Moslem society as a part of the population of the south world, culturally, is in the influence of the hegemony of non-moslem culture, mainly, European, American, and Australian as parts of the north world population. Until the mid twentieth century, the hegemony existed in the form of military imperialism. Meanwhile, in the post mid twentieth century the hegemony changed into cultural imperialism in many areas, such as social, economic, social and even art. The countries of the south world have really done some efforts to face the neo imperialism, but have not suceeded well. Therefore, more serious effort should be done to face the neo imperialism, that is the creativity to make the European and American cultural products as materials that can be creatively rearranged and matched with the local culture. In the creative process the spiritual dimension of culture should become the basis of cultural production process at present and in the future to create a fair relation. The use of spiritual dimension of culture can create new cultural products. In turn, the cultural products of the south world will exist, and finally they can be exchanged with the products of the north world. This is what China is doing with its developing economic power to balance out the domination of Europe and America. The same hopefully appears from the Islam world although it needs more serious cultural works. According to Faisal Ismail, the awakening of Islam and its culture depend on the moslem themselves and their cultural works. Masyarakat Muslim sebagai bagian dari populasi dunia selatan, secara kultural, berada dalam pengaruh hegemoni budaya non-muslim, terutama Eropa, Amerika, dan Australia sebagai bagian dari populasi dunia utara. Sampai pertengahan abad ke-20, hegemoni itu ada dalam bentuk imperialisme militer. Sementara itu, pada pertengahan abad ke-20 hegemoni berubah menjadi imperialisme budaya di banyak bidang, seperti sosial, ekonomi, sosial dan bahkan kesenian. Negara-negara di dunia selatan telah benar-benar melakukan beberapa upaya untuk menghadapi imperialisme neo, namun belum berhasil dengan baik. Karena itu, usaha yang lebih serius harus dilakukan untuk menghadapi neo imperialisme, yaitu kreativitas membuat produk budaya Eropa dan Amerika sebagai bahan yang bisa ditata ulang secara kreatif dan disesuaikan dengan budaya lokal. Dalam proses kreatif dimensi spiritual budaya harus menjadi dasar proses produksi budaya saat ini dan di masa depan untuk menciptakan hubungan yang adil. Penggunaan dimensi spiritual budaya bisa menciptakan produk budaya baru. Pada gilirannya, produk budaya dunia selatan akan ada, dan akhirnya mereka bisa dipertukarkan dengan produk-produk dari dunia utara. Inilah yang dilakukan China dengan kekuatan ekonomi yang berkembang untuk mengimbangi dominasi Eropa dan Amerika. Hal yang sama semoga muncul dari dunia Islam meski membutuhkan karya budaya yang lebih serius. Menurut Faisal Ismail, kebangkitan Islam dan budayanya bergantung pada
穆斯林社会作为南方世界人口的一部分,在文化上受到非穆斯林文化霸权的影响,主要是欧洲、美国和澳大利亚作为北方世界人口的一部分。直到二十世纪中叶,霸权都是以军事帝国主义的形式存在的。与此同时,20世纪中期以后,霸权主义在社会、经济、社会乃至艺术等诸多领域转变为文化帝国主义。面对新帝国主义,南方国家确实做了一些努力,但效果并不好。因此,面对新帝国主义,更应该做的是创造性的努力,使欧美文化产品成为可以创造性地重新排列并与当地文化相匹配的材料。在创造过程中,文化的精神维度应成为当前和未来文化生产过程中创造公平关系的基础。利用文化的精神维度可以创造出新的文化产品。反过来,南方世界的文化产品将会存在,并最终与北方世界的产品进行交换。这就是中国正在利用其发展中的经济实力来平衡欧洲和美国的统治地位。同样的希望也出现在伊斯兰世界,尽管它需要更多严肃的文化工作。根据费萨尔·伊斯梅尔的说法,伊斯兰教及其文化的觉醒取决于穆斯林本身和他们的文化作品。Masyarakat Muslim sebagai bagian dari populasi dunia selatan, secara culture, berada dalam pengaruh hegemoni budaya非穆斯林,terutama欧洲,美国,澳大利亚sebagai bagian dari populasi dunia utara。Sampai pertengahan abad ke-20,霸权主义是一个帝国主义的军人。[翻译]:Sementara itu, padadpertengahan abad -20霸权主义berubah menjadi帝国主义budaya di banyak bidang,独立社会,经济,社会dan bahkan kesenian。这是一个帝国主义的新概念,是一个帝国主义的新概念,是一个帝国主义的新概念。新帝国主义,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲,亚洲。达拉姆(Dalam)处理创造的维度,精神的budaya harus menjadi dasar处理产品的budaya saat ini di masa depan untuk menciptakan hubungan yang adil。彭古南次元精神的布达亚比萨是曼西塔坎产品布达亚巴鲁。Pada gilirannya,产品budaya dunia selatan akan ada, dan akhirnya mereka bisa dipertukarkan dengan产品-产品dari dunia utara。中国,中国,中国,中国,中国,中国,中国,中国,中国,中国,中国,中国,中国,中国,欧洲,美国。Hal yang sama semoga muncul dari dunia Islam meski membutuhkan karya budaya yang lebih serius。menuut Faisal Ismail, kebangkitan Islam dan budayanya bergantung - pada umat Islam sendiri dan karya budaya mereka。
{"title":"DIMENSI SPIRITUAL KEBUDAYAAN: Di Tengah Relasi yang Timpang Antara Utara dan Selatan","authors":"M. Tasrif","doi":"10.18860/EL.V10I2.4429","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V10I2.4429","url":null,"abstract":"Moslem society as a part of the population of the south world, culturally, is in the influence of the hegemony of non-moslem culture, mainly, European, American, and Australian as parts of the north world population. Until the mid twentieth century, the hegemony existed in the form of military imperialism. Meanwhile, in the post mid twentieth century the hegemony changed into cultural imperialism in many areas, such as social, economic, social and even art. The countries of the south world have really done some efforts to face the neo imperialism, but have not suceeded well. Therefore, more serious effort should be done to face the neo imperialism, that is the creativity to make the European and American cultural products as materials that can be creatively rearranged and matched with the local culture. In the creative process the spiritual dimension of culture should become the basis of cultural production process at present and in the future to create a fair relation. The use of spiritual dimension of culture can create new cultural products. In turn, the cultural products of the south world will exist, and finally they can be exchanged with the products of the north world. This is what China is doing with its developing economic power to balance out the domination of Europe and America. The same hopefully appears from the Islam world although it needs more serious cultural works. According to Faisal Ismail, the awakening of Islam and its culture depend on the moslem themselves and their cultural works. Masyarakat Muslim sebagai bagian dari populasi dunia selatan, secara kultural, berada dalam pengaruh hegemoni budaya non-muslim, terutama Eropa, Amerika, dan Australia sebagai bagian dari populasi dunia utara. Sampai pertengahan abad ke-20, hegemoni itu ada dalam bentuk imperialisme militer. Sementara itu, pada pertengahan abad ke-20 hegemoni berubah menjadi imperialisme budaya di banyak bidang, seperti sosial, ekonomi, sosial dan bahkan kesenian. Negara-negara di dunia selatan telah benar-benar melakukan beberapa upaya untuk menghadapi imperialisme neo, namun belum berhasil dengan baik. Karena itu, usaha yang lebih serius harus dilakukan untuk menghadapi neo imperialisme, yaitu kreativitas membuat produk budaya Eropa dan Amerika sebagai bahan yang bisa ditata ulang secara kreatif dan disesuaikan dengan budaya lokal. Dalam proses kreatif dimensi spiritual budaya harus menjadi dasar proses produksi budaya saat ini dan di masa depan untuk menciptakan