly legal tradition can be used as a tool to reach the goals of resistance in society. Based on such forms of those resistances, it could be concluded that the resistances of the people in Nagari III Koto are social movement.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"21 1","pages":"205-231"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-01-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/mjs.v21i2.4670","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47792161","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstrak Tulisan ini membahas hubungan tekanan kelompok sebaya (peer group) terhadap gejala perilaku makan menyimpang pada remaja SMA di Jakarta. Banyak studi lain yang mengkaji hal serupa, namun kajian yang membahas permasalahan perilaku makan menyimpang secara sosiologis masih sangat minim. Ketika studi lain hanya memfokuskan pada jenis kelamin perempuan saja, dalam tulisan ini jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) digunakan sebagai variabel kontrol. Studi sebelumnya yang hanya berfokus pada perempuan memiliki kelemahan karena kelompok sebaya tidak hanya memengaruhi perilaku remaja perempuan, tetapi juga memengaruhi laki-laki. Oleh karena itu, penulis berargumen bahwa kelompok sebaya dapat memengaruhi munculnya gejala perilaku makan menyimpang pada remaja SMA di Jakarta, baik pada laki-laki maupun perempuan. Tulisan ini merupakan hasil studi yang menggunakan metode kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel secara acak bertingkat (stratified random sampling) sebanyak 235 siswa salah satu SMA negeri di Jakarta. Tulisan ini mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tekanan kelompok sebaya terhadap gejala perilaku makan menyimpang pada remaja SMA di Jakarta, di mana laki-laki lebih terpengaruh oleh pesan (message) dari kelompok sebayanya, sedangkan perempuan lebih kuat terpengaruh oleh interaksi dan likeability. Abstract This article discusses the correlation between peer group pressure and eating disorder behavior symptoms in Jakarta Senior High School students. Many of studies talk about it, but the discussion about eating disorder behavior on sociology was rarely found. In this article, gender was used as a control variable while many of studies only focused on the woman. The earlier studies that only focused on female have a lack of peer group influence analysis because it is biased. Therefore the author argues that peer group pressure influences the emergence of eating disorder behavior symptoms not only to female students but also to male students. This article was written based on a study which uses quantitative methods with stratified probability random sampling on 235 students from a state senior high school in Jakarta. This article shows that there is a correlation between peer group pressure on eating disorder behavior in Jakarta senior high school students where male students more influenced by the message from his peer group, while female students more influenced by interaction and likeability.
{"title":"Kelompok Sebaya dan Perilaku Makan Menyimpang Remaja SMA di Jakarta","authors":"Rizky Ibrahim Isra","doi":"10.7454/MJS.V21I2.4624","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V21I2.4624","url":null,"abstract":"Abstrak Tulisan ini membahas hubungan tekanan kelompok sebaya (peer group) terhadap gejala perilaku makan menyimpang pada remaja SMA di Jakarta. Banyak studi lain yang mengkaji hal serupa, namun kajian yang membahas permasalahan perilaku makan menyimpang secara sosiologis masih sangat minim. Ketika studi lain hanya memfokuskan pada jenis kelamin perempuan saja, dalam tulisan ini jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) digunakan sebagai variabel kontrol. Studi sebelumnya yang hanya berfokus pada perempuan memiliki kelemahan karena kelompok sebaya tidak hanya memengaruhi perilaku remaja perempuan, tetapi juga memengaruhi laki-laki. Oleh karena itu, penulis berargumen bahwa kelompok sebaya dapat memengaruhi munculnya gejala perilaku makan menyimpang pada remaja SMA di Jakarta, baik pada laki-laki maupun perempuan. Tulisan ini merupakan hasil studi yang menggunakan metode kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel secara acak bertingkat (stratified random sampling) sebanyak 235 siswa salah satu SMA negeri di Jakarta. Tulisan ini mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tekanan kelompok sebaya terhadap gejala perilaku makan menyimpang pada remaja SMA di Jakarta, di mana laki-laki lebih terpengaruh oleh pesan (message) dari kelompok sebayanya, sedangkan perempuan lebih kuat terpengaruh oleh interaksi dan likeability. Abstract This article discusses the correlation between peer group pressure and eating disorder behavior symptoms in Jakarta Senior High School students. Many of studies talk about it, but the discussion about eating disorder behavior on sociology was rarely found. In this article, gender was used as a control variable while many of studies only focused on the woman. The earlier studies that only focused on female have a lack of peer group influence analysis because it is biased. Therefore the author argues that peer group pressure influences the emergence of eating disorder behavior symptoms not only to female students but also to male students. This article was written based on a study which uses quantitative methods with stratified probability random sampling on 235 students from a state senior high school in Jakarta. This article shows that there is a correlation between peer group pressure on eating disorder behavior in Jakarta senior high school students where male students more influenced by the message from his peer group, while female students more influenced by interaction and likeability.