Pub Date : 2023-12-18DOI: 10.22146/buletinpsikologi.82949
Tri Astuti, Avin Fadilla Helmi, B. Riyono
Two business models differ significantly between an established company and a startup in the industrial world. There are notable distinctions between the two business models in several areas that, upon closer examination, can offer entrepreneurs, practitioners, researchers, and the government guidance in devising the most appropriate business model approach. The subsequent goal of this research is to conduct a more thorough analysis of the organizational behavior variations between startups and larger businesses. Because numerous research sources have been completed but have yet to be more thoroughly consolidated, this study uses a literature review approach to address the research issues posed. This approach is also capable of identifying variations from the given context. According to the study, established businesses and startups differ in three ways. The study's findings, to be more precise, revealed variations in the two business models' definitions and life cycles. Second, the social relations system and structure derived from these two company models differ. Finally, these two categories of businesses must deal with varying degrees of uncertainty in the workplace. This research suggests that by examining the distinctions between large and small companies which are just starting, business actors can benefit from this research and use it as a guide to improve organizational performance.
{"title":"Differences in Organizational Behavior amongst Startup and Established Company: A Literature Review","authors":"Tri Astuti, Avin Fadilla Helmi, B. Riyono","doi":"10.22146/buletinpsikologi.82949","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.82949","url":null,"abstract":"Two business models differ significantly between an established company and a startup in the industrial world. There are notable distinctions between the two business models in several areas that, upon closer examination, can offer entrepreneurs, practitioners, researchers, and the government guidance in devising the most appropriate business model approach. The subsequent goal of this research is to conduct a more thorough analysis of the organizational behavior variations between startups and larger businesses. Because numerous research sources have been completed but have yet to be more thoroughly consolidated, this study uses a literature review approach to address the research issues posed. This approach is also capable of identifying variations from the given context. According to the study, established businesses and startups differ in three ways. The study's findings, to be more precise, revealed variations in the two business models' definitions and life cycles. Second, the social relations system and structure derived from these two company models differ. Finally, these two categories of businesses must deal with varying degrees of uncertainty in the workplace. This research suggests that by examining the distinctions between large and small companies which are just starting, business actors can benefit from this research and use it as a guide to improve organizational performance.","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":"94 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139173752","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-18DOI: 10.22146/buletinpsikologi.87294
Zulfikri Khakim
Aktivitas Elektrodermal (EDA), atau yang kerap pula disebut sebagai Galvanic Skin Response (GSR) merujuk pada pengukuran aktivitas elektris pada permukaan kulit. Sensor EDA mengukur properti kelistrikan pada kulit sebagai indikator banyaknya keringat pada kulit. Kadar keringat tersebut dapat mencerminkan aktivitas saraf simpatetik yang muncul dalam berbagai kondisi seperti stres, gugahan emosi, hingga beban kognitif. Karena sifatnya yang portabel, noninvasif, dan memberikan pengukuran yang objektif, EDA telah banyak digunakan dalam penelitian psikologi untuk menyelidiki proses-proses mental terkait dalam berbagai konteks. Artikel ini memberikan pengenalan mengenai pengukuran EDA yang terdiri atas dasar asumsi pengukuran, teknis pengukuran, kuantifikasi dan analisis data hingga contoh parameter konstruk psikologis yang dapat diteliti dengan metode EDA.