hubungan yang adil. Penggunaan dimensi spiritual budaya bisa menciptakan produk budaya baru. Pada gilirannya, produk budaya dunia selatan akan ada, dan akhirnya mereka bisa dipertukarkan dengan produk-produk dari dunia utara. Inilah yang dilakukan China dengan kekuatan ekonomi yang berkembang untuk mengimbangi dominasi Eropa dan Amerika. Hal yang sama semoga muncul dari dunia Islam meski membutuhkan karya budaya yang lebih serius. Menurut Faisal Ismail, kebangkitan Islam dan budayanya bergantung pada ","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"10 1","pages":"107-117"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-01-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46070384","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The national revolution has brought effects on many aspects including the changing process of Javanese syncritism and relativism into the tolerance of Javanese. Anderson argues that Javanese relativism should not be understood as the tolerance toward public differences by ignoring races, colors, and beliefs. In fact, Javanese relativism does not bring any effect on other ethical groups in Indonesia. Therefore, the idea of openness and tolerance which has been admired from Javanese value is just like chauvinism cultural terminology. Javanese cultural behavior still becomes a mystery as its practice of tolerance measured by the wish and propinquity to its culture. The term of tolerance which becomes a pride and an ideology for Javanese people, in fact, shows the opposite situation as the practices of religiousness are still measured by social hierarchy. This character is inseparable from what is called a rigid religious mythology. It, then, offers much particular morale structure with diverse forms. Revolusi nasional telah membawa dampak pada banyak aspek termasuk perubahan proses sinkritisme dan relativisme Jawa menjadi toleransi orang Jawa. Anderson berpendapat bahwa relativisme Jawa tidak boleh dipahami sebagai toleransi terhadap perbedaan publik dengan mengabaikan ras, warna, dan kepercayaan. Kenyataannya, relativisme Jawa tidak membawa dampak pada kelompok etis lain di Indonesia. Oleh karena itu, gagasan keterbukaan dan toleransi yang dikagumi dari nilai Jawa sama seperti istilah budaya chauvinisme. Perilaku budaya Jawa masih menjadi misteri karena praktik toleransinya diukur dengan harapan dan propimquity terhadap budayanya. Istilah toleransi yang menjadi sebuah kebanggaan dan ideologi bagi orang Jawa, pada kenyataannya, menunjukkan situasi yang berlawanan karena praktik religiusitas masih diukur dengan hierarki sosial. Karakter ini tak terpisahkan dari apa yang disebut mitologi religius yang kaku. Kemudian, ia menawarkan banyak struktur moral tertentu dengan beragam bentuk.
{"title":"MITOLOGI RELIGIUS DAN TOLERANSI ORANG JAWA: Telaah Pemikiran Benedict Anderson","authors":"Roibin Roibin","doi":"10.18860/EL.V10I1.4600","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V10I1.4600","url":null,"abstract":"The national revolution has brought effects on many aspects including the changing process of Javanese syncritism and relativism into the tolerance of Javanese. Anderson argues that Javanese relativism should not be understood as the tolerance toward public differences by ignoring races, colors, and beliefs. In fact, Javanese relativism does not bring any effect on other ethical groups in Indonesia. Therefore, the idea of openness and tolerance which has been admired from Javanese value is just like chauvinism cultural terminology. Javanese cultural behavior still becomes a mystery as its practice of tolerance measured by the wish and propinquity to its culture. The term of tolerance which becomes a pride and an ideology for Javanese people, in fact, shows the opposite situation as the practices of religiousness are still measured by social hierarchy. This character is inseparable from what is called a rigid religious mythology. It, then, offers much particular morale structure with diverse forms. Revolusi nasional telah membawa dampak pada banyak aspek termasuk perubahan proses sinkritisme dan relativisme Jawa menjadi toleransi orang Jawa. Anderson berpendapat bahwa relativisme Jawa tidak boleh dipahami sebagai toleransi terhadap perbedaan publik dengan mengabaikan ras, warna, dan kepercayaan. Kenyataannya, relativisme Jawa tidak membawa dampak pada kelompok etis lain di Indonesia. Oleh karena itu, gagasan keterbukaan dan toleransi yang dikagumi dari nilai Jawa sama seperti istilah budaya chauvinisme. Perilaku budaya Jawa masih menjadi misteri karena praktik toleransinya diukur dengan harapan dan propimquity terhadap budayanya. Istilah toleransi yang menjadi sebuah kebanggaan dan ideologi bagi orang Jawa, pada kenyataannya, menunjukkan situasi yang berlawanan karena praktik religiusitas masih diukur dengan hierarki sosial. Karakter ini tak terpisahkan dari apa yang disebut mitologi religius yang kaku. Kemudian, ia menawarkan banyak struktur moral tertentu dengan beragam bentuk.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"10 1","pages":"75-86"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-01-08","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45864979","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The culture of educational institution is something that is built from the companionship between the values followed by the leader and those followed by the teachers and the staffs. Those values are built by human thought existing in the madrasah (school). The companionship, then, produces the thought of organization which emerges in the form of values to be believed by all members of the institution. Furthermore, those values will be the main medium to shape the culture of its educational institution. The culture then rises in many kinds of visible symbols and acts in the daily life of the educational institution. The concept of building the culture through companioning different values becomes an interesting topic to be explored through this paper. This paper also intends to explore the significance of forming and shaping the thought of organization as the way to lead a harmonious institution atmosphere. Budaya lembaga pendidikan adalah sesuatu yang dibangun dari persahabatan antara nilai-nilai yang diikuti oleh pemimpin dan yang diikuti oleh para guru dan para staf. Nilai tersebut dibangun oleh pemikiran manusia yang ada di madrasah (sekolah). Oleh karena itu, persahabatan menghasilkan pemikiran tentang organisasi yang muncul dalam bentuk nilai yang dapat dipercaya oleh semua anggota institusi. Selanjutnya, nilai tersebut akan menjadi media utama untuk membentuk budaya lembaga pendidikannya. Budaya kemudian meningkat dalam berbagai jenis simbol dan tindakan yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari institusi pendidikan. Konsep membangun budaya melalui pendampingan nilai yang berbeda menjadi topik yang menarik untuk dijelajahi melalui makalah ini. Makalah ini juga bermaksud menggali makna pembentukan dan pembentukan pemikiran organisasi sebagai cara untuk memimpin atmosfir institusi yang harmonis.