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"21 1","pages":"263-283"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-01-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V21I2.4624","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47205925","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Produk fesyen lokal selama ini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat, terlebih ketika banyak toko produk fesyen internasional yang mendominasi pasar. Untuk itu, Brightspot Market hadir dengan mengusung konsep kurasi untuk mempromosikan dan mewadahi produk fesyen lokal dengan kualitas premium. Tulisan ini membahas proses representasi identitas kaum muda pada acara Brightspot Market untuk memperkaya kajian sosiologi budaya mengenai representasi identitas khususnya konsep circuit of culture yang dikemukakan oleh Stuart Hall. Dengan menggunakan metode kualitatif berupa wawancara terhadap pendiri dan observasi terhadap Brightspot Market, vendor produk lokal dan konsumen, tulisan ini menunjukkan bahwa Brightspot Market mampu memodifikasi konsep circuit of culture dengan merepresentasikan identitas cool ‘keren’ melalui konsep curated market-nya kepada kaum muda Jakarta. Nowadays, the people still underestimate local fashion product. Moreover, many international brand’s stores seem to dominate the market. Then, Brightspot Market comes up with the curated market concept to accommodate and promote a premium quality of local fashion product. This Article discusses representation process to youth identity in Brightspot Market event. This article discusses the representation process of youth identity to enrich the study of cultural sociology, especially the concept of “circuit of culture” by Stuart Hall. This article describes Brightspot Market which modifies circuit of culture concept. Using qualitative methods by interview and observation towards Brightspot owners, local products’ vendor and consumer, this article shows that Brightspot Market can modify that concept by represents “the cool” identity through its curated market concept to Jakarta young people.
{"title":"Brightspot Market sebagai Representasi Identitas \"Cool\" Kaum Muda Jakarta","authors":"Carolina Junifer","doi":"10.7454/MJS.V21I1.4637","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V21I1.4637","url":null,"abstract":"Produk fesyen lokal selama ini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat, terlebih ketika banyak toko produk fesyen internasional yang mendominasi pasar. Untuk itu, Brightspot Market hadir dengan mengusung konsep kurasi untuk mempromosikan dan mewadahi produk fesyen lokal dengan kualitas premium. Tulisan ini membahas proses representasi identitas kaum muda pada acara Brightspot Market untuk memperkaya kajian sosiologi budaya mengenai representasi identitas khususnya konsep circuit of culture yang dikemukakan oleh Stuart Hall. Dengan menggunakan metode kualitatif berupa wawancara terhadap pendiri dan observasi terhadap Brightspot Market, vendor produk lokal dan konsumen, tulisan ini menunjukkan bahwa Brightspot Market mampu memodifikasi konsep circuit of culture dengan merepresentasikan identitas cool ‘keren’ melalui konsep curated market-nya kepada kaum muda Jakarta. Nowadays, the people still underestimate local fashion product. Moreover, many international brand’s stores seem to dominate the market. Then, Brightspot Market comes up with the curated market concept to accommodate and promote a premium quality of local fashion product. This Article discusses representation process to youth identity in Brightspot Market event. This article discusses the representation process of youth identity to enrich the study of cultural sociology, especially the concept of “circuit of culture” by Stuart Hall. This article describes Brightspot Market which modifies circuit of culture concept. Using qualitative methods by interview and observation towards Brightspot owners, local products’ vendor and consumer, this article shows that Brightspot Market can modify that concept by represents “the cool” identity through its curated market concept to Jakarta young people.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"21 1","pages":"109-131"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-10-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V21I1.4637","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"71341299","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini menganalisis penyelesaian konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia melalui nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) Helsinki yang berimplikasi terhadap pergantian undang-undang bagi Aceh. Beberapa studi yang telah ada, menyatakan MoU Helsinki sebagai win-win solution telah berjalan dengan baik dan memberi peluang lebih baik bagi mengakhiri konflik separatis di Aceh . Akan tetapi, tulisan ini menunjukkan bahwa MoU Helsinki hanya membawa perdamaian negatif kepada Aceh, karena pelaksanaanya melalui undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah mereduksi otoritas pemerintah daerah Aceh untuk mengatur dirinya dan tidak mentranformasikan struktur dan hubungan pemerintah daerah Aceh dan Pemerintah Indonesia menjadi hubungan yang seimbang, walaupun UUPA telah memberi peluang bagi pembangunan ekonomi dan sosial politik di Aceh. Perjanjian damai (MoU Helsinki) dan UUPA telah dijalankan dan menghasilkan kompromi serta konsensus dalam sosio-politik di Aceh. Tulisan ini didasarkan pada kajian dengan menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder. This article aims to analyze the settlement of a prolonged conflict between the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka/GAM) and the Indonesian Government through a Memorandum of Understanding (MoU) of Helsinki that had implications on changing the law for Aceh. Some previous studies stated that Memorandum of Understanding (MoU) as a win-win solution has been working well and give a better chance to end the separatist conflict in Aceh. However, This article shows that MoU Helsinki is only bring negative peace to Aceh, because its implementation through Law on Governing Aceh (LoGA) has reduced authorities of Aceh to govern itself and it does not transform the structure and relationship between Aceh and the Government of Indonesia to the balanced ones, although LoGA has provided opportunities for economic, social and political development in Aceh. The Peace agreement (MoU Helsinki) and LoGA were carried out and resulted in a compromise and consensus in the socio-political in Aceh. This article based on research using qualitative methods. The data collect from primary sources and secondary sources.