{"title":"Pengukuran Aktivitas Elektrodermal untuk Penelitian Psikologi","authors":"Zulfikri Khakim","doi":"10.22146/buletinpsikologi.87294","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.87294","url":null,"abstract":"Aktivitas Elektrodermal (EDA), atau yang kerap pula disebut sebagai Galvanic Skin Response (GSR) merujuk pada pengukuran aktivitas elektris pada permukaan kulit. Sensor EDA mengukur properti kelistrikan pada kulit sebagai indikator banyaknya keringat pada kulit. Kadar keringat tersebut dapat mencerminkan aktivitas saraf simpatetik yang muncul dalam berbagai kondisi seperti stres, gugahan emosi, hingga beban kognitif. Karena sifatnya yang portabel, noninvasif, dan memberikan pengukuran yang objektif, EDA telah banyak digunakan dalam penelitian psikologi untuk menyelidiki proses-proses mental terkait dalam berbagai konteks. Artikel ini memberikan pengenalan mengenai pengukuran EDA yang terdiri atas dasar asumsi pengukuran, teknis pengukuran, kuantifikasi dan analisis data hingga contoh parameter konstruk psikologis yang dapat diteliti dengan metode EDA.","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":"77 s340","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"138965312","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-18DOI: 10.22146/buletinpsikologi.80371
Made Selphia Prahasasgita, Made Diah Lestari
Stimulasi fungsi kognitif merupakan kegiatan yang berupa pemberian rangsangan atau stimulus kepada lanjut usia (lansia) untuk meningkatkan dan mengoptimalkan fungsi kognitifnya. Banyak masyarakat yang menganggap penurunan fungsi kognitif pada lansia merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Anggapan tersebut timbul akibat kurangnya pengetahuan dan perhatian dari pendamping dan orang di sekitar lansia. Stimulasi kognitif kepada lansia dapat dilakukan melalui aktivitas fisik dan non-fisik. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan kader di Posyandu Lansia mengenai ragam stimulus kognitif yang dapat diberikan kepada lansia untuk meningkatkan fungsi kognitifnya. Kajian literatur ini membahas empat stimulus yang dapat diberikan kepada lansia, yaitu Aktivitas fisik, Reminiscence Therapy, Memory Training, dan Puzzle Therapy, termasuk kelebihan serta kelemahan dalam segi durasi pelaksanaan, properti, teknis pelaksanaan, maupun faktor lainnya. Kajian literatur ini diharapkan bisa menjadi panduan bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian terkait efektivitas stimulus untuk meningkatkan fungsi kognitif lansia.
{"title":"Stimulasi Fungsi Kognitif Pada Lanjut Usia Di Indonesia: Tinjauan Literatur","authors":"Made Selphia Prahasasgita, Made Diah Lestari","doi":"10.22146/buletinpsikologi.80371","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.80371","url":null,"abstract":"Stimulasi fungsi kognitif merupakan kegiatan yang berupa pemberian rangsangan atau stimulus kepada lanjut usia (lansia) untuk meningkatkan dan mengoptimalkan fungsi kognitifnya. Banyak masyarakat yang menganggap penurunan fungsi kognitif pada lansia merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Anggapan tersebut timbul akibat kurangnya pengetahuan dan perhatian dari pendamping dan orang di sekitar lansia. Stimulasi kognitif kepada lansia dapat dilakukan melalui aktivitas fisik dan non-fisik. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan kader di Posyandu Lansia mengenai ragam stimulus kognitif yang dapat diberikan kepada lansia untuk meningkatkan fungsi kognitifnya. Kajian literatur ini membahas empat stimulus yang dapat diberikan kepada lansia, yaitu Aktivitas fisik, Reminiscence Therapy, Memory Training, dan Puzzle Therapy, termasuk kelebihan serta kelemahan dalam segi durasi pelaksanaan, properti, teknis pelaksanaan, maupun faktor lainnya. Kajian literatur ini diharapkan bisa menjadi panduan bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian terkait efektivitas stimulus untuk meningkatkan fungsi kognitif lansia.","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":"46 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139174424","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-18DOI: 10.22146/buletinpsikologi.83814
Monica Eviandaru Madyaningrum
Paper ini membahas sebuah kerangka konseptual bernama paradigma transformatif dan relevansinya bagi riset-riset tentang disabilitas. Paradigma transformatif merupakan sebuah kerangka kerja penelitian yang menekankan prinsip keadilan sosial dan konsep tanggung jawab sosial ilmu pengetahuan. Artikel ini berargumen bahwa paradigma transformatif dapat menjawab apa yang selama ini menjadi persoalan atau kesenjangan (research gap) dalam riset-riset tentang disabilitas di Indonesia. Persoalan atau kesenjangan tersebut adalah masih dominannya penggunaan perspektif patologis dalam riset-riset disabilitas di Indonesia, termasuk studi-studi yang dilakukan di ranah psikologi. Artikel ini disusun berdasar tinjauan literatur atas referensi-referensi utama tentang paradigma transformatif yang ditulis oleh Donna M. Mertens. Berpijak pada tinjauan literatur tersebut, artikel ini berargumen bahwa paradigma transformatif dapat mencegah terjadinya patologisasi dalam riset-riset disabilitas karena paradigma ini menawarkan orientasi axiologis, ontologis, epistemologis dan metodologis yang lebih adil dan kritis dalam melihat persoalan disabilitas.
