The purpose of this study is to find the benefits of polygamous marriage in Islamic law which will be associated with legal protection of women. In principle, Indonesian marriage law allows a husband to have more than one wife (polygamy) but the rules regarding the wife's consent are not strictly regulated in Islamic law. However, the state through legislation regulates that the wife's consent is a condition that must exist, this is a guarantee of protection for women. The difference between this research and previous research is that this research will focus on explaining the benefits of polygamy in Islamic law, providing a critical analysis of the problem of polygamy itself, discussing the impact of polygamy from a social, psychological, or economic perspective on women and children. This research method is normative legal research with a legislative approach. The result of this research is that polygamy is allowed with certain exceptions and conditions. It is not easy to be polygamous because justice is an absolute requirement and most importantly must be with the consent of the wife. The Compilation of Islamic Law also regulates the provisions and conditions for polygamy for Muslims. The provisions contained in the Marriage Law are in principle in line with the provisions of Islamic law. The purpose of the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law provides provisions and requirements for polygamy.Tujuan penelitian ini untuk menemukan kemaslahatan perkawinan poligami dalam syariat islam yang akan dikaitkan dengan perlindungan hukum terhadap perempuan. Pada prinsipnya hukum perkawinan di Indonesia memperbolehkan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang (poligami) tetapi aturan mengenai persetujuan istri tidak diatur secara tegas dalam hukum islam. Namun, negara melalui peraturan perundang-undangan mengatur bahwa persetujuan isteri merupakan syarat yang harus ada, hal ini sebagai jaminan perlindungan terhadap perempuan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini akan fokus menjelaskan mengenai kemaslahatan poligami dalam syariat Islam, memberikan analisis kritis tentang masalah poligami itu senditi, membahas dampak poligami dari sisi sosial, psikologis, atau ekonomi terhadap perempuan maupun anak-anak. Metode Penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian ini yaitu bahwa poligami diperbolehkan dengan pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Tidak mudah untuk berpoligami karena keadilan adalah syarat mutlak dan yang terpenting harus dengan persetujuan istri. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur ketentuan dan syarat untuk berpoligami bagi umat Islam. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan pada prinsipnya selaras dengan ketentuan hukum islam. Tujuan dari Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memberikan ketentuan dan persyaratan terhadap seorang suami untuk menikah lagi agar tidak terjadi sikap sewenang-wena
{"title":"Kemaslahatan dalam Perkawinan Poligami Dalam Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia","authors":"Dian Septiandani, Ani Triwati, Efi Yulistyowati","doi":"10.26623/jic.v8i3.7236","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.7236","url":null,"abstract":"The purpose of this study is to find the benefits of polygamous marriage in Islamic law which will be associated with legal protection of women. In principle, Indonesian marriage law allows a husband to have more than one wife (polygamy) but the rules regarding the wife's consent are not strictly regulated in Islamic law. However, the state through legislation regulates that the wife's consent is a condition that must exist, this is a guarantee of protection for women. The difference between this research and previous research is that this research will focus on explaining the benefits of polygamy in Islamic law, providing a critical analysis of the problem of polygamy itself, discussing the impact of polygamy from a social, psychological, or economic perspective on women and children. This research method is normative legal research with a legislative approach. The result of this research is that polygamy is allowed with certain exceptions and conditions. It is not easy to be polygamous because justice is an absolute requirement and most importantly must be with the consent of the wife. The Compilation of Islamic Law also regulates the provisions and conditions for polygamy for Muslims. The provisions contained in the Marriage Law are in principle in line with the provisions of Islamic law. The purpose of the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law provides provisions and requirements for polygamy.Tujuan penelitian ini untuk menemukan kemaslahatan perkawinan poligami dalam syariat islam yang akan dikaitkan dengan perlindungan hukum terhadap perempuan. Pada prinsipnya hukum perkawinan di Indonesia memperbolehkan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang (poligami) tetapi aturan mengenai persetujuan istri tidak diatur secara tegas dalam hukum islam. Namun, negara melalui peraturan perundang-undangan mengatur bahwa persetujuan isteri merupakan syarat yang harus ada, hal ini sebagai jaminan perlindungan terhadap perempuan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini akan fokus menjelaskan mengenai kemaslahatan poligami dalam syariat Islam, memberikan analisis kritis tentang masalah poligami itu senditi, membahas dampak poligami dari sisi sosial, psikologis, atau ekonomi terhadap perempuan maupun anak-anak. Metode Penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian ini yaitu bahwa poligami diperbolehkan dengan pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Tidak mudah untuk berpoligami karena keadilan adalah syarat mutlak dan yang terpenting harus dengan persetujuan istri. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur ketentuan dan syarat untuk berpoligami bagi umat Islam. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan pada prinsipnya selaras dengan ketentuan hukum islam. Tujuan dari Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memberikan ketentuan dan persyaratan terhadap seorang suami untuk menikah lagi agar tidak terjadi sikap sewenang-wena","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"31 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139313258","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This paper is aimed to see whether the government's discourse to form a special land court is the only way to answer the problem of resolving land cases in Indonesia.The settlement of land cases in Indonesia often experiences obstacles, this has led to the government's discourse to form a special court to handle land cases that occur. Conducting this research is crucial to ensure that complicated land problems are promptly resolved without further increasing the losses that the involved parties have to endure. This research was conducted using a normative juridical method by conducting studies on legislation, expert opinions and decisions on cases that have occurred in Indonesia. This research has novel value in offering other solutions than establishing land courts, namely by strengthening existing courts so that land cases can be resolved thoroughly and maximally without the need to go through two courts. The discourse on the establishment of a land court becomes a problem that needs to be observed considering that the establishment of a special land court may not necessarily be able to completely resolve land cases. From this research, it will be shown that there are other solutions in simplifying and handling land cases other than the establishment of a special land court.
