Pelaksanaan kontekstualisasi tidak semudah yang dibayangkan, karena manusia adalah makhluk sosial yang terdiri dari adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda-beda, maka sangatlah penting untuk mengerti dan memahami perlunya kontekstual dalam melakukan pemberitaan injil. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana kontekstualisasi dapat menolong orang percaya dalam melakukan penginjilan di tengah-tengah keberagaman budaya dan adat istiadat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kontekstualisasi adalah suatu tindakan sebagai refleksi dari setiap orang percaya kepada Tuhan, berupaya untuk menjelaskan iman kristen dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Menurut Kisah Para Rasul 17:16-34 menjelaskan beberapa hal mengenai kontekstualisasi yang Paulus lakukan, yaitu kontekstualisasi lahir dari hati yang terbeban. Kontekstualisasi dilakukan dengan cara bertukar pikiran, memuji budaya orang Atena dan memberitakan tentang Injil Yesus Kristus. Dan dampak dari kontekstualisasi yaitu: dampak positifnya adalah orang menjadi percaya dan dampak negatifnya adalah pemberita injil dapat mengalami penolakan.
{"title":"Kontekstualisasi menurut Kisah Para Rasul 17:16-34","authors":"I. Setiawan, Reagen Petrus Banea","doi":"10.51828/td.v12i2.227","DOIUrl":"https://doi.org/10.51828/td.v12i2.227","url":null,"abstract":"Pelaksanaan kontekstualisasi tidak semudah yang dibayangkan, karena manusia adalah makhluk sosial yang terdiri dari adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda-beda, maka sangatlah penting untuk mengerti dan memahami perlunya kontekstual dalam melakukan pemberitaan injil. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana kontekstualisasi dapat menolong orang percaya dalam melakukan penginjilan di tengah-tengah keberagaman budaya dan adat istiadat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kontekstualisasi adalah suatu tindakan sebagai refleksi dari setiap orang percaya kepada Tuhan, berupaya untuk menjelaskan iman kristen dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Menurut Kisah Para Rasul 17:16-34 menjelaskan beberapa hal mengenai kontekstualisasi yang Paulus lakukan, yaitu kontekstualisasi lahir dari hati yang terbeban. Kontekstualisasi dilakukan dengan cara bertukar pikiran, memuji budaya orang Atena dan memberitakan tentang Injil Yesus Kristus. Dan dampak dari kontekstualisasi yaitu: dampak positifnya adalah orang menjadi percaya dan dampak negatifnya adalah pemberita injil dapat mengalami penolakan.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":"28 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"81345046","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Aeron Frior Sihombing, Barnabas Ludji, P. Surbakti
Masalah dalam penelitian ini adalah mengenai kota-kota perlindungan dalam Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-34. Topik yang sama mengenai kota perlindungan, namun memiliki perbedaan yang signifikan. Penelitian ini akan membandingkan persamaan dan perbedaan antara kota-kota perlindungan menurut Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-34 dan memaparkan relevansinya dengan orang percaya di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis kritis, melalui kritik redaksi, kritik sumber dan kritik bentuk. Kota-kota perlindungan dalam Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-35, baik dari sisi redaktur, sumber maupun sitz im leben berbeda, sehingga tujuan teologinya pun berbeda. Namun, kesamaannya ada di paradigma kota perlindungan dari kedua teks ini, yaitu untuk kemanusiaan dan kultus. Refleksi bagi penegakan hukum di Indonesia adalah penegakan hukum haruslah adil tanpa memandang status sosial dan sama rata terhadap seluruh penduduk Indonesia.