本文讨论了一个名为 "变革范式 "的概念框架及其与残疾研究的相关性。变革范式是一个强调社会正义原则和科学的社会责任概念的研究框架。本文认为,变革范式可以弥补印尼残疾研究中的不足。问题或差距在于,在印尼的残疾研究中,包括在心理学领域开展的研究中,病理学观点占据主导地位。本文基于唐娜-默滕斯(Donna M. Mertens)撰写的有关变革范式的主要参考文献的文献综述。在此文献综述的基础上,本文认为变革范式可以防止残疾研究中的病理学化,因为它为研究残疾问题提供了一个更加公正和批判性的公理、本体论、认识论和方法论方向。
{"title":"Paradigma Transformatif dan Relevansinya bagi Riset-Riset Psikologi tentang Disabilitas","authors":"Monica Eviandaru Madyaningrum","doi":"10.22146/buletinpsikologi.83814","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.83814","url":null,"abstract":"Paper ini membahas sebuah kerangka konseptual bernama paradigma transformatif dan relevansinya bagi riset-riset tentang disabilitas. Paradigma transformatif merupakan sebuah kerangka kerja penelitian yang menekankan prinsip keadilan sosial dan konsep tanggung jawab sosial ilmu pengetahuan. Artikel ini berargumen bahwa paradigma transformatif dapat menjawab apa yang selama ini menjadi persoalan atau kesenjangan (research gap) dalam riset-riset tentang disabilitas di Indonesia. Persoalan atau kesenjangan tersebut adalah masih dominannya penggunaan perspektif patologis dalam riset-riset disabilitas di Indonesia, termasuk studi-studi yang dilakukan di ranah psikologi. Artikel ini disusun berdasar tinjauan literatur atas referensi-referensi utama tentang paradigma transformatif yang ditulis oleh Donna M. Mertens. Berpijak pada tinjauan literatur tersebut, artikel ini berargumen bahwa paradigma transformatif dapat mencegah terjadinya patologisasi dalam riset-riset disabilitas karena paradigma ini menawarkan orientasi axiologis, ontologis, epistemologis dan metodologis yang lebih adil dan kritis dalam melihat persoalan disabilitas.","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":"20 8","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139175241","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-18DOI: 10.22146/buletinpsikologi.87386
F. Harahap
Jika remaja memilih berpacaran apa yang sebaiknya dilakukan orang tua supaya perilaku berpacaran remaja tetap sehat dan aman? Teori perkembangan tahap hubungan romantis remaja dari Connolly et al. melihat perilaku pacaran remaja dari perspektif perkembangan yang positif dan pentingnya peran orang tua untuk membimbing remaja yang berpacaran. Apakah teori ini bisa diimplementasikan bagi orang tua di Indonesia? Sejauh ini, masih sedikit pembahasan mengenai bagaimana pendampingan orang tua Indonesia terhadap remaja yang berpacaran ditinjau dari teori perkembangan hubungan romantis. Artikel ini mengkaji teori perkembangan tahap hubungan romantis remaja dari Connolly et al. berdasarkan isi teori, pandangan di Indonesia mengenai pacaran dan bagaimana implementasi teori perkembangan tahap hubungan romantis remaja ini sebagai acuan bagi orang tua di Indonesia untuk mendampingi remaja yang berpacaran.