{"title":"Establishment of Special Land Courts as an Effort to Settlement of Land Cases","authors":"Erly Aristo, Karen Michaelia Arifin, Shenny Rustam Moidady","doi":"10.26623/jic.v8i3.7837","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.7837","url":null,"abstract":"This paper is aimed to see whether the government's discourse to form a special land court is the only way to answer the problem of resolving land cases in Indonesia.The settlement of land cases in Indonesia often experiences obstacles, this has led to the government's discourse to form a special court to handle land cases that occur. Conducting this research is crucial to ensure that complicated land problems are promptly resolved without further increasing the losses that the involved parties have to endure. This research was conducted using a normative juridical method by conducting studies on legislation, expert opinions and decisions on cases that have occurred in Indonesia. This research has novel value in offering other solutions than establishing land courts, namely by strengthening existing courts so that land cases can be resolved thoroughly and maximally without the need to go through two courts. The discourse on the establishment of a land court becomes a problem that needs to be observed considering that the establishment of a special land court may not necessarily be able to completely resolve land cases. From this research, it will be shown that there are other solutions in simplifying and handling land cases other than the establishment of a special land court.","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"96 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139315541","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This study aims to provide legal justice for women after divorce. The determination of the period of payment of iddah income after divorce by the ex-husband to the ex-wife is very important because women who are carrying out the iddah period are not allowed to leave the house. For this reason, husbands are encouraged to provide iddah as stated in the word of Allah surah al-Thalaq:1. But, after divorce, the man disappears regardless of his ex-wife, besides that the policy on determining the period of payment of iddah income has not been regulated in the legislation or the compilation of Islamic law. So this research is important to be carried out as an effort to realize justice for women. This research is a literature research (Library research), which is a study that presents a variety of data by the research topic which includes primary data, namely the concept of iddah in the compilation of Islamic law which will be analyzed using Islamic legal theory. The results of the study that the determination of the period of payment of income is very important to be stated in the laws and regulations in Indonesia. Because the obligation to practice iddah will also be carried out if the ex-wife does not experience any deficiency Even the state can determine sanctions for ex-husbands who do not provide iddah to ex-wives. Sanctions provide a deterrent effect and encourage husbands to comply with their obligations fairly and responsibly.
{"title":"The Urgency of Determining the Post-Divorce Iddah Payment Period in Indonesian Religious Courts","authors":"Shofiatul Jannah, Roibin Roibin","doi":"10.26623/jic.v8i3.7606","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.7606","url":null,"abstract":"This study aims to provide legal justice for women after divorce. The determination of the period of payment of iddah income after divorce by the ex-husband to the ex-wife is very important because women who are carrying out the iddah period are not allowed to leave the house. For this reason, husbands are encouraged to provide iddah as stated in the word of Allah surah al-Thalaq:1. But, after divorce, the man disappears regardless of his ex-wife, besides that the policy on determining the period of payment of iddah income has not been regulated in the legislation or the compilation of Islamic law. So this research is important to be carried out as an effort to realize justice for women. This research is a literature research (Library research), which is a study that presents a variety of data by the research topic which includes primary data, namely the concept of iddah in the compilation of Islamic law which will be analyzed using Islamic legal theory. The results of the study that the determination of the period of payment of income is very important to be stated in the laws and regulations in Indonesia. Because the obligation to practice iddah will also be carried out if the ex-wife does not experience any deficiency Even the state can determine sanctions for ex-husbands who do not provide iddah to ex-wives. Sanctions provide a deterrent effect and encourage husbands to comply with their obligations fairly and responsibly.","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"119 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139317703","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This study examines the legality and legal consequences of court decisions that grant handlichting to minors to receive grants. Basically, actions carried out by legal subjects are considered valid or not depending on the level of maturity or legal skills they possess. In the Civil Code, there is no special article that regulates the validity and legal consequences of giving land and buildings to minors. This research method is normative juridical. The novelty of this research is that it focuses on the validity and legal consequences of giving grants to minors through the handlichting process. The results show that the validity of the handlichting determination is based on civil law and the legal certainty of the court's decision is questionable due to the judge's inconsistency in determining the age limit for adulthood. In addition to efforts to mature (handlichting), giving gifts to minors should be done through a guardianship that has legal certainty. The legal consequence of accepting a grant in the form of a doctor's clinic is that regarding the grant deed received, the deed is not invalid, but is considered defective because it does not meet the legal competency requirements. Another legal consequence that is accepted in managing the clinic is that the child is only officially permitted to manage and be responsible for the clinic's operations after reaching the age of 21 years and completing medical education.Studi ini mengkaji keabsahan dan konsekuensi hukum dari keputusan pengadilan yang memberikan handlichting kepada anak di bawah umur untuk menerima hibah. Pada dasarnya, tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum dianggap sah atau tidak tergantung pada tingkat kedewasaan atau kecakapan hukum yang dimilikinya. Dalam KUHPerdata, tidak ada pasal khusus yang mengatur keabsahan dan konsekuensi hukum pemberian tanah dan bangunan kepada anak yang belum dewasa. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif. Kebaruan penelitian ini yaitu memfokuskan kepada keabsahan dan akibat hukum pemberian hibah kepada anak di bawah umur melalui proses handlichting. Hasil menunjukkan bahwa keabsahan penetapan handlichting didasarkan pada hukum perdata dan penetapan pengadilan menjadi diragukan kepastian hukumnya karena ketidakselarasan hakim dalam menentukan batasan usia dewasa. Selain upaya pendewasaan (handlichting), pemberian hibah kepada anak di bawah umur sebaiknya dilakukan melalui perwalian yang memiliki kepastian hukum yang sah. Akibat hukum penerimaan hibah berupa klinik dokter yaitu mengenai akta hibah yang diterima maka akta tersebut tidak batal, namun dianggap cacat karena tidak memenuhi syarat cakap hukum. Akibat hukum lainnya yang diterima dalam pengelolaan klinik dimana anak tersebut baru diizinkan secara resmi untuk mengelola dan bertanggung jawab atas operasional klinik setelah mencapai usia 21 tahun dan menyelesaikan pendidikan kedokteran.
{"title":"Analisis Pemberian Hibah Kepada Anak Di Bawah Umur Melalui Proses Handlichting Berdasarkan Hukum Perdata","authors":"Fira Nurulnisa, D. Ramadhani","doi":"10.26623/jic.v8i3.7803","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.7803","url":null,"abstract":"This study examines the legality and legal consequences of court decisions that grant handlichting to minors to receive grants. Basically, actions carried out by legal subjects are considered valid or not depending on the level of maturity or legal skills they possess. In the Civil Code, there is no special article that regulates the validity and legal consequences of giving land and buildings to minors. This research method is normative juridical. The novelty of this research is that it focuses on the validity and legal consequences of giving grants to minors through the handlichting process. The results show that the validity of the handlichting determination is based on civil law and the legal certainty of the court's decision is questionable due to the judge's inconsistency in determining the age limit for adulthood. In addition to efforts to mature (handlichting), giving gifts to minors should be done through a guardianship that has legal certainty. The legal consequence of accepting a grant in the form of a doctor's clinic is that regarding the grant deed received, the deed is not invalid, but is considered defective because it does not meet the legal competency requirements. Another legal consequence that is accepted in managing the clinic is that the child is only officially permitted to manage and be responsible for the clinic's operations after reaching the age of 21 years and completing medical education.Studi ini mengkaji keabsahan dan konsekuensi hukum dari keputusan pengadilan yang memberikan handlichting kepada anak di bawah umur untuk menerima hibah. Pada dasarnya, tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum dianggap sah atau tidak tergantung pada tingkat kedewasaan atau kecakapan hukum yang dimilikinya. Dalam KUHPerdata, tidak ada pasal khusus yang mengatur keabsahan dan konsekuensi hukum pemberian tanah dan bangunan kepada anak yang belum dewasa. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif. Kebaruan penelitian ini yaitu memfokuskan kepada keabsahan dan akibat hukum pemberian hibah kepada anak di bawah umur melalui proses handlichting. Hasil menunjukkan bahwa keabsahan penetapan handlichting didasarkan pada hukum perdata dan penetapan pengadilan menjadi diragukan kepastian hukumnya karena ketidakselarasan hakim dalam menentukan batasan usia dewasa. Selain upaya pendewasaan (handlichting), pemberian hibah kepada anak di bawah umur sebaiknya dilakukan melalui perwalian yang memiliki kepastian hukum yang sah. Akibat hukum penerimaan hibah berupa klinik dokter yaitu mengenai akta hibah yang diterima maka akta tersebut tidak batal, namun dianggap cacat karena tidak memenuhi syarat cakap hukum. Akibat hukum lainnya yang diterima dalam pengelolaan klinik dimana anak tersebut baru diizinkan secara resmi untuk mengelola dan bertanggung jawab atas operasional klinik setelah mencapai usia 21 tahun dan menyelesaikan pendidikan kedokteran.","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"40 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139317426","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ratio legis dan kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat narapidana korupsi dalam dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini penting dilakukan sebagai menjadi bahan evaluasi bagi pembentuk undang-undang untuk pembentukan produk hukum yang progresif, sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-empiris dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sosiologis. Penelitian ini mempunyai nilai kebaruan yakni mengkaji ratio legis dan kekuatan keberlakuan sosiologis pengaturan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini memiliki fokus kajian tentang ratio legis dan kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat narapidana korupsi dalam dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, ratio legis kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam revisi undang-undang pemasyarakatan didasarkan pada beberapa alasan yaitu falsafah pemasyarakatan, hak untuk hidup bebas adalah satu-satunya hak yang hilang, masalah kepadatan di dalam Lapas dan kedudukan narapidana sebagai warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Kedua, kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam revisi undang-undang pemasyarakatan tidak memiliki kekuatan keberlakuan secara sosiologis (soziologische geltung) dan bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat yang menolak dengan tegas kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dan menginginkan adanya kebijakan khusus yang ketat terhadap persyaratan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi.