这项研究涉及约书亚记20:1-9和民数记35:9-34中关于避难城市的问题。同样的主题是庇护城,但有很大的不同。这项研究将比较《约书亚记》20:1-9和《民数记》35:9-34中提到的避难城市与印尼信徒的关系。本研究采用的方法是批判的历史方法,通过编辑批评、来源批评和形式批评。《约书亚记》20:1-9和《民数记》35:9-35中庇护的城市,无论是来自同一编辑的来源,还是sitz im leben,都是不同的,其神学目的是不同的。然而,类似的是,这两篇文章的庇护城的范例,即人类和邪教。对印尼执法的反思是,无论其社会地位如何,对整个印尼人民都是平等的,执法都应该是公平的。
{"title":"Kota-kota perlindungan dalam kitab Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-34","authors":"Aeron Frior Sihombing, Barnabas Ludji, P. Surbakti","doi":"10.51828/td.v12i2.222","DOIUrl":"https://doi.org/10.51828/td.v12i2.222","url":null,"abstract":"Masalah dalam penelitian ini adalah mengenai kota-kota perlindungan dalam Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-34. Topik yang sama mengenai kota perlindungan, namun memiliki perbedaan yang signifikan. Penelitian ini akan membandingkan persamaan dan perbedaan antara kota-kota perlindungan menurut Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-34 dan memaparkan relevansinya dengan orang percaya di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis kritis, melalui kritik redaksi, kritik sumber dan kritik bentuk. Kota-kota perlindungan dalam Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-35, baik dari sisi redaktur, sumber maupun sitz im leben berbeda, sehingga tujuan teologinya pun berbeda. Namun, kesamaannya ada di paradigma kota perlindungan dari kedua teks ini, yaitu untuk kemanusiaan dan kultus. Refleksi bagi penegakan hukum di Indonesia adalah penegakan hukum haruslah adil tanpa memandang status sosial dan sama rata terhadap seluruh penduduk Indonesia.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":"8 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"89422861","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Paul's statement in Colossians 1:24 is interesting to analyze. The words "completing what is lacking in the afflictions of Christ" present believers with some difficulties. At first, these words reveal indirectly that there is a lack in the sufferings of Christ, that the effectiveness of our Lord's sufferings is limited, and that the purpose of redemption must be completed or accomplished through Paul's sufferings. The sufferings of Christ are perfect, sufficient to atone for the sins of mankind, and do not need to be completed. What needs to be completed or fulfilled is suffering to preach the Gospel about Christ, who died and was raised, so that many will know Him and the power of His Resurrection. This research will be studied by the descriptive qualitative method. First, this study aims to provide a theological answer to the meaning of “fulfilling what is lacking in the sufferings of Christ.” Second, it is given an essential meaning for every believer to live more and more earnestly in Christ because of the perfect atonement that Jesus made. Abstrak Pernyataan Paulus dalam Kolose 1:24 menjadi hal yang menarik untuk di analisis. Perkataan "melengkapkan apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” menghadapkan orang percaya pada beberapa diskusi Nas. Sepintas nampaknya perkataan ini mengungkapkan secara tidak langsung bahwa ada kekurangan dalam penderitaan Kristus, bahwa keefektifan penderitaan Kristus itu terbatas dan tujuan penebusan harus dilengkapi atau diselesaikan melalui penderitaan Paulus. Penderitaan Kristus sudah sempurna, sudah cukup untuk menebus dosa manusia dan tidak perlu digenapkan lagi. Hal yang perlu digenapkan atau dipenuhkan adalah penderitaan demi mengabarkan Injil, tentang Kristus yang berinkarnasi menjadi manusia, mati menjadi korban tebusan dan telah dibangkitkan dari antara orang mati. sehingga banyak orang akan mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya. Penelitian ini akan dikaji secara metode kualitatif deskritif. Tujuan dari penelitian ini adalah Pertama, memberikan jawaban teologis terhadap makna “menggenapkan apa yang kurang pada penderitaan Kristus.” Kedua, memberikan makna penting bagi setiap orang percaya untuk hidup makin lebih sungguh-sungguh dalam Kristus, karena penebusan yang sempurna yang dilakukan Yesus.