{"title":"Teori Perkembangan Tahap Hubungan Romantis Sebagai Acuan Orang Tua Mendampingi Remaja Berpacaran","authors":"F. Harahap","doi":"10.22146/buletinpsikologi.87386","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.87386","url":null,"abstract":"Jika remaja memilih berpacaran apa yang sebaiknya dilakukan orang tua supaya perilaku berpacaran remaja tetap sehat dan aman? Teori perkembangan tahap hubungan romantis remaja dari Connolly et al. melihat perilaku pacaran remaja dari perspektif perkembangan yang positif dan pentingnya peran orang tua untuk membimbing remaja yang berpacaran. Apakah teori ini bisa diimplementasikan bagi orang tua di Indonesia? Sejauh ini, masih sedikit pembahasan mengenai bagaimana pendampingan orang tua Indonesia terhadap remaja yang berpacaran ditinjau dari teori perkembangan hubungan romantis. Artikel ini mengkaji teori perkembangan tahap hubungan romantis remaja dari Connolly et al. berdasarkan isi teori, pandangan di Indonesia mengenai pacaran dan bagaimana implementasi teori perkembangan tahap hubungan romantis remaja ini sebagai acuan bagi orang tua di Indonesia untuk mendampingi remaja yang berpacaran.","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":"54 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139172744","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-18DOI: 10.22146/buletinpsikologi.77298
Yulius Yusak Ranimpi, Merv Hyde, Florin Oprescu
Even though culture has been recognized and discussed by many scholars over decades in mainstream psychology, this aspect was treated only in terms of superficial manifestations and as a picture that represents different stages of social evolution or development. Indigenous psychology is an effort to rehash and refresh the importance of cultural aspects and their diversities in psychology and emplaces it as a vital way to understanding people from their perspective, in the real world. This approach believed that human being can construct their world. Knowledge and reality are psychological and social phenomena that are constructed by a human being. In terms of knowledge, indigenous psychology wants to claim that the truth is contextual-owned, experienced, believed, and lived by a human being. Especially in mental health and poverty issues and its interconnection in Indonesia must be treated as a psychological and social phenomenon that is socially constructed by people in their setting
{"title":"An indigenous psychology perspective for appropriate mental health services and research in Indonesia","authors":"Yulius Yusak Ranimpi, Merv Hyde, Florin Oprescu","doi":"10.22146/buletinpsikologi.77298","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.77298","url":null,"abstract":"Even though culture has been recognized and discussed by many scholars over decades in mainstream psychology, this aspect was treated only in terms of superficial manifestations and as a picture that represents different stages of social evolution or development. Indigenous psychology is an effort to rehash and refresh the importance of cultural aspects and their diversities in psychology and emplaces it as a vital way to understanding people from their perspective, in the real world. This approach believed that human being can construct their world. Knowledge and reality are psychological and social phenomena that are constructed by a human being. In terms of knowledge, indigenous psychology wants to claim that the truth is contextual-owned, experienced, believed, and lived by a human being. Especially in mental health and poverty issues and its interconnection in Indonesia must be treated as a psychological and social phenomenon that is socially constructed by people in their setting","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":"51 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139176319","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-12-18DOI: 10.22146/buletinpsikologi.89160
Ishaqul Hasan, Djudiyah Djudiyah
Meaningful work merupakan keadaan psikologis yang terkait dengan makna dan tujuan pekerjaan yang positif, sehingga individu merasa pekerjaannya penting dan memberikan manfaat yang besar. Pekerjaan yang bermakna menjadi pembahasan penting dalam dunia industri dan organisasi, sebab dampaknya yang sangat besar terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perlu diketahui apa saja sebab-musabab (anteseden) suatu pekerjaan menjadi bermakna. Scoping review ini bertujuan menganalisis 31 jurnal internasional dan menyajikan literatur mengenai anteseden dari pekerjaan yang bermakna. Setelah proses review dilakukan, ditemukan 29 anteseden yang berhubungan dan mempengaruhi pekerjaan yang bermakna. Beberapa anteseden diantaranya: job crafting, corporate social responsibility (CSR), person job fit, ethical leadership, authentic leadership, transformational leadership, servant leadership, visionary leadership, workplace aggression, work overload, ethical climate, external work locus of control (WLOC), sense of calling, rewards, self-improvement, untapped potential, optimism, environmental value, organizational support, self-concept clarity, altruistic behavior, emotional intelligence training, leaders work meaningfulness, work role fit, job enrichment, CEO intellectual simulation, humor intervention, career mentoring, moral & social.