教育机构的文化是建立在领导者所遵循的价值观与教师和员工所遵循的价值观之间的友谊之上的。这些价值观是由存在于madrasah(学校)中的人类思想所建立的。因此,这种伙伴关系产生了组织思想,这种组织思想以组织中所有成员都相信的价值观的形式出现。此外,这些价值观将成为塑造其教育机构文化的主要媒介。然后,文化在教育机构的日常生活中以各种可见的符号和行为出现。通过不同价值观的陪伴来构建文化的概念成为本文探讨的一个有趣的话题。本文还探讨了组织思想的形成和塑造对营造和谐制度氛围的重要意义。Budaya lembaga pendidikan adalah sessuatu yang dibangun dari pershabatan antara nilai-nilai yang diikuti oleh pemimpin dan yang diikuti oleh guru danpara工作人员。Nilai tersebut dibangan oleh pemikiran manusia yang ada di madrasah (sekolah)。我是杨文贵,我是杨文贵,我是杨文贵,我是杨文贵,我是杨文贵,我是杨文贵。Selanjutnya, nilai tersebut akan menjadi media utama untuk membentuk budaya lembaga pendidikannya。Budaya kemudian meningkat dalam berbagai jenis符号dan tindakan yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari institui pendidikan。康塞普人,万寿山,万寿山,万寿山,万寿山,万寿山,万寿山,万寿山。Makalah ini juga bermaksud menggali makna pembentukan和pembentukan pemikiran组织asi sebagai cara untuk memimpin大气研究所yang harmonis。
{"title":"MEMBANGUN BUDAYA LEMBAGA PENDIDIKAN","authors":"Sugeng Listyo","doi":"10.18860/EL.V10I1.4599","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V10I1.4599","url":null,"abstract":"The culture of educational institution is something that is built from the companionship between the values followed by the leader and those followed by the teachers and the staffs. Those values are built by human thought existing in the madrasah (school). The companionship, then, produces the thought of organization which emerges in the form of values to be believed by all members of the institution. Furthermore, those values will be the main medium to shape the culture of its educational institution. The culture then rises in many kinds of visible symbols and acts in the daily life of the educational institution. The concept of building the culture through companioning different values becomes an interesting topic to be explored through this paper. This paper also intends to explore the significance of forming and shaping the thought of organization as the way to lead a harmonious institution atmosphere. Budaya lembaga pendidikan adalah sesuatu yang dibangun dari persahabatan antara nilai-nilai yang diikuti oleh pemimpin dan yang diikuti oleh para guru dan para staf. Nilai tersebut dibangun oleh pemikiran manusia yang ada di madrasah (sekolah). Oleh karena itu, persahabatan menghasilkan pemikiran tentang organisasi yang muncul dalam bentuk nilai yang dapat dipercaya oleh semua anggota institusi. Selanjutnya, nilai tersebut akan menjadi media utama untuk membentuk budaya lembaga pendidikannya. Budaya kemudian meningkat dalam berbagai jenis simbol dan tindakan yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari institusi pendidikan. Konsep membangun budaya melalui pendampingan nilai yang berbeda menjadi topik yang menarik untuk dijelajahi melalui makalah ini. Makalah ini juga bermaksud menggali makna pembentukan dan pembentukan pemikiran organisasi sebagai cara untuk memimpin atmosfir institusi yang harmonis.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"10 1","pages":"57-73"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-01-08","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41911757","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Each language has its own uniqueness because of the existence of cultural concepts that exist in it. To bring clarity to the translation of the nuanced cultural speech, including those contained in the imperative verses, often becomes an obstacle in translation. The study, which used a qualitative-evaluative approach with the design of embedded case study research, aims to reveal the clarity of the translation of imperative verses that have cultural nuance meanings. Samples were selected purposively regarding imperative verses that have specific pragmatic meanings. The clarity of the translation of the imperative verses relies on the techniques and procedures of translation applied in dealing with micro-translation units. Couplet procedure that combines literal and amplification techniques may fulfill clarity aspect in translation. Setiap bahasa mempunyai keunikan tersendiri berkat keberadaan konsep-konsep budaya yang ada di dalamnya. Dalam penerjemahan, menghadirkan ketedasan terjemahan tuturan yang bernuansa budaya, termasuk dalam ayat-ayat imperatif, seringkali menjadi kendala tersendiri. Penelitian ini, yang menggunakan pendekatan kualitatif-evaluatif dengan desain studi kasus terpancang, bertujuan untuk mengungkap ketedasan terjemahan ayat-ayat imperatif yang bernuansa budaya. Sampel penelitian dipilih secara purposif berupa ayat-ayat imperatif yang memiliki makna pragmatik tertentu. Ketedasan terjemahan ayat-ayat imperatif tidak terlepas dari teknik dan prosedur penerjemahan yang diterapkan dalam menangani unit-unit mikro terjemahan. Prosedur kuplet yang memadukan teknik literal dan teknik amplifikasi dapat menghadirkan ketedasan terjemahan yang berterima.