{"title":"Ratio Legis dan Keberlakuan Sosiologis Pembaharuan Kebijakan Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Korupsi","authors":"Muhamad Irfan Sofyana, Rocky Marbun","doi":"10.26623/jic.v8i3.7104","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.7104","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ratio legis dan kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat narapidana korupsi dalam dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini penting dilakukan sebagai menjadi bahan evaluasi bagi pembentuk undang-undang untuk pembentukan produk hukum yang progresif, sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-empiris dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sosiologis. Penelitian ini mempunyai nilai kebaruan yakni mengkaji ratio legis dan kekuatan keberlakuan sosiologis pengaturan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini memiliki fokus kajian tentang ratio legis dan kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat narapidana korupsi dalam dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, ratio legis kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam revisi undang-undang pemasyarakatan didasarkan pada beberapa alasan yaitu falsafah pemasyarakatan, hak untuk hidup bebas adalah satu-satunya hak yang hilang, masalah kepadatan di dalam Lapas dan kedudukan narapidana sebagai warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Kedua, kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam revisi undang-undang pemasyarakatan tidak memiliki kekuatan keberlakuan secara sosiologis (soziologische geltung) dan bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat yang menolak dengan tegas kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dan menginginkan adanya kebijakan khusus yang ketat terhadap persyaratan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi.","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"51 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139318253","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tujuan dari penelitian agar Mahkamah Agung baik Hakim maupun Peradilan di bawahnya bisa menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya tanpa ada intervensi dengan teori pendekatan islam. Kepercayaan publik atas penegakan hukum di Indonesia semakin menurun. Tidak sedikit jual beli perkara, persekongkolan antara sesama penegak hukum, pesanan untuk menetapkan siapa hakim yang mengadili perkara masih saja terjadi, baik di tingkat Mahkamah Agung maupun peradilan di bawahnya. Hal ini disebabkan lemahnya pengawasan kehakiman yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial, salah satunya dikarenakan tidak adanya kewenangan untuk melakukan penyadapan atas hakim-hakim di jajaran Mahkamah Agung maupun peradilan di bawahnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial. Oleh karena itu dalam hal ini kewenangan Komisi Yudisial selaku badan yang mengawasi sikap hakim di Indonesia perlu diperbaiki. Penelitian ini menggunakan metode penelitian library research (penelitian pustaka). Hasil dari penelitian ini yaitu, harus ada regulasi tambahan terkait wewenang Komisi Yudisial. selain itu, Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap dengan mengeluarkan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang), penjatuhan sanksi hukuman atas tindak pidana yang dilakukan oleh hakim sebagai penegak hukum harus lebih berat dari pada masyarakat biasa, serta diperlukannya regulasi tentang hukuman tambahan berupa sanksi sosial atas tindak pidana yang mencederai penegakan hukuman di Indonesia.