保罗在歌罗西书1章24节的陈述分析起来很有趣。“补上基督苦难所缺少的”这句话给信徒带来了一些困难。首先,这些话间接地表明基督的苦难是缺乏的,我们主的苦难的功效是有限的,救赎的目的必须通过保罗的苦难来完成或完成。基督所受的苦难是完全的,足以赎人的罪,不需要再成全。惟有受苦,传基督死而复活的福音,才能成全,叫许多人认识他,也知道他复活的大能。本研究将采用描述性定性方法进行研究。首先,本研究旨在为“补上基督苦难所欠缺的”的意义提供神学上的回答。其次,由于耶稣所作的完美的赎罪,它赋予每个信徒在基督里越来越认真地生活的重要意义。【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】【摘要】“melengkapkan apa yang kurang dalam penderitaan Kristus”,“menghadapkan orang peraya pada beberapa diskusi Nas”。9月9日,我的女儿在我的女儿面前,我的女儿在我的女儿面前,我的女儿在我的女儿面前,我的女儿在我的女儿面前,我的女儿在我的女儿面前,我的女儿在我的女儿面前,我的女儿在我的女儿面前,我的女儿在我的女儿面前。彭德丽塔·克里斯塔斯·苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳,苏达森普纳。Hal yang perlu digenapkan atau dipenuhkan adalah penderitaan demi mengabarkan Injil, tentanstus yang berinkarnasi menjadi manusia, mati menjadi korban tebusan dantelah dibangkitkan dari antara orang mati。这是一种菩提树,是一种橙色的树,是一种红色的树。Penelitian的翻译结果:Penelitian的翻译结果:Tujuan dari penelitian ini adalah Pertama,成员jawaban地质学家terhadap makna“menggenapkan apa yang kurang padpenderitaan Kristus”。Kedua,成员makna penting bagi seap orang peraya untuk hidup makin lebih sungguh sungguh dalam Kristus, karena penebusan yang sempurna yang dilakukan Yesus。
{"title":"Memaknai Frasa “Menggenapkan Apa yang Kurang pada Penderitaan Kristus”: Studi Teks Kolose 1:24","authors":"Paulus Kunto Baskoro, Yemima Setiasih","doi":"10.47543/efata.v9i2.110","DOIUrl":"https://doi.org/10.47543/efata.v9i2.110","url":null,"abstract":"Paul's statement in Colossians 1:24 is interesting to analyze. The words \"completing what is lacking in the afflictions of Christ\" present believers with some difficulties. At first, these words reveal indirectly that there is a lack in the sufferings of Christ, that the effectiveness of our Lord's sufferings is limited, and that the purpose of redemption must be completed or accomplished through Paul's sufferings. The sufferings of Christ are perfect, sufficient to atone for the sins of mankind, and do not need to be completed. What needs to be completed or fulfilled is suffering to preach the Gospel about Christ, who died and was raised, so that many will know Him and the power of His Resurrection. This research will be studied by the descriptive qualitative method. First, this study aims to provide a theological answer to the meaning of “fulfilling what is lacking in the sufferings of Christ.” Second, it is given an essential meaning for every believer to live more and more earnestly in Christ because of the perfect atonement that Jesus made. \u0000 \u0000 \u0000 \u0000Abstrak \u0000Pernyataan Paulus dalam Kolose 1:24 menjadi hal yang menarik untuk di analisis. Perkataan \"melengkapkan apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” menghadapkan orang percaya pada beberapa diskusi Nas. Sepintas nampaknya perkataan ini mengungkapkan secara tidak langsung bahwa ada kekurangan dalam penderitaan Kristus, bahwa keefektifan penderitaan Kristus itu terbatas dan tujuan penebusan harus dilengkapi atau diselesaikan melalui penderitaan Paulus. Penderitaan Kristus sudah sempurna, sudah cukup untuk menebus dosa manusia dan tidak perlu digenapkan lagi. Hal yang perlu digenapkan atau dipenuhkan adalah penderitaan demi mengabarkan Injil, tentang Kristus yang berinkarnasi menjadi manusia, mati menjadi korban tebusan dan telah dibangkitkan dari antara orang mati. sehingga banyak orang akan mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya. Penelitian ini akan dikaji secara metode kualitatif deskritif. Tujuan dari penelitian ini adalah Pertama, memberikan jawaban teologis terhadap makna “menggenapkan apa yang kurang pada penderitaan Kristus.” Kedua, memberikan makna penting bagi setiap orang percaya untuk hidup makin lebih sungguh-sungguh dalam Kristus, karena penebusan yang sempurna yang dilakukan Yesus.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":"11 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"85697103","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-11DOI: 10.36421/veritas.v22i1.569