每种语言都有自己的独特性,因为其中存在着文化概念。如何将细微差别的文化语篇,包括祈使句中的文化语篇翻译清楚,往往成为翻译中的一个障碍。本研究采用定性评价方法和嵌入式案例研究设计,旨在揭示具有文化细微差别意义的祈使句翻译的清晰度。对于具有特定语用意义的祈使句,我们有目的地选择了样本。祈使句翻译的清晰度取决于处理微翻译单元时所采用的翻译技巧和程序。将直译和放大相结合的对联程序可以实现翻译的清晰性。这是我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国。Dalam penerjemahan, menghadirkan kettedasan terjemahan tuturan yang berunansa budaya, termasuk Dalam ayat-ayat imperatif, seringkali menjadi kendala tersendiri。彭丽君,杨孟君,彭丽君,彭丽君,彭丽君,彭丽君,彭丽君,彭丽君,彭丽君,彭丽君,彭丽君,彭丽君。样本分析是一种实用主义理论,是一种实用主义理论,是一种实用主义理论。keteteasan terjemahan ayat-ayat -ayat imperatiak terlepas dari技术人员,检察官penerjemahan yang diterapkan dalam menangani单位mikro terjemahan。检察官kkuplet yang memadukan teknik字面意思是“翻译”,意思是“放大”。
{"title":"KETEDASAN TERJEMAHAN AYAT-AYAT IMPERATIF BERNUANSA BUDAYA","authors":"M. Z. A. Farisi","doi":"10.18860/EL.V19I2.3934","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V19I2.3934","url":null,"abstract":"Each language has its own uniqueness because of the existence of cultural concepts that exist in it. To bring clarity to the translation of the nuanced cultural speech, including those contained in the imperative verses, often becomes an obstacle in translation. The study, which used a qualitative-evaluative approach with the design of embedded case study research, aims to reveal the clarity of the translation of imperative verses that have cultural nuance meanings. Samples were selected purposively regarding imperative verses that have specific pragmatic meanings. The clarity of the translation of the imperative verses relies on the techniques and procedures of translation applied in dealing with micro-translation units. Couplet procedure that combines literal and amplification techniques may fulfill clarity aspect in translation. Setiap bahasa mempunyai keunikan tersendiri berkat keberadaan konsep-konsep budaya yang ada di dalamnya. Dalam penerjemahan, menghadirkan ketedasan terjemahan tuturan yang bernuansa budaya, termasuk dalam ayat-ayat imperatif, seringkali menjadi kendala tersendiri. Penelitian ini, yang menggunakan pendekatan kualitatif-evaluatif dengan desain studi kasus terpancang, bertujuan untuk mengungkap ketedasan terjemahan ayat-ayat imperatif yang bernuansa budaya. Sampel penelitian dipilih secara purposif berupa ayat-ayat imperatif yang memiliki makna pragmatik tertentu. Ketedasan terjemahan ayat-ayat imperatif tidak terlepas dari teknik dan prosedur penerjemahan yang diterapkan dalam menangani unit-unit mikro terjemahan. Prosedur kuplet yang memadukan teknik literal dan teknik amplifikasi dapat menghadirkan ketedasan terjemahan yang berterima.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"19 1","pages":"159-176"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-12-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46432483","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sharia economy is one of the economic system, in addition to the other two systems namely capitalist and socialist. Although the socialist system is no longer popular at the global level, but in reality the Sharia Economy system is still outdone by the secularistic capitalist system. In practice, the capitalist system contains many weaknesses so that the world community began to look for other systems as a solution, namely sharia economy. In Indonesia the development system is relatively slow, so it is necessary to optimize the role of ulama and the function of local wisdom. This is the literature research with data sources from various literature and relevant issues. The results of the study show that with its authority, contemporary ulama can perform the role as a giver of fatwas, enlighteners, thinkers and economic actors. Enlightenment can be done through religious or educational events, while business practices can be conducted in pesantren by developing businesses, all of which are part and function of local wisdom. Ekonomi syariah adalah merupakan salah satu sistem ekonomi, di samping kedua sistem yang lain yakni kapitalis dan sosialis. Sekalipun sistem sosialis akhir-akhir ini tidak lagi populer di tingkat global, namun dalam kenyataan sistem ekonomi syariah masih kalah cepat dengan sistem kapitalis yang sekularistik. Dalam praktiknya, sistem kapitalis mengandung banyak kelemahan sehingga masyarakat dunia mulai mencari sistem lain sebagai solusi, yakni ekonomi syariah. Di Indonesia sistem ini perkembangannya relatif lambat sehingga perlu mengoptimalkan peran ulama dan fungsi kearifan lokal. Wacana ini merupakan penelitian pustaka dengan sumber data dari berbagai literatur dan isu yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa dengan otoritasnya, ulama kontemporer dapat melakukan peran sebagai pemberi fatwa, pencerah, pemikir dan pelaku ekonomi. Pencerahan dapat dilakukan melalui acara keagamaan atau pendidikan, sedangkan praktik bisnis dapat dilakukan di pesantren dengan mengembangkan usaha, yang semuanya itu merupakan bagian dan fungsi dari kearifan lokal.