{"title":"Pekerjaanmu Bermakna, Apa sebabnya? (Antecedents of Meaningful Work): Scoping Review","authors":"Ishaqul Hasan, Djudiyah Djudiyah","doi":"10.22146/buletinpsikologi.89160","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.89160","url":null,"abstract":"Meaningful work merupakan keadaan psikologis yang terkait dengan makna dan tujuan pekerjaan yang positif, sehingga individu merasa pekerjaannya penting dan memberikan manfaat yang besar. Pekerjaan yang bermakna menjadi pembahasan penting dalam dunia industri dan organisasi, sebab dampaknya yang sangat besar terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perlu diketahui apa saja sebab-musabab (anteseden) suatu pekerjaan menjadi bermakna. Scoping review ini bertujuan menganalisis 31 jurnal internasional dan menyajikan literatur mengenai anteseden dari pekerjaan yang bermakna. Setelah proses review dilakukan, ditemukan 29 anteseden yang berhubungan dan mempengaruhi pekerjaan yang bermakna. Beberapa anteseden diantaranya: job crafting, corporate social responsibility (CSR), person job fit, ethical leadership, authentic leadership, transformational leadership, servant leadership, visionary leadership, workplace aggression, work overload, ethical climate, external work locus of control (WLOC), sense of calling, rewards, self-improvement, untapped potential, optimism, environmental value, organizational support, self-concept clarity, altruistic behavior, emotional intelligence training, leaders work meaningfulness, work role fit, job enrichment, CEO intellectual simulation, humor intervention, career mentoring, moral & social.","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":"21 4","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139174268","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-27DOI: 10.22146/buletinpsikologi.80377
N. P. S. Putri, Made Diah Lestari
As the population of older people grows, ageing issue becomes a priority to overcome in order to facilitate well-being among older people in Indonesia. One of critical factors that contributes to well-being is living arrangement. Ageing in place is a concept that refer to the ability of older people to live safely, independently, and comfortably in their homes as long as possible. However, there are some of older people and families who experience scare resources in caregiving and housing. To overcome these issues, institutional care is provided by the government to assist older people who do not have sufficient social supports. However, transferring older people from home to institutional care are still being a debate in Indonesia. In another words, institutional care is considered taboo by most Indonesians. In addition, international literatures emphasized the important of ageing in place and regard institutional care quite opposite to ageing in place. Therefore, this literature study aims to discuss the concept of ageing in place, institutional care, and to propose the idea to integrate the two conflicting concepts in order to facilitate inclusiveness among older people. This article is also expected to contribute to facilitate well-being among older people in Indonesia.
{"title":"Ageing in Place VS Panti Werdha: Menyatukan Dua Konsep yang Bertentangan","authors":"N. P. S. Putri, Made Diah Lestari","doi":"10.22146/buletinpsikologi.80377","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.80377","url":null,"abstract":"As the population of older people grows, ageing issue becomes a priority to overcome in order to facilitate well-being among older people in Indonesia. One of critical factors that contributes to well-being is living arrangement. Ageing in place is a concept that refer to the ability of older people to live safely, independently, and comfortably in their homes as long as possible. However, there are some of older people and families who experience scare resources in caregiving and housing. To overcome these issues, institutional care is provided by the government to assist older people who do not have sufficient social supports. However, transferring older people from home to institutional care are still being a debate in Indonesia. In another words, institutional care is considered taboo by most Indonesians. In addition, international literatures emphasized the important of ageing in place and regard institutional care quite opposite to ageing in place. Therefore, this literature study aims to discuss the concept of ageing in place, institutional care, and to propose the idea to integrate the two conflicting concepts in order to facilitate inclusiveness among older people. This article is also expected to contribute to facilitate well-being among older people in Indonesia.","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44376518","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-27DOI: 10.22146/buletinpsikologi.77070
Cleoputri Yusainy, I. Adila, Dita Rachmayani, Ziadatul Hikmiah, Wahyu Wicaksono
Kajian teoretis ini diarahkan untuk menelisik sebagian episode kehidupan antar perempuan dalam dunia kerja: “ratu lebah” (queen bee) dan ostrasisme dari perspektif pekerja perempuan (worker bee). Pembahasan diawali dengan perubahan eksistensi perempuan di tempat kerja dalam hierarki organisasi yang dominan laki-laki, yang berpotensi memunculkan ratu lebah yaitu senioritas pekerja perempuan terhadap junior sesama perempuan. Pembahasan berlanjut dengan ostrasisme oleh pemimpin yang diduga merupakan salah satu manifestasi unik dari ratu lebah. Telaah ditutup dengan rekomendasi untuk prevensi dan intervensi ostrasisme oleh ratu lebah. Dinamika kompetisi intragender perlu dipetakan sebelum berdampak negatif terhadap keputusan karir pekerja perempuan maupun kinerja organisasi.