Meitha Sartika
The COVID-19 pandemic has become a major event that affects many aspects of life, including church life. The church needs to adapt itself to the changes that occur while responding to various situations around it. This situation brings two questions for the church to reflect on, namely whether the church has been paying attention to the concrete issues around it and whether the church has truly been present for others. This paper aims to show that the post-pandemic church needs to be a church that is faithfully present for others. For that, I will discuss the impact of the pandemic on the church. Then, I will explore Dietrich Bonhoeffer’s view of the church for others and James Davison Hunter’s ideas about faithful presence. Both of them are trying to show a church that wants to be present in the midst of society with various dynamics of life. Finally, I discuss these two views to construct an incarnational, relational, and missional post-pandemic ecclesiology.
{"title":"Towards an Incarnational, Relational, and Missional Post-Pandemic Church: Dietrich Bonhoeffer’s Ecclesiology in Dialogue with the Concept of Faithful Presence from James Davison Hunter","authors":"Meitha Sartika","doi":"10.36421/veritas.v22i1.569","DOIUrl":"https://doi.org/10.36421/veritas.v22i1.569","url":null,"abstract":"The COVID-19 pandemic has become a major event that affects many aspects of life, including church life. The church needs to adapt itself to the changes that occur while responding to various situations around it. This situation brings two questions for the church to reflect on, namely whether the church has been paying attention to the concrete issues around it and whether the church has truly been present for others. This paper aims to show that the post-pandemic church needs to be a church that is faithfully present for others. For that, I will discuss the impact of the pandemic on the church. Then, I will explore Dietrich Bonhoeffer’s view of the church for others and James Davison Hunter’s ideas about faithful presence. Both of them are trying to show a church that wants to be present in the midst of society with various dynamics of life. Finally, I discuss these two views to construct an incarnational, relational, and missional post-pandemic ecclesiology.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":"349 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135005917","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-09DOI: 10.36421/veritas.v22i1.634
Dwi Maria Handayani
Penutupan gereja sebagai dampak pandemi COVID-19 pada awalnya merupakan hal yang tak terduga dan sulit diterima oleh banyak orang percaya. Banyak pertanyaan yang muncul ketika itu: mengapa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi? Orang percaya mencari makna dan maksud Tuhan melalui peristiwa ini. Bertolak dari kondisi seperti ini, penulis memakai narasi penu¬tu¬pan Bait Allah Salomo untuk menjadi pijakan dalam mencari makna teologis dari peristiwa tersebut. Penulis juga menggali hal-hal apa saja yang menjadi penyebab penutupan Bait Allah dan efek apa saja yang ditimbulkan. Akhirnya, penulis menarik beberapa pelajaran yang relevan bagi gereja-gereja pascapandemi. Penulis mengusulkan bahwa sebagaimana Allah tidak kembali memerintahkan bangsa Israel yang dibuang di Babel untuk membangun Bait Allah di sana, gereja-gereja masa kini pun tidak lagi harus terfokus untuk merestorasi apa yang sebelumnya mereka lakukan, tetapi berfokus untuk melihat keluar akan kesempatan-kesempatan yang terbuka di masyarakat luar yang sebelumnya kita anggap sekuler atau duniawi.