伊斯兰教法经济是除资本主义和社会主义两种经济制度外的另一种经济制度。虽然社会主义制度在全球范围内已不再流行,但在现实中,伊斯兰经济制度仍被世俗主义的资本主义制度所超越。在实践中,资本主义制度包含许多弱点,因此国际社会开始寻找其他制度作为解决方案,即伊斯兰教经济。在印尼,发展体系相对缓慢,因此有必要优化乌拉玛的作用和地方智慧的功能。这是文献研究,数据来源来自各种文献和相关问题。研究结果表明,凭借其权威,当代乌拉玛可以扮演教令者、启蒙者、思想家和经济行动者的角色。启蒙可以通过宗教或教育活动来实现,而商业实践可以通过发展企业来进行,这些都是当地智慧的一部分和功能。经济体系的经济学,是指经济体系的经济学,是指资本主义和社会主义。社会主义制度是社会主义制度,社会主义制度是社会主义制度,社会主义制度是社会主义制度,社会主义制度是社会主义制度。Dalam praktiknya,系统资本,mengandung banyak kelemahan seingga masyarakat dunia mulai menari系统,sebagai solusi, yakni经济伊斯兰教。印度尼西亚的系统是perkembangannya相对于lambat sehinga perlu mengoptimalkan peran ulama dan fungsi kearifan local。Wacana ini merupakan penelitian pustaka dengan数量数据,berbagai文献,danisu yang相关。我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是我的意思。penerahan dapat dilakukan melalui acara keagamaan atau pendidikan, sedangkan praktik bisis dapat dilakukan di pesantren denan mengembangkan usaha, yang semuanya itmerupakan bagian dan funsi dari kearifan local。
{"title":"Guarding sharia economy in Indonesia optimization of contemporary ulama authority and local wisdom","authors":"Muhammad Djakfar","doi":"10.18860/el.v19i2.4433","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/el.v19i2.4433","url":null,"abstract":"Sharia economy is one of the economic system, in addition to the other two systems namely capitalist and socialist. Although the socialist system is no longer popular at the global level, but in reality the Sharia Economy system is still outdone by the secularistic capitalist system. In practice, the capitalist system contains many weaknesses so that the world community began to look for other systems as a solution, namely sharia economy. In Indonesia the development system is relatively slow, so it is necessary to optimize the role of ulama and the function of local wisdom. This is the literature research with data sources from various literature and relevant issues. The results of the study show that with its authority, contemporary ulama can perform the role as a giver of fatwas, enlighteners, thinkers and economic actors. Enlightenment can be done through religious or educational events, while business practices can be conducted in pesantren by developing businesses, all of which are part and function of local wisdom. Ekonomi syariah adalah merupakan salah satu sistem ekonomi, di samping kedua sistem yang lain yakni kapitalis dan sosialis. Sekalipun sistem sosialis akhir-akhir ini tidak lagi populer di tingkat global, namun dalam kenyataan sistem ekonomi syariah masih kalah cepat dengan sistem kapitalis yang sekularistik. Dalam praktiknya, sistem kapitalis mengandung banyak kelemahan sehingga masyarakat dunia mulai mencari sistem lain sebagai solusi, yakni ekonomi syariah. Di Indonesia sistem ini perkembangannya relatif lambat sehingga perlu mengoptimalkan peran ulama dan fungsi kearifan lokal. Wacana ini merupakan penelitian pustaka dengan sumber data dari berbagai literatur dan isu yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa dengan otoritasnya, ulama kontemporer dapat melakukan peran sebagai pemberi fatwa, pencerah, pemikir dan pelaku ekonomi. Pencerahan dapat dilakukan melalui acara keagamaan atau pendidikan, sedangkan praktik bisnis dapat dilakukan di pesantren dengan mengembangkan usaha, yang semuanya itu merupakan bagian dan fungsi dari kearifan lokal.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"19 1","pages":"209-226"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-12-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42749949","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This research aimed to develop an innovation of empowerment strategy on ESQ Power – Based. It was designed through a phenomenology deductive, a case study and the methodof research and development or the procedure of member check. The three of them were used eclectically in order to design an ideal formulation. The research findings indicated that the actors and actresses of poverty overcoming in Kendari City have not had the emotional intelligence and spiritual intelligence yet as ESQ Power. As a result, they were not optimal in performing their duties, roles and responsibilities. Therefore, the urgency of empowerment paradigm on ESQ Power – Based that has been formulated and validated by the skillful validator must be used in the future to increase the sense of responsibility of the actor network in overcoming the pauperization and poverty. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah inovasi strategi pemberdayaan berbasis ESQ Power. Hal itu dirancang melalui deduksi fenomenologis, studi kasus serta metode penelitian dan pengembangan atau prosedur member check. Ketiganya digunakan secara eklektik untuk merancang formulasi ideal. Temuan penelitian menunjukkan bahwa aktor dan aktris penanggulangan kemiskinan di Kota Kendari belum memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual sebagai ESQ Power. Akibatnya, mereka tidak optimal dalam menjalankan tugas, peran dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, urgensi paradigma pemberdayaan berbasis ESQ Power yang telah dirumuskan dan divalidasi oleh validator ahli tersebut harus mulai digunakan ke depan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab jaringan aktor dalam mengatasi pemiskinan dan kemiskinan.
本研究旨在开发一种基于ESQ权力的授权策略创新。它是通过现象学演绎、案例研究和研究开发的方法或成员检查的程序来设计的。为了设计一个理想的配方,他们三人被折衷地使用。研究结果表明,肯达里市贫困男女演员的情绪智力和精神智力尚不具备ESQ能力。因此,他们在履行其职责、作用和责任方面并不是最理想的。因此,在ESQ权力基础上的授权范例的紧迫性,已经制定并验证了熟练的验证者必须在未来使用,以增加行动者网络的责任感,克服贫困化和贫困。Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah创新战略,pemberdayan和ESQ Power的基础。halititdiancang melalui deduksi现象学,研究kasus serta方法penelitian dpengembangan和atau检察官成员检查。凯迪亚尼迪库纳坎斯卡拉eklektik untuk merancang公式理想。Temuan penelitian menunjukkan bahwa aktor dan aktris penanggulangan kemiskinan di Kota Kendari belum memiliki kecerdasan emotional dan kecerdasan spiritual sebagai ESQ Power。Akibatnya, mereka tidak optimal dalam menjalankan tugas, peran dan tanggung jawabnya。奥列格·杜宾纳(林嘉欣itu urgensi paradigma规划berbasis收权力杨telah dirumuskan丹divalidasi Oleh pokalchuk验证器阿赫利于harus mulai digunakan ke depan为她meningkatkan拉莎tanggung jawab jaringan aktor dalam mengatasi pemiskinan丹kemiskinan。
{"title":"THE STRATEGY OF EMPOWERMENT BASED ON ESQ POWER: A SOCIAL INNOVATION IN THE POVERTY OVERCOMING","authors":"Peribadi Peribadi","doi":"10.18860/EL.V19I2.4208","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V19I2.4208","url":null,"abstract":"This research aimed to develop an innovation of empowerment strategy on ESQ Power – Based. It was designed through a phenomenology deductive, a case study and the methodof research and development or the procedure of member check. The three of them were used eclectically in order to design an ideal formulation. The research findings indicated that the actors and actresses of poverty overcoming in Kendari City have not had the emotional intelligence and spiritual intelligence yet as ESQ Power. As a result, they were not optimal in performing their duties, roles and responsibilities. Therefore, the urgency of empowerment paradigm on ESQ Power – Based that has been formulated and validated by the skillful validator must be used in the future to increase the sense of responsibility of the actor network in overcoming the pauperization and poverty. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah inovasi strategi pemberdayaan berbasis ESQ Power. Hal itu dirancang melalui deduksi fenomenologis, studi kasus serta metode penelitian dan pengembangan atau prosedur member check. Ketiganya digunakan secara eklektik untuk merancang formulasi ideal. Temuan penelitian menunjukkan bahwa aktor dan aktris penanggulangan kemiskinan di Kota Kendari belum memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual sebagai ESQ Power. Akibatnya, mereka tidak optimal dalam menjalankan tugas, peran dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, urgensi paradigma pemberdayaan berbasis ESQ Power yang telah dirumuskan dan divalidasi oleh validator ahli tersebut harus mulai digunakan ke depan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab jaringan aktor dalam mengatasi pemiskinan dan kemiskinan.