{"title":"Sabda Pandita Ratu: Queen Bee dan Ostrasisme dari Perspektif Perempuan Pekerja","authors":"Cleoputri Yusainy, I. Adila, Dita Rachmayani, Ziadatul Hikmiah, Wahyu Wicaksono","doi":"10.22146/buletinpsikologi.77070","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.77070","url":null,"abstract":"Kajian teoretis ini diarahkan untuk menelisik sebagian episode kehidupan antar perempuan dalam dunia kerja: “ratu lebah” (queen bee) dan ostrasisme dari perspektif pekerja perempuan (worker bee). Pembahasan diawali dengan perubahan eksistensi perempuan di tempat kerja dalam hierarki organisasi yang dominan laki-laki, yang berpotensi memunculkan ratu lebah yaitu senioritas pekerja perempuan terhadap junior sesama perempuan. Pembahasan berlanjut dengan ostrasisme oleh pemimpin yang diduga merupakan salah satu manifestasi unik dari ratu lebah. Telaah ditutup dengan rekomendasi untuk prevensi dan intervensi ostrasisme oleh ratu lebah. Dinamika kompetisi intragender perlu dipetakan sebelum berdampak negatif terhadap keputusan karir pekerja perempuan maupun kinerja organisasi.","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45422158","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-27DOI: 10.22146/buletinpsikologi.55589
Ali Ridho
Artikel ini menjelaskan lima model konsepsi teoretis mengenai keterikatan kerja: job characteristic model (JCM), personal engagement model (PEM), work-life model (WLM), job demands-resources (JD-R), dan organizational engagement model (OEM). Tujuan dari artikel ini adalah mengajukan definisi yang lebih padat tentang keterikatan kerja melalui sintesa terhadap lima model ini untuk mendapatkan perspektif yang komprehensif. Hasil analisis menunjukkan bahwa dinamika keterikatan kerja dipandang dari sisi anteseden (pendorong), kondisi psikologis, dan dampak (konsekuen). Kami mengajukan definisi konseptual keterikatan kerja sebagai "dorongan, niat, dan evaluasi yang positif pada pekerjaan untuk menghasilkan kondisi mental yang sehat." Tipikal keterikatan seseorang terhadap pekerjaannya dapat dimengerti secara lebih lengkap dengan mempertimbangkan dimensi dan lingkup keterikatan kerja sebagai konstruk yang multidimensi. Keterikatan psikologis terdiri atas dimensi: kognitif, emosi, fisik, perilaku, dan sosial. Konteks dan lingkup keterikatan dapat terjadi pada level tugas, pekerjaan, tim, unit, organisasi, dan/atau pembelajaran (peningkatan diri). Diantara lima model yang disintesakan, tulisan ini berkontribusi pada kelugasan definisi keterikatan kerja dan perhatian pada dimensi sosial, serta tambahan lingkup pembelajaran (peningkatan diri).
{"title":"Keterikatan Kerja: Sebuah Reviu Konseptual","authors":"Ali Ridho","doi":"10.22146/buletinpsikologi.55589","DOIUrl":"https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.55589","url":null,"abstract":"Artikel ini menjelaskan lima model konsepsi teoretis mengenai keterikatan kerja: job characteristic model (JCM), personal engagement model (PEM), work-life model (WLM), job demands-resources (JD-R), dan organizational engagement model (OEM). Tujuan dari artikel ini adalah mengajukan definisi yang lebih padat tentang keterikatan kerja melalui sintesa terhadap lima model ini untuk mendapatkan perspektif yang komprehensif. Hasil analisis menunjukkan bahwa dinamika keterikatan kerja dipandang dari sisi anteseden (pendorong), kondisi psikologis, dan dampak (konsekuen). Kami mengajukan definisi konseptual keterikatan kerja sebagai \"dorongan, niat, dan evaluasi yang positif pada pekerjaan untuk menghasilkan kondisi mental yang sehat.\" Tipikal keterikatan seseorang terhadap pekerjaannya dapat dimengerti secara lebih lengkap dengan mempertimbangkan dimensi dan lingkup keterikatan kerja sebagai konstruk yang multidimensi. Keterikatan psikologis terdiri atas dimensi: kognitif, emosi, fisik, perilaku, dan sosial. Konteks dan lingkup keterikatan dapat terjadi pada level tugas, pekerjaan, tim, unit, organisasi, dan/atau pembelajaran (peningkatan diri). Diantara lima model yang disintesakan, tulisan ini berkontribusi pada kelugasan definisi keterikatan kerja dan perhatian pada dimensi sosial, serta tambahan lingkup pembelajaran (peningkatan diri).","PeriodicalId":31265,"journal":{"name":"Buletin Psikologi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43241335","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}