{"title":"When God Closes the Megachurch: Penutupan Bait Allah Salomo dan Penyebaran Gereja ke Masyarakat Luas","authors":"Dwi Maria Handayani","doi":"10.36421/veritas.v22i1.634","DOIUrl":"https://doi.org/10.36421/veritas.v22i1.634","url":null,"abstract":"Penutupan gereja sebagai dampak pandemi COVID-19 pada awalnya merupakan hal yang tak terduga dan sulit diterima oleh banyak orang percaya. Banyak pertanyaan yang muncul ketika itu: mengapa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi? Orang percaya mencari makna dan maksud Tuhan melalui peristiwa ini. Bertolak dari kondisi seperti ini, penulis memakai narasi penu¬tu¬pan Bait Allah Salomo untuk menjadi pijakan dalam mencari makna teologis dari peristiwa tersebut. Penulis juga menggali hal-hal apa saja yang menjadi penyebab penutupan Bait Allah dan efek apa saja yang ditimbulkan. Akhirnya, penulis menarik beberapa pelajaran yang relevan bagi gereja-gereja pascapandemi. Penulis mengusulkan bahwa sebagaimana Allah tidak kembali memerintahkan bangsa Israel yang dibuang di Babel untuk membangun Bait Allah di sana, gereja-gereja masa kini pun tidak lagi harus terfokus untuk merestorasi apa yang sebelumnya mereka lakukan, tetapi berfokus untuk melihat keluar akan kesempatan-kesempatan yang terbuka di masyarakat luar yang sebelumnya kita anggap sekuler atau duniawi.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135215071","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-09DOI: 10.36421/veritas.v22i1.603
Tommy Indarto
This article discusses parachurch (hereinafter referred to as the Organisasi Pendamping Gereja / OPG). According to Jerry White, a parachurch is all forms of spiritual ministry whose organizational structure is not under the control of the church. Reflecting on this definition, in reality, the relationship between the church and the OPG is not always harmonious, and there is often tension between the two. One of the negative issues that arise is regarding the existence of OPG. There are some churches who question the existence of the OPG and see the OPG as their rival. This article provides a perspective on the existence and important role of OPG for church growth. For this reason, this article uses a qualitative method through a literature review and is supported by the results of interviews that the author conducted. The contribution of this research is to erode the negative views held by the church regarding OPG and to encourage the church to collaborate with OPG in carrying out God's mission. From the OPG side, this article can show that the OPG should not and cannot be separated from the church.
{"title":"From the Church, With the Church, and For the Church: Another Look at the Significance of Parachurch for Church Growth","authors":"Tommy Indarto","doi":"10.36421/veritas.v22i1.603","DOIUrl":"https://doi.org/10.36421/veritas.v22i1.603","url":null,"abstract":"This article discusses parachurch (hereinafter referred to as the Organisasi Pendamping Gereja / OPG). According to Jerry White, a parachurch is all forms of spiritual ministry whose organizational structure is not under the control of the church. Reflecting on this definition, in reality, the relationship between the church and the OPG is not always harmonious, and there is often tension between the two. One of the negative issues that arise is regarding the existence of OPG. There are some churches who question the existence of the OPG and see the OPG as their rival. This article provides a perspective on the existence and important role of OPG for church growth. For this reason, this article uses a qualitative method through a literature review and is supported by the results of interviews that the author conducted. The contribution of this research is to erode the negative views held by the church regarding OPG and to encourage the church to collaborate with OPG in carrying out God's mission. From the OPG side, this article can show that the OPG should not and cannot be separated from the church.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":"37 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135215405","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-09DOI: 10.36421/veritas.v22i1.617
Tomo Andreias