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"19 1","pages":"227-242"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-12-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45275525","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The study is conducted because of the appearance of many new beliefs in Islam, which has had considerable influence for Indonesian Muslims, regardless the fact that the beliefs have mostly been classified as a cult. The purposes of this study are to investigate the new phenomenon in the religious act, involving the change of understanding from ideals-rationality view to pragmatic-materialistic view, and to focus on the phenomenon of the emergence of new faiths in Islamic society in Indonesia. This study is aimed to answer the following questions: (1) What motives lie behind the change of religious understanding from ideals-rationality view to pragmatic-materialistic view in today's Muslim group?; (2) How does the changing process of religious understanding occur in the Muslim group?; (3) Why do religious people today tend to be pragmatic-materialistic oriented and leave the religious teachings that have been previously understood? Qualitative approach is used to examine the research questions. The research result shows that there are three kinds of typology of Muslim groups which experience a shift in religious understanding from ideality-rationality belief to pragmatic-materialistic belief. This happens because there is a gap between the quality of faith and the desire to become instantly rich. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan memahami gejala new act dalam beragama yaitu fenomena pergeseran pemahaman spiritual dari idealitas-rasionalitas ke pragmatis-materialistis dalam beragama. Penelitian ini difokuskan pada fenomena munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran baru dalam masyarakat Islam di Indonesia. Secara rinci penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyan berikut ini. Apa yang melatarbelakangi adanya perubahan pemahaman agama dari idealitas-rasionalitas ke pragmatismaterialistis dalam beragama masyarakat sekarang ini? Bagaimana proses perubahan keberagamaan itu terjadi pada masyarakat Islam? Mengapa umat beragama sekarang ini cenderung kepada pemahaman agama secara pragmatismaterialistis sehingga kehilangan orientasi dan meninggalkan ajaran-ajaran agama yang telah dipahami sebelumnya? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan analisis data terdapat tiga macam tipologi kelompok muslim yang mengalami pergeseran pemahaman agama dari idealitas-rasionalitas ke pragmatis-materialistis. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan antara kualitas keimanan dengan keinginan untuk menjadi kaya secara instan.
{"title":"THE CHANGE OF RELIGIOUS UNDERSTANDING FROM IDEAL-RATIONALITY TO PRAGMATIC-MATERIALISTIC","authors":"Ishomuddin Ishomuddin","doi":"10.18860/EL.V19I2.4186","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V19I2.4186","url":null,"abstract":"The study is conducted because of the appearance of many new beliefs in Islam, which has had considerable influence for Indonesian Muslims, regardless the fact that the beliefs have mostly been classified as a cult. The purposes of this study are to investigate the new phenomenon in the religious act, involving the change of understanding from ideals-rationality view to pragmatic-materialistic view, and to focus on the phenomenon of the emergence of new faiths in Islamic society in Indonesia. This study is aimed to answer the following questions: (1) What motives lie behind the change of religious understanding from ideals-rationality view to pragmatic-materialistic view in today's Muslim group?; (2) How does the changing process of religious understanding occur in the Muslim group?; (3) Why do religious people today tend to be pragmatic-materialistic oriented and leave the religious teachings that have been previously understood? Qualitative approach is used to examine the research questions. The research result shows that there are three kinds of typology of Muslim groups which experience a shift in religious understanding from ideality-rationality belief to pragmatic-materialistic belief. This happens because there is a gap between the quality of faith and the desire to become instantly rich. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan memahami gejala new act dalam beragama yaitu fenomena pergeseran pemahaman spiritual dari idealitas-rasionalitas ke pragmatis-materialistis dalam beragama. Penelitian ini difokuskan pada fenomena munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran baru dalam masyarakat Islam di Indonesia. Secara rinci penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyan berikut ini. Apa yang melatarbelakangi adanya perubahan pemahaman agama dari idealitas-rasionalitas ke pragmatismaterialistis dalam beragama masyarakat sekarang ini? Bagaimana proses perubahan keberagamaan itu terjadi pada masyarakat Islam? Mengapa umat beragama sekarang ini cenderung kepada pemahaman agama secara pragmatismaterialistis sehingga kehilangan orientasi dan meninggalkan ajaran-ajaran agama yang telah dipahami sebelumnya? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan analisis data terdapat tiga macam tipologi kelompok muslim yang mengalami pergeseran pemahaman agama dari idealitas-rasionalitas ke pragmatis-materialistis. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan antara kualitas keimanan dengan keinginan untuk menjadi kaya secara instan.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"19 1","pages":"243-258"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-12-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42424412","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
اللغة العربية هي لغة متصفة بالثقافة الإسلامية التي تتحقق في الطقوس الثقافية بالقيام بالتعبد لله تعالى في الطاعات للأوامر والاجتناب عن النواهي. اللغة العربية تحصل على الضمان في الطقوس الثقافية بجزاء الأجر من استخدامها لقراءة القرآن الكريم. في كثير من الأحوال، كانت المراسيم الثقافية تستخدم اللغة العربية كثيرا بفضلها كما قام بها الأولياء في عملية الدعوة لدى المجتمع. يطور الأولياء التسعة الدعوة على حسب أحوال المجتمع في تحقيق المراسيم الدينية واستخدامهم اللغة العربية فيها. هوية المسلم متصفة بالأنشطة الدينية واللباس الظاهرة المنظورة بأحساسهم. استخدام لسان صدق سيكون متطلبا في الشخصية وتعميق مضمون القرآن الكريم والأحاديث النبوية. دور الأولياء التسعة في توسيع الدين الإسلامي بإندونيسيا لا ينطلق من تبسيط الطقوس المبنية على حفظ الجودة العبودية التي كانت المضامين الإسلامية وتياراتها تتبلغ كاملا. طقوس التهليل هي إحدى المراسيم الدينية التي تفيد دعاء الميت المصمم المناسبة بالثقافة المحلية مثل أربعين يوما، 100 يوم إلخ حيث كان المسلمون الإندونيسيون يعملون بها. التأثير في عملها مؤسس برسالة موصلة بالأدلة المستخدمة نظريا وتطبيقيا. Arabic language is a language that reflects the culture of Islam embodied in cultural rituals by servicing Allah in obedience to his orders and away from his prohibitions. Arabic language gets assurances in cultural rituals with rewards on its use for reciting the Qur’an. In many ways, religious ceremonies also often use arabic language with their virtues as well as the guardians in carrying out their dakwah to the people. Wali Songo develops dakwah based on the state of society in realizing the cultural ceremony and the using of Arabic language in it. The identity of a Muslim can be seen in religious activities and his clothes may appear visible to their senses. The use of good expressions to be guided in behaving and deepening the content of the Qur’an and al-Hadith. The role of Wali Songo in the Islamic religion in Indonesia can not be separated from the simplification of rituals built in maintaining the quality of worship which of course the nuances of Islam and its teachings must be delivered perfectly. The ritual of tahlil is one of the religious ceremonies that serves the praying of the dead who are packaged to adapt local culture such as 40 days, 100 days and so on which at present some Indonesian Muslim community do. The impetus to carry it out is based on a message conveyed by theoretical and applicable theorems.