{"title":"Politik Reformasi Kewenangan Komisi Yudisial Sebagai Penguatan Pengawasan Terhadap Mahkamah Agung","authors":"M. Aziz, Nelvitia Purba, Yeltriana Yeltriana, Ismed Batubara, Eka Syafrina Monica, Dedi Kiswanto","doi":"10.26623/jic.v8i3.6128","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.6128","url":null,"abstract":"Tujuan dari penelitian agar Mahkamah Agung baik Hakim maupun Peradilan di bawahnya bisa menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya tanpa ada intervensi dengan teori pendekatan islam. Kepercayaan publik atas penegakan hukum di Indonesia semakin menurun. Tidak sedikit jual beli perkara, persekongkolan antara sesama penegak hukum, pesanan untuk menetapkan siapa hakim yang mengadili perkara masih saja terjadi, baik di tingkat Mahkamah Agung maupun peradilan di bawahnya. Hal ini disebabkan lemahnya pengawasan kehakiman yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial, salah satunya dikarenakan tidak adanya kewenangan untuk melakukan penyadapan atas hakim-hakim di jajaran Mahkamah Agung maupun peradilan di bawahnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial. Oleh karena itu dalam hal ini kewenangan Komisi Yudisial selaku badan yang mengawasi sikap hakim di Indonesia perlu diperbaiki. Penelitian ini menggunakan metode penelitian library research (penelitian pustaka). Hasil dari penelitian ini yaitu, harus ada regulasi tambahan terkait wewenang Komisi Yudisial. selain itu, Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap dengan mengeluarkan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang), penjatuhan sanksi hukuman atas tindak pidana yang dilakukan oleh hakim sebagai penegak hukum harus lebih berat dari pada masyarakat biasa, serta diperlukannya regulasi tentang hukuman tambahan berupa sanksi sosial atas tindak pidana yang mencederai penegakan hukuman di Indonesia.","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"62 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139318036","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tujuan penelitian ialah untuk mengkaji penggunaan modus operandi uang sirih pinang dalam tindak pidana perdagangan orang terhadap anak dengan Nusa Tenggara Timur sebagai daerah acuan. Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu provinsi dengan tindak pidana perdagangan orang paling tinggi serta daerah utama asal korban karena dimanfaatkan oleh para calo pekerja migran ilegal untuk merekrut masyarakat yang ingin bekerja diluar negeri dengan iming-iming kemudahan proses bekerja hingga penggunaan uang sirih pinang sebagai modus operandi. Metode yang digunakan pada penelitian ini yakni metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kebaruan pada penelitian yakni dalam mengkaji modus operandi uang sirih pinang yang digunakan para pelaku dalam tindak pidana perdagangan orang terhadap anak di Nusa Tenggara Timur menggunakan tradisi sirih pinang sehingga perlu pembatasan antara budaya yang ada dengan hukum yang berlaku. Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa maraknya penggunaan uang sirih pinang sebagai modus operandi perdagangan orang terhadap anak di Nusa Tenggara Timur tidak lepas dari belum maksimalnya peran aparat penegak hukum dalam memerangi kejahatan luar biasa ini baik dari segi peraturan yang belum mengakomodasi permasalahan yang ada, kurangnya SDM dalam pengawasan dokumen migrasi serta rendahnya pemahaman masyarakat terkait bahaya modus operandi uang sirih pinang dan batasan budaya yang harus dilestarikan.
{"title":"Uang Sirih Pinang Sebagai Modus Operandi Perdagangan Orang Terhadap Anak","authors":"Angelie Angelie, S. Wahyudi","doi":"10.26623/jic.v8i3.6976","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.6976","url":null,"abstract":"Tujuan penelitian ialah untuk mengkaji penggunaan modus operandi uang sirih pinang dalam tindak pidana perdagangan orang terhadap anak dengan Nusa Tenggara Timur sebagai daerah acuan. Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu provinsi dengan tindak pidana perdagangan orang paling tinggi serta daerah utama asal korban karena dimanfaatkan oleh para calo pekerja migran ilegal untuk merekrut masyarakat yang ingin bekerja diluar negeri dengan iming-iming kemudahan proses bekerja hingga penggunaan uang sirih pinang sebagai modus operandi. Metode yang digunakan pada penelitian ini yakni metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kebaruan pada penelitian yakni dalam mengkaji modus operandi uang sirih pinang yang digunakan para pelaku dalam tindak pidana perdagangan orang terhadap anak di Nusa Tenggara Timur menggunakan tradisi sirih pinang sehingga perlu pembatasan antara budaya yang ada dengan hukum yang berlaku. Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa maraknya penggunaan uang sirih pinang sebagai modus operandi perdagangan orang terhadap anak di Nusa Tenggara Timur tidak lepas dari belum maksimalnya peran aparat penegak hukum dalam memerangi kejahatan luar biasa ini baik dari segi peraturan yang belum mengakomodasi permasalahan yang ada, kurangnya SDM dalam pengawasan dokumen migrasi serta rendahnya pemahaman masyarakat terkait bahaya modus operandi uang sirih pinang dan batasan budaya yang harus dilestarikan.","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"67 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139318078","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The purpose of this study is to analyze, and find out the nature of the tender conspiracy, and the impact arising from the KPPU Decision. This research must be reviewed immediately in order to minimize cases of tender conspiracy practices, considering that these cases are the most handled by KPPU today. The research method used in this study is normative juridical, using statutory approach, conceptual, case, and comparative, so that the research to be studied is not vague, systematic, and clear. This study will be described in full related to the conflict of norms, especially the incompleted norm in PP Number 44 of 2021. The conflict of norms can arise because the rules related to the procedures for stopping the practice of tender conspiracy are not clear and complete, so that their implementation cannot realize justice, expediency, and legal certainty. Therefore, in this study, a solution was given specifically to the government to immediately review PP Number 44 of 2021, so that the perpetrators of the tender conspiracy get a loot effect, and do not repeat their actions. KPPU should also set additional administrative fines, which can be in the form of fines for goods and services won by bidders unreasonably.Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis, serta menemukan hakikat dari persekongkolan tender, dan dampak yang timbul atas adanya Putusan KPPU. Penelitian ini harus segera dikaji agar dapat meminimalisir perkara praktik persekongkolan tender, mengingat perkara tersebut yang paling banyak ditangani oleh KPPU saat ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan Peraturan Perundang-Undangan, konseptual, kasus, dan komparatif, agar penelitian yang akan dikaji tidak kabur, sistematis, dan jelas. Dalam penelitian ini akan diuraikan secara lengkap terkait dengan adanya konflik norma, khususnya incompleted norm pada PP Nomor 44 Tahun 2021. Konflik Norma tersebut dapat timbul karena aturan terkait tata cara penghentian praktik persekongkolan tender tidak jelas, dan lengkap, sehingga pada implementasinya tidak dapat mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Maka dari itu, dalam penelitian ini diberikan solusi yang secara khusus ditujukan kepada pemerintah untuk segera mengkaji ulang PP Nomor 44 Tahun 2021, agar para pelaku persekongkolan tender mendapatkan efek jerah, dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. KPPU pun sebaiknya juga menetapkan denda administratif tambahan, yang dapat berupa denda atas barang, dan jasa yang dimenangkan peserta tender secara tidak wajar.
{"title":"Praktik Persekongkolan Tender dalam Pengadaan Paket Pembangunan Revetment dan Pengurungan Lahan di Pelabuhan","authors":"Dave David Tedjokusumo","doi":"10.26623/jic.v8i3.7193","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.7193","url":null,"abstract":"The purpose of this study is to analyze, and find out the nature of the tender conspiracy, and the impact arising from the KPPU Decision. This research must be reviewed immediately in order to minimize cases of tender conspiracy practices, considering that these cases are the most handled by KPPU today. The research method used in this study is normative juridical, using statutory approach, conceptual, case, and comparative, so that the research to be studied is not vague, systematic, and clear. This study will be described in full related to the conflict of norms, especially the incompleted norm in PP Number 44 of 2021. The conflict of norms can arise because the rules related to the procedures for stopping the practice of tender conspiracy are not clear and complete, so that their implementation cannot realize justice, expediency, and legal certainty. Therefore, in this study, a solution was given specifically to the government to immediately review PP Number 44 of 2021, so that the perpetrators of the tender conspiracy get a loot effect, and do not repeat their actions. KPPU should also set additional administrative fines, which can be in the form of fines for goods and services won by bidders unreasonably.Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis, serta menemukan hakikat dari persekongkolan tender, dan dampak yang timbul atas adanya Putusan KPPU. Penelitian ini harus segera dikaji agar dapat meminimalisir perkara praktik persekongkolan tender, mengingat perkara tersebut yang paling banyak ditangani oleh KPPU saat ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan Peraturan Perundang-Undangan, konseptual, kasus, dan komparatif, agar penelitian yang akan dikaji tidak kabur, sistematis, dan jelas. Dalam penelitian ini akan diuraikan secara lengkap terkait dengan adanya konflik norma, khususnya incompleted norm pada PP Nomor 44 Tahun 2021. Konflik Norma tersebut dapat timbul karena aturan terkait tata cara penghentian praktik persekongkolan tender tidak jelas, dan lengkap, sehingga pada implementasinya tidak dapat mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Maka dari itu, dalam penelitian ini diberikan solusi yang secara khusus ditujukan kepada pemerintah untuk segera mengkaji ulang PP Nomor 44 Tahun 2021, agar para pelaku persekongkolan tender mendapatkan efek jerah, dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. KPPU pun sebaiknya juga menetapkan denda administratif tambahan, yang dapat berupa denda atas barang, dan jasa yang dimenangkan peserta tender secara tidak wajar.","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"16 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139317818","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This research aims to examine legal protection for consumers and the legal consequences resulting from deceptive price information in flash sale practices in e-commerce. Information fraud carried out by business actors is contrary to consumer protection, so legal certainty is needed for consumers in buying and selling activities on e-commerce. The research method used is normative research which is equipped with interviews with BPSK, as well as a statutory and regulatory approach which focuses on the object of research on norms. Information was collected using interview techniques to obtain additional data. The results of this research confirm that it can actually enforce consumer protection in trading via electronic systems as contained in the UUPK, Trade Law, ITE Law and PP PMSE. However, there are no regulations regarding flash sales specifically so that the rights and obligations between business actors and consumers have not yet achieved harmony in online buying and selling activities. Consumers' lack of knowledge regarding legal certainty in shopping on e-commerce is still low so that the objectives of legislation in imposing sanctions on business actors have not been achieved. Therefore, the novelty in this research is explaining the procedures for completing settlements, especially by BPSK, which gives rise to legal consequences for business actors. Legislation is needed that specifically regulates flash sales and E-commerce obligations in supervising business actors in Indonesia.