Orang tua memiliki panggilan untuk membina iman anak-anak mereka. Meskipun demikian, ada sebuah ironi di mana tidak sedikit orang tua yang hanya sekadar menyerahkan tanggung jawab pembinaan iman hanya kepada gereja. Realita ini pada akhirnya diperhadapkan dengan pandemi yang mengondisikan orang tua kembali ke rumah dan membawa gereja menyadari keterbatasannya untuk tetap berinteraksi dengan jemaatnya. Kondisi ini kemudian dilihat oleh penulis sebagai kesempatan untuk mengerjakan pelayanan kaum muda dengan strategi family involvement yang mengarah pada sebuah sinergi antara orang tua dengan gereja yang menjalankan perannya dengan tepat. Itulah sebabnya melalui makalah ini, penulis melakukan studi pustaka dan menggunakan metode deskriptif analitis untuk memberikan tinjauan kritis terhadap pola pembinaan iman kaum muda yang selama ini dilakukan dan memberikan gambaran tentang dampak pandemik terhadap pola tersebut. Setelah itu, eksposisi terhadap Ulangan 6:4-21 akan dilakukan untuk mendapatkan dasar alkitabiah atas family involvement di mana orang tua terlibat secara aktif untuk membina anak-anak mereka. Terakhir, penulis akan memberikan beberapa langkah praktis strategi family involvement supaya di masa pasca-pandemi pelayanan kaum muda memiliki alternatif strategi yang efektif untuk membawa anak-anak muda mengenal dan memuliakan Allah.
{"title":"Family Involvement: Sebuah Usaha Sinergi Orang Tua Dengan Gereja dalam Pelayanan Kaum Muda Di Era Pasca-Pandemi","authors":"Tomo Andreias","doi":"10.36421/veritas.v22i1.617","DOIUrl":"https://doi.org/10.36421/veritas.v22i1.617","url":null,"abstract":"Orang tua memiliki panggilan untuk membina iman anak-anak mereka. Meskipun demikian, ada sebuah ironi di mana tidak sedikit orang tua yang hanya sekadar menyerahkan tanggung jawab pembinaan iman hanya kepada gereja. Realita ini pada akhirnya diperhadapkan dengan pandemi yang mengondisikan orang tua kembali ke rumah dan membawa gereja menyadari keterbatasannya untuk tetap berinteraksi dengan jemaatnya. Kondisi ini kemudian dilihat oleh penulis sebagai kesempatan untuk mengerjakan pelayanan kaum muda dengan strategi family involvement yang mengarah pada sebuah sinergi antara orang tua dengan gereja yang menjalankan perannya dengan tepat. Itulah sebabnya melalui makalah ini, penulis melakukan studi pustaka dan menggunakan metode deskriptif analitis untuk memberikan tinjauan kritis terhadap pola pembinaan iman kaum muda yang selama ini dilakukan dan memberikan gambaran tentang dampak pandemik terhadap pola tersebut. Setelah itu, eksposisi terhadap Ulangan 6:4-21 akan dilakukan untuk mendapatkan dasar alkitabiah atas family involvement di mana orang tua terlibat secara aktif untuk membina anak-anak mereka. Terakhir, penulis akan memberikan beberapa langkah praktis strategi family involvement supaya di masa pasca-pandemi pelayanan kaum muda memiliki alternatif strategi yang efektif untuk membawa anak-anak muda mengenal dan memuliakan Allah.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":"68 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135215414","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-04DOI: 10.36421/veritas.v22i1.637
Daniel Winardi
Artikel ini mengeksplorasi kemungkinan bagaimana ibadah metaverse dapat menjadi salah satu sarana penting bagi gereja untuk mengakomodasi kegiatan beribadah di tengah situasi pandemi Covid-19 dan selanjutnya. Kemajuan teknologi ini memungkinkan penggunanya untuk hadir di dalam dunia maya dengan avatar masing-masing yang terintegrasi dengan berbagai konteks kehidupan, seperti sekolah, berbelanja, hiburan, dan agama. Metaverse sendiri sebenarnya sudah mulai berkembang sejak tahun 2016 dan sudah mulai digunakan untuk berbagai kegiatan gereja. Dengan perkembangan yang cukup pesat ini, gereja perlu memikirkan berbagai hal mengenai berbagai aspek teologis dari ibadah metaverse, terutama mengenai praktik hospitality di dalam gereja. Dalam praktiknya, gereja dapat belajar dari tradisi Benedictine untuk dapat menguatkan serta melengkapi bagian-bagian yang kurang. Di tengah pertentangan pro dan kontra terhadap praktik hospitality dalam ibadah metaverse, penulis berargumen bahwa ibadah metaverse memang bukanlah sebuah ibadah yang ideal dalam hal hospitality, tetapi orang Kristen dapat membiarkan gereja yang ingin atau sudah melaksanakan ibadah metaverse untuk menemukan pola praktik hospitality mereka sendiri seiring berjalannya waktu.