{"title":"AL-LUGHAH AL-‘ARABIYYAH WA AT-THUQUS ATS-TSAQAFIYYAH LADA AL-MUSLIMIN FI TAHQIQ AL-MARASIM AD-DINIYYAH اللغة العربية والطقوس الثقافية لدى المسلمين في تحقيق المراسم الدينية","authors":"Danial Hilmi","doi":"10.18860/EL.V19I2.4276","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V19I2.4276","url":null,"abstract":"اللغة العربية هي لغة متصفة بالثقافة الإسلامية التي تتحقق في الطقوس الثقافية بالقيام بالتعبد لله تعالى في الطاعات للأوامر والاجتناب عن النواهي. اللغة العربية تحصل على الضمان في الطقوس الثقافية بجزاء الأجر من استخدامها لقراءة القرآن الكريم. في كثير من الأحوال، كانت المراسيم الثقافية تستخدم اللغة العربية كثيرا بفضلها كما قام بها الأولياء في عملية الدعوة لدى المجتمع. يطور الأولياء التسعة الدعوة على حسب أحوال المجتمع في تحقيق المراسيم الدينية واستخدامهم اللغة العربية فيها. هوية المسلم متصفة بالأنشطة الدينية واللباس الظاهرة المنظورة بأحساسهم. استخدام لسان صدق سيكون متطلبا في الشخصية وتعميق مضمون القرآن الكريم والأحاديث النبوية. دور الأولياء التسعة في توسيع الدين الإسلامي بإندونيسيا لا ينطلق من تبسيط الطقوس المبنية على حفظ الجودة العبودية التي كانت المضامين الإسلامية وتياراتها تتبلغ كاملا. طقوس التهليل هي إحدى المراسيم الدينية التي تفيد دعاء الميت المصمم المناسبة بالثقافة المحلية مثل أربعين يوما، 100 يوم إلخ حيث كان المسلمون الإندونيسيون يعملون بها. التأثير في عملها مؤسس برسالة موصلة بالأدلة المستخدمة نظريا وتطبيقيا. Arabic language is a language that reflects the culture of Islam embodied in cultural rituals by servicing Allah in obedience to his orders and away from his prohibitions. Arabic language gets assurances in cultural rituals with rewards on its use for reciting the Qur’an. In many ways, religious ceremonies also often use arabic language with their virtues as well as the guardians in carrying out their dakwah to the people. Wali Songo develops dakwah based on the state of society in realizing the cultural ceremony and the using of Arabic language in it. The identity of a Muslim can be seen in religious activities and his clothes may appear visible to their senses. The use of good expressions to be guided in behaving and deepening the content of the Qur’an and al-Hadith. The role of Wali Songo in the Islamic religion in Indonesia can not be separated from the simplification of rituals built in maintaining the quality of worship which of course the nuances of Islam and its teachings must be delivered perfectly. The ritual of tahlil is one of the religious ceremonies that serves the praying of the dead who are packaged to adapt local culture such as 40 days, 100 days and so on which at present some Indonesian Muslim community do. The impetus to carry it out is based on a message conveyed by theoretical and applicable theorems.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"19 1","pages":"281-302"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-12-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46959681","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
In Java, the existence of penghayat—believing in the One Almighty God—has grown significantly during the early reign of President Joko Widodo. This is supported by the Regulation of Ministry of Education and Culture Number 27 in 2016 about education services related to the belief in the One Almighty God at schools. Paguyupan Hati Suci Kasampurnan is one of penghayat groups in Cilacap which implements the teaching of budi pekerti (good behaviors) towards its adherents. This is a qualitative research examining the hidden meaning contained in the guidance book of Paguyupan Hati Suci Kasampurnan through semiotic analysis. This study results in two findings. First, the main source used at this paguyuban is Kitab Adam Makna. Second, the main teaching of this paguyuban is the teaching of good behaviors towards the adherents in order to reach the level of perfect life which is known as manunggaling kawula gusti. Di Jawa, keberadaan penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini dikuatkan dengan terbitnya regulasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan. Paguyuban Suci Hati Kasampurnan merupakan salah satu kelompok penghayat di Cilacap yang ikut berperan aktif dalam mengimplementasikan ajaran budi pekerti kepada pemeluknya. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini berupaya mengkaji makna yang tersirat dalam kitab ajaran Paguyupan Hati Suci Kasampurnan melalui analisis semiotika. Hasil penelitian berupa dua temuan. Pertama, sumber ajaran Paguyuban SHK adalah Kitab Adam Makna (berupa simbol-simbol yang terdapat di jagat raya). Kedua, bahwa intisari dari ajaran paguyuban ini adalah mengajarkan budi pekerti luhur sebagai dasar untuk memperoleh kesempurnaan dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti).