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perlindungan hukum kepada konsumen serta akibat hukum yang ditimbulkan dari pengelabuan informasi harga dalam praktik flash sale di E-commerce. Pengelabuan informasi yang dilakukan pelaku usaha bertentangan dengan perlindungan konsumen sehingga diperlukan kepastian hukum terhadap konsumen dalam aktivitas jual beli di E-commerce. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian normatif yang dilengkapi wawancara dengan BPSK, serta pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang berfokus pada objek penelitian norma. Pengumpulan informasi dengan teknik wawancara tersebut dilakukan untuk memperoleh data tambahan. Hasil dari penelitian ini menegaskan bahwa sejatinya dapat menegakkan perlindungan konsumen dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang termuat dalam UUPK, UU Perdagangan, UU ITE dan PP PMSE. Namun, belum terdapat peraturan mengenai flash sale secara khusus sehingga hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen masih belum mencapai keselarasan dalam kegiatan jual beli online. Minimnya pengetahuan konsumen terkait kepastian hukum dalam berbelanja di E-commerce pun masih rendah sehingga tujuan dari peraturan perundang-undangan dalam memberikan sanksi terhadap pelaku usaha belum tercapai. Oleh karena itu, kebaruan dalam penelitian ini menjelaskan prosedur dalam penyelesaian sengketa, terutama oleh BPSK sehingga menimbulkan akibat hukum kepada pelaku usaha. Diperlukan peraturan perundang-undangan yang meng
{"title":"Pengelabuan Informasi Harga di E-Commerce terhadap Konsumen Melalui Flash Sale","authors":"D. Pratiwi, Rianda Dirkareshza","doi":"10.26623/jic.v8i3.7344","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i3.7344","url":null,"abstract":"This research aims to examine legal protection for consumers and the legal consequences resulting from deceptive price information in flash sale practices in e-commerce. Information fraud carried out by business actors is contrary to consumer protection, so legal certainty is needed for consumers in buying and selling activities on e-commerce. The research method used is normative research which is equipped with interviews with BPSK, as well as a statutory and regulatory approach which focuses on the object of research on norms. Information was collected using interview techniques to obtain additional data. The results of this research confirm that it can actually enforce consumer protection in trading via electronic systems as contained in the UUPK, Trade Law, ITE Law and PP PMSE. However, there are no regulations regarding flash sales specifically so that the rights and obligations between business actors and consumers have not yet achieved harmony in online buying and selling activities. Consumers' lack of knowledge regarding legal certainty in shopping on e-commerce is still low so that the objectives of legislation in imposing sanctions on business actors have not been achieved. Therefore, the novelty in this research is explaining the procedures for completing settlements, especially by BPSK, which gives rise to legal consequences for business actors. Legislation is needed that specifically regulates flash sales and E-commerce obligations in supervising business actors in Indonesia.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perlindungan hukum kepada konsumen serta akibat hukum yang ditimbulkan dari pengelabuan informasi harga dalam praktik flash sale di E-commerce. Pengelabuan informasi yang dilakukan pelaku usaha bertentangan dengan perlindungan konsumen sehingga diperlukan kepastian hukum terhadap konsumen dalam aktivitas jual beli di E-commerce. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian normatif yang dilengkapi wawancara dengan BPSK, serta pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang berfokus pada objek penelitian norma. Pengumpulan informasi dengan teknik wawancara tersebut dilakukan untuk memperoleh data tambahan. Hasil dari penelitian ini menegaskan bahwa sejatinya dapat menegakkan perlindungan konsumen dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang termuat dalam UUPK, UU Perdagangan, UU ITE dan PP PMSE. Namun, belum terdapat peraturan mengenai flash sale secara khusus sehingga hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen masih belum mencapai keselarasan dalam kegiatan jual beli online. Minimnya pengetahuan konsumen terkait kepastian hukum dalam berbelanja di E-commerce pun masih rendah sehingga tujuan dari peraturan perundang-undangan dalam memberikan sanksi terhadap pelaku usaha belum tercapai. Oleh karena itu, kebaruan dalam penelitian ini menjelaskan prosedur dalam penyelesaian sengketa, terutama oleh BPSK sehingga menimbulkan akibat hukum kepada pelaku usaha. Diperlukan peraturan perundang-undangan yang meng","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":"32 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139318005","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Rendy Airlangga, Kyagus Ramadhani, Yuvina Ariestanti, Adam Ardiansyah Ramadhan