{"title":"Relevansi Benedictine Hospitality Bagi Praktik Hospitality Gereja Metaverse","authors":"Daniel Winardi","doi":"10.36421/veritas.v22i1.637","DOIUrl":"https://doi.org/10.36421/veritas.v22i1.637","url":null,"abstract":"Artikel ini mengeksplorasi kemungkinan bagaimana ibadah metaverse dapat menjadi salah satu sarana penting bagi gereja untuk mengakomodasi kegiatan beribadah di tengah situasi pandemi Covid-19 dan selanjutnya. Kemajuan teknologi ini memungkinkan penggunanya untuk hadir di dalam dunia maya dengan avatar masing-masing yang terintegrasi dengan berbagai konteks kehidupan, seperti sekolah, berbelanja, hiburan, dan agama. Metaverse sendiri sebenarnya sudah mulai berkembang sejak tahun 2016 dan sudah mulai digunakan untuk berbagai kegiatan gereja. Dengan perkembangan yang cukup pesat ini, gereja perlu memikirkan berbagai hal mengenai berbagai aspek teologis dari ibadah metaverse, terutama mengenai praktik hospitality di dalam gereja. Dalam praktiknya, gereja dapat belajar dari tradisi Benedictine untuk dapat menguatkan serta melengkapi bagian-bagian yang kurang. Di tengah pertentangan pro dan kontra terhadap praktik hospitality dalam ibadah metaverse, penulis berargumen bahwa ibadah metaverse memang bukanlah sebuah ibadah yang ideal dalam hal hospitality, tetapi orang Kristen dapat membiarkan gereja yang ingin atau sudah melaksanakan ibadah metaverse untuk menemukan pola praktik hospitality mereka sendiri seiring berjalannya waktu.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48674429","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-06-02DOI: 10.36421/veritas.v22i1.613
Chakrita M. Saulina
The book of Revelation is dominated by many enigmatic images and symbols that spark a variety of interpretations and speculations. Among these puzzling images, the feminine symbols in the second half of the book are worth noting: the woman clothed with the sun in Revelation 12, the whore in Revelation 17, and the bride in Revelation 21. Their meanings are often debated. Some feminist scholars argue that these images evoke violence towards women and are full of androcentric language. Others, however, by underlining the metaphoric nature of these female symbols, refute this claim. This study aims to provide a fresh interpretation of this debate by looking more closely at the web of John’s metaphors and narrative system and utilizing both historical-critical and narrative approaches. This work argues that these female figures convey positive images of women and inclusivity in the Lamb’s Church. Moreover, the woman clothed with the sun and the bride have a vital role in John’s apocalypse. The link between these two metaphors—the transformation of the woman and becoming the bride—offers an important message to contemporary churches, including churches in Indonesia, in navigating the world and overcoming crises.