{"title":"KEJAWEN SPIRITUALISM: THE ACTUALIZATION OF MORAL VALUES AT PAGUYUBAN SUCI HATI KASAMPURNAN IN CILACAP","authors":"Mustolehudin Mustolehudin, Siti Muawanah","doi":"10.18860/EL.V19I2.4029","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V19I2.4029","url":null,"abstract":"In Java, the existence of penghayat—believing in the One Almighty God—has grown significantly during the early reign of President Joko Widodo. This is supported by the Regulation of Ministry of Education and Culture Number 27 in 2016 about education services related to the belief in the One Almighty God at schools. Paguyupan Hati Suci Kasampurnan is one of penghayat groups in Cilacap which implements the teaching of budi pekerti (good behaviors) towards its adherents. This is a qualitative research examining the hidden meaning contained in the guidance book of Paguyupan Hati Suci Kasampurnan through semiotic analysis. This study results in two findings. First, the main source used at this paguyuban is Kitab Adam Makna. Second, the main teaching of this paguyuban is the teaching of good behaviors towards the adherents in order to reach the level of perfect life which is known as manunggaling kawula gusti. Di Jawa, keberadaan penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini dikuatkan dengan terbitnya regulasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan. Paguyuban Suci Hati Kasampurnan merupakan salah satu kelompok penghayat di Cilacap yang ikut berperan aktif dalam mengimplementasikan ajaran budi pekerti kepada pemeluknya. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini berupaya mengkaji makna yang tersirat dalam kitab ajaran Paguyupan Hati Suci Kasampurnan melalui analisis semiotika. Hasil penelitian berupa dua temuan. Pertama, sumber ajaran Paguyuban SHK adalah Kitab Adam Makna (berupa simbol-simbol yang terdapat di jagat raya). Kedua, bahwa intisari dari ajaran paguyuban ini adalah mengajarkan budi pekerti luhur sebagai dasar untuk memperoleh kesempurnaan dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti).","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"19 1","pages":"177-194"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-12-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42543300","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
In articulating the visual elements of Keris we will find the concept of symbols, each of which corresponds to the typology of signs. The relationships among the trichotomy signs associated with the codes represent the horizon of the Javanese society regarding the Keris culture. All the Keris signs establish the abstracts relationship model that never has any function before being associated with the code. Principally, people who become the message recipient can perform decoding act by associating the signs with certain conventions. The expression articulation through the Keris elements is a symbol in the typology of signs. The Javanese society’s response or appreciation concerning the invented conventions needs to be investigated to conversely understand the system of signs production. The word kris, as an example, is semiotically classified into other words; keris, dhuhung, dhuwung, curiga, wangkingan, duwung, curiga, and katga, all of which refers to the same sign, which is the tipped stabbing weapons and covered in scabbard. This study found the cultural event of the ideological masking which represents certain period i.e. the deconstructive meanings on the luk of keris (kemba and rengkol) illustrated the ideological transformation from Hinduism to Islamic era. Dalam mengartikulasikan unsur visual Keris kita dihadapkan dengan konsep simbol, di mana setiap simbol sesuai dengan tipologi tanda-tanda. Hubungan antara trikotomi tanda-tanda yang terkait dengan kode mewakili cakrawala masyarakat Jawa tentang budaya Keris. Semua tanda-tanda Keris membangun hubungan abstrak model yang tidak akan pernah memiliki fungsi apapun sebelum dikaitkan dengan kode. Pada prinsipnya orang yang menjadi sasaran penyampaian pesan bisa melakukan decoding dengan cara mengaitkan tanda-tanda pada keris dengan konvensi-konvensi tertentu. Artikulasi ekspresi melalui unsur-unsur dalam Keris memanfaatkan simbol-simbol dalam tipologi tanda. Respons maupun apresiasi orang Jawa terkait dengan konvensi-konvensi yang telah diciptakan para leluhur perlu diketahui untuk melihat secara terbalik dalam sistem produksi tanda. Pemaknaan kata kris misalnya, secara Semiotis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kata referensial di antaranya keris, dhuhung, dhuwung, curiga, wangkingan, duwung, curiga, dan katga semua menunjukkan petanda yang sama yaitu senjata tikam yang berhulu dan berwarangka. Penelitian ini menemukan terjadinya peristiwa budaya berupa penopengan (masking) ideologi yang mewakili zaman tertentu, misalnya dekonstruksi pemaknaan bentuk luk keris (kemba dan rengkol) menggambarkan transformasi ideologi zaman Hindhu menuju zaman Islam.
{"title":"SHAPES OF JAVANESE KERIS AS A SYMBOLIC SIGN: TRANSFORMATION TOWARD THE ISLAMIC PERIOD","authors":"Widodo Ariwibowo, A. Purwasito, T. Pitaña","doi":"10.18860/EL.V19I2.4057","DOIUrl":"https://doi.org/10.18860/EL.V19I2.4057","url":null,"abstract":"In articulating the visual elements of Keris we will find the concept of symbols, each of which corresponds to the typology of signs. The relationships among the trichotomy signs associated with the codes represent the horizon of the Javanese society regarding the Keris culture. All the Keris signs establish the abstracts relationship model that never has any function before being associated with the code. Principally, people who become the message recipient can perform decoding act by associating the signs with certain conventions. The expression articulation through the Keris elements is a symbol in the typology of signs. The Javanese society’s response or appreciation concerning the invented conventions needs to be investigated to conversely understand the system of signs production. The word kris, as an example, is semiotically classified into other words; keris, dhuhung, dhuwung, curiga, wangkingan, duwung, curiga, and katga, all of which refers to the same sign, which is the tipped stabbing weapons and covered in scabbard. This study found the cultural event of the ideological masking which represents certain period i.e. the deconstructive meanings on the luk of keris (kemba and rengkol) illustrated the ideological transformation from Hinduism to Islamic era. Dalam mengartikulasikan unsur visual Keris kita dihadapkan dengan konsep simbol, di mana setiap simbol sesuai dengan tipologi tanda-tanda. Hubungan antara trikotomi tanda-tanda yang terkait dengan kode mewakili cakrawala masyarakat Jawa tentang budaya Keris. Semua tanda-tanda Keris membangun hubungan abstrak model yang tidak akan pernah memiliki fungsi apapun sebelum dikaitkan dengan kode. Pada prinsipnya orang yang menjadi sasaran penyampaian pesan bisa melakukan decoding dengan cara mengaitkan tanda-tanda pada keris dengan konvensi-konvensi tertentu. Artikulasi ekspresi melalui unsur-unsur dalam Keris memanfaatkan simbol-simbol dalam tipologi tanda. Respons maupun apresiasi orang Jawa terkait dengan konvensi-konvensi yang telah diciptakan para leluhur perlu diketahui untuk melihat secara terbalik dalam sistem produksi tanda. Pemaknaan kata kris misalnya, secara Semiotis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kata referensial di antaranya keris, dhuhung, dhuwung, curiga, wangkingan, duwung, curiga, dan katga semua menunjukkan petanda yang sama yaitu senjata tikam yang berhulu dan berwarangka. Penelitian ini menemukan terjadinya peristiwa budaya berupa penopengan (masking) ideologi yang mewakili zaman tertentu, misalnya dekonstruksi pemaknaan bentuk luk keris (kemba dan rengkol) menggambarkan transformasi ideologi zaman Hindhu menuju zaman Islam.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"19 1","pages":"195-208"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-12-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48755847","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}