这篇文章通过赫尔辛基谅解备忘录(了解备忘录)分析了亚齐独立运动(GAM)和印尼政府之间长期冲突的解决方案最近的几项研究表明,赫尔辛基议案进展顺利,为结束亚齐的分裂冲突提供了更好的机会。然而,这篇文章指出,MoU赫尔辛基只向亚齐负面带来和平,因为汇报亚齐(UUPA)政府通过立法,已变成了一个当地政府安排自己和亚齐当局没有mentranformasikan结构和印度尼西亚亚齐地区和政府关系成为平衡的关系,尽管UUPA政治经济和社会建设提供机会给了在亚齐。赫尔辛基议定书(MoU赫尔辛基)和UUPA已经实施,并导致了亚齐社会政治上的妥协和共识。这篇文章是基于一个定性方法的研究。数据来自原始和次要来源。这篇文章的目的是分析自由亚齐运动和印尼政府之间的冲突的解决方案,通过一份印有改变法律的赫尔辛基备忘录。有一些先见之明的研究表明,“双赢”的备忘录一直很成功,并给了一个更好的机会来结束一天的分离冲突。赫尔辛基,但是,这个文章的节目亩是唯一的亚齐带来消极的和平,因为它的implementation通过法律上Governing亚齐(LoGA)亚齐的当局有reduced to govern不由自主它确实不是用金币和《vesalius印尼亚齐之间关系和政府》《balanced势力,虽然有LoGA provided opportunities for economic、社会和政治发展在亚齐。亚齐社会政治上的妥协和抗议使和平协议令人担忧。这篇文章是基于研究的,采用了合理的方法。初级资源和secondary资源收集数据。
{"title":"Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era Desentralisasi","authors":"Suadi Zainal","doi":"10.7454/MJS.V21I1.4757","DOIUrl":"https://doi.org/10.7454/MJS.V21I1.4757","url":null,"abstract":"Tulisan ini menganalisis penyelesaian konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia melalui nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) Helsinki yang berimplikasi terhadap pergantian undang-undang bagi Aceh. Beberapa studi yang telah ada, menyatakan MoU Helsinki sebagai win-win solution telah berjalan dengan baik dan memberi peluang lebih baik bagi mengakhiri konflik separatis di Aceh . Akan tetapi, tulisan ini menunjukkan bahwa MoU Helsinki hanya membawa perdamaian negatif kepada Aceh, karena pelaksanaanya melalui undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah mereduksi otoritas pemerintah daerah Aceh untuk mengatur dirinya dan tidak mentranformasikan struktur dan hubungan pemerintah daerah Aceh dan Pemerintah Indonesia menjadi hubungan yang seimbang, walaupun UUPA telah memberi peluang bagi pembangunan ekonomi dan sosial politik di Aceh. Perjanjian damai (MoU Helsinki) dan UUPA telah dijalankan dan menghasilkan kompromi serta konsensus dalam sosio-politik di Aceh. Tulisan ini didasarkan pada kajian dengan menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder. This article aims to analyze the settlement of a prolonged conflict between the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka/GAM) and the Indonesian Government through a Memorandum of Understanding (MoU) of Helsinki that had implications on changing the law for Aceh. Some previous studies stated that Memorandum of Understanding (MoU) as a win-win solution has been working well and give a better chance to end the separatist conflict in Aceh. However, This article shows that MoU Helsinki is only bring negative peace to Aceh, because its implementation through Law on Governing Aceh (LoGA) has reduced authorities of Aceh to govern itself and it does not transform the structure and relationship between Aceh and the Government of Indonesia to the balanced ones, although LoGA has provided opportunities for economic, social and political development in Aceh. The Peace agreement (MoU Helsinki) and LoGA were carried out and resulted in a compromise and consensus in the socio-political in Aceh. This article based on research using qualitative methods. The data collect from primary sources and secondary sources.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"17 1","pages":"81-109"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-10-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V21I1.4757","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"71341448","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}