This research aims to know the diversion concept related to recidivism system for a criminal that committed by underage person. This thing has been happened because there is differential meaning between recidivism concept in Juvenile Criminal Justice System and Criminal Law Code. Criminal Law Code interpreted recidivism as the crime that re-committed by person and that crime is legally binding. Whereas Juvenile Criminal Justice System interpreted prohibition of the application of diversion for a crime that has been committed by underage person. The urgent things about this research focused on the problem where a crime has been already committed by underage person and that crime has been finished by diversion system, does this can be categorized that it can not get diversion process again. This research is using juridical normative method which is studied prescriptively with a statutory approach and a conceptual approach. Criminalization of children as recidivist in the Juvenile Criminal Justice System currently has no provisions governing criminal sanctions against children who commit repeated crimes (recidivism), both contained in the Criminal Code and in the Law of The Juvenile Criminal Justice System. Diversion which is mandated by Law No. 11 of 2012 is implemented based on the foundation of restorative justice which is very concerned about children’s rights. Lastly this research expected can be considered in trying to determine recidivism concept in integrated criminal system. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diversi berkaitan dengan sistem residivisme pada anak yang menjadi pelaku tindak pidana di Indonesia. Hal ini dikarenakan konsep residivisme di UU SPPA dan KUHP memiliki perbedaan makna. Di KUHP menafsirkan residivisme sebagai sebuah perbuatan tindak pidana yang dilakukan kembali oleh seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana dengan memiliki kekuatan hukum tetap (Inchracht). Sedangkan dalam UU SPPA mengenal konsep pelarangan penerapan diversi terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana. Urgensi permasalahan ini dititikberatkan pada permasalahan dimana anak yang telah melakukan tindak pidana kemudian diselesaikan secara diversi apakah kemudian dikategorikan tidak dapat menerima proses diversi lagi. Metode penelitian yang digunakan yaitu menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang dikaji secara preskriptif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pemidanaan terhadap anak sebagai residivis dalam Sistem Peradilan Pidana Anak saat ini masih belum terdapat pengaturan yang mengatur tentang sanksi pidana terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana (recidive), baik yang terkandung di dalam KUHP maupun di dalam Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 diimplementasikan berdasarkan landasan restorative justice yang sangat memperhatikan hak-hak anak. Sehingga pada akhi
{"title":"Ius Constituendum Diversi Terhadap Pengulangan Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak","authors":"Rendy Airlangga, Kyagus Ramadhani, Yuvina Ariestanti, Adam Ardiansyah Ramadhan","doi":"10.26623/jic.v8i2.7055","DOIUrl":"https://doi.org/10.26623/jic.v8i2.7055","url":null,"abstract":"This research aims to know the diversion concept related to recidivism system for a criminal that committed by underage person. This thing has been happened because there is differential meaning between recidivism concept in Juvenile Criminal Justice System and Criminal Law Code. Criminal Law Code interpreted recidivism as the crime that re-committed by person and that crime is legally binding. Whereas Juvenile Criminal Justice System interpreted prohibition of the application of diversion for a crime that has been committed by underage person. The urgent things about this research focused on the problem where a crime has been already committed by underage person and that crime has been finished by diversion system, does this can be categorized that it can not get diversion process again. This research is using juridical normative method which is studied prescriptively with a statutory approach and a conceptual approach. Criminalization of children as recidivist in the Juvenile Criminal Justice System currently has no provisions governing criminal sanctions against children who commit repeated crimes (recidivism), both contained in the Criminal Code and in the Law of The Juvenile Criminal Justice System. Diversion which is mandated by Law No. 11 of 2012 is implemented based on the foundation of restorative justice which is very concerned about children’s rights. Lastly this research expected can be considered in trying to determine recidivism concept in integrated criminal system. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diversi berkaitan dengan sistem residivisme pada anak yang menjadi pelaku tindak pidana di Indonesia. Hal ini dikarenakan konsep residivisme di UU SPPA dan KUHP memiliki perbedaan makna. Di KUHP menafsirkan residivisme sebagai sebuah perbuatan tindak pidana yang dilakukan kembali oleh seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana dengan memiliki kekuatan hukum tetap (Inchracht). Sedangkan dalam UU SPPA mengenal konsep pelarangan penerapan diversi terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana. Urgensi permasalahan ini dititikberatkan pada permasalahan dimana anak yang telah melakukan tindak pidana kemudian diselesaikan secara diversi apakah kemudian dikategorikan tidak dapat menerima proses diversi lagi. Metode penelitian yang digunakan yaitu menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang dikaji secara preskriptif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pemidanaan terhadap anak sebagai residivis dalam Sistem Peradilan Pidana Anak saat ini masih belum terdapat pengaturan yang mengatur tentang sanksi pidana terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana (recidive), baik yang terkandung di dalam KUHP maupun di dalam Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 diimplementasikan berdasarkan landasan restorative justice yang sangat memperhatikan hak-hak anak. Sehingga pada akhi","PeriodicalId":31921,"journal":{"name":"Jurnal Ius Constituendum","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42369330","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}