{"title":"Re-envisioning the Church through the \"Eyes\" of the Woman Clothed with the Sun and the Bride in John’s Apocalypse","authors":"Chakrita M. Saulina","doi":"10.36421/veritas.v22i1.613","DOIUrl":"https://doi.org/10.36421/veritas.v22i1.613","url":null,"abstract":"The book of Revelation is dominated by many enigmatic images and symbols that spark a variety of interpretations and speculations. Among these puzzling images, the feminine symbols in the second half of the book are worth noting: the woman clothed with the sun in Revelation 12, the whore in Revelation 17, and the bride in Revelation 21. Their meanings are often debated. Some feminist scholars argue that these images evoke violence towards women and are full of androcentric language. Others, however, by underlining the metaphoric nature of these female symbols, refute this claim. This study aims to provide a fresh interpretation of this debate by looking more closely at the web of John’s metaphors and narrative system and utilizing both historical-critical and narrative approaches. This work argues that these female figures convey positive images of women and inclusivity in the Lamb’s Church. Moreover, the woman clothed with the sun and the bride have a vital role in John’s apocalypse. The link between these two metaphors—the transformation of the woman and becoming the bride—offers an important message to contemporary churches, including churches in Indonesia, in navigating the world and overcoming crises.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45727233","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
At the same time as the sense of solidarity among Asian Churches is growing through Federation of Asian Bishop Conference (FABC), the effort to understand what it means to be a Church in Asia becomes more profound. We can mention several theological approaches which trying to reconstruct a distinctive face of the Asian Church, for example Choan-Seng Song who develops contextual theology with a transpositional mode. Starting from his critical position against the tendency of Western-centered nature of Christian theology, Song raised four important elements in a reorientation towards contextual theological exploration, namely vision, community, passion, and "imagi-nation". Besides him, it is also appropriate for us to review the efforts of South Korean theologians, especially Ahn Byung-Mu, in proposing Minjung Theology. For Ahn, a contextual theology should also be liberative. The two theological ideas of contextual-liberative Church above are prompting us to continuously imagine and strive for an Asian ecclesiology, especially in Indonesia.
与此同时,随着亚洲教会之间的团结意识通过亚洲主教会议联合会(FABC)不断增强,了解亚洲教会的意义的努力变得更加深刻。我们可以提到一些试图重建亚洲教会独特面貌的神学方法,例如宋choan - seng Song,他用一种换位模式发展了上下文神学。宋从他对基督教神学的西方中心主义倾向的批判立场出发,提出了重新定位语境神学探索的四个重要要素,即视野、共同体、激情和“想象-民族”。除了他之外,我们也应该回顾一下韩国神学家,特别是安秉武在提出民正神学方面所做的努力。对安哲秀来说,语境神学也应该是解放的。上述两种情境解放教会的神学理念,促使我们不断地想像和努力建立一个亚洲教会,尤其是在印尼。
{"title":"RE-IMAGINING MODEL GEREJA KONTEKSTUAL YANG LIBERATIF DI ASIA DENGAN INSPIRASI TEOLOGIS DARI CHOAN-SENG SONG DAN AHN BYUNG-MU","authors":"Harris Kristanto","doi":"10.24071/jt.v12i01.4653","DOIUrl":"https://doi.org/10.24071/jt.v12i01.4653","url":null,"abstract":"At the same time as the sense of solidarity among Asian Churches is growing through Federation of Asian Bishop Conference (FABC), the effort to understand what it means to be a Church in Asia becomes more profound. We can mention several theological approaches which trying to reconstruct a distinctive face of the Asian Church, for example Choan-Seng Song who develops contextual theology with a transpositional mode. Starting from his critical position against the tendency of Western-centered nature of Christian theology, Song raised four important elements in a reorientation towards contextual theological exploration, namely vision, community, passion, and \"imagi-nation\". Besides him, it is also appropriate for us to review the efforts of South Korean theologians, especially Ahn Byung-Mu, in proposing Minjung Theology. For Ahn, a contextual theology should also be liberative. The two theological ideas of contextual-liberative Church above are prompting us to continuously imagine and strive for an Asian ecclesiology, especially in Indonesia.","PeriodicalId":33647,"journal":{"name":"Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan","volume":"25 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-05-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"83527679","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}